PERBEDAAN GENERATIVITAS PADA GAY PRIA PEKERJA SEKS (PPS) DENGAN GAY BUKAN PRIA PEKERJA SEKS (NON PPS) (Studi Komparatif pada Komunitas Gessang di Surakarta)

(1)

commit to user

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Pendidikan Strata 1 Psikologi

Oleh :

Ari Indarwati

G 0106002

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010

PERBEDAAN GENERATIVITAS PADA GAY PRIA PEKERJA SEKS (PPS) DENGAN

GAY BUKAN PRIA PEKERJA SEKS (NON PPS)


(2)

commit to user

ii

HALAMAN PERSETUJUAN

Proposal dengan Judul : Perbedaan Generativitas pada Gay Pria Pekerja

Seks (PPS) dengan Gay Bukan Pria Pekerja

Seks (Non PPS) (Studi Komparatif pada Komunitas Gessang di Surakarta)

Nama Peneliti : Ari Indarwati

NIM : G 0106002

Tahun : 2006

Telah disetujui untuk dipertahankan dihadapan pembimbing dan penguji skripsi Prodi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada Hari : Rabu, 15 Desember 2010

Pembimbing I

Tri Rejeki Andayani, S.Psi., M.Si. NIP. 197401091998022001

Pembimbing II

dr. Istar Yuliadi, M.Si. NIP. 196007101986011001

Koordinator Skripsi

Rin Widya Agustin, M.Psi. NIP. 197608172005012002


(3)

commit to user

iii

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi dengan judul:

Perbedaan Generativitas pada Gay Pria Pekerja SEks (PPS) dengan Gay

Bukan Pria Pekerja Seks (Non PPS)

(Studi Komparatif pada Komunitas Gessang di Surakarta)

Ari Indarwati, G0106002, Tahun 2010

Telah diuji dan disahkan oleh pembimbing dan penguji skripsi Prodi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta

Hari : Tanggal :

1. Pembimbing I

Tri Rejeki Andayani, S.Psi., M.Si. ( __________________ )

2. Pembimbing II

dr. Istar Yuliadi, M.Si. ( __________________ ) 3. Penguji I

Drs. Hardjono, M.Si. ( __________________ ) 4. Penguji II

Arista Adi Nugroho, S.Psi., M.M. ( __________________ )

Surakarta, __________________

Ketua Program Studi Psikologi

Drs. Hardjono, M.Si. NIP. 19590119 198903 1 002

Koordinator Skripsi

Rin Widya Agustin, M.Psi. NIP. 197608172005012002


(4)

commit to user

iv

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Jika terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan isi pernyataan ini, maka saya bersedia derajat kesarjanaan saya dicabut.

Surakarta,


(5)

commit to user

v \

MOTTO

!"

#

$

$

%

&

%

#


(6)

commit to user

vi

HALAMAN PERSEMBAHAN

( %

) * + &

& &

, - .

% % /

0 &

1 ' * 2 .


(7)

commit to user

vii

3 . . 4(

5-KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillahirabbil’aalamiin, segala puji dan syukur ke hadirat Allah SWT tidak lupa penulis panjatkan, hanya dengan rahmat dan hidayahNya-lah penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan. Shalawat serta salam senantiasa penulis sampaikan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan pengikutnya yang setia.

Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini telah melibatkan banyak pihak, oleh karena itu pada kesempatan yang sangat baik ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih dengan hati yang tulus & ikhlas kepada :

1. Prof. Dr. A.A. Subijanto, dr, M.S. selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.

2. Drs. Hardjono, M.Si. selaku Ketua Program Studi Psikologi dan Dosen Penguji I yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk dapat menuntut ilmu di Progdi Psikologi serta memberi bimbingan dan arahan kepada penulis.

3. Tri Rejeki Andayani, S.Psi., M.Si. selaku dosen pembimbing I, yang dengan kesibukan beliau yang padat masih berkenan meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan, motivasi, dan kepercayaan kepada penulis dari awal hingga akhir penyusunan skripsi ini.


(8)

commit to user

viii

4. dr. Istar Yuliadi M.Si. selaku dosen pembimbing II, yang dengan kesibukan beliau yang padat masih berkenan meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan, motivasi, dan kepercayaan kepada penulis dari awal hingga akhir penyusunan skripsi ini.

5. Arista Adi Nugroho, S.Psi., M.M. selaku dosen penguji II yang memberikan bantuan dan saran yang berarti bagi penulis.

6. Moh. Slamet Rahardjo, selaku Ketua Komunitas Gessang Surakarta yang telah memberikan ijin untuk melakukan penelitian.

7. Drs. Argyo Demartoto, M.Si. selaku Pembina Komunitas Gessang Surakarta yang telah meminjamkan buku referensi yang sangat membantu dalam penelitian ini.

8. Mas Londo, Mas Hendi, Mas Danang, Mas Yuwono, dan Mas Rukmini yang telah meluangkan waktu dan memberikan banyak bantuan kepada penulis dalam pencarian data penelitian ini.

9. Seluruh Staf Prodi Psikologi FK UNS, Mas Dimas, Mas Rian, dan Mbak Ana yang penuh kesabaran dan segala bantuan serta kemudahan dalam pelayanannya yang telah diberikan.

10. Ibu dan bapak tercinta terima kasih atas semua pengorbanan, kasih sayang, do’a, perhatian dan dukungannya selama ini serta membimbingku menjadi orang yang dewasa, bermanfaat, dan berguna.

11. Adikku Yuli Namsari dan Adelia Ayu Prastity yang selalu menghadirkan keceriaan dalam hidupku dan selalu berusaha menjadi seorang kakak yang baik buat kalian.


(9)

commit to user

ix

12. Simbah Putri yang selalu memberikan doa dan kasih sayangnya, Pakde Giyono yang membimbingku dan Budhe yang selalu menjadi sahabat terbaikku serta menjadi keluarga keduaku yang memberikan kasih sayang yang tulus, Mas Andi dan Mbak Heni yang selalu mewarnai hidupku selama tujuh tahun ini.

13. Mas Irfan yang selalu memberikan perhatian, kasih sayang, dukungan ketika semangat penulis menurun.

14. Sahabatku Adhi, Rindang, Ratih, Izza, Camel, Fiqna, Wildan, Icha yang selalu menjadi sahabat terbaik dan mewarnai hidupku.

15. Mba Wulan, Mba Endah, Indah dan Mila yang selalu menjadi kakak, sahabat, dan adik yang memberikan dukungan dan keceriaan di Kos Yustisia 2.

16. Seluruh rekan mahasiswa Program Studi Psikologi FK UNS, khususnya Psikologi inem (2006), serta semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Semoga Allah membalas jasa-jasa dan kebaikan dengan pahala yang berlimpah, amin.

Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.

Surakarta, 15 Desember 2010


(10)

commit to user

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERNYATAAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

ABSTRAK ... xv

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 12

C. Tujuan Penelitian ………... D. Manfaat Penelitian ... 13 13 BAB II. LANDASAN TEORI ... 14

A. Generativitas ... 1. Pengertian Generativitas ...

14 14


(11)

commit to user

xi

2. Generativitas Sebagai Bagaian dari Tahapan Perkembangan ... 3. Tugas-tugas Perkembangan yang Berkenaan dengan Generativitas 4. Ciri-ciri Tahap Generativitas ... 5. Cara-cara yang Digunakan dalam Mengembangkan Generativitas.. 6. Aspek-aspek Generativitas………...

15 20 22 25 26 B. Status Pekerjaan ...

1. Pengertian Status Pekerjaan ... 2. Indikator Status Pekerjaan ... 3. Status Pekerjaan dalam Komunitas Gessang ...

31 31 32 34 C. Perbedaan Generativitas pada Gay Pria Pekerja Seks dengan Gay

Bukan Pria Pekerja Seks ... 36

D. Kerangka Berpikir ... 40

E. Hipotesis ... 40

BAB III. METODE PENELITIAN ... 42 A. Identifikasi Variabel Penelitian ... B. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 1. Generativitas ……… 2. Status Pekerjaan ……….. C. Populasi, Sampel dan Sampling ...

1. Populasi ... 2. Sampel ... 3. Sampling ………. D. Teknik Pengumpulan Data ...

42 42 42 43 44 44 45 46 46


(12)

commit to user

xii

E. Validitas dan Reliabilitas ... F. Teknik Analisis Data ...

51 52 BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 54

A. Persiapan Penelitian ... 1. Orientasi Kancah Penelitian ... 2. Persiapan Penelitian ...

54 54 55 B. Pelaksanaan Penelitian ...

1. Pengambilan Sampel Penelitian ... 2. Pengumpulan Data ... 3. Pelaksanaan Skoring ...

60 60 60 60 C. Hasil Analisis Data ...

1. Uji Asumsi ... 2. Hasil Uji Hipotesis ... 3. Analisis Deskriptif ... D. Pembahasan ...

61 61 64 67 71 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 81

A. Kesimpulan ... B. Saran ...

81 82 DAFTAR PUSTAKA ... LAMPIRAN ………

84 89


(13)

commit to user

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Daftar Dampingan Pengawas Lapangan Bulan Juli 2009... 6

2. Daftar Dampingan Pengawas Lapangan Bulan Februari 2010………... 7

3. Blue Print Loyola Generativity Scale ... 48

4. Blue Print Generativity Behaviour Checklist ... 49

5. Pedoman Wawancara ... 50

6. Sebaran aitem Loyola Generative Scale (LGS) setelah Uji Coba... 58

7. Sebaran aitem Generativity Behaviour Checklist (GBC) setelah Uji Coba ... 59

8. Hasil Uji Normalitas Loyola Generative Scale (LGS) ... 61

9. Hasil Uji Normalitas Generativity Behaviour Checklist (GBC) ... 62

10. Hasil Uji Homogenitas Loyola Generative Scale (LGS) ... 63

11. Hasil Uji Homogenitas Generativity Behaviour Checklist (GBC) ... 64

12. Hasil Uji Mann-Whitney pada Loyola Generative Scale (LGS)………. 66

13. Hasil Uji Mann-Whitney pada Generative Behaviour Checklist (GBC)……. 66

14 Statistik Deskriptif ... 67

15. Kriteria Kategori Skala Loyola Generative Scale (LGS) pada Skor Gay Pria Pekerja Seks (PPS)……….. 68

16. Kriteria Kategori Skala Loyola Generative Scale (LGS) pada Skor Gay Bukan Pria Pekerja Seks (Non PPS)………... 69

17. Kriteria Kategori Skala Generative Behaviour Checklist (GBC) pada Skor Skor Gay Pria Pekerja Seks (PPS)………. 70

18. Kriteria Kategori Skala Generative Behaviour Checklist (GBC) pada Skor Gay Bukan Pria Pekerja Seks (Non PPS)……….. 70


(14)

commit to user

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

A. Alat Ukur Sebelum Uji Coba ... 90

B. Data Butir Skala Uji Coba... 97

C. Uji Validitas dan Reliabilitas Aitem ... 100

D. Alat Ukur Setelah Uji Coba ... 111

E. Data Butir Skala Penelitian ... 117

F. Analisis Data Penelitian ... 120


(15)

commit to user

xv

ABSTRAK

PERBEDAAN GENERATIVITAS PADA GAY PRIA PEKERJA SEKS

(PPS) DENGAN GAY BUKAN PRIA PEKERJA SEKS (NON PPS)

(Studi Komparatif pada Komunitas Gessang di Surakarta) Ari Indarwati

Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta

Setiap manusia mengalami tahapan perkembangan. Setiap tahapan dicirikan oleh adanya tantangan tertentu, yang disebut sebagai “krisis” yang idealnya diselesaikan sebelum individu melanjutkan ke tahapan berikutnya. Erikson (dalam Santrock, 2002) mengemukakan bahwa orang dewasa tengah baya menghadapi persoalan hidup yang signifikan yaitu generativitas versus stagnasi pada fase ketujuh. Seorang gay pun pasti memiliki cara yang berbeda satu dengan yang lain dalam menghadapi generativitas. Gay pria pekerja seks (PPS) dengan

gay bukan pria pekerja seks (Non PPS) akan berbeda pandangan mengenai generativitas selain dipengaruhi oleh faktor individu juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang mana lingkungan pekerjaan gay bukan pria pekerja seks akan dituntut menghasilkan dan mengembangkan sesuatu untuk generasi berikutnya. Sedangkan gay pria pekerja seks akan lebih pada mencukupi kebutuhan sendiri dan cenderung tidak memikirkan kehidupan selanjutnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan generativitas yang meliputi komitmen dan perilaku generativitas pada gay pria pekerja seks dengan gay bukan pria pekerja seks.

Populasi penelitian ini adalah gay anggota komunitas Gessang yang berusia antara 40-60 tahun dan bekerja sebagai pria pekerja seks dan bukan pria pekerja seks berjumlah 348 orang. Sampel yang digunakan sebanyak 31 orang terdiri atas 16 orang pria pekerja seks dan 15 orang bukan pria pekerja seks. Teknik sampling yang digunakan adalah Incidental Sampling Pengumpulan data menggunakan skala Loyola Generative Scale (LGS) dan Generative Behaviour Checklist (GBC). Teknik analisis data yang digunakan statistik non parametrik dengan uji mann-whitney dengan bantuan komputer program SPSS for MS windowsversi 16.

Berdasarkan analisis data, hasil uji beda komitmen generativitas dengan uji mann-whitney , diperoleh nilai p sebesar 0,00 (p < 0,05), maka terdapat perbedaan komitmen generativitas yang signifikan antara gay pria pekerja seks (PPS) dengan gay bukan pria pekerja seks (Non PPS), sedangkan hasil uji beda perilaku generativitas diperoleh nilai p sebesar 0,384 (p > 0,05), maka tidak terdapat perbedaan perilaku generativitas yang signifikan antara gay pria pekerja seks (PPS) dengan gay bukan pria

Kata kunci : Komitmen generativitas, perilaku generativitas, gay, pria pekerja


(16)

commit to user

xvi

pekerja seks (Non PPS). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan komitmen generativitas dan tidak ada perbedaan perilaku generativitas.

ABSTRACT

THE DIFFERENCE OF GENERATIVITY IN SEX WORKERS’- AND NON-SEX WORKERS’-GAY

(A Comparative Study on Gessang Community in Surakarta) Ari Indarwati

Psychology of Medical Faculty of Sebelas Maret University

Every human being experiences the development stage. Each stage is characterized with the presence of certain challenge, called “crisis” ideally settled before individual moves to the next stage. Erikson (in Santrock, 2002) suggests that middle-age adult encounters significant life problem, generativity versus stagnancy in the seventh phase. The gays have different ways in coping with generativity from one to another. The sex workers’ gay will have different view from non-sex workers’ gay on generativity affected by, in addition to individual factor, environmental factor in which the non-sex workers’ gay will be required to produce and to develop something for the next generation. Meanwhile the sex workers’ gay will focus more on fulfilling his own needs and tends not to think about his next life. The objective of research is to find out generativity difference including commitment and behavior of generativity in sex workers’- and non-sex workers’ gay.

The population of research is the gays belonging to Gessang community membership with 40-60 years age and working as sex workers’ and non sex workers’ consisting of 348 persons. The sample used consisted of 31 persons including 16 sex workers’ gay and 15 non-sex workers’ gays. The sampling technique used was incidental sampling. The data was collected using Loyola Generative Scale (LGS) and Generative Behavior Checklist (GBC). Technique of analyzing data used was non-parametric statistical one with mann-whitney test aided by SPSS for MS windows version 16 computer program.

Considering the data analysis with commitment of generativity variance and mann-whitney tests, it is obtained the p value of 0.000 (p < 0.05), therefore there is a significant difference in commitment of generativity between the sex workers’ gay and non-sex workers’ gay, while the result of variance analysis on behavior of generativity provides p value of 0.384 (p > 0.05), therefore there is no a significant difference in behavior of generativity between the sex workers’-gay and non-sex workers’ gay. Thus, it can be concluded that there is a difference in commitment of generativity and there is no a difference in behavior of generativity.


(17)

commit to user

xvii

Keywords: Commitment of generativity, behavior of generativity, gay, sex


(18)

commit to user

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia sebagai makhluk sosial sangat membutuhkan orang lain dalam hidupnya. Di kehidupannya, manusia membina suatu hubungan dengan manusia lainnya, baik itu antar individu maupun kelompok. Selain hubungan sosial, ada suatu hubungan yang lebih dekat atau intim antara pria dan wanita dewasa yang memiliki tujuan ke depan. Berdasarkan pandangan budaya ketimuran, ketika seorang wanita atau pria telah memasuki masa dewasa harus mampu melakukan suatu relasi seksual yang normal dan bertanggungjawab yang mengarah pada pernikahan. Setelah menikah pun, dituntut untuk segera memiliki keturunan dan mewariskan hal-hal positif kepada generasi selanjutnya.

Seperti yang diungkapkan oleh Erikson (dalam Santrock, 2002) seorang ahli psikoanalisis bahwa perkembangan anak melalui beberapa tahapan, demikian juga dengan perkembangan orang dewasa. Setiap tahapan dicirikan oleh adanya tantangan tertentu, yang disebutnya sebagai “krisis” yang idealnya diselesaikan sebelum individu melanjutkan ke tahapan berikutnya. Orang dewasa tengah baya menghadapi persoalan hidup yang signifikan yaitu generativitas versus stagnasi pada fase ketujuh. Generativitas mencakup rencana-rencana orang dewasa yang mereka harap dapat dikerjakan guna meninggalkan warisan dirinya sendiri pada generasi selanjutnya. Sebaliknya, stagnasi (disebut juga “penyerapan-diri”)


(19)

commit to user

berkembang ketika individu merasa bahwa mereka tidak melakukan apa-apa bagi generasi berikutnya. Orang dewasa tengah baya mengembangkan generativitas dengan beberapa cara yang berbeda.

Kotre (dalam Santrock, 2002) mengatakan orang dewasa tengah baya mengambangkan generativitas melalui generativitas biologis, orang dewasa hamil dan melahirkan anak, melalui generativitas parental (orang tua), orang dewasa memberikan asuhan dan bimbingan kepada anak-anak. Melalui generativitas kultural, orang dewasa menciptakan, merenovasi atau memelihara kebudayaan yang akhirnya bertahan. Dalam hal ini objek generatif adalah kebudayaan itu sendiri. Melalui generativitas kerja, orang dewasa mengembangkan keahlian yang diturunkan kepada orang lain. Melalui generativitas, orang dewasa mempromosikan dan membimbing generasi berikutnya melalui aspek-aspek penting kehidupan seperti menjadi orang tua (parenting), memimpin, mengajar dan melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat. Orang dewasa generatif mengembangkan warisan diri yang positif dan kemudian memberikannya sebagai hadiah pada generasi berikutnya(McAdams, 1992).

Namun, ada sisi lain dari kehidupan yang menjadi sorotan menarik dalam masyarakat luas yaitu ketika seseorang memilih relasi seksual dengan seseorang yang berjenis kelamin sama atau homoseksual. Hal ini disebabkan masyarakat menganggap bahwa homoseksual adalah suatu perilaku abnormal atau menyimpang. Homoseksual merupakan salah satu perilaku seksual yang berkelainan (variant sexual behaviour) yaitu perilaku seksual yang pemuasannya


(20)

commit to user

ditentukan oleh sesuatu yang lain, bukan lewat hubungan seksual dengan pasangan beda jenis yang sudah dewasa (Supratiknya, 1995).

Homoseksualitas terjadi di seluruh lapisan masyarakat dunia. Keberadaannya pun tidak bisa lepas dari adat budaya, baik itu budaya Barat maupun Timur. Dalam masyarakat Yunani kuno yang merupakan akar peradaban budaya Barat, banyak diceritakan tentang mitologi Yunani yang berisi penuh dengan kisah hubungan percintaan sesama jenis kelamin, seperti antara Zeus dengan Ganymede, Herakles dengan Iolaus (Hylas), dan Apollo dengan Hyakinthus (Oetomo, 2001).

Pada budaya Timur sendiri, homoseksual diceritakan pada zaman Nabi Luth yang dibinasakan oleh Allah SWT. Homoseksual pada zaman Nabi Luth yang disebutkan dalam Al-Quran adalah yang disebut dengan “liwath”, artinya “senggama melalui dubur”. Yang berarti melakukan sesuatu tidak pada tempatnya, hal itu hukumnya zina, jelas sekali dilarang oleh agama. Dalam Injil atau perjanjian Baru Roma 1:26-27, Paulus mengingatkan, bahwa praktik homoseksual adalah sebagian dari bentuk kebejatan moral dunia kafir, dari mana orang-orang Kristen sebenarnya telah dibebaskan dan disucikan oleh Kristus. Imamat 20:13 berbunyi: ”Janganlah engkau tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, karena itu suatu kekejian, pastilah mereka dihukum mati dan darah mereka tertimpa kepada mereka sendiri”. Yang melakukannya diancam dengan hukuman mati (Oetomo, 2001).

Homoseksualitas itu sendiri dapat didefinisikan sebagai orientasi atau pilihan seks yang diarahkan kepada seseorang atau orang-orang dari jenis kelamin


(21)

commit to user

yang sama atau ketertarikan secara emosional dan seksual kepada seseorang atau orang-orang dari jenis kelamin yang sama (Oetomo, 2001).

Pada umumnya para penyandang homoseksualitas tidak menyadari perilaku homoseksualitasnya, keadaan tersebut bukan atas kehendak dirinya. Walaupun demikian, memang ada sebagian yang menerima dirinya dengan senang hati dan hidup sebagai homoseksual (ego-sintonik) dan ada sebagian yang masih belum bisa menerima dirinya atau merasa dirinya tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, sehingga mereka terus-menerus dalam keadaan konflik batin selama hidupnya (ego-distonik) (PPDGJ, 1983 dalam Sarwono, 1989).

Untuk mengacu pada orang atau sifat homoseksual yang dimanifestasikan sebagai gaya hidup, sikap bangga, terbuka dan terkadang militan terhadap masyarakat, mungkin bisa menggunakan istilah gay dari bahasa Inggris. Istilah

gay seharusnya mengacu kepada laki-laki maupun wanita tetapi istilah gay sendiri seringkali hanya dipakai untuk laki-laki, sedangkan wanita dipakai istilah lesbian.

Secara umum, diperkirakan jumlah lesbian dan homoseksual (gay) di dalam masyarakat adalah 1% hingga 10% dari jumlah populasi. Tetapi menurut laporan kontroversi Kinsey pada tahun 1984, setidaknya 37% pria dari total keseluruhan pria mengalami pengalaman seks bersama pria lainnya, dan 4% di dalamnya adalah homoseksual (gay) secara ekslusif. Di Amerika Serikat sendiri, pada tahun pemilu 2004 survei menyatakan 4% dari seluruh pemilih pria menyatakan dirinya sebagai kaum homoseksual, yang karena tekanan sosial banyak yang tidak mau menyatakan identitas mereka. Di Kanada, tahun 2003 Biro


(22)

commit to user

Statistik Kanada menyatakan bahwa di antara warga Kanada yang berumur 18 hingga 59 tahun, 1% melaporkan mereka sebagai homoseksual dan 0,7% melaporkan sebagai biseksual (Wikipedia.com, 2010). Di Indonesia, data statistik menyatakan bahwa 8 sampai 10 juta populasi pria Indonesia pada suatu waktu pernah terlibat pengalaman homoseksual (Setiawan, 2006).

Berapa sebenarnya jumlah dan perkembangan kaum gay di Indonesia? Berdasarkan hasil survey YPKN (Yayasan Pelangi Kasih Nusantara), ada 4.000 hingga 5.000 penyuka sesama jenis di Jakarta. Menurut Ridho Triawan, pengurus LSM Arus Pelangi, sebuah yayasan yang menaungi lesbian, gay, waria dan transgender, setidaknya ada 5000 gay serta lesbian yang hidup di Jakarta. Secara kalkulasi, Boyke Dian Nugraha, sempat mencatat bahwa frekuensi kaum gay yang murni adalah satu dari 10 pria. Data dari LSM gay yang lain, Gaya Nusantara, diperkirakan sekitar 260.000 dari enam juta penduduk Jawa Timur adalah homo. Angka-angka itu belum termasuk kaum homo di kota-kota besar. Dede Oetomo memperkirakan, secara nasional jumlahnya mencapai sekitar 1 persen dari total penduduk Indonesia (Muslim, 2010).

Untuk daerah Jawa Tengah sendiri, terdapat suatu komunitas yang menaungi para gay yang diberi nama Gessang dan berpusat di kota Surakarta. Gessang adalah singkatan dari Gerakan Sosial, Advokasi dan Hak Asasi Manusia untuk gay Surakarta. Gesaang diambil dari kata gessang yang merupakan kata yang berasal dari Bahasa Jawa yang berarti hidup. Ini menandai dimulainya kehidupan organisasi dan eksistensi komunitas gay Surakarta dalam masyarakat umum (Gessang.org).


(23)

commit to user

Awalnya Gessang hanya didirikan sebagai wadah ekspresi atas eksistensi homoseksual yang terpinggirkan dari masyarakat luas. Namun, di tahun 2003 isu HIV/AIDS mulai menjadi wacana utama dalam komunitas homoseksual di kota Solo. Dan secara resmi isu HIV/AIDS menjadi landasan gerakan pengorganisasian homoseksual di kota Solo mulai akhir 2005. Hal ini disebabkan adanya kesadaran dari komunitas bahwa kaum homoseksual merupakan salah satu kelompok risiko tinggi terhadap penularan HIV/AIDS. Demartoto (dalam The Online Journalism, 2009) mengatakan bahwa Gessang dibantu Family Health International (FHI) dan Global Fund (GF) melaksanakan program penanggulangan HIV/AIDS yang mereka sebut dengan Behaviour Change Intervetion (BCI) for MSM (Man who have Sex with Man).

Didapatkan pula data dari hasil laporan dampingan Behaviour Change Intervention (BCI) yang dilakukan oleh Petugas Lapangan (PL) di wilayah Jawa Tengah, pada bulan Juli 2009 akan ditunjukkan jumlah dampingan yang terbagi atas tiga tipe kelompok di tiap kota /kab (Data Primer, 2009).

Tabel. 1

Dampingan Pengawas Lapangan (PL) Bulan Juli 2009

Kab. Kota Kode Tipe Kelompok Dampingan

1302 1304 2100 Total

(PPS) (MSM) (Pasangan Dampingan Kel.Risiko Tinggi)

1 2 3 4 5 6 Kota Surakarta 3372 148 1231 6 1385 Kota Salatiga 3373 9 407 8 424 Kab Semarang 3322 12 295 0 307 Kota Semarang 3374 85 822 10 917 Kab Kendal 3324 3 266 1 270 Kab Batang 3325 0 95 0 95 Kab Kudus 3318 0 54 0 54


(24)

commit to user

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

Kab Tegal 3328 54 261 0 328 Kab Banyumas 3302 16 1125 22 1163 Kab Cilacap 3301 79 238 1 318 Total Dampingan 406 4814 48 5268

Sumber: Laporan BCI KL/PL Wilayah I, II & III (Akumulasi)

Pada bulan Februari 2010, ternyata terjadi peningkatan dalam jumlah dampingan di tiga tipe kelompok yang ditunjukkan pada tiap kota/kabupaten.

Tabel. 2

Dampingan Pengawas Lapangan (PL) Bulan Februari 2010

Kab. Kota Kode Tipe Kelompok Dampingan

1302 1304 2100 Total (PPS) (MSM) (Pasangan Dampingan Kel.Risiko Tinggi)

1 2 3 4 5 6 Kota Surakarta 3372 159 1344 6 1509 Kota Salatiga 3373 9 453 8 470 Kab. Semarang 3322 13 352 0 365 Kota Semarang 3374 105 933 10 1048 Kab. Kendal 3324 3 285 1 289 Kab. Batang 3325 1 141 0 142 Kab. Kudus 3318 0 224 0 224 Kab. Tegal 3328 55 349 0 404 Kab. Banyumas 3302 16 1396 22 1434 Kab. Cilacap 3301 97 260 1 358 Total Dampingan 458 5737 48 6243

Dari dua tabel di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa hanya dalam jangka enam bulan terjadi peningkatan yang cukup signifikan. Khususnya kota Surakarta yang memiliki jumlah dampingan paling banyak di antara kota dan kabupaten lainnya. Oleh karena itu, penelitian ini difokuskan pada kota Surakarta yang menunjukkan jumlah paling banyak dan sebagai pusat Gessang itu sendiri.

Sumber: Laporan BCI KL/PL Wilayah I, II & III (Akumulasi ) Sambungan


(25)

commit to user

Selain itu, para gay sering diliputi oleh kekhawatiran terhadap beberapa hal mengenai orientasi seksualnya dan menjadi konflik yang hebat dalam dirinya, seperti yang diungkapkan oleh ketua Gessang Rahardjo bahwa seorang gay itu selalu diliputi kekhawatiran akan orientasinya, kekhawatiran terkena HIV, kekhawatiran terhadap stigma diskriminasi dari masyarakat, dan kekhawatiran tentang menikah dan hidupnya kelak di hari tua (Data Primer, 2010).

Permasalahan yang datang biasanya dari pihak keluarga atau pun masyarakat sekitar yang mengatakan bahwa seorang pria dewasa hendaklah segera menikah. Hal ini akan menjadi sebuah tantangan besar bagi seorang gay. Tuntutan-tuntutan ini menimbulkan kekhawatiran dalam diri seorang gay. Seperti yang dikisahkan oleh Dimas seorang gay yang pernah menikah (dalam Nugroho, 2007) bahwa pernikahan merupakan tantangan dan memutuskan untuk menikah adalah sebuah konflik besar yang menimbulkan kekhawatiran yang terus menghantui pikiran seorang gay yaitu apakah saya mampu berhubungan seks dengan lawan jenis.

Membentuk sebuah keluarga dengan lawan jenis bukanlah suatu keputusan yang mudah bagi seorang gay. Pertentangan yang terjadi pada diri seorang gay

antara ideologi heteroseksual dengan orientasi seksualnya, sering mendatangkan tekanan yang dapat berujung pada stres. Tetapi, ada satu alasan yang membuat seorang gay akhirnya memilih untuk menikah yaitu kehadiran anak. Seperti yang dituturkan oleh Dimas (dalam Nugroho, 2002) bahwa selain tekanan dari keluarga besar, biasanya seorang gay memutuskan untuk menikah karena ingin memiliki anak.


(26)

commit to user

Di sini terlihat bagaimana seorang individu bahkan gay sekalipun menganggap kehadiran anak di kehidupan mereka sangatlah penting. Tidak bisa dipungkiri juga bahwa dengan adanya seorang anak dalam kehidupan seorang

gay, ada suatu jaminan bahwa kelak ketika telah beranjak tua ada yang merawat individu gay tersebut.

Sementara itu, hingga saat ini pernikahan homoseksual belum bisa dicatatkan di Indonesia, yang dapat dilihat pada pengertian “pernikahan” yang tercantum dalam Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan. Di situ perkawinan (pernikahan) diartikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (dalam Nugroho, 2007).

Undang-undang tersebut jelas menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia tidak dapat mencatatkan pernikahan sesama jenis. Memang pernah ada pernikahan lesbian di Indonesia, yakni yang dilakukan oleh Jossie dan Boni di Jakarta pada 1981, namun setelah itu tidak pernah ada lagi pernikahan sejenis (Boelstorf dalam Nugroho, 2007).

Dari apa yang telah disampaikan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa tugas-tugas yang dihadapi oleh seseorang ketika memasuki usia dewasa untuk segera berkeluarga sangatlah besar. Hal ini pun terjadi pada seorang gay

terkait dengan isu generativitas. Isu generativitas (keberkembangan) menurut Erikson (1963) akan dialami seseorang pada usia tengah baya. Masa dewasa tengah baya menurut Levinson (dalam Milla, 1999), terjadi antara usia 40-60


(27)

commit to user

tahun yang terbagi atas : 40-45 tahun masa transisi tengah baya, 45-50 tahun memasuki masa dewasa tengah baya, 50-55 tahun masa transisi usia 50, dan 50-60 puncak dari masa dewasa tengah baya.

Reid (dalam Papalia dkk., 2007) mengatakan bahwa seorang gay yang memasuki masa dewasa tengah baya, sama halnya dengan seorang heteroseksual memiliki suatu keinginan kuat untuk intimasi, kontak sosial dan generativitas.

Seorang gay pun pasti memiliki cara yang berbeda satu sama lain dalam menghadapi generativitas. Manakala jika dilihat dari segi usia yang memang saatnya untuk segera membina keluarga, dan mewariskan hal-hal yang positif kepada generasi berikutnya. Seorang gay kehidupannya pun tidak berbeda dengan kehidupan heteroseksual pada umumnya. Ketika memasuki usia tertentu maka seseorang akan mengalami krisis generativitas.

Studi tentang generativitas lebih lanjut tidak hanya membatasi pada domain kedudukan sebagai orangtua. Orang dewasa mengekspresikan generativitas dalam berbagai kehidupan yang luas melalui bekerja sebagai profesional, sukarelawan, partisipan pada organisasi politik dan keagamaan, aktivitas di masyarakat, menjalin hubungan akrab dengan teman, bahkan aktivis pada saat waktu luang (McAdams & de St.Aubin, 1992).

Berdasarkan data yang dipaparkan sebelumnya, menjelaskan bahwa terjadi peningkatan jumlah pendampingan Gessang yang cukup signifikan. Gessang melakukan dampingan terhadap tiga tipe kelompok yaitu Pria Pekerja Seks (PPS),


(28)

commit to user

Pria Pekerja Seks ini merupakan orang yang bisa dikatakan menjajakan diri kepada gay atau waria berdasarkan kebutuhan akan uang.

Pria Pekerja Seks sendiri bisa seorang gay atau heteroseksual. Istilah yang beredar di komunitas gay bagi para Pria Pekerja Seks adalah “kucing” yang maknanya berbeda dengan “gigolo”. Istilah “kucing” dimaksudkan pada seorang pria yang menjajakan dirinya kepada gay atau waria, sedangkan istilah “gigolo” dimaksudkan pada seorang pria yang menjajakan diri kepada seorang wanita. Untuk Man who have Sex with Man (MSM), ditujukan pada seorang lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki untuk menjangkau semua individu laki-laki yang melakukan hubungan dengan sesama jenis. Istilah ini menjangkau individu yang memiliki perilaku seksual sejenis baik itu gay, waria, atau biseksual. Peneliti memfokuskan pada MSM yang mengidentifikasi diri sebagai seorang gay. Untuk kelompok risiko tinggi adalah kelompok di mana seorang gay yang telah menikah dengan wanita tetapi masih melakukan perilaku homoseksual. Pembagian tipe kelompok ini berdasarkan yang terjadi di lapangan. Berdasarkan pembagian ini menunjukan adanya perbedaan antara gay satu dengan yang lainnya, karena setiap manusia pasti memiliki perbedaan pandangan terhadap sesuatu hal termasuk salah satunya tentang generativitas. Fakta yang ada berdasarkan data yang diperoleh dari Gessang menunjukan bahwa ada beberapa anggotanya yang telah menikah dengan lawan jenis, tetapi ada pula yang belum menikah.

Penelitian ini difokuskan pada kelompok Pria Pekerja Seks dengan bukan PPS atau Man who have Sex with Man (MSM) yang mengidentifikasi diri sebagai


(29)

commit to user

yang dapat diartikan bahwa kelompok ini telah mampu mengatasi krisis generativitas dan memikirkan generasi selanjutnya. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana seorang gay dari kelompok Pria Pekerja Seks (PPS) dengan bukan PPS atau Man who have Sex with Man (MSM) yang mengidentifikasi diri sebagai gay dalam menghadapi generativitas (keberkembangan).

Pada masa tengah baya, seseorang dituntut untuk membina keluarga dan bertanggung jawab terhadap keturunannya kelak. Disebabkan sebagian besar gay

merahasiakan status pekerjaan di segala bidang kehidupan, maka peneliti akan mengambil pekerjaan yang berhubungan dengan perilaku seksual gay yaitu antara Pria Pekerja Seks dengan bukan Pria Pekerja Seks.

Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti bermaksud mengadakan penelitian dengan judul “Perbedaan Generativitas pada Gay Pria Pekerja Seks dengan Gay bukan Pria Pekerja Seks (Studi Komparatif pada Komunitas “Gessang” di Surakarta)”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan apa yang dipaparkan sebelumnya, peneliti merumuskan masalah penelitian sebagai berikut “Adakah perbedaan generativitas yang meliputi komitmen dan perilaku pada gay pria pekerja seks (PPS) dengan gay

bukan pria pekerja seks (Non PPS)?”.

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan latar belakang yang telah diuraikan di atas, tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui perbedaan generativitas yang meliputi


(30)

commit to user

komitmen dan perilaku pada gay pria pekerja seks (PPS) dengan gay bukan pria pekerja seks (Non PPS).

D. Manfaat Penelitian

Melalui penelitian ini diharapkan dapat diketahui generativitas seorang

gay dan dari hasil tersebut dapat diambil manfaat : 1. Manfaat Teoritis

Menambah kontribusi pemikiran bagi dunia akademis dan menjadi acuan bagi penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan generativitas dan subjek penelitian pada kelompok komunitas gay.

2. Manfaat Praktis

a. Untuk gay, dapat dijadikan sebagai acuan dalam melakukan usaha-usaha apa saja yang bisa dilakukan dalam menghadapi generativitas.

b. Untuk masayarakat, dapat dijadikan acuan untuk dapat memberikan pendidikan maupun pemahaman seks yang tepat kepada keluarga, saudara, kerabat sehingga ketika mengalami permasalahan ini bukanlah mengucilkan tetapi membantu membimbing atau mengarahkan serta memberikan dukungan sosial ke arah yang lebih baik.

c. Bagi ilmuwan psikologi, penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan atau referensi untuk melakukan analisa dalam penelitian yang akan datang pada bidang yang ada kaitannya dengan penelitian ini, yaitu generativitas pada gay.


(31)

commit to user

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Generativitas

1. Pengertian Generativitas

Ketika memasuki masa dewasa tengah (middle adulthood) sebagai periode perkembangan yang dimulai kira-kira pada usia 35-45 tahun hingga memasuki usia 60-an, terjadi penurunan keterampilan fisik dan semakin besarnya tanggung jawab. Dewasa tengah baya merupakan suatu periode di mana individu berusaha meneruskan sesuatu yang berarti pada generasi selanjutnya dan mempertahankan kepuasan dalam karirnya serta menyadari bahwa jumlah waktu yang tersisa dalam kehidupannya telah berkurang (Santrock, 2002).

Generativitas adalah kepedulian dan komitmen orang dewasa terhadap kesejahteraan generasi manusia berikutnya, seperti yang dibuktikan dalam mengasuh anak, mengajar, mentoring, dan kegiatan lainnya yang bertujuan menyalurkan warisan positif ke generasi berikutnya (Erikson, 1963). Generativitas yang dikemukakan oleh Erikson sebagai pelopor teori generativitas, konseptualisasi generativitas yaitu kualitas psikologis, hasil dari interaksi antara dorongan biologis dan faktor sosial. Ketika memasuki usia dewasa tengah baya, generativitas dinyatakan oleh dorongan untuk peduli pada generasi berikutnya (Erikson, 1963). Secara etimologis, generativitas berasal dari kata-kata generasi yang berarti kegiatan untuk mencipta (Chaplin, 2006). Erikson (1963)


(32)

commit to user

mendefinisikan konsep generativitas termasuk ke dalam produktivitas dan kreativitas.

Berdasarkan paparan mengenai pengertian generativitas, maka generativitas adalah suatu komitmen orang dewasa terhadap kesejahteraan generasi berikutnya dan mewariskan hal-hal yang positif kepada generasi berikutnya kemudian dimanifestasikan dalam perilaku seperti mengasuh anak, mengajar, mentoring, dan kegiatan lainnya .

2. Generativitas sebagai Bagian dari Tahapan Perkembangan

Isu generativitas (keberkembangan) menurut Erikson (1963) akan dialami seseorang pada usia tengah baya. Masa dewasa tengah baya menurut Levinson (dalam Milla, 1999), terjadi antara usia 40-60 tahun yang terbagi atas : 40-45 tahun masa transisi tengah baya, 45-50 tahun memasuki masa dewasa tengah baya, 50-55 tahun masa transisi usia 50, dan 50-60 puncak dari masa dewasa tengah baya.

Perkembangan manusia itu terbagi atas beberapa tahap dan setiap tahap mempuyai masa optimal atau masa kritis yang harus dikembangkan dan diselesaikan. Erickson (dalam Wade & Travis, 2007) membagi delapan model tahap perkembangan psikososial yaitu :

a. Kepercayaan versus ketidakpercayaan (trust versus mistrust),

tantangan selama tahun pertama kehidupan bayi, saat anak bergantung pada orang lain untuk menyediakan makanan, kenyamanan, kontak fisik, dan kehangatan. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi, anak mungkin tidak akan mengembangkan kepercayaan mendasar kepada orang lain.


(33)

commit to user

b. Otonomi versus rasa malu dan ragu-ragu (autonomy versus shame and doubt), tantangan yang terjadi saat anak dalam masa toddler (di bawah usia tiga tahun), anak akan belajar mandiri dan harus melakukan hal tersebut tanpa merasa malu atau tidak yakin terhadap perilakunya sendiri.

c. Inisiatif versus perasaan bersalah (initiative versus guilt), tantangan yang terjadi pada usia prasekolah. Anak mempelajari keterampilan fisik, tujuan dan menikmati bakat yang baru ditemukan tetapi harus bisa mengendalikan dorongan. Krisis yang mungkin muncul adalah berkembangnya perasaan bersalah yang terlalu kuat sehingga mengalahkan keinginan dan fantasinya.

d. Kompetensi versus inferioritas (identity versus role confusion), tantangan bagi anak usia sekolah, yang sedang belajar membuat sesuatu, menggunakan alat, dan mempelajari keterampilan yang berguna untuk kehidupan di masa dewasa. Anak yang gagal pada tahap ini, keluar dengan perasaan ketidakmampuan atau perasaan rendah diri.

e. Identitas versus kebingungan peran (identity versus role confusion), tantangan yang besar pada masa remaja, ketika individu yang harus menentukan siapa, apa yang dilakukan, dan apa harapan di dalam hidup. Krisis identitas adalah penggambaran terhadap konflik utama pada tahapan ini. Jika melalui tahapan ini dengan identitas kuat, maka siap untuk merancang masa depan. Jika gagal, maka akan tenggelam dalam kebingungan, kehilangan kemampuan membuat keputusan. f. Keintiman versus isolasi (intimacy versus isolation), tantangan pada masa dewasa muda. Ketika individu telah mengetahui siapa dirinya, maka individu tersebut harus bisa berbagi dengan orang lain dan belajar membuat


(34)

commit to user

keputusan. Betapa pun kesuksesan dalam pekerjaan, tidak akan sempurna jika tidak mencapai keintiman bersama pasangan.

g. Generativitas versus stagnasi (generativity versus stagnation), tantangan pada masa paruh baya, setelah individu mengetahui siapa dirinya dan telah memiliki hubungan yang intim. Menjadi orang tua adalah rute yang paling umum menuju generativitas, tetapi orang dapat menjadi produktif, kreatif, dan mampu mengasuh dengan cara-cara yang berbeda, dalam pekerjaan atau dalam hubungan mereka dengan generasi yang lebih muda.

h. Integritas ego versus keputusasaan (ego integrity versus despair), tantangan akhir dari masa lanjut usia. Saat beranjak tua, orang berusaha mencapai tujuan akhir yaitu kebijaksanaan, ketenangan spiritual, dan penerimaan dalam hidup.

Erikson (dalam Santrock, 2002) mengidentifikasi generativitas versus

stagnasi sebagai perkembangan isu sentral pada dewasa tengah baya. Erikson berpendapat bahwa mereka semakin ditantang untuk memberikan perawatan, bimbingan, dan inspirasi bagi generasi berikutnya dan mengadopsi peran produktif dalam masyarakat yang bertujuan untuk mendorong kesinambungan dan pengembangan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Freud (dalam Baker, 2007) sebagai Bapak Psikoanalisis menyatakan bahwa hasrat seksual semenjak lahir mengalami tahap perkembangan. Ketika manusia berkembang secara seksual, maka akan mencari objek-objek yang berbeda. Ketika memasuki masa kematangan seksual, maka timbul ketertarikan kepada lawan jenis dan diikuti dengan perkawinan serta reproduksi dalam


(35)

commit to user

keluarga. Masa kematangan seksual seseorang terjadi pada tahap genital yang berlangsung kira-kira dari masa pubertas dan seterusnya. Bersamaan dengan pertumbuhannya, alat-alat genital menjadi sumber kenikmatan pada tahap ini.

Gould (dalam Santrock, 2002) menghubungkan fase dan krisis dalam pandangannya tentang transformasi perkembangan. Menekankan bahwa paruh kehidupan adalah sama bergejolaknya dengan masa remaja, tetapi memiliki sedikit perbedaan, yaitu selama masa dewasa tengah baya usaha untuk menangani krisis mungkin akan menghasilkan kehidupan yang lebih bahagia dan lebih sehat. Ketika berusia sekitar 20-an tahun, seseorang akan menerima peran-peran baru. Ketika berusia sekitar 30-an tahun, mulai merasa terjepit dengan tanggung jawab. Ketika berusia sekitar 40-an tahun, mulai merasakan perasaan urgensi bahwa hidup kita cepat berlalu. Menangani krisis paruh kehidupan dan menyadari bahwa perasaan urgensi merupakan reaksi alami terhadap fase ini membantu menuju jalan kematangan yang dewasa.

Teori yang diungkapkan oleh Gould tersebut menekankan bahwa manusia ketika memasuki usia dewasa tengah mengalami krisis paruh kehidupan yang hampir sama ketika mengalami krisis pada masa remaja. Ketika melewati masa krisis ini diharapkan dapat menghasilkan kehidupan yang matang. Kematangan yang dimaksudkan sama dengan yang disebut oleh Erikson yaitu generativitas. Seseorang yang telah matang, akan mengajarkan dan mewariskan hal-hal positif kepada generasi selanjutnya.

Levinson (dalam Santrock, 2002) menekankan bahwa, tugas-tugas perkembangan harus dikuasai pada tiap-tiap fase. Pada masa dewasa awal, dua


(36)

commit to user

tugas utama yang harus dikuasai adalah mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan bagi kehidupan dewasa dan mengembangkan struktur kehidupan yang stabil. Ketika usia sekitar 20-an tahun sebagai novice phase (fase orang baru) dari perkembangan orang dewasa. Novice phase adalah waktu untuk eksperimentasi yang bebas dan waktu untuk menguji impian di dunia nyata. Kira-kira pada usia 28 sampai 33 tahun, individu mengalami periode transisi di mana seseorang harus menghadapi persoalan penentuan tujuan yang lebih serius. Pada usia sekitar 30-an tahun, individu biasanya berfokus pada keluarga dan perkembangan karir. Pada tahun-tahun berikutnya pada periode ini, individu memasuki fase Becaming One’s Own Man (atau BOOM, Menjadi diri Sendiri). Pada usia 40 tahun, individu telah mencapai tempat yang stabil dalam karir dan sekarang harus melihat ke depan pada jenis kehidupan yang akan dijalani sebagai orang dewasa usia tengah baya.

Teori dari Levinson ini menjelaskan ketika seseorang telah mencapai masa

Becaming One’s Own Man (BOOM), mengalami masa stabil dalam karir dan sudah mulai memikirkan kehidupan selanjutnya sebagai dewasa tengah baya. Masa ini mulai memikirkan tentang produktivitas seseorang dan apa yang harus dilakukan untuk kesejahteraan selanjutnya ketika memasuki usia dewasa tengah baya. Teori ini sejalan dengan apa yang disebut oleh Erikson dengan generativitas.

Perspektif perkembangan dari Erikson, Freud, Gould, dan Levinson menekankan arti penting fase-fase perkembangan dalam siklus kehidupan dan menyetujui bahwa perkembangan orang dewasa dimulai dengan perubahan dari


(37)

commit to user

identitas ke keintiman, kemudian konsolidasi generativitas, dan akhirnya pencarian arti ke integrasi akhir tertentu (Santrock, 2002).

Berdasarkan apa yang disampaikan sebelumnya, bahwa ketika telah memasuki usia dewasa tengah baya, individu akan mulai memikirkan kesejahteraan keluarga dan generasi berikutnya.

3. Tugas-tugas Perkembangan yang Berkenaan dengan Generativitas

Havighurst (dalam Hurlock, 1980) menyebutkan beberapa tugas perkembangan yang berkenaan dengan generativitas pada usia tengah baya, yaitu :

a. Mencapai tanggung jawab sosial dan dewasa sebagai warga negara, b. Membantu anak-anak remaja belajar untuk menjadi orang dewasa yang

bertanggungjawab dan bahagia,

c. Mengembangkan kegiatan-kegiatan pengisi waktu senggang untuk orang dewasa,

d. Menghubungkan diri sendiri dengan pasangan hidup sebagai suatu individu,

e. Menerima dan menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan fisiologis yang terjadi pada tahap ini,

f. Mencapai dan mempertahankan prestasi yang memuaskan dalam karir pekerjaan,

g. Menyesuaikan diri dengan orang tua yang semakin tua.

Hurlock (1980) menyebutkan bahwa tugas-tugas perkembangan seseorang pada usia tengah baya, yaitu :


(38)

commit to user

a. Tugas-tugas yang berkaitan dengan perubahan fisik, untuk mau melakukan penerimaan akan ada penyesuaian dengan berbagai perubahan fisik yang normal terjadi pada usia dewasa tengah baya.

b. Tugas-tugas yang berkaitan dengan perubahan minat, seringkali mengasumsikan tanggungjawab warga negara dan sosial serta mengembangkan minat pada waktu luang yang berorientasi pada kedewasaan yang tempat kegiatannya berorientasi pada keluarga yang biasa dilakukan pada dewasa dini.

c. Tugas-tugas yang berkaitan dengan penyesuaian kejuruan, berkisar pada pemantapan dan pemeliharaan standar hidup yang relatif mapan.

d. Tugas-tugas yang berkaitan dengan kehidupan keluarga, hal-hal yang berkaitan dengan seseorang sebagai pasangan, menyesuaikan diri dengan orangtua yang lanjut usia, dan membantu anak remaja untuk menjadi orang dewasa yang bertanggungjawab dan bahagia.

Berdasarkan apa yang telah diungkapkan oleh beberapa tokoh mengenai teori perkembangan, bahwa tugas-tugas perkembangan yang berkenaan dengan generativitas adalah ketika seseorang memasuki usia tengah baya dihadapkan pada beberapa tugas perkembangan yang salah satunya adalah berusaha dan membantu anak untuk menjadi dewasa yang matang dan bertanggungjawab. Seseorang ketika memasuki usia ini, maka mengajarkan dan mewariskan hal-hal positif kepada generasi selanjutnya guna mencapai individu yang matang dan bertanggungjawab.


(39)

commit to user

4. Ciri – ciri Tahap Generativitas

Ciri tahap generativitas adalah perhatian terhadap apa yang dihasilkan, yaitu keturunan, produk, ide, dan sebagainya serta pembentukan dan penetapan garis pedoman untuk generasi mendatang (Hall & Lindzey, 1985). Erikson memberi perhatian yang khusus pada peran menjadi orang tua sebagai ekspresi yang paling umum dari generativitas (Erikson, 1963).

Transmisi nilai-nilai sosial yang diungkapkan dalam ciri tahap generativitas diperlukan untuk memperkaya aspek psikoseksual dan aspek psikososial kepribadian. Nilai pemeliharaan (care) berkembang dalam tahap ini, pemeliharaan terungkap dalam kepedulian seseorang pada orang lain, dalam keinginan memberikan perhatian pada mereka yang membutuhkannya dan berbagi serta membagi pengetahuan dan pengalaman dengan mereka. Ritualisasi tahap ini ialah sesuatu yang generasional yakni ritualisasi peranan orangtua, produksi, pengajaran, pengenbangan, dan seterusnya. Peranan orang dewasa yang bertindak sebagai penerus nilai ideal kepada kaum muda.

Ciri-ciri masa dewasa tengah baya yang berkaitan dengan fase generativitas yang diungkapkan oleh Hurlock (1980), yaitu:

a. Masa dewasa tengah baya merupakan periode yang ditakuti, ketika memasuki periode dewasa tengah baya semakin terasa lebih menakutkan. Adanya stereotip yang tidak menyenangkan pada usia tengah baya yaitu kepercayaan tradisional tentang kerusakan mental dan fisik yang diduga disertai dengan berhentinya reproduksi kehidupan serta berbagai tekanan. Kebanyakan individu yang memasuki masa ini akan sangat merindukan masa mudanya.


(40)

commit to user

b. Masa dewasa tengah baya merupakan masa transisi, yaitu masa dimana seorang pria dan wanita meninggalkan ciri-ciri jasmani dan perilaku masa dewasanya dan memasuki suatu periode dalam kehidupan yang akan diliputi oleh ciri-ciri jasmani dan perilaku yang baru. Setiap perubahan peran akanmengakibatkan suatu krisis kekerasan yang besar atau kecil selama masa usia tengah baya, Kimmel (dalam Hurlock, 1980) mengidentifikasikan tiga krisis pengembangan, yaitu: 1)Krisis sebagai masa orangtua yang ditandai dengan sindrom “di mana kesalahan kami?”, terjadi jika anak-anak gagal memenuhi harapan orangtua; 2) Krisis yang timbul karena orangtua berusia lanjut sehingga sering timbul reaksi dari anak. Merasa bersalah ketika anak tidak bisa menerima orangtua yang sudah lanjut usia; 3) Krisis yang berhubungan dengan kematian, ditandai dengan sikap “bagaimana dapat terus hidup?”.

c. Masa dewasa tengah baya merupakan masa stres, di mana penyesuaian secara radikal terhadap peran dan pola hidup yang berubah khususnya bila disertai dengan berbagai perubahan fisik, selalu cenderung merusak homeostatis fisik dan psikologis seseorang dan membawa ke masa stres.

d. Masa dewasa tengah baya adalah “usia yang berbahaya”, masa ini dianggap sebagai masa berbahaya dalam rentang kehidupan. Suatu masa dimana seseorang mengalami kesusahan fisik sebagai akibat dari terlalu banyak bekerja, rasa cemas yang berlebihan, atau pun kurang memperhatikan kehidupan.

e. Masa dewasa tengah baya adalah “usia canggung”, seseorang berusia dewasa tengah baya bukan muda lagi tapi bukan juga tua. Franzblau (dalam Hurlock, 1980) mengatakan bahwa “orang yang berusia tengah baya seolah-olah


(41)

commit to user

berdiri di antara pemberontak yang lebih muda dan generasi warga senior”. Muncul perasaan ingin tidak dikenal dan berpenampilan kurang menarik.

f. Masa dewasa tengah baya adalah masa berprestasi, menurut Erikson masa tengah baya merupakan masa krisis di mana baik generativity

kecenderungan untuk menghasilkan atau stagnation kecenderungan untuk tetap berhenti. Pada masa ini, kemauannya sangat kuat untuk berhasil baik itu masalah keuangan maupun sosial.

g. Masa dewasa tengah baya merupakan masa evaluasi, setelah mencapai puncak karier, maka saatnya mengevaluasi diri berdasarkan aspirasi dan harapan orang lain, khususnya anggota keluarga dan teman.

h. Masa dewasa tengah baya dievaluasi dengan standar ganda, dievaluasi dengan standar ganda yaitu satu standar bagi pria dan satu lagi bagi wanita yang dipengaruhi dua aspek khusus yaitu yang berkaitan dengan perubahan jasmani dan cara menyatakan sikap terhadap usia tua.

i. Masa dewasa tengah baya merupakan masa sepi, dimana anak-anak sudah tidak tinggal bersama orang tua, kecuali yang menikah lambat atau yang menunda kelahiran.

j. Masa dewasa tengah baya merupakan masa jenuh, merasa jenuh dengan kegiatan rutin sehari-hari dan kehidupan bersama keluarga yang hanya memberikan sedikit hiburan.

Berdasarkan apa yang disampaikan sebelumnya, bahwa ketika seseorang memasuki usia antara 40-60 tahun, atau yang sering disebut juga dengan masa dewasa tengah baya yang diikuti dengan ciri-ciri menuju perubahan hidup dari


(42)

commit to user

masa dewasa awal menuju dewasa tengah baya. Seseorang mengalami krisis kehidupan menuju suatu hidup yang stabil dan matang guna mewariskan hal-hal yang positif ke generasi selanjutnya.

5. Cara-cara yang Digunakan dalam Mengembangkan Generativitas

Kotre (dalam Santrock, 2002) mengatakan bahwa orang dewasa tengah baya mengembangkan generativitas dengan beberapa cara yang berbeda, yaitu :

a. Generativitas biologis (biological generativity), orang dewasa mengandung dan melahirkan anak.

b. Generativitas pengasuhan (parental generativity), orang dewasa menyediakan bimbingan dan arahan pada anak-anak.

c. Generativitas kerja (work generativity), orang dewasa mengembangkan kemampuan yang diteruskan kepada orang lain.

d. Generativitas budaya (cultural generativity), orang dewasa menciptakan, merenovasi, dan menyelamatkan beberapa aspek dari budaya yang masih bertahan.

McAdams (dalam Santrock, 2002) mengungkapkan melalui generativitas, orang dewasa mempromosikan dan membimbing generasi berikutnya melalui aspek-aspek penting kehidupan seperti menjadi orang tua (parenting), mengajar, memimpin, dan melakukan sesuatu yang menguntungkan masyarakat. Orang dewasa generatif melibatkan diri pada kelanjutan dan perbaikan masyarakat secara keseluruhan melalui hubungannya dengan generasi berikutnya.

Setiap orang menunjukkan cara yang berbeda dalam mengembangkan generativitas. Cara yang dilakukan pun beraneka macam,baik itu secara biologis,


(43)

commit to user

pengasuhan, kerja, maupun budaya yang bertujuan untuk melanjutkan dan mewariskan hal-hal positif ke generasi selanjutnya.

6. Aspek-aspek Generativitas

Dari apa yang menjadi pusat perhatian Erikson (dalam Mc Adams & de St. Aubin, 1992) mengenai generativitas yang ditunjukkan dengan mendorong dan membesarkan anak, secara aktif dalam pengasuhan melibatkan penyediaan generasi selanjutnya sebagai contoh untuk keturunan berikutnya. Studi tentang generativitas lebih lanjut tidak hanya membatasi pada domain kedudukan sebagai orangtua. Orang dewasa mengekspresikan generativitas dalam berbagai kehidupan yang luas melalui bekerja sebagai professional, sukarelawan, partisipan pada organisasi politik dan keagamaan, aktivis di masyarakat, menjalin hubungan akrab dengan teman, bahkan aktivis pada saat waktu luang.

Lebih lanjut Erikson mengatakan bahwa generativitas merupakan teori epigenetik yang menggabungkan gagasan bahwa tiap-tiap tahapan hadir dalam beberapa hal pada setiap periode siklus hidup. Jadi, setengah baya itu merupakan tahap generativitas yang harus memiliki akar perkembangan yang sebelumnya dan dengan demikian menunjukkan beberapa macam kontinuitas dari waktu ke waktu.

Contoh dari teori Erikson mengenai generativitas yaitu perluasan

psychobiographical kehidupan Martin Luther dan Mahatma Gandhi, yang keduanya tampak telah memberikan generatif yang lebih banyak dalam kehidupannya dengan aksinya dalam masyarakat daripada keluarga dan temannya (Mc Adams & de St. Aubin, 1992).


(44)

commit to user

Secara keseluruhan, generativitas didukung oleh dasar kepercayaan umum dalam masyarakat dan kehidupan manusia di masa depan. McAdams, dkk.(dalam Cavanaugh, 2006) berdasar atas teori generativitas Erikson, membagi generativitas menjadi tujuh tahap psikososial yang dipengaruhi oleh individu dan sosial yang bertujuan untuk menyediakan bagi kelangsungan, kesejahteraan, dan pengembangan kehidupan manusia generasi selanjutnya. Tujuh tahap psikososial itu antara lain :

a. Tuntutan budaya

Tuntutan budaya itu bersifat normatif dan sesuai dengan tingkat usia. Ciri-ciri dari tuntutan budaya ini termasuk berbagai macam hal dalam masyarakat yang saling berhubungan, seperti ideologi, gaya hidup, sumber daya dan kesempatan. Selain itu juga meliputi spektrum dari beberapa faktor yang luas dan kekuatan eksternal dari individu.

b. Keinginan dari dalam

Generativitas sering dideskripsikan sebagai masukan dalam motivasional seperti kebutuhan, naluri atau dorongan yang menghasilkan keinginan. Dua macam keinginan di identifikasikan ke dalam dua hal, yaitu keinginan untuk simbol keabadian dan keinginan yang dibutuhkan oleh orang lain.

c. Perhatian

Erikson (dalam Mc Adams and St.Aubin, 1992) mengatakan bahwa perhatian adalah perluasan perhatian untuk apa yang dihasilkan oleh cinta, kebutuhan atau kebetulan.


(45)

commit to user

d. Kepercayaan

Kepercayaan dalam kehidupan manusia ditempatkan dalam harapan untuk kemajuan dan perbaikan kehidupan manusia dalam menggantikan generasi, bahkan dalam menghadapi fakta-fakta yang kuat pada hal-hal yang bersifat merusak manusia.

e. Komitmen

Merupakan hasil dari tuntutan, keinginan, perhatian dan kepercayaan. Komitmen membawa pertanggungjawaban untuk generasi selanjutnya dengan membuat keputusan dan membangun tujuan untuk perilaku generatif.

f. Aksi atau perilaku generatif

Perilaku generatif adalah untuk menghasilkan hal atau orang, menjadi kreatif, produktif, dan bermanfaat, untuk memberikan keturunan. Perilaku generatif meliputi perlindungan, perbaikan, pemeliharaan, pengembangan, pengasuhan, atau perawatan terhadap apa yang dianggap berguna seperti perilaku dalam mengasuh anak, pemeliharaan tradisi, menjaga lingkungan, dan menetapkan ritual.

g. Narasi

Dengan memahami konteks generativitas Mc Adams tentang teori life-story, kedewasaan menggambarkan individu dalam masyarakat dengan kebiasaan hidup individu atau life-story yang memberikan kehidupan dengan kesatuan, tujuan, dan pengertian.


(46)

commit to user

Dari tujuh tahap psikososial yang diungkapkan oleh Erikson, Mc Adams (1992) memfokuskan menjadi tiga aspek yang akan berpengaruh dalam penyusunan alat ukur generativitas, yaitu :

a. Komitmen

Komitmen ini berdasarkan hasil dari tuntutan budaya, keinginan dari dalam, perhatian dan kepercayaan yang akan bertanggungjawab terhadap generasi berikutnya dengan pengambilan keputusan dan pencapaian tujuan perilaku generatif. Alat ukur yang akan digunakan adalah Loyola Generativity Scale (LGS) yang terdiri dari 20 pernyataan yang telah dianggap paling baik dari 39 pernyataan yang telah diujikan sebelumnya oleh peneliti terdahulu. Pernyataan-pernyataan yang dipilih tersebut secara relatif menunjukkan korelasi yang tinggi mengenai generativitas. LGS di desain untuk mengukur perbedaan individual pada komitmen generativitas.

b. Aksi atau perilaku generatif

Aksi atau perilaku generatif ditunjukan dengan menghasilkan, pemeliharaan, persembahan sesuatu yang bermanfaat untuk generasi berikutnya. Perilaku generatif dapat diartikan juga membentuk hal atau orang untuk menjadi pribadi yang lebih kreatif, produktif, dan meneruskan generasi berikutnya. Alat ukur yang akan digunakan adalah Generative Behaviour Checklist (GBC) yang terdiri 50 pernyataan untuk mengukur perilaku generatif secara kuantitatif atas perilaku generatif dalam kehidupan sehari-hari.


(47)

commit to user

c. Narasi

Menggambarkan kedewasaan seseorang dalam kehidupan ataupun kebiasaan dalam masyarakat yang berkenaan dengan generativitas dalam bentuk life-story. Alat ukur yang digunakan berupa wawancara berdasarkan lima tema mengenai generativitas (McAdams, 1992), yaitu : 1) Menghasilkan, segala sesuatu yang berhubungan dengan menghasilkan ide-ide baru, dan hasrat untuk melakukan sesuatu, 2) Pemeliharaan, segala sesuatu yang berhubungan dengan pengambilan tindakan yang didukung oleh hasil, tradisi secara terus menerus, 3) Menawarkan hasil dari diri sendiri, memberikan segala sesuatu atas kemampuan diri atau hasil-hasil dari kemampuan diri yang akan diberikan kepada orang lain, 4) Generasi berikutnya, segala sesuatu yang berhubungan dengan interaksi yang positif dan bertujuan kepada generasi yang lebih muda atau generasi selanjutnya, 5) Simbol keabadian, dengan meninggalkan warisan, memiliki pengaruh yang abadi.

Tujuh tahap psikososial dari generativitas itu sendiri dapat digambarkan sebagai berikut :

1. Cultural Demand

- Development expectation

- Social opportunities

3. Concern

For the next generation

2. Inner Desire

- symbolic immortality (agency)

- “need to be needed” (communion)

4. Belief

In the species

5. Commitment - goals - decisions 6. Action - creating - maintaining - offering 7. narration The generativity script within the personal life story

(Sumber: Mc Adams, 1992)

(Meaning) (Motivational Sources) (Thoughts, Plans) (Behaviour)

Bagan. 1 Tujuh Tahap Psikososial Generativitas Generativitas


(48)

commit to user

Berdasarkan apa yang disampaikan sebelumnya, generativitas itu merupakan suatu komitmen individu untuk mewariskan hal-hal positif dan bertanggung jawab terhadap generasi berikutnya. Generativitas dalam perkembangannya memiliki tujuh tahap psikososial yang dipengaruhi oleh individu dan sosial yang bertujuan untuk menyediakan bagi kelangsungan, kesejahteraan, dan pengembangan kehidupan manusia generasi selanjutnya. Generativitas memiliki tiga aspek penting yaitu : 1) komitmen yang terdiri dari tuntutan budaya, keinginan dari dalam, perhatian, kepercayaan, 2) aksi atau perilaku yang berupa kegiatan menghasilkan, pemeliharaan, persembahan sesuatu yang bermanfaat untuk generasi selanjutnya, 3) narasi berupa penggambaran kedewasaan seseorang dalam kehidupan masyarakat mengenai generativitas.

B. Status Pekerjaan 1. Pengertian Status Pekerjaan

Pekerjaan dalam arti luas adalah aktivitas utama yang dilakukan oleh manusia. Dalam arti sempit, istilah pekerjaan digunakan untuk suatu tugas atau kerja yang menghasilkan uang bagi seseorang. Dalam pembicaraan sehari-hari istilah ini sering dianggap sinonim dengan profesi(Wikipedia.com, 2010).

Heally (dalam Yusuf, 2002) mengatakan bahwa pekerjaan merupakan sekumpulan tugas atau posisi yang memiliki kesamaan kewajiban dan tugas-tugas pokok dalam suatu organisasi atau unit atau lembaga. Pekerjaan berorientasi pada tugas dan hasil serta berpusat pada organisasi, dan dapat diduduki satu orang atau beberapa orang.


(49)

commit to user

Status pekerjaan adalah kedudukan seseorang dalam melakukan pekerjaan di suatu unit usaha/kegiatan (mennegpp.go.id, 2008).

Berdasarkan beberapa pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa status pekerjaan adalah suatu kedudukan seseorang yang menjalankan tugas-tugas atau kewajiban di suatu unit usaha/kegiatan/organisasi/lembaga.

2. Indikator Status Pekerjaan

Sakernas (2008) Indikator status pekerjaan pada dasarnya melihat empat kategori yang berbeda tentang kelompok penduduk yang bekerja yaitu :

a. Tenaga kerja dibayar (buruh),

b. Pekerja yang berusaha sendiri, berusaha sendiri umumnya dibedakan menjadi dua yaitu mereka yang berusaha (memiliki usaha) dengan dibantu pekerja dibayar dan mereka yang berusaha tanpa dibantu pekerja dibayar,

c. Pekerja bebas, mereka yang bekerja secara serabutan dan tidak terikat, d. Pekerja keluarga, pekerja keluarga juga dikenal dengan pekerja tak

dibayar. Seorang yang bekerja tanpa menerima sembarang bayaran atau upah di ladang, perniagaan atau perusahaan yang dijalankan oleh ahli keluarganya yang lain.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (2006), Menurut Sensus Penduduk 2000, status pekerjaan terdiri atas:

a. Berusaha atau bekerja sendiri

Mereka yang berusaha/bekerja atas risiko sendiri dan tidak mempekerjakan pekerja keluarga maupun buruh. Contohnya sopir taksi yang membawa mobil atas


(50)

commit to user

risiko sendiri, kuli-kuli di pasar, stasiun atau tempat-tempat lainnya yang tidak mempunyai majikan tertentu.

b. Berusaha dibantu dengan buruh tidak tetap

Status pekerjaan bagi mereka yang bekerja sebagai orang yang berusaha atas resiko sendiri dan dalam usahanya mempekerjakan buruh tidak tetap. Contohnya, pengusaha warung yang dibantu oleh anggota rumah tangganya atau orang lain yang diberi upah tidak tetap, penjaja keliling yang dibantu anggota rumah tangganya atau seseorang yang diberi upah hanya pada saat membantu saja.

c. Berusaha dibantu dengan buruh tetap

Mereka yang bekerja sebagai orang yang berusaha atas risiko sendiri dan dalam usahanya mempekerjakan paling sedikit satu orang buruh tetap. Buruh tetap adalah buruh/karyawan yang bekerja pada orang lain atau instansi/kantor/perusahaan dengan menerima upah atau gaji secara tetap, baik ada kegiatan maupun tidak. Contohnya pemilik toko yang mempekerjakan satu / lebih buruh tetap dan pengusaha sepatu yang memakai buruh tetap.

d. Buruh/Karyawan/Pekerja dibayar

Mereka yang bekerja pada orang lain atau instansi/kantor/perusahaan dengan menerima upah/gaji baik berupa uang maupun barang.

e. Pekerja tidak dibayar

Status pekerjaan bagi mereka yang bekerja membantu memperoleh penghasilan atau keuntungan seseorang dengan tidak mendapat upah / gaji baik berupa uang maupun barang. Contohnya anggota rumah tangga dari orang yang dibantunya, seperti istri yang membantu suami di sawah dan bukan sebagai anggota rumah


(51)

commit to user

tangga tetapi keluarga dari orang yang dibantunya, seperti saudara yang membantu melayani penjualan di warung.

Berdasarkan yang diungkapkan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa indikator status pekerjaan terbagi menjadi lima, yaitu bekerja/berusaha sendiri, berusaha dengan dibantu buruh tidak tetap, berusaha dengan dibantu buruh tetap, buruh/karyawan/pekerja dibayar, pekerja tidak dibayar.

3. Status Pekerjaan dalam Komunitas Gessang

Gessang merupakan suatu komunitas yang menaungi para gay yang berpusat di kota Surakarta. Gessang adalah singkatan dari Gerakan Sosial, Advokasi dan Hak Asasi Manusia untuk Gay Surakarta. Ini menandai dimulainya kehidupan organisasi dan eksistensi komunitas gay Surakarta dalam masyarakat umum. Status pekerjaan yang terdapat dalam komunitas ini pun sangat beragam, antara lain sopir, tukang ojek, pelaut/ABK, nelayan, PNS, TNI, karyawan/buruh, pedagang/wiraswasta, petani, entertainer, pria pekerja seks, mucikari, dan lainnya. Karena beragamnya status pekerjaan yang terdapat dalam komunitas ini, maka status pekerjaan tersebut dipersempit menjadi pria pekerja seks dengan bukan pria pekerja seks. Tujuan pengelompokan status pekerjaan tersebut untuk memudahkan pengambilan data yang diperlukan dalam penelitian ini.

Untuk menjelaskan konsep mengenai pria pekerja seks (PPS) tidak lepas dari pengertian pelacuran, karena pria pekerja seks merupakan salah satu bagian dari pelacuran. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan pelacuran sebagai praktek hubungan seksual yang dilakukan dengan siapa saja (promiskuisitas) untuk mendapatkan imbalan berupa upah. Pria pekerja seks yang biasa disebut


(52)

commit to user

kucing merupakan pelacur laki yang menyediakan diri kepada sesama laki-laki (biasanya laki-laki-laki-laki gay), untuk mengadakan hubungan kelamin dengan mengharapkan imbalan uang yang sudah ada standar harga secara relatif untuk setiap layanan yang diberikan.

Definisi pelacuran dan pria pekerja seks tersebut memiliki karakteristik tiga unsur, yaitu pembayaran (reward), berganti-ganti pasangan (promiskuitas), dan ketidakacuhan emosional (Dam Truong, 1992). Seseorang memilih berprofesi menjadi pria pekerja seks disebabkan adanya suatu motif imbalan dan adanya keinginan penikmatan seksual.

Perilaku seksual yang dilakukan oleh pria pekerja seks akan terus dilakukan karena memberikan keuntungan bagi pelakunya. Homan (Ritzer, 1992) mengatakan bahwa tingkah laku itu akan dilakukan atau diulang apabila yang bersangkutan akan mendatangkan imbalan.

Adanya motif imbalan yang dilakukan oleh pria pekerja seks (PPS) dalam melakukan hubungan seks telah menggeser arti seks sebenarnya. Gunawan (1993) membagi seks menurut fungsinya menjadi :

a. Hubungan seks yang dilakukan untuk tujuan reproduksi (reprosex). Seks didasarkan atas tendensi agama yang menganggap bahwa seks bersifat suci dan untuk pelaksanaannya membutuhkan suatu lembaga khusus.

b. Seks ditujukan sebagai pernyataan cinta kasih (sex a mean of expressing love).


(53)

commit to user

Pangkahila (2001) membagi seksualitas menjadi empat dimensi, yaitu : a. Dimensi prokreasi, berarti membuat keturunan sebagai generasi

penerus.

b. Dimensi rekreasi, mengandung pengertian kesenangan, yang berhubungan dengan kenikmatan dan kepuasan seksual yang diperoleh.

c. Dimensi relasi, kehidupan seksual suami istri berfungsi sebagai pengikat yang lebih mempererat hubungan pribadi suami istri.

d. Dimensi institusi, lembaga perkawinan.

Berdasarkan apa yang telah disampaikan di atas, status pekerjaan seseorang itu bermacam-macam. Status pekerjaan terdiri atas berusaha atau bekerja sendiri, berusaha dibantu dengan buruh tidak tetap, berusaha dibantu dengan buruh tetap, buruh/karyawan/pekerja dibayar, pekerja tidak dibayar. Status pekerjaan yang menjadi sasaran penelitian ini adalah buruh/karyawan/ pekerja dibayar. Status pekerjaan yang lebih spesifik lagi yang akan dijadikan sebagai sasaran penelitian adalah yang bekerja sebagai Pria Pekerja Seks (PPS) dan yang bukan yang bekerja sebagai Pria Pekerja Seks (PPS).

C. Perbedaan Generativitas Meliputi Komitmen dan Perilaku pada Gay

PPS dengan Gay bukan PPS

Setiap manusia ketika memasuki masa dewasa dituntut untuk bertanggung jawab terhadap generasi berikutnya. Seperti yang diungkapkan oleh Erikson bahwa perkembangan manusia itu terbagi atas beberapa tahap dan setiap tahap mempuyai masa optimal atau masa kritis yang harus dikembangkan dan


(1)

commit to user

…Saya pun kalo di masyarakat juga biasa aja. Saya pun kalo misal

nerima tamu cowok gitu juga kadang sungkan dan ga enak mbak nek pintu rumah

di tutup ntar masyarakat ngiranya gimana. (Subjek A)

…fine..fine aja..gak papa.. yang penting kita baik..he’eh..Cuma saya kan

karakter gay itu kan kita kan karena identitas..kebanyakan ya..identitas seksual

atau orientasi seksual kita khawatir diketahui orang makanya kita cenderung

menutup diri..kita..saya kan kalo..datang..pulang kerja tutup..saya nggak

pernah..jarang..istilahe jarang serawung ya.. tapi saya baik menyapa..kadang

main..atau apa..gitu..kebanyakan gay itu itu..kita lebih nyaman dengan komunitas

sendiri..gitu.. oh iya dateng..kalo gitu ga masalah..tirakatan 17 agustusan

dateng..ora popo..mereka sangat respek sekali, masyarakat di sekitar sini kan

saling hormat menghormati gitu..yang penting kan kita tidak berbuat jahat atau

apa. (Subjek B)

Hal ini menunjukkan bahwa

gay

pria pekerja seks (Subjek A) dalam

bergaul dengan masyarakat biasa saja dan

gay

bukan pria pekerja seks (Subjek B)

juga dalam bergaul dengan masyarakat juga sama seperti masyarakat kebanyakan

tetapi mereka cenderung tertutup dan lebih nyaman dalam komunitasnya.

Jika dilihat dari aspek menawarkan hasil dari dalam diri sendiri, dapat

ditunjukkan bahwa :

…Jujur saya itu kadang ada perasaan pengen berhenti kerja kayak gini,

tapi ya gimana lagi mbak kalo malem dapat sms dari pelanggan ya mau ga mau

mbak. Jujur ya mbak, saya itu suka kasihan ma pekerja seks yang sudah menikah

gitu mbak, liat anak istrinya dikasi makan dari hasil kayak gitu. Lha kalo saya

kan buat saya sendiri. Saya itu kadang berdoa ma tuhan, meminta rejeki walo

ternyata tuhan ngasih rejekinya lewat jalan ini, nanti kalo pas malam saya minta

maaf sama tuhan. (Subjek A)

…ya paling tidak saya bisa hidup sejahtera kemudian bisa bermanfaat

bagi orang lain..harapan saya itu..kayak misalnya hasil penelitian kalo kita

publikasikan kan bisa bermanfaat tentunya. (Subjek B)

Hal ini menunjukkan bahwa subjek A ada perasaan ingin berhenti dari

pekerjaan ini, memulai sesuatu yang baru, dan merasa bersalah kepada Tuhan

tetapi karena tuntutan kebutuhan sehingga tidak sepenuhnya bisa lepas dari

pekerjaan ini. sedangkan subjek B merasa bahwa apa yang telah dihasilkan selama


(2)

commit to user

ini memiliki banyak manfaat sehingga ada keinginan hidup sejahtera dan senang

membantu orang lain.

Jika dilihat dari aspek generasi selanjutnya, dapat ditunjukkan bahwa :

…Saya berharap kelak nanti yang ngurusin saya ya keponakan saya

walau kasih sayang anak berbeda ma keponakan, tapi saya tidak berniat

menikah. Saya tidak mau mengadopsi anak, lha wong keponakan saya saja

banyak mbak. (Subjek A)

…tidak no..saya blass..saya tidak akan menikah..saya sudah bahagia

dengan begini..punya banyak teman..karier yang bagus..gitu aja..kalo saya lebih

seneng ngerawat anaknya atau keponakan saya anu anaknya kakak atau adik

saya. ya banyak saya tu sok nukoke susu anake adikku.. (Subjek B)

Hal ini menunjukkan bahwa antara subjek A dan subjek B tetap tidak ingin

menikah dan tidak berniat mengadopsi anak serta lebih memilih merawat

keponakan.

Jika dilihat dari aspek simbol keabadian, dapat ditunjukkan bahwa :

…Saya tidak terlalu memikirkan kehidupan saya selanjutnya, yang penting

saya sudah punya rumah dan tanah mbak. (Subjek A)

..sebenernya kuatir ya..he’eh..tapi kalo saya percaya nanti adik kakak atau

saudara atau family atau keponakan saya yang merawat saya. he’eh..iyaa..ini

step by step ya..kita bisa..selain berguna untuk masyarakat luas terutama juga

untuk komunitas gay..makanya kemudian saya beranikan bersama dengan teman2

membuat Gessang..itu salah satu pengorbanan saya yang besar terutama

kaitannya dengan karier..kalo orang lain kan mungkin belum bisa menerima tapi

ternyata sambutan temen2 bagus..seperti itu..saya gak menyangka..(Subjek B)

Hal ini menunjukkan bahwa subjek A tidak terlalu memikirkan kehidupan

selanjutnya sedangkan subjek B memikirkan kehidupan selanjutnya dan

menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat luas.

Namun, dikarenakan

gay

berbeda dengan masyarakat pada umumnya yang

heteroseksual, maka cara mengembangkan generativitas pun akan berbeda dengan

masyarakat. Hal ini jelas berbeda dikarenakan adanya perbedaan orientasi seksual.

Jikalau heteroseksual mengembangkan generativitas dengan biologis, pengasuhan,


(3)

commit to user

kerja, maupun budaya, maka

gay

pun memiliki cara tersendiri entah itu melalui

generativitas kerja ataupun budaya. Perbedaan pekerjaan

gay

tidak akan

memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perilaku generativitas.

Jika pada penelitian sebelumnya, studi generativitas yang diterapkan pada

heteroseksual didapatkan hasil antara komitmen generativitas sejalan dengan

perilaku generativitas maka pada penelitian ini antara komitmen generativitas

dengan perilaku generativitas tidak sejalan. Pada umumnya,

gay

cenderung

tertutup dengan masyarakat sekitar dan lebih senang berinteraksi dengan sesama

anggota komunitas, seperti nongkrong bareng, diskusi, buka puasa bersama, dan

sebagainya. Oleh karena itu, sebagian besar

gay

memilih tidak menikah karena

sudah merasa nyaman dan bahagia. Melakukan sesuatu sesuai dengan norma

masyarakat yang ada, agar bisa diterima oleh masyarakat. Interaksi dengan

masyarakat pun sebatas tegur sapa dan mengikuti kegiatan yang dilakukan

masyarakat.

Gay

lebih memilih merawat keponakan daripada mengadopsi anak

atau memiliki anak, biasanya dengan membiayai sekolah, mencukupi kebutuhan.

Selebihnya

gay

lebih banyak berinteraksi, melakukan kegiatan dan menjalani

kehidupan dengan sesama anggota komunitas serta tertutup terhadap orang lain di

luar komunitas.

Penelitian ini masih memiliki banyak keterbatasan.

Keterbatasannya-keterbatasan tersebut antara lain; dalam penelitian ini hanya dapat

digeneralisasikan secara terbatas pada populasi penelitian ini saja. Sedangkan

penerapan penelitian lain untuk populasi yang lebih luas dengan karakteristik

yang berbeda, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menambah


(4)

variabel-commit to user

variabel lain yang belum disertakan dalam penelitian ini

.

Wawancara sebaiknya

dilakukan lebih mendalam lagi agar dapat diperoleh informasi yang lebih dalam

mengenai kajian psikologis.


(5)

commit to user

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dari pembahasan maka dapat diambil kesimpulan

sebagai berikut :

1)

Ada perbedaan komitmen generativitas antara kelompok

gay

pria pekerja seks

(PPS) dengan

gay

bukan pria pekerja seks (Non PPS) dibuktikan dengan nilai

p

lebih kecil dari taraf signifikansi 5% (0,00 < 0,05).

2)

Tidak ada perbedaan perilaku generativitas antara kelompok

gay

pria pekerja

seks (PPS) dengan

gay

bukan pria pekerja seks (Non PPS) dibuktikan dengan

nilai

p

lebih besar dari taraf signifikansi 5% (0,384 > 0,05).

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh maka dapat dikemukakan

saran-saran sebagai berikut :

1)

Bagi

gay

baik pria pekerja seks maupun bukan pria pekerja seks

Bagi

gay

diharapkan untuk segera memikirkan usaha-usaha apa yang dilakukan

dalam menghadapi generativitas ataupun tugas-tugas perkembangan lainnya,

seperti mulai membuka usaha khususnya yang bekerja sebagai pria pekerja seks

sebab tidak selamanya bekerja sebagai pria pekerja seks jika ditinjau dari segi

usia yang semakin lama kondisi kesehatan pun semakin menurun, mengadopsi


(6)

commit to user

anak, diskusi bersama berkaitan dengan masalah yang dapat menimbulkan

konflik atau

stressor.

2)

Bagi masyarakat

Bagi masyarakat diharapkan agar lebih peka terhadap lingkungan keluarga,

masyarakat sehingga ketika salah satu dari anggota keluarga maupun masyarakat

yang mengalami penyimpangan orientasi seksual bisa memberikan pemahaman,

melakukan intervensi yang tepat, jika ternyata memang tidak ada ketertarikan

sama sekali terhadap lawan jenis (egosintonik) maka keluarga dan masyarakat

tidak bisa melakukan intervensi dan berusaha menerima kondisi individu

tersebut.

3)

Bagi peneliti selanjutnya

Bagi peneliti selanjutnya, khususnya ilmuwan psikologi diharapkan untuk

memperluas populasi, memperbanyak sampel agar ruang lingkup dan

generalisasi penelitian menjadi luas. Peneliti selanjutnya diharapkan dapat

meneliti lebih mendalam tidak hanya berkenaan dengan generativitas tetapi yang

berkenaan dengan masalah-masalah lain seperti strategi koping, krisis identitas,

penerimaan sosial, aktualisasi diri seorang

gay

yang

coming out

, fenomena

munculnya

gay

remaja di masyarakat, alasan seorang pria heteroseksual yang

menjadi pria pekerja seks (kucing), dan sebagainya sehingga dapat melihat

adanya perbedaan yang jelas antara subjek satu dengan subjek yang lainnya.