Susu Lokal dan Dampak Perdagangan Bebas.

Pikiran Rakyat
o Senin
123
17
OJan

o Selasa
4

18

19
OPeb

0
(§)

5
20

21


o Mar

OApr

Rabu
7
22

0
8
23

OMei

Kamis

(f) Sabtu 0 Minggu
12
13

14
15
16
9
10
11
27
28
29
30
31
24
25
26

8Jun

Susu Lokal

0


Jumat

0 Ags OSep

OJul

OOkt

ONov

& Dampak
"-

Perdagangan

Bebas

Oleh MUHAMMAD YUSUF ANSORI
EMERINTAH melalui

Menteri Perdagangan pada 28 Februari 2009 bersaJJ.1asejumlah menteri perdagangan ASEAN, Australia, dan
Selandia Baru menandatangani
Persetujuan Perdagangan Bebas
ASEAN-Australia-Selandia Baru
atau AANZ-FfA (ASEAN,Australia, New Zealand Free Trade
Area), yakni perjanjian kerja sarna untuk melakukan perdagangan bebas di antara negaraneg~ra tersebut. Konsekuensi
dari perjanjian tersebut adalah
turunnya tarif perdagangan produk peternakan seperti daging
dan susu dari Australia dan Selandia Baru dinolkan pada 20172020.
Ternyata, kita tidak perlu menunggu lama untuk merasakan
. akibat perjanjian perdagangan

P

bebas tersebut. Sekitar 40 ton
susu di KoperasiPeternak Sapi
Bandung Utara (KPSBU)Lembang nyaris terbuang (Pikiran
Rakyat, 2/4). Jumlah tersebut
_~e~pakan akumulasi~ sisa.


susu yang tidak terjual akibat
adanya pembatasan kuota susu
oleh salah satu Industri Pengolah Susu (IPS). Penulis memprediksi kondisi ini sejak lama
seperti yang telah ditulis di kolorn Opini (2/4) yang menyebutkan bahwa ada dampak psikologis yang sangat berbahaya jika
perjanjian ini dijalankan. Pi,hak
IPS cenderung akan memilih susu impor karena harganya lebih
murah dan kualitasnya pun lebih
baik.
Selain itu, IPS pun kembali
mengurangi harga beli susu lokal
sebesar
Rp
200,00-Rp
300,00/liter
dari harga Rp
3.500,00/liter. Negosiasi ulang
ini semacam "ancaman" bagi peternak karena selama ini sudah
terbentuk sistem distribusi susu
sapi yang kaku di mana IPS selalu menjadi oIigopsoni.IPS sudab
menjadi kartel yang terbentuk

dengan sengaja sehingga kendaIi perdagangan senantiasa mereka pegang. Peternak tidak mempunyai .pilihap.lain sel~ ~enu-

Kliping
---

Humas

Un pad
--

runkan harga jual susu ke IPS jika susunya ingin ditampung.
Lalu, pemerintah berpihak kepada siapa? Bila kondisinya sudab seperti ini, sebenarnya siapa
yangbersalah?
Penulis benar-benar tidak
mengerti apakah pemerintah
menandatangani perjanjirorper~
dagangan bebas ini sekadar ikutikutan atau atas tekanan para
pengusaha dan pihak asing?
Adanya perjanjian ini pasti.sudab diketahui dampak buruknya
bagi perekonomian nasional, namun tidak menjadi prioritas dalam menentukan kebijakan.

Seharusnya, pemerintah tidak
mendantangani perjanjian tersebut jika tahu akan berdampak
buruk bagi peternakan lokal. Kita semua tahu, kondisi peternakan lokal sedang terpuruk namun
bukan berarti memberikan ruang kepada pengusaha untuk
mengeksploitasi mereka. Hal ini
seolah-olah menunjukkan kekuasaan berada di tangan pengusaha bukan berada di tangan
pemerintah sebagai penentu kebijakan. Proteksi pemerintah terhadap peternak lokal tetap harns
~ilakukan supaya IPS tidak se-

2009

'ODes

mena-mena menurunkan harga
beli susu dan mencampakkan
peternak lokal begitu saja.
Apabila kondisinya sud;.iliseperti ini, pemerintah bingung
.

mencarisolusiterbaik.Pemerin-


tah berad~ dalam kondisi dilematis antara dua pihak yang harus dilindungi yakni peternakan
lokal atau kepentingan pengusaha. Oleh karena itu, Pemprov Jabar mempunyai program ''bagibagi susu" kepada anak SD untuk mengurangi dampak kerugian atas "sistem perdagangan
yang bobrok" ini. Namun, ini bukanlah solusi yang aktifkarena
inti permasalahannya bukan pada habis atau tidaknya susu di
peternak, tetapi keberlangsungan usaha peternakan rakyat itu
sendiri yang terancam "punah."
Lagi pula, mampukah pemprov
membeli sekian ton susu padahal kondisi keuangan negara sedang mengalami krisis?
Selain itu, pemerintah pun
mulai
mempertimbangkan
penggunaan stimulus fiskal untuk menutup penurunan harga
pembelian susu dari peternak
oleh-IPS.Lagi-lagi,opini ini tidak
melihat
. ~ akar masalah
-.:; ---~ yang ada

- -----


dan terpaku pada "cara berpikir
pragmatis."Ya, pemerintah harus menge1uarkan banyak uang
hanya untuk melindungi pengusaha - agar usahanya tetap untung -- yang seakan membantu
kesulitan peternak (yang susunya tidak dapat teIjual). Dalam
hal ini, pemerintah hanya menghambur-hamburkan uang padahal masih banyak infrastruktur
petemakan yang perlu dibangun
seperti pengairan, padang rumput, dan teknologi pemerahan.
Beginilah salah satu bentuk
penjajahan model barn yang sedang kita alami. Sudah saatnya
kita menyadari, banyak konsekuensi logis ketika roda perekonomian yang ada tidak berpihak
pada rakyat. Pemerintah senantiasa membentuk "solusi purapura" yang seakan melindungi
peternak padahal itu adalah alternatif yang seharusnya tidak dipilih. Jika pemerintah masih pu~
nya alternatif utama -- yang
aman -- kenapa masih memilih
alternatiflain? ***
Penulis, mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas
Padjadjaran.
~