KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF PRIA DENGAN ORIENTASI SEKSUAL SEJENIS : Studi Kasus Pada Tiga Pria Gay di Kota Bandung.

(1)

Sekar Anggreni, 2014

KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF

PRIA DENGAN ORIENTASI SEKSUAL SEJENIS (Studi Kasus Pada Tiga Pria Gay di Kota Bandung)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Oleh Sekar Anggreni

0901164

JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

2014


(2)

Sekar Anggreni, 2014

Kesejahteraan Subjektif Pria Dengan Orientasi Seksual Sejenis

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF

PRIA DENGAN ORIENTASI SEKSUAL SEJENIS (Studi Kasus Pada Tiga Pria Gay di Kota Bandung)

Oleh Sekar Anggreni

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi pada Fakultas Ilmu Pendidikan

© Sekar Anggreni 2014 Universitas Pendidikan Indonesia

Januari 2014

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhnya atau sebagian,


(3)

(4)

Sekar Anggreni, 2014

Kesejahteraan Subjektif Pria Dengan Orientasi Seksual Sejenis


(5)

Sekar Anggreni, 2014

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Kesejahteraan Subjektif Pria Dengan Orientasi Seksual Sejenis (Studi Kasus Pada Tiga Orang Gay di Kota Bandung)” ini sepenuhnya karya sendiri. Tidak ada bagian di dalamnya yang merupakan plagiat dari karya orang lain dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang berlaku dalam masyarakat keilmuan. Atas pernyataan ini saya siap menanggung resiko / sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila kemudian ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya saya ini, atau ada klaim dari pihak lain terhadap keaslian karya saya ini.

Bandung, Januari 2014 Yang membuat pernyataan,


(6)

Sekar Anggreni, 2014

Kesejahteraan Subjektif Pria Dengan Orientasi Seksual Sejenis

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

ABSTRAK

Sekar Anggreni (0901164). Kesejahteraan Subjektif Pria Dengan Orientasi Seksual Sejenis (Studi Kasus Pada Tiga Pria Gay di Kota Bandung). Skripsi. Jurusan Psikologi Fakultas Ilmu Pendidikan. Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung (2014).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kesejahteraan subjektif pria dengan orientasi seksual sejenis di kota Bandung. Kesejahteraan subjektif dapat diartikan sebagai evaluasi yang berupa penilaian kognitif dan penilaian afektif seseorang terhadap hidupnya, baik bersifat positif maupun negatif. Jadi, kesejahteraan subjektif dalam penelitian ini terdiri dari dua komponen yaitu penilaian kognitif dan penilaian afektif, serta faktor-faktor apa saja yang menyebabkan kesejahteraan subjektif. Subjek penelitian berjumlah tiga orang gay yang berdomisili di kota Bandung. Desain penelitian yang dipilih adalah desain kualitatif, dengan teknik pengumpulan data yaitu wawancara dan observasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat kesenjangan antara kondisi aktual dengan harapan pada ketiga subjek, yang menyebabkan ketidakpuasan dalam kehidupannya sebagai seorang gay. Mereka mengharapkan agar masyarakat dapat menerima pilihannya sebagai seorang homoseksual. Namun, ketiga subjek merasakan kepuasan dan ketidakpuasan di area hidup yang berbeda-beda. Faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan mereka juga berbeda-beda. Faktor yang sebagian besar mempengaruhi adalah hubungan dan dukungan sosial, harga diri, dan agama. Rekomendasi untuk ketiga subjek, hendaknya dapat memikirkan kembali akan keputusannya menjadi seorang gay dengan segala konsekuensi yang ada, agar penerimaan diri dan kesejahteraan subjektif cenderung tidak menurun.


(7)

Sekar Anggreni, 2014

ABSTRACT

Sekar Anggreni (0901164). The Subjective Well-Being of a Man With Same Sexual Orientation (Case Study of Three Gay in Bandung). Skripsi. Department of Psychology, Faculty of Education. Indonesia University of Education. Bandung (2014)

The aim of research describes subjective well-being of men with same sexual orientation in Bandung. Subjective well-being can be interpreted as an evaluation of cognitive and affective assessment of somebody to his life, both positive and negative aspect. Thus, there are two components of subjective well-being in this research which are cognitive and affective assessment, also several factors that cause subjective well-being. The subjects are three people who live in Bandung. Research design is qualitative approach with using data collection techniques namely interviews and observations. The result of research shows that there is a gap between actual conditions and hoping through those three subjects, it affects dissatisfaction in their life as a gay. They expect people accept his choice. However, they feel satisfaction and dissatisfaction in their life area. They also have different satisfaction and dissatisfaction factors. The biggest factors that affect their subjective well-being are social relationship, support, self-esteem, and religion. Recommendation for subjects: should be reconsidering their choice as a gay with all of consequences, so it helps their self-esteem and subjective well-being stable.


(8)

Sekar Anggreni, 2014

Kesejahteraan Subjektif Pria Dengan Orientasi Seksual Sejenis

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

LEMBAR PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING

SURAT PERNYATAAN……….. ABSTRAK……… ABSTRACT ... i ii iii KATA PENGANTAR ... iv UCAPAN TERIMAKASIH ... v DAFTAR ISI ... viii DAFTAR TABEL ... DAFTAR LAMPIRAN……….

xi xiii BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... B. Fokus Penelitian ... C. Rumusan Masalah ... D. Tujuan Penelitian ... E. Manfaat Penelitian ... F. Sistematika Penulisan ...

1 8 8 9 9 10 BAB II KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF DAN ORIENTASI SEKSUAL

SEJENIS

A. Kesejahteraan Subjektif ... 1. Definisi Kesejahteraan Subjektif ... 2. Teori-teori Kesejahteraan Subjektif... 3. Komponen Kesejahteraan Subjektif ...

11 11 12 15


(9)

Ix

Sekar Anggreni, 2014

4. Prediktor-prediktor Kesejahteraan Subjektif ... B. Orientasi Seksual ... 1. Definisi Orientasi Seksual………. 2. Jenis-jenis Orientasi Seksual………... C. Homoseksual………... 1. Definisi Homoseksual………. 2. Penyebab Homoseksual……….. 3. Macam-macam Homoseksual………. 4. Penggolongan Homoseksual……… 5. Pendekatan Fisiologis dan Psikologis………...………… 6. Homoseksual dalam Perspektif Psikologi……… 7. Homoseksualitas dalam Masyarakat Indonesia……….. D. Penelitian Terdahulu ...

19 25 25 25 26 26 26 28 29 31 31 33 34 BAB III METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian ... B. Definisi Operasional……… C. Instrumen Penelitian ...

D. Subjek Penelitian ... E. Teknik PengumpulanData ... F. Teknik Analisis Data ... G. Pengujian Keabsahan Data ... H. Prosedur Penelitian ...

37 38 38 38 39 40 42 44


(10)

x BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian Subjek ... 1. Subjek Pertama ... 2. Subjek Kedua ... 3. Subjek Ketiga ... B. Deskripsi Hasil Penelitian... 1. Gambaran Kesejahteraan Subjektif ... 2. Faktor-faktor Yang Menyebabkan Kesejahteraan Subjektif ... C. Pembahasan ... 1. Gambaran Kesejahteraan Subjektif ... 2. Faktor-faktor Yang Menyebabkan Kesejahteraan Subjektif .... BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

46 46 73 90 110 110 119 123 123 130

A. Kesimpulan ... B. Rekomendasi ... DAFTAR PUSTAKA

132 135

LAMPIRAN


(11)

Sekar Anggreni, 2014

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Orientasi seksual sesama jenis atau biasa disebut homoseksual, tentu saja bukan merupakan suatu fenomena yang baru. Hal ini telah lama ada di setiap budaya dan masyarakat. Namun, dalam kehidupan masyarakat modern, keberadaan kaum homoseksual atau penyuka sesama jenis memang sudah tidak asing lagi, bahkan fenomena ini sekarang sudah tampak nyata dan kasat mata bermunculan di tempat-tempat umum. Tidak sedikit dari komunitas tersebut yang mulai menunjukkan eksistensinya ke hadapan publik.

Di Indonesia, sekelompok kaum homoseksual tidak tanggung-tanggung mempublikasikan kelompoknya ke masyarakat dengan cara membentuk komunitas lesbian atau gay. Hasil survei YPKN (Yayasan Pelangi Kasih Nusantara) menunjukkan, ada 4.000 hingga 5.000 penyuka sesama jenis di Jakarta. Sedangkan Gaya Nusantara memperkirakan, 260.000 dari 6.000.000 penduduk Jawa Timur adalah homoseksual. Angka-angka tersebut belum termasuk kaum homoseksual di kota-kota besar. Oetomo memperkirakan, secara nasional jumlahnya mencapai sekitar 1% dari total penduduk Indonesia (Asmani, 2009). Dr. Dede Oetomo, adalah "presiden" gay Indonesia, yang telah 18 tahun mengarungi hidup bersama dengan pasangan homonya, beliau juga seorang "pentolan" Yayasan Gaya Nusantara.

Kata homoseksual jika diterjemahkan secara harfiah adalah “sama gender" yang merupakan hasil penggabungan bahasa Yunani yaitu homos berarti "sama" dan bahasa Latin sex berarti "seks". Istilah homoseksual pertama kali ditemukan dalam sebuah pamflet di Jerman yang diterbitkan pada tahun 1869 yang ditulis oleh novelis Karl-Maria Kertbeny, kelahiran Austria. Homoseksual adalah ketertarikan seksual terhadap jenis kelamin yang sama (Feldmen, 1990). Ketertarikan seksual ini yang dimaksud adalah orientasi


(12)

2

Sekar Anggreni, 2014

Kesejahteraan Subjektif Pria Dengan Orientasi Seksual Sejenis

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

seksual, yaitu kecenderungan seseorang untuk melakukan perilaku seksual dengan laki-laki atau perempuan (Nietzel dkk., 1998). Homoseksualitas bukan hanya kontak seksual antara seseorang dengan orang lain dari jenis kelamin yang sama tetapi juga menyangkut individu yang memiliki kecenderungan psikologis, emosional, dan sosial terhadap seseorang dengan jenis kelamin yang sama (Kendall, 1998).

Homoseksual terdiri dari gay dan lesbi. Gay yaitu laki-laki yang secara seksual tertarik terhadap laki-laki dan lesbi adalah perempuan yang secara seksual tertarik terhadap perempuan. Perdebatan terhadap kaum homoseksual baik gay maupun lesbi membuahkan sikap negatif dari lingkungan sosial. Akan tetapi, sikap negatif diskriminasi pada homoseksual lebih banyak ditunjukkan kepada gay daripada lesbian (Hyde, 1979). Hal ini dikarenakan dalam berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, gay lebih banyak terbuka untuk mengungkapkan orientasi seksualnya daripada lesbian yang masih sangat tertutup (Oetomo, 2003).

Berdasarkan penelitian sebelumnya tentang homoseksual yang di lakukan oleh Nugroho, dkk. (2010) dapat ditarik kesimpulan, bahwa faktor penyebab seseorang memutuskan untuk menjadi seorang homoseksual terbagi menjadi faktor biologis dan lingkungan. Faktor biologis masih belum dapat dipastikan sebagai salah satu penyebab orientasi seksual sesama jenis. Lingkungan mempunyai pengaruh yang lebih besar dari faktor biologis. Faktor lingkungan kemudian terbagi lagi menjadi lingkungan keluarga dan lingkungan pergaulan. Pola asuh orangtua yang cenderung otoriter dan lebih banyak menggunakan kekerasan untuk menghukum anak mempengaruhi kepribadian anak. Pengalaman homoseksual dini juga mempunyai pengaruh terhadap pembentukan identitas pada gay, adanya pengalaman seksual terhadap sesama jenis memberikan kenikmatan pada subjek yang ingin diulanginya kembali. Pengalaman homoseksual usia dini yang terjadi berulang-ulang dapat membuat subjek pada akhirnya menikmati hubungan sesama jenis.


(13)

3

Sekar Anggreni, 2014

Pada awal abad ke 20, homoseksualitas dianggap sebagai suatu penyakit. Saat itu, para ahli kedokteran memandang hal ini sebagai suatu kondisi patologis yang harus diinvestigasi, diperhatikan dan disembuhkan, karena dinilai negatif sebagai salah satu dari perilaku sosial yang menyimpang dari segi hukum dan agama. Pada saat itu, homoseksual diklarifikasikan ke dalam gangguan jiwa. Pada tahun 1969, terjadi peristiwa Stonewall yang merupakan awal dari pergerakan pembebasan kaum gay di Amerika Utara untuk memperjuangkan hak-hak asasi manusia dan hak-hak sipil kaum homoseksual (Moore dan Rosenthal, 2006).

Kemungkinan batu loncatan terefektif bagi gerakan homoseksual adalah ketika tahun 1976, American Psychiatric Association (APA) menyatakan bahwa homoseksualitas tidak lagi dianggap sebagai suatu penyakit, tetapi dianggap sebagai sebuah varian orientasi seksual. Hal ini membuat banyak orang yang curiga kepada masyarakat ilmiah, yang menentang data ilmiah yang diketahui bahwa perilaku homoseksual dapat diubah, yang berarti perilaku tersebut merupakan suatu penyimpangan dan penyakit, bukan varian orientasi seksual yang merupakan kecenderungan genetis (Philips dan Khan, 2003).

Di Indonesia, sebenarnya kemunculan gay dimulai sekitar tahun 1920-an. Pada tahun itu, komunitas homoseksual mulai muncul di kota-kota besar Hindia Belanda. Menurut Asmani (2009) di Jakarta, pada tahun 1969 muncul organisasi gay pertama yaitu Himpunan Wadam Djakarta (HIWAD). Lalu pada tanggal 1 Maret 1982, berdiri organisasi gay terbuka pertama di Indonesia dan Asia, Lambda Indonesia, yang bertempat di Solo. Dalam waktu singkat terbentuk organisasi di Yogyakarta, Surabaya, Jakarta, dan kota-kota lain. Pada rentang waktu tahun 1982-1984, terbit buletin gay di Indonesia. Akibat dari munculnya organisasi Lambda Indonesia, di tahun 1992 terjadi ledakan berdirinya organisasi-organisasi gay di Jakarta, Pekanbaru, Bandung, dan Denpasar, kemudian disusul oleh Malang dan Ujungpandang pada tahun 1993 (Asmani, 2009). Kini, sudah banyak terdapat perkumpulan komunitas


(14)

4

Sekar Anggreni, 2014

Kesejahteraan Subjektif Pria Dengan Orientasi Seksual Sejenis

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

gay yang bertujuan untuk memberi dukungan bagi sesama kaum homoseksual. Komunitas-komunitas itu diantaranya adalah Yayasan Pelangi Kasih Nusantara (YPKN), Arus Pelangi, LPA Karya Bakti, Gay Sumatra (GATRA), Abiasa-Bogor, GAYA PRIAngan-Bandung, Yayasan Gessang-Solo, Viesta-Yogyakarta, GAYa NUSANTARA Surabaya, GAYA DEWATA-Bali, Ikatan Persaudaraan Orang-orang Sehati-Jakarta, dll (Asmani, 2009).

Berdasarkan Pikiran Rakyat online tahun 2008, Koordinator Himpunan yang bergerak di bidang kesehatan man have sex with man (MSM) Abiasa Bandung, Ronnie mengungkapkan, saat ini terdapat 17.000 pria homoseksual yang tersebar di berbagai daerah di kota Bandung. Jumlah tersebut diperkirakan akan terus bertambah mengingat setiap tahun selalu terjadi peningkatan yang cukup signifikan.

Keberadaan gay di Indonesia khususnya di kota Bandung secara perlahan mulai menunjukan eksistensinya. Terbukanya kaum gay ini dapat dilihat dari adanya suatu perkumpulan atau komunitas-komunitas tertentu. Biasanya mereka mengikuti keanggotaan komunitas untuk dapat mengeksploitasi diri mereka sebagai seorang gay. Komunitas dapat diartikan sebagai sekelompok orang yang saling peduli satu sama lain lebih dari yang seharusnya, dimana dalam sebuah komunitas terjadi relasi pribadi yang erat antar para anggota komunitas tersebut karena adanya kesamaan interest atau values (perhatian atau nilai). Secara fisik, suatu komunitas biasanya diikat oleh batas lokasi atau wilayah geografis. Masing-masing komunitas, karenanya akan memiliki cara dan mekanisme yang berbeda dalam menanggapi dan menyikapi keterbatasan yang dihadapainya serta mengembangkan kemampuan kelompoknya.

Fenomena kaum homoseksual dapat dikatakan berkembang dengan pesat. Hal ini dilihat dari munculnya beberapa film layar lebar yang mengangkat isu homoseksualitas, seperti film coklat stroberi dan arisan. Selain itu, terdapat komunitas gay yang menjamur di kota-kota besar.


(15)

5

Sekar Anggreni, 2014

Walaupun demikian, kaum homoseksual tetap dianggap berbeda oleh sebagian besar masyarakat yang masih menganggap tabu hubungan sesama jenis, karena sebagian besar masyarakat Indonesia masih menyandarkan nilai dan norma pada agama. Islam merupakan salah satu ajaran agama yang melarang hubungan sesama jenis. Hal ini tertera dalam Al-Quran surat Asy Syu’ara, Allah berfirman:

“Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki diantara manusia, dan kamu tinggalkan istri-istri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu, bahkan kamu adalah orang-orang yang melampaui batas”. (Asy Syu’ara: 165-166)

Dalam hal ini, sebagian besar agama di Indonesia melarang bahkan mengaharamkan keberadaan homoseksual (Mulyani, dkk, 2009). Sehingga homoseksual dianggap sebagai suatu penyimpangan, pendosa, terlaknat, bahkan penyakit sosial (Mulia, 2010).

Tobing (2003) mengatakan, kebanyakan kehidupan gay seringkali dianggap masyarakat sebagai perilaku menyimpang, oleh karena itu masyarakat sebagai “masyarakat baik-baik” cenderung menolak keberadan gay. Mereka menilai gay sebagai “komunitas tidak baik”, sebab menyimpang dari kelaziman etis dan sosial. Gay yang mengaku kepada teman-teman heteroseksual juga tidak jarang mendapat perlakuan seperti dihindari atau dijauhi, maka terjadi kesulitan antar pribadi, menutup diri dengan cara tidak berkomunikasi antar pribadi dengan orang lain, karena tidak seorangpun yang senang ditolak. Penolakan sosial juga bisa datang dari keluarga, yaitu bila orangtua tahu anaknya seorang gay, maka kemungkinan yang akan terjadi adalah orang tua akan menentang pilihan tersebut. Kebanyakan kaum homoseksual mengalami diskriminasi dan penganiayaan akibat sikap negatif yang ditunjukkan masyarakat (Friedman dan Schustack, 2008).

Keberadaan kaum gay di tengah masyarakatnya dan dalam berinteraksi dengan lingkungan sosialnya yang senantiasa dihadapkan pada nilai-nilai dan norma-norma sosial yang berlaku di masyarakat Indonesia membuat gay


(16)

6

Sekar Anggreni, 2014

Kesejahteraan Subjektif Pria Dengan Orientasi Seksual Sejenis

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

dikucilkan, dihukum, dan juga dilarang keras karena dianggap menyimpang dari nilai-nilai dan norma-norma sosial yang ada. Adanya sikap-sikap yang negatif dalam masyarakat tersebut membuat gay memiliki tantangan yang berat dalam proses penyesuaian sosialnya. Basrowi (2005) menyatakan bahwa dalam berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, bila individu ingin diterima dalam suatu lingkungan masyarakat, maka harus bertingkah laku berdasarkan nilai-nilai dan norma-norma sosial yang berlaku di lingkungan tempat tinggalnya.

Menjalani kehidupan sebagai seorang gay memiliki tantangan yang sangat berat dan pada akhirnya membuat dilema yang luar biasa. Di satu sisi, terdapat keinginan kuat untuk mengeksplorasi diri dan jujur pada diri sendiri untuk ingin dimiliki, tetapi di sisi lain bayangan menakutkan seperti akan ditinggalkan orang-orang terkasih, dijauhi oleh keluarga, bahkan hingga kemungkinan kehilangan pekerjaan sering kali menghantui dan memaksa dirinya untuk menjadi manusia dengan dua sisi. Kaum gay tersebut akan lebih memilih untuk bisa menutupi identitas mereka sebagai seorang gay dengan tampil selayaknya kaum heteroseksual (Adesla, 2009). Gay yang menutupi identitasnya dengan tampil selayaknya heteroseksual, akan mengalami stress apabila kurang mampu mengadaptasikan keinginan dengan kenyataan yang ada, baik di dalam maupun di luar dirinya (Anoraga, 2005).

Pada rancangan penelitian awal, peneliti telah melakukan wawancara singkat dengan BN mengenai kehidupannya. Dari hasil wawancara yang dilakukan tanggal 25 Oktober 2013, peneliti mendapatkan informasi mengenai adanya keluhan dari BN, seorang gay yang berdomisili di kota Bandung, mengenai lingkungan pergaulannya. Ia merasa nyaman menjadi seorang gay, namun ia merasa tidak nyaman dengan komunitas yang menurut BN sebagian besar anggotanya tidak cocok dengannya. Selain itu, BN berusaha menutupi identitasnya sebagai seorang gay kepada keluarga dan lingkungan tempat tinggalnya karena takut mengecewakan keluarganya dan dikucilkan di lingkungan tempat tinggalnya. Namun ia berusaha untuk terbuka akan


(17)

7

Sekar Anggreni, 2014

identitasnya sebagai seorang homoseksual kepada teman-teman di lingkungan pekerjaannya, agar ia diterima. BN juga mengaku bahwa saat ini ia nyaman dengan pasangannya dan ia merasa jujur terhadap dirinya sendiri. Hal ini menimbulkan dilema dalam dirinya. Berdasarkan wawancara awal tersebut, peneliti ingin mengetahui gambaran subjective well-being atau kesejahteraan sebjektif pria dengan orientasi seksual sejenis.

Subjective well-being (kesejahteraan subjektif) yaitu mengacu pada bagaimana orang menilai kehidupan mereka, dan termasuk beberapa variabel seperti kepuasan hidup, kurangnya depresi, kegelisahan, suasana hati dan emosi positif. Subjective well-being (kesejahteraan subjektif) dapat diketahui dari ada atau tidaknya perasaan bahagia. Pavot dan Diener (Dewi dan Utami, 2008) mengemukakan bahwa kesejahteraan subjektif akan mempengaruhi keberhasilan individu dalam berbagai wilayah kehidupan. Individu dengan tingkat kesejahteraan subjektif yang tinggi diperkirakan akan merasakan kepuasan dalam hidup, sering merasakan emosi positif, dan jarang merasakan emosi negatif (Compton, 2005). Oleh karena itu, individu dengan tingkat kesejahteraan subjektif yang tinggi cenderung lebih percaya diri, dapat menjalin hubungan sosial dengan lebih baik, serta menunjukkan kinerja yang lebih baik. Dalam keadaan yang penuh tekanan, individu dengan tingkat kesejahteraan subjektif yang tinggi akan lebih mampu melakukan adaptasi dan coping yang lebih efektif terhadap keadaan tersebut sehingga akan merasakan kehidupan yang lebih baik (Dewi dan Utami, 2008).

Diener (Compton, 2005) mengemukakan bahwa kepuasan dalam hidup dan kebahagiaan dapat dijelaskan dengan menggunakan dua pendekatan umum, yaitu bottom up theory dan top down theory. Selain itu, terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan subjektif menurut Compton (2005) , yaitu : harga diri positif, kontrol diri, ekstraversi, optimis, relasi sosial yang positif , dan memiliki arti dan tujuan dalam hidup.


(18)

8

Sekar Anggreni, 2014

Kesejahteraan Subjektif Pria Dengan Orientasi Seksual Sejenis

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti tertarik untuk meneliti masalah homoseksual ini secara ilmiah. Penelitian ini akan mencari gambaran kesejahteraan subjektif tiga orang gay di kota Bandung.

B. Fokus penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah disebutkan di atas, penelitian ini difokuskan untuk memperoleh gambaran serta faktor-faktor yang menyebabkan kesejahteraan subjektif pada tiga orang gay di kota Bandung.

C. Rumusan Masalah

Saat ini, masyarakat mulai mengenal adanya hubungan romantis selain hubungan antar lawan jenis, melainkan hubungan sesama jenis atau yang biasa disebut homoseksual. Banyaknya komunitas-komunitas homoseksual yang mulai menjamur di kota-kota besar memperlihatkan bahwa kaum homoseksual ingin mengaktualisasikan dirinya dan adanya keinginan untuk di terima oleh masyarakat. Perlahan-lahan, masyarakat mulai menerima keadaan kaum homoseksual, hal ini dapat dilihat dari beberapa film Indonesia yang mengangkat tentang fenomena homoseksualitas dan beberapa pekerjaan yang sudah mulai menerima kaum homoseksual, seperti dunia hiburan. Namun, sebagian besar masyarakat masih menganggap tabu perihal homoseksualitas. Banyak masyarakat memandang heteroseksualitas sebagai perilaku seksual “wajar”, sedangkan homoseksualitas secara tradisional dipandang sebagai gangguan mental. Selain itu, homoseksualitas merupakan hal yang dilarang oleh agama dan norma yang ada di masyarakat.

Dari rumusan masalah di atas, dijabarkan dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana gambaran kesejahteraan subjektif pria dengan orientasi seksual sejenis?

2. Faktor – faktor apa saja yang menyebabkan kesejahteraan subjektif seorang pria dengan orientasi seksual sejenis?


(19)

9

Sekar Anggreni, 2014

D. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui gambaran kesejahteraan subjektif pria dengan orientasi seksual sejenis.

2. Untuk mengetahui faktor - faktor yang menyebabkan kesejahteraan subjektif seorang pria dengan orientasi seksual sejenis.

E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan teoritis bagi disiplin ilmu psikologi, khususnya mengenai kesejahteraan subjektif pria dengan orientasi seksual sejenis.

b. Memberikan sumbangan informasi baik bagi pembaca atau khususnya peneliti yang akan mengambil kajian tentang kesejahteraan subjektif untuk kemudahan penelitian selanjutnya.

2. Manfaat praktis a. Bagi masyarakat

Memberikan gambaran tentang kesejahteraan subjektif yang dimiliki oleh pria dengan orientasi seksual sejenis.

b. Bagi peneliti

Membantu menambah wawasan tentang kajian kesejahteraan subjektif. Lebih jauh, penelitian ini bermanfaat sebagai bahan latihan penulisan karya ilmiah.

F. Sistematika Penulisan Skripsi

Sistematika penulisan skripsi terdiri dari Bab I sampai Bab V yang dijabarkan sebagai berikut :


(20)

10

Sekar Anggreni, 2014

Kesejahteraan Subjektif Pria Dengan Orientasi Seksual Sejenis

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

1. BAB I Pendahuluan

Berisi tentang uraian pendahuluan dan merupakan bagian awal dari skripsi. Pendahuluan berisi latar belakang, fokus penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian. Pada bab ini, peneliti menjelaskan alasan mengapa topik kesejahteraan subjektif pria dengan orientasi seksual sejenis diteliti.

2. BAB II Kajian Pustaka

Kajian pustaka berisi konsep dan teori dalam bidang yang dikaji. Pada bab ini, berisi penjelasan mengenai definisi, teori, komponen, dan faktor dari kesejahteraan subjektif dan pria dengan orientasi seksual sejenis. Dengan demikian, pembaca akan terlebih dahulu memiliki pemahaman mengenai kesejahteraan subjektif sebelum mendapatkan penjelasan mengenai gambaran topik kesejahteraan subjektif pria dengan orientasi seksual sejenis.

3. BAB III Metode Penelitian

Metode penelitian berisi tentang penjabaran rinci mengenai metode penelitian, termasuk beberapa komponen seperti lokasi dan subjek penelitian, desain penelitian, teknik pengumpulan data, teknik pengolahan data dan teknik keabsahan data.

4. BAB IV Hasil dan Pembahasan

Hasil dan pembahasan berisi tentang pengolahan dan pembahasan atau analisis data untuk menghasilkan temuan yang berkaitan dengan masalah penelitian. Pada bab ini, akan ditemukan penjelasan bagaimana kesejahteraan subjektif pria dengan orientasi seksual sejenis.

5. BAB V Kesimpulan dan Rekomendasi

Kesimpulan dan rekomendasi berisi tentang penafsiran dan pemaknaan peneliti terhadap hasil analisis temuan penelitian.


(21)

Sekar Anggreni, 2014

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Penelitian kualitatif digunakan untuk memahami fenomena yang dialami oleh subjek penelitian seperti perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain secara holistik dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa. Penelitian ini dilakukan pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 2009).

Studi kasus adalah penelitian yang diarahkan untuk menghimpun data, mengambil makna, dan memperoleh pemahaman dari kasus tersebut. Kesimpulan studi kasus hanya berlaku untuk kasus tersebut. Tiap kasus bersifat unik atau memiliki karakteristik sendiri yang berbeda dengan kasus lainnya. Dalam studi kasus, digunakan berbagai teknik pengumpulan data seperti wawancara, observasi, dan studi dokumenter yang semuanya difokuskan untuk mendapatkan kesatuan data dan kesimpulan (Ghony dan Almanshur, 2012). Studi kasus menekankan pada eksplorasi dari suatu “system yang terbatas” (bounded system) pada satu kasus atau beberapa kasus secara mendetail, disertai dengan penggalian data secara mendalam yang melibatkan beragam sumber informasi yang kaya akan konteks (Creswell dalam Herdiansyah, 2012).

Dalam pengumpulan data, terdapat tahapan diantaranya (a) menentukan batasan dalam penelitian, (b) mengumpulkan informasi melalui observasi, wawancara, dokumen-dokumen, dan data penunjang lainnya (Creswell, 1994). Data dikumpulkan dengan teknik wawancara mendalam (in-depth interview) dan observasi secara tersamar (covert observation) selama wawancara berlangsung.


(22)

38

Sekar Anggreni, 2014

Kesejahteraan Subjektif Pria Dengan Orientasi Seksual Sejenis

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus ini dipilih karena peneliti ingin menggali lebih dalam aspek-aspek yang berkaitan satu sama lain dalam mengetahui kesejahteraan subjektif pada homoseksual.

B. Definisi Operasional Penelitian

Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan kesejahteraan subjektif yaitu evaluasi yang berupa penilaian kognitif dan penilaian afektif seseorang terhadap hidupnya, baik bersifat positif maupun negatif.

Pria dengan orientasi seksual sejenis atau gay artinya, pria dengan orientasi seksual terhadap jenis kelamin yang sama yang melibatkan kondisi psikologis, emosional, dan sosial pada individu tersebut.

C. Instrumen Penelitian

Peneliti sebagai human instrument, berfungsi menetapkan fokus penelitian, memilih informan sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data, menilai kualitas data, melakukan analisis data, menafsir data dan membuat kesimpulan (Sugiyono, 2010). Dalam penelitian ini, instrumen penelitian yang digunakan adalah peneliti sendiri.

D. Subjek Penelitian

Dalam penelitian ini, pemilihan subjek penelitian menggunakan teknik purposive sampling. Menurut Herdiyansyah (2012), purposive sampling adalah teknik menentukan sampel berdasarkan kepada ciri-ciri yang dimiliki oleh subjek yang dipilih karena ciri-ciri tersebut sesuai dengan tujuan penelitian yang akan dilakukan. Margono (2004) menyatakan bahwa purposive sampling didasarkan atas ciri-ciri tertentu


(23)

39

Sekar Anggreni, 2014

yang dipandang mempunyai sangkut paut yang erat dengan ciri-ciri populasi yang sudah diketahui sebelumnya.

Dalam pengumpulan subjek, peneliti menggunakan teknik snowball sampling. Menurut Sugiyono (2010), snowball sampling adalah teknik penentuan sampel yang mula-mula jumlahnya sedikit atau kecil, kemudian sampel diminta untuk memilih teman-temannya untuk dijadikan sampel.

Prosedur pemilihan snowball sampling dilakukan secara bertahap. Pertama, mengidentifikasi orang yang dianggap dapat memberi informasi untuk diwawancarai. Peneliti menjadikan subjek 1 (BN) untuk menjadi informan pertama. Kemudian, BN dijadikan sebagai informan untuk mengidentifikasi orang lain sebagai sampel yang dapat memberi informasi. BN merekomendasikan kedua temannya yaitu RH dan RP sebagai subjek kedua dan ketiga. Demikian proses ini berlangsung hingga terpenuhi jumlah anggota sampel yang dikehendaki (Silalahi, 2009).

E. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara. Menurut Moleong (dalam Herdiansyah, 2012), wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan dilakukan oleh dua pihak, yaitu interviewer yang mengajukkan pertanyaan dan interviewee yang memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut. Sedangkan menurut Gorden (dalam Herdiansyah, 2012), wawancara merupakan percakapan antara dua orang yang salah satunya bertujuan untuk menggali dan mendapatkan informasi untuk suatu tujuan tertentu.

Bentuk wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara semi terstruktur. Dalam wawancara semi terstruktur, pertanyaan yang diajukan adalah pertanyaan terbuka, namun ada batasan tema dan alur pembicaraan, yang berarti bahwa pertanyaan dan jawaban yang diberikan tidak dibatasi, sehingga subjek dapat lebih bebas


(24)

40

Sekar Anggreni, 2014

Kesejahteraan Subjektif Pria Dengan Orientasi Seksual Sejenis

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

mengemukakan jawabannya sepanjang tidak keluar dari konteks pembicaraan (Herdiansyah, 2012). Selain itu, pengumpulan data juga dilakukan dengan wawancara mendalam (in depth interview), yaitu proses wawancara untuk mengetahui pemikiran, persepsi dan pengalaman seseorang secara lebih mendalam (Musfiqon, 2012).

Peneliti mengajukkan pertanyaan yang telah disusun sebelumnya dengan mengacu pada komponen-komponen subjective well-being. Daftar pertanyaan dibuat sebagai pedoman wawancara supaya proses wawancara tetap terarah sesuai dengan tema yang ingin diteliti. Dalam pelaksanaannya peneliti memberikan kebebasan kepada subjek dalam mengungkapkan jawaban atau informasi diluar pertanyaan yang telah disiapkan.

Dalam pelaksanaannya, peneliti melakukan wawancara pada ketiga subjek dan melakukan pencatatan verbatim dengan dibantu oleh alat perekam. Jumlah wawancara yang dilakukan disesuaikan dengan data yang diperoleh, apakah dianggap telah memenuhi kebutuhan penelitian, sehingga perlu dilakukan wawancara kembali. Dari subjek, peneliti mendapatkan data yang diinginkan sesuai dengan tema dan tujuan penelitian.

F. Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis data model interaktif yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman (Herdiansyah, 2012) yang terdiri atas empat tahapan, yaitu:

1. Tahap pengumpulan data

Pada penelitian kualitatif, proses pengumpulan data dilakukan sebelum penelitian, pada saat penelitian, dan akhir penelitian. Creswell menjelaskan bahwa peneliti kualitatif sebaiknya sudah berpikir dan melakukan analisis ketika penelitian kualitatif baru dimulai. Proses


(25)

41

Sekar Anggreni, 2014

pengumpulan data pada penelitian kualitatif tidak memiliki segmen atau waktu tersendiri, melainkan sepanjang penelitian yang dilakukan proses pengumpulan data dapat dilakukan (Herdiansyah, 2012). 2. Tahap reduksi data

Inti dari reduksi data adalah proses penggabungan dan penyeragaman segala bentuk data yang diperoleh menjadi satu bentuk tulisan yang akan dianalisis (Herdiansyah, 2012). Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting serta dicari tema dan polanya (Sugiyono, 2010).

Dengan memilih dan memfokuskan hal-hal pokok sesuai dengan tema penelitian, data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya.

3. Tahap display data

Display data adalah mengolah data setengah jadi yang sudah seragam dalam bentuk tulisan dan sudah memiliki alur tema yang jelas ke dalam suatu matriks kategorisasi sesuai tema-tema yang sudah dikelompokkan dan dikategorikan, serta akan memecah tema-tema tersebut ke dalam bentuk yang lebih konkret dan sederhana yang disebut dengan subtema yang diakhiri dengan memberikan kode (coding) dari subtema tersebut sesuai dengan verbatim wawancara yang sebelumnya telah dilakukan (Herdiansyah, 2012). Dengan kata lain, display data adalah penyajian data dalam bentuk tabel yang berisi uraian atau teks naratif hasil wawancara yang sudah diberi kode-kode tertentu.

Dalam penelitian kualitatif, penyajian data dapat dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart, dan sejenisnya. Miles & Huberman menyatakan bahwa yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif (Sugiyono, 2010).


(26)

42

Sekar Anggreni, 2014

Kesejahteraan Subjektif Pria Dengan Orientasi Seksual Sejenis

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

4. Tahap penarikan kesimpulan dan/atau tahap verivikasi

Kesimpulan dalam penelitian kualitatif adalah temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada. Temuan ini dapat berupa deskripsi atau gambaran suatu objek yang sebelumnya belum jelas dan setelah diteliti menjadi jelas. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara dan akan berubah bila tidak ditemukkan bukti kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data selanjutnya, tetapi apabila kesimpulan yang dilakukan pada tahap awal didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel (Sugiyono, 2010).

Sebenarnya, hampir semua teknik analisis data kualitatif maupun kuantitatif selalu diakhiri dengan kesimpulan, tetapi yang membedakan adalah dalam analisis data kualitatif, kesimpulannya menjurus kepada jawaban dari pertanyaan penelitian yang diajukan sebelumnya (Herdiansyah, 2012).

Verifikasi yaitu membuat kesimpulan berdasarkan data-data yang valid dan konsisten yang diperoleh. Dalam penelitian ini, penarikan kesimpulan dan verifikasi dilakukan dengan menjelaskan hasil temuan penelitian dengan menjawab pertanyaan penelitian yang telah diajukan.

G. Pengujian Keabsahan Data

Pengujian keabsahan data dalam penelitian ini dilakukan dengan uji kredibilitas. Untuk menguji kredibilitas data yang diperoleh, maka dilakukan dengan langkah-langkah berikut :

1. Triangulasi.

Triangulasi merupakan teknik keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data. Peneliti menggunakan


(27)

43

Sekar Anggreni, 2014

teknik triangulasi sumber dan triangulasi waktu (Moleong, 2009).

a. Triangulasi sumber yaitu triangulasi yang dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber. Dalam penelitian ini, triangulasi sumber dilakukan dengan menggali sumber data dari narasumber lain selain subjek penelitian dan peneliti menggunakan beberapa sumber teori dan penelitian-penelitian terdahulu untuk mengecek dan menginterpretasi data hasil penelitian.

b. Triangulasi waktu yaitu triangulasi yang dilakukan dengan cara melakukan pengumpulan data dalam waktu dan situasi yang berbeda. Dalam penelitian ini peneliti melakukan wawancara lebih dari satu kali dan melakukan beberapa pengulangan pertanyaan wawancara di waktu yang berbeda.

2. Pengecekan Anggota (member check).

Pengecekan meliputi data, kategori analitis, penafsiran dan kesimpulan yang bertujuan untuk melihat apakah interpretasi yang dilakukan peneliti terhadap data yang diperoleh telah sesuai dengan apa yang dimaksud oleh subjek (Moleong, 2009). Dalam penelitian ini, pengecekan hasil wawancara dilakukan kepada subjek penelitian.

3. Pengecekan Sejawat (Peer Debriefing).

Teknik ini dilakukan dengan cara mengekspos hasil sementara atau hasil akhir yang diperoleh dalam bentuk diskusi dengan rekan sejawat (Moleong, 2009). Dalam penelitian ini,


(28)

44

Sekar Anggreni, 2014

Kesejahteraan Subjektif Pria Dengan Orientasi Seksual Sejenis

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

peneliti melakukan diskusi hasil penelitian dengan rekan peneliti dan dosen pembimbing..

H. Prosedur Penelitian

Pelaksanaan penelitian ini dibagi menjadi 4 tahap, yaitu : 1. Tahap persiapan

a. Menentukkan variabel yang akan diteliti.

b. Melakukan studi kepustakaan berkaitan variabel yang akan diteliti untuk mendapatkan gambaran penelitian.

c. Menentukan desain penelitian dan menetapkan subjek atau informan yang akan diteliti.

d. Melakukan wawancara awal dengan subjek.

e. Menyusun proposal penelitian sesuai dengan judul yang akan diteliti.

f. Mengajukan proposal penelitian. g. Mengurus perizinan penelitian.

h. Menghubungi subjek penelitian dan mengatur waktu serta lokasi pengambilan data.

i. Mempersiapkan perlengkapan penelitian, seperti pertanyaan wawancara dan alat tulis atau alat perekam.

2. Tahap pelaksanaan

a. Melakukan wawancara dengan subjek penelitian sesuai dengan pedoman wawancara yang telah disusun, wawancara dilakukan secara terpisah.

3. Tahap pengolahan data a. Mereduksi data. b. Display Data. c. Verifikasi data.


(29)

45

Sekar Anggreni, 2014

4. Tahap Penyelesaian

a. Menampilkan hasil analisis penelitian.

b. Pembahasan hasil analisis penelitian berdasarkan teori yang sesuai. c. Membuat kesimpulan hasil penelitian dan mengajukan


(30)

Sekar Anggreni, 2014

Kesejahteraan Subjektif Pria Dengan Orientasi Seksual Sejenis

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dipaparkan mengenai kesejahteraan subjektif pria dengan orientasi seksual sejenis, didapatkan kesimpulan bahwa gambaran kesejahteraan subjektif dan faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan subjektif pada ketiga subjek berbeda-beda. Adapun kesimpulan untuk masing-masing pertanyaan penelitian tersebut adalah sebagai berikut:

1. Kesejahteraan Subjektif Pria Gay

a) BN merasa bahwa selama menjalani kehidupannya sebagai seorang gay, ia lebih sering mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan. BN memiliki keinginan untuk berubah menjadi pria normal, namun ia belum sanggup berubah. Sehingga untuk saat ini, ia berharap agar orang-orang di sekitar dapat menerima keputusannya menjadi seorang homoseksual. Selama ini, BN sering kali merasa guilty dan insecure apabila orangtua dan orang-orang di sekitarnya mengetahui identitasnya sebagai seorang gay, sehingga ia menutupi hal tersebut dengan berperilaku dan tampil selayaknya heteroseksual. Selain itu, subjek merasakan ketidakpuasan di area-area utama dalam kehidupannya seperti keluarga, lingkungan tempat tinggal, dan pergaulan. Namun, di sisi lain, subjek merasa nyaman dan puas dengan kehadiran dari pasangannya yang dapat memenuhi kebutuhan psikologisnya, serta teman-teman di lingkungan kerja yang dapat menerima subjek sebagai seorang gay. b) RH menilai bahwa kehidupannya sebagai seorang gay adalah hal

yang indah. Subjek mengaku bahwa selama menjalani kehidupannya, ia lebih sering merasakan pengalaman dan perasaan


(31)

133

Sekar Anggreni, 2014

positif. Subjek dapat menerima keadaan dirinya sebagai seorang gay, dan mengaktualisasikan dirinya dalam komunitas gay di Bandung. Selain itu, subjek merasa puas dengan pencapaiannya sebagai performer di acara-acara yang khusus di peruntukkan bagi kaum gay. Subjek merasa puas terhadap sebagian besar area-area utama dalam kehidupannya seperti keluarga, lingkungan pergaulan, serta pasangan hidup. Namun, subjek merasa memiliki kesenjangan antara kondisi aktual dengan harapannya. Subjek menginginkan agar masyarakat di sekitarnya dapat menerima keputusannya menjadi seorang gay dan ia ingin agar masyarakat menilai bahwa hal tersebut tidak salah dan wajar.

c) RP menyadari bahwa pilihannya menjadi seorang gay adalah hal yang salah dari sudut pandang agama dan norma sosial. Subjek mengungkapkan jika selama hidupnya, ia lebih sering merasakan pengalaman dan perasaan negatif. Sebagian besar ia peroleh dari penolakan lingkunganakan perilakunya yang feminin, sehingga sampai saat ini, subjek menutupi identitasnya sebagai seorang gay. Subjek ingin kembali menjadi pria normal, namun hal tersebut justru semakin menyiksanya karena bertentangan dengan perasaannya. Selain itu, ia mengharapkan agar masyarakat dapat menerima keputusannya sebagai seorang gay. Subjek merasakan ketidakpuasan dalam area-area utama dalam kehidupannya seperti keluarga, lingkungan sosial dan dirinya sendiri. Subjek selalu merasa takut akan penolakan. Namun, saat ini subjek berusaha menerima dirinya sebagai seorang gay.

2. Faktor-faktor yang menyebabkan Kesejahteraan Subjektif

Setiap subjek memiliki faktor-faktor berbeda yang menyebabkan kesejahteraan subjektif, diantaranya adalah sebagai berikut :

a) Pada subjek 1 (BN), faktor agama merupakan salah satu faktor yang dominan dalam mempengaruhi kesejahteraan subjektifnya. Subjek


(32)

134

Sekar Anggreni, 2014

Kesejahteraan Subjektif Pria Dengan Orientasi Seksual Sejenis

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

meyadari bahwa pilihannya sebagai seorang gay adalah hal yang salah dalam sudut pandang agama. Hal tersebut memunculkan dilema yang besar dalam kehidupannya. Selain itu, terdapat kesenjangan antara kondisi aktual dengan harapan subjek yang mempengaruhi proses kognitif, sehingga mempengaruhi kesejahteraan subjektifnya. Di sisi lain, dukungan sosial datang hubungan sosial yang baik dengan rekan-rekan kerja dan pasangannya, sehingga mempengaruhi kesejahteraan subjektifnya. b) Pada subjek 2 (RH), faktor hubungan dan dukungan sosial

merupakan salah satu faktor dominan yang mempengaruhi kesejahteraan subjektifnya. Pada awalnya, subjek mengaku bahwa ia mulai mengenal dunia homoseksual dan berani berhubungan dengan sesama jenis ketika ia bergabung dengan komunitas homoseksual. Subjek merasa nyaman dan puas dengan teman-teman di komunitasnya. Dari hubungan sosial yang baik tersebut, subjek merasa mendapat dukungan dari teman-teman dan pasangannya. Selain itu, subjek optimis terhadap masa depannya baik dalam hal mencari pekerjaan dan dapat berubah menjadi pria normal kembali. Subjek mengatakan bahwa saat ini ia memilih untuk menjadi seorang homoseksual hanya untuk bersenang-senang saja.

c) Pada subjek 3 (RP), faktor hubungan dan dukungan sosial merupakan salah satu faktor dominan yang mempengaruhi kesejahteraan subjektifnya. Subjek mengaku sering merasakan perasaan negatif seperti marah dan sedih, karena penolakan dari lingkungan terhadap dirinya. Hal tersebut menyebabkan ia menarik diri dari lingkungan sosialnya, sehingga ia kurang mendapatkan dukungan sosial. Selain itu, subjek menyadari bahwa pilihannya sebgai seorang homoseksual adalah hal yang salah dalam sudut pandang agamannya. Sehingga hal tersebut menimbulkan dilemma dalam dirinya. Faktor lain yang mempengaruhi kesejahteraan individu adalah adanya kesenjangan antara kondisi aktual dengan


(33)

135

Sekar Anggreni, 2014

harapannya. Subjek mengaharapkan agar lingkungan sosial dapat menerimanya sebagai seorang homoseksual dan subjek menginginkan keluarga yang harmonis. Hal tersebut mempengaruhi proses kognitifnya, dan kemudian mempengaruhi kesejahteraan subjektifnya.

B. REKOMENDASI

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan mengenai kesejahteraan subjektif pria homoseksual, berikut ini merupakan beberapa rekomendasi untuk berbagai pihak yang terkait, yaitu:

1. Bagi kaum homoseksual

a. Kaum homoseksual hendaknya dapat memikirkan kembali akan keputusannya menjadi seorang gay dengan segala konsekuensi yang ada, agar penerimaan diri dan kesejahteraan subjektif cenderung tidak menurun.

b. Kaum homoseksual hendaknya dapat menyelesaikan permasalahan dengan memilih strategi coping yang tepat untuk menghadapi sumber tekanan.

c. Kaum homoseksual hendaknya meningkaktkan kualitas hubungan sosial sehingga dapat memberikan dukungan sosial yang berpengaruh terhadap kesejahteraan subjektifnya.

2. Bagi keluarga yang memiliki anggota keluarga homoseksual

a. Keluarga, terutama orangtua hendaknya memberikan kasih sayang dan perhatian yang cukup sesuai kebutuhan anak-anaknya.

b. Orangtua hendaknya memperhatikan perkembangan dan kehidupan sosial anak-anaknya, sehingga apabila terjadi penyimpangan dapat dicegah dan diarahkan ke hal yang lebih baik dan benar.


(34)

136

Sekar Anggreni, 2014

Kesejahteraan Subjektif Pria Dengan Orientasi Seksual Sejenis

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

3. Bagi masyarakat

a. Masyarakat diharapkan dapat memahami fenomena homoseksual di sekitar, dan memberikan dukungan yang positif untuk membantu mereka kembali sesuai kodratnya.

4. Bagi penelitian selanjutnya

a. Bagi peneliti yang tertarik dengan bahasan yang serupa, diharapkan dapat mengkaji lebih dalam mengenai kesejahteraan subjektif pria dengan orientasi seksual sejenis, sehingga akan memperoleh gambaran yang lebih luas dan memperkaya bahasan mengenai kesejahteraan subjektif.

b. Peneliti berharap agar penelitian mengenai kesejahteraan subjektif pria dengan orientasi seksual sejenis ini dapat menjadi rujukan dan referensi bagi penelitian selanjutnya, sehingga dapat diperoleh pengembangan penelitian yang lebih baik lagi.


(35)

Sekar Anggreni, 2014

DAFTAR PUSTAKA

Adesla, V. (2009). Resiko yang Rentan Dihadapi oleh Homoseksual. [online]. Tersedia : http://www.e-psikologi.com/epsi/klinis_detail.asp?id=566. [29 Oktober 2013]

Anonim. (2008). Kaum Gay di Bandung Ada 17.000. [online]. Tersedia : http://www.pikiran-rakyat.com/node/75401. [29 Oktober 2013]

Anoraga, P. (2005). Psikologi Kerja. Jakarta: Asdi Mahasatya.

Asmani, J. M. (2009). Awas! Bahaya Homoseks Mengintai Anak-Anak Kita. Jakarta: Pustaka Al Mawardi.

Asrori, A. (2006). Homoseksual. (Skripsi, Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang, 2006).

Ayyash-Abdo, H., Alamuddin, R. (2007). Predictors of subjective well being among college youth in Lebanon. The Journal of Social Psychology.

Banister, P. Burman, E. Parker. I. Taylor, M. Tindal, C. (1994). Qualitative Methods in Psychology, A Research Guide. Philadelpia: Open University Press.

Basrowi. (2005). Pengantar Sosiologi. Bogor: Ghalia Indonesia.

Bastaman, H.D. (1998). Adakah Harapan di Tanah Tipis Harapan? Mengenang Viktor Frankl Pendiri Logoterapi. Psikologika: Jurnal Pemikiran & Penelitian Psikologi, No.5, Thn 3, Fakultas Psikologi Universitas Islam Bandung.

Boehm, J. K., Lyubomirsky, S. (2008). Does Happines Promote Career Success. Journal of Career Assessment.


(36)

Sekar Anggreni, 2014

Kesejahteraan Subjektif Pria Dengan Orientasi Seksual Sejenis

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Carr, A. (2004). Positive Psychology: The Science of Happiness and Human Strengths. New York: Brunner-Routledge.

Cartwright, C.A., Cartwright, G.P. (1984). Developing Observation Skills (Second Edition). New York: McGraw-Hill.

Compton, W.C. (2005). Introduction to Positive Psychology. New York: Thomson Wodsworth.

Creswell, J.W. (1994). Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches. California: SAGE Publications.

Danim, S. (2002). Inovasi Pendidikan dalam Upaya Peningkatan Profesionalisme Tenaga Kependidikan. Bandung: Pustaka Setia.

Dermatoto, A. (2010). Mengerti, Memahami, dan Menerima Fenomena Homoseksual. [online]. Tersedia:

http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=mengerti%252C%2Bmemahami%252C%Bda n%2Bmenerima%2Bfenomena%Bhomoseksual%2Bargyo&source=web&cd=1&ved=0C BcQFjAA&url=http%3A%2F%2F%2Fargyo.staff.uns.ac.id%2Ffiles%2F2010%2F08%2F

seksualitas-undip.pdf&ei=zWS_To_YJoXkrAfK-P3BAQ&usg=AFQjCNEwfFw29xCqb3jg70jRov7TXsJ4jw&cad=rja. [30 Oktober 2013]

Dewi, P.S., Utami, M.S. (2008). “Subjective Well-Being Anak dari Orang Tua yang Bercerai”. Jurnal Psikologi Fakultas Universitas Gadjah Mada.

Diener, E., Larsen R.J. (1993). The experience of emotional well-being. dalam Lewis, M., Haviland, J.M, (eds). Handbook of emotions. New York: Guilford.

Diener, et al. (1997). Recent Findings on Subjective Well-Being. Indian Journal of Clinical Psychology, March, 1997.

Diener, E., Suh, E. M., Lucas, R. E., Smith, H. L. (1999). Subjective Well-Being: Three Decades of progress. Psychology Bulletin.


(37)

Sekar Anggreni, 2014

Diener, E., Lucas, R. E. (1999). Personality and Subjective Well-Being. USA: Russel Sage Foundation.

Diener, E., Oishi, S., Lucas, R. E. (2003). Personality, Culture, and Subjective Well-Being: Emotional and Cogitive Evaluations of Life. Annual Review of Psychology.

Diener, E., Scollon, C.N., dan Lucas, R.E. (2003). The evolving concept of subjective well-being: The multifaceted nature of happiness. Advances in Cell Aging and Gerontology, vol. 15, 187–219.

Diener, E. (2005). Guidelines for National Indicators of Subjective Well-Being and Ill-Being. Illinois : University of Illnois.

Diener, E., Lucas, R. E., Oishi, S. (2005). Subjective Well-Being: The Science of Happiness and Life Satisfaction. Handbook of Positive Psychology. NC: Oxford University Press.

Diener, E. (2006). Satisfaction with Life Scale. [online]. Tersedia : http://positivepsychology.org. [30 Oktober 2013].

Diener, E. (2008). Happiness : Unlocking the mysteries of psychological wealth. Malden, MA : Blackwell Publishing.

Diener, E. (2008). The Role of Positive and Negative Emotions in Life Satisfaction Judgement. Journal of Personality and Social Psychology : American Psychological Association.

Diener, E., Pavot, W. (2008). The Satisfaction with Life Scale and the Emerging Construct of Life Satisfaction. Journal of Positive Psychology.

Diener, E., Ryan, K. (2008). Subjective well-being : A general overview. South African Journal of Psychology.


(38)

Sekar Anggreni, 2014

Kesejahteraan Subjektif Pria Dengan Orientasi Seksual Sejenis

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Diener, E. (2009). The science of subjective well-being : The collected works of Ed Diener. Netherlands : Springer.

Direktorat Kesehatan Jiwa Direktorat Jenderal Pelayanan Medik. (1985). Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa Di Indonesia. Edisi II 1983. Jakarta: Departemen Republik Indonesia.

Eid, M., Larsen, R.J. (2008). The science of subjective well being. USA: the Guilford Press.

Feldmen, R. S. (1990). Understanding Psychology, Second Edition. New York: Mc Graw-Hill Publishing Company.

Fredrickson, B. L. (2001). The Role of Positive Emotions in Positive Psychology: The Broaden and Build Theory of Positive Emotions. Washington DC : American Psychologist Association.

Friedman, H. S. dan Schustack, M.W. (2008). Kepribadian Teori Klasik dan Riset Modern. Edisi ketiga jilid 1. Jakarta: Erlangga.

Friedman, R. C., Downey, J. L. (1994). Homosexuality. New England Journal Media.

Ghony, M.D., Almanshur, F. (2012). Metodologi Penelitian Kualitatif. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

Gunadi, H., Rahman, M., Indra, S., dan Sujoko. (2003). "Jalan Berliku Kaum Homo Menuju Pelaminan". [online].

Tersedia: http://www.gatra.com/2003-09-26/versi_cetak.php?id=31335 [29 Oktober 2013]

Herdiyansyah, H. (2012). Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Salemba Humanika.


(39)

Sekar Anggreni, 2014

Hurlock, E. B. (1980). Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga.

Hyde, J.S. (1979). Understanding Human Sexuality. New York: Mc Graw-HillBook Company.

Kahneman, D., Krueger, A.B. (2006). Developments in the measurement of subjective well-being. Journal of Economic Perspectives.

Kendall, P. C. (1998). Abnormal Psychology Human Problems Understanding Second Edition. Boston: Houghton Mifflin Company.

Keyes, C.L.M. & Magyar, M. (2003). The Measurement and Utility of Adult Subjective Well Being. Washington D.C.: American Psychological Association.

Lazarus, R.S. (1991). Emotion and Adaption. New York : Oxford Univ. Press.

Liputo, S. (2009). Pengaruh Religuitas Terhadap Psychological Well-Being Mahasiswa Psikologi UIN Maliki Malang. (Skripsi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang Fakultas Psikologi, 2009).

Tersedia: lib.uin-malang.ac.id/thesis/fullchapter/05410004-salahudin-liputo.ps

Lucas, R.E. (2005). Time does not heal all wounds: A longitudinal study of reaction and adaptation to divorce. Psychological Science.

Margono. (2004). Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta.

Moleong, L. J. (2009). Metodeologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Moore, S. Rosenthal, D. (2006). Sexuality in adolescence: Current Trends. London, UK: Taylor and Francis.

Mulia, Siti Musdah. (2010). “Islam dan Homoseksulatitas: Membaca Ulang Pemahaman Islam”. Jurnal Gandrung Vol. 1 No. 1 juni 2010. 9-30. [25 Januari 2014]


(40)

Sekar Anggreni, 2014

Kesejahteraan Subjektif Pria Dengan Orientasi Seksual Sejenis

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Mulyani, Sri R, dkk. (2009). Tinjauan Psikososial, Agama, Hukum Dan Budaya Terhadap Keberadaan Kaum Gay di Indonesia (Kasus: Mahasiswa Institut Pertanian Bogor). [Online]

Tersedia: http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/28162/jurnal%20baru.pdf

[25 Januari 2014]

Musfiqon. (2012). Panduan Lengkap Motodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta : Prestasi Pustakarya.

Nietzel, dkk. (1998) . Abnormal Psychology. Boston: Allyn dan Bacon, Inc.

Nugroho, S. C., Siswati, Sakti, H. (2010). Pengambilan Keputusan Menjadi Homoseksual Pada Laki-Laki Usia Dewasa Awal. Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro.

Oetomo, D. (2003). Memberi Suara pada yang Bisu. Yogyakarta: Pusaka Marwa.

Okdinata. (2009). Religiusitas Kaum Homoseks. (Skripsi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009).

Pavot, W., Diener, E., Fujita, F. (1990). Extraversion and Happiness. Dalam Personality and Individual Differences. Great Britain : Pergamon Press.

Pavot, W & Diener E. (2004). Findings on Subjective Well Being: aplications to public policy, clinical interventions, and education. Dalam L. P. Alex & S Joseph (Eds). Positive Psychology in Practice (hal 679-692). Hoboken, new Jersey: John Wiley & Sons Inc.

Peterson, C. (1999). Personal Control and Well-Being. The Fondations of Hedonic Psychology. New York: Russell Sage Foundation.


(41)

Sekar Anggreni, 2014

Putra, R.J. (2011). Hubungan Antara Kualitas Pertemanan dengan Subjective Well-being pada Mahasiswa Jurusan Psikologi Universitas Bina Nusantara. (Skripsi, Fakultas Psikologi Universitas Bina Nusantara, 2011).

Putri, M. T., Sutarmanto, H. (2009). Kesejahteraan Subjektif Waria Pekerja Seks Komersial. Universitas Gajah Mada.

Rochmad, B. N. (2010). Subjective Well Being Lulusan Perguruan Tinggi yang Menyelesaikan Studi Lebih dari 14 Semester. (Skripsi, Universitas Airlangga, 2010).

Ryan, R. M., Deci, E. L. (2000). On Happiness and Human Potensials: A Review of Research on Hedonic and Eudamonic Well-Being. Annual Reviews Psychology.

Schimmack, U. (2006). The Structure of Subjective Well-Being. Canada : University of Toronto.

Sears, D.O., Freedman, J.L., Peplau, L.A. (1985). Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga.

Seligman, M. E. P. (2011). Flourish: A Visionary New Understanding of Happiness and Well being. New York : Simon and Schuster.

Silalahi, U. (2009). Metode Penelitian Sosial. Bandung : Refika Aditama.

Snyder, C. R. (1994). The Psychology of Hope: You Can Get There from Here. New York: Free Press.

Stonski, H. S. M., Remafedi, G. (1998). Adolesenct Homosexuality. Adv Pediatri.

Sugiyono. (2001). Metode Penelitian Bisnis. Bandung : Alfabeta.


(42)

Sekar Anggreni, 2014

Kesejahteraan Subjektif Pria Dengan Orientasi Seksual Sejenis

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Sunaryo. (2002). Psikologi Untuk Keperawatan. Jakarta. Penerbit buku kedokteran EGC.

Supratiknya, A. (1995). Mengenal Perilaku Abnormal. Yogyakarta : Kanisius.

Taylor, S. E., Peplau, L. A., Sears, D.O. (2009). Psikologi Sosial. Jakarta: Kencana.

Tobing, E. B. U. (2003). Eskalasi Hubungan Pasangan Homoseksual ( Tahapan Perkembangan Komunikasi Antar Pribadi Gay Timur dan Barat). Depok : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unuversitas Indonesia.

Wardianto, M. (2013). Homoseksual : Definisi dan Faktor. [online]. Tersedia : http://wardiantomuhammad.blogspot.com/2013/01/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html. [29 Oktober 2013]

Wichers. (2007). Genetic Risk of Depression and Stress-Induced Negative Affect in Daily Life. The British Journal of Psychiatry. [online]. Tersedia: bjp.rcpsych.org/content/191/3/218.full.pdf. [30 Oktober 2013]

Wright, T.A., Bonnet, D.G. (2007). Job Satisfaction and Psychological Well-Being as Nonaddictive Predictors of Workplace Turnover. Journal of Management.


(1)

Diener, E., Lucas, R. E. (1999). Personality and Subjective Well-Being. USA: Russel Sage Foundation.

Diener, E., Oishi, S., Lucas, R. E. (2003). Personality, Culture, and Subjective Well-Being: Emotional and Cogitive Evaluations of Life. Annual Review of Psychology.

Diener, E., Scollon, C.N., dan Lucas, R.E. (2003). The evolving concept of subjective well-being: The multifaceted nature of happiness. Advances in Cell Aging and Gerontology, vol. 15, 187–219.

Diener, E. (2005). Guidelines for National Indicators of Subjective Well-Being and Ill-Being. Illinois : University of Illnois.

Diener, E., Lucas, R. E., Oishi, S. (2005). Subjective Well-Being: The Science of Happiness and Life Satisfaction. Handbook of Positive Psychology. NC: Oxford University Press.

Diener, E. (2006). Satisfaction with Life Scale. [online]. Tersedia : http://positivepsychology.org. [30 Oktober 2013].

Diener, E. (2008). Happiness : Unlocking the mysteries of psychological wealth. Malden, MA : Blackwell Publishing.

Diener, E. (2008). The Role of Positive and Negative Emotions in Life Satisfaction Judgement. Journal of Personality and Social Psychology : American Psychological Association.

Diener, E., Pavot, W. (2008). The Satisfaction with Life Scale and the Emerging Construct of Life Satisfaction. Journal of Positive Psychology.

Diener, E., Ryan, K. (2008). Subjective well-being : A general overview. South African Journal of Psychology.


(2)

Diener, E. (2009). The science of subjective well-being : The collected works of Ed Diener. Netherlands : Springer.

Direktorat Kesehatan Jiwa Direktorat Jenderal Pelayanan Medik. (1985). Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa Di Indonesia. Edisi II 1983. Jakarta: Departemen Republik Indonesia.

Eid, M., Larsen, R.J. (2008). The science of subjective well being. USA: the Guilford Press.

Feldmen, R. S. (1990). Understanding Psychology, Second Edition. New York: Mc Graw-Hill Publishing Company.

Fredrickson, B. L. (2001). The Role of Positive Emotions in Positive Psychology: The Broaden and Build Theory of Positive Emotions. Washington DC : American Psychologist Association.

Friedman, H. S. dan Schustack, M.W. (2008). Kepribadian Teori Klasik dan Riset Modern. Edisi ketiga jilid 1. Jakarta: Erlangga.

Friedman, R. C., Downey, J. L. (1994). Homosexuality. New England Journal Media.

Ghony, M.D., Almanshur, F. (2012). Metodologi Penelitian Kualitatif. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

Gunadi, H., Rahman, M., Indra, S., dan Sujoko. (2003). "Jalan Berliku Kaum Homo Menuju Pelaminan". [online].

Tersedia: http://www.gatra.com/2003-09-26/versi_cetak.php?id=31335 [29 Oktober 2013]

Herdiyansyah, H. (2012). Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Salemba Humanika.


(3)

Hurlock, E. B. (1980). Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga.

Hyde, J.S. (1979). Understanding Human Sexuality. New York: Mc Graw-HillBook Company.

Kahneman, D., Krueger, A.B. (2006). Developments in the measurement of subjective well-being. Journal of Economic Perspectives.

Kendall, P. C. (1998). Abnormal Psychology Human Problems Understanding Second Edition. Boston: Houghton Mifflin Company.

Keyes, C.L.M. & Magyar, M. (2003). The Measurement and Utility of Adult Subjective Well Being. Washington D.C.: American Psychological Association.

Lazarus, R.S. (1991). Emotion and Adaption. New York : Oxford Univ. Press.

Liputo, S. (2009). Pengaruh Religuitas Terhadap Psychological Well-Being Mahasiswa Psikologi UIN Maliki Malang. (Skripsi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang Fakultas Psikologi, 2009).

Tersedia: lib.uin-malang.ac.id/thesis/fullchapter/05410004-salahudin-liputo.ps

Lucas, R.E. (2005). Time does not heal all wounds: A longitudinal study of reaction and adaptation to divorce. Psychological Science.

Margono. (2004). Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta.

Moleong, L. J. (2009). Metodeologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Moore, S. Rosenthal, D. (2006). Sexuality in adolescence: Current Trends. London, UK: Taylor and Francis.

Mulia, Siti Musdah. (2010). “Islam dan Homoseksulatitas: Membaca Ulang Pemahaman Islam”.


(4)

Mulyani, Sri R, dkk. (2009). Tinjauan Psikososial, Agama, Hukum Dan Budaya Terhadap Keberadaan Kaum Gay di Indonesia (Kasus: Mahasiswa Institut Pertanian Bogor). [Online]

Tersedia: http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/28162/jurnal%20baru.pdf

[25 Januari 2014]

Musfiqon. (2012). Panduan Lengkap Motodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta : Prestasi Pustakarya.

Nietzel, dkk. (1998) . Abnormal Psychology. Boston: Allyn dan Bacon, Inc.

Nugroho, S. C., Siswati, Sakti, H. (2010). Pengambilan Keputusan Menjadi Homoseksual Pada Laki-Laki Usia Dewasa Awal. Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro.

Oetomo, D. (2003). Memberi Suara pada yang Bisu. Yogyakarta: Pusaka Marwa.

Okdinata. (2009). Religiusitas Kaum Homoseks. (Skripsi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009).

Pavot, W., Diener, E., Fujita, F. (1990). Extraversion and Happiness. Dalam Personality and Individual Differences. Great Britain : Pergamon Press.

Pavot, W & Diener E. (2004). Findings on Subjective Well Being: aplications to public policy, clinical interventions, and education. Dalam L. P. Alex & S Joseph (Eds). Positive Psychology in Practice (hal 679-692). Hoboken, new Jersey: John Wiley & Sons Inc.

Peterson, C. (1999). Personal Control and Well-Being. The Fondations of Hedonic Psychology. New York: Russell Sage Foundation.


(5)

Putra, R.J. (2011). Hubungan Antara Kualitas Pertemanan dengan Subjective Well-being pada Mahasiswa Jurusan Psikologi Universitas Bina Nusantara. (Skripsi, Fakultas Psikologi Universitas Bina Nusantara, 2011).

Putri, M. T., Sutarmanto, H. (2009). Kesejahteraan Subjektif Waria Pekerja Seks Komersial. Universitas Gajah Mada.

Rochmad, B. N. (2010). Subjective Well Being Lulusan Perguruan Tinggi yang Menyelesaikan Studi Lebih dari 14 Semester. (Skripsi, Universitas Airlangga, 2010).

Ryan, R. M., Deci, E. L. (2000). On Happiness and Human Potensials: A Review of Research on Hedonic and Eudamonic Well-Being. Annual Reviews Psychology.

Schimmack, U. (2006). The Structure of Subjective Well-Being. Canada : University of Toronto.

Sears, D.O., Freedman, J.L., Peplau, L.A. (1985). Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga.

Seligman, M. E. P. (2011). Flourish: A Visionary New Understanding of Happiness and Well being. New York : Simon and Schuster.

Silalahi, U. (2009). Metode Penelitian Sosial. Bandung : Refika Aditama.

Snyder, C. R. (1994). The Psychology of Hope: You Can Get There from Here. New York: Free Press.

Stonski, H. S. M., Remafedi, G. (1998). Adolesenct Homosexuality. Adv Pediatri.

Sugiyono. (2001). Metode Penelitian Bisnis. Bandung : Alfabeta.


(6)

Sunaryo. (2002). Psikologi Untuk Keperawatan. Jakarta. Penerbit buku kedokteran EGC.

Supratiknya, A. (1995). Mengenal Perilaku Abnormal. Yogyakarta : Kanisius.

Taylor, S. E., Peplau, L. A., Sears, D.O. (2009). Psikologi Sosial. Jakarta: Kencana.

Tobing, E. B. U. (2003). Eskalasi Hubungan Pasangan Homoseksual ( Tahapan Perkembangan Komunikasi Antar Pribadi Gay Timur dan Barat). Depok : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unuversitas Indonesia.

Wardianto, M. (2013). Homoseksual : Definisi dan Faktor. [online]. Tersedia : http://wardiantomuhammad.blogspot.com/2013/01/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html. [29 Oktober 2013]

Wichers. (2007). Genetic Risk of Depression and Stress-Induced Negative Affect in Daily Life. The British Journal of Psychiatry. [online]. Tersedia: bjp.rcpsych.org/content/191/3/218.full.pdf. [30 Oktober 2013]

Wright, T.A., Bonnet, D.G. (2007). Job Satisfaction and Psychological Well-Being as Nonaddictive Predictors of Workplace Turnover. Journal of Management.