Perlindungan Hukum terhadap Anak yang dijadikan Agunan Utang dalam Fenomena Parumaen Di Losung pada Masyarakat Batak Toba dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK PEREMPUAN
YANG DIJADIKAN AGUNAN UTANG DALAM FENOMENA
PARUMAEN DI LOSUNG PADA MASYARAKAT BATAK TOBA
DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN
2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK
ABSTRAK
THEODORE MANURUNG
110110080315
Fenomena Parumaen Di Losung merupakan fenomena perkawinan
yang dilandasi transaksi keuangan yang terjadi pada masyarakat Batak
Toba. Fenomena ini diawali dengan anak perempuan dari suatu keluarga
dijadikan agunan utang oleh ayahnya yang kemudian anak perempuan
tersebut dikawinkan dengan pemuda lain. Mas kawin dari perkawinan anak
perempuan tersebut akan digunakan untuk melunasi utang dari ayahnya.
Fenomena ini bertentangan dengan isi dan ketentuan yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak,
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan
peraturan perundangan-undangan yang mengatur mengenai perlindungan
anak serta hak-hak anak.
Metode pedekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis
normatif dan sifat penelitiannya deskriptif analitis. Teknik pengumpulan data
yang dilakukan berupa studi kepustakaan untuk memperoleh data sekunder
dan di dukung studi lapangan berupa wawancara dengan narasumber
terkait yang kemudian dianalisis secara yuridis normatif.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa anak
merupakan agunan yang sah menurut masyarakat Batak Toba berdasarkan
perasaan persatuan kesatuan, sistem pelapisan sosial, dan sistem
kekerabatan patrilineal pada masyarakat Batak Toba. Sesuai dengan isi dan
ketentuan yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak, orangtua, keluarga, masyarakat dan
pemerintah sangat berperan besar dalam mencegah kebiasaan-kebiasaan
masyarakat adat yang merugikan anak serta hak-haknya. Orangtua,
keluarga, masyarakat dan pemerintah memiliki peran sangat besar dalam
menyelenggarakkan perlindungan anak di Indonesia dengan melihat anak
tidak dapat berjuang sendiri dan belum bisa memenuhi kebutuhannya
sendiri.
iv
YANG DIJADIKAN AGUNAN UTANG DALAM FENOMENA
PARUMAEN DI LOSUNG PADA MASYARAKAT BATAK TOBA
DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN
2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK
ABSTRAK
THEODORE MANURUNG
110110080315
Fenomena Parumaen Di Losung merupakan fenomena perkawinan
yang dilandasi transaksi keuangan yang terjadi pada masyarakat Batak
Toba. Fenomena ini diawali dengan anak perempuan dari suatu keluarga
dijadikan agunan utang oleh ayahnya yang kemudian anak perempuan
tersebut dikawinkan dengan pemuda lain. Mas kawin dari perkawinan anak
perempuan tersebut akan digunakan untuk melunasi utang dari ayahnya.
Fenomena ini bertentangan dengan isi dan ketentuan yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak,
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan
peraturan perundangan-undangan yang mengatur mengenai perlindungan
anak serta hak-hak anak.
Metode pedekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis
normatif dan sifat penelitiannya deskriptif analitis. Teknik pengumpulan data
yang dilakukan berupa studi kepustakaan untuk memperoleh data sekunder
dan di dukung studi lapangan berupa wawancara dengan narasumber
terkait yang kemudian dianalisis secara yuridis normatif.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa anak
merupakan agunan yang sah menurut masyarakat Batak Toba berdasarkan
perasaan persatuan kesatuan, sistem pelapisan sosial, dan sistem
kekerabatan patrilineal pada masyarakat Batak Toba. Sesuai dengan isi dan
ketentuan yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak, orangtua, keluarga, masyarakat dan
pemerintah sangat berperan besar dalam mencegah kebiasaan-kebiasaan
masyarakat adat yang merugikan anak serta hak-haknya. Orangtua,
keluarga, masyarakat dan pemerintah memiliki peran sangat besar dalam
menyelenggarakkan perlindungan anak di Indonesia dengan melihat anak
tidak dapat berjuang sendiri dan belum bisa memenuhi kebutuhannya
sendiri.
iv