Eksistensi Batas Wilayah Indonesia dengan Singapura pasca Penandatanganan Perjanjian Penetapan Garis Batas Laut Wilayah di Bagian Timur Selat Singapura Chapter III V

BAB III
TINJAUAN ATAS PERJANJIAN ANTARA INDONESIA DENGAN
SINGAPURA TENTANG PENETAPAN GARIS BATAS LAUT WILAYAH
KEDUA NEGARA DI SELAT SINGAPURA
E.

Sejarah dan Perkembangan Penetapan Batas Wilayah Indonesia
dengan Singapura

Indonesia dan Singapura telah memiliki hubungan yang baik dalam ikatan sejarah
yang panjang. Perbatasan wilayah antara Indonesia dengan Singapura adalah
perbatasan laut, yaitu terletak di Selat Singapura.
1.

Gambaran Umum Selat Singapura

Selat Singapura merupakan salah satu selat tersibuk di kawasan Asia Tenggara
dan bahkan di Asia Timur. Selat ini menjadi jalur laut internasional bagi kapalkapal dari arah Selat Malaka, yang menuju Cina atau wilayah-wilayah di Asia
Tenggara lain seperti Vietnam, Thailand, Kamboja, Filipina, Brunei Darussalam
dan wilayah lain di Asia Timur. Selat Singapura secara langsung juga membatasi
wilayah Indonesia (Kepulauan Riau) dengan wilayah Singapura 64.

Selat Singapura selain ramai dilayari, juga ramai dengan masalah. Terutama oleh
masalah yang berkaitan dengan perbatasan. Hal ini dikarenakan wilayah Selat
Singapura yang strategis untuk perdagangan. Sehingga negara-negara yang secara

64

Marinda Yustia Nurfani, Satu Selat Dua Negara: Mencegah Potensi Konflik Perbatasan RIhttp://www.qureta.com/post/satu-selat-dua-negara-mencegah-potensi-konflikSingapura,
perbatasan-ri-singapura, diakses tanggal 20 April 2016.

Universitas Sumatera Utara

langsung berbatasan di Selat Singapura pasti akan saling mempertahankan klaim
atas wilayah laut di Selat Singapura.
2.

Gambaran Umum Singapura

Singapura adalah negara pulau kecil yang terletak di ujung selatan Semenanjung
Melayu di Asia Tenggara. Negara ini terdiri atas pulau utama dan sejumlah pulaupulau kecil. Di selatan pulau utama Singapura adalah Selat Singapura, yang
memisahkan Singapura dari Kepulauan Indonesia 65. Singapura terletak pada

koordinat 1°18’ lintang utara dan 103°18’ lintang selatan 66. Lokasinya yang
terletak antara Laut China Selatan dan Samudera Hindia telah membuat Singapura
menjadi tempat transit penting bagi Asia Tenggara serta pengiriman barang ke
seluruh dunia.
Sejarah Singapura bermula pada abad ke-14. Pada waktu itu, Singapura yang
berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya dikenal dengan nama Temasek
dan menjadi salah satu pelabuhan dan bandara yang ramai. Setelah Kerajaan
Sriwijaya tidak lagi berkuasa, Temasek diperebutkan oleh Kerajaan Majapahit dan
Kerajaan Ayuthia (Siam). Namun serangan dari Kerajaan Siam berhasil dihalangi
kubu pertahanan Temasek. Sejak saat itu nama Temasek berubah menjadi Singha
Pura atau Bandar Singa 67.
Adanya pembangunan Bandar Malaka pada awal abad ke 15 mengakibatkan
Singapura tidak lagi menjadi pusat perdagangan karena kapal-kapal lebih memilih

65

Pete, Profil dan Sejarah Singapura, http://www.kembangpete.com/2014/08/19/profil-dansejarah-negara-singapura, diakses tanggal 20 April 2016.
66
Singapura, http://ms.wikipedia.org/wiki/Singapura, diakses tanggal 20 April 2016.
67

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

berlabuh di Bandar Malaka. Singapura pun menjadi pulau yang sepi dan jarang
didiami penduduk. Pada tahun 1819, Sir Stamford Raffles, seorang agen untuk
sebuah perusahaan perdagangan Inggris, memimpin pembangunan pemerintahan
Inggris di Singapura. Secara bertahap pos perdagangan kecil ini menjadi penting
untuk Kerajaan Inggris 68.
Pada tahun 1826, Singapura dipersatukan dengan Malaka dan Penang menjadi
Permukiman Selat Malaka Inggris. Singapura menjadi koloni pada tahun 1867,
dan Inggris mengembangkannya menjadi pusat komersial utama dan pangkalan
angkatan laut yang kuat. Selama Perang Dunia II (1939-1945), Singapura
diduduki oleh Jepang. Setelah Perang Dunia II, Singapura diserahkan kembali
kepada Inggris 69.
Pada tahun 1959, Singapura diberi hak untuk memerintah sendiri, dan empat
tahun kemudian Singapura memutuskan bergabung dengan Federasi Malaysia.
Namun, pada tahun 1965 Singapura meninggalkan federasi tersebut dan lebih
memilih berdiri sendiri karena timbulnya perbedaan antara suku Melayu yang
mendominasi pemerintahan dengan mayoritas Cina Singapura. Sejak saat itu

Singapura menjadi negara merdeka yang berdiri sendiri.
Singapura berhasil membangun negaranya dengan pesat dan menjadi negara yang
berjaya dari segi ekonomi. Singapura mempunyai hubungan dagang yang kuat,
pelabuhan yang sibuk dan GDP per kapita yang setara dengan negaranegara di
Eropa Barat. Singapura pada saat ini juga menjadi negara yang paling maju di
kawasan Asia Tenggara.
68
69

Pete, loc.cit.
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Walaupun tumbuh menjadi negara maju, Singapura memiliki kendala dengan luas
wilayah daratannya. Luas wilayah daratannya pada waktu merdeka hanya 581,5
kilometer persegi. Hal ini tidak sejalan dengan jumlah penduduk yang terus
bertambah setiap tahunnya sehingga meningkatkan permintaan lahan yang lebih
luas lagi. Oleh karena itu, Singapura memutuskan untuk memperluas wilayah
daratannya dengan jalan melakukan reklamasi pantai. Singapura melakukan

reklamasi sejak tahun 1966 yang menyebabkan luas wilayah negara ini bertambah
hingga mencapai 697,2 kilometer persegi dari luas wilayahnya pada 1960, yaitu
581,5 kilometer persegi. Perluasan wilayah ini akan digunakan untuk perumahan,
rekreasi, kebutuhan infrastruktur, keperluan militer dan keperluan komersil.
3.

Perkembangan Perbatasan

Sejarah perbatasan laut Indonesia dengan Singapura dimulai pada awal abad ke –
XIX, seiring dengan datangnya bangsa Inggris tahun 1819 dibawah pimpinan
Thomas Stamford Raffles pada saat itu Singapura masih bernama Temasek.
Menyadari bahwa letak geografis Pulau Temasek dengan perairannya yang sangat
strategis kemudian di wilayah tersebut dibangun pos dagang dan permukiman
serta pangkalan laut kerajaan Inggris 70. Dengan hadirnya pelabuhan di Singapura
merupakan ancaman bagi Batavia karena kapal–kapal lebih memilih membongkar
muatan di Singapura dan hal ini membuat Gubenur Batavia, Baron Van Der
Capellen marah dan menganggap sebagai masalah besar yang menggangu

70


Maritimmagz.com,
Sejarah
Batas
Maritime
RI-Singapura,
http://m.maritimmagz.com/2014/seejarah-batas-maritim-ri-singapura/ diakses tanggal 21 April
2016.

Universitas Sumatera Utara

perdagangan dan ekonomi di Batavia sehingga meminta raja Belanda, Willem II
untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan raja George di Inggris 71.

F.

Faktor-faktor Pendorong Penyelesaian Batas Wilayah Indonesia
dengan Singapura

Persoalan penetapan perbatasan negara sangat tinggi relevansi dan urgensinya
terhadap upaya pemeliharaan integritas wilayah. Oleh karena itu, setiap wilayah

perbatasan harus sebisa mungkin ditetapkan dan disepakati secara tertulis oleh
kedua negara sehingga kedaulatan masing-masing pun terlindungi. Itu pula yang
menjadi salah satu

agenda

utama Pemerintah Indonesia,

yaitu

untuk

memperkokoh keutuhan NKRI melalui penetapan garis wilayah dengan negaranegara tetangga 72.
Terdapat beberapa faktor yang mendorong pemerintah Indonesia untuk segera
menyelesaikan batas wilayah maritimnya dengan Singapura 73. Pertama,
pemerintah Indonesia mengkhawatirkan reklamasi pantai yang dilakukan oleh
Singapura. Reklamasi pantai yang dilakukan Singapuratersebut telah berhasil
memperluas wilayah daratannya. Indonesia mengkhawatirkan perluasan wilayah
tersebut akan mengubah garis pantainya sehingga wilayah perairan Singapura
bergeser ke arah selatan. Pergeseran wilayah perairan Singapura berarti juga akan

mengakibatkan bergesernya batas maritim Indonesia dengan Singapura dan
wilayah perairan Indonesia di kawasan ini akan berkurang.
71

Ibid.
Ibid.
73
Eka Christiningsih Tanlain, op.cit, hal. 63-64.
72

Universitas Sumatera Utara

Kedua, kegiatan penambangan pasir laut di Kepulauan Riau untuk diekspor ke
Singapura telah mengakibatkan abrasi pantai yang mengancam hilangnya titiktitik pangkal Indonesia di wilayah ini. Penambangan pasir memang dianggap
memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap Pendapatan Asli Daerah.
Hampir 84% komoditi yang diekspor oleh Propinsi Riau adalah pasir laut.
Kegiatan penambangan itu dilakukan secara besar-besaran sehingga hampir
seluruh wilayah perairan di Propinsi Riau sudah dikapling-kapling oleh para
pengusaha. Hingga Juni 2002 tercatat 67 perusahaan telah yang mengantongi izin
melakukan eksploitasi pasir laut, dan 300 perusahaan lainnya sudah memiliki izin

eksplorasi.
Ketiga, adalah untuk menjaga keamanan wilayah teritorial Indonesia. Secara
umum wilayah perbatasan laut atau perairan Indonesia dengan negara-negara lain
sering sekali menghadapi ancaman teritorial oleh gerakan separatisme,
penyelundupan, perompakan dan illegal fishing. Untuk menanggulangi ancaman
tersebut, angkatan laut Indonesia mengadakan patroli pengamanan wilayah
perairan Indonesia. Namun belum adanya batas maritim yang jelas antara
Indonsia dan Singapura mengakibatkan angkatan laut kedua negara sering bentrok
ketika melakukan patroli pengamanan di daerah perbatasan. Ini pun akhirnya
menjadi salah satu faktor yang mendorong Pemerintah Indonesia untuk segera
menyelesaikan penetapan perbatasan antara Indonesia dengan Singapura.
Pemerintah Singapura pada awalnya selalu saja menghindar bila diajak berunding
masalah penyelesaian batas maritim Indonesia-Singapura. Namun pada tahun
2003 pemerintah Singapura mulai menampakkan perubahan sikap dalam

Universitas Sumatera Utara

menangani

permasalahan


batas

maritim

Indonesia-Singapura.

Pergantian

kepemimpinan di Singapura semakin membuka peluang diadakannya perundingan
penyelesaian batas maritim tersebut. Melalui pembicaraan-pembicaraan bilateral
kedua kepala negara, Singapura akhirnya menyepakati untuk segera melakukan
perundingan guna menyelesaikan batas maritimnya. Persetujuan Singapura untuk
melakukan

perundingan

penyelesaian

batas


maritim Indonesia-Singapura

dilatarbelakangi kepentingan nasionalnya, yaitu membuka kembali impor pasir
laut dari Indonesia 74.
Pada

tahun

2003

Indonesia

mengeluarkan

Kepmenperindag

No.

117/MPP/Kep/2/2003 yang berisi Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut.
Keputusan ini ditandatangani oleh Rini Suwandi sebagai Menteri Perindustrian
dan Perdagangan. Pelarangan tersebut berlaku sejak tanggal 18 Februari 2003.
Sejak itu Indonesia menutup kegiatan ekspor pasir, terutama yang ditujukan untuk
memenuhi kebutuhan reklamasi pantai Singapura.
Indonesia merupakan pemasok utama kebutuhan pasir laut Singapura untuk
proyek reklamasi pantainya. Pasir laut tersebut berasal dari Propinsi Riau dan
Propinsi Bangka Belitung. Dengan adanya larangan tersebut tentu saja akan
menggangu pelaksanaan proyek reklamasi pantai Singapura. Indonesia bersedia
membuka kembali ekspor pasir lautnya ke Singapura bila perjanjian batas maritim
kedua negara telah selesai disepakati75. Hal ini tentu saja mampu memaksa

74
75

Ibid, hal. 65
Ibid. hal. 67

Universitas Sumatera Utara

Singapura untuk secepatnya melaksanakan perundingan batas maritimkedua
negara di Selat Singapura.

G.

Penentuan Batas Wilayah Indonesia dengan Singapura Berdasarkan
UNCLOS 1982

Pemerintah Indonesia terus memperjuangkan agar konsep Wawasan Nusantara
diakui dan diterima oleh semua negara di dunia melalui penetapan PBB. Dalam
setiap Konferensi Hukum Laut yang diselenggarakan oleh PBB, Indonesia
membentuk tim perunding yang berusaha memasukkan konsep Wawasan
Nusantara dalam keputusan PBB. Dalam pembicaraan yang berlangsung,
perdebatan dilontarkan menanggapi konsep itu, khususnya yang menyangkut
masalah definisi kepulauan, hak negara tetangga, lalu lintas internasional dan
penerbangan yang melewati perairan, dan hak warga Indonesia atas potensi dasar
laut.
Konferensi Hukum Laut 1982 mengakui status Indonesia sebagai negara
nusantara atau kepulauan sehingga memberikan dasar hukum internasional yang
kuat dalam upaya Indonesia menteritorialkan kesatuan dan persatuan nasional.
Dalam penerapan prinsip-prinsip negara nusantara atau kepulauan dan laut
wilayah atau laut teritorial selebar 12 mil di luar perairan nusantara telah membuat
luas wilayah Indonesia menjadi sekitar 5 juta km persegi sejak tahun 1957. Selain
itu dengan diterapkannya prinsip prinsip 200 mil ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif)

Universitas Sumatera Utara

dan landas kontinen di luar perairan nusantara dan laut wilayah Indonesia telah
menambah juga hak-hak berdaulatan Indonesia 76.
Konvensi Hukum Laut 1982 juga menentukan bahwa untuk menetapkan lebar laut
teritorial Negara-negara kepulauan dapat menarik garis lurus garis dasar
kepulauan sampai 100 mil laut yang menghubungkan titik-titik paling luar dan
batu-batu karang, selama ratio air dan daratan di dalam garis-garis tersebut tidak
melebihi 9 berbanding 1, dengan ketentuan bahwa kawasan yang diperoleh tidak
memotong negara lain dari laut lepas atau zona ekonomi eksklusif 77.
Dalam ketentuan baru, Hukum Laut Internasional telah memberikan wewenang
kepada Indonesia untuk menguasai kira-kira 8 juta km persegi dari kekayaan alam
yang sebelumnya wilayah kedaulatan hanya sekitar 1,9 juta kilometer persegi.
Kemudian bertambah menjadi lima juta km persegi dengan Deklarasi Djuanda.
Kini dengan konvensi hukum laut ditambah dengan wilayah yurisdiksi ZEE dan
Landas Kontinen maka artinya luas wilayah Indonesia menyerupai benua dengan
sebagian besar wilayah tersebut adalah perairan atau maritim. Pada tanggal 16
November 1994 UNCLOS 1982 resmi mulai berlaku di sejumlah negara yang
meratifikasinya yaitu 60 negara. Indonesia juga telah meratifikasinya konvensi
tersebut pada tahun 1985 dengan Undang-Undang No. 17 Tahun 1985.
Menurut UNCLOS 1982, terdapat delapan zona pengaturan yang berlaku di laut,
yaitu perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, zona tambahan, zona
ekonomi eksklusif (ZEE), landas kontinen, laut lepas dan kawasan dasar laut

76

Hasyim Djalal, Politik Luar Negeri Indonesia Dalam Dasawarsa 1990, Jakarta : CSIS, 1997,
hal. 205-208
77
Chairul Anwar, op.cit, hal 22

Universitas Sumatera Utara

internasional. Batas wilayah laut suatu negara pantai atau negara kepulauan
meliputi batas laut teritorial, batas zona tambahan, batas perairan ZEE dan batas
landas kontinen.
Sebagai Negara-negara yang meratifikasi UNCLOS 1982, maka Indonesia dan
Singapura harus tunduk pada konvensi tersebut dalam segala peraturan mengenai
wilayah laut. Dalam kaitannya dengan perjanjian antarnegara yang berbatasan di
wilayah laut, UNCLOS 1982 merujuk kepada tercapainya kesepakatan para pihak
yang dibuat berdasarkan hukum internasional publik. Dengan demikian UNCLOS
1982 memberian keleluasaan kepada para pihak untuk menyepakati prinsipprinsip hukum yang dapat diterima bersama oleh negara-negara pihak sebagai
dasar dalam penentuan perbatasan di laut 78.
Suatu negara pantai, memiliki kedaulatan penuh atas wilayah laut pada zona
perairan pedalaman atau perairan kepulauan dan laut teritorial. Hal ini diatur
dalam UNCLOS 1982 pasal 2 yang menyatakan bahwa kedaulatan suatu negara
pantai menyambung keluar dari wilayah daratan dan perairan pedalamananya atau
perairan kepulauannya ke kawasan laut teritorial, ruang udara diatasnya serta
dasar laut dan tanah dibawahnya. Penentuan lebar laut teritorial diatur dalam pasal
3 dimana suatu negara berhak menetapkan lebar laut teritorialnya sampai ke batas
12 mil laut dari garis pangkal pantainya 79. Menurut pasal 4, batas keluar dari zona

78
79

Rivai Sihaloho, op.cit, hal. 49
Chairul Anwar, op.cit, hal. 20.

Universitas Sumatera Utara

ini ditentukan sebagai suatu garis dimana setiap titiknya berada pada jarak dari
titik yang terdekat dari garis batas yang sama dengan lebar laut teritorial 80.
Terdapat tiga macam garis pangkal yang dapat digunakan untuk mengukur lebar
laut teritorial, yaitu garis pangkal normal, garis pangkal lurus dan garis pangkal
kepulauan. Garis pangkal normal, menurut pasal 5 UNCLOS 1982, adalah garis
pangkal yang ditarik dari pantai pada waktu air laut surut dengan mengikuti
lekukan pantai, sehingga arah garis pangkal normal sejajar dengan arah atau
lekukan pantai81. Untuk mengukur lebar laut teritorial, dari garis pangkal ditarik
garis tegak lurus ke arah laut sesuai dengan lebar laut yang ditentukan masingmasing negara. Titik atau garis pada bagian luar tersebut merupakan garis atau
batas luar laut teritorial.
Garis pangkal lurus diatur dalam pasal 7 UNCLOS 1982. Garis pangkal lurus
tersebut ditarik dengan cara menghubungkan titik-titik atau ujung-ujung terluar
dari pantai pada waktu air laut surut. Penarikan garis pangkal lurus ini hanya
dapat dilakukan pada pantai yang berliku-liku atau jika di depannya terdapat
pulau, gugusan ataupun deretan pulau. Sedangkan garis pangkal kepulauan diatur
dalam pasal 47 yang menyatakan bahwa negara-negara kepulauan dapat menarik
garis pangkal lurus kepulauan sampai sejauh 100 mil laut yang menghubungkan
titik-titik paling luar dari pulau paling luar dan batu-batu karang, selama ratio
perbandingan air dan daratan tidak melebihi 9 berbanding 1, dan dengan
ketentuan bahwa kawasan yang diperoleh tidak memotong negara lain dari laut

80
81

Ibid.
Poltak Partogi Nainggolan, dalam Rivai Sihaloho, op.cit. hal. 24.

Universitas Sumatera Utara

lepas atau ZEE 82. Menurut pasal 48, garis pangkal tersebut dapat digunakan untuk
mengukur lebar laut teritorial, zona tambahan, ZEE dan landas kontinen suatu
negara kepulauan.
Konvensi Hukum laut Internasional 1982 juga mengatur penempatan suatu garis
pangkal dalam menghadapi keadaan geografi yang khusus. Menurut pasal 9,
sungai-sungai yang langsung mengalir ke laut garis pangkalnya ialah garis lurus
memotong muara sungai di antara titik-titik air terendah pada sisi-sisi sungai.
Pasal 10 mengatur penarikan garis pangkal yang memotong teluk pada pantai
yang dimiliki Negara yang sama 83.
Dalam penetapan batas laut teritorial, pasal 11 menyatakan bahwa instalasi
pelabuhan permanen yang terluar, yang merupakan bagian integral dari sistem
pelabuhan, harus dianggap sebagai bagian dari pantai sehingga dapat digunakan
sebagai titik pangkal. Instalasi-instalasi lepas pantai dan pulau-pulau buatan tidak
dianggap sebagai instalasi pelabuhan permanen 84. Dalam pasal 12 menentukan
bahwa tempat-tempat berlabuh di tengah laut, yang biasanya dipakai untuk
memuat, membongkar dan menambat kapal, termasuk dalam laut teritorial 85.
Sedangkan pasal 13 mengatur tentang elevasi surut yang didefinisikan sebagai
suatu wilayah daratan yang terbentuk secara alamiah yang dikelilingi dan berada
di atas permukaan laut pada waktu air surut tetapi berada di bawah permukaan
laut pada waktu air pasang. Suatu elevasi surut yang berada seluruhnya atau

82

Chairul Anwar, op.cit, hal. 22.
Ibid, hal. 20.
84
Ibid, hal. 22.
85
Ibid.

83

Universitas Sumatera Utara

sebagian pada jarak yang tidak melebihi lebar laut teritorial dari daratan utama
atau suatu pulau, garis air surutnya dapat digunakan sebagai garis pangkal untuk
maksud pengukuran lebar laut teritorial. Namun suatu elevesi surut yang berada
seluruhnya pada jarak yang melebihi laut teritorial dari daratan utama atau suatu
pulau tidak mempunyai laut teritorial sendiri 86.
Pasal 15 UNCLOS 1982 mengatur penetapan garis batas laut teritorial antara
negaranegara yang pantainya berhadapan atau berdampingan. Tidak satupun dari
kedua negara tersebut berhak untuk menetapkan batas laut teritorialnya melebihi
garis tengah yang titik-titiknya sama jaraknya dari titik-titik terdekat pada garis
pangkal dari tempat lebar laut teritorial masing-masing negara diukur, kecuali ada
persetujuan sebaliknya di antara mereka. Ketentuan ini tunduk pada kekecualian
dari hak-hak historis atau keadaan khusus lainnya yang cara pembatasannya
berbeda 87.
Selain berdasarkan UNCLOS 1982, analisis mengenai delimitasi wilayah maritim
Indonesia dan Singapura juga akan didasarkan pada perjanjian-perjanjian bilateral
maupun multilateral yang berlaku bagi Indonesia dan Singapura. Penetapan batas
maritim harus dilakukan dengan cara damai, yaitu melalui perundingan. Apabila
penetapan batas maritim negara-negara melalui perundingan tersebut tidak dapat
mencapai kesepakatan, negara-negara tersebut dapat memilih cara penyelesaian
melalui 88:

86

J.G. Starke, op.cit, hal. 347-348.
Ibid.
88
Ibid, hal. 123.
87

Universitas Sumatera Utara

a. Mahkamah Internasional Hukum laut yang dibentuk berdasarkan
ketentuan UNCLOS 1982,
b. Mahkamah Internasional,
c. Arbitrase atau Prosedur Arbitrase Khusus yang diatur di dalam Annex VII
dan Annex VIII UNCLOS 1982,
d. Konsiliasi yang diatur dalam Annex V.

H.

Upaya Pemerintah dalam Penanganan Wilayah Perbatasan Indonesia
dengan Singapura

Salah satu cara untuk menetapkan garis batas wilayah maritim suatu negara adalah
dengan melakukan perjanjian perbatasan dengan negara lain. Indonesia dan
Singapura telah melakukan beberapa kali pertemuan utuk membicarakan
penyelesaian batas maritim kedua negara di Selat Singapura.
Kondisi kawasan perbatasan antar negara di wilayah darat dan laut di Indonesia
masih jauh lebih buruk dibanding dengan kawasan perbatasan negara tetangga.
Namun demikian, perlu diakui bahwa Pemerintah Indonesia selama ini bukan
tidak berbuat apa-apa dalam pembangunan kawasan perbatasan. 89 Berbagai upaya
telah dilakukan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam rangka
pembangunan kawasan perbatasan Indonesia dengan negara lain, secara khusus
dengan Singapura. Mulai dari perundingan-perundingan bilateral, sampai kepada
penyusunan berbagai peraturan perundangan

yang

berhubungan dengan

perbatasan.
89

Rivai Sihaloho, op.cit, hal. 95.

Universitas Sumatera Utara

Berikut ini akan dibahas upaya-upaya yang telah dilaksanakan oleh pemerintah
Indonesia sejak beberapa tahun yang lalu, yaitu dalam penanganan wilayah
perbatasan Indonesia dengan Singapura.
1.

Perjanjian Penetapan Garis Batas Laut Wilayah Kedua Negara di
Bagian Tengah Selat Singapura Tahun 1973

Indonesia memulai perundingan mengenai perbatasan laut teritorial dengan
Singapura pada tahun 1971. Urgensi dari diselenggarakannya perjanjian ini adalah
karena Selat Singapura merupakan kelanjutan dari Selat Malaka yang memiliki
tingkat pelayaran internasional yang tinggi 90. Namun pada saat itu Singapura tidak
mau berunding dengan berbagai alasan. Akhirnya, dengan memanfaatkan
pertemuan bilateral antar sesama negara ASEAN, perundingan dengan Singapura
pun dimulai 91.
Perundingan ini berakhir di tahun 1973 dan dituangkan dalam Perjanjian antara
Republik Indonesia dan Republik Singapura tentang Penetapan Garis Batas Laut
Wilayah Kedua Negara di Selat Singapura. Perjanjian tersebut memiliki nama
resmi Treaty between the Republic of Indonesia and the Republic of Singapore
Relating to the Delimitating of the Territorial seas of the Two Countries in the
Strait of Singapore.

90
91

Adiwerti Sarahayu Lestari, op.cit, hal.78.
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Gambar di bawah ini merupakan hasil kesepakatan batas maritim IndonesiaSingapura bagian tengah.

Gambar 1:
(Sumber:regional.coremap.or.id/i/eng/bukurinci_kepri.jpg)
Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa perundingan Indonesia dan Singapura
yang diadakan pada tahun 1973 tersebut telah berhasil menentukan batas maritim
bagian tengah yang berupa garis lurus yang ditarik dari 6 (enam) titik yang titik
koordinatnya telah disepakatai kedua negara. Perundingan bilateral tahun 1973
tersebut juga menetapkan Pulau Nipa sebagai median line Indonesia-Singapura.
Dari gambar tersebut juga dapat diketahui bahwa kedua negara masih menyisakan
dua bagian yang belum ditentukan batasnya. Daerah yang belum ditetapkan
tersebut adalah daerah dari titik dasar pertama ke arah barat sepanjang 18 km dan
dari titik dasar keenam ke timur sepanjang 26,8 km. Indonesia dan Singapura
sepakat untuk mengadakan perundingan lanjutan untuk menyelesaikan batas
kedua negara pada kedua bagain tersebut.

Universitas Sumatera Utara

Perundingan batas maritim Indonesia-Singapura di Selat Singapura ditandatangani
oleh kedua negara pada tanggal 25 Mei 1973. Dalam penandatanganan perjanjian
tersebut, pemerintah Indonesia diwakili oleh Adam Malik dan pemerintah
Singapura diwakili oleh S. Rajaratnam. Pemerintah Indonesia lalu meratifikasi
kesepakatan ini pada 3 Desember 1973 sedangkan Singapura baru meratifikasinya
pada 29 Agustus 1974 92.
Namun, Perjanjian 1973 belum mengakomodasi secara keseluruhan mengenai
garis-garis batas laut teritorial antara Indonesia dan Singapura di Selat Singapura.
Untuk mengakomodasi hal tersebut, diperlukan suatu perundingan lebih lanjut
antara kedua negara.
2.

Perjanjian Penetapan Garis Batas Laut Wilayah Kedua Negara di
Bagian Barat Selat Singapura Tahun 2009

Kebijakan Singapura dalam proyek reklamasi telah menimbulkan kekhawatiran
dari aspek kedaulatan Indonesia. Bukan hanya berpengaruh terhadap posisi dan
pengukuran garis batas kedua Negara, namun juga konsekuensi hilangnya lebih
banyak lagi potensi Indonesia sebagai kawasan persinggahan, jalur pelayaran, dan
perdagangan internasional yang sangat strategis. Selain itu juga dikhawatirkan
semakin banyaknya wilayah Indonesia yang hilang akibat pulau-pulau terluar
mengalami abrasi karena kenaikan permukaan air laut dan eksploitasi pasir untuk
ekspor ke Singapura. Proyek reklamasi menimbulkan reaksi dari pemerintah

92

Eka Christiningsih Tanlain, loc.cit.

Universitas Sumatera Utara

Indonesia dengan mulai gencar melakukan upaya diplomasi agar permasalahan ini
dapat cepat diselesaikan 93.
Sehingga, sebagai bentuk diplomasi yang dilakukan pemerintah, pada 26
September 2001 Presiden Megawati bersama dengan Menko Polkam, Menko
Perekonomian, Menko Kesra dan Meneg BUMN melakukan kunjungan ke
Singapura. Dalam pertemuan bilateral tersebut, delegasi Indonesia bertemu
dengan delegasi Singapura yang terdiri dari PM Goh Chok Tong, Menteri Senior
Lee Kuan Yew, Wakil PM/Menhan Dr. Tony Tan, Menlu Jayakumar serta
Menteri Pendidikan dan Menteri Pertahanan ke-2 Teo Chee Hean. Pertemuan
bilateral tersebut membicarakan upaya-upaya peningkatan dan kerjasama bilateral
dan regional di bidang politik, ekonomi dan sosial serta menyepakati untuk
berupaya menyelesaiakan masalah-masalah ”pending” diantara kedua negara
yang selama ini dianggap sebagai isu-isu sensitif melalui cara-cara perundingan
yang sifatnya “quiet diplomacy”. Pihak Indonesia mendesak pemerintah
Singapura untuk mengadakan pertemuan pejabat tinggi setingkat SOM diantara
kedua negara untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut 94.
Pada Februari 2002, pemerintah Indonesia melalui KBRI Singapura secara resmi
menyampaikan keinginannya untuk segera memulai perundingan penetapan batas
maritim yang belum terselesaikan 95. Hal ini dilator belakangi kekhawatiran
Indonesia akan kegiatan reklamasi pantai yang dilakukan Singapura. Namun

93

I Made Andi Arsana, Batas Maritime Antar Negara, Yogyakarta : Gadjah Mada University
Press, 2007, hal. 1-5
94
Laporan Tahunan KBRI Singapura Tahun 2001 : Buku I, hal. 19 dalam Eka Christiningsih
Tanlain., op.cit, hal. 17
95
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

pemerintah Singapura tidak memberikan tanggapan terhadap permintaan
Indonesia tersebut.
Pada 4 Agustus 2003, Presiden Indonesia dan PM Singapura menyepakati
penyelesaian batas maritim kedua negara melaui perundingan delimitasi. Namun
pada informal exchange 2003, pemerintah Singapura meminta keluangan dalam
melakukan perundingan batas maritim Indonesia-Singapura karena negosiatornya
sedang melakukan perundingan masalah Pedra Branca. Pada 10 September 2003
dalam kunjungan kerja Menlu Indonesia, Menlu Singapura menyampaikan
kesediaannya untuk menugaskan pejabat tingkat teknis untuk melakukan
perundingan batas maritim dengan Indonesia 96.
Setelah pergantian kepemimpinan, baik di Indonesia maupun di Singapura,
membuka peluang penyelesaian isu-isu sensitif yang selama ini mengganjal kedua
negara, salah satunya mengenai penyelesaian batas maritim kedua negara di Selat
Singapura. Proses perundingan penetapan batas laut teritorial di bagian barat Selat
Singapura antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Singapura mulai
dilaksanakan pada tanggal 28 Februari 2005 dan berakhir tanggal 10 Maret 2009,
ketika Menteri Luar Negeri kedua negara menandatangani Perjanjian 2009 di
Jakarta 97.
Dalam proses perundingan, Singapura mengajukan beberapa proposal mengenai
dasar delimitasi wilayah laut teritorial yang akan dirundingkan. Proposal-proposal
tersebut meletakkan titik pangkal (basepoint) di wilayah pantai hasil reklamasi

96

Ibid.
Penjelasan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2010 tentang Pengesahan Perjanjian antara
Republik Indonesia dan Republik Singapura tentang Penetapan Garis Batas Laut Wilayah Kedua
Negara di Bagian Barat Selat Singapura, 2009.
97

Universitas Sumatera Utara

yang telah mereka lakukan. Reklamasi tersebut mengakibatkan garis pantai
Singapura menjadi lebih maju dari sebelumnya. 98
Namun, Indonesia selalu mendasarkan posisinya pada Pasal 15 UNCLOS 1982
dan menolak menggunakan hasil reklamasi sebagai dasar pengukuran, serta
menggunakan referensi peta asli tahun 1973 dan titik dasar Indonesia di Pulau
Nipa dan garis pangkal kepulauan Indonesia yang ditarik dari Pulau Nipa ke Pulau
Karimun Kecil 99.
Perjanjian yang berhasil dirumuskan pada tahun 2009 tersebut menyepakati jarak
antara garis pangkal kepulauan Indonesia dengan garis batas kesepakatan yakni
sepanjang 3950 m dan jarak antara hasil reklamasi (Singapura) dengan batas
kesepakatan sepanjang 1900 m. Terdapat 4 (empat) titik yang disepakati dalam
perjanjian ini dan titik-titk tersebut menambah panjang perbatasan laut territorial
Indonesia dengan Singapura di bagian barat Selat Singapura.
Berikut adalah gambar hasil kesepakatan batas maritim Indonesia dengan
Singapura.

98

Adiwerti Sarahayu Lestari, op.cit, hal.84
Penjelasan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2010 tentang Pengesahan Perjanjian antara
Republik Indonesia dan Republik Singapura tentang Penetapan Garis Batas Laut Wilayah Kedua
Negara di Bagian Barat Selat Singapura, 2009.
99

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2:
(Sumber:http://2.bp.blogspot.com/4HjkkCPatv0/VA1j9VGYSUI/AAAAAAAAclM/X9289ETigF4/a1600/apindonb
order.GIF)
3.

Perjanjian Penetapan Garis Batas Laut Wilayah Kedua Negara di
Bagian Timur Selat Singapura Tahun 2014

Sebagai kelanjutan dari perundingan di tahun 1973 dan tahun 2009, pemerintah
Indonesia kemudian mengadakan perundingan kembali dengan pemerintah
Singapura.
Indonesia dan Singapura telah menyepakati garis batas laut yang berada di
sebelah timur Selat Singapura. Penandatangan ini terjadi di tengah-tengah
kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Menteri Luar Negeri Marty
Natalegawa ke Singapura, 2-4 September 2014. Penandatangan kesepakatan ini
dilakukan oleh Marty dan Menteri Luar Negeri Singapura K. Shanmugam. Batas
Laut Wilayah di Bagian Timur Selat Singapura mencakup area perairan antara
Batam (Indonesia) dan Changi (Singapura). Penetapan garis batas Laut Wilayah
dilakukan dengan mengacu pada Konvensi PBB tentang Hukum Laut Tahun 1982
dan dirundingkan sesuai kepentingan nasional kedua negara 100. Batas laut wilayah
antara Indonesia dan Singapura di bagian timur Selat Singapura merupakan garis
yang membentang sepanjang 5,1 mil laut (9,5 kilometer) yang merupakan
kelanjutan dari garis batas laut wilayah di bagian tengah Selat Singapura. Hal itu
sesuai Perjanjian Penetapan Garis Batas Laut Wilayah di Selat Singapura yang
100

RI-Singapura Sepakati Garis Batas Laut dalam http://porosmaritim.com/ri-singapura-sepakatigaris-batas-laut/ diakses tanggal 10 April 2016

Universitas Sumatera Utara

ditandatangani di Jakarta pada 25 Mei 1973 dan Perjanjian Penetapan Garis Batas
Laut Wilayah di Bagian Barat Selat Singapura yang ditandatangani di Jakarta
pada 10 Maret 2009101.
Batas laut wilayah tersebut dituangkan dalam Perjanjian antara Republik
Indonesia dan Republik Singapura tentang Penetapan Garis Batas Laut Wilayah
Kedua Negara di Bagian Timur Selat Singapura (Treaty between the Republic of
Indonesia and the Republic of Singapore relating to the Delimitation of the
Teritorial Seas of the Two Countries in the Eastern Part of the Strait of
Singapore) 102. Dalam penetapan garis batas laut ini terdiri dari tim teknis
Penetapan Batas Maritim RI (selanjutnya disebutkan Tim Teknis). Tim Teknis
terdiri

dari

perwakilan

para

pejabat,

personil

dan

pakar

beberapa

kementerian/lembaga, seperti Kementrian Luar Negeri, Kementerian Pertahanan,
Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perhubungan, Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral, Badan Informasi Geospasial, dan Markas Besar
TNI serta Dinas Hidro-Oseanografi TNI AL. Selain itu, Tim Teknis juga
dilengkapi dengan Dewan Penasihat Tim Teknis yang terdiri dari pakar seperti Dr.
N. Hasan Wirajuda, Prof. Hajim Djalal, Prof. Hikmahanto Juwana, dll. Anggota
Tim Teknis dari Badan Informasi Geospasial terdiri dari Dr. Asep Karsidi
(sebagai mantan Kepala BIG), Prof. Dr. Sobar Sutisna, Dr. –Ing Khadif, Sora

101

Kerja Sama Bilateral | Presiden SBY Terima Penghargaan Tertinggi untuk Pemimpin Negara
RI dan
Singapura
Setujui
Batas Laut
dalam http://koran-jakarta.com/?19426ri%20dan%20singapura%20setujui%20batas%20laut-1 diakses pada tanggal 18 April 2016
102
Ibid

Universitas Sumatera Utara

Lokita, Eko Artanto, dan Astrit Rimayanti. Plt. Kepala BIG, Ibu Titiek
Suparwati103.
Kesepakatan batas teritorial laut memiliki arti penting secara geoekonomi dan
geopolitik. Secara geoekonomi batas baru tersebut akan menguatkan sejumlah
kerja sama ekonomi dan upaya pengembangan kawasan. Presiden menyebutnya
kerja sama segitiga pertumbuhan Sijori (Singapura, Johor, Riau) dan kawasan
perdagangan bebas di Batam, Bintan dan Karimun. Secara geopolitik aspek
keamanan menjadi lebih jelas, sehingga kerjasama yang akan dilakukan menjadi
lebih baik 104.
Dibawah ini merupakan gambar hasil kesepakatan batas maritim Indonesia
dengan Singapura di Selat Singapura.

Gambar 3:
(Sumber:m.baranews.co/web/read/20580/perjanjian.batas.laut.singapura.bisa.jadi.
rujukan.penyelesaian.sengketa.perbatasan#.V-3Bwt-kdAh)

103

BIG I Bersama Menata Indonesia Lebih Baik dalam http://www.Big.go.id/beritasurta/show/tim-teknis-penetapan-batas-maritim-ri-beraudiensi-dengan-presiden-ri diakses pada
tanggal 21 Mei 2016
104
Sekretariat Negara Republik Indonesia, Hasil Perundingan Penetapan Batas Laut Teritorial RI
dan Singapura, http://www.setneg.go.id, diakses pada tanggal 12 Mei 2016

Universitas Sumatera Utara

BAB IV
EKSISTENSI BATAS WILAYAH INDONESIA-SINGAPURA PASCA
PENANDATANGANAN PERJANJIAN PENETAPAN GARIS BATAS
LAUT WILAYAH DI BAGIAN TIMUR SELAT SINGAPURA
A.

Potensi Konflik Indonesia dan Singapura

Masalah perbatasan merupakan masalah yang sangat sensitif. Konflik-konflik
internasional paling serius dalam sejarah umat manusia seringkali berpangkal dari
klaim wilayah yang tumpang tindih di sepanjang garis perbatasan. Penelitian
empiris di kemudian hari bahkan menunjukkan bahwa dibandingkan isu lainnya,
masalah perbatasan berpotensi dua kali lipat lebih besar untuk menjadi konflik
bersenjata.
Berikut ini akan dibahas mengenai beberapa potensi konflik diantara Indonesia
dengan Singapura.
1.

Potensi Konflik Akibat Perbedaan Pemahaman UNCLOS 1982

Kasus reklamasi Singapura tidak dapat dipisahkan dari ketentuan-ketentuan dalam
UNCLOS 1982. Hal ini dikarenakan UNCLOS sebagai satu-satunya rujukan bagi
negara negara yang memiliki masalah dengan wilayah laut. Walaupun sebenarnya
UNCLOS 1982 tidak mengatur secara spesifik mengenai masalah reklamasi,
tetapi interpretasi dalam pasal-pasal UNCLOS tetap digunakan sebagai rujukan.
Berdasarkan interpretasi terhadap ketentuan-ketentuan UNCLOS mengenai
reklamasi tersebut, maka ada celah-celah dari masing-masing negara, baik
Indonesia maupun Singapura, untuk mengajukan argumen masing-masing terkait
permasalahan reklamasi Singapura dan dampak delimitasi batas wilayah.

Universitas Sumatera Utara

Permasalahan reklamasi Singapura menimbulkan berbagai macam interpretasi
dalam kaitannya dengan ketetuan UNCLOS 1982. Penyebabnya, belum ada
aturan atau pasal yang spesifik dari UNCLOS yang mengatur mengenai
reklamasi. Meskipun begitu, ada beberapa pasal dalam UNCLOS 1982 yang dapat
diinterpretasikan dalam proses reklamasi, yaitu:
a. Pasal 60 ayat 8 dalam UNCLOS 1982
Pasal ini menyebutkan antara lain bahwa pulau buatan, instalasi, dan bangunan
tidak mempunyai status pulau, sehingga tidak memiliki laut teritorialnya sendiri.
Kehadirannya juga tidak mempengaruhi penetapan batas laut teritorial, zona
ekonomi eksklusif atau landas kontinen. (UNCLOS 1982, pasal 60 ayat 8). Itu
berarti batas wilayah dua negara ditentukan dengan batas-batas alamiah. Artinya,
penambahan wilayah darat melalui proyek reklamasi darat tidak mengubah batas
wilayah kedua negara.
Pasal tersebut juga menyebut mengenai struktur, reklamasi, ataupun pulau buatan
tak akan mengubah delimitasi (garis batas) laut teritorial, landas kontinen, dan
zona ekonomi eksklusif (ZEE). Sehingga, dapat diinterpretasikan bahwa base
point hanya bisa diukur dari pulau terluar yang alamiah, bukan dari daratan hasil
reklamasi. Dengan kata lain, meski daratan Singapura bertambah, wilayah
perairannya tidak serta merta ikut maju dan berpengaruh pada kedaulatan wilayah
perairan Indonesia (Juwana, 2007).
Pihak pemerintah Indonesia dapat menggunakan argumen penafsiran pasal ini,
sehingga kedaulatan wilayah Indonesia tidak akan terganggu, meski Singapura
melakukan proyek perluasan wilayah melalui reklamasi, sepanjang tidak

Universitas Sumatera Utara

melanggar garis perbatasan yang telah disepakati kedua belah pihak melalui
perjanjian perbatasan wilayah.
b. Pasal 11 dalam UNCLOS 1982
Pasal itu antara lain menyebutkan bahwa:
"Untuk maksud penetapan batas laut teritorial, instalasi pelabuhan permanen yang
terluar yang merupakan bagian integral dari sistem pelabuhan dianggap sebagai
bagian dari pantai. Instalasi lepas pantai dan pulau buatan tidak akan dianggap
sebagai instalasi pelabuhan yang permanen.”
Pasal ini juga menjelaskan jauh secara teknis dalam Petunjuk Aspek Teknis
UNCLOS (TALOS) yang menyatakan instalasi pelabuhan tersebut meliputi
struktur permanen buatan manusia di sepanjang pantai dan merupakan bagian
integral dari sistem pelabuhan seperti pelindung pantai, dermaga, fasilitas
pelabuhan lain, terminal pantai, dinding laut. Instalasi pelabuhan semacam itu bisa
digunakan sebagai bagian dari garis pangkal untuk delimitasi laut teritorial dan
yurisdiksi maritim lainnya.
Seandainya reklamasi pantai yang dilakukan Singapura bertujuan untuk
membangun struktur seperti yang dimaksud oleh pasal tersebut, maka jelas
instalasi semacam itu bisa digunakan sebagai garis pangkal. Akibatnya, garis
pangkal yang berubah berpotensi mengubah klaim maritim Singapura menjadi
lebih ke selatan mendekati Indonesia (Warsana, 2007).
Berdasarkan interpretasi terhadap pasal ini, maka reklamasi yang dilakukan
Singapura untuk keperluan fasilitas-fasilitas pelabuhan akan dapat diukur sebagai

Universitas Sumatera Utara

titik pangkal penarikan garis perbatasan. Indonesia harus mewaspadai terhadap
klaim interpretasi dari pasal ini.
c. Pasal 15 dalam UNCLOS
Pasal 15 antara lain menyebutkan mengenai penetapan garis batas taut teritorial
antara negara-negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan. Bahwa
untuk dapat menetapkan batas laut teritorialnya, maka tidak satupun diantaranya
berhak, kecuali ada persetujuan yang sebaliknya diantara mereka, untuk
menetapkan batas laut teritorialnya melebihi batas tengah yang titik-titiknya sama
jaraknya dari titik-titik terdekat pada garis-garis pangkal darimana lebar laut
teritorial masing-masing negara diukur.
Tetapi, ketentuan tersebut tidak berlaku jika terdapat hak historis atau keadaan
khusus lainnya. Hal ini berarti wilayah perairan Indonesia-Singapura haruslah
diselesaikan dengan perundingan di antara kedua belah pihak, dimana negara
tidak berhak untuk melebihi batas tengah perairan. Dalam proses perundingan
tersebut, masing-masing negara akan menggunakan berbagai argumen dan pasal–
pasal yang tertera dalam UNCLOS 1982.
Berdasarkan interpretasi terhadap ketentuan-ketentuan UNCLOS 1982 mengenai
reklamasi tersebut, maka ada celah-celah dari masing-masing negara, baik
Indonesia maupun Singapura, untuk mengajukan argumen masing-inasing terkait
permasalahan reklamasi Singapura dan dampak delimitasi batas wilayah.
2.

Potensi Konflik Akibat Perluasan Wilayah Singapura Pasca
Reklamasi

Universitas Sumatera Utara

Reklamasi yang dilakukan oleh Singapura memberikan dampak yang sangat besar
terhadap perluasan wilayah dari Singapura. Reklamasi besar-besaran yang
dilakukan oleh Pemerintah Singapura telah merubah bentuk garis pantai dari
Singapura dan merubah jarak titik-titik batas laut ke daratan Singapura. Luas
daratan Singapura pun bertambah setelah reklamasi ini. Perluasan wilayah yang
dilakukan oleh Singapura bermula dari tahun 1960 karena keterbatasan wilayah
yang dimilikinya dengan jumlah penduduk yang terus meningkat. Dengan luas
wilayahnya yang hanya sekitar 581,5 kilometer persegi sementara kebutuhan akan
infrastrukur, perumahan, industri dan rekreasi terus meningkat.
Untuk mengatasi masalah ini kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah
Singapura adalah dengan mereklamasi daerah pantai dan menjadikannya daratan.
Luas Sinagpura yang awalnya hanya 581,5 kilometer persegi bertambah luas
menjadi 697,2 kilometer persegi. Dengan adanya reklamasi pantai yang dilakukan
Singapura ini maka secara langsung dapat berdampak pada batas negara antar
Indonesia dan Singapura. Akibat dari reklamasi yang dilakukan dengan cara
mengimpor pasir laut dari Indonesia ini telah menimbulkan banyak kerugian,
bukan saja dari aspek teritorial namun juga dari aspek ekonomi perdagangan dan
juga lingkungan hidup. Kebijakan reklamasi yang dilakukan pemerintah
Singapura ini membuat pemerintah Indonesia khawatir, karena dengan melakukan
reklamasi daratan Singapura akan bertambah yang mana akan menyebabkan
pergeseran garis batas antar kedua negara dan jelas akan mengganggu kedaulatan
teritorial Indonesia.

Universitas Sumatera Utara

Kekhawatiran Indonesia terhadap Singapura yang melakukan reklamasi pantai
yang mengarah ke wilayah daratan Indonesia adalah hal yang wajar mengingat
adanya potensi pengklaiman wilayah oleh negara tetangga terhadap wilayah
Indonesia, seperti yang terjadi dengan Pulau Sipadan dan Ligitan. Permasalahan
mudahnya pengklaiman wilayah yang dilakukan oleh negara-negara tetangga
terhadap wilayah Indonesia adalah karena belum adanya kesepakatan titik batas
antara negara yang berbatasan. Oleh karena itu, pemerintah diharapkan segera
menyelesakan persoalan delimitasi perbatasan dengan negara tetangga.

B.

Batas Wilayah Indonesia dengan Singapura Pasca Penandatangan
Perjanjian Garis Batas Laut Wilayah di Bagian Timur Selat
Singapura

Wilayah bagi suatu negara sangatlah penting selain sebagai salah satu unsur
negara, wilayah juga merupakan identitas dari suatu negara, yang menunjukkan
dimana negara itu berada untuk meletakkan kedaulatan pemerintahannya. Selain
itu wilayah negara juga merupakan suatu aset bagi negara yang memberikan
segala potensi dan sumber daya alam yang dapat mendukung terselenggaranya
pemerintahan dan aktivitas rakyat untuk mencukupi segala kebutuhan. Eksistensi
suatu wilayah negara memang patut untuk dipertahankan dan tidak boleh
dipandang sebelah mata, baik itu di darat, laut maupun udara.
Keadaan wilayah Indonesia yang berbentuk kepulauan membuat Indonesia
banyak berbatasan laut dengan negara tetangga. Pentingnya penetapan perbatasan
Indonesia secara khusus di laut adalah supaya ada kejelasan serta kepastian

Universitas Sumatera Utara

hukum terhadap batas wilayah negara demi eksistensi kedaulatan negara Republik
Indonesia.
Beberapa bagian wilayah laut khusunya Laut Teritorial merupakan bagian wilayah
yang memerlukan pengaturan khusus baik dalam hal yurisdiksi, pengelolaan,
eksplorasi dan eksploitasi terhadap kekayaan yang terkandung di dalamnya. Laut
teritorial merupakan wilayah perbatasan yang langsung berhubungan dengan
pulau-pulau terluar negara Indonesia. Apabila wilayah ini tidak diatur dalam
peraturan yang tegas, maka dikhawatirkan akan terjadi pengklaiman wilayah oleh
negara tetangga dan juga hal ini akan membuat negara lain dengan leluasa
memasuki wilayah negara Indonesia, sehingga dapat mengancam kedaulatan
negara Indonesia.
Laut Teritorial merupakan bagian wilayah yang berada di luar garis pangkal pulau
terluar sejauh 12 mil. Untuk mengukur lebar laut teritorial terdapat beberapa garis
pangkal yang meliputi:
1.

Garis Pangkal Biasa (Normal Base Lines)

Dalam keadaan biasa garis pangkal dipergunakan sebagai titik mula pengukuran
bagian laut, dimana garis pangkal normal (Normal Base Lines) merupakan garis
air rendah sepanjang pantai seperti yang ditandai dalam peta skala besar yang
diakui secara resmi oleh negara pantai (Pasal 5 UNCLOS 1982). Jadi titik pangkal
diukur berdasar keadaan yang sebenarnya dari pantai, pada waktu air surut,
sehingga dari titik tersebut mulai ditarik garis hingga 12 mil untuk menetukan
lebar laut teritorial.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 4
Garis Pangkal Biasa
─ ∙ ─ ∙ ─ ∙ ─ ∙ ─ Garis Pangkal Biasa
………………... Garis atau Batas Luar (outer limit).
(Sumber:sangkoeno.com)

2.

Garis Pangkal Lurus (Stright Base Line)

Dalam keadaan khusus jika wilayah pada garis pantainya bervariasi dan terputusputus atau ada suatu rumbai pulau-pulau sepanjang pantai yang dalam
hubungannya sangat berdekatan sehingga digunakan cara atau metode garis
pangkal lurus (Stright Base Line), yang menghubungkan titik-titik yang bertepatan
sebagai pangkal mula pengukuran bagian laut (Pasal 7 UNCLOS 1982). Dari garis
yang menghubungkan titik-titik tersebut menjadi titik pangkal untuk menentukan
lebar laut teritorial dapat ditarik garis hingga 12 mil. Cara penarikan garis pangkal

Universitas Sumatera Utara

ini diakui dalam Keputusan Mahkamah Internasional pada tahun 1951 dalam
Anglo-Norwegian Fisheries Case 105.

Gambar 5
Garis Pangkal Lurus dari Ujung ke Ujung
Garis AB,CD,EF,GH dan IJ adalah garis pangkal lurus dari ujung ke ujung
Garis OA,BC,DE,FG,HI dan JK adalah garis pangkal normal
…………… Garis Batas Luar (outer limit)
(Sumber:sangkoeno.com)
3.

Garis Pangkal Kepulauan (Archipelagic Base Lines)

Pada suatu negara yang memiliki keadaan sangat khusus yakni hingga memenuhi
syarat disebut sebagai negara kepulauan, sehingga dipergunakan metode
pengukuran dengan menentukan garis pangkal kepulauan (Archipelagic Base
Lines), yaitu garis pangkal lurus kepulauan yang menghubungkan titik-titik terluar
dari pulaupulau terluar dan karang-karang kering dari kepulauan, asalkan dalam
garis semacam itu termasuk didalamnya pulau-pulau induk dari suatu wilayah,

105

Prof. Dikdik Mohamad Sodik, SH., MH., Ph.D., Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya
di Indonesia, hal.23. 2014. Bandung : Refika Aditama

Universitas Sumatera Utara

yang ratio dari wilayah perairan dan daratan, termasuk atol adalah satu banding
satu dan sembilan banding satu (Pasal 47 UNCLOS 1982).

Gambar 6:
Garis Pangkal Kepulauan (archipelagic base lines)
Garis AB,CD,EF,GH adalah garis pangkal kepulauan
…………… Garis Batas Luar (outer limit)
(Sumber:sangkoeno.com)
Baik wilayah perairan pedalaman dan laut teritorial adalah bagian laut wilayah
yang merupakan kedaulatan penuh suatu negara, dalam ketentuan Pasal 2
UNCLOS 1982: “bahwa kedaulatan negara pantai meliputi laut teritorialnya,
termasuk ruang udara di atasnya dan dasar laut serta tanah dibawahnya”.
Dalam rumusan Pasal 48 UNCLOS 1982 untuk menentukan lebar laut teritorial,
zona tambahan, zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen harus diukur dari

Universitas Sumatera Utara

garis pangkal kepulauan yang ditarik sesuai dengan ketentuan Pasal 47 UNCLOS
1982.

Perjanjian yang diadakan oleh suatu negara sebagai subyek hukum internasional,
bertujuan untuk menggariskan hak dan kewajiban yang ditimbulkan serta akibat
yang berpengaruh bagi para pihak pembuat perjanjian baik yang bersifat Bilateral
maupun Multilateral106. Dalam upaya memperjelas eksistensi batas wilayah
Indonesia dengan Singapura maka suatu perjanjian atau perundingan bilateral
dapat dilakukan. Sebagaimana telah dijelaskan dalam bab sebelumnya tentang
perbatasan wilayah Indonesia dengan Singapura, kedua negara telah menetapkan
batas-batas laut teritorial di bagian Timur 1 (Batam-Singapura) Selat Singapura.
Sehingga batas wilayah antara Indonesia dengan Singapura hanya menyisakan
satu bagian lagi, yaitu bagian Timur 2 (South Ledge - Middle Rock - Pedra
Branca) yang penanganannya harus ditangguhkan karena melibatkan Malaysia
yang juga memiliki kepentingan di bagian tersebut.
Perjanjian Internasional berdasarkan praktik beberapa Negara dibedakan atas dua
golongan. Pada satu pihak perjanjian internasional diadakan dengan tiga tahap
pembentukan, yaitu perundingan, penandatanganan, dan ratifikasi. Dan pada
pihak lain perjanjian internasional hanya melewati dua tahap, yakni perundingan
dan penandatanganan. Biasanya golongan perjanjian pertama diadakan untuk hal
yang dianggap penting sehingga memerlukan persetujuan dari badan yang
memiliki hak untuk mengadakan perjanjian (treaty making power), sedangkan

106

Joko Subagyo,Hukum Laut Indonesia, Jakarta : Rineka Cipta, 1993, hal. 18

Universitas Sumatera Utara

untuk golongan kedua yang lebih sederhana sifatnya diadakan untuk perjanjian
yang tidak begitu penting,
pendek.

107

misalnya perjanjian perdaganagn yang berjangka

Jadi, pengesahan perjanjian internasional oleh pemerintah ke dalam

produk hukum nasional dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian
tersebut. Pengesahan suatu perjanjian internasional dilakukan berdasarkan
ketetapan yang disepakati oleh para pihak.
Pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional antara pemerintah Indonesia
dengan pemerintah negara-negara lain, organisasi internasional dan subjek hukum
internasional lain adalah suatu perbuatan hukum yang sangat penting karena
mengikat negara dengan subjek hukum internasional lainnya. Oleh sebab itu
pembuatan dan pengesahan suatu perjanjian internasional wajib dilakukan 108.
Pengesahan Perjanjian Internasional dila