Implementasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

(1)

ABSTRAK

IMPELEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK (STUDY DI KOTA BANDAR LAMPUNG)

Oleh

MUHAMMAD IQBAL

Implementasi Undang-Undang perlindungan anak dirasa masih sangat sulit. Penanganan anak jalanan dan pemenuhan hak-hak anak oleh pemerintah belum melekat dalam diri anak jalanan. Keberadaan anak jalanan merupakan fenomena yang memprihatinkan. Permasalahan anak jalanan menyangkut kenyamanan masyarakat. Sementara razia-razia yang dilakukan oleh petugas secara nyata melanggar hak anak untuk mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan. Tujuan ini adalah menganalisis pelaksanaan implementasi undang-undang perlindungan anak. Dalam mengungkap permasalahan ini, peneliti menggunakan teori implementasi kebijakan publik milik George C. Edwards III. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini dilakukan di Kota Bandar Lampung.

Dalam penelitian ditemukan beberapa faktor pendukung dan kendala dalam pelaksanaan implementasi undang-undang perlindungan anak. Diantaranya faktor pendukung disposisi yang positif dari para pelaksana implementasi kebijakan perlindungan anak yang masuk kedalam variabel komunikasi antar organisasi beserta kegiatan implementasinya. Adapun faktor kendala minimnya dana dan fasilitas kendaraan transportasi yang kurang memadai dalam penanganan anak jalanan.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa implementasi undang-undang perlindungan anak belum efektif dalam mengatasi anak jalanan yang terjaring razia dalam penanganannya. Hal ini terlihat masih banyak kendala yang terjadi dalam pelaksanaan perlindungan anak, untuk itu pemerintah seharusnya membangun panti penampungan khusus anak jalanan, pemerintah menambah anggaran untuk anak jalanan dan sektor swasta dan LSM harus bisa bersinergi lagi.


(2)

ABSTRACT

THE IMPLEMENTATION OF ACT NUMBER 23 IN 2002 ABOUT CHILD PROTECTION (STUDY IN BANDAR LAMPUNG CITY)

By

MUHAMMAD IQBAL

The implementation of child protection is perceived to be difficult. Homeless children care and homeless children right fulfilling by government are not received by them. The existence of homeless children is a phenomenon to be concerned. The problem of homeless children is also related to public comfort. Raid operation in streets to homeless children is clearly violating children right to get protections from violence. The objective of this research was to analyze the implementation of child protection act. The reveal this problem the researcher used public policy implementation theory by George C. Edwards III. This was a descriptive qualitative research. This research was conducted in Bandar Lampung. The results showed that there were some supporting and inhibiting factors to implementation of child protection act. The supporting factor was positive disposition of those who implemented the child protection policy which belonged to inter organization communication variable with all of its implementation activities. The inhibiting factors were minimum fund and transportation facilities to handle and care homeless children.

The conclusion of this research was that the implementation of this child protection act was not effective in handling those homeless children captured in the raid operation. There were some problems in implementing child protection, so that the government should establish special nursery care facility for these homeless children. The government should add some more budgets for homeless children as well as public sectors and NGO should make synergies with the government.


(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

Penulis bernama lengkap Muhammad Iqbal, lahir di Kota Bandar Lampung, pada 6 Januari 1988. Penulis merupakan anak ke empat dari empat bersaudara dari pasangan suami istri Ayahanda H. Sudarso dan Ibunda Hj. Sumarni.

Pada tahun 1993-1994 penulis mulai mengenyam pendidikan di Taman Kanak-Kanak Taruna Jaya Perumnas Way Halim, kemudian dilanjutkan pendidikan Sekolah Dasar (SD) di SDN 2 Perumnas Way Halim Bandar Lampung pada tahun 1994-2000. Pendidikan lanjut tingkat pertama penulis tempuh pada tahun 2000-2003 di SMPN 19 Bandar Lampung. Selanjutnya pendidikan tingkat atas penulis tempuh di SMA Al-Azhar 3 Way Halim Bandar Lampung pada tahun 2003-2006. Pada tahun 2006 penulis diterima sebagai mahasiswa pada Jurusan Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik melalui jalur SPMB.


(8)

P E R S E M B A H A N

Dengan menyebut nama Allah….

Kupersembahkan karya sederhana ini kepada :

Ayah dan Ibu serta Kakak-kakakku tersayang yang

selalu memberikan yang terbaik untukku

Terima kasih atas segala cinta, pengorbanan,

kesabaran, dan do

’a dalam

menanti keberhasilanku

Keluarga besar yang senantiasa memberikan dorongan

kepadaku

Naunganku HIMAGARA

Teman, Sahabatku, Adik dan Kakak Tingkatku Yang

Selalu Memberi Warna dalam Hidupku


(9)

MOTO

Teruslah menantang diri untuk tetap termotivasi. Semua itu

datang dari diri sendiri (Muhammad Iqbal)

Hal terbaik yang patut dilakukan adalah belajar menerima kritik

daripada mencoba menghindarinya

(D.A. Benton)


(10)

SANWACANA

Alhamdulillahirrabbil’alamin, tercurah segala puji dan syukur kehadirat Allah S.W.T yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, serta karunianya kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Tak lupa shalawat serta salam penulis ucapkan kepada Nabi Besar Muhamad S.A.W, sang motivator bagi penulis untuk selalu ikhlas dan bertanggung jawab dalam melakukan segala hal. Atas segala kehendak dan kuasa Allah, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Implementasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (Study di Kota Bandar Lampung)”, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Administrasi Negara (SAN) pada jurusan Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Lampung.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan yang penulis miliki. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang setulus-tulusnya kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini antara lain:

1. Bapak Drs. Hi. Agus Hadiawan, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.

2. Ibu Dra. Dian Kagungan, M.H. selaku dosen pembimbing utama dan sekaligus Pembimbing Akademik Penulis. Terimakasih atas masukan-masukan, saran,


(11)

skripsi ini.

3. Bapak Dr. Dedy Hermawan, S.sos, M.si selaku Ketua Jurusan Administrasi Negara dan sekaligus dosen Pembahas Penulis. Terimakasih untuk segala saran-saran agar skripsi ini dapat terlihat lebih baik.

4. Seluruh dosen Ilmu Administrasi Negara, terimakasih atas segala ilmu yang telah diberikan. Semoga ilmu dan pengalaman yang telah penulis peroleh di kampus dapat menjadi bekal yang berharga dalam kehidupan penulis ke depannya.

5. Ibu Nur sebagai Staf Jurusan Ilmu Administrasi Negara yang selalu memberikan pelayanan bagi penulis yang berkaitan dengan administrasi dalam penyusunan skripsi.

6. Keluargaku tercinta yang tak pernah bosan memberikan doa, dan dukungan kepadaku. Ayah, lelaki yang sangat memperhatikan pendidikan bagi anak-anaknya, semua akan dilakukan agar anak-anaknya dapat berpendidikan tinggi. Ibu, wanita tangguh yang senantiasa berdoa bagi kesuksesan di setiap langkah anak-anaknya dan selalu memberikan dukungan sehingga terselesaikannya skripsi ini. Kak Andri, Mbak Ratih, Mbak Dewi, Mas Aji dn Mas Wahyu, kelima kakakku tercinta yang selalu menjadi motivasi penulis dan Farhan, Isnan, Akhdan dn Aldrin, keponakanku tersayang yang selalu menjadi penghibur penulis.

7. Bapak Drs. Muzarin Daud selaku Kabid Rehabilitasi dan Pelayanan Sosial Dinas Sosial yang tidak pernah bosan menerima kedatangan penulis serta memberikan saran kepada penulis. Bapak Herman Karim S.H, M.H serta seluruh staf dan jajaran Satpol PP Bandar Lampung yang sudah membantu


(12)

memberikan data dan semangat kepada penulis.

8. Hanifah Nurhasanah., yang telah mendoakan dan memberikan semangat kepada penulis.

9. Terima kasih kepada teman-teman pengajian, Anggi, Dimas, Agasi, Arif, Ahmad, Sobirin, Niswatin Afifah, Indah, Yulika, Cholisa, memberikan ilmu agamanya.

10.Untuk seluruh keluarga besar Andalan Ane ’06, Puja, Mora, Herman, Diaz, Novicko, Fajrin, Panji, Gultom, Felix, Ferdi, Aditya, Hafidzin, Anugrah, Doni, Mip, Zaldi, Erlangga, Dwi Utami, Mega, Eva, Ayu, Havni, Rizma, Barita, Yosie, Ria Ristiani, Resa, Endah, Fatimah, Atus, Rensi, Desi, Indah, senang punya saudara seperti kalian, makasih atas kenangan yang sempat terukir dan semoga masih bisa ngukir kenangan manis yang lainnya.

11.Terima kasih untuk senior Himagara untuk adik Himagara 2007, 2008, 2009, 2010, 2011, 2012, 2013 yang tidak bisa ditulis satu persatu.

Akhir kata penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan akan tetapi sedikit harapan semoga karya sederhana ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, 13 November 2014 Penulis


(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... i

DAFTAR GAMBAR ... ii

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penilitian ... 11

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Kebijakan Publik ... 13

1. Pengertian Kebijakan Publik ... 13

2. Ciri-Ciri Kebijakan Publik ... 14

3. Tahap-Tahap Kebijakan ... 15

B. Tinjauan Tentang Implementasi Kebijakan ... 18

C. Tinjauan Tentang Model Implementasi Kebijakan Publik .... 25

1. Komunikasi ... 26

2. Sumber - Sumber ... 27

3. Disposisi ... 29

4. Struktur Birokrasi ... 30

D. Tinjauan Tentang Anak ... 34

E. Tinjauan Tentang Anak Jalanan ... 35

1. Anak Jalanan yang hidup atau tinggal di jalanan ... 36

2. Anak Jalanan yang bekerja di jalanan ... 37

3. Anak-anak yang berpotensi menjadi anak jalanan ... 38

BAB III METODE PENILAIAN A. Tipe Penelitian ... 39

B. Fokus Penelitian ... 40

C. Lokasi Penelitian ... 41


(14)

E. Proses dan Teknik Pengumpulan Data ... 43

1. Tahap memasuki lokasi penelitian ... 43

2. Ketika berada dilokasi penelitian ... 44

3. Mengumpulkan data ... 44

F. Teknik Analisa Data ... 45

G. Teknik Keabsahan Data ... 46

1. Derajat Kepercayaan (Credibility) ... 47

a. Triangulasi ... 47

b. Kecukupan Referensial ... 48

2. Keteralihan (Transferability) ... 48

3. Kebergantungan ( Dependability) ... 48

4. Kepastian (Confirmabilty) ... 48

BAB IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Gambaran Kota Bandar Lampung ... 50

B. Gambaran Umum Dinas Sosial Kota Bandar Lampung ... 56

C. Gambaran Umum Kantor Kesatuan Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung ...59

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Dan Pembahasan ... 65

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 85

B. Saran ... 87 DAFTAR PUSTAKA


(15)

DAFTAR TABEL

Tabel _ Halaman

Tabel 5. Nama – nama Pejabat Pemerintah yang pernah menjadi Walikota


(16)

DAFTAR GAMBAR

Gambar _ Halaman

Gambar 4. Struktur Organisasi Kantor Kesatuan Polisi Pamong Praja Kota


(17)

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang didalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Mereka bersih seperti kertas putih ketika awal dilahirkan ke dunia, belum mengerti untuk berbuat sesuatu kemudian orang tua yang mengajarkan dan memberi contoh untuk berbuat dan bertindak sebagaimana manusia. Anak mempunyai bakat, potensi dan sebagai generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002 menyebutkan bahwa yang masuk kategori anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun. Mengingat masa kanak-kanak merupakan proses pertumbuhan baik fisik maupun jiwa, untuk menghindari rentannya berbagai perilaku yang mengganggu pertumbuhan anak tersebut, Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak mengatakan anak pada dasarnya mempunyai hak yang harus dipenuhi oleh keluarganya yaitu orang tuanya, dimana


(18)

hak-hak itu meliputi: hak-hak atas kesejahteraan, perlindungan, pengasuhan dan bimbingan. Setiap anak pada dasarnya memiliki hak dan kewajiban sebagai

seorang anak dalam keluarga, tetapi kenyataannya pemenuhan hak-hak anak seringkali diabaikan, karena kondisi keluarga yang tidak memungkinkan.

Menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus dijaga karena di dalam dirinya melekat, harkat, martabat dan hak-hak manusia yang harus dijunjung tinggi. Anak merupakan tunas generasi penerus cita-cita bangsa di masa depan yang perlu mendapat dan diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang baik secara fisik, mental, maupun sosial, dan berakhlak mulia.

Dunia anak-anak merupakan dunia yang seharusnya menyenangkan bagi setiap orang. Dunia saat seseorang belum mengetahui apa-apa selain menikmati kehidupannya, walaupun hidupnya terbebani akibat intervensi orang tua atau lingkungan disekitarnya. Dalam keadaan normal, anak akan hidup bersama kedua orang tuanya, mereka bersama-sama melalui hidup dalam suatu rumah tangga. Namun, ada saja kondisi pengecualian dimana seorang anak tidak mengetahui kondisi normal tersebut. Salah satunya, jika anak kehilangan salah satu atau kedua orang tuanya. Dapat juga bila anak tidak mendapatkan kenyamanan dalam keluarga, sehingga dia lebih memilih keluar dari rumahnya untuk mencoba kehidupan baru terlepas dari orang tuanya. Kondisi pengecualian ini sangat mempengaruhi jiwa anak.


(19)

Fenomena merebaknya anak jalanan di Indonesia merupakan persoalan sosial yang kompleks. Hidup menjadi anak jalanan memang bukan merupakan pilihan yang menyenangkan, karena mereka berada dalam kondisi yang tidak bermasa depan jelas dan keberadaan mereka tidak jarang menjadi masalah bagi banyak pihak, keluarga, masyarakat dan negara. Namun, perhatian terhadap nasib anak jalanan tampaknya belum begitu besar dan solutif. Padahal anak jalanan adalah amanah yang harus dilindungi, dijamin hak-haknya, sehingga tumbuh-kembang menjadi manusia dewasa yang bermanfaat, beradab dan bermasa depan cerah.

Perkembangan zaman yang kian pesat yang tidak sesuai dengan perekonomian yang semakin menurun di kalangan masyarakat, menyebabkan banyak bermunculannya anak jalanan kian tahunnya. Hal ini sangat dikhawatirkan karena dunia anak jalanan tidak bisa terlepas dari masalah eksploitasi dan tindak kekerasan yang dilakukan oleh berbagai pihak yang tidak bertanggung jawab. Setiap tahunnya terjadi banyak kasus anak jalanan yang tereksploitasi dan korban dari tindak kekerasan, oleh sebab itu dalam rangka menjaga kesejahteraan anak dan agar bisa terjaganya hak-hak sebagai anak, diperlukan pengaturan untuk menjamin kesejahteraan anak dan hak-hak anak. Pengaturan mengenai perlindungan hukum terhadap anak berdasarkan Perundang-Undangan yang meliputi eksploitasi anak dan tindak kekerasan terhadap anak, terdapat dalam Pasal 13, 59, dan 66 ayat 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Pasal 58 dan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.


(20)

Pemerintah sebenarnya telah menetapkan beberapa peraturan guna mengurangi jumlah anak jalanan yang semakin melonjak setiap tahunnya, namun peraturan tersebut tidak akan berjalan dengan lancar jika tidak ada peran serta dari masyarakat ataupun LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)/Orsos (Organisasi Sosial) yang membantu menjaga dan menjamin anak jalanan. Hal ini karena permasalahan anak jalanan sangatlah kompleks dan tidak mudah mengurangi anak jalanan jika tidak ada peran serta masyarakat dan LSM/Orsos.

Pemerintah juga membuat Komisi Perlindungan Anak, hal ini dalam rangka meningkatkan efektifitas penyelenggaraan perlindungan anak di Indonesia. Komisi Perlindungan Anak dibentuk berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, dan dasar hukumnya berdasarkan pada Keputusan Presiden Nomor 36/1990, 77/2003 dan 95/M/2004.

Upaya pencegahan terhadap anak jalanan atas eksploitasi dan tindak kekerasan dapat dihindari, apabila orang tua memberikan perlindungan hukum yang optimal terhadap anak dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual. Seperti yang di jelaskan dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, yang berisi:

(1) Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan


(21)

pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya, atau pihak lain manapun yang bertanggungjawab atas pengasuhan.

(2) Dalam hal orang tua, wali, atau pengasuh anak melakukan segala bentuk penganiayaan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual termasuk pemerkosaan, dan atau pembunuhan terhadap anak yang seharusnya dilindungi maka harus dikenakan pemberatan hukuman.”

Berdasarkan hal tersebut, maka jelas kiranya bahwa orang tua melakukan segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual termasuk pemerkosaan, dan atau pembunuhan terhadap anak maka akan dikenakan pemberatan hukuman. Hal ini dikarenakan orang tua seharusnya bisa melindungi anaknya dari berbagai bentuk ancaman kekerasan yang bisa berdampak buruk bagi mental dan fisik seorang anak.

Menurut Pasal 64 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, menyatakan bahwa :

“Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang membahayakan dirinya, sehingga dapat mengganggu pendidikan, kesehatan fisik, moral, kehidupan sosial, dan mental spiritualnya.”

Berdasarkan pasal tersebut menerangkan bahwa seorang anak berhak mendapat perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan pekerjaan-pekerjaan lain yang dapat membahayakan dirinya. Perlindungan tersebut diberikan kepada seorang anak karena banyak anak yang menjadi korban eksploitasi ekonomi oleh berbagai pihak yang tidak bertanggung jawab. Hal ini menerangkan bahwa eksploitasi anak sangat mencederai hak-hak seorang


(22)

anak yang belum dewasa. Ketentuan pasal-pasal yang telah diuraikan di atas, upaya pencegahan terhadap anak jalanan atas eksploitasi dan tindak kekerasan dapat dilakukan dengan berdasarkan pasal 58 dan pasal 64 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, karena pasal tersebut memberikan pelarangan terhadap orang tua atau pihak lain yang akan melakukan eksploitasi dan tindak kekerasan kepada anak jalanan. Kenyataan yang terjadi, masih banyak terjadinya eksploitasi dan tindak kekerasan yang terjadi di sekitar lingkungan anak jalanan,hal ini dikarenakan pemerintah dan masyarakat kurang berperan secara aktif untuk mengatasi permasalahan anak jalanan.

Dalam penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan Negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus-menerus demi terlindunganya hak-hak anak. Rangkaian tersebut harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial. Undang-undang ini meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas sebagai berikut:

a. Nondiskriminasi

b. Kepentingan yang terbaik bagi anak

c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan d. Penghargaan terhadap pendapat anak.


(23)

Sampai saat ini istilah Anak Jalanan belum tercantum dalam Undang-Undang apapun. Akan tetapi kita dapat mengkaji hal tersebut melalui beberapa Undang-Undang yang menyangkut tentang anak-anak terlantar. Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Dalam konteks ini paling tidak ada dua hal penting yang perlu dicermati yaitu siapakah yang dimaksud dengan anak terlantar dan apa maksud dan bagaimana mekanisme pemeliharaan oleh Negara itu.

Persoalan lain yang menyangkut Undang-Undang itu ialah seringnya terjadi ketidakkonsistenan antara isi dari hukum yang satu dengan yang lain, baik dalam kekuatan yang setara, maupun antara yang tinggi dengan yang lebih rendah. Dalam peraturan penanggulangan masalah Gepeng (gelandangan-pengemis) misalnya, intervensi negara terhadap pemberantasan gelandangan pada anak tidak dibedakan secara tegas dengan gelandangan dewasa. Hal ini tentu saja berseberangan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 yang menjamin kesejahteraan anak.

Permasalahan mengenai kasus anak jalanan, bahwa anak jalanan di berbagai tempat telah banyak kehilangan hak mereka sebagai anak. Hak sipil atau hak sebagai warga negara untuk memperoleh perlindungan negara atas keselamatan dan kepemilikan, adalah yang pertama yang terenggut dari kehidupan anak jalanan. Banyak kasus yang menunjukkan bahwa anak-anak jalanan seringkali tidak di anggap sebagai warga negara. Mereka dilarang untuk bertempat tinggal di suatu kampung, atau bahkan diusir oleh aparat


(24)

pemerintah di tingkat kampung hanya karena mereka tidak memiliki KTP, padahal hak asasi manusia tidak boleh diabaikan hanya karena status kependudukan seseorang. Lagi pula peraturan tentang KTP hanya boleh dikenakan pada orang dewasa, bukan anak-anak. Dengan diabaikannya Hak-hak sipil, akibatnya anak-anak jalanan otomatis juga akan kehilangan Hak-hak-Hak-hak sosial yang semestinya menjamin mereka untuk menikmati standar kehidupan tertentu.

Meningkatnya populasi anak jalanan terutama di kota-kota besar di Indonesia telah memperlihatkan fakta bahwa anak-anak yang seharusnya berada dalam dunianya, harus berhadapan pada dunia orang dewasa, begitu juga dengan di kota Bandar Lampung. Adapun hasil pendataan anak jalanan di Bandar Lampung dari Dinas Sosial Kota Bandar Lampung Bidang Pelayanan Rehabilitasi Sosial Tahun 2009 berjumlah 374 orang yang terdiri hasil razia tahun 2009 adalah 91 orang, Rumah Singgah Tunas Bangsa adalah 100 orang, Rumah Singgah Insan Kamil 155 orang, Hasil razia tahun 2010 yang dilaksanakan pada tanggal 13, 15, 21, dan 23 Juli 2010 adalah 28 orang. Pada tahun 2013 anak jalanan yang terdiri laki-laki dan perempuan berjumlah 52 laki-laki dn 7 perempuan.

Semua jalan utama Kota Bandar Lampung dan mungkin beberapa kabupaten/kota lain di Provinsi Lampung yang kini menjadi tempat mangkal para anak usia sekolah mengais rezeki dengan mengamen, menjual koran, bahkan meminta-minta. Pandangan yang memerihkan hati seharusnya tidak terjadi apabila betul-betul bisa menyikapi permasalahan ini dengan


(25)

sungguh-sungguh dan bijaksana. Selama ini memang sudah ada upaya pemerintah kota Bandar Lampung khususnya Dinas Sosial Kota Bandar Lampung untuk menyelesaikan permasalahan anak jalanan yang mulai menjamur seiring perkembangan daerah tersebut. Persoalannya terdapat kekurangan dana dalam pembinaan anak jalanan, menyebabkan penertiban penangkapan anak jalanan yang dilaksanakan belum sepenuhnya memberikan solusi, yang terjadi anak jalanan dilepaskan lagi di jalanan.

Keberadaan anak jalanan yang memprihatinkan itu tidak pernah terselesaikan dengan baik. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2010 mengenai anak jalanan, misalnya, yang sudah ada di kota Bandar Lampung juga tidak berfungsi dengan baik, artinya semua perangkat yang sudah disiapkan untuk mengelola permasalahan anak jalanan selama ini belum berjalan efektif. Bisa dibuktikan dengan masih banyaknya jumlah anak jalanan yang berkeliaran di jalan-jalan di Kota Bandar Lampung (Tribun, 14 Juli 2010, Hal.9).

Pemerintah Kota Bandar Lampung pada umumnya dan Dinas Sosial Kota Bandar Lampung pada khususnya sebagai salah satu jajaran pelaksana pemerintahan Kota Bandar Lampung yang mempunyai tugas pokok menyelenggarakan kegiatan pelayanan dan bantuan sosial pembinaan peran serta masyarakat dalam usaha kesejahteraan sosial. Keberadaannya sebagai organisasi pemerintah akan selalu menjadi sorotan publik, karena tugas utamanya adalah memenuhi kebutuhan dan kepentingan publik. Terutama untuk melayani masyarakat dalam hal perlindungan anak terutama yang menjadi masalah adalah keberadaan anak jalanan.


(26)

Dinas Sosial merupakan suatu wadah organisasi yang bertanggung jawab menangani permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan masyarakat atau khususnya lebih kepada masalah sosial. Sehingga sangat dibutuhkan penanganan yang baik untuk melaksanakan semua program-program kerja agar dapat mencapai visi, tujuan dan sasaran yang diinginkan.

Berdasarkan pendataan Dinas Sosial Kota Bandar Lampung pada tahun anggaran 2009 tentang penanggulangan dan pembinaan anak jalanan didapatkan data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), PMKS terdiri dari 11 kategori dan diantaranya termasuk masalah anak jalanan. Hal ini berkaitan erat dengan jumlah anak jalanan yang ada. Terutama di daerah Kota Bandar Lampung sebagai Ibu kotanya Provinsi Lampung dapat bebas dari masalah anak jalanan, atau setidak-tidaknya jumlah anak jalanan tergolong rendah. Selama ini, Dinas Sosial Kota Bandar Lampung mengembalikan anak jalanan yang terjaring razia dinilai tidak efektif jika tidak ada penampungannya, sebagian besar berasal dari luar Bandar Lampung (Tribun, 23 Maret 2013, Hal.9). Hal ini antara lain terlihat dari pola asuh yang cenderung konsumtif, tidak produktif karena yang ditangani adalah anak-anak, sementara kesejahteraan keluarga mereka diabaikan begitu saja.

Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul Implementasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak di Kota Bandar Lampung


(27)

B. Rumusan Masalah

Dengan melihat permasalahan pada uraian di atas, maka penulis dapat merumuskan permasalahan yaitu:

1. Bagaimana Implementasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak di Kota Bandar Lampung?

2. Apa saja faktor-faktor yang menjadi kendala dan pendukung dalam Implementasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak di Kota Bandar Lampung?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang dan perumusan masalah yang telah dikemukakan di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui dan menganalisis implementasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak di Kota Bandar Lampung.

2. Mengetahui dan memahami kendala-kendala apa saja yang dihadapi dan pendukung dalam implementasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak di Kota Bandar Lampung.

D. Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat menambah wawasan dan memperkaya pengetahuan mengenai Ilmu Administrasi Negara terutama yang berkaitan dengan Implementasi Kebijakan Publik.


(28)

2. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat mejadi dasar Dinas Sosial Kota Bandar Lampung dan sebagai penyempurnaan kebijakan khususnya kebijakan perlindungan anak di waktu yang akan datang.


(29)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Kebijakan Publik

1. Pengertian Kebijakan Publik

Istilah kebijakan publik merupakan hasil adanya sinergi, kompromi atau bahkan kompetisi antara berbagai gagasan, teori, ideologi, dan kepentingan-kepentingan yang mewakili sistem politik suatu Negara. Menurut William N. Dunn dalam Winarno (2012:21) menyatakan kebijakan publik adalah suatu proses ketata pemerintahan dan administrasi pemerintah yang menghasilkan keputusan pemerintah, dimana instansi yang terkait mempunyai wewenang atau kekuasaan dalam mengarahkan masyarakat dan tanggung jawab melayani kepentingan umum. Selain itu menurut Anderson kebijakan merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan. Sedangkan Edward III dan Sharkansky menjelaskan bahwa kebijakan publik apa yang dikatakan dan dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah. Kebijakan negara itu berupa sasaran atau tujuan dari berbagai program pemerintahan.


(30)

Pendapat Carl Friedrich dalam Winarno (2012:21) mengenai kebijakan sebagai suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu yang memberikan hambatan-hambatan dan peluang-peluang terhadap kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan atau merealisasikan suatu sasaran atau suatu maksud tertentu.

Menurut Thomas R. Dye dalam Winarno (2012:20) kebijakan publik adalah apapun yang diplih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan. Jadi pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu maka harus ada tujuannya dan kebijakan Negara tersebut harus meliputi semua tindakan pemerintah, bukan semata-mata pernyataan keinginan pemerintah atau pejabatnya. Menurut Anderson, kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik, merupakan keputusan bersama yang dibuat oleh pemerintah, berorientasikan pada kepentingan publik dengan dipertimbangkan secara matang terlebih dahulu baik buruknya dampak yang ditimbulkan, untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu, dalam rangka menyelesaikan persoalan-persoalan publik dan mencapai tujuan demi kepentingan seluruh masyarakat.

2. Ciri-Ciri Kebijakan Publik

Menurut Anderson (2012:23-24) konsep kebijakan publik ini kemudian mempunyai beberapa implikasi, yaitu:


(31)

1. Kebijakan publik merupakan berorientasi pada maksud atau tujuan dan bukan perilaku secara serampangan.

2. Kebijakan merupakan arah atau pola tindakan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah dan bukan merupakan keputusan-keputusan yang tersendiri.

3. Kebijakan adalah apa yang sebenarnya dilakukan oleh pemerintah dalm mengatur perdagangan, mengendalikan inflasi, atau mempromosikan perumahan rakyat dan bukan apa yang diinginkan oleh pemerintah.

4. Kebijakan publik mungkin dalam bentuknya bersifat positif atau negatif.

3. Tahap-Tahap Kebijakan

Proses pembuatan kebijakan publik merupakan proses yang kompleks karena melibatkan banyak proses maupun variabel yang harus dikaji. Oleh karena itu, bebrapa ahli politik yang menaruh minat untuk mengkaji kebijakan publik membagi proses-proses penyusunan kebijakan publik ke dalam beberapa tahap. Tahap-tahap kebijakan publik (Dunn dalam Winarno, 2006:24-25) adalah sebagai berikut:

a. Tahap Penyusunan Agenda

Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda publik. Sebelumnya masalah-masalah ini berkompetisi terlebih dahulu untuk dapat masuk kedalam agenda kebijakan. Pada akhirnya, beberapa masalah masuk ke agenda kebijakan para perumus kebijakan. Pada tahap ini suatu masalah mungkin tidak disentuh sama sekali, sementara masalah yang lain ditetapkan menjadi fokus pembahasan, atau ada pula masalah karena alas an-alasan tertentu ditunda untuk waktu yang lama.


(32)

b. Tahap Formulasi kebijakan

Masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan (policy alternatives/policy options) yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk kedalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah. Pada tahap ini, masing-masing aktor akan “bermain” untuk mengusulkan pemecahan masalah terbaik.

c. Tahap Adopsi Kebijakan

Dari sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh para perumus kebijakan, pada akhirnya salah satu dari alternatif kebijakan tersebut diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus antara direktur lembaga atau keputusan peradilan.

d. Tahap Implementasi Kebijakan

Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan elit, jika program tersebut tidak diimplementasikan. Oleh karena itu, keputusan program kebijakan yang telah diambil sebagai alternatif pemecahan masalah harus diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan-badan administrasi maupun agen-agen pemerintah ditingkat bawah. Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasikan sumberdaya financial dan manusia. Pada tahap implementasi ini berbagai


(33)

kepentingan akan saling bersaing. Beberapa implementasi kebijakan mendapat dukungan para pelaksana (implementors), namun beberapa yang lain mungkin akan ditentang oleh para pelaksana.

e. Tahap Evaluasi Kebijakan

Pada tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi, untuk melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat telah mampu memecahkan masalah. Kebijakan publik pada dasarnya dibuat untuk meraih dampak yang diinginkan. Dalam hal ini, memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat. Oleh karena itu, ditentukanlah ukuran-ukuran atau kriteria-kriteria yang menjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan publik telah meraih dampak yang diinginkan.

Paparan tentang tahap-tahap kebijakan di atas telah menjelaskan bahwa tahap-tahap kebijakan tersebut sebuah proses yang berkesinambungan dan semuanya merupakan bagian integral yang saling berkaitan dan mempengaruhi satu sama lain. Tahap penyusunan agenda merupakan tahap awal dimana dalam tahap tersebut dilakukan identifikasi persoalan (masalah) publik yang layak untuk dibahas dalam tahap berikutnya, yaitu tahap formulasi kebijakan, setelah diformulasikan, pada tahap adopsi kebijakan akan dipilih alternatif terbaik yang akan dijadikan solusi bagi pemecahan masalah publik. Selanjutnya kebijakan yang telah diputuskan dan disahkan akan diimplementasikan untuk meraih tujuan awal yang telah ditentukan. Pada akhir, evaluasi (penilaian) kebijakan akan menilai ketetapan, manfaat, dan efektivitas hasil kebijakan yang telah dicapai


(34)

melalui implementasi dan kemudian dibandingkan dengan tujuan kebijakan yang telah ditentukan.

B. Tinjauan Tentang Implementasi Kebijakan

Implementasi berasal dari bahasa Inggris yaitu to implement yang berarti mengimplementasikan. Implementasi merupakan penyediaan sarana untuk melaksanakan sesuatu yang menimbulkan dampak atau akibat terhadap sesuatu. Sesuatu tersebut dilakukan untuk menimbulkan dampak atau akibat itu dapat berupa undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan peradilan dan kebijakan yang dibuat oleh lembaga-lembaga pemerintah dalam kehidupan kenegaraan.

Secara etimologis pengertian implementasi menurut Kamus Webster yang dikutip oleh Solichin Abdul Wahab adalah:

“Konsep implementasi berasal dari bahasa inggris yaitu to implement. Dalam kamus besar webster, to implement (mengimplementasikan) berati to provide the means for carrying out (menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu); dan to give practical effect to(untuk menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu)”(Webster dalam Wahab, 2004:64).

Implementasi kebijakan merupakan suatu upaya untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dengan sarana-sarana tertentu dan dalam urutan waktu tertentu (Bambang Sunggono 2008:137).

Berdasarkan di atas maka implementasi itu merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan yang telah di tetapkan


(35)

dalam suatu keputusan kebijakan. Akan tetapi pemerintah dalam membuat kebijakan juga harus mengkaji terlebih dahulu apakah kebijakan tersebut dapat memberikan dampak yang buruk atau tidak bagi masyarakat.Hal tersebut bertujuan agar suatu kebijakan tidak bertentangan dengan masyarakat apalagi sampai merugikan masyarakat.

Pandangan Van Meter dan Van Horn bahwa pelaksanaan merupakan tindakan oleh individu, pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam suatu keputusan tertentu. Badan-badan tersebut melaksanakan pekerjaan-pekerjaan pemerintah yang membawa dampak pada warganegaranya. Namun dalam praktiknya badan-badan pemerintah sering menghadapi pekerjaan-pekerjaan dibawah mandat dari Undang-Undang, sehingga membuat mereka menjadi tidak jelas untuk memutuskan apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan.

Implementasi menurut Mazmanian dan Sebastier (2008:12) merupakan pelaksanaan kebijakan dasar berbentuk undang-undang juga berbentuk perintah atau keputusan-keputusan yang penting atau seperti keputusan badan peradilan. Proses implementasi ini berlangsung setelah melalui sejumlah tahapan tertentu seperti tahapan pengesahan undang-undang, kemudian output kebijakan dalam bentuk pelaksanaan keputusan dan seterusnya sampai perbaikan kebijakan yang bersangkutan.

Menurut uraian di atas, implementasi merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan


(36)

dalam suatu keputusan kebijakan. Akan tetapi pemerintah dalam membuat kebijakan juga harus mengkaji terlebih dahulu apakah kebijakan tersebut dapat memberikan dampak yang buruk atau tidak bagi masyarakat, Hal tersebut bertujuan agar suatu kebijakan tidak bertentangan dengan masyarakat apalagi sampai merugikan masyarakat.

Adapun implementasi kebijakan pada prinsipnya merupakan cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Lester dan Stewart yang dikutip oleh Winarno, menjelaskan bahwa implementasi kebijakan adalah:

“Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian luas merupakan alat administrasi hukum dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur dan teknik yang bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan” (Lester dan Stewart dalam Winarno, 2002:101-102).

Implementasi kebijakan menurut Nugroho terdapat dua pilihan untuk mengimplementasikannya, yaitu langsung mengimplementasikannya dalam bentuk program-program dan melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan tersebut (Nugroho, 2003:158). Oleh karena itu, implementasi kebijakan yang telah dijelaskan oleh Nugroho merupakan dua pilihan, dimana yang pertama langsung mengimplementasi dalam bentuk program dan pilihan kedua melalui formulasi kebijakan.

Pengertian implementasi kebijakan dan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan suatu implmentasi Van Meter dan Van Horn juga


(37)

mengemukakan beberapa hal yang dapat mempengaruhi keberhasilan suatu implementasi, yaitu:

a. Ukuran dan tujuan kebijakan b. Sumber-sumber kebijakan

c. Ciri-ciri atau sifat Badan/Instansi pelaksana

d. Komunikasi antar organisasi terkait dengan kegiatan pelaksanaan e. Sikap para pelaksana, dan

f. Lingkungan Ekonomi, Sosial dan Politik (Meter dan Horn dalam Wahab, 2004:79).

Keberhasilan suatu implementasi menurut kutipan Wahab dapat dipengaruhi berdasarkan faktor-faktor di atas, yaitu: Kesatu yaitu ukuran dan tujuan diperlukan untuk mengarahkan dalam melaksanakan kebijakan, hal tersebut dilakukan agar sesuai dengan program yang sudah direncanakan.

Kedua, sumber daya kebijakan menurut Van Metter dan Van Horn yang dikutip oleh Agustino, sumber daya kebijakan merupakan keberhasilan proses implementasi kebijakan yang dipengaruhi dengan pemanfaatan sumber daya manusia, biaya, dan waktu (Meter dan Horn dalam Agustino, 2006:142). Sumber-sumber kebijakan tersebut sangat diperlukan untuk keberhasilan suatu kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.

Sumber daya manusia sangat penting karena sebagai sumber penggerak dan pelaksana kebijakan, modal diperlukan untuk kelancaran pembiayaan kebijakan agar tidak menghambat proses kebijakan. Sedangkan waktu merupakan bagian yang penting dalam pelaksanaan kebijakan, karena waktu


(38)

sebagai pendukung keberhasilan kebijakan. Sumber daya waktu merupakan penentu pemerintah dalam merencanakan dan melaksanakan kebijakan.

Ketiga, keberhasilan kebijakan bisa dilihat dari sifat atau ciri-ciri badan/instansi pelaksana kebijakan. Hal ini sangat penting karena kinerja implementasi kebijakan publik akan sangat banyak dipengaruhi oleh ciri-ciri yang tepat serta cocok dengan para badan atau instansi pelaksananya. Menurut Subarsono kualitas dari suatu kebijakan dipengaruhi oleh kualitas atau ciri-ciri dari para aktor, kualitas tersebut adalah tingkat pendidikan, kompetensi dalam bidangnya, pengalaman kerja, dan integritas moralnya (Subarsono, 2006:7).

Keempat, komunikasi memegang peranan penting bagi berlangsungnya koordinasi implementasi kebijakan. Koordinasi bukanlah sekedar menyangkut persoalan mengkomunikasikan informasi ataupun membentuk struktur-struktur administrasi yang cocok, melainkan menyangkut pula persoalan yang lebih mendasar, yaitu praktik pelaksanaan kebijakan”. (Hogwood dan Gunn dalam Wahab, 2004:77).

Berdasarkan teori di atas maka Semakin baik koordinasi komunikasi diantara pihak-pihak yang terlibat dalam suatu proses implementasi, maka terjadinya kesalahan-kesalahan akan sangat kecil untuk terjadi dan begitu pula sebaliknya.

Kelima, menurut Van Meter dan Van Horn yang dikutip oleh Widodo, bahwa karakteristik para pelaksana adalah mencakup struktur birokrasi,


(39)

norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi (Meter dan Horn dalam Subarsono, 2006:101). Sikap para pelaksana dalam menjalankan tugas dan tanggungjawab sebagai pelaksana kebijakan harus dilandasi dengan sikap disiplin. Hal tersebut dilakukan karena dapat mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan, setiap badan/instansi pelaksana kebijakan harus merasa memiliki terhadap tugasnya masing-masing berdasarkan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya.

Keenam, dalam menilai kinerja keberhasilan implementasi kebijakan menurut Van Meter dan Van Horn yang dikutip oleh Agustino adalah sejauh mana lingkungan eksternal ikut mendukung keberhasilan kebijakan publik yang telah ditetapkan, lingkungan eksternal tersebut adalah ekonomi, sosial, dan politik (Meter dan Horn dalam Agustino, 2006:144). Lingkungan ekonomi, sosial dan politik juga merupakan faktor yang menentukan keberhasilan suatu implementasi.

Untuk mengefektifkan implementasi kebijakan yang ditetapkan, maka diperlukan adanya tahap-tahap implementasi kebijakan. (M. Irfan Islamy 2007:102-106) membagi tahap implementasi dalam 2 bentuk, yaitu:

a. Bersifat self-executing, yang berarti bahwa dengan dirumuskannya dan disahkannya suatu kebijakan maka kebijakan tersebut akan terimplementasikan dengan sendirinya, misalnya pengakuan suatu negara terhadap kedaulatan negara lain.


(40)

b. Bersifat non self-executing yang berarti bahwa suatu kebijakan publik perlu diwujudkan dan dilaksanakan oleh berbagai pihak supaya tujuan pembuatan kebijakan tercapai. (Islamy 2007: 102-106)

Ahli lain, Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn dalam Solichin Abdul Wahab (2005: 36) dalam buku analisis kebijakan: dari formulasi ke implementasi kebijakan negara mengemukakan sejumlah tahap implementasi sebagai berikut:

Tahap I Terdiri atas kegiatan-kegiatan:

a. Menggambarkan rencana suatu program dengan penetapan tujuan secara jelas

b. Menentukan standar pelaksanaan

c. Menentukan biaya yang akan digunakan beserta waktu pelaksanaan.

Tahap II: Merupakan pelaksanaan program dengan mendayagunakan struktur staf, sumber daya, prosedur, biaya serta metode.

Tahap III: Merupakan kegiatan-kegiatan: a. Menentukan jadwal

b. Melakukan pemantauan

c. Mengadakan pengawasan untuk menjamin kelancaran pelaksanaan program. Dengan demikian jika terdapat penyimpangan atau pelanggaran dapat diambil tindakan yang sesuai dengan segera. (Hogwood dan Lewis dalam Wahab 2005: 36)


(41)

Implementasi kebijakan akan selalu berkaitan dengan perencanaan penetapan waktu dan pengawasan, sedangkan menurut Mazmanian dan Sabatier dalam Solichin Abdul Wahab (2005: 36), yaitu mempelajari masalah implementasi kebijakan berarti berusaha untuk memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program diberlakukan atau dirumuskan, yakni peristiwa-peristiwa dan kegiatan-kegiatan yang terjadi setelah proses pengesahan kebijakan baik yang menyangkut usaha-usaha untuk mengadministrasi maupun usaha untuk memberikan dampak tertentu pada masyarakat. Hal ini tidak saja mempengaruhi perilaku lembaga-lembaga yang bertanggung jawab atas sasaran (target group) tetapi memperhatikan berbagai kekuatan politik, ekonomi, sosial yang berpengaruh pada impelementasi kebijakan negara.

C. Tinjauan Tentang Model Implementasi Kebijakan Publik

Model implementasi yang dikembangkan oleh George C. Edwards III disebut dengan direct and indirect impact or implementation. Dalam pendekatan yang dteorikan oleh George C. Edwards III terdapat empat variabel yang sangat menentukan keberhasila suatu kebijakan yaitu Komunikasi (Communications), Sumber Daya (resources), sikap (dispositions atau attitudes) dan struktur birokrasi (bureucratic structure)

Keempat faktor di atas harus dilaksanakan secara simultan karena antara satu dengan yang lainnya memiliki hubungan yang erat. Tujuan untuk meningkatkan pemahaman tentang implementasi kebijakan. Penyederhanaan pengertian dengan cara membreakdown (diturunkan) melalui eksplanasi implementasi kedalam komponen prinsip. Implementasi kebijakan adalah


(42)

suatu proses dinamik yang mana meliputi interaksi banyak faktor. Sub kategori dari faktor-faktor mendasar ditampilkan sehingga dapat diketahui pengaruhnya terhadap implementasi.

Faktor-faktor yang berpengaruh dalam implementasi menurut George C. Edwards III sebagai berikut:

1. Komunikasi

Implementasi akan berjalan efektif apabila ukuran-ukuran dan tujuan-tujuan kebijakan dipahami oleh individu-individu yang bertanggungjawab dalam pencapaian tujuan kebijakan. Kejelasan ukuran dan tujuan kebijakan dengan demikian perlu dikomunikasikan secara tepat dengan para pelaksana.

Konsistensi atau keseragaman dari ukuran dasar dan tujuan perlu dikomunikasikan sehingga implementors mengetahui secara tepat ukuran maupun tujuan kebijakan itu. Komunikasi dalam organisasi merupakan suatu proses yang amat kompleks dan rumit. Seseorang bisa menahannya hanya untuk kepentingan tertentu, atau menyebarluaskannya.

Di samping itu sumber informasi yang berbeda juga akan melahirkan interpretasi yang berbeda pula. Agar implementasi berjalan efektif, siapa yang bertanggungjawab melaksanakan sebuah keputusan harus mengetahui apakah mereka dapat melakukannya. Sesungguhnya implementasi kebijakan harus diterima oleh semua personel dan harus mengerti secara jelas dan akurat mengenahi maksud dan tujuan kebijakan.


(43)

Jika para aktor pembuat kebijakan telah melihat ketidakjelasan spesifikasi kebijakan sebenarnya mereka tidak mengerti apa sesunguhnya yang akan diarahkan. Para implemetor kebijakan bingung dengan apa yang akan mereka lakukan sehingga jika dipaksakan tidak akan mendapatkan hasil yang optimal. Tidak cukupnya komunikasi kepada para implementor secara serius mempengaruhi implementasi kebijakan.

2. Sumber-Sumber

Tidak menjadi masalah bagaimana jelas dan konsisten implementasi program dan bagaimana akuratnya komunikasi dikirim. Jika personel yang bertanggungjawab untuk melaksanakan program kekurangan sumberdaya dalam melakukan tugasnya. Komponen sumberdaya ini meliputi jumlah staf, keahlian dari para pelaksana, informasi yang relevan dan cukup untuk mengimplementasikan kebijakan dan pemenuhan sumber-sumber terkait dalam pelaksanaan program, adanya kewenangan yang menjamin bahwa program dapat diarahkan kepada sebagaimana yamg diharapkan, serta adanya fasilitas-fasilitas pendukung yang dapat dipakai untuk melakukan kegiatan program seperti dana dan sarana prasarana.

Sumberdaya manusia yang tidak memadahi (jumlah dan kemampuan) berakibat tidak dapat dilaksanakannya program secara sempurna karena mereka tidak bisa melakukan pengawasan dengan baik. Jika jumlah staf pelaksana kebijakan terbatas maka hal yang harus dilakukan meningkatkan


(44)

Untuk itu perlu adanya manajemen SDM yang baik agar dapat meningkatkan kinerja program. Ketidakmampuan pelaksana program ini disebabkan karena kebijakan konservasi energi merupakan hal yang baru bagi mereka dimana dalam melaksanakan program ini membutuhkan kemampuan yang khusus, paling tidak mereka harus menguasai teknik-teknik kelistrikan. Informasi merupakan sumber daya penting bagi pelaksanaan kebijakan. Ada dua bentuk informasi yaitu informasi mengenahi bagaimana cara menyelesaikan kebijakan/program serta bagi pelaksana harus mengetahui tindakan apa yang harus dilakukan dan informasi tentang data pendukung kepetuhan kepada peraturan pemerintah dan undang-undang. Kenyataan dilapangan bahwa tingkat pusat tidak tahu kebutuhan yang diperlukan para pelaksana dilapangan.

Kekurangan informasi/pengetahuan bagaimana melaksanakan kebijakan memiliki konsekuensi langsung seperti pelaksana tidak bertanggungjawab, atau pelaksana tidak ada di tempat kerja sehingga menimbulkan inefisien. Implementasi kebijakan membutuhkan kepatuhan organisasi dan individu terhadap peraturan pemerintah yang ada. Sumber daya lain yang juga penting adalah kewenangan untuk menentukan bagaimana program dilakukan, kewenangan untuk membelanjakan/mengatur keuangan, baik penyediaan uang, pengadaan staf, maupun pengadaan supervisor. Fasilitas yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan/program harus terpenuhi seperti kantor, peralatan, serta dana yang mencukupi. Tanpa fasilitas ini mustahil program dapat berjalan.


(45)

3. Disposisi

Salah satu faktor yang mempengaruhi efektifitas implementasi kebijakan adalah sikap implementor. Jika implemetor setuju dengan bagian-bagian isi dari kebijakan maka mereka akan melaksanakan dengan senang hati tetapi jika pandangan mereka berbeda dengan pembuat kebijakan maka proses implementasi akan mengalami banyak masalah. Ada tiga bentuk sikap/respon implementor terhadap kebijakan, kesadaran pelaksana, petunjuk/arahan pelaksana untuk merespon program kearah penerimaan atau penolakan, dan intensitas dari respon tersebut. Para pelaksana mungkin memahami maksud dan sasaran program namun seringkali mengalami kegagalan dalam melaksanakan program secara tepat karena mereka menolak tujuan yang ada didalamnya sehingga secara sembunyi mengalihkan dan menghindari implementasi program.Disamping itu dukungan para pejabat pelaksana sangat dibutuhkan dalam mencapai sasaran program. Dukungan dari pimpinan sangat mempengaruhi pelaksanaan program dapat mencapai tujuan secara efektif dan efisien.

Wujud dari dukungan pimpinan ini adalah menempatkan kebijakan menjadi prioritas program, penempatan pelaksana dengan orang-orang yang mendukung program, memperhatikan keseimbangan daerah, agama, suku, jenis kelamin dan karakteristik demografi yang lain. Disamping itu penyediaan dana yang cukup guna memberikan insentif bagi para pelaksana program agar mereka mendukung dan bekerja secara total dalam melaksanakan kebijakan/program.


(46)

4. Struktur Birokrasi

Birokrasi merupakan salah-satu institusi yang paling sering bahkan secara keseluruhan menjadi pelaksana kegiatan. Keberadaan birokrasi tidak hanya dalam struktur pemerintah, tetapi juga ada dalam organisasi-organisasi swasta, institusi pendidikan dan sebagainya. Bahkan dalam kasus-kasus tertentu birokrasi diciptakan hanya untuk menjalankan suatu kebijakan tertentu. Ripley dan Franklin dalam Winarno (2005:149-160) mengidentifikasi enam karakteristik birokrasi sebagai hasil pengamatan terhadap birokrasi di Amerika Serikat, yaitu:

a. Birokrasi diciptakan sebagai instrumen dalam menangani keperluan-keperluan publik (public affair).

b. Birokrasi merupakan institusi yang dominan dalam implementasi kebijakan publik yang mempunyai kepentingan yang berbeda-beda dalam setiap hierarkinya.

c. Birokrasi mempunyai sejumlah tujuan yang berbeda.

d. Fungsi birokrasi berada dalam lingkungan yang kompleks dan luas. e. Birokrasi mempunyai naluri bertahan hidup yang tinggi dengan begitu

jarang ditemukan birokrasi yang mati.

f. Birokrasi bukan kekuatan yang netral dan tidak dalam kendali penuh dari pihak luar.

Implementasi kebijakan yang bersifat kompleks menuntut adanya kerjasama banyak pihak. Ketika strukur birokrasi tidak kondusif terhadap implementasi suatu kebijakan, maka hal ini akan menyebabkan ketidakefektifan dan menghambat jalanya pelaksanaan kebijakan. Berdasakan penjelasan di atas,


(47)

maka memahami struktur birokrasi merupakan faktor yang fundamental untuk mengkaji implementasi kebijakan publik. Menurut Edwards III dalam Winarno (2005:150) terdapat dua karakteristik utama dari birokrasi yakni: ”Standard Operational Procedure (SOP) dan fragmentasi”.”Standard operational procedure (SOP) merupakan perkembangan dari tuntutan internal akan kepastian waktu, sumber daya serta kebutuhan penyeragaman dalam organisasi kerja yang kompleks dan luas”. (Winarno, 2005:150).

Ukuran dasar SOP atau prosedur kerja ini biasa digunakan untuk menanggulangi keadaan-keadaan umum diberbagai sektor publik dan swasta. Dengan menggunakan SOP, para pelaksana dapat mengoptimalkan waktu yang tersedia dan dapat berfungsi untuk menyeragamkan tindakan-tindakan pejabat dalam organisasi yang kompleks dan tersebar luas, sehingga dapat menimbulkan fleksibilitas yang besar dan kesamaan yang besar dalam penerapan peraturan.

Berdasakan hasil penelitian Edward III yang dirangkum oleh Winarno (2005:152) menjelaskan bahwa:

”SOP sangat mungkin dapat menjadi kendala bagi implementasi kebijakan baru yang membutuhkan cara-cara kerja baru atau tipe-tipe personil baru untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan. Dengan begitu, semakin besar kebijakan membutuhkan perubahan dalam cara-cara yang lazim dalam suatu organisasi, semakin besar pula probabilitas SOP menghambat implementasi. Namun demikian, di samping menghambat implementasi kebijakan SOP juga mempunyai manfaat. Organisasi-organisasi dengan prosedur-prosedur


(48)

perencanaan yang luwes dan kontrol yang besar atas program yang bersifat fleksibel mungkin lebih dapat menyesuaikan tanggung jawab yang baru daripada birokrasi-birokrasi tanpa mempunyai ciri-ciri seperti ini”.

Sifat kedua dari struktur birokrasi yang berpengaruh dalam pelaksanaan kebijakan adalah fragmentasi. Edward III dalam Winarno (2005:155) menjelaskan bahwa fragmentasi merupakan penyebaran tanggung jawab suatu kebijakan kepada beberapa badan yang berbeda sehingga memerlukan koordinasi. Pada umumnya, semakin besar koordinasi yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan, semakin berkurang kemungkinan keberhasilan program atau kebijakan.

Fragmentasi mengakibatkan pandangan-pandangan yang sempit dari banyak lembaga birokrasi. Hal ini akan menimbulkan konsekuensi pokok yang merugikan bagi keberhasilan implementasi kebijakan. Berikut hambatan-hambatan yang terjadi dalam fregmentasi birokrasi berhubungan dengan implementasi kebijakan publik (Budi Winarno, 2005:153-154):

”Pertama, tidak ada otoritas yang kuat dalam implementasi kebijakan karena terpecahnya fungsi-fungsi tertentu ke dalam lembaga atau badan yang berbeda-beda. Di samping itu, masing-masing badan mempunyai yurisdiksi yang terbatas atas suatu bidang, maka tugas-tugas yang penting mungkin akan terlantarkan dalam berbagai agenda birokrasi yang menumpuk”.

”Kedua, pandangan yang sempit dari badan yang mungkin juga akan menghambat perubahan. Jika suatu badan mempunyai fleksibilitas yang rendah dalam misi-misinya, maka badan itu akan berusaha mempertahankan esensinya


(49)

dan besar kemumgkinan akan menentang kebijakan-kebijakan baru yang membutuhkan perubahan”.

Membahas badan pelaksana suatu kebijakan, tidak dapat dilepaskan dari struktur birokrasi. Struktur birokrasi adalah karakteristik, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi berulang-ulang dalam badan-badan eksekutif yang mempunyai hubungan baik potensial maupun nyata dengan apa yang mereka miliki dalam menjalankan kebijakan. Van Horn dan Van Meter menunjukkan beberapa unsur yang mungkin berpengaruh terhadap suatu organisasi dalam implementasi kebijakan, yaitu:

a. Kompetensi dan ukuran staf suatu badan.

b. Tingkat pengawasan hirarkhis terhadap keputusan-keputusaan sub unit dan proses-proses dalam badan pelaksana

c. Sumber-sumber politik suatu organisasi (misalnya dukungan diantara anggota legislatif dan eksekutif)

d. Vitalitas suatu organisasi.

e. Tingkat organisasi “terbuka”, yaitu jaringa kerja komunikasi horizontal maupun vertikal secara bebas serta tingkat kebebasan yang secara relatif tinggi dalam komunikasi dengan individu-individu diluar organisasi.

f. Kaitan formal dan informal suatu badan dengan badan pembuat keputusan atau pelaksana keputusan.

Bila sumberdaya cukup untuk melaksanakan suatu kebijakan dan para implementor mengetahui apa yang harus dilakukan, implementasi masih gagal apabila struktur birokrasi yang ada menghalangi koordinasi yang diperlukan


(50)

dalam melaksanakan kebijakan. Kebijakan yang komplek membutuhkan kerjasama banyak orang, serta pemborosan sumberdaya akan mempengaruhi hasil implementasi. Perubahan yang dilakukan tentunya akan mempengaruhi individu dan secara umum akan mempengaruhi sistem dalam birokrasi.

D. Tinjauan Tentang Anak

Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin. (Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979, Pasal 1 Ayat 2). Anak adalah seseorang yang belum berusia delapan belas tahun, termasuk anak dalam kandungan. (Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002, Pasal 1 nomor 1)

Anak dalam aspek sosiologis :

Kedudukan anak dalam pengertian sosiologis memposisikan anak sebagi kelompok sosial yang berstatus lebih rendah dari masyarakat tempat lingkungannya berinteraksi. Pengertian anak dalam makna social ini lebih mengarahkan pada perlindungan kodrati karena keterbatasan-keterbatasan yang dimilki oleh si anak sebagain wujud untuk berekspresi sebagaimana orang dewasa (Fadilah, 2002: 35)

Anak dalam arti Ekonomi :

Status anak dalam pengertian ini dikelompokkan pada golongan yang non produktif kedudukan anak dalam bidang ekonomi merupakan elemen yang mendasar untuk menciptakan kesejahteraan anak dalam suatu konsep yang normatif, agar anak tidak menjadi korban (victima) dari ketidak mampuan ekonomikeluarga, masyarakat, bangsa dan Negara (Fadilah, 2002: 36)


(51)

Anak menurut Konveksi Hak Anak (KHA) :

Dalam Pasal 1 KHA, anak didefinisikan sebagai manusia yang umurnya belum mencapai 18 tahun, namun diberikan juga pengakuan terhadap batasan umur yang berbeda yang mungkin diterapakn dalam perundanagn nasional. Sehubungan dengan bayi dalam kandungan ibu, apakah masuk dalam kategori anak sebagaimana dimaksud dalam KHA. Ada beberapa pendapat mengenai hal ini, pendapat pertma menyatakan bahwa bayi yag berada dalam kandungan juga termasuk dalam kategori anak seperti yang dimaksud dalam KHA. Pendapat kedua menyatakan bahwa yang dimaksud dalam KHA, yakni anak terhitung sejak lahir hingga sebelum berumur 18 tahun.

Anak adalah seseorang yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun. Anak jalanan selanjutnya disebut anjal adalah anak berusia 0-18 tahun yang beraktivitas di jalanan antara 4-8 jam per hari. (Perda Kota Bandar Lampung Nomor 03 Tahun 2010)

E. Tinjauan Tentang Anak Jalanan

Menurut UNICEF (2007), anak jalanan adalah anak yang berusia kurang dari 16 tahun yang bekerja di jalan-jalan perkotaan, tanpa perlindungan dan mereka menghabiskan waktu dijalanan atau alasan mereka berada di jalanan. Anak jalanan merupakan anak laki-laki dan perempuan yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan dan tempat-tempat umum, seperti pasar, mall, terminal bis, stasiun kereta api, taman kota (Departemen Sosial RI, 2008).


(52)

Anak jalanan adalah salah satu masalah sosial yang kompleks dan bertalian dengan masalah sosial, terutama kemiskinan. Fenomena sosial yang saat ini terus mencemaskan dunia. Sebagian besar anak jalanan adalah remaja berusia belasan tahun. Tetapi tidak sedikit yang berusia di bawah 10 tahun. Anak jalanan bertahan hidup dengan melakukan aktivitas disektor informal, seperti menyemir sepatu, menjual koran, mencuci kendaraan, menjadi pemulung barang-barang bekas. Sebagian lagi mengemis, mengamen, dan bahkan ada yang mencuri, mencopet atau terlibat perdagangan sex. (Suharto, Edi, 2008)

Anak jalanan dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok (Departemen Sosial RI, 2008) yaitu:

1. Anak jalanan yang hidup atau tinggal di jalanan

Adalah anak-anak yang hidup dan tinggal di jalanan. Pada kelompok ini kebanyakan adalah anak-anak yang tidak lagi berhubungan dengan keluarganya, tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan tetap. Anak-anak pada kelompok ini mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

a. Putus hubungan atau lama tdak bertemu dengan orang tuanya minimal setahun yang lalu.

b. Berada di jalanan seharian dan meluangkan 8-10 jam untuk bekerja, sisanya untuk menggelandang.

c. Tidak bersekolah lagi.

d. Bertempat tinggal di jalanan dan tidur di sembarang tempat, seperti emperan toko, kolong jembatan dan lain-lain.


(53)

e. Pekerjaannya mengamen, mengemis, pemulung dan serabutan yang hasilnya untuk diri sendiri.

f. Rata-rata berusia dibawah 14 tahun.

2. Anak jalanan yang bekerja di jalanan

Adalah anak-anak yang bekerja di jalanan, yaitu anak-anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya di jalanan atau tempat-tempat umum untuk membantu ekonomi keluarganya. Pada kelompok ini anak-anak masih memiliki hubungan dengan anggota keluarganya dan sebagian masih duduk dibangku sekolah. Kelompok ini bercirikan:

a. Berhubungan tidak teratur dengan keluarganya, yakni pulang secara periodik misalnya seminggu sekali, sebulan sekali, dan tidak tentu, mereka umumnya berasal dari luar kota untuk bekerja di jalanan. b. Berada di jalanan 8-12 jam untuk bekerja dan sebagian lagi mencapai

16 jam.

c. Bertempat tinggal dengan cara mengontrak sendiri/bersama teman, dengan orang tua/saudara/di tempat kerjanya di jalanan. Tempat tinggal umumnya kumuh yang terdiri dari orang-orang sedaerah. d. Tidak bersekolah lagi.

e. Pekerjaannya menjual koran, pengasong, pencuci mobil, pemulung, penyemir sepatu, dan lain-lain. Bekerja merupakan kegiatan utama setelah putus sekolah terlebih diantara mereka harus membantu orang tuanya yang miskin, cacat/tidak mampu.


(54)

3. Anak-anak yang berpotensi menjadi anak jalanan

Adalah anak-anak yang berpotensi untuk menjadi anak jalanan, yaitu mereka yang sering berhubungan dengan jalanan misalnya mereka yang menjual koran di jalanan. Ciri dari anak yang termauk kelompok ini adalah:

a. Setiap hari bertemu dengan orang tuanya (teratur). b. Berada di jalanan sekitar 4-6 jam untuk bekerja. c. Tinggal dan tidur bersama orang tua atau walinya. d. Masih bersekolah.

e. Pekerjaannya menjual koran, pengamen, menjual alat-lat tulis, menjual kantong plastik, penyemir sepatu untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan orang tuanya.


(55)

III. METODE PENELITIAN

A.Tipe Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan prosedur analisis statistik atau cara kuantifikasi lainnya. Menurut Bogdan dan Taylor (Moleong, 2005:4) penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Sedangkan menurut Moleong (2005:5) penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya perilaku persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain, secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.

Selanjutnya, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Moleong (2005: 11) mengatakan bahwa pada metode deskriptif metode yang digunakan adalah berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Hal tersebut disebabkan oleh adanya penerapan metode kualitatif.


(56)

Semua yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang sudah diteliti. Data tersebut berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, foto, videotape, dokumen pribadi, catatan atau memo, dan dokumen resmi lainnya.

Dalam penelitian ini, peneliti mendeskripsikan dan menganalisis Implementasi Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Kota Bandar Lampung. Serta faktor-faktor kendala-kendala dan pendukung yang dihadapinya, dengan mendapatkan data-data yang factual, oleh karena itu, penyajian data dan informasi dideskripsikan dalam bentuk kalimat yang lebih bermakna dan mudah dipahami.

B. Fokus Penelitian

Fokus penelitian dalam penelitian kualitatif sangat penting yaitu untuk memberikan batasan dalam pengumpulan data, sehingga dengan pembatasan ini peneliti memfokuskan penelitian terhadap masalah-masalah yang menjadi tujuan penelitian. Selain itu fokus penelitian juga memegang peranan penting dalam memandu dan mengarahkan jalannya suatu penelitian. Dengan fokus penelitian data yang melimpah ruah dapat dihindari, dan dengan arahan suatu fokus, maka peneliti akan mudah menentukan data mana yang diperlukan dan dikumpulkan serta data mana yang harus dibuang. Dalam penentuan fokus penelitian harus memperhatikan keterkaitannya dalam perumusan masalah yang ada, sebab keduanya saling berhubungan.


(57)

Adapun fokus dalam penelitian ini meliputi:

1. Prakondisi-prakondisi yang diperlukan sehingga suatu implementasi kebijakan dikatakan berhasil dengan indikator, yaitu:

a. Komunikasi b. Sumber-sumber

c. Kecenderungan-kecenderungan (disposisi) d. Struktur birokrasi

2. Kendala-kendala dan pendukung dalam pelaksanaan implementasi Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tahun 2009.

C. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian merupakan tempat dimana peneliti melakukan penelitian terutama dalam menangkap fenomena atau peristiwa yang sebenarnya terjadi dari objek yang diteliti dalam rangka mendapatkan datat-data penelitian yang akurat. Dengan mempertimbangkan hal di atas dan membatasi penelitian, maka pnelitian ini akan dilakukan di Kota Bandar Lampung. Penelitian ini terjun langsung ke lapangan guna memperoleh data-data primer dan data sekunder. Adapun lokasi dalam penelitian ini adalah Dinas Sosial, Satpol PP, sektor swasta serta LSM sebagai unit analisis adalah karena beberapa hal, yaitu sebagai berikut:

1. Kota Bandar Lampung merupakan ibukota provinsi Lampung dan sebagai pusat pemerintahan Provinsi Lampung yang memiliki pertumbuhan pembangunan yang begitu pesat, seperti pambangunan gedung-gedung


(58)

yang semakin menjamur, pembangunan jalan, dan lain sebagainya. Hal ini berbanding kontras dengan masih banyaknya anak jalanan di tengah kota. 2. Dinas Sosial dan Satpol PP sebagai institusi yang secara langsung

ditugaskan oleh Pemerintah dalam penanganan anak jalanan.

3. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), yang dalam hal ini yaitu LADA (Lembaga Advokasi Anak)

Beberapa hal yang telah dipaparkan diatas merupakan dasar utama peneliti menentukan lokasi penelitian dan unit analisis, disamping pertimbangan lainnya yaitu pertimbangan waktu, tenaga, dan biaya.

.

D. Jenis dan Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa data primer dan data sekunder.

1. Data Primer

Menurut Hasan (Suharyono, 2009: 46) data primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan langsung di lapangan oleh orang yang melakukan penelitian atau yang bersangkutan yang memerlukannya. Data primer dalam penelitian ini diperoleh peneliti melalui proses wawancara. Proses wawancara dilakukan dengan beberapa informan yang terkait di Dinas Sosial, Sat Pol PP Kota Bandar Lampung. Karena peneliti menggunakan teknik wawancara dalam pengumpilan data, maka sumber data disebut informan atau responden, yaitu orang yang menjawab pertanyaan-pertanyaan dari peneliti Arikunto (2006: 227)


(59)

Yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah:

1. Akuan Efendi selaku Kepala Dinas Sosial Kota Bandar Lampung 2. Mujarin Daud selaku Kepala Bidang Rehabilitasi Dinas Sosial Kota

Bandar Lampung

3. Cik Raden selaku Kepala Dinas Kesatuan Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung

4. Herman Karim, selaku Kepala Seksi Kesamaptaan, Ketentraman dan Ketertiban Umum Kesatuan Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung.

5. Haristari selaku Kepala seksi Pembinaan Masyarakat Kesatuan Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung

6. Faridah selaku staf bagian umum dan kepegawaian Dinsos 7. Dede Suhendri selaku Lembaga Advokasi Anak (LADA) 8. Sakilayati selaku Kepala Sub bagian Dinsos

2. Data sekunder, yaitu data-data tertulis yang digunakan sebagai informasi pendukung dalam analisis data primer. Data ini pada umumnya berupa dokumen tertulis yang terkait dengan data-data resmi mengenai perlindungan anak.

A.Proses dan Teknik Pengumpulan Data

Pada tahap proses pengumpulan data yang telah dilakukan dalam penelitian ini terdiri dari beberapa tahap kegiatan, diantaranya:


(60)

Pada tahap awal penelitian ini, peneliti mendatangi lokasi penelitian dan beberapa tempat yang berhubungan dengan data-data sekunder penelitian seperti Dinas Sosial dengan Satpol PP Kota Bandar Lampung yang merupakan unsur dari pemerintah yang menjalankan kebijakan dalam pembinaan dan penertiban anak jalanan. Agar proses ini berjalan lancer peneliti berusaha seluwes mungkin didalam menghubungi para informan. 2. Ketika berada dilokasi penelitian

Upaya dalam mendapatkan data yang valid, peneliti berusaha melakukan interaksi naturalistik dengan para informan dan berusaha mendapatkan informasi yang lengkap dan mengungkap makna perilaku para informan. Oleh karena itu peneliti harus bersikap sebijak mungkin sehingga tidak menyinggung perasaan informan dengan cara menjalin hubungan pribadi secara formal maupun informal.

3. Mengumpulkan data

Pada tahap ini ada tiga macam teknik pengumpulan data yang digunakan, yaitu:

a. Wawancara mendalam (in depth interview) teknik ini digunakan untuk menjaring data-data primer yang berkaitan dengan fokus penelitian. Wawancara yang teraplikasi dalam penelitian ini dilakukan secara terstruktur dengan menggunakan penduan wawancara (interview guide). Instrument yang digunakan untuk melakuakan wawancara ini meliputi

tape recorder dan catatan kecil dari peneliti. Penelitian ini yang diwawancara adalah stakeholder yang dilibatkan dalam perlindungan anak Kota Bandar Lampung.


(61)

b. Pengamatan (observasi). Teknik ini digunakan untuk merekam data-data primer berupa peristiwa atau situasi sosial tertentu pada lokasi penelitian yang berhubungan dengna fokus penelitian. Adapun observasi yang peneliti lakukan yaitu mengamati secara langsung bagaimana dengan penanganan yang dilakukan oleh pemerintah dalam pembinaan anak jalanan di Kota Bandar Lampung agar berpedoman dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

c. Dokumentasi. Teknik ini digunakan untuk menghimpun berbagai data sekunder yang memuat informasi tertentu yang bersumber dari dokumen-dokumen tertulis. Adapun data dokumen-dokumentasi yang digunakan penulis adalah dokumen hasil Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dokumen-dokumen yang berkaitan dengan pembinaan anak jalanan dari pemerintah.

B.Teknik Analisis Data

Analisis data kualitatif menurut Bogdan dan Biklen (Moleong, 2005: 248) adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.

Menurut Mathew.B. Miles dan Huberman (2008: 47), analisis data terdiri dari tiga alur kegiatan yang bersamaan yaitu, reduksi data, penyajian data dan


(62)

penarikan kesimpulan. Hal ini dijelaskan dalam gambar mengenai komponen-komponen analisis data model interaktif:

1. Reduksi data, yaitu proses pemilihan, pemusatan perhatian, penyederhanaan dan tranformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Reduksi data berlangsung secara terus menerus selama proses penelitian berlangsung. Peneliti melakukan reduksi data dengan mengumpulkan hasil wawancara dari para informan atau responden, mengumpulkan data yang telah ada, mengumpulkan data/ hasil selama turun lapang, kemudian memilih data yang perlu disimpan dan membuang data yang dianggap tidak diperlukan.

2. Penyajian data, yaitu usaha untuk menampilkan sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Hal ini dapat memudahkan peneliti untuk melihat data secara keseluruhan atau bagian tertentu dalam penelitian.

3. Penarikan kesimpulan, yaitu melakukan verifikasai secara terus menerus selama proses penelitian berlangsung. Peneliti menganalisis data yang ada kemudian menarik kesimpulan yang sifatnya tentatif. Setelah penelitian selesai barulah peneliti menarik kesimpulan secara keseluruhan yang menggambarkan kondisi seseungguhnya yang ada di lapangan.

C. Teknik Keabsahan Data

Untuk menetapkan keabsahaan data maka diperlukan teknik pemeriksaan. Menurut Moleong (2005: 324) terdapat empat kriteria keabsahan data, yaitu:


(63)

1. Derajat kepercayaan (credibilty),

Pada dasarnya derajat kepercayaan (kredibilitas) menggantikan konsep validitas internal dari nonkualitatif. Kriteria ini berfungsi: pertama, melaksanakan inkuiri sedemikian rupa sehingga tingkat kepercayaan penemuannya dapat dicapai; kedua, mempertunjukan derajat kepercayaan hasil-hasil penemuan dengan jalan pembuktian oleh peneliti pada kenyataan ganda yang sedang diteliti. Kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan oleh peneliti untuk memeriksa kredibilitas atau derjat kepercayaan antara lain:

a. Triangulasi

Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Teknik triangulasi yang paling banyak digunakan ialah pemeriksaan melalui sumber lainnya. Denzin (dalam Meleong 2005: 330) membedakan empat macam triangulasi sebagai teknik pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik, teori. Peneliti menggunakan teknik keabshan data triangulasi, karena triangulasi merupakan cara terbaik untuk menghilangkan perbedaan-perbedaan konstruksi kenyataan yang ada dalam konteks suatu studi sewaktu mengumpulkan data tentang berbagai kejadian dan hubungan dari berbagai pandangan. Dengan kata lain, peneliti dapat

recheck temuannya dengan jalan membandingkannya dengan berbagai sumber, metode atau teori.


(64)

b. Kecukupan referensial

Mengumpulkan berbagai bahan-bahan, catatan atau rekaman-rekaman yang dapat digunakan sebagai referensi dan patokan untuk menguji sewaktu diadakan analisis dan penafsiran data.

2. Keteralihan (transferability)

Menyatakan bahwa generalisasi suatu penemuan dapat berlaku atau diterapkan pada semua konteks dalam populasi yang sama atas dasar penemuan yang diperoleh pada sampel yang secara representatif mewakili populasi itu.

3. Kebergantungan (dependability)

Kebergantungan merupakan substituasi reliabilitas dalam penelitian nonkualitatif. Reliabilitas merupakan syarat bagi validitas. Dalam penelitian kualitatif, uji kebergantungan dilakukan dengan pemeriksaan terhadap keseluruhan proses penelitian. Sering terjadi peneliti tidak melakukan pemeriksaan terhadap keseluruhan proses penelitian ke lapangan, tetapi bisa memberikan data. Peneliti ini perlu di uji

dependability-nya. Kalau proses penelitiannya tidak dilakukan tetapi datanya ada, maka penelitian ini tidak dependable.

4. Kepastian (confirmabilty).

Kriterium kepastian berasal dari konsep objektivitas menurut nonkualitatif. Nonkualitatif menetapkan objektivitas dari segi kesepakatan antar subjek.menetapkan objektivitas dari segi kesepakatan antar subjek. Dapat


(65)

dikatakan bahwa pengalaman yang disepakati oleh beberapa atau banyak orang barulah dikatakan objektif. (Moleong, 2005: 325).


(1)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka kesimpulannya adalah sebagai berikut:

1. Dalam implementasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak di Kota Bandar Lampung berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 03 Tahun 2010 Tentang Pembinaan anak jalanan masih belum efektif dalam mengatasi anak jalanan yang terjaring razia dalam penangganannya

Dilihat dari analisis model implementasi milik Edwards III, yaitu prankondisi-prankondisi dalam proses implementasi penataan komunikasi kebijakan sudah dapat dikatakan efektif, baik memadai dalam mengkomunikasikan kebijakan antara para pelaksana (implementor), target group (anak jalanan) dan unsur lainnya. Namun bila dilihat dari sumber-sumber, dapat dikatakan belum efektif terkait sumber daya anggaran, fasilitas/peralatan maupun dalam informasinya, terkait hal ini belum tersedianya penampungan anak jalanan dalam proses implementasi. Dilihat dari strukutur birokrasi implementasi dapat dikatakan cukup


(2)

86

2. efektif. Kemudian dilhat dari disposisi kebijakan yakni fragmentasi dan standar operating procedure (SOP) sudah cukup efektif sesuai dengan apa yang menjadi tujuan pembinaan anak jalanan.

3. Pihak-pihak yang kepentingannya dipengaruhi oleh kebijakan perlindungan anak yaitu Pemerintah Kota Bandar Lampung mempunyai kepentingan-kepentingan masimng-masing yang saling berkaitan dalam proses impelementasi perlindungan anak

4. Beberapa faktor yang mempengaruhi implementasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dapat disederhanakan beberapa poin sebagai berikut:

a. Faktor-faktor kendala

1. Minimnya dana dan fasilitas yang kurang memadai menjadi faktor penghambat dalam implementasi kebijakan perlindungan anak. ketiadaan dana untuk melengkapi sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam penampunagan anak jalanan mengambarkan lemahnya belum dapat berjalan sesuai tujuan.

2. Kendaraan Transportasi yang kurang memadai dalam penangganan anak jalanan.

b. Faktor-faktor Pendukung:

1. Disposisi yang positif dari para staff dan pihak pelaksana menjadi faktor pendukung bagi terlaksananya implementasi kebijakan


(3)

perlindungan anak yang masuk kedalam variabel komunikasi antar organisasi beserta kegiatan implementasinya.

2. Komunikasi dengan pihak-pihak yang terkait dengan implementasi kebijakan masih kurang terkoordinasi dengan baik sehingga kegiatan yang dilakukan tidak berjalan dengan efektif.

3. Sebagai negara yang bijak maka selayaknya hal tersebut dijadikan sebuah peringatan kepada bangsa ini, agar senantiasa menjaga generasi mudanya dari segala kemungkinan buruk yang mungkin terjadi. Pembinaan terhadap generasi muda harus selalu dilaksanakan dengan sebaik-baiknya demi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan fisik dan mental serta perkembangan sosialnya.

B. Saran

1. Perlunya dukungan sumberdaya yang memadai baik dalam hal dana, informasi berupa pedoman (petunjuk pelaksana dan petunjuk teknis) serta fasilitas yakni ruang khusus yang disediakan sebagai tempat penampungan anak jalanan yang permanen

2. Dinas Sosial Kota Bandar lampung sebagai wadah organisasi yang bertanggung jawab menangani permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan masayarakat harus meningkatkan kinerjanya dalam penertiban anak jalanan secara berkala. Serta dapat meningkatkan kerjasama dengan pihak-pihak yang terlibat dalam kebijakan perlindungan


(4)

88

anak dengan elemen masyarakat (LSM dan Akademisi) dapat terakomodasi dengan baik dalam proses pelaksanaan pembinaan anak jalanan.

3. Oleh karena itu agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental, maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan yang adil.


(5)

Referensi Buku:

Chatib, Munif. 2009. Sekolahnya Manusia. Bandung: Kaifa

Farhana. 2010. Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

Fatahillah. 2011. Mediasi Perkara KDRT Teori dan Praktek Di Pengadilan Indonesia. Bandung: Mandar Maju.

Gunawan, Adi W. 2011. Born to Be a Genius. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Masbukin, Imam. 2012. Pintar Mengatasi Masalah Tumbuh Kembang Anak.

Jogjakarta: Flashbooks.

Masbukin, Imam. 2012. Mengatasi Anak Mogok Sekolah + Malas Belajar. Jogjakarta: Laksana.

Nashriana. 2012. Perlindungan Hukum Pidana bagi anak di Indonesia. Jakarta:2012.

Pandika, Rusli.2012. Hukum Pengangkatan Anak. Jakarta:Sinar Grafika.

Rohinah. 2012. Mengembangkan Karakter Anak Secara Efektif Di Sekolah dan Di Rumah. Jogjakarta: Pedagogia.

Soewadji, Jusuf. 2012. Pengantar Metodologi Penelitian. Jakarta. Mitra Wacana Media.

Supeno, Hadi. 2010. Kriminalisasi Anak. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Waluyadi. 2009. Hukum Perlindungan Anak. Bandung: CV. Mandar Maju. Wibhowo, Christine. 2012. Anak, Sang Peniru Andal. Jakarta: PT Elex Media

Komputindo.

Witanto. 2012. Hukum Keluarga Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin. Jakarta: Pustakaraya.


(6)

Referensi Perundang-undangan:

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.


Dokumen yang terkait

Analisis Yuridis Pengangkatan Anak Antar Warga Negara Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Juncto Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Peraturan Pemerin

0 0 2

SINKRONISASI HAK-HAK ANAK MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1979 TENTANG KESEJAHTERAAN ANAK DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK.

0 0 16

Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

0 0 27

uu no 23 tahun 2003 perlindungan anak

1 1 14

pp no 54 tahun 2007 tentang pengangkatananak2

0 0 13

PENJELASANATAS UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

0 0 18

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK PENGGUNA NARKOTIKA DIHUNBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 JO. UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK | Hermana | Jurnal Ilmiah Ga

0 0 16

A. Pendahuluan - PERLINDUNGAN ANAK DARI MEDIA TELEVISI DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

0 0 13

ADVOKASI BP3AKB TERHADAP ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK JO UNDANG- UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

0 0 12

ADVOKASI BP3AKB TERHADAP ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK JO UNDANGUNDANG NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK - Uni

0 0 47