PENGARUH STORYTELLING DENGAN KOMUNIKASI TOTAL TERHADAP PENINGKATAN KETERAMPILAN MENYIMAK SISWA TUNARUNGU : Eksperimen dengan Subjek Tunggal melalui Intervensi oleh Ibu.

(1)

PENGARUH STORYTELLING DENGAN KOMUNIKASI

TOTAL TERHADAP PENINGKATAN KETERAMPILAN

MENYIMAK SISWA TUNARUNGU

(Eksperimen dengan Subjek Tunggal melalui Intervensi oleh Ibu)

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat untuk Memperoleh Gelar

Magister Pendidikan Program Studi Pendidikan Kebutuhan Khusus

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian ri Syarat untuk Memperoleh Gelar

Magister Pendidikan Program Studi Pendidikan Kebutuhan Khusus

Oleh:

Joni Afriadi

1204696

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEBUTUHAN KHUSUS

SEKOLAH PASCASARJANA


(2)

PENGARUH

STORYTELLING

DENGAN KOMUNIKASI TOTAL TERHADAP

PENINGKATAN KETERAMPILAN MENYIMAK SISWA TUNARUNGU

(eksperimen dengan Subjek Tunggal Melalui Intervensi oleh Ibu)

Oleh Joni Afriadi

S.Pd UNP Padang, 2004

Sebuah Tesis yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan (M.Pd.) pada Program Studi Pendidikan Kebutuhan Khusus

© Joni Afriadi 2014

Universitas Pendidikan Indonesia Februari 201

Hak Cipta dilindungi undang-undang.


(3)

HALAMAN PENGESAHAN TESIS

DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH PEMBIMBING :

Pembimbing Tesis:

Juang Sunanto,ph.D. NIP. 19610515 198503 1 002

Mengetahui,

Ketua Program Studi Pendidikan Kebutuhan Khusus

DR. Djadja Rahardja, M.Ed NIP. 19590414 198503 1 005


(4)

ABSTRAK

PENGARUH STORYTELLING DENGAN KOMUNIKASI TOTAL TERHADAP PENINGKATAN KETERAMPILAN MENYIMAK SISWA

TUNARUNGU

(Eksperimen Dengan Subjek Tunggal Melalui Intervensi Oleh Ibu) JONI AFRIADI, 1204696, Prodi PKKh UPI Bandung

Hambatan pendengaran berdampak terhadap aspek perkembangan pada anak yang mengalami ketunarunguan pralingual, salah satunya adalah perkembangan bahasa. Aspek keterampilan bahasa yang utama adalah keterampilan menyimak yang dapat dilakukan melalui storytelling. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh storytelling dengan komunikasi total terhadap peningkatan keterampilan menyimak siswa tunarungu. Materi storytelling diambil dari Buku Gede

(Big Book) terbitan Mizan untuk balita yang dituturkan oleh ibu mereka. Metode yang

digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen Single Subject Research

(SSR) dengan model desain A-B. Subjek dalam penelitian ini adalah empat orang

siswa tunarungu berusia 8 tahun terdiri dari satu orang siswa laki-laki (SMR) yang pernah menggunakan alat bantu dengar dan tiga orang siswa perempuan (AA, SS dan ONR) yang belum pernah menggunakan alat bantu dengar dan duduk di kelas dua SLB. Berdasarkan pengolahan data, subjek SMR memperoleh skor mean level fase baseline sebesar 5,00 dan pada fase intervensi 8,77. Sedangkan pada subjek AA diperoleh skor mean level pada fase baseline 2,71, dan fase intervensi 4,11. Sementara pada subjek SS memperoleh skor mean level pada fase baseline 2,14 dan fase intervensi 4,44 dan pada subjek ONR selama fase baseline memperoleh skor 2,28 dan pada fase intervensi 4,22. Maka dapat disimpulkan keterampilan menyimak pada keempat subjek dapat ditingkatkan melalui kegiatan storytelling dengan komunikasi total. Hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi orang tua agar selalu meluangkan waktu untuk membacakan buku pada anak dan lebih baik lagi jika anak menggunakan alat bantu dengar. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan untuk meneliti penerapan storytelling pada anak tunarungu yang dibesarkan oleh orang tua yang juga tunarungu serta pada anak tunarungu yang telah melakukan cangkok koklea serta mengukur dampaknya pada beberapa aspek seperti kesadaran fonetis, kemampuan membaca dan menulis.


(5)

ABSTRACT

THE INFLUENCE OF STORYTELLING WITH TOTAL COMMUNICATION ON THE IMPROVEMENT OF LISTENING SKILLS OF HEARING

IMPAIRED CHILDREN

(Experiment With Single Subject Through Intervention by The Mother) JONI AFRIADI, 1204696, Special Needs Education Program, Indonesia

University of Education, Bandung

Hearing impairment has an impact on the developmental aspects of children who suffer from pre-lingual hearing impairment; one of the aspects is language development. The ultimate aspect of language development is listening skills that can be done through storytelling. The research aimed to find the influence of storytelling with total communication on the improvement of listening skills of hearing-impaired students. The materials for storytelling were taken from the Big Book published by Mizan for toddlers told by their parents. The method employed in this research was Single Subject Research (SSR) using A-B design model. The subjects of the research were four eight-year-old hearing-impaired students, consisting of one male student (SMR), who had once used hearing aid, and three female students (AA, SS, and ONR), who had never used hearing aids and were on the second grade of a special needs school. Based on the data processed, SMR gained a mean level score at the baseline phase as much as 5.00 and 8.77 at the intervention phase. Meanwhile, AA gained a mean level score of 2.71 at the baseline phase, and 4.11 at the intervention phase. SS gained a mean level score of 2.14 at the baseline phase and 4.44 at the intervention phase, while ONR gained 2.28 at the baseline phase and 4.22 at the intervention phase, respectively. Then, it can be concluded that the listening skills of the four subjects could be improved through story telling activities with total communication. The results of this research are expected to be made considerations by parents, who are encouraged to spend their time reading books to their children, and it is even better if the children use hearing aids. For the next researchers, they are recommended to research the implementation of storytelling on hearing-impaired children who have received cochlear implants and measure the impacts on some aspects, such as phonetic awareness, reading and writing skills.


(6)

DAFTAR ISI

PERNYATAAN ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

UCAPAN TERIMAKASIH ... v

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GRAFIK ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 5

C. Batasan Masalah ... 6

D. Rumusan Masalah ... 7

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

BAB II KETERAMPILAN MENYIMAK ANAK TUNARUNGU MELALUI STORYTELLING A. Hakikat Ketunarunguan ... 9

B. Komunikasi Total ... 16

C. Peran Penting Ibu Dan Keluarga Dalam Perkembangan Anak Tunarungu ... 19

D. Menyimak Sebagai Keterampilan Bahasa yang Paling Utama ... 21

E. Storytelling ... 27

F. Menyimak Storytelling Pada Individu Dengan Ketunarunguan ... 31


(7)

BAB III METODE PENELITIAN

A. Rancangan eksperimen ... 35

B. Lokasi dan Subjek Penelitian ... 36

C. Defenisi Operasional ... 36

D. Validitas Data ... 38

E. Material Eksperimen ... 38

F. Prosedur Eksperimen ... 39

G. Instrumen Penelitian ... 40

H. Analisis Data ... 41

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 43

B. Pembahasan Hasil Penelitian ... 52

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 55

B. Saran ... 56

DAFTAR PUSTAKA ... 57 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(8)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia merupakan mahluk individual sekaligus makhluk sosial. Oleh karena itu, manusia tidak bisa terlepas untuk selalu berhubungan dengan manusia lain. Untuk menjalin hubungan tersebut, manusia menggunakan bahasa sebagai sarana dalam berkomunikasi. Dengan berbahasa manusia bisa mengembangkan diri dan lingkungannya. Karena pentingnya arti bahasa dalam kehidupan manusia, kurikulum pendidikan menempatkan Bidang Studi Bahasa Indonesia sebagai salah satu mata pelajaran utama yang mencakup empat aspek keterampilan bahasa, yaitu (a) keterampilan menyimak, (b) keterampilan berbicara, (c) keterampilan membaca, dan (d) keterampilan menulis. Keempat aspek keterampilan berbahasa tersebut sejalan dengan tahapan perkembangan pemerolehan bahasa pada anak. Namun aspek keterampilan menyimak masih mendapatkan perhatian yang kurang jika dibandingkan tiga aspek keterampilan bahasa lainnya.

Melalui menyimak kita bisa menambah wawasan dan pengetahuan. Menurut Astuti (2002: 3) bahwa ”keterampilan menyimak merupakan salah satu keterampilan berbahasa yang sangat penting dipelajari untuk menunjang kemampuan berbahasa yang baik. Kemampuan menyimak yang baik bisa memperlancar komunikasi, karena komunikasi tidak akan berjalan dengan

lancar jika pesan yang sedang diberikan atau diterima tidak dimengerti”.

Sehingga dapat dikatakan bahwa keterampilan menyimak sangat penting untuk dikuasai anak agar dapat memperoleh informasi dari bahan yang disimak-nya.

Tanpa disadari kita lebih sering menggunakan keterampilan menyimak dalam kehidupan sehari-hari melalui komunikasi. Sekitar 90% waktu kita gunakan untuk mendengar dalam rangka menyerap informasi. Dan kemampuan untuk memahami ujaran orang lain merupakan hal yang penting dalam menyimak, baik aksen, pelafalan, tata bahasa dan kosa kata si pengujar


(9)

(Anonim, 2009: 154). Sehingga sebagai bahasa reseptif, kegiatan menyimak lebih di dominasi oleh kemampuan auditoris dan berbahasa.

Salah satu bentuk kegiatan menyimak adalah melalui storytelling, yaitu kegiatan bercerita untuk menanamkan nilai-nilai pada anak melalui bahasa tutur yang telah ada sejak dulu. Menurut Joseph Frank (Asfandiyar, 2007: 2),

storytelling merupakan suatu proses kreatif anak-anak yang dalam

perkembangannya senantiasa mengaktifkan bukan hanya aspek intelektual saja tetapi juga aspek kepekaan, kehalusan budi, emosi, seni, daya berfantasi, dan imajinasi anak yang tidak hanya mengutamakan kemampuan otak kiri tetapi juga otak kanan. Menurut Rogow (2005: 134) ketika anak-anak mendengarkan cerita, mereka menggunakan pengetahuan bahasanya untuk menginterpretasikan isi cerita. Sehingga anak menghubungkan antara apa yang diketahuinya dengan isi cerita.

Sebagian manfaat storytelling diungkapkan oleh Jan Waterink pada tahun 1935, dalam van Wingerden, (2009: 25), seorang berkebangsaan Belanda, pemilik laboratorium dan klinik yang menangani anak-anak dengan gangguan psikis, dan ia juga salah seorang perintis pendidikan khusus di Belanda. Waterink bersama asistennya, Vedder, melaporkan telah berhasil mengatasi kehilangan kemampuan bicara akibat trauma psikis pada beberapa orang anak usia tiga sampai lima tahun. Mereka melaporkan keberhasilannya dalam mengatasi masalah kliennya yang mengalami kehilangan kemampuan bicara akibat truma yang disebabkan oleh suara bising pesawat udara dengan diagnosa mengalami rasa cemas dan tidak bisa mengendalikan diri. Tahapan proses terapi yang dilaksanakan dimulai dari bercerita tentang pesawat udara, menunjukkan gambar-gambar pesawat udara, bermain, dan terakhir mengunjungi bandara. Dengan kegiatan yang dirancang secara sistematis tersebut kemampuan bicara anak tersebut bisa dipulihkan.

Armstrong dan Hughes (2012) melakukan penelitian pada lima orang anak dengan autisma yang berusia tujuh dan delapan tahun tentang efektifitas penggunaan komputer dan buku cerita dalam memahami teks bacaan melalui eksperimen dengan subjek tunggal. Baseline dilakukan dengan prosedur buku


(10)

cerita diperlihatkan pada subjek dan dipilih secara acak, peneliti menyebutkan judul dan nama pengarang dari buku yang telah dipilih. Subjek duduk dipangkuan peneliti dan kemudian buku diletakkan dihadapan subjek, peneliti membacakannya sambil menunjuk apa yang sedang dibacanya, dan subjek diminta untuk turut membaca. Sesi berakhir setelah subjek menceritakan kembali dan menjawab pertanyaan secara lisan. Pada tahapan intervensi, subjek membaca bacaan yang diarahkan oleh jari peneliti dan kemudian diminta untuk menceritakannya kembali setelah selesai membacanya. Sedangkan pada tahap kedua membaca, subjek bersama peneliti membaca buku bersamaan dengan jari telunjuk peneliti berada pada teks yang sedang di baca dan sesi diakhiri sama dengan tahap baseline, subjek diminta menceritakan kembali dan menjawab pertanyaan. Intervensi dengan menggunakan komputer dilakukan dengan menggunakan software komputer yang menggunakan audio dan pointer berwarna sesuai dengan suara bacaan. Sesi diakhiri sama dengan tahap baseline, subjek diminta menceritakan kembali dan menjawab pertanyaan. Data dianalisis berdasarkan skor jawaban yang tepat dari subjek. Kesimpulannya adalah kedua media tersebut efektif digunakan pada beberapa orang subjek dalam pemahaman teks bacaan.

Keterampilan membaca sangat penting, namun keterampilan menyimak jauh lebih penting. Dari laporan Komite Nasional Membaca Amerika Serikat

(Commision on Reading) pada tahun 1985, memberikan rekomendasi agar

anak-anak dibacakan buku baik di rumah maupun di ruang kelas untuk membangun pengetahuan yang dibutuhkan anak dalam membaca (Trelease, 2006: 21). Tidak jauh berbeda, Bunanta, (2009: 5) menyatakan bahwa beberapa konsep storytelling yang ada dapat digunakan untuk mengajak anak membaca. Disamping itu, storytelling dapat meningkatkan perkembangan keterampilan bahasa yang lain dan untuk itu hendaknya kegiatan yang dilakukan lebih menekankan pada aspek cara bercerita agar anak tidak cepat merasa bosan (Fakhrudin, 2009: 10). Sementara bacaan yang dianjurkan untuk dikonsumsi oleh anak adalah dalam bentuk fiksi, karena dianggap paling dekat dengan anak dan dapat memberikan arti kehidupan paling jelas kepada anak


(11)

(Trelease, 2006: 39). Dengan demikian kegiatan storytelling pada anak, terutama sejak usia dini, merupakan aktifitas yang memberikan pengalaman dan latihan berbahasa serta bermanfaat bagi perkembangan aspek keterampilan bahasa anak di masa yang akan datang.

Anak dengan gangguan pendengaran memiliki keterbatasan dalam berbahasa baik bahasa ekspresif maupun reseptif (Hernawati, 2007). Hambatan mendengar dan keterbatasan dalam bahasa pada anak tunarungu juga memberi imbas pada keterampilan komunikasinya (Somad, 2009). Ada dua pendekatan untuk meningkatan keterampilan bahasa dalam berkomunikasi anak dengan gangguan pendengaran, yaitu secara manual atau isyarat dan secara oral. Namun masing-masing pendekatan tersebut dinilai banyak kalangan masih terdapat kelemahan, kurang efektif dan mengandung unsur pemaksaan. Oleh karena itu, komunikasi total dijadikan sebagai suatu strategi dalam menjalin komunikasi yang efektif antara orang mendengar dengan anak tunarungu melalui penggabungan pendekatan manual dan oral.

Keterbatasan berbahasa tersebut tentu saja akan menghambat proses perkembangan anak selanjutnya, karena menurut Lev Vygotsky kemampuan berbahasa seseorang sejalan dengan perkembangan kecerdasannya. Dampaknya, anak dengan gangguan pendengaran terkesan juga mengalami gangguan dalam fungsi kognitif serta memiliki kecerdasan intelektual di bawah anak yang mendengar. Namun menurut Furth (1973) dalam Alimin (2008) menyatakan bahwa keterlambatan perkembangan kognitif pada anak tunarungu bukan disebabkan oleh rendahnya kecerdasan atau kurangnya keterampilan linguistik tapi karena kurangnya latihan dan pengalaman. Dengan demikian, jika lingkungan bisa memberikan latihan dan pengalaman kebahasaan pada anak dengan hambatan pendengaran, maka keterampilan bahasa dan komunikasinya akan meningkat sehingga fungsi kognitif dan kecerdasan intelektualnya-pun juga bisa dioptimalkan.

Siswa yang masih duduk di kelas dua pada umumnya masih diantar, bahkan ditunggui oleh ibu mereka selama proses belajar mengajar di sekolah. Namun belum ada program khusus yang diberikan sekolah untuk


(12)

mengoptimalkan orang tua dalam mengakomodir kebutuhan khusus yang dialami oleh anaknya. Kebanyakan orang tua dilibatkan dalam kegiatan penyusunan program sekolah atau pembangunan fisik.

Menurut keterangan orang tua, aktifitas membacakan suatu cerita dari suatu bacaan fiksi tidak pernah dilakukan. Menurut penuturan mereka, kegiatan bercerita dilakukan melalui percakapan berdasarkan pengalaman yang dekat dengan anak, misalnya percakapan mengenai aktifitas saat liburan sekolah atau percakapan mengenai suatu peristiwa kejadian yang baru saja dialami oleh anak. Kemampuan anak dalam memahami pelajaran di sekolah menurut keterangan guru bervariasi, ada yang cukup baik, sedang dan rendah.

Mengingat banyaknya manfaat storytelling pada anak yang mendengar, maka sangat menarik untuk diteliti bagaimana kemampuan anak tunarungu dalam mamahami materi bacaan yang dituturkan oleh ibu mereka guna memberikan pengalaman dan latihan linguistik yang memadai sesuai dengan kebutuhan mereka.

B. Identifikasi Masalah

Keterampilan menyimak cenderung mendapatkan prioritas yang lebih sedikit dibandingkan aspek keterampilan lain di sekolah, baik oleh guru maupun oleh siswa. Hal ini dapat disebabkan siswa menganggap kegiatan menyimak merupakan hal yang sulit dan mereka tidak memahami secara utuh bahasa lisan. Disamping itu guru juga menganggap aspek keterampilan bahasa yang lain lebih penting daripada aspek keterampilan menyimak, dan bisa juga karena guru belum mempunyai format pembelajaran yang ideal (Anonim, 2009: 154).

Siswa dengan hambatan pendengaran juga memiliki kosa kata yang sedikit dibandingkan dengan anak mendengar, sehingga mereka sulit untuk memahami dan mengungkapkan kembali isi bacaan. Menurut Van Uden (dalam Meadow, 1980, Hernawati, 2007: 102) ketunarunguan bukan hanya mengakibatkan tidak berkembangnya kemampuan berbicara, lebih dari itu dampak paling besar adalah terbatasnya kemampuan berbahasa. Imbasnya,


(13)

proses kognitif anak dengan gangguan pendengaran menjadi terbatas sehingga menimbulkan kesan kecerdasan mereka berada di bawah anak mendengar.

Storytelling merupakan suatu aktivitas yang bisa meningkatkan

keterampilan bahasa dengan memperkaya pengalaman dan latihan lingguistik pada anak serta bisa mendukung prestasi akademik. Namun aktivitas sederhana tersebut kurang mendapat perhatian dari orang tua di rumah maupun guru di sekolah meskipun telah diketahui pentingnya kegiatan tersebut. Penelitian yang dilakukan Elley (dalam Trelease, 2006) terhadap 150.000 orang siswa kelas empat menemukan bahwa siswa yang sering dibacakan buku mendapat nilai tiga puluh kali lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang hanya sesekali dibacakan buku.

C. Batasan Masalah

1. Keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis merupakan aspek-aspek keterampilan dalam berbahasa. Aspek yang di teliti dalam penelitian ini adalah aspek keterampilan menyimak pada anak tunarungu pra bahasa usia 7 sampai 8 tahun.

2. Menyimak berbeda dengan mendengar meskipun dalam menyimak lebih di dominasi oleh kemampuan pendengaran. Menyimak anak tunarungu dalam penelitian ini ditujukan pada kemampuan anak dalam menyerap informasi dari lingkungan dengan memusatkan perhatian pada informasi yang ingin di peroleh melalui alat sensoris yang mereka miliki.

3. Storytelling disampaikan dengan berbagai cara kepada audiens. Ada yang

menggunakan musik, buku cerita, benda (boneka, mainan dan sebagainya). Begitu juga dalam menuturkannya, banyak teknik yang digunakan. Dalam penelitian ini storytelling disampaikan dengan menggunakan media buku yang ukurannya di perbesar menjadi ukuran poster serta dituturkan dengan memperhatikan keterarahwajahan, mimik wajah, gerak tubuh, dan intonasi suara.


(14)

D. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh

storytelling dengan komunikasi total terhadap peningkatan keterampilan

menyimak siswa tunarungu?.

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kegiatan storytelling yang dituturkan dengan komunikasi total terhadap keterampilan menyimak siswa tunarungu.

Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah sebagai bahan pertimbangan bagi orang tua dan guru tentang bagaimana cara menuturkan

storytelling pada anak tunarungu sebagai bentuk dukungan dari lingkungan


(15)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan adalah eksperimen dengan subjek tunggal guna mengetahui akibat dari suatu perlakuan (intervensi) yang diberikan. Menurut Kratochwill (1978) dalam Maggins, Briesch, & Chafouleas (2013: 45) Penelitian dengan subjek tunggal juga bertujuan untuk mempelajari prilaku individu. Selanjutnya Gast (2010) dalam Maggins, Briesch, & Chafouleas (2013: 45) menjelaskan dapat juga digunakan untuk mengamati pola prilaku individu secara teliti terhadap prilaku yang disengaja maupun yang tidak disengaja untuk merancang dan memvalidasi program dalam bidang akademik, prilaku dan psikologi. Sehingga desain penelitian subjek tunggal umumnya digunakan dalam mengatasi masalah pendidikan yang dihadapi oleh anak berkebutuhan khusus (Maggins, Briesch, & Chafouleas, 2013: 45). Penelitian dengan subjek tunggal juga bisa digunakan untuk satu individu atau satu kelompok yang diperlakukan sebagai satu kesatuan yang utuh (Foster, 2009 dalam Foster, 2010: 31). Dalam penelitian ini, peneliti memanipulasi suatu perlakuan berupa aktifitas storytelling yang dituturkan dengan komunikasi total, selanjutnya pengaruh atau akibat yang dimanipulasi secara sengaja dan sistematis diamati (Faisal, 1982: 76).

A. Rancangan Eksperimen

Desain rancangan penelitian eksperimen yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan subjek tunggal (single subject research) dengan menggunakan desain A – B.

X X X X X O O O O O O O O O O

Keterangan:

O = panjang kondisi/banyaknya sesi


(16)

B. Lokasi dan Subjek Penelitian

Penelitian dilaksanakan di salah satu dari tiga Sekolah Luar Biasa yang ada di Lembang, yaitu SLB X Lembang. Subjek penelitian ini adalah empat orang siswa tunarungu kelas satu yang berusia antara 7 – 8 tahun. Satu orang berjenis kelamin laki-laki yang menggunakan Alat Bantu Mendengar (ABM) dan tiga orang perempuan yang tidak menggunakan ABM. Hanya satu orang subjek perempuan yang memiliki hasil pengukuran pendengaran dengan BERA dari RS. Hasan Sadikin Bandung yang menyatakan subjek memiliki kemampuan pendengaran di 95 dB untuk telinga kanan dan 94 dB pada telinga kiri yang dikategorikan pada jenis tunarungu berat. Sementara tiga orang lainnya, belum diukur kemampuan pendengarannya.

Dari penjelasan guru kelas keempat subjek tersebut, kemampuan menyimak mereka tidak sama. Dari semua siswa di kelasnya, terdapat satu orang subjek yang agak lambat dalam merespon materi pelajaran yang disampaikan. Menurutnya, mungkin disebabkan oleh kejadian perceraian orang tua subjek tersebut. Sehingga ia sering melamun dan kurang memperhatikan materi pelajaran. Terdapat dua orang siswa yang memiliki kemampuan menyimak yang cukup baik, yaitu siwa laki-laki dan satu orang siswa perempuan yang dinilai guru dari kemampuan mereka dalam menyerap pelajaran. Sementara siswa perempuan yang lain dianggap guru memiliki kemampuan menyimak yang sedang, tidak cepat atau pun lambat dalam menyerap materi pelajaran yang ia sampaikan. Keempat subjek tersebut diantar dan ditunggui oleh ibu mereka selama jam sekolah berlangsung dari pukul 08.00 – 11.00 WIB.

C. Defenisi Operasional

a. Variabel bebas (intervensi atau treatment)

Variabel bebas disebut juga sebagai variabel yang mempengaruhi variabel terikat. Variabel bebas dalam penelitian ini kegiatan storytelling dengan menggunakan komunikasi total. Storytelling yang dimaksud adalah seni dalam menuturkan cerita dari buku fiksi yang bertujuan


(17)

memberikan latihan dan pengalaman berbahasa pada subjek. Beberapa pertimbangan dalam menentukan media buku dan cerita yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Materi cerita merupakan cerita fiksi yang mengandung unsur imajinatif atau khayalan untuk menarik minat subjek pada buku. 2. Mengandung kalimat yang pendek agar penutur lebih leluasa

mengekplorasi gambar yang ada dalam buku dan tidak terpaku pada teks.

3. Buku memiliki ukuran besar (42 cm) dan memiliki ruang yang luas untuk gambar agar subjek mudah mengamatinya.

Sementara Komunikasi total merupakan falsafah yang digunakan saat menuturkan cerita kepada keempat subjek penelitian yang berorientasi agar subjek dapat memahami apa yang sampaikan penutur melalui ekspresi wajah, intonasi suara serta mempertimbangkan komponen oral, aural dan manual saat menuturkan cerita untuk meingkatkan keterampilan kompensatoris subjek seperti bahasa isyarat, ejaan jari, dan membaca gerakan bibir. Misalnya saat menuturkan cerita, penutur mengucapkan kata dengan intonasi dan gerak bibir yang jelas agar mudah diamati subjek yang diiringi dengan ekspresi wajah, isyarat dan atau ejaan jari.

b. Variabel terikat (target behavior)

Variabel terikat disebut juga variabel yang dipengaruhi oleh variabel bebas atau disebut juga dengan target behavior. Dalam penelitian ini yang menjadi target behavior adalah keterampilan menyimak, yaitu kemampuan subjek dalam menerima informasi dari penuturan cerita dan memahami isi cerita. Untuk mengukur keterampilan menyimak pada keempat subjek, dilakukan tes pemahaman yanng terdiri dari lima pertanyaan pilihan ganda dan lima pertanyaan menjodohkan berdasarkan materi cerita. Alternatif jawaban tersedia dalam instrumen tes berupa gambar yang ada dalam buku cerita, karena keempat subjek belum bisa


(18)

membaca dengan baik. Saat tes, peneliti menjelaskan pertanyaan dan pilihan yang tersedia dalam instrumen dan keempat subjek diminta untuk memilih jawaban yang tepat. Data dianalisis berdasarkan jawaban subjek yang tepat dalam bentuk skor.

D. Validitas Data

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Sunanto (2006) bahwa untuk mendapatkan validitas penelitian yang baik pada saat melakukan eksperimen, peneliti perlu memperhatikan beberapa hal berikut:

1. Mendefenisikan target behavior sebagai perilaku yang dapat diukur secara akurat. Sehingga dalam penelitian ini adalah peningkatan keterampilan menyimak target behavior ini didefenisikan dari ketidakmampuan-ketidakmampuan.

2. Mengukur dan mengumpulkan data pada saat baseline secara kontinyu sekurang-kurangnya 3 sampai 5 atau trend dan level data menjadi stabil. Dalam penelitian ini fase baseline pengukuran dilakukan sebanyak 7 kali. Bila sudah diperoleh kestabilan data, maka pengukuran langsung dihentikan dan dilanjutkan dengan fase intervensi.

3. Memberikan intervensi setelah trend data baseline stabil. Dengan acuan inilah peneliti mengambil langkah untuk memberikan intervensi kepada subjek.

4. Mengukur dan mengumpulkan data pada fase intervensi dengan periode waktu yang rutin sampai data menjadi stabil.

E. Material Eksperimen

Material dalam eksperimen ini menggunakan 1 set Buku Gede terbitan Mizan yang terdiri dari empat buah cerita fiksi untuk balita, masing-masing buku berjumlah 12 halam dengan ukuran buku sebesar 42 cm. Beberapa judul diantaranya adalah, Raksasa Jail, Detektif Kembar, Monster Pengering Rambut Dan Super Salsa. Daftar buku disediakan dengan mencetak semua cover depan di atas kertas A4 untuk dipilih subjek sebelum storytelling


(19)

dimulai. Contoh cerita yang dituturkan kepada anak dapat dilihat pada lampiran.

F. Prosedur Eksperimen

Sebelum memulai tahapan baseline, diadakan beberapa kali pertemuan bersama empat orang tua subjek. Dalam pertemuan tersebut membahas tentang gambaran penelitian yang akan dilakukan mencakup manfaat story

telling pada anak mendengar, dampak ketunarunguan terhadap perkembangan

bahasa dan intelegensi, menyampaikan materi cerita serta membahas cara yang tepat dalam menuturkan cerita tersebut kepada subjek. Pada bagian akhir untuk menutup pertemuan tersebut, peneliti meminta kesedian orang tua agar terlibat dalam pelaksanaan penelitian. Dalam hal ini diharapkan mereka bersedia untuk menuturkan cerita kepada subjek. Masing-masing ibu dari subjek memilih satu materi cerita yang akan mereka sampaikan. Dengan demikian diharapkan interaksi antara orangtua dengan anak semakin baik. Disamping itu, dengan adanya pemahaman orang tua dalam menuturkan cerita, secara tidak langsung mereka akan memberikan stimulasi bahasa pada anak. Pertemuan tersebut dilakukan sebanyak tiga sesi dengan masing-masing sesi berdurasi satu jam.

Kegiatan storytelling dilakukan di ruang kelas dimana siswa belajar dengan posisi duduk membentuk setengah lingkaran, seusai kegiatan belajar mengajar, sekitar pukul 10.30 WIB. Setiap sesi dialokasikan waktu lebih kurang 20 menit untuk menuturkan satu cerita kepada subjek dan 10 menit untuk melakukan tes pemahaman. Hasil tes pemahaman dihitung berdasarkan jawaban yang benar dari setiap siswa, dengan bentuk soal pilihan ganda dan menjodohkan pertanyaan dengan jawaban yang benar. Masing-masing tahapan penelitian, baseline 7 sesi dan intervensi 9 sesi.

Kegiatan awal pada sesi baseline dengan meminta salah satu subjek untuk memilih satu cerita dari daftar gambar cover bacaan fiksi yang telah disediakan. Penutur kemudian menyebutkan judul dan nama pengarang cerita yang dipilih oleh subjek. Cerita dituturkan dengan intonasi suara yang wajar


(20)

disertai dengan ekspresi wajah sambil duduk di hadapan subjek. sementara buku yang ukurannya diperbesar, diletakkan di atas meja di samping penutur. Jarak antara penutur dan gambar dengan subjek sekitar 1 meter. Sesi diakhiri dengan menjawab 10 pertanyaan pemahaman tentang siapa, apa, dimana dan kapan sesuai isi cerita dalam bentuk pilihan ganda dan menjodohkan antara pertanyaan dengan jawaban. Setiap soal dijelaskan oleh penutur dan setelah semua subjek selesai mengerjakan soal, kemudian dilanjutkan ke pertanyaan berikutnya.

Prosedur awal dalam intervensi hampir sama dengan tahapan baseline, salah satu subjek diminta untuk memilih satu di antara lima daftar gambar cover bacaan fiksi yang disediakan. Penutur kemudian menyebutkan judul dan nama pengarang bacaan tersebut. Penutur berdiri di samping meja guru dengan jarak lebih kurang satu meter dari subjek. Bacaan yang telah diperbesar ukurannya diletakkan di meja guru. Penutur menyampaikan isi cerita dengan memperhatikan kontak mata, mimik wajah, gerak tubuh, intonasi suara dan isyarat alamiah sesuai dengan isi cerita. Sesi diakhiri dengan meminta subjek untuk menjawab 10 pertanyaan pemahaman tentang siapa, apa, dimana dan kapan sesuai isi cerita dalam bentuk pilihan ganda dan menjodohkan antara pertanyaan dengan jawaban. Setiap soal dijelaskan oleh penutur dan setelah semua subjek selesai mengerjakan soal, kemudian dilanjutkan ke pertanyaan berikutnya.

G. Instrumen penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes pilihan ganda dan menjodohkan. Subjek diminta untuk menjawab 10 pertanyaan pemahaman yang berhubungan dengan isi cerita dalam bentuk 5 pilihan ganda dan 5 soal menjodohkan pertanyaan dengan jawaban yang benar. Masing-masing subjek disediakan lembaran evaluasi sesuai cerita yang dituturkan kepada mereka. Pertanyaan di jelaskan kepada subjek sebelum subjek menjawabnya. Subjek diminta untuk memperhatikan saat pertanyaan


(21)

dijelaskan. Setiap jawaban subjek yang tepat, diberi skor 1 dan sebaliknya jawaban yang salah diberi skor 0. (Bentuk soal terlampir)

H. Analisis Data

Analisis data digunakan sebagai tahap terakhir dalam penelitian sebelum di tarik suatu kesimpulan. Setelah semua data terkumpul selanjutnya dianalisis dengan menggunakan teknik statistik deskriptif yang sederhana (Sunanto, 2006: 65). Pengaruh intervensi terhadap prilaku yang diamati juga dilakukan guna melihat sejauh mana intervensi berhasil merubah target

behaviour. Terkait penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana pengaruh storytelling yang dituturkan dengan komunikasi total terhadap kemampuan

menyimak siswa tunarungu. Data ditampilkan dalam bentuk grafik garis agar lebih memperjelas prilaku subjek. Terdapat beberapa komponen dalam pembuatan grafik (Sunanto, 2006: 30) sebagai berikut:

1. Absis adalah sumbu X merupakan sumbu mendatar yang menunjukkan satuan variabel bebas (sesi, hari, tanggal). Dalam penelitian ini absis yang digunakan adalah untuk menunjukkan banyaknya sesi yang diberikan pada subjek.

2. Ordinat adalah sumbu Y merupakan sumbu vertikal yang menunjukkan satuan untuk variabel terikat (misalnya persen, frekuensi, durasi). Dalam penelitian ini ordinat menunjukkan kemampuan menyimak dalam bentuk persen.

3. Titik awal merupakan pertemuan antara sumbu X dan sumbu Y sebagai titik awal satuan bebas dan terikat.

4. Skala garis-garis pendek pada sumbu X dan sumbu Y yang menunjukkan ukuran (misalnya 0%, 25%, 50%, 70%).

5. Label kondisi yaitu keterangan yang menggambarkan kondisi eksperimen misalnya baseline atau intervensi.

6. Garis perubahan kondisi yaitu garis vertikal yang menunjukkan adanya perubahan kondisi ke kondisi lainnya.


(22)

7. Judul grafik, judul yang mengarahkan perhatian pembaca agar segera diketahui hubungan antara variabel bebas dan terikat.


(23)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan seluruh hasil analisis data pada fase dapat ditarik kesimpulan bahwa keempat subjek memilliki hambatan dalam menyimak yang lebih disebabkan oleh tidak berfungsinya indera pendengarannya. Data baseline menunjukkan bahwa kegiatan membacakan cerita untuk balita tanpa menggunakan komunikasi total yang disampaikan oleh ibu dari subjek tidak dapat disimak dengan baik oleh semua subjek yang ditunjukkan dengan rendahnya perolehan skor subjek dalam fase ini.

Pada fase selanjutnya, intervensi, setelah ibu keempat subjek menggunakan komunikasi total dalam menuturkan cerita, keterampilan subjek meningkat yang bisa dilihat dari perbedaan sebelum dan sesudah diberikannya intervensi. Perbedaanya setelah diberikannya intervensi adalah meningkatnya perhatian dan pemahaman subjek terhadap materi cerita yang disampaikan kepada mereka yang ditunjukkan dengan perolehan skor yang lebih baik dibandingkan fase sebelumnya. Subjek SMR mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan fase sebelumnya (baseline) dengan rata-rata 5,00 dan setelah intervensi rata-rata skornya meningkat menjadi 8,77. Peningkatan juga terjadi pada subjek AA selama intervensi dengan rata-rata skor baseline 2,71 meningkat menjadi 4,11. Hal yang sama juga terjadi pada keterampilan menyimak subjek SS yang juga meningkat, dimana dalam fase baseline ia hanya memperoleh rata-rata skor 2,14 dan pada fase selanjutnya meningkat menjadi 4,44. Keterampilan menyimak subjek ONR yang dalam fase baseline hanya memperoleh skor rata-rata sebesar 2,28 dan dalam fase intervensi naik menjadi 4,22. Dengan demikian disimpulkan bahwa storrytelling dengan komunikasi total memiliki pengaruh terhadap peningkatan keterampilan menyimak pada keempat subjek.


(24)

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian bahwa dengan menggunakan komunikasi total dalam storytelling dapat meningkatkan keterampilan menyimak siswa tunarungu, maka disarankan:

1. Orang tua menyediakan waktu untuk storytelling dengan menggunakan buku dan menyampaikannya kepada anak dengan mempertimbangkan minat anak. Kegiatan tersebut bertujuan untuk menambah kedekatan dengan anak serta membiasakan anak familiar dengan bahan bacaan di rumah, terutama bacaan yang digemarinya. Dan akan lebih baik lagi jika orang tua bisa menyediakan alat bantu dengar, bahkan jika memungkinkan dengan melakukan implan koklea agar anak dapat menerima informasi auditoris.

2. Peneliti selanjutnya diharapkan dapat lebih menyempurnakan kekurangan yang ada dalam penelitian ini diantaranya penerapan storytelling pada subjek yang memiliki orang tua juga tunarungu serta pada anak tunarungu dan sebaiknya juga dengan mengukur pengaruh storytelling pada beberapa target behavior seperti kesadaran fonetis, kemampuan membaca, bicara dan menulis.


(25)

DAFTAR PUSTAKA

Agustina, S. (2008). Mendongeng Sebagai Energi Bagi Anak. Jakarta: Rumah Ilmu Indonesia.

Alam, Z., and Sinha, B. S. (2009). “Developing Listening Skills forTertiary Level Learners”. The Dhaka University Journal of Linguistics. 2. (3). 19-52

Alimin, Z. (2008). Hambatan Belajar. [online]. Tersedia: http://z-alimin.blogspot.com/2008/03/hambatan-belajar-dan-hambatan.html [12

Desember 2012].

Anonim. (2009). “Menguak Efektifitas Kelas Menyimak dalam Pelajaran Bahasa Asing”. Ta’allum. 19. (2). 153-161.

Armstrong, T. K., & Hughes, M. T. (2012). “Exploring Computer and Storybook Interventions for Children With High Functioning Autism”. International Journal of Special Education. 27. (3). 88-99.

Asfandiyar, A. Y. (2007). Cara Pintar Mendongeng. Jakarta: Mizan.

Astuti. (2002). Menyimak. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Boltman, A. ( 2001). “Children’s Storytelling Technologies: Differences in

Ellaboration and Recall”. Tersedia [online]

http://itiseer.1stpsu.edo/563253.html diakses pada 29 November 2013. Bozorgian, H. (2012) “Listening Skill Requires a Further Look into

Second/Foreign Language Learning”. International Scholarly Research Network (ISRN Education). Vol. 2012. 1-10.

Bunanta, M. (2009). Buku, Dongeng, dan Minat Baca. Jakarta : Murti Bunanta Foundation.

Bunawan, L. (1997). Komunikasi Total. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pendidikan Tenaga Akademik.

Bunawan, L. & Yuwati, C. S. (2000). Penguasaan Bahasa pada Anak Tunarungu. Jakarta: Yayasan Santi Rama.

Crowther, J. (eds). (1995). Oxford Advanced Learner’s Dictionary. New York: Oxford University Press.


(26)

Depdikbud. (2000). Pedoman Guru Pengajaran Wicara untuk Anak Tunarungu

untuk SLB B. Jakarta: Pendidikan Dasar dan Menengah Depdikbud.

Depdiknas. (2008). Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.

DesJardin, J. L., and Ambrose, S. E. (2010). “The Importance of the Home Literacy Environment for Developing Literacy Skills in Young Children Who Are Deaf or Hard of Hearing”. Young Exceptional Children. 13. (5).

28-44.

Edwards, L., and Crocker, S. (2008). Psychological Processes in Deaf Children

with Complex Needs. London: Jessica Kingsley Publishers.

Faisal. (1982). Metodologi Penelitian. Surabaya: Usaha Nasional.

Fakhrudin, M. (2009). “Cara Mendongeng”. Makalah pada Pelatihan Teknik Mendongeng bagi Guru Taman Kanak-Kanak se-Kabupaten Purworejo tanggal 16 Desember 2003. Purworejjo: Tidak diterbitkan.

Foster, L. H. (2010). “A Best Kept Secret: Single-Subject Research Design in Counseling”. Counseling Outcome Research and Evaluation. 1. (2). 30-39.

Friend, M. (2005) Special Education; Contemporary Perspectives For School

Proffesionals. USA: Pearson Education, Inc.

Gregory, S. et.al. (eds). (1998) Issues in Deaf Education. London: David Fulton Publishers.

Habsah, A. (2012). Kajian Pustaka : Pengertian Anak Tunarungu. [Online]. Tersedia:

http://repository.upi.edu/operator/upload/s_plb_0909516_chapter2.pdf [27

Desember 2012].

Hernawati, T. (2007). “Pengembangan Kemampuan Berbahasa dan Berbicara Anak Tunarungu”. JASSI_anakku. 7. (1). 101-110.

Howe, E. B. ( 2004). Kekuatan Ganda Cerita. Terjemahan oleh Tim Penerjemah. Jakarta: Gramedia.

Ingber, S., Al-Yagon, M., and Dromi, E. (2010). “Mothers' Involvement in Early Intervention for Children With Hearing Loss: The Role of Maternal Characteristics and Context-Based Perceptions”. Journal of Early Intervention. 32. (5). 351-369.

Iskandarwassid, dan Sunendar, D. (2011). Startegi Pembelajaran Bahasa. Bandung: PT. remaja Rosdakarya.


(27)

Islam, M, N. (2012). “An Analysis on How to Improve Tertiary EFL Students’ Listening Skill of English”. Journal of Studies in Education. 2. (2). 205-214

Johnsen, B. H, “Sejarah Pendidikan Kebutuhan Khusus Menuju Inklusi Dalam Kontek Norwegia dan Eropa” Dalam Skjorten, MD. (eds). (2001). Towards

Inclusion, Education-Special Needs Education An Introduction. Oslo:

Unipub Forlag.

Lane, H., Pillard, R. C & Hedberg, U. (2011). The People of The Eye; Deaf

Ethnicity and Ancestry. New York: Oxford University Press.

Lang, H. G. (2003). “Perspectives on the History of Deaf Education”. Dalam Marschark, M., and Spencer, P. E. (eds). (2003). Oxford Handbook Of Deaf

Studies, Language, And Education. New York: Oxford University Press,

Inc.

Lewis, V. (2003). Developmental and Disabilitiy; Second Edition. United Kingdom: Blackwell Publishing.

MacDonald, M. R. (1995). The Parents Guide Storytelling: How to Make-up New

Stories and Retend Old Favourites. USA: Herper Collins Publisher.

Maggin, D. M., Briesch, A. M., & Chafouleas, S. M. (2012). “An Application of The What Works Clearinghouse Standards for Evaluating Single-Subject Research : Synthesis of the Self-Management Literature Base”. Remedial and Special Education. 34. (1). 44– 58.

Majid, A. A. A. (2001). Mendidik dengan Cerita. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Marschark, M., and Hauser, P. C. (eds). (2008). Deaf Cognition; Foundations and

Outcomes. New York: Oxford University Press.

Musrifoh, T. (2008). “Memilih, Menyalin, dan Menyajikan Cerita untuk Anak Usia Dini”. Tersedia [online] http://www.pestabuku.com diakses pada 26 November 2013.

Nieminen. L and Takkinen, R. (2011). “Evaluative Language in Spoken and Signed Stories Told by A Deaf Child With A Cochlear Implant: Words,

Signs or Paralinguistic Expressions?”. ESUKA – JEFUL. 2. (2). 137-157. Ogden, P. W (2006) .”The Silent Garden: Reaching Out to Your Deaf Children”.

Dalam: Harvey Goodstein, editor (2006). The Deaf way II reader : Perspectives from The Second International Conference on Deaf Culture . Washington, DC: Gallaudet University Press.


(28)

Paul, P. V., & Whitelaw, G. M. (2011). Hearing And Deafness : An Introduction

For Health And Education Professionals. Canada: Jones and Bartlett

Publishers.

Permanarian, Somad. (2009). Dampak Ketunarunguan. [online]. Tersedia:

http://permanariansomad.blogspot.com/2009/11/dampakketunarunguan.html [3 Januari 2013].

Rogow, S. (2005). “A Developmental Model of Disabilities”. International Journal of Special Education. 20. (2). 132-135.

Sass-Lehrer, M., and Bodner-Johnson, B.(2003). “Early Intervention Current Approaches to Family-Centered Programming”. Dalam Marschark, M., and Spencer, P. E. (eds). (2003). Oxford Handbook Of Deaf Studies, Language,

And Education. New York: Oxford University Press, Inc.

Serrat, O. (2008). Storytelling. USA: Reed Elsevier.

Somantri, T. S. (2007). Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: PT. Refika Aditama.

Sunanto, J., Takeuchi, K., & Nakata, H. (2006). Penelitian dengan Subjek

Tunggal. Bndung: UPI Press..

Suparno. (1997). Diktat Komunikasi Total. Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Yogyakarta: Prodi Pendidikan Khusus.

Tarigan, H. G. (2008). Menyimak Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.

Trelease, J. (2006). Read-Aloud Handbook; Mencerdaskan Anak dengan

Membacakan Cerita Sejak Dini. Jakarta: Hikmah.

van Wingerden, M. R, de Ruyter, D, & Groenendijk, L. (2009). “Jan Waterink (1890-1966), A Dynamic Dutch Pioneer of Special Education”. International Journal of Special Education. 24. (3). 21-28.

Weikle, B., & Hadadian, A. (2003). “Emergent Literacy Practices Among Parents of Preschool Children with and without Disabilities”. International Journal


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan seluruh hasil analisis data pada fase dapat ditarik kesimpulan bahwa keempat subjek memilliki hambatan dalam menyimak yang lebih disebabkan oleh tidak berfungsinya indera pendengarannya. Data baseline menunjukkan bahwa kegiatan membacakan cerita untuk balita tanpa menggunakan komunikasi total yang disampaikan oleh ibu dari subjek tidak dapat disimak dengan baik oleh semua subjek yang ditunjukkan dengan rendahnya perolehan skor subjek dalam fase ini.

Pada fase selanjutnya, intervensi, setelah ibu keempat subjek menggunakan komunikasi total dalam menuturkan cerita, keterampilan subjek meningkat yang bisa dilihat dari perbedaan sebelum dan sesudah diberikannya intervensi. Perbedaanya setelah diberikannya intervensi adalah meningkatnya perhatian dan pemahaman subjek terhadap materi cerita yang disampaikan kepada mereka yang ditunjukkan dengan perolehan skor yang lebih baik dibandingkan fase sebelumnya. Subjek SMR mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan fase sebelumnya (baseline) dengan rata-rata 5,00 dan setelah intervensi rata-rata skornya meningkat menjadi 8,77. Peningkatan juga terjadi pada subjek AA selama intervensi dengan rata-rata skor baseline 2,71 meningkat menjadi 4,11. Hal yang sama juga terjadi pada keterampilan menyimak subjek SS yang juga meningkat, dimana dalam fase baseline ia hanya memperoleh rata-rata skor 2,14 dan pada fase selanjutnya meningkat menjadi 4,44. Keterampilan menyimak subjek ONR yang dalam fase baseline hanya memperoleh skor rata-rata sebesar 2,28 dan dalam fase intervensi naik menjadi 4,22. Dengan demikian disimpulkan bahwa storrytelling dengan komunikasi total memiliki pengaruh terhadap


(2)

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian bahwa dengan menggunakan komunikasi total dalam storytelling dapat meningkatkan keterampilan menyimak siswa tunarungu, maka disarankan:

1. Orang tua menyediakan waktu untuk storytelling dengan menggunakan buku dan menyampaikannya kepada anak dengan mempertimbangkan minat anak. Kegiatan tersebut bertujuan untuk menambah kedekatan dengan anak serta membiasakan anak familiar dengan bahan bacaan di rumah, terutama bacaan yang digemarinya. Dan akan lebih baik lagi jika orang tua bisa menyediakan alat bantu dengar, bahkan jika memungkinkan dengan melakukan implan koklea agar anak dapat menerima informasi auditoris.

2. Peneliti selanjutnya diharapkan dapat lebih menyempurnakan kekurangan yang ada dalam penelitian ini diantaranya penerapan storytelling pada subjek yang memiliki orang tua juga tunarungu serta pada anak tunarungu dan sebaiknya juga dengan mengukur pengaruh storytelling pada beberapa target behavior seperti kesadaran fonetis, kemampuan membaca, bicara dan menulis.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Agustina, S. (2008). Mendongeng Sebagai Energi Bagi Anak. Jakarta: Rumah Ilmu Indonesia.

Alam, Z., and Sinha, B. S. (2009). “Developing Listening Skills forTertiary Level Learners”. The Dhaka University Journal of Linguistics. 2. (3). 19-52

Alimin, Z. (2008). Hambatan Belajar. [online]. Tersedia: http://z-alimin.blogspot.com/2008/03/hambatan-belajar-dan-hambatan.html [12

Desember 2012].

Anonim. (2009). “Menguak Efektifitas Kelas Menyimak dalam Pelajaran Bahasa Asing”. Ta’allum. 19. (2). 153-161.

Armstrong, T. K., & Hughes, M. T. (2012). “Exploring Computer and Storybook Interventions for Children With High Functioning Autism”. International Journal of Special Education. 27. (3). 88-99.

Asfandiyar, A. Y. (2007). Cara Pintar Mendongeng. Jakarta: Mizan.

Astuti. (2002). Menyimak. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Boltman, A. ( 2001). “Children’s Storytelling Technologies: Differences in

Ellaboration and Recall”. Tersedia [online]

http://itiseer.1stpsu.edo/563253.html diakses pada 29 November 2013. Bozorgian, H. (2012) “Listening Skill Requires a Further Look into

Second/Foreign Language Learning”. International Scholarly Research Network (ISRN Education). Vol. 2012. 1-10.

Bunanta, M. (2009). Buku, Dongeng, dan Minat Baca. Jakarta : Murti Bunanta Foundation.

Bunawan, L. (1997). Komunikasi Total. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pendidikan Tenaga Akademik.

Bunawan, L. & Yuwati, C. S. (2000). Penguasaan Bahasa pada Anak Tunarungu. Jakarta: Yayasan Santi Rama.

Crowther, J. (eds). (1995). Oxford Advanced Learner’s Dictionary. New York: Oxford University Press.


(4)

Depdikbud. (2000). Pedoman Guru Pengajaran Wicara untuk Anak Tunarungu

untuk SLB B. Jakarta: Pendidikan Dasar dan Menengah Depdikbud.

Depdiknas. (2008). Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.

DesJardin, J. L., and Ambrose, S. E. (2010). “The Importance of the Home Literacy Environment for Developing Literacy Skills in Young Children Who Are Deaf or Hard of Hearing”. Young Exceptional Children. 13. (5).

28-44.

Edwards, L., and Crocker, S. (2008). Psychological Processes in Deaf Children

with Complex Needs. London: Jessica Kingsley Publishers.

Faisal. (1982). Metodologi Penelitian. Surabaya: Usaha Nasional.

Fakhrudin, M. (2009). “Cara Mendongeng”. Makalah pada Pelatihan Teknik Mendongeng bagi Guru Taman Kanak-Kanak se-Kabupaten Purworejo tanggal 16 Desember 2003. Purworejjo: Tidak diterbitkan.

Foster, L. H. (2010). “A Best Kept Secret: Single-Subject Research Design in Counseling”. Counseling Outcome Research and Evaluation. 1. (2). 30-39.

Friend, M. (2005) Special Education; Contemporary Perspectives For School

Proffesionals. USA: Pearson Education, Inc.

Gregory, S. et.al. (eds). (1998) Issues in Deaf Education. London: David Fulton Publishers.

Habsah, A. (2012). Kajian Pustaka : Pengertian Anak Tunarungu. [Online]. Tersedia:

http://repository.upi.edu/operator/upload/s_plb_0909516_chapter2.pdf [27

Desember 2012].

Hernawati, T. (2007). “Pengembangan Kemampuan Berbahasa dan Berbicara Anak Tunarungu”. JASSI_anakku. 7. (1). 101-110.

Howe, E. B. ( 2004). Kekuatan Ganda Cerita. Terjemahan oleh Tim Penerjemah. Jakarta: Gramedia.

Ingber, S., Al-Yagon, M., and Dromi, E. (2010). “Mothers' Involvement in Early Intervention for Children With Hearing Loss: The Role of Maternal Characteristics and Context-Based Perceptions”. Journal of Early Intervention. 32. (5). 351-369.

Iskandarwassid, dan Sunendar, D. (2011). Startegi Pembelajaran Bahasa. Bandung: PT. remaja Rosdakarya.


(5)

Islam, M, N. (2012). “An Analysis on How to Improve Tertiary EFL Students’ Listening Skill of English”. Journal of Studies in Education. 2. (2). 205-214

Johnsen, B. H, “Sejarah Pendidikan Kebutuhan Khusus Menuju Inklusi Dalam Kontek Norwegia dan Eropa” Dalam Skjorten, MD. (eds). (2001). Towards

Inclusion, Education-Special Needs Education An Introduction. Oslo:

Unipub Forlag.

Lane, H., Pillard, R. C & Hedberg, U. (2011). The People of The Eye; Deaf

Ethnicity and Ancestry. New York: Oxford University Press.

Lang, H. G. (2003). “Perspectives on the History of Deaf Education”. Dalam Marschark, M., and Spencer, P. E. (eds). (2003). Oxford Handbook Of Deaf

Studies, Language, And Education. New York: Oxford University Press,

Inc.

Lewis, V. (2003). Developmental and Disabilitiy; Second Edition. United Kingdom: Blackwell Publishing.

MacDonald, M. R. (1995). The Parents Guide Storytelling: How to Make-up New

Stories and Retend Old Favourites. USA: Herper Collins Publisher.

Maggin, D. M., Briesch, A. M., & Chafouleas, S. M. (2012). “An Application of The What Works Clearinghouse Standards for Evaluating Single-Subject Research : Synthesis of the Self-Management Literature Base”. Remedial and Special Education. 34. (1). 44– 58.

Majid, A. A. A. (2001). Mendidik dengan Cerita. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Marschark, M., and Hauser, P. C. (eds). (2008). Deaf Cognition; Foundations and

Outcomes. New York: Oxford University Press.

Musrifoh, T. (2008). “Memilih, Menyalin, dan Menyajikan Cerita untuk Anak Usia Dini”. Tersedia [online] http://www.pestabuku.com diakses pada 26 November 2013.

Nieminen. L and Takkinen, R. (2011). “Evaluative Language in Spoken and

Signed Stories Told by A Deaf Child With A Cochlear Implant: Words, Signs or Paralinguistic Expressions?”. ESUKA – JEFUL. 2. (2). 137-157.

Ogden, P. W (2006) .”The Silent Garden: Reaching Out to Your Deaf Children”. Dalam: Harvey Goodstein, editor (2006). The Deaf way II reader : Perspectives from The Second International Conference on Deaf Culture . Washington, DC: Gallaudet University Press.


(6)

Paul, P. V., & Whitelaw, G. M. (2011). Hearing And Deafness : An Introduction

For Health And Education Professionals. Canada: Jones and Bartlett

Publishers.

Permanarian, Somad. (2009). Dampak Ketunarunguan. [online]. Tersedia:

http://permanariansomad.blogspot.com/2009/11/dampakketunarunguan.html [3 Januari 2013].

Rogow, S. (2005). “A Developmental Model of Disabilities”. International Journal of Special Education. 20. (2). 132-135.

Sass-Lehrer, M., and Bodner-Johnson, B.(2003). “Early Intervention Current Approaches to Family-Centered Programming”. Dalam Marschark, M., and Spencer, P. E. (eds). (2003). Oxford Handbook Of Deaf Studies, Language,

And Education. New York: Oxford University Press, Inc.

Serrat, O. (2008). Storytelling. USA: Reed Elsevier.

Somantri, T. S. (2007). Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: PT. Refika Aditama.

Sunanto, J., Takeuchi, K., & Nakata, H. (2006). Penelitian dengan Subjek

Tunggal. Bndung: UPI Press..

Suparno. (1997). Diktat Komunikasi Total. Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Yogyakarta: Prodi Pendidikan Khusus.

Tarigan, H. G. (2008). Menyimak Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.

Trelease, J. (2006). Read-Aloud Handbook; Mencerdaskan Anak dengan

Membacakan Cerita Sejak Dini. Jakarta: Hikmah.

van Wingerden, M. R, de Ruyter, D, & Groenendijk, L. (2009). “Jan Waterink (1890-1966), A Dynamic Dutch Pioneer of Special Education”. International Journal of Special Education. 24. (3). 21-28.

Weikle, B., & Hadadian, A. (2003). “Emergent Literacy Practices Among Parents of Preschool Children with and without Disabilities”. International Journal of Special Education. 18. (1). 80-99.


Dokumen yang terkait

Peningkatan keterampilan menyimak melalui penerapan metode bercerita pada siswa kelas II SDN Pamulang Permai Tangerang Selatan Tahun Pelajaran 2013/2014

20 223 100

KEEFEKTIFAN MODEL PEMBELAJARAN PAIRED STORYTELLING TERHADAP KETERAMPILAN MENYIMAK CERITA SISWA SD KELAS

22 211 224

PENINGKATAN KETERAMPILAN MENYIMAK DONGENG MELALUI MODEL PAIRED STORYTELLING DENGAN MEDIA WAYANG KARTUN PADA SISWA KELAS II SDN MANGUNSARI SEMARANG

1 14 290

PENINGKATAN KETERAMPILAN MENYIMAK CERITA ANAK MELALUI PENDEKATAN SAVI (SOMATIS, AUDITORI, VISUAL, Peningkatan Keterampilan Menyimak Cerita Anak Melalui Pendekatan Savi (Somatis, Auditori, Visual, Intelektual) Dengan Media Audio Visual Pada Siswa Kelas V

0 3 12

PENINGKATAN KETERAMPILAN MENYIMAK CERITA MELALUI TEKNIK PAIRED STORYTELLING DENGAN MEDIA AUDIOVISUAL Peningkatan Keterampilan Menyimak Cerita Melalui Teknik Paired Storytelling Dengan Media Audiovisual Pada Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Siswa Kelas V S

0 2 15

PENINGKATAN KETERAMPILAN MENYIMAK CERITA MELALUI TEKNIK PAIRED STORYTELLING DENGAN MEDIA AUDIOVISUAL Peningkatan Keterampilan Menyimak Cerita Melalui Teknik Paired Storytelling Dengan Media Audiovisual Pada Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Siswa Kelas V S

0 0 16

PENGARUH STORYTELLING DENGAN KOMUNIKASI TOTAL TERHADAP PENINGKATAN KETERAMPILAN MENYIMAK SISWA TUNARUNGU.

1 2 40

POLA KOMUNIKASI IBU TUNGGAL DENGAN ANAK REMAJA (Studi Deskriptif Kualitatif Pola Komunikasi Ibu Tunggal Dengan Anak Remaja di Surabaya).

0 1 86

PENINGKATAN KETERAMPILAN MENYIMAK DONGENG MELALUI METODE STORYTELLING | Sularmi | Jurnal Didaktika Dwija Indria (SOLO) 8803 19193 1 PB

0 0 6

POLA KOMUNIKASI IBU TUNGGAL DENGAN ANAK REMAJA (Studi Deskriptif Kualitatif Pola Komunikasi Ibu Tunggal Dengan Anak Remaja di Surabaya)

0 0 22