this PDF file A Study of Elephant Care Condition (Elephas Maximus Sumatranus) at Saree Elephant Conservation Center, Aceh Besar | Novitri | Jurnal Biologi Edukasi 1 PB
Jurnal Biologi Edukasi Edisi 19, Volume 9 Nomor 1, Juni 2017, hal 30-38
Studi Kondisi Pengasuhan Gajah Sumatera (Elephas Maximus Sumatranus ) di Pusat
Konservasi Gajah Saree, Aceh Besar
A Study of Elephant Care Condition (Elephas Maximus Sumatranus) at Saree Elephant
Conservation Center, Aceh Besar
Azura Novitri, Abdullah, Mimie Saputri
Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu PendidikanUniversitas Syiah Kuala
[email protected]
Abstrak
Informasi tentang kondisi gajah di Pusat Konservasi Gajah (PKG) Saree, Aceh
berkaitan dengan pengasuhan yang dapat mempengaruhi tingkat kesejahteraan satwa
tersebut. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi kondisi pengasuhan Gajah Sumatera di
PKG Saree, Aceh Besar sesuai dengan tingkat kesejahteraan hewan di lingkungan
domestikasi. Studi kondisi pengasuhan gajah dalam penelitian ini menggunakan 18
variabel yang mengacu pada lima prinsip kesejahteraan hewan. Data yang digunakan yaitu
data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui triangulasi: observasi
partisipatif, wawancara terstruktur, dan dokumentasi. Data yang diperoleh kemudian
dihimpun menggunakan skala Likert yaitu jawaban sesuai (diberi skor 3), kurang sesuai
(diberi skor 2), dan tidak sesuai (diberi skor 1). Teknik analisis data menggunakan Model
Miles and Huberman. Kondisi pengasuhan Gajah Sumatera (Elephas maximus
sumatranus) di PKG Saree, Aceh Besar telah termasuk kategori sesuai (43-54) dengan
tingkat kesejahteraan di lingkungan domestikasi total skor sejumlah 44.
Kata Kunci: pengasuhan, gajah Sumatera, Pusat Konservasi Gajah (PKG)
Abstract
Information about the condition of the elephants at the Elephant Conservation
Center (PKG) Saree, Aceh Besar, related to elephant care that can affect the level of
animal welfare. This research aims to identify caregiving conditions of Sumatran Elephant
in the PKG Saree, Aceh Besar accordance with the level of animal welfare in the
environment of domestication. Study of condition of elephant care using 18 variable that
refers to the five principles of animal welfare shoppers. This data is used in applicable
data primary and secondary data. Primary data collected through triangulation:
participatory observation, structured interviews, and documentation. The data obtained is
then compiled using the Likert scale took place applies appropriate answer (score 3), lack
of appropriate (score 2), and is not appropriate (score 1). Data analysis techniques using
Model Miles and Huberman. The condition of the caregiving Sumatran Elephant (Elephas
maximus sumatranus) in PKG Saree, Aceh Besar including appropriate categories (43-54)
with the level of prosperity in an environment of domestication with a score is
44.Keywords: care, Sumatran elephant, Elephant Conservation Center (PKG)
30
Azura Novitri, dkk.: Studi Kondisi Pengasuhan Gajah…
Pendahuluan
Gajah Sumatera (Elephas maximus
sumatranus Temminck) merupakan salah
satu satwa yang dilindungi menurut
Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 1999
tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan
Satwa. Populasinya mengalami penurunan
diperkirakan sekitar 35% dari tahun 1992,
dan nilai tersebut merupakan penurunan
yang besar dalam waktu yang relatif pendek
(Soehartono dkk., 2007:4). Menangkap
gajah secara ilegal di habitat aslinya,
memelihara
tanpa
izin,
dan
memperjualbelikannya merupakan tindakan
melawan hukum. Namun, gajah yang
mengganggu
lahan
pertanian
dan
pemukiman penduduk dapat ditangkap oleh
aparat yang berwenang. Gajah hasil
tangkapan kemudian dibawa ke Pusat
Latihan Gajah (PLG), saat ini menjadi
Pusat Konservasi Gajah (PKG) yang
merupakan tempat menjinakkan gajah hasil
tangkapan (Alikodra, 1990 dalam Abdullah
dkk., 2012:42).
Kegiatan-kegiatan pengasuhan Gajah
Sumatera di PKG antara lain pemberian
pakan drop in, penggembalaan, penyediaan
air, dan perawatan medis (Nuraeni, 2010
dalam Riba’i dkk., 2012). Kelangsungan
hidup Gajah Sumatera juga tergantung pada
pengelolaan habitat yang mencakup
pengontrolan dan pengaturan terhadap
vegetasi hutan, tempat terbuka, sumbersumber air, tempat mengasin, dan tempat
istirahat (Alikodra, 2012 dalam Riba’i dkk.,
2012).
Pengasuhan
tersebut
sangat
mempengaruhi kondisi dan perkembangan
gajah yang berada di PKG.
Gajah Sumatera hasil binaan PKG
Saree, Aceh Besar saat ini berjumlah 44
individu yang selain ditempatkan pada PKG
juga disebar di beberapa lokasi sebagai
personil Conservation Response Unit
(CRU) dan pos penanggulangan konflik
(Yasin
dkk.,
2013:31-32).
Namun,
informasi perihal kematian gajah di PKG
tersebut muncul dari beberapa media. Salah
satunya
Hidayat
&
Rini
(2014)
menyebutkan bahwa berita duka datang dari
31
PKG Saree karena Agam, anak gajah yatim
piatu berumur dua tahun akhirnya mati
setelah melewati masa sakitnya akibat
cidera dislokasi tulang panggul kaki
belakang. Hal tersebut merupakan kejadian
kesekian kalinya karena pada 2013 Aceh
juga kehilangan anak gajah sumatera
bernama Raju dan Munira yang menjadi
korban konflik satwa dengan manusia.
Kejadian tersebut sangat berkaitan dengan
kondisi pengasuhan gajah di PKG Aceh
yang
juga
mempengaruhi
tingkat
kesejahteraanya, sehingga perlu dilakukan
penelitian dengan judul “Studi Kondisi
Pengasuhan Gajah Sumatera (Elephas
maximus sumatranus) di Pusat Konservasi
Gajah Saree, Aceh Besar”.
Materi Dan Metode
Subjek penelitian untuk observasi
adalah 3 individu gajah betina dan populasi
gajah PKG, 5 orang pegawai PKG (3 orang
mahout dan 2 orang dokter hewan), dan
pihak
lembaga
non
pemerintah
Veterinarians
Society
For
Wildlife
Conservation
(VESSWIC).
Teknik
penentuan 3 individu gajah berdasarkan
sampling purposive dengan penimbangan
tertentu (Sugiyono, 2013:126). Gajah-gajah
tersebut yaitu Senna yang diberi kode (A),
Butet yang diberi kode (B), dan Isabella
yang diberi kode (C) diambil karena
lokasinya yang berbeda. Subjek penelitian
sebagai narasumber wawancara yaitu
Kepala PKG.
Data
yang
digunakan
dalam
penelitian ini yaitu data primer dan data
sekunder. Data primer dikumpulkan melalui
triangulasi:
observasi
partisipatif,
wawancara terstruktur dengan pertanyaan
yang diberikan kepada narasumber yaitu
Kepala PKG baik secara langsung maupun
tidak
langsung,
dan
dokumentasi
(Sugiyono, 2013:327). Pengambilan data
observasi partisipatif menggunakan metode
focal animal sampling yaitu pengumpulan
data yang berfokus pada seekor hewan
untuk mengamati perilakunya (Crews dkk.,
2002:26).
Jurnal Biologi Edukasi Edisi 19, Volume 9 Nomor 1, Juni 2017, hal 30-38
Data sekunder yang digunakan untuk
penentuan kriteria lampiran observasi,
pertanyaan
pada
wawancara,
dan
dokumentasi tersebut mengacu pada 5
prinsip
kesejahteraan
hewan
dan
merupakan
pengembangan
kriteria
pengasuhan Gajah Sumatera (Elephas
maximus sumatranus) jinak di lingkungan
domestikasi (Meytasari dkk., 2014:83-84).
Masing-masing variabel dikelaskan ke
dalam tiga kategori: sesuai, kurang sesuai,
dan tidak sesuai bagi lingkungan
domestikasi gajah. Batas-batas nilai
kategori sesuai ditetapkan melalui studi
pustaka, sedangkan kategori kurang sesuai
disimpangkan (dinaikkan atau diturunkan)
25% dari batas-batas kategori sesuai dan
kategori tidak sesuai disimpangkan lebih
kecil dari kategori sesuai atau lebih besar
dari kategori tidak sesuai. Validasi kriteria
pengasuhan
gajah
di
lingkungan
domestikasi dilakukan oleh pemerhati gajah
dengan menggunakan metode delphi
(Syarifuddin, 2010 dalam Meytasari dkk.,
2014:81).
Data yang diperoleh dihimpun dengan
menggunakan Skala Likert yang terdiri dari
jawaban kriteria sesuai (diberi skor 3),
kurang sesuai (diberi skor 2), dan tidak
sesuai (diberi skor 1). Penentuan kategori
digunakan interval kelas dengan rumus
sebagai berikut (Yitnosumarto, 1994 dalam
Meytasari dkk., 2014:81):
I=
X −X
K
Keterangan:
I
= Interval
X1
= Nilai pengamatan tertinggi
X2
= Nilai pengamatan terendah
K
= Jumlah kategori
Skor jawaban dari data primer
kemudian dihimpun dalam Tabel Tingkat
Kesejahteraan Gajah Sumatera di PKG
Saree untuk mengetahui pengembangan
kriteria domestikasi Gajah Sumatera dan
keberhasilan pengasuhan gajah di PKG
Saree. Parameter dalam pengasuhan Gajah
Sumatera yaitu: kategori sesuai diberi skor
antara 43-54, kategori kurang sesuai diberi
skor 31-42 dan kategori tidak sesuai diberi
skor 18-30. Teknik analisis data
menggunakan Model Miles and Huberman
selama penelitian (Sugiyono, 2013:335336).
Hasil dan Pembahasan
Kategori masing-masing variabel
berdasarkan
data
dari
observasi,
wawancara, dan dokumentasi menunjukkan
tingkat kesejahteraan gajah. Tingkat
kesejahteraan Gajah Sumatera di PKG
dapat diamati pada Tabel 1. berikut.
Tabel 1. Tingkat Kesejahteraan Gajah Sumatera di PKG Saree
No.
Faktor
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
Populasi berkelompok
Home range
Makan
Minum
Naungan
Berkubang
Istirahat
Penggembalaan gajah
Pakan tambahan (suplemen)
Gajah mandi
Pemeriksaan secara medis
Pemeriksaan sampel darah
Sesuai
√
√
√
√
√
√
Kategori
Kurang Sesuai
√
√
√
-
Tidak Sesuai
√
√
√
-
Skor
1
1
3
3
2
2
2
1
3
3
3
3
32
Azura Novitri, dkk.: Studi Kondisi Pengasuhan Gajah…
No.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
Faktor
Perawatan gajah sakit
Perawatan gajah birahi
Bebas dari rasa takut dan
tertekan
Penanganan gajah betina
bunting
Perawatan anak gajah
Peralatan mahout
Sesuai
√
√
Kategori
Kurang Sesuai
-
Tidak Sesuai
-
-
√
-
2
√
-
-
3
-
-
3
3
44
√
√
Total Skor
Skor
3
3
Ket: √ = ada
- = tidak ada
Kategori-kategori pada Tabel 1.
menunjukkan skor tertentu: sesuai sama
dengan 3, kurang sesuai sama dengan 2,
dan tidak sesuai sama dengan 1. Hasil
Tabel 1. secara umum menunjukkan bahwa:
variabel makan, minum, gajah mandi,
pemeriksaan medis, peralatan mahout,
pemberian pakan tambahan (suplemen),
pemeriksaan sampel darah, perawatan gajah
sakit, perawatan gajah birahi, penanganan
gajah bunting, perawatan anak gajah
termasuk
kategori
sesuai.
Variabel
naungan, berkubang, istirahat, dan bebas
dari rasa takut dan tertekan termasuk ke
dalam kategori kurang sesuai, sedangkan
variabel populasi berkelompok, home
range, dan penggembalaan gajah termasuk
ke dalam kategori tidak sesuai. Total skor
sejumlah 44 menunjukkan bahwa parameter
dalam pengasuhan Gajah Sumatera di PKG
termasuk ke dalam kategori sesuai (43-54).
Gajah Sumatera yang berada di PKG
berjumlah
10
individu.
Walaupun
jumlahnya 10 individu, tetapi penempatan
satwa tersebut di lokasi yang berbeda
karena pakan yang tersedia di PKG
terbatas. Jika diadakan kegiatan tertentu
maka gajah dikumpulkan di lokasi yang
sama sebagaimana hasil penelitian saat
pemeriksaan kesehatan satwa tersebut
terdapat
populasi
yang didalamnya
berjumlah 5 individu. Menurut Sukumar
(2006:3) ukuran kelompok di gajah liar
biasanya berkisar 5-20 individu dan
mungkin bervariasi tergantung musim.
33
Jumlah tersebut sama dengan jumlah
minimal hingga 2 kali lipat dari total gajah
di PKG, kriteria populasi berkelompok
tergolong kategori tidak sesuai.
Gajah yang diasuh oleh pihak PKG
setiap saatnya dalam keadaan berantai yang
diikat kuat pada penyangga dalam tanah
atau di pohon. Rantai tersebut memiliki
panjang 50 m. Luas area optimum yang
dapat disisir oleh gajah saat diikat
berdasarkan rumus luas lingkaran (��� =
� ) adalah 7850 m2 atau 0,00785= 0,008
km2. Kegiatan harian yang dilakukan oleh
mahout
seperti
memindah,
menggembalakan, dan memandikan gajah
dapat membuat area home range bertambah
dari 0,008-3 km2. Menurut Aini et al.
(2015:2-4) pada tingkat estimasi gerakan
yang dihitung berdasarkan data lokasi yang
tersedia yang dikumpulkan dan waktu yang
dibutuhkan antara lokasi tersebut, rata-rata
jarak yang ditempuh 2 gajah betina yang
diteliti di Malaysia yaitu di Terengganu
National Park (TNP) sekitar 1,7-11,8
km2/hari dan di Northern Johor sekitar 2,2192,3
km2/hari.
Penelitian
tersebut
menunjukkan bahwa luas area yang
ditempuh oleh gajah-gajah di PKG
meskipun termasuk kategori tidak sesuai
sesuai, tetapi sudah termasuk ke dalam
jarak rata-rata yang ditempuh oleh gajah di
alam bebas.
Gajah yang berada di hutan PKG
mengonsumsi pakan yang telah disediakan
berupa pelepah kelapa pada pagi dan sore
Jurnal Biologi Edukasi Edisi 19, Volume 9 Nomor 1, Juni 2017, hal 30-38
hari. Total jumlah pelepah kelapa tersebut
adalah 50 tangkai. Pelepah kelapa
umumnya memiliki massa sekitar 6-15 kg
(Aden, 2011). Jika dihitung maka seluruh
massa minimal pakan yang dikonsumsi
sehari sekitar 300 kg, tetapi sebagian dari
pakan tersebut masih meninggalkan sisa.
Jika gajah diikat di hutan yang menempati
wilayah Tahura, pakan yang dikonsumsi
lebih bervariasi. Hal itu membuat gajah
dapat makan sebanyak yang dibutuhkan.
Aktivitas gajah makan termasuk ke dalam
kategori sesuai. Menurut Djufri (2003:123)
jumlah spesies makanan alami gajah yang
ditemukan pada hutan sekunder 69 spesies
dan di hutan primer sebanyak 51 spesies,
sehingga regenerasi makanan alami gajah di
Tahura Pocut Meurah Intan Seulawah
masih baik karena terjadi penggembalaan
(grazing) yang dilakukan gajah secara
berkala.
Gajah meminum air sebanyak yang
diinginkan. Jika gajah yang berada di hutan
PKG biasanya minum sebelum atau saat
satwa tersebut mandi baik saat pagi atau
sore hari yang terdapat dalam suatu bak.
PKG juga menyediakan kubangan yang jika
musim hujan maka didalamnya terdapat air
yang dapat digunakan untuk minum.
Biasanya gajah minum dengan bantuan
belalai yang kemudian disemprotkan ke
dalam mulutnya. Hasil pengamatan
menunjukkan gajah mengisap air sebanyak
20 kali. Menurut Shoshani dan Eisenberg
(1982 dalam Mahanani, 2012:17-18) gajah
mampu mengisap mencapai 9 liter air
dalam satu kali isap. Total volume air yang
diminum gajah adalah 180 liter, sedangkan
gajah yang berada di hutan luar PKG
minum dengan mulutnya saat berendam di
sungai kecuali saat berada di sungai yang
dangkal. Gajah minum air termasuk ke
dalam kategori sesuai.
Lokasi naungan gajah baik yang
berada di hutan dalam maupun luar PKG
termasuk ke dalam kategori kurang sesuai,
karena lokasi tersebut berupa hutan
sekunder. Menurut Sitompul et al.
(2013:677) Gajah Sumatera menggunakan
berbagai jenis hutan, mulai dari lahan
kanopi terbuka, menengah hingga tertutup.
Kanopi terbuka dan menengah adalah
habitat paling penting untuk makan,
sedangkan kanopi hutan tertutup yang
paling penting untuk termoregulasi gajah.
Distribusi gajah juga dipengaruhi oleh
aktivitas lain seperti ketika hutan yang
digantikan oleh pertanian maka dapat
menimbulkan konflik gajah manusia.
Salah satu cara gajah membuat kulit
lembab adalah dengan berenang dan
berkubang di lumpur. Keriput kulit gajah
meningkatkan retensi air; celah-celah kecil
seperti kapiler sehingga meningkatkan
distribusi air melalui kulit
(Hidden,
2009:25). Gajah yang berada di hutan luar
PKG dan lokasinya dekat dengan sungai
dapat berkubang pada pagi atau sore hari
saat mandi dan minum air, tetapi ada pula
gajah di hutan luar PKG yang jarang
berkubang karena ketersediaan air dan luas
kubangannya yang terbatas. Gajah yang
berada di PKG dapat berkubang terutama di
musim hujan. Aktivitas berkubang gajah
termasuk ke dalam kategori kurang sesuai.
Gajah yang berada di hutan dalam
dan luar PKG istirahat satu kali sehari.
Istirahat tersebut dilakukan pada malam
hari dan tidak lama, sehingga termasuk ke
dalam
kategori
kurang
sesuai.
Kemungkinan gajah tidak istirahat pada
siang hari karena terganggu dengan suara
aktivitas manusia sekitarnya. Menurut
Somgird et al. (Tanpa Tahun:1) gajah tidak
tidur di siang hari, kecuali yang masih bayi.
Biasanya gajah tidur saat tengah malam.
Informasi tersebut mendukung data gajah
PKG.
Gajah harus digembalakan (mahout
berada di atas gajah) pada tempat dengan
ketersediaan pakan yang baik minimal
selama 2 jam setelah satwa tersebut mandi
(Syamsuardi dkk., 2010:32). Mahout PKG
menggembalakan gajah selama 1-3 jam saat
pagi atau sore hari sebelum maupun setelah
gajah dimandikan dan diberi minum.
Frekuensi gajah mandi termasuk ke dalam
kategori tidak sesuai.
34
Azura Novitri, dkk.: Stui Kondisi Pengasuhan Gajah…
PKG Saree menyediakan suplemen
yang biasanya diberikan 2 kali dalam 2
minggu. Suplemen tambahan untuk gajah
termasuk ke dalam kategori sesuai.
Menurut Kerala Agricultural University
(2009:66) gajah yang diberi daun-daun
palem kekurangan fosfor sehingga harus
dilengkapi dengan 30-60 g/hari untuk
hewan muda dan dewasa.
Kebutuhan
kalsium untuk pertumbuhan gading 8-9
g/hari dan menyusui 60 g/hari. Gajah
memiliki afinitas tinggi terhadap air dan
tanah yang kaya natrium.
Gajah PKG mandi satu kali sehari
baik pada pagi ataupun sore hari. Hal
tersebut termasuk ke dalam kategori sesuai.
Gajah yang berada di hutan PKG
dimandikan dengan menggunakan air di
bak yang tersedia, sedangkan gajah yang
berada di hutan luar PKG yang memiliki
sungai yang airnya dalam, maka satwa
tersebut dimandikan pada lokasi tersebut.
Sedikit berbeda menurut Tilakaratne &
Santiapillai (2002:46) gajah mandi dua kali
sehari, saat pagi dan sore hari. Saat
dimandikan gajah seharusnya dibuat
berbaring di dalam air dengan posisi lateral,
dan
harus
digosok
keras
untuk
menghilangkan kotoran dari lipatan kulit.
Menggosok baik, meningkatkan kesehatan
kulit dengan meningkatkan sirkulasi darah,
menjaganya agar tetap terhindar dari
ektoparasit dan jamur (Krishnamurthy,
1992:8).
Pemeriksaan medis gajah-gajah PKG
bekerja sama dengan VESSWIC setiap 3
bulan sekali karena satwa tersebut dapat
menderita penyakit seperti cacingan,
tetanus, dan abses. Pemeriksaan gajah
termasuk ke dalam kategori sesuai.
Menurut Phuangkum et al. (2005:59)
perawatan medis sangat penting, bahkan
mahouts harus memiliki kemampuan dasar
medis seperti mengobati luka-luka ringan
gajah.
Tubuh
organisme
yang
sehat
memiliki suplai darah yang normal. Jika
hewan tidak sehat, darah dapat dianalisis
untuk menentukan potensi penyebab
35
penyakit (Parr, 2012:2-3). Pemeriksaan
sampel darah salah satunya bertujuan untuk
mengecek kesehatan gajah, di PKG Saree
biasanya dilakukan 2 kali dalam setahun
kecuali ketika gajah sedang sakit dan perlu
pengambilan sampel darah. Kegiatan
tersebut termasuk ke dalam kategori sesuai.
Jika gajah sakit di PKG Saree akan
ditempatkan ke lokasi khusus, segala
tindakan untuk satwa tersebut dan obatobatan hanya dengan izin dokter, dan
penanganan darurat khusus secara cepat.
Hal tersebut termasuk ke dalam kategori
sesuai. Menurut Phuangkum et al.
(2005:68) hanya seorang dokter hewan
yang dapat menyelidiki, menganalisis, dan
menentukan penyebabnya, tetapi Mahout
yang bersama gajah sepanjang waktu juga
harus membantu dokter hewan dalam
mendiagnosa penyakit satwa tersebut.
Jika terdapat gajah birahi maka
dilakukan pengasingan terhadapnya, tidak
diberikan suplemen, dikurangi porsi makan,
didekatkan dengan sumber air dan tempat
yang teduh, dipanggil nama sebelum
mendekatinya agar tidak terkejut, tidak
memindahkannya sebelum diketahui reaksi
terhadap mahout, dan tidak membuka rantai
gajah. Penanganan tersebut termasuk ke
dalam kategori sesuai. Menurut Phuangkum
et al. (2005:25) musth adalah gejala
fisiologis setiap gajah jantan yang sehat
usia 18 tahun ke atas. Kebanyakan gajah
mengalami pergeseran perilaku dan
menjadi keras kepala, berbahaya, dan
agresif untuk jangka waktu satu sampai
empat bulan. Cairan musth yang mengalir
memiliki bau busuk dan memiliki warna
abu-abu abu-abu atau gelap.
Beberapa gajah PKG kadang-kadang
terlihat mondar-mandir dan gelisah. Hal itu
menunjukkan gejala stres, sehingga
termasuk ke dalam kategori kurang sesuai.
Menurut Syamsuardi dkk. (2010:35)
pelatihan gajah di lingkungan domestikasi
harus merupakan pengalaman yang
menyenangkan. Metode pelatihan yang
buruk dapat mengakibatkan gajah merasa
tertekan
perasaan
dan
fisiknya,
Jurnal Biologi Edukasi Edisi 19, Volume 9 Nomor 1, Juni 2017, hal 30-38
membuatnya grogi, bingung, agresif, dan
pelatihannya bahkan tidak berhasil.
Saat penelitian di PKG tidak terdapat
gajah bunting, karena hewan-satwa tersebut
jarang dikumpulkan di lokasi yang sama
sehingga membuat jarang terjadinya
interaksi secara langsung antara sesamanya.
Gajah liar juga jarang mendekati lokasi
gajah PKG. Menurut Phuangkum et al.
(2005:40) gajah betina mulai estrus sejak 9
tahun dan berlangsung selama 16 minggu
atau 4 bulan. Gajah betina mampu
berkembang biak menjadi bunting selama 3
kali setahun
Jika ada anak gajah yang baru lahir di
PKG juga tidak dipisahkan dari induknya,
dikontrol
keselamatannya,
dilakukan
latihan formal tingkah laku secara
berkelanjutan antara umur 3 bulan sampai 2
tahun, digunakan tali pengendali yang besar
dan lembut untuk mengurangi lecet,
penyapihan sampai minimal 2 tahun. Hal
itu menunjukkan kategori sesuai. Menurut
Phuangkum et al.. (2005:46) anak gajah
harus bersama induk betina selama tiga
tahun sebelum menjalani pelatihan karena
kebanyakan waktu
induknya untuk
menyusuinya sendiri. Anak gajah akan
mulai makan makanan seperti pisang dan
rumput dari tiga sampai enam bulan.
Mengendalikan gajah tergantung pada
tiga faktor yang saling berhubungan, yaitu:
tingkat pelatihan mahout, peralatan yang
digunakan, dan cara terbaik untuk
menggunakan alat-alat. Kelemahan dalam
bidang ini mungkin akan mempengaruhi
keselamatan
dan
kesehatan
gajah
(Phuangkum et al., 2005:25). Peralatan
yang dimiliki mahout PKG berupa: gancu,
sepatu, topi, baju seragam, tas ransel,
parang, matras, botol air minum, dan jas
hujanPeralatan mahout PKG termasuk ke
dalam kategori sesuai.
Kesimpulan
Kondisi
pengasuhan
Gajah
Sumatera (Elephas maximus sumatranus) di
PKG Saree, Aceh Besar telah termasuk
kategori sesuai (total skor 44) dengan
tingkat kesejahteraan
domestikasi.
di
lingkungan
Daftar Pustaka
Abdullah., Asiah., & Japisa, T. 2012.
Karakteristik
Habitat
Gajah
Sumatera
(Elephas
Maximus
Sumatranus) di Kawasan Ekosistem
Seulawah Kabupaten Aceh Besar.
Jurnal Ilmiah Pendidikan Biologi,
IV (1): 41-45.
Aden, M. 2011. “Morfologi Tanaman
Kelapa (Cocos nucifera )”, (Online),
(http://juragankalapa.blogspot.co.id/
., diakses pada 25 Juli 2016).
Aini, S., Patah, N.A., Sood, A.M., &
Saaban, S. 2015. “A Study on the
Home Range and Habitat Utilization
of a Translocated Elephant Using
Remote Sensing and Gis”, (Online),
(http://www.a-a-r-s.org/.,
diakses
pada 24 Juli 2016).
Bambang, N. 2012. Pedoman Etika dan
Kesejahteraan Satwa di Lembaga
Konservasi. Jakarta: Kementrian
Kehutanan.
Crews, J., Braude, S., Stephenson., & C.,
Clardy. The Ethogram and Animal
Behavior Research. Washington:
University Science Outtreach.
Djufri. 2003. Pemantauan Makanan Alami
Gajah Sumatera (Elephas maximus
sumatraensis) di Taman Hutan Raya
Cut Nya’ Dhien Seulawah, Aceh
Besar. Biodiversitas, IV (1): 118123.
Hidayat, F., & Rini, C. 2014. “Agam, Anak
Yatim Piatu itu Telah Pergi”,
(Online),
(http://www.mongabay.co.id/.,
diakses pada 4 Februari 2016).
Hidden, P.A. 2009. Thermoregulation in
African
Elephants
(Loxodonta
africana ),
Dissertation.
Johannesburg: the Faculty of
Science
University
of
Witwatersrand.
36
Azura Novitri, dkk.: Stui Kondisi Pengasuhan Gajah…
Kerala
Agricultural University. 2009.
Healthcare
Management
of
Captive Asian Elephants. India.
Krishnamurthy,
V.
1992.
Recommendations for Improving
the Management of Captive
Elephants in Way Kambas National
Park Lampung, Sumatra, Indonesia.
Gajah, IX: 4-13.
Mahanani, A.I. 2012. Strategi Konservasi
Gajah Sumatera (Elephas maximus
sumatranus Temminck) di Suaka
Marga satwa Padang Sugihan
Provinsi
Sumatera
Selatan
Berdasarkan Daya Dukung Habitat,
Tesis.
Semarang:
PPS
Ilmu
Lingkungan
Universitas
Diponegoro.
Meytasari, P., Bakri, S., & Herwanti, S.
2014.
Penyusunan
Kriteria
Domestikasi dan Evaluasi Praktek
Pengasuhan Gajah: Studi di Taman
Nasional Way Kambas Kabupaten
Lampung Timur. Jurnal Sylva
Lestari, II (2): 79-88.
Parr, C. 2012. Blood Supply and Analysis.
Urbana-Champaign:
University of Illinois
Phuangkum,
P.,
Lair,
R.C.,
&
Angkawanith, T. 2005. Elephant
Care Manual for Mahouts and
Camp Managers. Bangkok: FAO &
FIO.
Rao, V.N.A. Tanpa Tahun. “Care and
Managements of Elephants in
temples”,
(Online),
(http://www.awbi.org/.,
diakses
pada 30 Juli 2016).
Riba’i., Setiawan, A., & Darmawan, A.
2012. “Perilaku Menggaram Gajah
Sumatera
(Elephas
maximus
sumatranus) di Pusat Konservasi
Gajah Taman Nasional Way
Kambas”,
(Online),
(download.portalgaruda.org/article.,
diakses pada 24 Juli 2016).
Shoshani, J. & Eisenberg, J.F. 1982.
Mammalian
Species
Elephas
37
maximus. the American Socioty of
Mammalogist, CLXXXII: 1-8.
Sitompul, A.F., Griffin, C.R., Rayl, N.D., &
Fuller, T.K. 2013. Spatial and
Temporal Habitat Use of an Asian
Elephant in Sumatra. Animals, III:
670-679.
Dissertation.
Johannesburg: the faculty of Science
University of Witwatersrand.
Soehartono, T., Susilo, H.D. Sitompul,
A.F., Gunaryadi, D., Purastuti,
E.M., Azmi, W., Fadhli, N., &
Stremme, C. 2007. Strategi dan
Rencana Aksi Konservasi Gajah
Sumatera dan Gajah Kalimantan
2007-2017.
Jakarta: Direktorat
Jenderal Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam.
Somgird, C., Sutthipat, T., & Wongkalasin,
W. Tanpa Tahun. General Health
Care in Captive Asian Elephant.
Thailand: Elephant Research and
Education Center “Elephant Health
Care”.
Sugiyono. 2013. Metode Penelitian
Kombinasi
(Mixed
Method).
Bandung: Alfabeta.
Sukumar, R. 2006. A Brief Review of the
Status, Distribution and Biology of
Wild Asian elephants (Elephas
maximus). Int. Zoo Yb, XL: 1-8.
Syamsuardi, Sukmantoro, W., Muslino,
Nukman, Fadhli, N., Purwoko, A.,
Riyadin, Heri, E., & Prawoto, J.
2010.
Prosedur
Operasional
Standar untuk Elephant Flying
Squad (Pasukan Gajah Reaksi
Cepat) dalam Mitigasi Konflik
Manusia dan Gajah. Pekanbaru:
Tim kerja SOP Flying Squad
Tilakaratne, N. & Charles, S. 2002. The
Status of Domesticated Elephants at
the Pinnawala Elephant Orphanage,
Sri Lanka. Gujah, XXI: 41-52.
Yasin, A., Pramundari, Y., Satria, D.B.,
Mulyaningsih, A. Irmayuni., &
Mailida, I. 2013. Buku Informasi
Konservasi Alam. Banda Aceh:
Kementrian Kehutanan-Direktorat
Jurnal Biologi Edukasi Edisi 19, Volume 9 Nomor 1, Juni 2017, hal 30-38
Jenderal Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam.
38
Studi Kondisi Pengasuhan Gajah Sumatera (Elephas Maximus Sumatranus ) di Pusat
Konservasi Gajah Saree, Aceh Besar
A Study of Elephant Care Condition (Elephas Maximus Sumatranus) at Saree Elephant
Conservation Center, Aceh Besar
Azura Novitri, Abdullah, Mimie Saputri
Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu PendidikanUniversitas Syiah Kuala
[email protected]
Abstrak
Informasi tentang kondisi gajah di Pusat Konservasi Gajah (PKG) Saree, Aceh
berkaitan dengan pengasuhan yang dapat mempengaruhi tingkat kesejahteraan satwa
tersebut. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi kondisi pengasuhan Gajah Sumatera di
PKG Saree, Aceh Besar sesuai dengan tingkat kesejahteraan hewan di lingkungan
domestikasi. Studi kondisi pengasuhan gajah dalam penelitian ini menggunakan 18
variabel yang mengacu pada lima prinsip kesejahteraan hewan. Data yang digunakan yaitu
data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui triangulasi: observasi
partisipatif, wawancara terstruktur, dan dokumentasi. Data yang diperoleh kemudian
dihimpun menggunakan skala Likert yaitu jawaban sesuai (diberi skor 3), kurang sesuai
(diberi skor 2), dan tidak sesuai (diberi skor 1). Teknik analisis data menggunakan Model
Miles and Huberman. Kondisi pengasuhan Gajah Sumatera (Elephas maximus
sumatranus) di PKG Saree, Aceh Besar telah termasuk kategori sesuai (43-54) dengan
tingkat kesejahteraan di lingkungan domestikasi total skor sejumlah 44.
Kata Kunci: pengasuhan, gajah Sumatera, Pusat Konservasi Gajah (PKG)
Abstract
Information about the condition of the elephants at the Elephant Conservation
Center (PKG) Saree, Aceh Besar, related to elephant care that can affect the level of
animal welfare. This research aims to identify caregiving conditions of Sumatran Elephant
in the PKG Saree, Aceh Besar accordance with the level of animal welfare in the
environment of domestication. Study of condition of elephant care using 18 variable that
refers to the five principles of animal welfare shoppers. This data is used in applicable
data primary and secondary data. Primary data collected through triangulation:
participatory observation, structured interviews, and documentation. The data obtained is
then compiled using the Likert scale took place applies appropriate answer (score 3), lack
of appropriate (score 2), and is not appropriate (score 1). Data analysis techniques using
Model Miles and Huberman. The condition of the caregiving Sumatran Elephant (Elephas
maximus sumatranus) in PKG Saree, Aceh Besar including appropriate categories (43-54)
with the level of prosperity in an environment of domestication with a score is
44.Keywords: care, Sumatran elephant, Elephant Conservation Center (PKG)
30
Azura Novitri, dkk.: Studi Kondisi Pengasuhan Gajah…
Pendahuluan
Gajah Sumatera (Elephas maximus
sumatranus Temminck) merupakan salah
satu satwa yang dilindungi menurut
Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 1999
tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan
Satwa. Populasinya mengalami penurunan
diperkirakan sekitar 35% dari tahun 1992,
dan nilai tersebut merupakan penurunan
yang besar dalam waktu yang relatif pendek
(Soehartono dkk., 2007:4). Menangkap
gajah secara ilegal di habitat aslinya,
memelihara
tanpa
izin,
dan
memperjualbelikannya merupakan tindakan
melawan hukum. Namun, gajah yang
mengganggu
lahan
pertanian
dan
pemukiman penduduk dapat ditangkap oleh
aparat yang berwenang. Gajah hasil
tangkapan kemudian dibawa ke Pusat
Latihan Gajah (PLG), saat ini menjadi
Pusat Konservasi Gajah (PKG) yang
merupakan tempat menjinakkan gajah hasil
tangkapan (Alikodra, 1990 dalam Abdullah
dkk., 2012:42).
Kegiatan-kegiatan pengasuhan Gajah
Sumatera di PKG antara lain pemberian
pakan drop in, penggembalaan, penyediaan
air, dan perawatan medis (Nuraeni, 2010
dalam Riba’i dkk., 2012). Kelangsungan
hidup Gajah Sumatera juga tergantung pada
pengelolaan habitat yang mencakup
pengontrolan dan pengaturan terhadap
vegetasi hutan, tempat terbuka, sumbersumber air, tempat mengasin, dan tempat
istirahat (Alikodra, 2012 dalam Riba’i dkk.,
2012).
Pengasuhan
tersebut
sangat
mempengaruhi kondisi dan perkembangan
gajah yang berada di PKG.
Gajah Sumatera hasil binaan PKG
Saree, Aceh Besar saat ini berjumlah 44
individu yang selain ditempatkan pada PKG
juga disebar di beberapa lokasi sebagai
personil Conservation Response Unit
(CRU) dan pos penanggulangan konflik
(Yasin
dkk.,
2013:31-32).
Namun,
informasi perihal kematian gajah di PKG
tersebut muncul dari beberapa media. Salah
satunya
Hidayat
&
Rini
(2014)
menyebutkan bahwa berita duka datang dari
31
PKG Saree karena Agam, anak gajah yatim
piatu berumur dua tahun akhirnya mati
setelah melewati masa sakitnya akibat
cidera dislokasi tulang panggul kaki
belakang. Hal tersebut merupakan kejadian
kesekian kalinya karena pada 2013 Aceh
juga kehilangan anak gajah sumatera
bernama Raju dan Munira yang menjadi
korban konflik satwa dengan manusia.
Kejadian tersebut sangat berkaitan dengan
kondisi pengasuhan gajah di PKG Aceh
yang
juga
mempengaruhi
tingkat
kesejahteraanya, sehingga perlu dilakukan
penelitian dengan judul “Studi Kondisi
Pengasuhan Gajah Sumatera (Elephas
maximus sumatranus) di Pusat Konservasi
Gajah Saree, Aceh Besar”.
Materi Dan Metode
Subjek penelitian untuk observasi
adalah 3 individu gajah betina dan populasi
gajah PKG, 5 orang pegawai PKG (3 orang
mahout dan 2 orang dokter hewan), dan
pihak
lembaga
non
pemerintah
Veterinarians
Society
For
Wildlife
Conservation
(VESSWIC).
Teknik
penentuan 3 individu gajah berdasarkan
sampling purposive dengan penimbangan
tertentu (Sugiyono, 2013:126). Gajah-gajah
tersebut yaitu Senna yang diberi kode (A),
Butet yang diberi kode (B), dan Isabella
yang diberi kode (C) diambil karena
lokasinya yang berbeda. Subjek penelitian
sebagai narasumber wawancara yaitu
Kepala PKG.
Data
yang
digunakan
dalam
penelitian ini yaitu data primer dan data
sekunder. Data primer dikumpulkan melalui
triangulasi:
observasi
partisipatif,
wawancara terstruktur dengan pertanyaan
yang diberikan kepada narasumber yaitu
Kepala PKG baik secara langsung maupun
tidak
langsung,
dan
dokumentasi
(Sugiyono, 2013:327). Pengambilan data
observasi partisipatif menggunakan metode
focal animal sampling yaitu pengumpulan
data yang berfokus pada seekor hewan
untuk mengamati perilakunya (Crews dkk.,
2002:26).
Jurnal Biologi Edukasi Edisi 19, Volume 9 Nomor 1, Juni 2017, hal 30-38
Data sekunder yang digunakan untuk
penentuan kriteria lampiran observasi,
pertanyaan
pada
wawancara,
dan
dokumentasi tersebut mengacu pada 5
prinsip
kesejahteraan
hewan
dan
merupakan
pengembangan
kriteria
pengasuhan Gajah Sumatera (Elephas
maximus sumatranus) jinak di lingkungan
domestikasi (Meytasari dkk., 2014:83-84).
Masing-masing variabel dikelaskan ke
dalam tiga kategori: sesuai, kurang sesuai,
dan tidak sesuai bagi lingkungan
domestikasi gajah. Batas-batas nilai
kategori sesuai ditetapkan melalui studi
pustaka, sedangkan kategori kurang sesuai
disimpangkan (dinaikkan atau diturunkan)
25% dari batas-batas kategori sesuai dan
kategori tidak sesuai disimpangkan lebih
kecil dari kategori sesuai atau lebih besar
dari kategori tidak sesuai. Validasi kriteria
pengasuhan
gajah
di
lingkungan
domestikasi dilakukan oleh pemerhati gajah
dengan menggunakan metode delphi
(Syarifuddin, 2010 dalam Meytasari dkk.,
2014:81).
Data yang diperoleh dihimpun dengan
menggunakan Skala Likert yang terdiri dari
jawaban kriteria sesuai (diberi skor 3),
kurang sesuai (diberi skor 2), dan tidak
sesuai (diberi skor 1). Penentuan kategori
digunakan interval kelas dengan rumus
sebagai berikut (Yitnosumarto, 1994 dalam
Meytasari dkk., 2014:81):
I=
X −X
K
Keterangan:
I
= Interval
X1
= Nilai pengamatan tertinggi
X2
= Nilai pengamatan terendah
K
= Jumlah kategori
Skor jawaban dari data primer
kemudian dihimpun dalam Tabel Tingkat
Kesejahteraan Gajah Sumatera di PKG
Saree untuk mengetahui pengembangan
kriteria domestikasi Gajah Sumatera dan
keberhasilan pengasuhan gajah di PKG
Saree. Parameter dalam pengasuhan Gajah
Sumatera yaitu: kategori sesuai diberi skor
antara 43-54, kategori kurang sesuai diberi
skor 31-42 dan kategori tidak sesuai diberi
skor 18-30. Teknik analisis data
menggunakan Model Miles and Huberman
selama penelitian (Sugiyono, 2013:335336).
Hasil dan Pembahasan
Kategori masing-masing variabel
berdasarkan
data
dari
observasi,
wawancara, dan dokumentasi menunjukkan
tingkat kesejahteraan gajah. Tingkat
kesejahteraan Gajah Sumatera di PKG
dapat diamati pada Tabel 1. berikut.
Tabel 1. Tingkat Kesejahteraan Gajah Sumatera di PKG Saree
No.
Faktor
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
Populasi berkelompok
Home range
Makan
Minum
Naungan
Berkubang
Istirahat
Penggembalaan gajah
Pakan tambahan (suplemen)
Gajah mandi
Pemeriksaan secara medis
Pemeriksaan sampel darah
Sesuai
√
√
√
√
√
√
Kategori
Kurang Sesuai
√
√
√
-
Tidak Sesuai
√
√
√
-
Skor
1
1
3
3
2
2
2
1
3
3
3
3
32
Azura Novitri, dkk.: Studi Kondisi Pengasuhan Gajah…
No.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
Faktor
Perawatan gajah sakit
Perawatan gajah birahi
Bebas dari rasa takut dan
tertekan
Penanganan gajah betina
bunting
Perawatan anak gajah
Peralatan mahout
Sesuai
√
√
Kategori
Kurang Sesuai
-
Tidak Sesuai
-
-
√
-
2
√
-
-
3
-
-
3
3
44
√
√
Total Skor
Skor
3
3
Ket: √ = ada
- = tidak ada
Kategori-kategori pada Tabel 1.
menunjukkan skor tertentu: sesuai sama
dengan 3, kurang sesuai sama dengan 2,
dan tidak sesuai sama dengan 1. Hasil
Tabel 1. secara umum menunjukkan bahwa:
variabel makan, minum, gajah mandi,
pemeriksaan medis, peralatan mahout,
pemberian pakan tambahan (suplemen),
pemeriksaan sampel darah, perawatan gajah
sakit, perawatan gajah birahi, penanganan
gajah bunting, perawatan anak gajah
termasuk
kategori
sesuai.
Variabel
naungan, berkubang, istirahat, dan bebas
dari rasa takut dan tertekan termasuk ke
dalam kategori kurang sesuai, sedangkan
variabel populasi berkelompok, home
range, dan penggembalaan gajah termasuk
ke dalam kategori tidak sesuai. Total skor
sejumlah 44 menunjukkan bahwa parameter
dalam pengasuhan Gajah Sumatera di PKG
termasuk ke dalam kategori sesuai (43-54).
Gajah Sumatera yang berada di PKG
berjumlah
10
individu.
Walaupun
jumlahnya 10 individu, tetapi penempatan
satwa tersebut di lokasi yang berbeda
karena pakan yang tersedia di PKG
terbatas. Jika diadakan kegiatan tertentu
maka gajah dikumpulkan di lokasi yang
sama sebagaimana hasil penelitian saat
pemeriksaan kesehatan satwa tersebut
terdapat
populasi
yang didalamnya
berjumlah 5 individu. Menurut Sukumar
(2006:3) ukuran kelompok di gajah liar
biasanya berkisar 5-20 individu dan
mungkin bervariasi tergantung musim.
33
Jumlah tersebut sama dengan jumlah
minimal hingga 2 kali lipat dari total gajah
di PKG, kriteria populasi berkelompok
tergolong kategori tidak sesuai.
Gajah yang diasuh oleh pihak PKG
setiap saatnya dalam keadaan berantai yang
diikat kuat pada penyangga dalam tanah
atau di pohon. Rantai tersebut memiliki
panjang 50 m. Luas area optimum yang
dapat disisir oleh gajah saat diikat
berdasarkan rumus luas lingkaran (��� =
� ) adalah 7850 m2 atau 0,00785= 0,008
km2. Kegiatan harian yang dilakukan oleh
mahout
seperti
memindah,
menggembalakan, dan memandikan gajah
dapat membuat area home range bertambah
dari 0,008-3 km2. Menurut Aini et al.
(2015:2-4) pada tingkat estimasi gerakan
yang dihitung berdasarkan data lokasi yang
tersedia yang dikumpulkan dan waktu yang
dibutuhkan antara lokasi tersebut, rata-rata
jarak yang ditempuh 2 gajah betina yang
diteliti di Malaysia yaitu di Terengganu
National Park (TNP) sekitar 1,7-11,8
km2/hari dan di Northern Johor sekitar 2,2192,3
km2/hari.
Penelitian
tersebut
menunjukkan bahwa luas area yang
ditempuh oleh gajah-gajah di PKG
meskipun termasuk kategori tidak sesuai
sesuai, tetapi sudah termasuk ke dalam
jarak rata-rata yang ditempuh oleh gajah di
alam bebas.
Gajah yang berada di hutan PKG
mengonsumsi pakan yang telah disediakan
berupa pelepah kelapa pada pagi dan sore
Jurnal Biologi Edukasi Edisi 19, Volume 9 Nomor 1, Juni 2017, hal 30-38
hari. Total jumlah pelepah kelapa tersebut
adalah 50 tangkai. Pelepah kelapa
umumnya memiliki massa sekitar 6-15 kg
(Aden, 2011). Jika dihitung maka seluruh
massa minimal pakan yang dikonsumsi
sehari sekitar 300 kg, tetapi sebagian dari
pakan tersebut masih meninggalkan sisa.
Jika gajah diikat di hutan yang menempati
wilayah Tahura, pakan yang dikonsumsi
lebih bervariasi. Hal itu membuat gajah
dapat makan sebanyak yang dibutuhkan.
Aktivitas gajah makan termasuk ke dalam
kategori sesuai. Menurut Djufri (2003:123)
jumlah spesies makanan alami gajah yang
ditemukan pada hutan sekunder 69 spesies
dan di hutan primer sebanyak 51 spesies,
sehingga regenerasi makanan alami gajah di
Tahura Pocut Meurah Intan Seulawah
masih baik karena terjadi penggembalaan
(grazing) yang dilakukan gajah secara
berkala.
Gajah meminum air sebanyak yang
diinginkan. Jika gajah yang berada di hutan
PKG biasanya minum sebelum atau saat
satwa tersebut mandi baik saat pagi atau
sore hari yang terdapat dalam suatu bak.
PKG juga menyediakan kubangan yang jika
musim hujan maka didalamnya terdapat air
yang dapat digunakan untuk minum.
Biasanya gajah minum dengan bantuan
belalai yang kemudian disemprotkan ke
dalam mulutnya. Hasil pengamatan
menunjukkan gajah mengisap air sebanyak
20 kali. Menurut Shoshani dan Eisenberg
(1982 dalam Mahanani, 2012:17-18) gajah
mampu mengisap mencapai 9 liter air
dalam satu kali isap. Total volume air yang
diminum gajah adalah 180 liter, sedangkan
gajah yang berada di hutan luar PKG
minum dengan mulutnya saat berendam di
sungai kecuali saat berada di sungai yang
dangkal. Gajah minum air termasuk ke
dalam kategori sesuai.
Lokasi naungan gajah baik yang
berada di hutan dalam maupun luar PKG
termasuk ke dalam kategori kurang sesuai,
karena lokasi tersebut berupa hutan
sekunder. Menurut Sitompul et al.
(2013:677) Gajah Sumatera menggunakan
berbagai jenis hutan, mulai dari lahan
kanopi terbuka, menengah hingga tertutup.
Kanopi terbuka dan menengah adalah
habitat paling penting untuk makan,
sedangkan kanopi hutan tertutup yang
paling penting untuk termoregulasi gajah.
Distribusi gajah juga dipengaruhi oleh
aktivitas lain seperti ketika hutan yang
digantikan oleh pertanian maka dapat
menimbulkan konflik gajah manusia.
Salah satu cara gajah membuat kulit
lembab adalah dengan berenang dan
berkubang di lumpur. Keriput kulit gajah
meningkatkan retensi air; celah-celah kecil
seperti kapiler sehingga meningkatkan
distribusi air melalui kulit
(Hidden,
2009:25). Gajah yang berada di hutan luar
PKG dan lokasinya dekat dengan sungai
dapat berkubang pada pagi atau sore hari
saat mandi dan minum air, tetapi ada pula
gajah di hutan luar PKG yang jarang
berkubang karena ketersediaan air dan luas
kubangannya yang terbatas. Gajah yang
berada di PKG dapat berkubang terutama di
musim hujan. Aktivitas berkubang gajah
termasuk ke dalam kategori kurang sesuai.
Gajah yang berada di hutan dalam
dan luar PKG istirahat satu kali sehari.
Istirahat tersebut dilakukan pada malam
hari dan tidak lama, sehingga termasuk ke
dalam
kategori
kurang
sesuai.
Kemungkinan gajah tidak istirahat pada
siang hari karena terganggu dengan suara
aktivitas manusia sekitarnya. Menurut
Somgird et al. (Tanpa Tahun:1) gajah tidak
tidur di siang hari, kecuali yang masih bayi.
Biasanya gajah tidur saat tengah malam.
Informasi tersebut mendukung data gajah
PKG.
Gajah harus digembalakan (mahout
berada di atas gajah) pada tempat dengan
ketersediaan pakan yang baik minimal
selama 2 jam setelah satwa tersebut mandi
(Syamsuardi dkk., 2010:32). Mahout PKG
menggembalakan gajah selama 1-3 jam saat
pagi atau sore hari sebelum maupun setelah
gajah dimandikan dan diberi minum.
Frekuensi gajah mandi termasuk ke dalam
kategori tidak sesuai.
34
Azura Novitri, dkk.: Stui Kondisi Pengasuhan Gajah…
PKG Saree menyediakan suplemen
yang biasanya diberikan 2 kali dalam 2
minggu. Suplemen tambahan untuk gajah
termasuk ke dalam kategori sesuai.
Menurut Kerala Agricultural University
(2009:66) gajah yang diberi daun-daun
palem kekurangan fosfor sehingga harus
dilengkapi dengan 30-60 g/hari untuk
hewan muda dan dewasa.
Kebutuhan
kalsium untuk pertumbuhan gading 8-9
g/hari dan menyusui 60 g/hari. Gajah
memiliki afinitas tinggi terhadap air dan
tanah yang kaya natrium.
Gajah PKG mandi satu kali sehari
baik pada pagi ataupun sore hari. Hal
tersebut termasuk ke dalam kategori sesuai.
Gajah yang berada di hutan PKG
dimandikan dengan menggunakan air di
bak yang tersedia, sedangkan gajah yang
berada di hutan luar PKG yang memiliki
sungai yang airnya dalam, maka satwa
tersebut dimandikan pada lokasi tersebut.
Sedikit berbeda menurut Tilakaratne &
Santiapillai (2002:46) gajah mandi dua kali
sehari, saat pagi dan sore hari. Saat
dimandikan gajah seharusnya dibuat
berbaring di dalam air dengan posisi lateral,
dan
harus
digosok
keras
untuk
menghilangkan kotoran dari lipatan kulit.
Menggosok baik, meningkatkan kesehatan
kulit dengan meningkatkan sirkulasi darah,
menjaganya agar tetap terhindar dari
ektoparasit dan jamur (Krishnamurthy,
1992:8).
Pemeriksaan medis gajah-gajah PKG
bekerja sama dengan VESSWIC setiap 3
bulan sekali karena satwa tersebut dapat
menderita penyakit seperti cacingan,
tetanus, dan abses. Pemeriksaan gajah
termasuk ke dalam kategori sesuai.
Menurut Phuangkum et al. (2005:59)
perawatan medis sangat penting, bahkan
mahouts harus memiliki kemampuan dasar
medis seperti mengobati luka-luka ringan
gajah.
Tubuh
organisme
yang
sehat
memiliki suplai darah yang normal. Jika
hewan tidak sehat, darah dapat dianalisis
untuk menentukan potensi penyebab
35
penyakit (Parr, 2012:2-3). Pemeriksaan
sampel darah salah satunya bertujuan untuk
mengecek kesehatan gajah, di PKG Saree
biasanya dilakukan 2 kali dalam setahun
kecuali ketika gajah sedang sakit dan perlu
pengambilan sampel darah. Kegiatan
tersebut termasuk ke dalam kategori sesuai.
Jika gajah sakit di PKG Saree akan
ditempatkan ke lokasi khusus, segala
tindakan untuk satwa tersebut dan obatobatan hanya dengan izin dokter, dan
penanganan darurat khusus secara cepat.
Hal tersebut termasuk ke dalam kategori
sesuai. Menurut Phuangkum et al.
(2005:68) hanya seorang dokter hewan
yang dapat menyelidiki, menganalisis, dan
menentukan penyebabnya, tetapi Mahout
yang bersama gajah sepanjang waktu juga
harus membantu dokter hewan dalam
mendiagnosa penyakit satwa tersebut.
Jika terdapat gajah birahi maka
dilakukan pengasingan terhadapnya, tidak
diberikan suplemen, dikurangi porsi makan,
didekatkan dengan sumber air dan tempat
yang teduh, dipanggil nama sebelum
mendekatinya agar tidak terkejut, tidak
memindahkannya sebelum diketahui reaksi
terhadap mahout, dan tidak membuka rantai
gajah. Penanganan tersebut termasuk ke
dalam kategori sesuai. Menurut Phuangkum
et al. (2005:25) musth adalah gejala
fisiologis setiap gajah jantan yang sehat
usia 18 tahun ke atas. Kebanyakan gajah
mengalami pergeseran perilaku dan
menjadi keras kepala, berbahaya, dan
agresif untuk jangka waktu satu sampai
empat bulan. Cairan musth yang mengalir
memiliki bau busuk dan memiliki warna
abu-abu abu-abu atau gelap.
Beberapa gajah PKG kadang-kadang
terlihat mondar-mandir dan gelisah. Hal itu
menunjukkan gejala stres, sehingga
termasuk ke dalam kategori kurang sesuai.
Menurut Syamsuardi dkk. (2010:35)
pelatihan gajah di lingkungan domestikasi
harus merupakan pengalaman yang
menyenangkan. Metode pelatihan yang
buruk dapat mengakibatkan gajah merasa
tertekan
perasaan
dan
fisiknya,
Jurnal Biologi Edukasi Edisi 19, Volume 9 Nomor 1, Juni 2017, hal 30-38
membuatnya grogi, bingung, agresif, dan
pelatihannya bahkan tidak berhasil.
Saat penelitian di PKG tidak terdapat
gajah bunting, karena hewan-satwa tersebut
jarang dikumpulkan di lokasi yang sama
sehingga membuat jarang terjadinya
interaksi secara langsung antara sesamanya.
Gajah liar juga jarang mendekati lokasi
gajah PKG. Menurut Phuangkum et al.
(2005:40) gajah betina mulai estrus sejak 9
tahun dan berlangsung selama 16 minggu
atau 4 bulan. Gajah betina mampu
berkembang biak menjadi bunting selama 3
kali setahun
Jika ada anak gajah yang baru lahir di
PKG juga tidak dipisahkan dari induknya,
dikontrol
keselamatannya,
dilakukan
latihan formal tingkah laku secara
berkelanjutan antara umur 3 bulan sampai 2
tahun, digunakan tali pengendali yang besar
dan lembut untuk mengurangi lecet,
penyapihan sampai minimal 2 tahun. Hal
itu menunjukkan kategori sesuai. Menurut
Phuangkum et al.. (2005:46) anak gajah
harus bersama induk betina selama tiga
tahun sebelum menjalani pelatihan karena
kebanyakan waktu
induknya untuk
menyusuinya sendiri. Anak gajah akan
mulai makan makanan seperti pisang dan
rumput dari tiga sampai enam bulan.
Mengendalikan gajah tergantung pada
tiga faktor yang saling berhubungan, yaitu:
tingkat pelatihan mahout, peralatan yang
digunakan, dan cara terbaik untuk
menggunakan alat-alat. Kelemahan dalam
bidang ini mungkin akan mempengaruhi
keselamatan
dan
kesehatan
gajah
(Phuangkum et al., 2005:25). Peralatan
yang dimiliki mahout PKG berupa: gancu,
sepatu, topi, baju seragam, tas ransel,
parang, matras, botol air minum, dan jas
hujanPeralatan mahout PKG termasuk ke
dalam kategori sesuai.
Kesimpulan
Kondisi
pengasuhan
Gajah
Sumatera (Elephas maximus sumatranus) di
PKG Saree, Aceh Besar telah termasuk
kategori sesuai (total skor 44) dengan
tingkat kesejahteraan
domestikasi.
di
lingkungan
Daftar Pustaka
Abdullah., Asiah., & Japisa, T. 2012.
Karakteristik
Habitat
Gajah
Sumatera
(Elephas
Maximus
Sumatranus) di Kawasan Ekosistem
Seulawah Kabupaten Aceh Besar.
Jurnal Ilmiah Pendidikan Biologi,
IV (1): 41-45.
Aden, M. 2011. “Morfologi Tanaman
Kelapa (Cocos nucifera )”, (Online),
(http://juragankalapa.blogspot.co.id/
., diakses pada 25 Juli 2016).
Aini, S., Patah, N.A., Sood, A.M., &
Saaban, S. 2015. “A Study on the
Home Range and Habitat Utilization
of a Translocated Elephant Using
Remote Sensing and Gis”, (Online),
(http://www.a-a-r-s.org/.,
diakses
pada 24 Juli 2016).
Bambang, N. 2012. Pedoman Etika dan
Kesejahteraan Satwa di Lembaga
Konservasi. Jakarta: Kementrian
Kehutanan.
Crews, J., Braude, S., Stephenson., & C.,
Clardy. The Ethogram and Animal
Behavior Research. Washington:
University Science Outtreach.
Djufri. 2003. Pemantauan Makanan Alami
Gajah Sumatera (Elephas maximus
sumatraensis) di Taman Hutan Raya
Cut Nya’ Dhien Seulawah, Aceh
Besar. Biodiversitas, IV (1): 118123.
Hidayat, F., & Rini, C. 2014. “Agam, Anak
Yatim Piatu itu Telah Pergi”,
(Online),
(http://www.mongabay.co.id/.,
diakses pada 4 Februari 2016).
Hidden, P.A. 2009. Thermoregulation in
African
Elephants
(Loxodonta
africana ),
Dissertation.
Johannesburg: the Faculty of
Science
University
of
Witwatersrand.
36
Azura Novitri, dkk.: Stui Kondisi Pengasuhan Gajah…
Kerala
Agricultural University. 2009.
Healthcare
Management
of
Captive Asian Elephants. India.
Krishnamurthy,
V.
1992.
Recommendations for Improving
the Management of Captive
Elephants in Way Kambas National
Park Lampung, Sumatra, Indonesia.
Gajah, IX: 4-13.
Mahanani, A.I. 2012. Strategi Konservasi
Gajah Sumatera (Elephas maximus
sumatranus Temminck) di Suaka
Marga satwa Padang Sugihan
Provinsi
Sumatera
Selatan
Berdasarkan Daya Dukung Habitat,
Tesis.
Semarang:
PPS
Ilmu
Lingkungan
Universitas
Diponegoro.
Meytasari, P., Bakri, S., & Herwanti, S.
2014.
Penyusunan
Kriteria
Domestikasi dan Evaluasi Praktek
Pengasuhan Gajah: Studi di Taman
Nasional Way Kambas Kabupaten
Lampung Timur. Jurnal Sylva
Lestari, II (2): 79-88.
Parr, C. 2012. Blood Supply and Analysis.
Urbana-Champaign:
University of Illinois
Phuangkum,
P.,
Lair,
R.C.,
&
Angkawanith, T. 2005. Elephant
Care Manual for Mahouts and
Camp Managers. Bangkok: FAO &
FIO.
Rao, V.N.A. Tanpa Tahun. “Care and
Managements of Elephants in
temples”,
(Online),
(http://www.awbi.org/.,
diakses
pada 30 Juli 2016).
Riba’i., Setiawan, A., & Darmawan, A.
2012. “Perilaku Menggaram Gajah
Sumatera
(Elephas
maximus
sumatranus) di Pusat Konservasi
Gajah Taman Nasional Way
Kambas”,
(Online),
(download.portalgaruda.org/article.,
diakses pada 24 Juli 2016).
Shoshani, J. & Eisenberg, J.F. 1982.
Mammalian
Species
Elephas
37
maximus. the American Socioty of
Mammalogist, CLXXXII: 1-8.
Sitompul, A.F., Griffin, C.R., Rayl, N.D., &
Fuller, T.K. 2013. Spatial and
Temporal Habitat Use of an Asian
Elephant in Sumatra. Animals, III:
670-679.
Dissertation.
Johannesburg: the faculty of Science
University of Witwatersrand.
Soehartono, T., Susilo, H.D. Sitompul,
A.F., Gunaryadi, D., Purastuti,
E.M., Azmi, W., Fadhli, N., &
Stremme, C. 2007. Strategi dan
Rencana Aksi Konservasi Gajah
Sumatera dan Gajah Kalimantan
2007-2017.
Jakarta: Direktorat
Jenderal Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam.
Somgird, C., Sutthipat, T., & Wongkalasin,
W. Tanpa Tahun. General Health
Care in Captive Asian Elephant.
Thailand: Elephant Research and
Education Center “Elephant Health
Care”.
Sugiyono. 2013. Metode Penelitian
Kombinasi
(Mixed
Method).
Bandung: Alfabeta.
Sukumar, R. 2006. A Brief Review of the
Status, Distribution and Biology of
Wild Asian elephants (Elephas
maximus). Int. Zoo Yb, XL: 1-8.
Syamsuardi, Sukmantoro, W., Muslino,
Nukman, Fadhli, N., Purwoko, A.,
Riyadin, Heri, E., & Prawoto, J.
2010.
Prosedur
Operasional
Standar untuk Elephant Flying
Squad (Pasukan Gajah Reaksi
Cepat) dalam Mitigasi Konflik
Manusia dan Gajah. Pekanbaru:
Tim kerja SOP Flying Squad
Tilakaratne, N. & Charles, S. 2002. The
Status of Domesticated Elephants at
the Pinnawala Elephant Orphanage,
Sri Lanka. Gujah, XXI: 41-52.
Yasin, A., Pramundari, Y., Satria, D.B.,
Mulyaningsih, A. Irmayuni., &
Mailida, I. 2013. Buku Informasi
Konservasi Alam. Banda Aceh:
Kementrian Kehutanan-Direktorat
Jurnal Biologi Edukasi Edisi 19, Volume 9 Nomor 1, Juni 2017, hal 30-38
Jenderal Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam.
38