Pendidikan yang Menghina Pendidikan.

MEDIA IND@NESIA
o Senin o Selasa
4

123
17

18

OJan

19
OPeb

5

0
6

Rabu


8

7

o Kamis . Jumat o
9
10 11 12

23

20

(3j)

22

OMar

OApr


OMei

24

26

13
27

OJun OJul . Ags OSep

EDITORIAL

Pendidikan yang
Menghina Pendidikan
JUMLAH sarjana yang menganggur di Indonesia terus
meningkat dari tahun ke tahun. Pada Februari 2005, jumlah
sarjana yang menganggur masih 385.400 orang. Empat tahun
kemudian, yakni pad a Februari 2009, jumlahnya sudah melonjak dua kali lipat menjadi 626.600 orang.
Angka pengangguran terdidik bertambah besar lagi jika

digabungkan dengan pengangguran lulusan diploma yang
mencapai 486.400orang. Para penganggur terdidik itu merupakan bagian dari pengangguran terbuka secara nasional
yang pada Februari 2009 mencapai 9,26 juta atau setara dengan 8,14% dari total angkatan kerja.
Pertambahan jumlah pengangguran tingkat sarjana mesti
diwaspadai. Sebab setiap tahunnya Indonesia memproduksi
sekitar 300.000 sarjana dari 2.900 perguruan tinggi.
Semakin besamya angka pengangguran terdidik tentu saja
berdampak buruk, yakni berpotensi menimbulkan masalah
sosial. Mereka, para penganggur terdidik, bisa saja menjadi .
aktor intelektual kejahatan yang ada di tengah masyarakat.
Selain itu, pengangguran terdidik adalah sebuah pemborosan. Bukankah negara sudah mengalokasikan 20% APBN
untuk pendidikan? Alokasi anggaran yang begitu besar hanya untuk rnemproduksi penganggur sehingga jelas sebuah
pemborosan.
Dampak buruk lainnya, ini paling serius, adalah hilangnya
penghargaan dan kepercayaan masyarakat terhadap dunia
pendidikan tinggi. Bukan rahasia lagi, untuk masuk ke perguruan tinggi dibutuhkan biaya selangit.
Semakin jelas sudah bahwa perguruan tinggi masih menghasilkan manusia pencari kerja. Celakanya, perencanaan
pembangunan pendidikan tinggi tidak selaras dengan perkembangan lapangan kerja sehingga lulusannya tidak bisa
terserap di ~pangan kerja~


-- Kllping

25

Sabtuo

Humas

Minggu

14
28

OOkt

15
29
ONov

16

30

31

ODes

Perguruan tinggi harus kreatif sebab kesempatan kerja sesungguhnya masih terbuka lebar. Sektor pertanian, kelautan,
perkei:?unan, dan perikanan adalah contoh bidang-bidang
yang masih membutuhkan tenaga ahli. Perguruan ,pnggi
mesti mewujudkan pendidikan yang berbasis pad a pasar
kerja.
Selain itu, untuk menghasilkan lulusan yang siap kerja, perguruan tinggi sudah saatnya menambah keterampilan mahasiswa di luar bidang akademik yang mereka kuasai. Terutama
keterampilan yang berkaitan dengan kewirausahaan.
Dengan demikian, perguruan tinggi bisa menghamlkan
manusia pencipta lapangan kerja.
Pemerintah tentu saja tidak bisa mencuci tangan atas
membengkaknya pengangguran terdidik. Pemerintah harus
menciptakan lapangan kerja yang bermutu sehingga nWnarik
minat kaum penganggur intelektual. Jangan pula para sarjana
itu disuruh menjadi buruh bangunan.

Pemyataan ini, tentu, tidak dimaksudkan untuk men ganggap buruh bangunan atau tukang becak sebagai pekerjaan
tidak bermakna. Hanya, bila ingin menjadi tukang becak atau
buruh bangunan, mengapa harus menghabiskan waktu dan
dana begitu besar di perguruan tinggi?
Pemerintah, sejak dulu, tidak pemah memiliki konsep yang
tegas dan terencana tentang keterkaitan an tara pendidikan
dan ,lapangan kerja. Pendidikan dilaksanakan sebagai amanat
konstitusi semata. TIdak ada mata rantai yang mengikat antara tamatan perguruan tinggi dan lapangan kerja. Kita pemah
gencar dengan program link and match, sebuah konsep. yang
sangat betu!, tetapi mati dari aplikasi.
Meningkatnya angka pengangguran tamatan perguruan
tinggi mencerminkan dengan sangat jelas tentang kete,rsesatan program penanggulangan kemiskinan kita. Memerangi
kemiskinan haruslah ditempuh melalui perluasan lapangan
kerja karena pertumbuhan investasi. Kemiskinan tidak bisa
dihapus melalui bantuan langsung tunai dan sedekah negara.
Pada akhimya lonjakan pengangguran orang-oran~ terdidik menghina pendidikan itu sendiri.
Anda ingin menanggapi "Editorial" ini, silakan kunjungi:
mediaindonesia.com
,


Un pad

2009