Analisis dampak perdagangan bebas regional terhadap kinerja perdagangan jagung

(1)

TERHADAP KINERJA PERDAGANGAN JAGUNG

APRI LAILA SAYEKTI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

TERHADAP KINERJA PERDAGANGAN JAGUNG

APRI LAILA SAYEKTI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(3)

Saya menyatakan dengan ini sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul:

ANALISIS DAMPAK PERDAGANGAN BEBAS REGIONAL TERHADAP KINERJA PERDAGANGAN JAGUNG

merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri, dengan bimbingan ketua dan anggota komisi pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Februari 2009

Apri Laila Sayekti NRP. A.151050171


(4)

Economic Integration on Corn Trade (DEDI BUDIMAN HAKIM as the Chairman and RATNA WINANDI as the Member of Advisory Committee).

Corn as one of important agricultural commodities which its demand is continuously increasing not only as human’s food but also as livestock’s feed. In 2004, Indonesian import has reached 1.089 million tons. On the other hand, the corn farming system will face different environment because of domestic and international changes like implementation of trade liberalization through AFTA (Asean Free Trade Area) starting in 2003. This research objectives are: (1) to analyze factors that affect to corn trade, (2) to asses the impact of regional economic integration under AFTA agreement on production, export and import and (3) to formulate policy recommendation related to regional economic integration on corn trade. This research used time series data from 1980 to 2006. Model estimated by 2SLS (Two Stage Least Squares) method. Results show that corn area and productivity were not responsive to price variable, so that corn production increase was prioritized on technology improvement trough increase research and development of corn. Corn demand for feed industry was not responsive to the price change but in the long run period, food industry responsive to explanatory variables change. Corn demand for direct consumption was responsive to the price change, indicating that corn has been no longer for primary food of Indonesian people. Corn import from USA was responsive to price change and import tariff. Import from ASEAN was not affected by CEPT (Common

Effective Preferentisl Tariff). AFTA agreement would not significantly effort corn

import from other ASEAN member because of its high reliance on corn import from the USA.


(5)

APRI LAILA SAYEKTI. 2009. Analisis Dampak Perdagangan Bebas Regional terhadap Kinerja Perdagangan Jagung (DEDI BUDIMAN HAKIM, sebagai Ketua, dan RATNA WINANDI sebagai Anggota Komisi Pembimbing).

Jagung sebagai salah satu komoditi penting terus mengalami peningkatan permintaan, tidak hanya sebagai bahan makanan manusia tetapi juga sebagai bahan baku pakan ternak sehingga impor jagung diduga akan terus meningkat. Sementara itu implementasi liberalisasi perdagangan terus berkembang dan pelaksanaannya dimulai pada tahun 2003 untuk negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia melalui kesepakatan AFTA (Asean Free Trade Area). Adapun tujuan penelitian ini adalah: (1) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja perdagangan jagung, (2) mengkaji pengaruh perdagangan bebas regional yang disepakati anggota AFTA terhadap produksi, ekspor dan impor dan (3) merumuskan rekomendasi kebijakan yang berkaitan dengan penerapan perdagangan bebas regional terhadap kinerja perdagangan jagung. Penelitian ini menggunakan datatime series tahun 1980 sampai dengan tahun 2006. Pendugaan parameter dilakukan dengan metode 2SLS (Two Stage Least Squares).

Hasil analisis menunjukkan bahwa luas areal jagung dan produktivitas jagung tidak responsif terhadap perubahan variabel harga sehingga peningkatan produksi jagung diprioritaskan pada peningkatan teknologi melalui peningkatan penelitian dan pengembangan jagung. Permintaan jagung oleh industri pakan ternak juga tidak respon terhadap perubahan harga tetapi dalam jangka panjang permintaan jagung oleh industri pangan responsif terhadap perubahan variabel eksogennya. Permintaan jagung untuk konsumsi langsung responsif terhadap perubahan harga yang menunjukkan bahwa jagung bukan lagi sebagai pangan pokok masyarakat Indonesia. Impor jagung dari Amerika responsif terhadap perubahan harga dan tarif impor. Sementara itu peningkatan impor dari ASEAN tidak dipengaruhi oleh tarif CEPT (Common Effective Preferential Tariffi). Perdagangan bebas unilateral menyebabkan kenaikan impor jagung dari Amerika sebagai dampak semakin meningkatnya permintaan jagung dari sektor industri pakan ternak yang tidak responsif terhadap perubahan harga karena jagung merupakan derived demand serta terjadi penurunan produksi sehingga jika pemerintah ingin melindungi petani jagung maka penerapan tarif impor MFN masih diperlukan.


(6)

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau


(7)

TERHADAP KINERJA PERDAGANGAN JAGUNG

APRI LAILA SAYEKTI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(8)

(9)

Nama Mahasiswa : Apri Laila Sayekti

Nomor Pokok : A151050171

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec Dr. Ir. Ratna Winandi, MS

Ketua Anggota

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi Pertanian

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS


(10)

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuania, petunjuk dan kemurahan-Nya, sehingga karya ilmiah dengan judul: "Analisis Dampak Perdagangan Bebas Regional Terhadap Kinerja Perdagangan Jagung", dapat diselesaikan.

Melalui penelitian ini dapat terungkap dan diketahui apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja perdagangan jagung, bagaimana pengaruh perdagangan bebas regional yang disepakati anggota AFTA terhadap produksi, ekspor dan impor serta rumusan rekomendasi kebijakan yang berkaitan dengan penerapan perdagangan bebas regional terhadap kinerja perdagangan jagung.

Selama penulisan karya ilmiah ini penulis mendapat banyak dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih yang tulus kepada Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec. dan Dr. Ir. Ratna Winandi, MS. selaku komisi pembimbing yang yang telah banyak memberikan bimbingan, saran, masukan, dukungan dan nasehat kepada penulis hingga tesis ini dapat diselesaikan. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS. selaku penguji luar komisis yang telah memberikan saran dan masukan. Selain itu penulis juga menyampaikan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr.Ir.Bonar M. Sinaga, MA. selaku Ketua Jurusan Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian beserta seluruh staff dan dosen yang telah memberikan bimbingan dan ilmu selama perkuliahan.

2. Arry Supriyanto selaku Kepala Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika dimana penulis berkerja beserta seluruh staff yang telah memberikan kesempatan untuk menyelesaikan kuliah.


(11)

Dewi Hariyani, Desi dan Sayekti Handayani beserta teman-teman di Kawah Kelud, Farikha Agustina, Ika Pranata, Dan Pratisari, Yulia, Tyas.

4. Pihak-pihak lain yang telah banyak membantu penulis selama penelitian dan penulisan tesis ini.

Rasa terima kasih yang tak terkira penulis sampaikan kepada kedua orangtua penulis, Ayahanda Mohammad Yahman dan Ibunda Siti Mujayanah, saudaraku Yanwar Irfani dan Rahayu Dwinastiti atas dukungan spiritual dan material serta doa yang tak henti-hentinya. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada suami tercinta, Abdul Muis Hasibuan yang telah memberikan bantuan moril dan spirituil beserta Bou dan Amangboru atas semua motivasi, doa dan pengorbanan yang diberikan.

Akhirnya penulis tetap menyadari bahwa karya ilmiah ini tidak luput dari kekurangan, namun demikian penulis berharap karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Bogor, Februari 2009


(12)

Penulis dilahirkan di Blitar, Propinsi Jawa Timur pada tanggal 18 April 1981, sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Mohammad Yahman dan Ibu Siti Mujayanah, SPd. Penulis menikah dengan Abdul Muis Hasibuan, SP pada tahun 2008.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar, pendidikan menengah pertama, serta pendidikan sekolah menengah umum di kota kelahirannya pada tahun 1994, 1997, dan 2000. Pada tahun 2004 penulis menyelesaikan pendidikan sarjana (SP) pada Jurusan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang. Kemudian pada tahun 2005 penulis melanjutkan pendidikan S2 pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Pada tahun 2006 penulis bekerja sebagai staf peneliti pada Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian di Batu, Malang sampai sekarang.


(13)

Halaman

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 7

1.3. Tujuan Penelitian ... 14

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 15

2.1. Teori Ekonomi Internasional ... 15

2.2. Perdagangan Bebas ... 19

2.3. Perjanjian Perdagangan ... 21

2.4. Ekonomi Politik Proteksionisme ... 30

III. KERANGKA TEORI ... 41

3.1. Produksi dan Penawaran Jagung ... 41

3.2. Permintaan Jagung ... 42

3.3. Penawaran Ekspor dan Permintaan Impor Jagung ... 46

3.4. Dampak Kesepakatan Perjanjian Perdagangan ... 51

IV. PERUMUSAN MODEL DAN PROSEDUR ANALISIS ... 55

4.1. Data dan Sumber Data ... 55

4.2. Spesifikasi Model ... 55

4.2.1. Produksi Jagung Indonesia ... 58

4.2.2. Penawaran dan Permintaan Jagung Indonesia ... 60

4.2.3. Impor dan Ekspor Jagung Indonesia ... 64

4.2.4. Harga Jagung Domestik... 66


(14)

ii

4.6. Simulasi Model ... 71

4.6.1. Dampak Perdagangan Bebas Regional ASEAN ... 71

4.6.2. Dampak Perdagangan Bebas Unilateral... 72

4.6.3. Dampak Depresiasi Rupiah Sebesar 20 Persen... 73

4.6.4. Dampak Penurunan Harga Jagung Dunia Sebesar 10 Persen ... 74

4.6.5. Dampak Kenaikan Populasi Ternak Sebesar 10 Persen ... 75

4.6.6. Dampak Alternatif Kombinasi Kebijakan... 76

V. KERAGAAN MODEL KINERJA PERDAGANGAN JAGUNG .. 77

5.1. Hasil Pendugaan Model ... 77

5.2. Pembahasan Hasil Pendugaan Model Kinerja Perdagangan Jagung ... 78

5.2.1. Luas Areal Jagung ... 78

5.2.2. Produktivitas Jagung ... 81

5.2.3. Permintaan Jagung ... 85

5.2.4. Impor Jagung ... 91

5.2.5. Ekspor Jagung... 97

5.2.6. Harga Jagung Domestik... 99

VI. EVALUASI SIMULASI KEBIJAKAN DOMESTIK DAN PERUBAHAN FAKTOR EKSTERNAL TERHADAP KINERJA PERDAGANGAN JAGUNG ... 102

6.1. Validasi Model... 102

6.2. Hasil dan Pembahasan Simulasi Model ... 104

6.2.1. Dampak Perdagangan Bebas Regional ASEAN ... 105

6.2.2. Dampak Perdagangan Unilateral... 107

6.6.3. Dampak Depresiasi Rupiah Sebesar 20 Persen... 109

6.2.4. Dampak Penurunan Harga Jagung Dunia Sebesar 10 Persen ... 111

6.2.5. Dampak Kenaikan Populasi Ternak Sebesar 10 Persen ... 113


(15)

iii

7.1. Kesimpulan ... 117

7.2. Implikasi Kebijakan ... 121

7.3. Saran Penelitian Lanjutan ... 122

DAFTAR PUSTAKA ... 124


(16)

Nomor Halaman

1. Perkembangan Penggunaan Jagung Dalam Negeri ... 2

2. CEPTListuntuk Tahun 2003 ... 29

3. Matrik Kebijakan Pemerintah di Sektor Pertanian Tanaman Pangan ... 38

4. Perbandingan KebijakanMarket Access, Domestic Supportdan Export Subsidiesdi Berbagai Negara ... 39

5. Hasil Pendugaan Parameter Luas Areal Jagung... 79

6. Hasil Pendugaan Parameter Produktivitas Jagung... 82

7. Hasil Pendugaan Parameter Permintaan Jagung oleh Industri Pakan Ternak... 86

8. Hasil Pendugaan Parameter Permintaan Jagung untuk Konsumsi Langsung ... 88

9. Hasil Pendugaan Parameter Permintaan Jagung oleh Industri Pangan ... 90

10. Hasil Pendugaan Parameter Impor Jagung dari Amerika ... 93

11. Hasil Pendugaan Parameter Impor Jagung dari ASEAN ... 96

12. Hasil Pendugaan Parameter Ekspor Jagung... 98

13. Hasil Pendugaan Parameter Harga Jagung Domestik ... 100

14. Hasil Validasi Model Kinerja Perdagangan Jagung... 103

15. Perubahan Nilai Rata-Rata Simulasi Kebijakan Perdagangan Bebas Regional ASEAN, Tahun 1993 - 2006... 105

16. Perubahan Nilai Rata-Rata Simulasi Kebijakan Perdagangan Bebas Unilateral, Tahun 1993 - 2006... 108

17. Perubahan Nilai Rata-Rata Simulasi Kebijakan Depresiasi Rupiah Sebesar 20 Persen, Tahun 1993 - 2006 ... 110


(17)

v

19. Perubahan Nilai Rata-Rata Simulasi Kebijakan Kenaikan

Populasi Ternak Sebesar 10 Persen, Tahun 1993– 2006 ... 113 20. Perubahan Nilai Rata-Rata Simulasi Kombinasi Kebijakan... 115


(18)

Nomor Halaman

1. Pasar Negara Eksportir... 47

2. Pasar Negara Importir ... 48

3. Trade Creation Akibat Keikutsertaan Indonesia dalam AFTA ... 52

4. Trade DivertionAkibat Keikutsertaan Indonesia dalam AFTA ... 53

5. Kerangka Pemikiran Model Kinerja Perdagangan Jagung ... 57


(19)

Nomor Halaman 1. Data Dasar Kinerja Perdagangan Jagung ... 129 2. Program Pendugaan Model Kinerja Perdagangan Jagung,

Tahun 1980-2006. ... 132 3. Hasil Pengolahan Data Model Kinerja Perdagangan Jagung,

Tahun 1980-2006 ... 135 4. Program Validasi dan Simulasi Model Kinerja Perdagangan

Jagung, Tahun 1993-2006... 144 5. Dampak Perubahan Alternatif Kebijakan terhadap Kinerja


(20)

1.1. Latar Belakang

Sumbangan sektor pertanian terhadap perekonomian Indonesia masih cukup signifikan, diantaranya melalui penyerapan tenaga kerja, sumbangan terhadap devisa dan Pendapatan Domestik Bruto (PDB), penyedia kebutuhan pokok serta sebagai jalur utama perekonomian pedesaan. Sumbangan sektor pertanian pada tahun 2006 terhadap PDB nasional adalah sebesar Rp 430.50 triliun atau sebesar 12.97 persen, sedangkan tanaman pangan menyumbang sebesar Rp 214 triliun atau 6.42 persen (BPS, 2008). Jagung dalam subsektor tanaman pangan adalah kontributor terbesar kedua setelah padi terhadap perekonomian nasional. Sumbangan jagung terhadap PDB terus meningkat setiap tahun sekalipun pada saat krisis ekonomi. Kontribusi jagung pada tahun 2000, terhadap perekonomian Indonesia sebesar Rp 9.40 triliun dan pada tahun 2003 meningkat tajam menjadi Rp 18.20 triliun (Suryana et al. 2005). Kondisi ini mengindikasikan besarnya peranan jagung dalam memacu pertumbuhan subsektor tanaman pangan dan perekonomian nasional pada umumnya.

Permintaan terhadap hasil-hasil pertanian terus mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan semakin beragamnya kebutuhan masyarakat. Jagung sebagai salah satu komoditi yang sangat penting juga terus mengalami peningkatan permintaan, tidak hanya sebagai bahan makanan manusia tetapi juga sebagai bahan baku pakan ternak yang berkaitan dengan sektor peternakan sehingga perdagangan jagung di Indonesia dapat dikatakan unik jika dibandingkan komoditas pertanian lainnya. Penggunaan jagung di Indonesia sekitar era delapan puluhan sebagian besar hanya untuk memenuhi permintaan


(21)

akhir (final demand), yaitu untuk konsumsi langsung. Sebesar 94 persen produksi jagung pada tahun 1980 digunakan untuk memenuhi konsumsi langsung dan sisanya untuk industri pakan. Sementara itu, penggunaan jagung untuk industri makanan pada waktu itu belum ada datanya, seperti yang terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Perkembangan Penggunaan Jagung Dalam Negeri

Konsumsi Industri Pangan Industri Pakan Tahun

(000 ton) (%) (000 ton) (%) (000 ton) (%)

Total (000 ton)

1980 3 705 93.99 0 0.00 237 6.01 3 942

1990 3 703 86.44 499 7.56 396 6.00 6 598

2000 4 657 43.48 2 340 21.85 3 713 34.67 10 710 2001 4 567 41.76 2 415 22.08 3 955 36.16 10 937 2002 4 478 40.11 2 489 22.29 4 197 37.59 11 164 2003 4 388 38.53 2 564 22.51 4 438 38.96 11 390 2004 4 299 37.01 2 638 22.71 4 680 40.29 11 617 Rata-rata*) 4 478 40.17 2 489 22.29 4 197 37.53 11 164

r (%/th) -1.98 -3.95 3.04 0.97 5.96 3.83 2.05

Sumber: Suryanaet al. 2005

Keterangan: *) Rata-rata dan pertumbuhan untuk periode 2000-2004

Penggunaan jagung untuk industri makanan mengalami perkembangan sehingga pada tahun 1990 jumlah penggunaannya sudah melebihi penggunaan untuk industri pakan ternak, walaupun penggunaan jagung masih didominasi untuk konsumsi langsung. Pergeseran penggunaan jagung telah terjadi mulai tahun 1989. Penggunaan jagung lebih banyak untuk memenuhi permintaan antara

(intermediate demand) setelah tahun 2000. Penggunaan jagung untuk konsumsi


(22)

Berdasarkan hasil penelitian Ariani dan Pasandaran (2005), jagung sebagai bahan makanan sekarang dianggap sebagai bahan inferior, sehingga ketika pendapatan naik maka konsumsinya akan menurun. Di sisi lain, peningkatan pendapatan per kapita menyebabkan meningkatnya permintaan terhadap produk turunan jagung, seperti makanan yang menggunakan bahan baku jagung, daging, ayam, telur dan sebagainya.

Penggunaan jagung untuk industri pakan dan pangan meningkat masing-masing sebesar 5.76 persen dan 3.00 persen per tahun (Suryana et al. 2005). Penggunaan jagung untuk industri pakan ternak meningkat sangat pesat seiring dengan pesatnya perkembangan usaha peternakan ayam ras dan sapi perah. Jagung merupakan salah satu bahan pakan, dimana proporsinya dalam komposisi pakan rata-rata sebesar 54.00 persen untuk pakan pedaging, 47.14 persen untuk ayam petelur dan 49.34 persen untuk babi grower (Tangendjaja et al. 2005). Selain harganya relatif murah, jagung mengandung kadar kalori relatif tinggi dan merupakan sumber protein dengan kandungan asam amino yang lengkap (Erwidodoet al. 2003).

Permintaan jagung sebagai bahan baku pada industri tepung dan makanan juga meningkat. Industri pengolahan baru seperti minyak goreng dari jagung yang lebih rendah kolesterol terus mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan kesadaran masyarakat pada kesehatan, demikian juga perkembangan industri-industri rumah tangga yang menggunakan jagung sebagai bahan bakunya. Perkembangan ini mengindikasikan bahwa permintaan jagung diperkirakan akan terus meningkat di masa mendatang sebagai akibat dari meningkatnya ragam dan kapasitas industri pengolahan jagung. Kebutuhan jagung domestik pada tahun


(23)

2005 diperkirakan sebesar 11.80 juta ton, pada tahun 2010 meningkat menjadi 13.60 juta ton dan pada tahun 2015 dan 2020 masing-masing sebesar 15.90 dan 18.90 juta ton (Suryanaet al. 2005).

Perkembangan produksi jagung di sisi lain belum dapat memenuhi permintaan yang peningkatannya sangat pesat tersebut. Menurut Suryana et al. (2005) selama periode 1990 sampai 2004, luas areal pertanaman jagung di Indonesia rata-rata sebesar 3.37 juta hektar dengan peningkatan hanya sebesar 0.49 persen per tahun. Dibandingkan dengan tanaman pangan lainnya, luas pertanaman jagung pada periode yang sama hanya sekitar 0.31 kali luas pertanaman padi atau 2.49 kali luas pertanaman kedelai.

Produktivitas jagung Indonesia juga masih rendah, yaitu sebesar 3.34 ton per ha, meskipun mengalami peningkatan sebesar 3.34 persen per tahun. Rata-rata produksi jagung selama periode 1990 sampai 2004 sebesar 8.72 juta ton dan mengalami meningkat sebesar 3.71 persen per tahun. Sementara itu kebutuhan jagung mencapai 11.62 juta ton pada tahun 2004, padahal jika menggunakan benih hibrida dan pemeliharaan yang intensif, produktivitas jagung bisa mencapai 6 ton per ha (Suryana et al. 2005). Kondisi tersebut menggambarkan kurangnya penggunaan benih jagung berkualitas dan pemeliharaan yang belum intensif dalam produksi jagung di Indonesia.

Berdasarkan hasil analisis Swastika et al. (2005) mengenai perilaku penawaran dan permintaan jagung di Indonesia menunjukkan bahwa tanpa adanya terobosan teknologi, sulit bagi Indonesia untuk memenuhi kebutuhan jagung dalam negeri baik untuk saat ini maupun untuk masa mendatang. Defisit jagung diproyeksikan akan semakin besar sehingga impor jagung akan semakin tinggi.


(24)

Meskipun demikian, peluang peningkatan produksi jagung dalam negeri masih terbuka luas melalui peningkatan produktivitas dan pemanfaatan potensi lahan yang masih luas, terutama di luar Jawa.

Perkembangan permintaan jagung yang terus meningkat pesat dan peningkatan produksi dalam negeri yang masih rendah menyebabkan Indonesia melakukan impor jagung. Impor jagung dalam kurun waktu 1990 sampai 2003 rata-rata sebesar 750 ribu ton per tahun dengan peningkatan sebesar 10.46 persen per tahun, bahkan pada tahun 2004 sudah mencapai 1.09 juta ton. Ketergantungan pabrik pakan dalam negeri mulai tahun 1994 terhadap jagung impor sangat tinggi, mencapai 40.30 persen. Penggunaan jagung impor dan domestik dalam industri pakan ternak pada tahun 2000 sudah hampir berimbang, masing-masing sebesar 47 dan 53 persen (Suryanaet al. 2005).

Jagung merupakan bagian dari subsektor tanaman pangan yang belum berorientasi ekspor tetapi lebih diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Ketergantungan pada impor yang tinggi dan ekspor yang masih rendah secara terus-menerus mengakibatkan neraca perdagangan terus mengalami defisit. Indonesia sebenarnya pada tahun 1998 pernah mengalami surplus perdagangan sebesar 303 ribu ton dengan volume ekspor sebesar 629 ribu ton, namun pada tahun 1999 ekspor Indonesia mengalami penurunan, dimana Indonesia hanya mengekspor 95 ribu ton jagung dan terus mengalami defisit perdagangan (Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, 2005). Tanpa ada upaya dari pemerintah untuk memperbaiki kondisi dengan fenomena yang ada saat ini, maka volume dan pangsa impor jagung akan terus meningkat karena laju peningkatan kebutuhan lebih cepat dari peningkatan produksi.


(25)

Beberapa hasil penelitian sebenarnya menunjukkan bahwa Indonesia mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif untuk memproduksi jagung hibrida, tidak hanya untuk tujuan substitusi impor tetapi juga promosi ekspor. Hal ini berarti usahatani jagung hibrida mampu menghasilkan keuntungan yang layak dan mempunyai daya saing terhadap jagung impor sehingga layak untuk diusahakan dan dikembangkan oleh pemerintah (Erwidodo et al. 2003; Simatupang, 2005).

Sejalan dengan perkembangan ekonomi dunia, komoditas jagung juga akan menghadapi lingkungan yang berbeda karena adanya perubahan-perubahan secara internasional maupun domestik. Hasil penelitian Kariyasa dan Sinaga (2004) mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku pasar jagung di Indonesia dan penelitian Purba (1999) mengenai keterkaitan pasar jagung dan pakan ternak ayam ras di Indonesia menyimpulkan bahwa dalam jangka panjang harga jagung domestik lebih banyak ditentukan oleh harga jagung dunia dibanding kekuatan pasar jagung domestik karena Indonesia adalah small country sehingga sangat dipengaruhi oleh perubahan lingkungan internasional. Perubahan lingkungan internasional yang terjadi antara lain adalah liberalisasi ekonomi dan perdagangan dengan disepakatinya perjanjian AFTA (Asean Free Trade Area) dan WTO (World Trade Organization). Perjanjian tersebut menegaskan bahwa kebijakan ekonomi yang terdistorsi seperti pengenaan pajak ekspor, tarif impor, subsidi ekspor, pengaturan tataniaga, intervensi terhadap nilai tukar rupiah terhadap dolar dan penetapan suku bunga, baik dalam kegiatan produksi maupun perdagangan komoditas pertanian termasuk jagung secara bertahap dan pasti akan dikurangi dan akhirnya hilang.


(26)

Menurut teori perdagangan internasional, perdagangan antar negara yang tanpa hambatan berpeluang memberi manfaat bagi masing-masing negara melalui spesialisasi produksi komoditas yang diunggulkan oleh masing-masing negara tersebut. Namun pada kenyataannya, semakin terbuka suatu perekonomian tidak langsung meningkatkan kemakmuran bagi negara-negara yang terlibat. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa liberalisasi perdagangan dapat menguntungkan atau merugikan, tergantung dilihat dari sisi mana. Negara maju maupun negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia, umumnya pemerintah melakukan intervensi, baik dalam hal produksi maupun perdagangan komoditas pertanian yang pada akhirnya dapat menyebabkan pasar komoditas pertanian terdistorsi.

Harga komoditas pertanian termasuk jagung, di pasar internasional dan domestik tidak semata-mata digerakkan oleh kekuatan penawaran dan permintaan, melainkan juga dipengaruhi oleh adanya perubahan lingkungan internasional antara lain adanya liberalisasi ekonomi dan perdagangan, sehingga terkait erat dengan perubahan kebijakan masing-masing negara. Oleh karena itu kebijakan yang komprehensif dan konsisten dibutuhkan dalam sistem perdagangan jagung. Kebijakan-kebijakan perdagangan yang diambil terkait dengan keadaan perkembangan perdagangan dan perjanjian-perjanjian dengan negara lain, terutama perjanjian regional harus ditinjau akan menguntungkan kinerja perdagangan Indonesia atau tidak.

1.2. Perumusan Masalah

Implementasi liberalisasi perdagangan terus berkembang dan pelaksanaannya dimulai pada tahun 2003 untuk negara-negara Asia Tenggara


(27)

termasuk Indonesia melalui kesepakatan AFTA (Asean Free Trade Area) yang berkembang menjadi AFTA Plus dengan Jepang, China dan Korea Selatan. Selanjutnya pada tahun 2005 untuk negara-negara kawasan Asia Pasifik melalui kesepakatan APEC (Asia Pasifik Economic Cooperation) dan pada tahun 2020 di seluruh dunia melalui kesepakatan WTO. Konsekuensi diratifikasinya perjanjian-perjanjian tersebut adalah negara-negara yang memiliki posisi ekspor kuat akan memperoleh manfaat yang lebih besar karena mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif yang tinggi sehingga mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk tetap eksis bahkan melakukan penetrasi dan penguasaan pasar internasional (Stephenson dan Erwidodo, 1995). Sebaliknya, negara-negara yang mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif rendah termasuk Indonesia tidak akan mampu mengembangkan ekspornya, bahkan komoditas dari negara pesaing akan mengisi pasar domestiknya. Komoditas jagung adalah salah satu komoditas yang keunggulan komparatif dan kompetitifnya rendah. Apabila hal ini tidak diantisipasi secara dini, lemahnya keunggulan komparatif dan kompetitif jagung akan mengakibatkan permintaan jagung Indonesia oleh pasar internasional maupun pasar domestik akan terus menurun sehingga pada akhirnya akan menghambat perekonomian nasional dan mempengaruhi kesejahteraan petani jagung, pengusaha dan investor terkait.

Dua kekuatan eksternal mempengaruhi perekonomian dan sektor pertanian Indonesia dalam era global dan perdagangan bebas saat ini, yaitu arus liberalisasi yang dimotori oleh kesepakatan WTO secara global dan kesepakatan perdagangan bebas regional dalam satu kawasan. Beberapa tahun terakhir ini, meskipun hampir 140 negara telah menyetujui pemberlakuan perjanjian multilateral di


(28)

berbagai bidang termasuk pertanian dengan terbentuknya WTO pada tahun 1994, dinamika dan pertumbuhan perjanjian perdagangan bebas bilateral dan kawasan atau regional (bilateral and regional free trade agreements) semakin pesat dan seolah-olah bertolak belakang dengan semangat multilateralisme perdagangan yang telah dicanangkan.

Perjanjian perdagangan bebas bilateral maupun regional banyak ditemukan di wilayah Asia, seperti AFTA yang diikuti oleh negara-negara di kawasan Asia Tenggara dan ASEAN Plus yang mengikutsertakan China, Jepang dan Korea Selatan. AFTA sendiri menggunakan mekanisme penurunan tarif istimewa secara efektif dan serempak (Common Effective Preferential Tariff (CEPT)), yaitu pedoman pengurangan tarif regional dan menghapus hambatan bukan tarif selama periode 15 tahun yang dimulai pada tanggal 1 Januari 1993, dimana produk-produk yang diikutsertakan dimasukkan ke dalam tiga kategori yang berbeda, yaitufast track atau jalur cepat,normal track atau jalur normal dan exclusion list atau daftar pengecualian secara sementara.

Produk CEPT meliputi seluruh produk industri (termasuk barang modal, produk olahan hasil pertanian dan produk lain), sedangkan produk pertanian bukan olahan dan jasa yang tadinya tidak termasuk dalam kesepakatan tersebut, diatur dalam mekanisme tersendiri di dalam forum ASEAN. Tingkat tarif rata-rata bagi produk yang masuk inclusive list mencapai sekitar 2.50 persen pada tahun 2004. Indonesia sendiri telah memasukkan lebih dari 7 000 produk-produknya, termasuk produk pertanian yang belum diproses ke dalam inclusive list (Hutabarat, 2005). Tahun 2008 yang merupakan jadwal akhir AFTA bagi negara-negara pendiri ASEAN, tingkat tarif harus telah mencapai 0 sampai 5


(29)

persen untuk semua produk, termasuk produk-produk yang sebelumnya masuk dalam daftar pengecualian (Hutabarat, 2005). Hal tersebut akan diikuti dengan pengembangan jumlah produk-produk yang akan dipindahkan dari exclusion list keinclusive list.

Beberapa ahli berpendapat bahwa perjanjian perdagangan bebas bilateral seperti perdagangan terbatas Indonesia dengan China pada tahun 2004, merupakan kesempatan yang baik bagi Indonesia. Program penerapan liberalisasi dini (Early Harvest Package) untuk beberapa kelompok komoditas, tarifnya telah dipotong. Namun ada beberapa ketertinggalan langkah Indonesia dalam menjalin kerjasama dibanding negara tetangga seperti Malaysia yang mendapatkan bea masuk tambahan yang lebih rendah untuk produk turunan dari minyak kelapa sawitnya. Oleh karena itu diperlukan perjuangan untuk menurunkan bea masuk yang berlaku bagi produk Indonesia termasuk hambatan bukan tarif lainnya. Di lain pihak kerjasama ekonomi yang lebih mendalam di antara negara-negara ASEAN dalam kerangka AFTA masih bersifat politis. Perdagangan antar negara-negara ASEAN masih belum berkembang secara dramatis sejak pencanangan persetujuan AFTA. Sebelum AFTA dilaksanakan, persentase perdagangan antar negara ASEAN hanya berkisar 18 persen hingga tahun 2004, persentase perdagangan antar negara-negara ASEAN hanya naik lima persen menjadi 23 persen.

Kesiapan perdagangan jagung Indonesia sendiri dalam menghadapi perdagangan bebas secara umum masih belum optimal sehingga jadwal dan komitmen AFTA perlu dikaji kembali. Perdagangan bilateral Indonesia dengan negara-negara Asia Timur seperti China, Jepang dan Korea Selatan yang


(30)

dilatarbelakangi ciri makroekonomi yang berbeda telah menunjukkan adanya kesenjangan teknologi dan daur produk. Hutabarat et al. (2005) menyimpulkan bahwa ketidakmampuan negara berkembang dalam melaksanakan kewajiban perjanjian perdagangannya seringkali disebabkan oleh faktor-faktor yang berada di luar kemampuan mereka karena kurangnya kemampuan teknis dan sumberdaya manusia atau perjanjian itu sendiri. Dengan demikian, hal tersebut tidak hanya dapat diatasi dengan pemberian bantuan teknis kepada negara berkembang tetapi juga diperlukan perbaikan perjanjian yang mengarah pada pemanfaatan kerjasama perdagangan bebas yang diatur dalam perjanjian WTO.

Masalah lain yang harus diperhatikan berkaitan dengan adanya liberalisasi perdagangan adalah karakteristik komoditas jagung. Komoditas jagung sebagai salah satu pangan strategis yang nilai neraca perdagangannya selalu negatif, maka upaya peningkatan produksi dan produktivitasnya ditujukan untuk food security,

poverty alleviation dan rural development. Oleh karena itu, strategi

pengembangannya diarahkan pada upaya pengendalian impor yang sekaligus diikuti dengan program promosi yang intensif dalam upaya mencapai swasembada. Isu inilah yang menjadi perjuangan utama Indonesia di forum-forum perdagangan sampai saat ini. Beberapa negara ASEAN seperti Philipina mengenakan tarif impor jagung yang tinggi, antara 35 sampai 65 persen untuk melindungi petaninya, sedangkan Thailand yang merupakan salah satu penyuplai jagung dunia menerapkan kuota impor setiap bulan dan mengenakan tarif impor dengan nilai tertentu pada jagung impor yang melebihi kuota (Yusdja dan Adang, 2003). Indonesia sendiri hanya menerapkan tarif impor sebesar lima persen. Sementara itu tarif untuk komoditas jagung yang diperkenankan oleh WTO adalah


(31)

hingga 40 persen. Berbagai kebijakan juga telah dilakukan oleh negara-negara lain untuk melindungi petaninya seperti Amerika Serikat sebagai produsen dan eksportir jagung terbesar dunia, India, Polandia dan Mexico dengan jaminan harga minimum dan China dengan kebijakan pupuk, lahan, varietas, penggunaan mekanisasi, peningkatan teknologi usahatani dan sebagainya.

Sementara di pasar jagung dunia yang terjadi adalah adanya penurunan pangsa ekspor terhadap total produksi dunia sebesar 0.02 persen dari tahun 1990 sampai 2003 yaitu rata-rata sebesar 75.50 juta ton atau 13.50 persen dari total produksi dunia meskipun volume ekspor dunia meningkat 1.79 persen per tahun. Amerika Serikat sebagai negara eksportir utama dengan pangsa 61.70 persen pada tahun 2003 laju pertumbuhan ekspornya hanya 0.15 persen. Ekspor jagung Amerika rata-rata 21 persen dari total produksi, sehingga penggunaan jagung untuk kebutuhan domestiknya mencapai 79 persen dan ekspornya diprediksi akan terus menurun dengan meningkatnya penggunaan etanol dari jagung sebagai bahan bakar yang mencapai 18 persen dari total produksi Amerika. Sementara itu permintaan impor jagung dunia meningkat 1.97 persen per tahun (1990-2003) (Suryanaet al. 2005). Keadaan ini menunjukkan bahwa pasar jagung dunia relatif tipis (thin market) sehingga jagung tidak lagi mudah diperoleh di pasar dunia di masa yang akan datang, padahal setelah tahun 1980 ketergantungan negara berkembang pada impor jagung semakin meningkat. Penggunaan jagung di Indonesia tidak hanya untuk konsumsi tetapi juga untuk industri pakan ternak dan industri pangan. Meningkatnya defisit penyediaan jagung akan menyebabkan harga jagung cenderung terus meningkat. Peningkatan harga jagung akan mempengaruhi kinerja peternak unggas karena sebagian besar bahan baku pakan


(32)

ternak adalah jagung. Hal ini menjadi dilema bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan karena dalam setiap pengambilan kebijakan akan terjadi trade morf sehingga ada pihak-pihak yang dikorbankan jika ingin meningkatkan kesejahteraan suatu pihak. Pihak tersebut dalam hal ini adalah petani jagung atau peternak unggas.

Kesulitan pemenuhan kebutuhan jagung seharusnya mendorong pemerintah yang menuntut dilakukannya impor jagung. Namun, di sisi lain perlu adanya proteksi pemerintah untuk melindungi petani jagung yang keunggulan komparatif dan kompetitifnya masih rendah sehingga memerlukan tindakan preventif dan mulai memikirkan dampak perjanjian regional dengan negara-negara anggota AFTA dan AFTA Plus yang telah menyepakati diberlakukannya CEPT apakah lebih menguntungkan kinerja perdagangan jagung atau tidak. Hal ini menjadi penting mengingat dengan pemberlakuan CEPT akan menyebabkan terjadinya liberalisasi perdagangan jagung di kemudian hari, sehingga menimbulkan pertanyaan apakah kondisi tersebut akan mendorong produksi dan promosi ekspor jagung Indonesia yang sebagian besar ke negara-negara ASEAN atau malah akan meningkatkan impor Indonesia dengan pengalihan impor dari negara-negara di luar ASEAN ke negara-negara ASEAN yang akan berdampak pada petani jagung.

Gambaran dan informasi tentang dinamika perjanjian bilateral tersebut dan dampaknya terhadap komoditas jagung sangat diperlukan sehingga perlu dilakukan penelitian dan pengkajian yang kritis dan sistematis. Pemahaman terhadap keragaan produksi, ekspor dan impor serta besaran tarif komoditas jagung bermanfaat untuk mengkaji kembali perumusan kebijakan dan penetapan


(33)

tarif selanjutnya sehingga akan mendukung pembangunan ekonomi dan pertanian yang efisien dan berkelanjutan. Oleh karena itu studi “Analisis Dampak Perdagangan Bebas Regional terhadap Kinerja Perdagangan Jagung” penting dilakukan.

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja perdagangan jagung. 2. Mengkaji pengaruh perdagangan bebas regional yang disepakati anggota

AFTA terhadap produksi, ekspor dan impor jagung.

3. Merumuskan rekomendasi kebijakan yang berkaitan dengan penerapan perdagangan bebas regional terhadap kinerja perdagangan jagung.


(34)

2.1. Teori Ekonomi Internasional

Pada dasarnya setiap negara di dunia saling tergantung satu sama lain sehingga setiap negara melakukan perdagangan internasional. Ada dua alasan suatu negara melakukan perdagangan internasional yang masing-masing menjadi sumber bagi adanya keuntungan perdagangan (gain of trade) bagi mereka. Pertama, negara-negara melakukan perdagangan karena mereka berbeda satu dengan yang lain. Bangsa-bangsa di dunia ini, sebagaimana halnya individu-individu, selalu berpeluang memperoleh keuntungan dari perbedaan-perbedaan diantara mereka melalui pengaturan sedemikian rupa sehingga setiap pihak dapat melakukan sesuatu secara relatif lebih baik. Kedua, negara-negara saling melakukan perdagangan untuk mencapai economies of scale dalam produksi. Seandainya setiap negara bisa membatasi kegiatan produksinya untuk menghasilkan sejumlah barang tertentu saja, maka mereka berpeluang memusatkan perhatian dan segala macam sumberdayanya sehingga dapat menghasilkan barang-barang tersebut dengan skala yang lebih besar sehingga lebih efisien daripada jika negara tersebut memproduksi berbagai jenis barang sekaligus.

Adam Smith adalah pelopor konsep perdagangan antar negara yang didasarkan atas keunggulan absolut masing-masing negara. Suatu negara akan memperoleh keuntungan dari perdagangan dengan negara lain apabila negara tersebut berspesialisasi dalam komoditas yang dapat diproduksi dengan lebih efisien (mempunyai keunggulan absolut) dan mengimpor komoditas yang kurang


(35)

efisien (mengalami kerugian absolut) (Koo and Kennedy, 2005). Konsep perdagangan selanjutnya yang diperkenalkan oleh David Ricardo sekitar abad ke-18 (ke-1823) didasarkan atas keunggulan komparatif yang selanjutnya dikenal dengan Model Ricardian atau Hukum Keunggulan Komparatif (The Law of

Comparative Advantage). Ricardo menyatakan bahwa meskipun sebuah negara

memiliki keunggulan absolut yang lebih rendah dari negara lain dalam memproduksi kedua komoditas, namun masih tetap terdapat dasar bagi negara tersebut untuk melakukan perdagangan yang saling menguntungkan kedua belah pihak. Negara pertama harus melakukan spesialisasi dalam memproduksi dan mengekspor komoditas yang memiliki kerugian absolut lebih kecil (memiliki keunggulan komparatif) dan mengimpor komoditas yang memiliki kerugian absolut lebih besar atau memiliki kerugian komparatif (Salvatore, 1997). Sementara itu dalam Model Ricardian, kemungkinan-kemungkinan produksi ditentukan oleh alokasi satu faktor tunggal, yaitu tenaga kerja ke berbagai sektor ekonomi. Model ini menyatakan gagasan dasar yang penting mengenai keunggulan komparatif, namun tidak memungkinkan untuk membahas distribusi pendapatan (Krugman and Obstfeld, 2003).

Model yang berkembang selanjutnya adalah Model Faktor Spesifik. Jika tenaga kerja bisa bergerak bebas antar sektor, maka ada sejumlah faktor produksi yang bersifat spesifik atau terikat pada sektor tertentu. Model ini sangat baik dalam menerangkan distribusi pendapatan, namun tidak mampu menjelaskan soal pola perdagangan (Krugman and Obstfeld, 2003). Kemudian berkembang Model Heckscher-Ohlin (H-O) dimana berbagai faktor produksi dimungkinkan bergerak antar sektor. Model ini menekankan perbedaan bawaan faktor produksi antar


(36)

negara sebagai determinasi perdagangan yang paling penting. Teori H-O menganggap bahwa setiap negara akan mengekspor komoditas yang relatif intensif menggunakan faktor produksi yang melimpah karena biayanya akan cenderung murah serta mengimpor komoditas yang faktor produksinya relatif langka dan mahal.

Model perdagangan standar membentuk kurva penawaran relatif dunia dari kemungkinan-kemungkinan produksi dan kurva permintaan relatif dunia atas dasar preferensi-preferensi masyarakat. Harga ekspor relatif terhadap impor atau nilai tukar perdagangan suatu negara sepenuhnya akan ditentukan oleh perpotongan antara kedua kurva tersebut. Jika faktor-faktor lain cateris paribus, kenaikan nilai tukar perdagangan suatu negara akan meningkatkan kesejahteraan penduduknya dan sebaliknya (Krugman and Obstfeld, 2003).

Apabila gagasan mengenai keuntungan perdagangan merupakan konsep teoritis yang paling penting dalam studi ekonomi internasional, maka pertentangan abadi antara perdagangan bebas dan proteksi perdagangan sepertinya merupakan tema kebijakan yang penting. Sejak munculnya bentuk negara pada abad ke-16, pemerintah sudah mengkhawatirkan dampak yang ditimbulkan oleh persaingan internasional terhadap keberhasilan industri-industri domestik sehingga berupaya menghindari kejatuhan industri-industri dari pesaing luar negeri dengan memberlakukan pembatasan impor atau membantu sektor industri domestik dalam meningkatkan daya saing di pasar internasional dengan memberikan subsidi ekspor.

Mengingat arti penting historis serta relevansinya terhadap masalah proteksi, selama bertahun-tahun pakar ekonomi internasional telah


(37)

mengembangkan kerangka analisis yang praktis namun memiliki kemampuan dalam menentukan dampak kebijakan pemerintah yang mempengaruhi perdagangan. Kerangka tersebut tidak hanya memperkirakan dampak kebijakan, melainkan juga menerapkan suatu analisis biaya manfaat (cost-benefit analysis) dan menetapkan kriteria untuk menentukan apabila ada campur tangan dari pemerintah yang berdampak positif bagi perekonomian (Krugman and Obstfeld, 2003), namun yang sering dilakukan adalah analisis berdasarkan perspektif keseimbangan parsial (partial equilibrium). Analisis tersebut menggunakan kurva-kurva permintaan dan penawaran, kemudian untuk analisis yang lebih kompleks dengan menerapkan perspektif keseimbangan umum (general equilibrium) yang juga melihat batas-batas kemungkinan produksi (production possibility frontiers) dan kurva indiferen (indifferent curve).

Perekonomian internasional terdiri dari negara-negara yang berdaulat sehingga masing-masing negara bebas menentukan kebijakan ekonominya sendiri, terlepas bagaimana dampak kebijakan tersebut terhadap perekonomiannya terkait dengan peran negara tersebut sebagai large country atau small country. Akan tetapi dalam perekonomian dunia yang makin padu, kebijakan ekonomi suatu negara biasanya mempengaruhi negara-negara lain, terutama kebijakan large

country terhadap small country. Perbedaan-perbedaan tujuan dan kepentingan

dari setiap negara seringkali mengarah kepada konflik. Meskipun seandainya setiap negara mempunyai kesamaan tujuan, mereka masih bisa berselisih dan mengalami kerugian jika mereka gagal mengkoordinasikan kebijakan-kebijakan mereka. Masalah mendasar dalam ekonomi internasional adalah bagaimana menghasilkan suatu tingkat penyesuaian yang memadai diantara


(38)

kebijakan-kebijakan perdagangan dan moneter internasional yang bisa diterima oleh setiap negara tanpa perlu membentuk suatu pemerintahan dunia yang berwenang mengatur semua negara mengenai apa yang harus dilakukan.

2.2. Perdagangan Bebas

Sejak masa Adam Smith, para ekonom memandang perdagangan bebas sebagai sesuatu yang ideal sehingga kebijakan perdagangan bebas harus selalu diupayakan. Integrasi pasar dunia dengan pasar domestik lama kelamaan tidak bisa dihindarkan lagi, namun sebenarnya alasan yang melatarbelakangi pandangan bahwa perdagangan bebas tidaklah sederhana seperti gagasannya sendiri. Sebenarnya, sangat sedikit negara yang melaksanakan perdagangan secara benar-benar bebas. Hongkong mungkin merupakan satu-satunya negara modern yang sama sekali tidak mengenakan tarif atau pembatasan impor (Krugman and Obstfeld, 2003). Awalnya, model-model teoritis perdagangan menegaskan bahwa perdagangan bebas akan menghindarkan terjadinya inefisiensi yang seringkali diakibatkan oleh adanya proteksi.

Kasus efisiensi bagi perdagangan bebas merupakan kebalikan dari analisis

cost benefit dari tarif. Banyak ekonom meyakini bahwa perdagangan bebas

mampu menciptakan keuntungan tambahan yang tidak dapat diperoleh jika terjadi distorsi produksi dan konsumsi akibat pengenaan tarif. Bagi perekonomian atau negara-negara kecil pada umumnya dan negara berkembang khususnya, banyak ekonom yang menganjurkan dilaksanakannya suatu perdagangan secara bebas sehubungan dengan terdapatnya berbagai keuntungan tambahan yang sangat penting yang selama ini belum diperhitungkan dalam analisis cost-benefit konvensional. Salah satu bentuk keuntungan tambahan tersebut adalah tercapainya


(39)

skala ekonomi (economies of scale) sehubungan dengan meluasnya pasar. Sebuah negara yang memiliki hubungan dagang yang intensif dengan negara-negara lain mempunyai kesempatan untuk memperbesar skala ekonominya. Adanya perdagangan mendorong terjadinya spesialisasi produksi sehingga meningkatkan skala produksi dan meningkatkan penggunaan input-input produksi seperti tenaga kerja sehingga memacu investasi, tabungan dan pertumbuhan pendapatan nasional. Pasar yang diproteksi tidak saja akan memecah-mecah kegiatan produksi secara internasional, melainkan juga mengurangi daya saing dan potensi meningkatkan laba serta cenderung mendorong berbagai perusahaan untuk memasuki industri yang diproteksi tersebut sehingga semuanya akan terjebak dalam pola produksi yang tidak efisien. Hasil simulasi Hutabarat et al. (2007) juga menunjukkan bahwa dampak penurunan tarif terhadap produksi, ekspor bersih, PDB dan kesejahteraan menunjukkan hasil yang positif. Oleh karena itu, jika sarana dan prasarana yang mendukung terciptanya kondisi liberalisasi perdagangan di Indonesia dapat bersifat kondusif tidak perlu ada kekuatiran terjadinya dampak negatif akibat liberalisasi perdagangan.

Argumen lain yang pro perdagangan bebas mengatakan bahwa keuntungan dinamis perdagangan bebas adalah meningkatnya kompetisi ekonomi yang selanjutnya akan mendorong negara-negara untuk berproduksi serta melakukan berbagai kegiatan ekonomi lainnya secara lebih efisien karena tidak lagi mengandalkan keuntungan dari proteksi yang diberikan pemerintah berupa hambatan-hambatan perdagangan yang menyulitkan masuknya produk-produk pesaing, khususnya mereka yang berada di dalam pasar-pasar monopolistik dan oligopolistik. Pemberian insentif kepada para pengusaha untuk mengupayakan


(40)

cara-cara baru untuk mengekspor atau bersaing dengan impor, maka pola perdagangan bebas segera terbentuk dan akan mampu menawarkan lebih banyak peluang untuk belajar dan melakukan berbagai macam inovasi, dibandingkan dengan peluang yang diberikan oleh sistem perdagangan yang ”terkendali”, yakni dimana pemerintah mengadakan campur tangan dengan langsung mengatur secara ketat pola-pola impor dan ekspor.

Argumen politik bagi perdagangan bebas mencerminkan kenyataan bahwa di kalangan tertentu terdapat suatu komitmen politik bagi dilangsungkannya hubungan perdagangan bebas. Bonilla dan Reca (2000) menyimpulkan beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara tingkat pembukaan perdagangan dan pertumbuhan ekonomi, namun para ekonom seringkali mengingatkan bahwa kebijakan perdagangan dalam kenyataannya lebih didominasi oleh pertimbangan politik dan kepentingan khusus daripada pertimbangan-pertimbangan cost-benefit dan manfaat ekonomi nasional. Pelaksanaan kebijakan perdagangan sebagai niat baik pemerintah untuk campur tangan dalam perekonomian selalu saja terbuka terhadap kemungkinan ditunggangi oleh kelompok-kelompok yang berusaha membelokkan kebijakan pemerintah bagi redistribusi pendapatan ke sektor-sektor yang secara politik berpengaruh atau bahkan untuk melayani kepentingan-kepentingan sendiri.

2.3. Perjanjian Perdagangan

Upaya ke arah liberalisasi perdagangan yang berjalan saat ini terjadi setidaknya melalui dua mekanisme, yaitu pendekatan multilateral dan pendekatan regional. Ada yang berpendapat bahwa upaya pertama dapat terwujud melalui beberapa tahapan setelah upaya yang kedua tercapai, tetapi ada juga yang


(41)

berpendapat bahwa pendekatan yang kedua tidak mungkin mendukung upaya yang pertama atau bahkan mengalihkan tujuan yang pertama.

Meskipun beberapa kemajuan telah dicapai selama dasawarsa 1930-an dalam usaha-usaha liberalisasi perdagangan melalui serangkaian perjanjian bilateral, namun sejak selesainya Perang Dunia kedua, koordinasi internasional terutama diupayakan lewat perjanjian-perjanjian multilateral di bawah naungan

General Agreement on Tariff and Trade (GATT). GATT yang terdiri dari

kelembagaan birokrasi serta seperangkat aturan main, merupakan lembaga pusat dari sistem perdagangan internasional pasca perang. Seri perundingan terakhir GATT juga menyetujui pembentukan sebuah organisasi baru, yaitu World Trade

Organization (WTO), untuk memantau dan menegakkan kesepakatan yang ada.

Seperti diketahui upaya multilateral telah berjalan dalam waktu yang sangat panjang melalui berbagai tahapan perundingan internasional. Tujuan perundingan internasional ini adalah menurunkan tarif dan hambatan bukan tarif perdagangan komoditas internasional. Terhitung sejak tahun 1945 telah terjadi delapan kali perjanjian perdagangan multilateral. Lima perjanjian pertama serupa dengan negosiasi bilateral sejajar, dimana suatu negara bernegosiasi dengan sejumlah negara mitranya sekaligus secara berpasangan (Hutabarat, 2005). Misalnya, apabila Jerman menawarkan pemotongan tarif yang menguntungkan Perancis dan Italia, Jerman dapat meminta kedua negara tersebut melakukan hal yang sama.

Perundingan yang keenam yang disebut Putaran Kennedy berakhir tahun 1967, menghasilkan penurunan tarif 50 persen untuk semua pos tarif bagi negara industri utama kecuali bagi negara-negara yang tarifnya tidak berubah. Penutupan


(42)

putaran ini berhasil menurunkan tarif rata-rata sebesar 35 persen (Krugman and Obstfeld, 2003). Putaran Tokyo, perundingan ke tujuh, yang berlangsung dalam kerangka kerja GATT diakhiri pada April 1979, menurunkan tarif dengan suatu rumus yang lebih rumit dari rumus yang digunakan dalam Putaran Kennedy berdasarkan kelompok komoditas yang luas, bukan atas dasar pertimbangan produk per produk. Pada putaran ini pemotongan tarif yang disepakati mencapai 31 persen untuk Amerika Serikat, 27 persen untuk Uni Eropa (UE), 28 persen untuk Jepang dan 34 persen untuk Kanada (Chacoliades, 1990). Tetapi kebanyakan pemotongan ini berlangsung delapan tahun sejak Januari 1980. Selanjutnya, putaran ini berhasil membuat suatu aturan untuk mengawasi semakin berkembangnya hambatan nontarif. Akhirnya pada tahun 1994, perundingan ke delapan yang disebut Putaran Uruguay berhasil menghasilkan beberapa perjanjian di bidang pertanian meskipun masih belum sesuai harapan karena alotnya perundingan.

Pada saat ini tarif impor (applied) yang berlaku di Indonesia adalah besaran-besaran yang diusulkan dalam LOI (Letter of Intent) antara pemerintah Indonesia dengan International Monetary Fund (IMF) bagi beragam komoditas sebagai bentuk konsekuensi Indonesia terkait pinjaman yang diterima dari IMF semasa krisis moneter. Pada perundingan Komisi Pertanian di bulan Juli 2004 di Jenewa, yang menghasilkan Paket Juli 2004 telah tersurat bahwa modalitas penurunan bantuan domestik dan tarif akan mengikuti Rumus Berjenjang (RB)

atauTiered Formula (TF) dan sampai saat ini belum diketahui bagaimana bentuk

pasti jenjang-jenjang tarif yang diharapkan. Tentu saja, hal ini akan mengundang perdebatan yang sangat tajam seperti perundingan modalitas pada masa-masa


(43)

sebelumnya yang akhirnya untuk sementara mengesampingkan rumus-rumus yang dikembangkan sebelumnya seperti Uruguay Round Formula, Swiss Formula dan Blended Formula (Hutabarat, 2005). Sampai saat ini berbagai kelompok atau koalisi negara telah mengajukan berbagai usulan, tetapi belum menuju suatu titik temu yang pasti sehingga sidang komisi pertanian akan tetap berjalan pada masa-masa yang akan datang sampai dicapai kesepakatan.

Beberapa tahun belakangan ini, meskipun hampir 140 negara telah menyetujui pemberlakuan perjanjian multilateral di berbagai bidang termasuk pertanian dengan terbentuknya WTO, pertumbuhan perjanjian perdagangan bebas bilateral maupun regional dalam suatu kawasan menunjukkan dinamika dan pertumbuhan yang semakin pesat. Menurut Tweeten (1992), ada empat tipe integrasi ekonomi yaitu: (1) Free Trade Area (FTA) yang didefinisikan sebagai area dimana negara anggota menyepakati untuk menghilangkan hambatan perdagangan antar anggotanya, tetapi memberlakukan hambatan perdagangan negara di luar anggotanya yang berbeda diantara para anggota sesuai dengan kebijakan masing-masing negara, (2) Common Market (CM), area dengan perdagangan bebas dan kebebasan penuh faktor-faktor seperti modal dan tenaga kerja berpindah diantara negara anggota, (3) Custome Union (CU), area dengan perdagangan bebas diantara para anggota serta adanya kesamaan pemberlakuan hambatan perdagangan untuk negara non-anggota, dan (4)Economic Union(EU), area dimana anggotanya menyatukan kebijakan ekonomi publik seperti moneter, fiskal, kesejahteraan dan kebijakan lingkungan seperti perdagangan dan migrasi faktor tetapi masing-masing negara tetap mempunyai pemerintahan sendiri. Indonesia sendiri tergabung dalam sebuah FTA, antara lain AFTA.


(44)

Penetapan tarif yang berbeda antar anggota FTA selain menyebabkan terciptanya perdagangan atau trade creation dan beralihnya perdagangan atau

trade divertion seringkali menyebabkan terjadinya trade deflection atau

pengalihan perdagangan. Trade deflection dapat dihindari dengan membedakan secara efektif antara barang yang berasal dari anggota lain dari kelompoknya sendiri atau dari luar kelompok. AFTA mengaturnya ke dalam Rule of Origin (ROO) dimana suatu produk dapat diperlakukan sebagai produk asal apabila tidak kurang dari 40 persen berisi dengan produk original dan jika nilai material sebagian atau yang dihasilkan tidak lebih dari 60 persen dari nilai FOB negara penghasil. Kemudian ditambah lagi dengan adanya Cumulative ROO, yaitu apabila produk akhir tidak lebih dari 40 persen.

Menurut Kenen (1989) negara yang menjalin kerjasama perdagangan umumnya mempunyai ciri: (1) yang berpendapatan tinggi dan dapat terlibat perdagangan intraindustri, (2) yang berpendapatan rendah kurang terlibat perdagangan intraindustri, dan (3) negara yang berorientasi keluar akan semakin sedikit pembatasan perdagangannya, semakin besar porsi perdagangan industrinya. Sementara itu hubungan bilateral dapat dicirikan oleh semakin dekat jarak antar negara dan semakin menyatu masyarakatnya, cenderung membuat perdagangan intraindustrinya semakin berkembang.

Kerjasama bilateral seringkali menimbulkan pemikiran tersendiri karena adanya kesenjangan teknologi dan product cycle, mengingat adanya perbedaan latar belakang sosial ekonomi antara negara tersebut demikian besar seperti Indonesia-China, Indonesia-Jepang (Hutabarat, 2005). Hubungan bilateral seperti itu akan menimbulkan suatu rangkaian inovasi dan imitasi yang mempengaruhi


(45)

ekspor dari negara partner. Setelah produk baru berkembang dan mulai menguntungkan pasar domestik, perusahaan yang melakukan inovasi memperoleh keuntungan monopoli di pasar internasional akibat adanya entry lag. Keuntungan monopoli akan mendorong imitasi di negara lain, terutama jika inovasi telah memasyarakat. Teori ini secara implisit berkategori teori limpasan atau spillover yaitu dengan kecepatan memasyarakatnya teknologi menyebabkan perusahaan-perusahaan di sekitarnya akan dengan mudah meniru inovasi teknologi baru yang diterapkan oleh perusahaan lain sehingga perusahaan inovator tidak akan lama menikmatientry lag hasil inovasinya tersebut.

Elger et al. (2006) melihat permasalahan ini dengan melakukan analisis yang berimbang mengenai dampak kesepakatan perdagangan kawasan dimana kesepakatan perdagangan kawasan tersebut dapat dijadikan sebagai kerangka (building block) atau penghambat (stumbling block) menuju perdagangan bebas. Kesepakatan perdagangan kawasan tersebut bisa menjadi kerangka perdagangan bebas apabila: (1) tetap melengkapi atau sejalan dengan perjanjian multilateral sebagaimana dinyatakan dalam WTO, (2) menggalakkan kerjasama antara negara-negara mitra wilayahnya serta mendorong mereka untuk menyelaraskan berbagai undang-undang yang dibutuhkan, dan (3) menjadi tempat penyelesaian isu-isu perdagangan yang rawan dengan ketersediaan integrasi yang lebih dalam yang tidak mungkin terjadi dalam perundingan WTO.

Sebaliknya kesepakatan perdagangan kawasan juga dapat menghambat perdagangan bebas apabila: (1) aturan-aturan asal barang yang ketat menyebabkan peralihan perdagangan atau menjadi alat perlindungan, (2) dorongan pengembangan kesepakatan perdagangan kawasan tidak mempunyai peluang


(46)

melebur menjadi suatu Free Trade Agreement, (3) kerjasama perdagangan kawasan seringkali mendorong peningkatan tarif eksternal, sehingga menghambat liberalisasi multilateral, dan (4) kerjasama perdagangan kawasan dapat menambah kekuatan kelompok lobi perlindungan dan mengalihkan sumberdaya perundingan yang terbatas dari perundingan multilateral.

Di wilayah Asia, telah semakin intensif jalinan kerjasama perdagangan dengan negara lain di kawasan yang sama maupun di luar kawasannya. Indonesia sendiri saat ini telah terlibat dalam beberapa kawasan perdagangan bebas, antara lain: (1) di lingkungan ASEAN yang disebut AFTA (Asean Free Trade Area), (2)

Bilateral and Regional Free Trade Agreement ASEAN dengan China atau

ASEAN-China FTA, dan (3) Indonesia-China FTA dan akan muncul perjanjian-perjanjian bebas kawasan yang lain seperti Korea FTA, Indonesia-Jepang FTA, Indonesia-India FTA, Indonesia-Pakistan FTA, Indonesia-Australia-Selandia Baru FTA dan mungkin juga Indonesia-USA FTA atau Indonesia-Uni Eropa FTA. Khusus Indonesia-China FTA telah diratifikasi perjanjian kerjasama ekonomi dengan Keputusan Presiden Nomor 48 tahun 2004 dengan menerapkan tarif bea masuk dalam rangka Early Harvest Package ASEAN-China menjadi 0 persen tahun 2006 untuk produk-produk tertentu.

Pada pertemuan KTT ASEAN-6 di Singapura, Januari 1992 telah diputuskan mengenai perdagangan bebas AFTA yang merupakan program pengurangan tarif secara bertahap, serta penghapusan hambatan tarif pada tahun 2008. Selanjutnya, sejumlah hambatan non-tarif seperti quota dihilangkan, dilakukan harmonisasi kepabeanan serta penilaian dan prosedurnya dan membangun standarisasi sertifikasi produk. Selain itu dirancang pula Common


(47)

Effective Preferential Tariff (CEPT). Klasifikasi produk dalam skema CEPT dibagi ke dalam empat daftar, yaitu: (1) Inclusion List (IL), yaitu daftar yang berisi produk-produk yang memenuhi kriteria dapat mengikuti jadwal penurunan tarif, tidak ada pembatasan kuantitatif dan hambatan non-tarifnya harus dihapuskan dalam waktu lima tahun, (2) General Exception List (GEL), yaitu daftar produk yang dikecualikan dari skema CEPT oleh suatu negara karena dianggap penting untuk alasan perlindungan keamanan nasional, moral masyarakat, kehidupan dan kesehatan manusia, binatang atau tumbuhan serta nilai barang-barang seni, bersejarah atau arkeologis, ketentuan mengenai GEL dalam perjanjian CEPT konsisten dengan artikel X dari General Agreement on Tariff

and Trade (GATT), contohnya adalah senjata amunisi, narkotika dan sebagainya,

(3) Temporary Exclusions List (TEL), yaitu daftar yang berisi produk-produk yang dikecualikan sementara untuk dimasukkan dalam skema CEPT, tetapi produk-produk dalam TEL tidak dapat menikmati konsensi tarif CEPT dari negara anggota lainnya, karena TEL tidak ada hubungannya sama sekali dengan produk-produk yang tercakup dalam GEL, dan (4) Sensitive List (SL), yaitu daftar yang berisi produk-produk pertanian bukan olahan (Unprocessed Agricultural Product/UAP). Sebagian produk pertanian dikecualikan dalam penurunan tarif sehingga waktu liberalisasi perdagangan menjadi lebih lama yaitu 2010. Adapun rincian besarnya jumlah pos tarif masing-masing negara anggota ASEAN tertera dalam Tabel 2.

Menurut Pasadilla (2006), setelah pembentukan AFTA, volume perdagangan dengan negara-negara non-ASEAN pengaruhnya relatif kecil. Meskipun demikian, biaya transaksi perdagangan intra-ASEAN yang lebih rendah


(48)

dengan fasilitas perdagangan tersebut dalam penyediaan input-input industri dan dengan pembentukan integrasi vertikal kerjasama multilateral tersebut tidak bisa dipandang sama pengaruhnya terhadap perdagangan dengan negara-negara di luar ASEAN. Total impor ASEAN pada tahun 2003 menurun, sementara itu ekspornya meningkat. Penurunan impor ASEAN tersebut lebih banyak karena penurunan impor dari negara-negara lain di luar ASEAN, sementara peningkatan ekspor juga memperlihatkan sebagian besar terjadi penurunan ekspor ke negara-negara di luar ASEAN. Secara parsial, hal ini menunjukkan bahwa kerjasama tersebut menciptakan adanya trade creation, seperti yang telah ditemukan oleh studi-studi terdahulu.

Tabel 2. CEPTList untuk Tahun 2003

Negara Inclusion List Temporary Exclusion List General Exception List Sensitive List Total

Brunei 6 337 - 155 - 6 492

Indonesia 7 217 - 68 - 7 285

Malaysia 10 124 218 53 - 10 395

Philipina 5 642 - 16 - 5 658

Singapura 5 859 - - - 5 859

Thailand 9 211 - -- - 9 211

Total

ASEAN-6 44 390 218 295 - 44 900

Persentase 98.86 0.49 0.65 100

Kamboja 3 115 3 523 134 50 6 822

Laos 2 533 856 74 88 3 551

Myanmar 4 182 1 224 48 18 5 472

Vietnam 6 296 - 139 51 6 486

Total

Anggota Baru 16 126 5 603 395 207 22 331

Persentase 72.21 33.02 1.77 0.93 100

Total ASEAN 60 516 5 821 687 207 67 231

Persentase 90.01 8.66 1.02 0.31 100


(49)

2.4. Ekonomi Politik Proteksionisme

Tarif merupakan kebijakan perdagangan yang paling umum, yaitu sejenis pajak yang dikenakan atas barang-barang yang diimpor maupun diekspor. Dalam kasus impor, tarif spesifik (spesific tariffs) dikenakan sebagai pajak atau beban tetap tiap unit barang yang diimpor. Sedangkan tarif ad valorem (ad valorem tariff) adalah pajak yang dikenakan berdasarkan persentase tertentu dari nilai barang-barang yang diimpor. Tujuan utama pengenaan tarif biasanya tidak semata-mata untuk memperoleh pendapatan pemerintah sebagai bentuk fiscal policy, melainkan juga sebagai bentuk perlindungan sektor-sektor tertentu di dalam negeri.

Sebagian besar perangkat tarif, quota impor dan kebijakan perdagangan lainnya pada dasarnya dipilih dan diterapkan untuk melindungi kepentingan produsen atau konsumen meskipun hal ini ternyata seringkali untuk melindungi arus pendapatan dari kelompok-kelompok yang mempunyai kepentingan tertentu dalam negara yang bersangkutan. Sekalipun para ekonom seringkali mengatakan bahwa setiap bentuk penyimpangan dari kaidah-kaidah perdagangan bebas akan menurunkan kesejahteraan nasional, dalam kenyataannya memang terdapat sejumlah landasan teoritis untuk meyakini bahwa aktivitas kebijakan perdagangan terkadang dapat meningkatkan kesejahteraan suatu negara secara keseluruhan.

Terdapat sejumlah kasus atau argumen-argumen tertentu yang tidak membenarkan hubungan perdagangan bebas, mulai dari yang sangat ekstrem sampai yang mengandung logika ekonomi yang secara intelektual cukup baik dan masuk akal. Salah satu argumen yang paling ekstrem adalah proteksi dianggap perlu untuk melindungi tenaga kerja domestik dari tekanan persaingan produk


(50)

impor yang menggunakan tenaga kerja murah. Argumen ini masih lemah karena yang mempengaruhi biaya produksi bukan hanya upah tenaga kerja yang rendah tetapi juga produktivitas tenaga kerjanya. Bahkan jika produktivitasnya lebih rendah, perdagangan yang saling menguntungkan masih dapat terselenggara atas dasar keunggulan komparatif. Artinya, negara yang mempunyai tenaga kerja murah dapat melakukan spesialisasi produksi dan ekspor atas komoditas yang padat karya dan sebaliknya negara lain dapat melakukan spesialisasi dengan mengandalkan faktor produksi lainnya.

Argumen lain yang patut dipertanyakan validasinya adalah argumen ketenagakerjaan yang mengatakan proteksi diperlukan untuk mengurangi pengangguran dalam negeri dan argumen neraca pembayaran dimana proteksi diperlukan untuk mengurangi defisit neraca pembayaran (Salvatore, 1997). Kedua argumen ini menyatakan bahwa jika impor dibatasi maka devisa dapat dihemat sehingga defisit neraca pembayaran dapat diatasi dan akan tercipta sejumlah lapangan kerja baru yang akan mengurangi pengangguran. Tindakan ini ternyata dapat memacu negara lain melakukan tindakan yang sama karena setiap negara memiliki kecenderungan untuk mengambil keuntungan atas pengorbanan negara lain (beggar-thy-neighbor) (Salvatore, 1997).

Argumen selanjutnya pada prinsipnya mengatakan bahwa negara-negara dapat memperbaiki nilai tukar perdagangan melalui penerapan tarif impor optimum dan pajak ekspor. Namun apa yang ditonjolkan oleh argumen ini, yakni nilai tukar perdagangan, justru tidak terlalu penting dalam prakteknya karena

small country memang tidak berdaya untuk mempengaruhi harga-harga produk


(51)

kebijakan-kebijakan lain demi meningkatkan nilai tukar perdagangannya. Di lain pihak, negara-negara besar dapat mempengaruhi nilai tukar mereka, tetapi dengan mengenakan tarif, mereka akan menghadapi tekanan yang lebih besar sehubungan dengan adanya perjanjian-perjanjian perdagangan yang tidak mengijinkan hal itu.

Argumen yang memang didasarkan pada prinsip-prinsip ekonomi yang cukup jelas dan logis adalah argumen industri bayi (infant industry). Pada dasarnya argumen ini menyatakan bahwa proteksi diperlukan untuk melindungi industri yang baru tumbuh karena jika tidak diberikan proteksi akan tertindas oleh tekanan kompetisi produk-produk impor yang industrinya sudah jauh lebih mapan. Argumen industri bayi menyatakan bahwa setiap negara memiliki potensi keunggulan komparatif dalam komoditi tertentu, namun karena keterbatasan teknologi dan tingkat output pertamanya, maka akan sulit bersaing jika masih baru berkembang sehingga perlu mendapat proteksi perdagangan secara temporer sampai cukup mapan.

Penelitian yang dilakukan setelah Putaran Uruguay menunjukkan bahwa pertumbuhan sektor pertanian dan agroindustri di negara-negara berkembang dapat meningkatkan kesejahteraannya jika proteksi di negara-negara maju dikurangi (Bonilla and Reca, 2000). Sebaliknya, kebijakan perdagangan strategis menyatakan bahwa sebuah negara dapat menciptakan keuntungan komparatif melalui pemberlakuan proteksi dagang untuk sementara sampai cukup mapan dan mampu bersaing dengan produk-produk impor, pemberian subsidi, keringanan pajak dan pengadaan program-program kerjasama dalam bidang-bidang industri berteknologi tinggi yang paling berpotensi menjadi andalan perekonomian secara keseluruhan atau memberikan imbas teknologi (technological spillover).


(52)

Alasan lain bagi ditinggalkannya perdagangan bebas mengacu pada kegagalan pasar domestik (domestic market failure), dimana suatu pasar dalam suatu negara tidak mampu melakukan fungsi-fungsinya sebagaimana mestinya seperti adanya ketidaksempurnaan pasar modal dan tenaga kerja yang menghalangi pengalihan sumberdaya secepat mungkin ke sektor-sektor yang memberikan imbalan relatif lebih tinggi dan adanya kemungkinan-kemungkinan kelebihan-kelebihan teknologi dari sejumlah sektor industri baru, khususnya yang bersifat inovatif. Sebagai contoh umpamakan bahwa produksi suatu barang bisa menghasilkan keuntungan atau manfaat khusus berupa terobosan baru yang akan menyempurnakan teknologi produksi di suatu perekonomian secara keseluruhan, akan tetapi perusahaan inovator tersebut ternyata tidak dapat memanfaatkan keuntungan tersebut secara penuh sehingga tidak memperhitungkannya dalam pengambilan keputusan produksi. Hal ini berarti terdapat keuntungan sosial marginal (marginal social benefit) bagi diadakannya produksi tambahan yang tidak tercakup dalam pengukuran surplus produsen. Keuntungan sosial marginal ini dapat dijadikan sebagai pembenaran bagi pemberlakuan tarif atau kebijakan perdagangan lainnya dengan adanya eksternalities tersebut, yaitu keuntungan yang jatuh ke pihak-pihak luar (Krugman and Obstfeld, 2003).

Kemunculan argumen domestic market failure yang menentang dilangsungkannya perdagangan bebas ini sesungguhnya merupakan sebuah kasus khusus dari perkembangan konsep yang lebih umum yang dikenal denganTheory of the second best. Pada intinya, teori ini menyebutkan bahwa kebijakan hands-off, artinya pemerintah sama sekali tidak mengadakan campur tangan dan semua kegiatan ekonomi diserahkan kepada mekanisme pasar memang cocok dan


(53)

diperlukan oleh suatu pasar asalkan pasar-pasar lainnya dapat bekerja dengan baik dan bersih dari segala macam kegagalan. Dalam menerapkan teori ini para ekonom berdalih bahwa ketidaksempurnaan dalam fungsionalisasi internal dari suatu perekonomian bisa membenarkan tindakan campur tangan pemerintah dalam menata hubungan-hubungan ekonomi eksternalnya. Dengan demikian argumen ini mengakui bahwa perdagangan internasional bukan merupakan sumber persoalan, akan tetapi mereka tetap meyakini kegunaan kebijakan perdagangan (Krugman and Obstfeld, 2003). Masing-masing kebijakan mencakup berbagai macam dan langkah atau tindakan yang berbeda-beda. Tindakan-tindakan tersebut meliputi antara lain pengenaan pajak terhadap beberapa macam transaksi internasional, pemberian subsidi oleh pemerintah, pembatasan resmi terhadap nilai atau volume impor dan berbagai bentuk pengaturan lainnya.

Berdasarkan hasil simulasi yang dilakukan oleh Erwidodo et al. (2003) dalam kasus perdagangan jagung, terintegrasinya pasar jagung Indonesia dengan pasar global dimana harga jagung di pasar domestik secara langsung dipengaruhi oleh harga jagung dunia, maka pengenaan tarif lima persen terhadap dampak makro yang ditimbulkan dipandang sudah cukup untuk memberikan perlindungan dan menjamin keuntungan petani pada kisaran 27 sampai 34 persen. Jika harga impor (CIF) menurun sampai tingkat US$ 110 per ton dan nilai tukar rupiah Rp 8 600/US$, maka diperlukan tarif impor sebesar 20 persen (Rp 110 per kg) untuk meningkatkan keuntungan bersih menjadi 20 sampai 28 persen. Malian (2004) mengemukakan bahwa Indonesia juga mengalami peningkatan impor jagung sebesar 20 persen sejak liberalisasi radikal yang dilakukan pemerintah pada tahun 1998 atas tekanan dari International Monetary Fund (IMF), padahal


(54)

jagung telah menyerap sembilan juta petani sehingga diperlukan proteksi terhadap komoditas jagung.

Sementara itu berdasarkan hasil penelitian Yusdja dan Agustian (2003) memberikan hasil yang berbeda, dimana pada saat itu nilai tukar mendekati Rp 9 000/US$ dan harga jagung 122 US$/ton, biaya pokok usahatani jagung hibrida di tiga provinsi berkisar antara Rp 712 sampai Rp 871 per kg, berarti dengan asumsi pada tingkat harga dunia berlaku di dalam negeri maka keuntungan petani berkisar antara 26 sampai 54 persen. Pada saat itu maka tidak cukup alasan menerapkan tarif impor jagung. Pembatasan impor jagung yang pernah dilakukan oleh pemerintah pada masa 1980 sampai 1990 mengakibatkan 200 pabrik pakan rakyat dan 40 000 peternak rakyat bangkrut karena industri pakan dan peternak skala besar menguasai jagung yang tersedia di dalam negeri.

Keterkaitan kebijakan-kebijakan tersebut dengan perdagangan jagung adalah ternyata kita tidak bisa hanya melihat dari sisi petani jagung saja tetapi juga kepada konsumen jagung karena ada para peternak unggas yang perlu dipertimbangkan juga keberadaannya. Peranan pemerintah dalam perdagangan jagung sangat dilematis, karena jika pemerintah menetapkan tarif impor yang terlalu tinggi dengan alasan perlindungan terhadap petani jagung, maka akan menyebabkan harga pakan ternak meningkat karena komposisi pakan ternak sebagian besar adalah jagung. Hal ini menyebabkan ketidakkonsistenan kebijakan pemerintah terkait perdagangan jagung karena alasan harus memperhatikan kedua belah pihak tersebut.

Kebijakan impor jagung telah mengalami beberapa kali perubahan. Pada tahun 1974 sampai 1978, impor jagung dikenakan tarif lima persen, kemudian


(55)

ditingkatkan menjadi 10 persen selama kurun waktu 1980 sampai 1993. BULOG (Badan Urusan Logistik) merupakan lembaga pemerintah pemegang ijin tunggal bagi pelaksanaan impor jagung pada tahun 1982 dengan SK Menteri Perdagangan No.165/Kp/XII/82 tanggal 27 Desember 1982 dan pada tahun 1988 Menteri Perdagangan RI melalui SSK. No. 375/1988 tanggal 21 November 1988 telah membebaskan ketentuan tataniaga impor untuk beberapa barang hasil pertanian antara lain jagung. Selanjutnya pada tahun 1994, tarif tersebut diturunkan lagi menjadi 5 persen, namun pada tahun 1995 dihapuskan. Kemudian pada tahun 2005 tarif impor jagung dinaikkan kembali menjadi lima persen (Imron, 2007). Sementara itu, terdapat pengecualian dimana Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMK) dibebaskan dari bea masuk impor 90 000 ton melalui Surat Keputusan (SK) Menteri Keuangan No.114/KMK.00/1991 yang dikeluarkan pada tanggal 12 November 1991. Dikeluarkannya SK tersebut dibentuk Pokja Perunggasan yang diharapkan dapat mengatasi masalah pemenuhan bahan baku pakan ternak dan gejolak harga jagung pada saat itu.

Kebijakan terkait ekspor jagung Indonesia yang pernah dilakukan adalah SK Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 269/M/XI/78 tanggal 14 Nopember 1978, dimana komoditas jagung termasuk ke dalam barang yang diawasi sehingga ekspornya hanya dapat dilakukan dengan ijin dari Departemen Perdagangan dan Koperasi. Hal ini dilakukan pemerintah untuk menjaga kestabilan harga jagung akibat ketidakseimbangan antara penyediaan dan permintaan jagung di Indonesia. Di sisi lain hal ini menyebabkan terbatasnya gerak pengusaha swasta di bidang perdagangan jagung internasional. Kebijakan pemerintah ini berlanjut dengan memberlakukan pajak ekspor pada tahun 1980 dan dihapuskan kembali pada


(56)

tahun 1984 meskipun ijin ekspor tetap diberlakukan. Selanjutnya pada tanggal 23 Desember 1987, pemerintah mengeluarkan paket kebijakan yang dikenal dengan ‘Pakdes 1987’ melalui SK Menteri Perdagangan No. 331/Kp/XII/87 dimana salah satu isinya menyebutkan bahwa perlu dilakukan deregulasi terhadap tataniaga ekspor jagung yang menyatakan bahwa pengawasan terhadap tataniaga jagung dihilangkan.

Sementara itu kebijakan yang dilakukan guna melindungi petani tidak hanya mengenai perdagangan saja tapi juga subsistem yang lain. Sebelum merumuskan kebijakan, perlu dilakukan tinjauan terhadap kebijakan apa saja yang telah dilakukan pemerintah selama ini di sektor tanaman pangan. Tinjauan terhadap kebijakan pemerintah untuk pemberdayaan dan peningkatan pendapatan petani dapat dilihat dalam Tabel 3. Tabel tersebut memperlihatkan rangkaian kebijakan terakhir yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk sektor pertanian dan pemerintah sudah melaksanakan konsep yang baik dalam melindungi petani tetapi tetap terkait erat dengan kegiatan dan instansi penanggungjawab kegiatan tersebut.

Selain mengetahui kebijakan yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam melindungi sektor pertanian, ada baiknya Indonesia mengetahui kebijakan yang dilakukan oleh negara-negara lain sebagai perbandingan. Kebijakan proteksi di bidang pertanian sesuai ketentuan tiga pilar perdagangan dilakukan oleh beberapa negara lain. Berdasarkan Tabel 4 terlihat kebijakan tarif dan quota impor merupakan kebijakan akses pasar (market access) yang paling umum dilakukan. Sedangkan untuk subsidi domestik (domestic support), kebijakan yang paling banyak dilakukan adalah kebijakan yang mendukung investasi dan riset.


(1)

Lampiran 3. Lanjutan

The SAS System The SYSLIN Procedure

Two-Stage Least Squares Estimation Model HARGADOM Dependent Variable hjr Label harga jagung domestik

Analysis of Variance Sum of Mean

Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 5 34940411 6988082 7.30 0.0005 Error 20 19138607 956930.3

Corrected Total 25 54079018

Root MSE 978.22817 R-Square 0.64610 Dependent Mean 11852.1890 Adj R-Sq 0.55762 Coeff Var 8.25357

Parameter Estimates

Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 3650.096 3502.681 1.04 0.3098 Intercept hwr 1 27.50563 670.1106 0.04 0.9677 harga

jagung dunia qd 1 0.000041 0.000282 0.15 0.8859 perm. jagung qs 1 -0.00010 0.000306 -0.33 0.7482 penawaran

jagung DK 1 585.8768 923.6493 0.63 0.5331 dummy

krisis lhjr 1 0.714346 0.199880 3.57 0.0019 lag harga

jagung domestik

Durbin-Watson 1.496893 Number of Observations 26 First-Order Autocorrelation 0.236657


(2)

Tahun 1993 - 2006

options nodate nonumber; data jagung;

set analisis; /*create data*/ qj = laj*prj; qs = qj+mj-xj; qd = dpt+dkl+dip; mj = mrow+mus+mat;

/*merilkan data nominal*/ hjr =hj/ihk;

hkdr =hkd/ihk; hkcr =hkc/ihk; hpurr =hpur/ihk; hptsr =hpts/ihk; utpr =utp/ihk; hbrr =hbr/ihk; hojr =hoj/ihk; htrr =htr/ihk;

ntrr =ntr*(ihkus/ihk); hwr =hw/ihkus;

hjthr =hjth/ihkth;

ntthr =ntth*(ihkth/ihk); tmmr =tmm/ihpb;

tatr =tat/ihpb;

/*membuat variabel lag*/ lhjr =lag(hjr);

llaj =lag(laj); lprj =lag(prj); ldpt =lag(dpt); ldkl =lag(dkl); ldip =lag(dip); lmus =lag(mus); lmat =lag(mat); lxj =lag(xj); lqj =lag(qj); lhkcr =lag(hkcr); lhkdr =lag(hkdr); lntthr=lag(ntthr); lhjthr=lag(hjthr); lhpurr=lag(hpurr); lhptsr=lag(hptsr); /*variabel buatan*/ lhojr =lag(hojr); hojr1 =(hojr-lhojr); lhtrr =lag(htrr); htrr1 =htrr-lhtrr; lsb =lag(sb); sb1 =(sb-lsb); hjr1 =(hjr-lhjr); hjr2 =(hjr/lhjr);


(3)

Lampiran 4. Lanjutan

hjr3 =(hjr/(hjr-lhjr)); lpk =lag(pk);

pk1 =(pk-lpk); lhbrr =lag(hbrr); hbrr1 =(hbrr-lhbrr); lhwr =lag(hwr); hwr1 =(hwr-lhwr); hwr2 =(hwr/lhwr);

hwr3 =(hwr/(hwr-lhwr)); lntrr =lag(ntrr);

ntrr1 =(ntrr/lntrr); ntrr2 =(ntrr-lntrr);

ntrr3 =((ntrr-lntrr)/lntrr); ltmmr =lag(tmmr);

tmmr1 =(tmmr-ltmmr); dpt1 =(dpt-ldpt); dpt2 =(dpt/ldpt);

dpt3 =(dpt/(dpt-ldpt)); ltatr =lag(tatr);

tatr1 =(tatr-ltatr); tatr2 =tatr/(tatr-ltatr); lhjthr=lag(hjthr);

hjthr1=(hjthr-lhjthr);

hjthr2=(hjthr/(hjthr-lhjthr)); lntthr=lag(ntthr);

ntthr2=((ntthr)/(ntthr-lntthr)); ntthr1=(ntthr-lntthr);

lqs =lag(qs); qs1 =(qs/lqs); ldip =lag(dip); dip1 =(dip-ldip); qj1 =(qj-lqj); lain =lag(ain);

ain1 =(ain/(ain-lain)); dkl1 =(dkl-ldkl);

/*membuat diskripsi variabel*/ label

laj ='luas areal panen' llaj ='lag luas areal panen' prj ='produktivitas'

lprj ='lag produktivitas' qj ='produksi jagung' lqj ='lag produksi jagung' hjr ='harga jagung domestik' lhjr ='lag harga jagung domestik' hkdr ='harga kedelai'

lhkdr ='lag harga kedelai' hkcr ='harga kacang tanah' lhkcr ='lag harga kacang tanah' hpurr ='harga urea'

hptsr ='harga tsp'

utpr ='upah tenaga kerja sektor pertanian' sb ='suku bunga'

t ='tren'


(4)

mj ='impor jagung' xj ='ekspor jagung' lxj ='lag ekspor'

dpt ='permintaan oleh industri pakan' ldpt ='lag permintaan oleh industri pakan' dkl ='permintaan untuk konsumsi'

ldkl ='lag permintaan untuk konsumsi' hbrr ='harga beras'

pk ='pendapatan per kapita'

dip ='permintaan oleh industri pangan' ldip ='lag permintaan oleh industri pangan' hojr ='harga output industri jagung'

htrr ='harga terigu' qd ='permintaan jagung' mus ='impor dari usa' lmus ='lag impor dari usa' mat ='impor dari asean' mrow ='impor dari row' ntrr ='nilai tukar' tmmr ='tarif impor mfn' tatr ='tarif impor cept' hwr ='harga jagung dunia' da ='dummy afta'

dk ='dummy krisis' pt ='populasi ternak' ntthr ='nilai tukar thailand' ntrr ='nilai tukar indonesia' hjthr ='harga jagung thailand' hwr1 ='hwr-lhwr'

hwr2 ='hwr/lhwr';

/*TITLE ‘SIMULASI SATU=1 (LIBERALISASI ASEAN)’; TATR=0;LTATR=0; */

/*TITLE ‘SIMULASI SATU=2 (LIBERALISASI UNILATERAL)’; TATR=0;LTATR=0;

TMMR=0;LTMMR=0;*/

/*TITLE ‘SIMULASI SATU=3 (DEPRESIASI RUPIAH)’; NTRR=1.2*NTRR;LNTRR=1.2*LNTRR;

NTTHR=1.2*NTTHR;LNTTHR=1.2*LNTTHR;*/

/*TITLE ‘SIMULASI SATU=4 (PENURUNAN HARGA)’; HWR=0.9*HWR;LHWR=0.9*LHWR;

HJTHR=0.9*HJTHR;LHJTHR=0.9*LHJTHR;*/

/*TITLE ‘SIMULASI SATU=5 (KENAIKAN POPULASI TERNAK)’; PT=1.1*PT;LPT=1.1*LPT;

/*TITLE ‘SIMULASI SATU=6 (KOMBINASI KEBIJAKAN)’; TATR=0;LTATR=0;

TATR=0;LTATR=0; TMMR=0;LTMMR=0;

NTRR=1.2*NTRR;LNTRR=1.2*LNTRR; NTTHR=1.2*NTTHR;LNTTHR=1.2*LNTTHR; HWR=0.9*HWR;LHWR=0.9*LHWR;

HJTHR=0.9*HJTHR;LHJTHR=0.9*LHJTHR; PT=1.1*PT;LPT=1.1*LPT;*/


(5)

Lampiran 4. Lanjutan

proc simnlin data=jagung simulate stat outpredict theil; endogenous laj prj qj qs dpt dkl dip qd mus mat mj xj hjr; instruments lhjr hkdr hkcr llaj hpurr hptsr utpr sb t lprj ldpt

ldkl ldip hbrr pk hojr htrr hglr hmgr hwr ntrr tmmr tatr dA dk pt po ain ntthr hjthr hmr hjutp lmus lmat lxj;

lhjr =lag(hjr); lhkdr =lag(hkdr); lhkcr =lag(hkcr); ldpt =lag(dpt); ldip =lag(dip); lhwr =lag(hwr); lqj =lag(qj); parm

A0 4470545 A1 63.15459 a2 -21.2758 a3 -53.3872 a4 -1.27434 a5 50520.15

B0 2.114115 b1 -0.01555 b2 0.000043 b3 -0.00004 b4 -0.00201 b5 -0.00002 b6 0.000620 b7 0.080490

C0 745577.1 c1 -43.2561 c2 0.001527 c3 35.31954 c4 0.134493 D0 2937393 d1 -193.471 d2 105.3315 d3 -222.008 d4 -92092.9 E0 -1377543 e1 -159.363 e2 146.3466 e3 22.25818 e4 1.028070 F0 341495.7 F1 9.763707 F2 -282452 F3 -778296 F4 0.236410 F5 0.056138 F6 0.161051 F7 -0.04974 F8 -15327.1

G0 -318678 g1 731.5928 g2 -11.2675 g3 304429.7 g4 0.036090 g5 0.027151 g6 0.012651 g7 -0.02321 g8 15106.27

H0 -195615 h1 21558.19 h2 -9.75427 h3 73.40989 h4 0.046411 h5 63365.97 h6 -31125.5

I0 3650.096 i1 27.50563 i2 0.000041 i3 -0.00010 i4 585.8768 i5 0.714346;

laj = a0 + a1*lhjr + a2*lhkcr + a3*lhkdr + a4*kl + a5*t; prj = b0 + b1*sb + b2*hpurr + b3*hptsr + b4*utpr + b5*hjr

+ b6*ain + b7*t;

dpt = c0 + c1*hjr + c2*pt + c3*hkdr + c4*ldpt; dkl = d0 + d1*hjr + d2*hbrr + d3*(pk-lpk)+ d4*t; dip = e0 + e1*hjr + e2*hojr + e3*htrr + e4*ldip;

mus = f0 + f1*ntrr + f2*(hwr/lhwr)+ f3*tmmr + f4*(dpt-ldpt) + f5*dkl + f6*(dip-ldip)+ f7*(qj-lqj)+ f8*t; mat = g0 + g1*ntthr+ g2*hjthr + g3*tatr + g4*dpt + f5*dkl + g6*dip + g7*qj + f8*t;

xj = h0 + h1*hwr + h2*hjr + h3*ntrr + h4*qj + h5*da + h6*t; hjr = i0 + i1*hwr + i2*qd + i3*qs + i4*dk + i5*lhjr; qj = laj*prj;

qs = qj+mj-xj; qd = dpt+dkl+dip; mj = mrow+mus+mat;

range tahun=1993 to 2006; run;


(6)

Perdagangan Jagung, Tahun 1993 - 2006

Simulasi

No Peubah

Sim 1 Sim 2 Sim 3 Sim 4 Sim 5 Sim 6 1 LAJ (Luas Areal Jagung) 0.006 -0.009 0.029 -0.019 0.018 -0.195 2 PRJ (Produktivitas Jagung) -0.003 0.003 -0.014 0.007 -0.010 0.089 3 QJ (Produksi Jagung) 0.003 -0.005 0.019 -0.012 0.011 -0.121 4 QS (Penawaran Jagung) -0.108 0.203 -0.650 0.013 0.076 0.691 5 DPT (Permintaan oleh Industri

Pakan Ternak)

-0.006 0.010 -0.032 0.021 4.981 5.252 6 DKL (Permintaan untuk Konsumsi

Langsung)

-0.062 0.106 -0.354 0.227 -0.229 2.821 7 DIP (Permintaan oleh Industri

Pangan)

-0.092 0.145 -0.240 0.191 -0.155 -17.182 8 QD (Permintaan Jagung) -0.070 0.111 -0.201 0.155 1.021 -10.381 9 MUS (Impor Jagung dari Amerika

Serikat)

-0.061 14.512 5.744 -0.495 1.012 28.048 10 MAT (Impor Jagung dari ASEAN) 2.194 2.126 -3.847 -0.077 -0.845 -3.580 11 MJ (Impor Jagung) -2.988 5.579 8.518 -0.185 1.726 21.132 12 XJ (Ekspor Jagung) -0.014 0.025 91.489 -2.868 -0.047 -2.243 13 HJR (Harga Jagung Domestik) 0.024 -0.042 0.139 -0.090 0.090 -1.107 Keterangan:

(1) dampak perdagangan bebas ASEAN (AFTA) (2) dampak perdagangan bebas unilateral (3) depresiasi 20 persen

(4) dampak penurunan harga dunia sebesar sepuluh persen (5) dampak kenaikan populasi ternak sebesar sepuluh persen (6) dampak kombinasi kebijakan