Penanganan Kasus Hernia Inguinalis pada Anjing mix Pomeranian.

PENANGANAN KASUS HERNIA INGUINALIS
PADA ANJING MIX POMERANIAN

Oleh
Luh Made Sudimartini
I Wayan Nico Fajar Gunawan
I Wayan Wirata

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Anjing merupakan salah satu hewan kesayangan yang banyak dipelihara
oleh manusia. Anjing banyak memberi manfaat pada manusia salah satunya bisa
menjadi teman, penjaga rumah dan ternak, pemburu, penyelamat, dan sebagai
pelacak di kepolisian. Manfaat anjing sangatlah banyak bagi manusia maka dari

itu kesehatan anjing-anjing harus dijaga. Penyakit pada anjing bisa didapat dari
faktor keturunan (herediter) dan penyakit yang diperoleh dari luar, misalkan
penyakit yang disebabkan virus, bakteri, dan jamur (Slatter, 2003).
Penyakit herediter merupakan penyakit atau gangguan yang secara genetik
diturunkan dari induk

kepada keturunannya. Penyakit-penyakit tersebut

disebabkan oleh mutasi atau cacat dalam gen atau struktur kromosom yang dapat
turun-temurun. Penyakit yang bersifat herediter banyak terjadi pada anjing
meskipun tidak berbahaya terhadap keselamatan anjing, namun dapat menurunkan
aktivitas anjing. Salah satu dari kelainan anatomi yang bersifat herediter adalah
hernia. Hernia merupakan kondisi abnormal yang disebabkan oleh protursi atau
penonjolan keluar dari organ visceral melalui celah atau lubang menuju rongga
tubuh yang lain. Hernia dapat dikenali dari adanya tiga ciri utama yaitu cincin
hernia, kantung hernia yang terdiri dari peritoneum dan isi hernia berupa lipatan
usus halus atau bagian dari uterus (Knudson, 1960). Hernia kerap ditemukan pada
anjing serta dapat mengganggu pertumbuhan bahkan dapat menyebabkan
kematian. Salah jenis hernia yang umum ditemukan pada anjing adalah hernia
inguinalis (Budhi, 2011).

Hernia inguinalis terjadi akibat organ viscera masuk ke dalam kantung
hernia melalui kanalis inguinalis. Jenis hernia ini disebabkan karena faktor
kongenital dimana pada kanalis inguinalis tidak tertutup dengan sempurna ketika
proses penyatuan peritoneum. Hernia inguinalis pada anjing dapat ditangani
dengan melakukan tindakan bedah. Pembedahan dilakukan untuk melakukan
reposisi terhadap organ visceral yang terjebak di kanalis inguinalis menuju rongga

1

abdomen. Penutupan cincin hernia juga mutlak dilakukan untuk mencegah portusi
kembali dari organ visceral. Manajeman pasca pembedahan dilakukan untuk
mempercepat kesembuhan dan mencegah adanya infeksi (Hartiningsih, 1999).
1.2 Tujuan
Tujuan daripada penulisan artikel ilmiah ini adalah untuk mengetahui
bagaimana cara mendiagnosa, prosedur pembedahan dan perawatan pasca
pembedahan penyakit hernia inguinalis pada anjing.
1.3 Manfaat
Memberi

informasi


sekaligus

sebagai

sumber

referensi

dalam

mendiagnosa, prosedur pembedahan dan perawatan pasca pembedahan penyakit
hernia inguinalis pada anjing.

2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1


Hernia Inguinalis
Hernia adalah suatu persembulan organ visceral abdominal melalui suatu

lubang (gerbang), masuk ke dalam suatu kantong yang terdiri dari peritoneum,
tunika flava, dan kulit (Sudisma et al., 2006). Hernia terdiri dari kantung hernia,
isi hernia, dan cincin hernia (Foster dan Smith, 2007). Berbagai macam hernia
menurut lokasinya menurut Hines (2012), antara lain : hernia abdominalis (hernia
ventralis, paracostral, umbilikalis, dan inguinalis), hernia diafragmatika, hernia
perianalis, dan hernia scrotalis. Hernia dapat terjadi secara kongenital ataupun
dapatan. Menurut ukuran hernia terdapat dua macam jenis hernia, yakni hernia
kecil dan hernia besar. Hernia dikatakan kecil apabila ukuran lubang hernia tidak
lebih dari 2 cm, tidak berpengaruh pada kesehatan dan aktivitas anjing, serta
penanganannya tidak perlu dilakukan operasi. Sedangkan hernia besar adalah
hernia yang ukuran lubangnya lebih dari 2 cm, dapat mempengaruhi kesehatan
dan aktivitas anjing, serta memerlukan penanganan untuk mengatasi hernia
tersebut.
2.1.1

Etiologi

Hernia inguinalis merupakan protursi atau penonjolan organ viscera pada

kantung hernia melalui kanalis inguinalis. Organ visceral masuk melalui kanalis
inguinalis yang tidak tertutup sempurna ketika peritoneum dan abdomen menutup.
Pada hewan jantan kondisi ini kerap terjadi saat testis turun melalui kanalis
inguinal. Hernia inguinalis dibedakan menjadi hernia inguinal direct dan indirect.
Hernia inguinal direct umumnya terjadi pada hewan jantan sedangkan pada hewan
betina dapat terjadi keduanya (Slater, 2003). Pada hernia inguinalis indirect,
kantung hernia melalui annulus inguinalis eksterna menuju inguinalis interna.
Sedangkan pada hernia inguinalis direct kantung hernia terletak di medial dari
anulus inguinalis interna.

3

2.1.2

Gejala Klinis
Tanda klinis dari hernia inguinalis pada anjing adalah berupa tonjolan

unilateral atau bilateral pada bagian lipatan paha dengan konsistensi yang kenyal.

Bila dipalpasi lebih dalam akan terasa cincin hernia yang terletak pada bagian
unguinal. Rasa sakit yang timbul tergantung dari tingkat keparahan hernia.
2.1.3

Diagnosa
Diagnosa dapat diteguhkan dengan melihat tanda klinis berupa adanya

cincin hernia, kantung hernia dan isi hernia.
2.1.4

Penanganan
Hernia harus segera ditangani sedini mungkin. Hernia dengan cincin yang

lebar menyebabkan organ visceral yang keluar dari rongga abdomen semakin
banyak. Hal ini dapat menimbulkan kematian bila berlangsung dalam waktu lama.
Hernia inguinalis dapat ditangani dengan melakukan pembedahan untuk
mereposisi dan menutup cincin hernia.
2.2

Kesembuhan Luka

Penyembuhan luka merupakan suatu proses yang kompleks karena

berbagai kegiatan bio-seluler, bio-kimia terjadi berkesinambungan. Penggabungan
respon vaskuler, aktivitas seluler dan terbentuknya bahan kimia sebagai substansi
mediator di daerah luka merupakan komponen yang saling terkait pada proses
penyembuhan luka. Besarnya perbedaan mengenai penelitian dasar mekanisme
penyembuhan luka dan aplikasi klinik saat ini telah dapat diperkecil dengan
pemahamam dan penelitian yang berhubungan dengan proses penyembuhan luka
dan pemakaian bahan pengobatan yang telah berhasil memberikan kesembuhan.
Penyembuhan

luka

melibatkan

integrasi

proses

fisiologis.


Sifat

penyembuhan pada semua luka sama, dengan variasinya bergantung pada lokasi,
keparahan, dan luasnya cedera. Kemampuan sel dan jaringan melakukan
regenerasi atau kembali ke struktur normal melalui pertumbuhan sel juga
mempengaruhi penyembuhan luka (Morris, 1995).
Tubuh secara normal akan berespon terhadap cedera dengan jalan “proses
peradangan “yang dikarakteristikan dengan lima tanda utama : bengkak

4

(swealling), kemerahan (redness), panas (heat), nyeri (pain), dan kerusakan fungsi
( impaired function). Proses penyembuhan mencakup beberapa fase:
2.2.1. Fase inflamasi
Fase inflamasi adalah adanya respon vaskuler dan seluler yang terjadi
akibat perlukaan yang terjadi pada jaringan lunak. Tujuan yang hendak dicapai
adalah menghentikan perdarahan dan membersihkan area luka dari benda asing,
sel-sel mati dan bakteri untuk mempersiapkan dimulainya proses penyembuhan.
Pada awal fase ini kerusakan pembuluh darah akan menyebabkan keluarnya

platelet yang berfungsi sebagai homeostasis. Platelet akan menutupi vaskuler yang
terbuka (clot) dan juga mengeluarkan “substansi vasokonstriksi“ yang
mengakibatkan pembuluh darah kapiler vasokonstriksi. Selanjutnya terjadi
penempelan endotel yang akan mentup pembuluh darah. Periode ini berlangsung
5-10 menit dan setelah itu akan terjadi vasodilatasi kapiler akibat stimulasi saraf
sensori lokal (sensory nerve ending), local reflex action dan adanya substansi
vasodilator (histamine, bradikinin, serotonin, dan sitokinin). Histamin juga
menyebabkan permeabilitas vena, sehingga cairan plasma keluar dari pembuluh
darah dan masuk ke daerah luka dan secara klinis terjadi oedema jaringan, dan
keadaan lingkungan tersebut menjadi asidosis. Secara klinis fase inflamasi ini
ditandai dengan: eritema, hangat pada kulit, oedema dan rasa sakit yang
berlangsung sampai hari ke-3 atau ke-4.
2.2.2. Fase Proliferatif
Proses kegiatan seluler yang penting pada fase ini adalah memperbaiki dan
menyembuhkan luka dan ditandai dengan proliferasi sel. Peran fibroblas sangat
besar pada proses perbaikan yaitu bertanggung jawab pada persiapan
menghasilkan produk struktur protein yang akan digunakan selama proses
reonstruksi jaringan. Pada jaringan lunak yang normal (tanpa perlukaan),
pemaparan sel fibroblas sangat jarang dan biasanya bersembunyi di matriks
jaringan penunjang. Sesudah terjadi luka,


fibroblas akan aktif bergerak dari

jaringan sekitar luka ke dalam daerah luka, kemudian akan berkembang
(proliferasi) serta mengeluarkan beberapa substansi (kolagen, elastin, hyaluronic
acid, fibronectin, dan proteoglycans) yang berperan dalam membangun

5

(rekontruksi) jaringan baru. Fungsi kolagen yang lebih spesifik adalah membentuk
cikal bakal jaringan baru dan dengan dikeluarkannya substrat oleh fibroblas,
memberikan pertanda bahwa makrofag, pembuluh darah baru dan juga fibroblas
sebagai kesatuan unit dapat memasuki kawasan luka . sejumlah sel dan pembuluh
darah baru yang tertananm didalam jaringan baru tersebut disebut sebagai jaringan
“granulasi” .
Fase profileferasi akan berakhir jika epitel dermis dan lapisan kolagen
telah terbentuk, terlihat proses kontraksi dan akan dipercepat oleh berbagai growth
faktor yang dibentuk oleh makrofag dan platelet.
2.2.3. Fase Destruktif
Fase destruktif merupakan fase pembersihan jaringan yang mati dan yang

mengalami

devitalisasi

oleh

leukosit

polimorfonuklear

dan

makrofag.

Pembersihan terhadap jaringan mati yang mengalami devitalisasi dan bakteri oleh
polimorf dan makrofag. Polimorf menelan dan menghancurkan bakteri. Tingkat
aktivitas polimorf yang tinggi hidupnya singkat saja dan penyembuhan dapat
berjalan terus tanpa keberadaan sel tersebut. Meski demikian, penyembuhan
berhenti bila makrofag mengalami deaktivasi. Sel-sel tersebut tidak hanya mampu
menghancurkan bakteri dan mengeluarkan jaringan yang mengalami divitalisasi
serta fibrin yang berlebihan, tetapi juga mampu merangsang pembentukkan
fibroblas, yang melakukan sintesa struktur protein kolagen dan menghasilkan
sebuah faktor yang dapat merangsang angiogenesis.
2.2.4. Fase maturasi
Fase ini dimulai pada minggu ke-3 setelah perlukaan dan berakhir sampai
kurang lebih 12 bulan. Tujuan dari fase maturasi adalah : menyempurnakan
terbentuknya jaringan baru menjadi jaringan penyembuhan yang kuat dan
bermutu. Fibroblas sudah mulai meninggalkan jaringan granulasi, warna
kemerahan dari jaringan mulai berkurang karena pembuluh mulai regresi dan serat
fibrin dari kolagen bertambah banyak untuk memperkuat jaringan parut. Kekuatan
dari jaringan parut akan mencapai puncaknya pada minggu ke 10 setelah
perlukaan.

6

Untuk mencapai penyembuhan yang optimal diperlukan keseimbangan
antara kolagen yang produksi dengan yang dipecahkan. Kolagen yang berlebihan
akan terjadi penebalan jaringan parut atau hypertrophic scar, sebaliknya produksi
yang berkurang akan menurunkan kekuatan jaringan parut dan luka akan selalu
terbuka (Baxter, 1990).
Luka dikatakan jika terjadi kontinuitas lapisan kulit dan kekuatan jaringan
parut mampu atau tidak mengganggu untuk melakukan aktivitas normal.
Meskipun proses penyembuhan luka sama bagi setiap penderita, namun outcome
atau hasil yang dicapai sangat tergantung pada kondisi biologis masing-masing
individu, lokasi serta luasnya luka.
2.3 Faktor yang Mempengaruhi Kesembuhan Luka
Faktor yang mempengaruhi kesembuhan luka yaitu: 1) Usia, semakin tua
hewan maka akan menurunkan kemampuan penyembuhan jaringan; 2) Infeksi,
infeksi tidak hanya menghambat proses penyembuhan luka tetapi dapat juga
menyebabkan kerusakan pada jaringan sel penunjang, sehingga akan menambah
ukuran dari luka itu sendiri, baik panjang maupun kedalaman luka; 3)
Hipovolemia, kurangnya volume darah akan mengakibatkan vasokonstriksi dan
menurunnya ketersediaan oksigen dan nutrisi untuk penyembuhan luka; 4)
Hematoma, hematoma merupakan bekuan darah. Seringkali darah pada luka
secara bertahap diabsorbsi oleh tubuh masuk kedalam sirkulasi. Tetapi jika
terdapat bekuan yang besar hal tersebut memerlukan waktu untuk dapat diabsorbsi
tubuh, sehingga menghambat proses penyembuhan luka; 5) Benda asing, benda
asing seperti pasir atau mikroorganisme akan menyebabkan terbentuknya suatu
abses sebelum benda tersebut diangkat. Abses ini timbul dari serum, fibrin,
jaringan sel mati dan lekosit (sel darah merah), yang membentuk suatu cairan
yang kental yang disebut dengan nanah (“Pus”); 6) Iskemia, iskemia merupakan
suatu keadaan dimana terdapat penurunan suplai darah pada bagian tubuh akibat
dari obstruksi dari aliran darah. Hal ini dapat terjadi akibat dari balutan pada luka
terlalu ketat. Dapat juga terjadi akibat faktor internal yaitu adanya obstruksi pada
pembuluh darah itu sendiri; 7) Diabetes, hambatan terhadap sekresi insulin akan
mengakibatkan peningkatan gula darah, nutrisi tidak dapat masuk ke dalam sel.

7

Akibat hal tersebut juga akan terjadi penurunan protein-kalori tubuh; 8)
Pengobatan,

·obat-obatan seperti

peradangan

normal

tubuh

steroid

terhadap

mengakibatkan perdarahan.

8

dapat

cedera,

menurunkan mekanisme
obat

Antikoagulan

dapat

BAB III
MATERI DAN METODE

3.1 Materi
3.1.1 Hewan
Hewan yang digunakan sebagai kasus adalah anjing jenis pomeranian
jantan umur 4 tahun dengan bobot tubuh 6,5 kg. Tanda klinis yang terlihat adalah
berupa benjolan dengan konsistensi lembek pada bagian inguinal kanan hingga
bagian skrotum.
3.1.2 Alat-alat
Pinset anatomis, pinset sirurgis, gunting bengkok, gunting jaringan,
scalpel, needle holder, allis forcep, tampon, kapas, kain kasa, plester, jarum bedah
penampang bulat dan penampang segitiga, benang vicryl 2/0, chromic catgut 3/0,
silk 3/0, timbangan, pencukur rambut, sarung tangan, masker, penutup kepala, dan
baju bedah.
3.1.3 Bahan-bahan
Bahan-bahan yang digunakan meliputi alcohol, iodine, atropin sulfat,
ketamine, xylazine, laktat ringer, NaCl fisiologis, oxytral dan novaldon.
3.2 Metode
3.2.1 Preoperasi
Sebelum masuk melakukan tindakan bedah perlu dilakukan pemeriksaan
fisik terhadap berbagai indikator penting untuk menunjang keberhasilan operasi.
Pemeriksaan meliputi pemeriksaan suhu tubuh dengan sebesar 39,2˚C, frekuensi
respirasi 20 x/menit, denyut jantung 128 x/menit, pulsus 128 x/menit, berat badan
6,5 kg dan CRT 2 detik. Pemeriksaan di atas bertujuan untuk memastikan bahwa
konsisi fisik pasien cukup stabil untuk dilakukan pembedahan serta penentuan
dosis obat yang akan digunakan.
Pasien dipuasakan selama ±12 jam sebelum pembedahan untuk
pengosongan saluran pencernaan dan perkemihan. Hal ini bertujuan untuk
mengurangi kejadian vomiting, defekasi dan urinasi saat pembedahan berlangsung
yang dapat menjadi sumber kontaminan.

9

Premedikasi menggunakan atropin sulfat disuntikkan sebanyak 0,7 ml
secara subkutan (penghitungan dosis terlampir). Setelah pemberian atropin sulfat,
pemasangan IV katater dipasang sekaligus pemasangan infus. 10 menit setelah
pemberian atropin, anjing disuntikkan anastesi dengan ketamin sebanyak 0,8 ml
dan xylazin 0,6 ml secara intravena melalui infus. Bila anjing sudah teranastesi
maka dipasang stomach tube untuk mengeluarkan isi lambung, kateter urin untuk
mengeluarkan urin, Endotracheal Tube untuk pengaturan nafas dan anastesi
inhalasi bila diperlukan.
3.2.2 Prosedur Operasi
Hewan diposisikan rebah dorsal, dan bagian yang akan diinsisi dibersihkan
dengan alkohol dan iodine untuk mengurangi kontaminasi mikroorganisme saat
operasi. Kain drape diposisikan di bagian inguinal pada area insisi dan dijepit
menggunakan towel clamp. Lakukan reposisi dengan menekan pada hernia untuk
menentukan lokasi cincin hernia sebagai acuan untuk melakukan insisi. Insisi
dilakukan pada kulit dan subkutan tepat di atas dari cincin hernia. Kulit diinsisi
dengan hati-hati agar tidak sampai melukai organ yang terdapat pada kantung
hernia. Isi hernia seperti usus dijaga agar tidak kering dengan dibasahi
menggunakan NaCl fisiologis.

Gambar 1. Insisi pada Kulit dan Subkutan

Ekspolari pada bagian inguinal dilakukan untuk mencari lokasi cincin
hernia. Setelah cincin hernia ditemukan jepit menggunakan allis forceps. Reposisi
isi hernia dengan mendorong secara perlahan menggunakan jari ke rongga
10

abdomen. Cincin hernia yang sempit dapat dilebarkan dengan menggunakan
gunting jaringan untuk memudahkan reposisi isi hernia. Pelebaran cincin hernia
harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak memotong arteri dan vena yang ada
disekitarnya.

Gambar 2. Lokasi Cincin Hernia

Bila isi hernia telah direposisi, pada bagian tepi cincin hernia dibuat luka baru
dengan menggunakan scalpel atau gunting jaringan untuk memungkinkan
terjadinya penyatuan jaringan. Cincin hernia yang telah dibuat luka buatan dijahit
menggunakan benang vicryl 2/0 dengan pola terbutus sederhana. Jahitan
dilakukan sepanjang cincin hernia kemudian pastikan tidak terdapat celah yang
memungkinkan terjadi hernia kembali.

Gambar 3. Memperlebar Cincin Hernia

Selanjutnya dilakukan penjahitan pada subkutan menggunakan benang
chromic catgut dengan pola jahitan menerus sederhana. Subkutikuler dijahit
11

dengan benang chromic catgut 3/0 dengan pola jahitan menerus sederhana. Kulit
dijahit menggunakan benang silk 3/0 dengan pola jahitan terputus sederhana.

Gambar 4. Cincin Hernia dijahit

Luka jahitan diberikan iodine untuk mencegah infeksi kemudian
disuntikan Betamox LA 0,6 ml.

Gambar 5. Pemberian iodine pada Luka Jahitan

Selama operasi, dilakukan monitoring terhadap kondisi pasien setiap 10
menit yang meliputi monitoring suhu, frekuensi nafas, frekuensi jantung,
frekuensi pulsus, dan mukosa(CRT) (Sudisma et al., 2006).
3.2.3 Pasca Operasi.
Setelah selesai operasi, luka jahitan dioles dengan povidine iodine dan
ditutup kassa. Selama operasi, dilakukan monitoring terhadap kondisi pasien
setiap 10 menit yang meliputi monitoring suhu, frekuensi nafas, frekuensi jantung,
frekuensi pulsus, dan mukosa (CRT) (Sudisma et al., 2006).
Perawatan pasca operasi dilakukan dengan pemberian antibiotik amoxsan
sirup secara oral 3 kali sehari selama 5 hari. Sebagai antipiretik, analgesik dan

12

antiradang diberikan Asam Mefenamat dengan dosis ½ tablet secara oral 2 kali
sehari serta penggunaan oxytetracyclin dan limoxin digunakan pada kulit luar.
Sanitasi kandang yang baik mutlak diperlukan untuk mempercepat penyembuhan
luka.

13

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Hasil pengamatan pasca operasi hernia inguinalis pada anjing mix
Pomeranian dapat dilihat pada Tabel 1.
Table 1. Hasil pengamatan pasca operasi
Hari
Perubahan Klinis

Terapi

1

Luka jahitan masih basah, bengkak dan kemerahan.
Nafsu makan turun dan minum normal.

Oxytetracyclin +
Asam Mefenamat

2

Luka jahitan masih basah, bengkak dan kemerahan.
Nafsu makan dan minum normal

Oxytetracyclin +
Asam Mefenamat

3

Luka jahitan mulai kering, bengkak berkurang dan
kemerahan, nafsu makan dan minum normal

Oxytetracyclin +
Asam Mefenamat

4

Luka jahitan mulai kering, bengkak berkurang dan
kemerahan.Nafsu makan dan minum normal.

Amoxixilin sirup +
Limoxin

5

Kondisi luka masih sama seperti hari ke-4 pasca
operasi.

Amoxixilin sirup +
Limoxin

6

Beberapa benang pada luka jahitan terputus tapi
luka jahitan masih tertutup.Kemerahan terjadi pada
bekas benang jahitan.
Luka jahitan mulai kering dan tidak bengkak.
Kemerahan dengan intensitas ringan pada daerah
benang.
Jahitan kering namun benang masih belum dilepas
Nafsu makan dan minum bagus.

Amoxixilin sirup +
Limoxin

Jahitan kering namun benang masih belum dilepas
Nafsu makan dan minum bagus.

Limoxin

7

8

9

Amoxixilin sirup +
Limoxin
Amoxixilin sirup +
Limoxin

4.2 Pembahasan
Pada hari ke-1 hingga hari ke-3 pasca operasi terjadi peradangan atau
inflamasi pada bekas luka insisi. Reaksi inflamasi merupakan reaksi protektif
setempat yang ditimbulkan oleh cedera atau kerusakan jaringan (Dorland, 2002).
Radang atau imflamasi merupakan fase pertama dari proses penyembuhan luka.

14

Bekas luka yang bengkak, kemerahan, terasa hangat dan sakit adalah tanda
peradangan. Respon inflamasi akut terjadi segera setelah terjadi perlukaan yang
diawali dengan vasokonstriksi pembuluh darah sehingga terjadi sumbatan
trombosit yang diperkuat oleh fibrin pada pembuluh darah yang pecah. Jaringan
yang rusak dan sel mast melepaskan histamin dan mediator inflamasi lainnya yang
menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan suplai darah ke jaringan luka
menyebabkan luka tampak kemerahan dan terasa hangat. Kebengkakan atau
edema lokal terjadi akibat peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan
serum dan cairan darah yang kaya protein mengalir ke dalam spasium interstitial.
Selain reaksi radang, pembersihan luka juga terjadi pembersihan jaringan dan
bakteri oleh sel polimorf dan makrofag. Proses ini terjadi dari hari pertama hingga
hari ke-6 penyembuhan luka (Morison, 1992).
Pada hari ke-4 sampai hari ke-6 terjadi proses proliferasi yaitu jaringan
yang rusak mulai digantikan oleh jaringan baru. Pada fase ini proses peradangan
sudah mulai berkurang. Fibroblast berkembang menjadi substansi dasar dan
serabut-serabut kolagen serta pembuluh darah baru mulai menginfiltrasi jaringan
luka atau yang disebut dengan angiogenesis. Pada tahap akhir terjadi proses
maturasi yang terdiri dari epitelisasi, kontraksi dan reorganisasi jaringan.
Remodelling jaringan diperankan oleh pembentukan kolagen (Sabiston, 1992).
Pada penyembuhan luka sederhana kekuatan kolagen dan kecepatan maturasi
bervariasi pada setiap jaringan. Hal ini menjadi dasar dalam pemilihan benang
pada penjahitan luka. Benang yang vicryl digunakan untuk menjahit
jaringan/organ dalam dengan masa maturasi penyembuhan luka yang relatif lama.
Sedangkan Chromic catgut digunakan untuk menjahit organ dengan masa
penyembuhan singkat. Pada luka operasi jika ditangani secara tepat akan menyatu
dengan sempurna antara 7 – 14 hari (Grace, 2006).

15

BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Anjing Pomerania umur 4 tahun mengalami hernia inguinalis yang
ditandai protursi organ visceral ke rongga inguinal hingga scrotum. Penanganan
dilakuakan dengan tindakan pembedahan untuk mereposisi isi hernia kembali ke
rongga abdomen. Pembedahan dilakukan dengan menutup cincin hernia pada
kanalis inguinalis. Perawatan pasca operasi dilakukan untuk mempercepat
penyembuhan luka serta untuk mengamati proses kesembuhan luka. Kesembuhan
luka mulai terlihat dari hari ke-8 pasca operasi.
5.2 Saran
Pada proses penyembuhan luka pasca operasi anjing sebaiknya
ditempatkan pada kandang. Pembatasan gerak dan sanitasi kandang yang baik
akan mempercepat kesembuhan.

16

DAFTAR PUSTAKA

Baxter C: The normal healing process. In: New Directions in Wound Healing.
Wound care manual; February 1990. Princeton, NJ: E.R. Squlbb & Sons,
Inc; 1990.
Budhi, S. 2011. Hernia. Yogyakarta : Fakultas Kedokteran Hewan Universitas
Gadjah Mada
Dorland, W. A. N. 2002. Kamus Kedokteran. Jakarta: EGC
Foster, S., dan Smith, M. 2007. Hernia: Umbilical-Inguinal and Diaphragmatic.
http://www.peteducation.com. Diakses pada tanggal 4 oktober 2015
Grace P, Borley N,.2006. ilmu Bedah. Penerbit Erlangga. Jakarta
Hartiningsih.1999. Hernia pada Anjing dan Penanganannya. Fakultas
Kedokteran Hewan.Universitas Gadjah Mada.
Hines, R. 2012. Hernias In Dogs And Cats. Diakses 4 Oktober 2015.
http://www.2ndchance.info/ACC.htm.
Knudson, M. 1961. Repair of Umbilical Hernias in Swine. Iowa State
University Veterinarian: V ol. 23: Iss. 3, Article 7
Morris PJ and Malt RA, eds: Oxford Textbook of Surgery. Sec. 1 Wound
healing. New York-Oxford-Tokyo Oxford University Press: 1995.
Morison, M.J. 1992. Manajemen Luka. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Jakarta.
Sabiston. 1992. Buku Ajar Bedah, Bagian 1. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Jakarta.
Slater, D. H. 2003. Textbook of Small Animal Surgery, Volume 2. Elsevier
Health Sciencz.
Sudisma, I.G.N., I.G.A.G.P. Pemayun., A.A.G.J.Wardhita., I.W.Gorda. 2006.
Ilmu Bedah Veteriner dan Teknik Operasi Edisi I. Pelawa Sari. Denpasar

17