Penyelesaian Wanprestasi Dalam Perjanjian Rawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah H. Abdul Manan Simatupang Kabupaten Asahan

BAB II
TINJAUAN UMUM PERJANJIAN & PERJANJIAN RAWAT
INAP DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH H.ABDULMANAN
SIMATUPANG KABUPATEN ASAHAN
A. Tinjauan Umum Perjanjian
1. Pengertian Perjanjian
Pasal 1313 KUH Perdata berbunyi: “Suatu perjanjian adalah suatu
perbuatan dengan mana 1 (satu) orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap 1 (satu) orang lain atau lebih”.
Para sarjana hukum perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi
perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan di atas adalah tidaklengkap
dan pula terlalu luas. 12
Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai
perjanjian sepihak saja. Definisi itu dikatakan terlalu luas karena dapat
mencakup perbuatan di lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin,
yang merupakan perjanjian juga, tetapi sifatnya berbeda dengan
perjanjian yang diatur di dalam KUH Perdata Buku III. Perjanjian yang
diatur dalam KUH Perdata Buku III kriterianya dapat dinilai secara
materil, dengan kata lain dinilai dengan uang. Menurut M. Yahya
Harahap perjanjian atau verbintennis mengandung pengertian: “suatu
hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih,


12

Mariam Darus Badrulzaman dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2001, hal. 65.

Universitas Sumatera Utara

yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi
dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan
prestasinya”. 13

Berdasarkan pengertian singkat di atas dijumpai di

dalamnya beberapa unsur yang memberi wujud pengertian perjanjian,
antara lain “hubungan hukum (rechtbetrekking) yang menyangkut
Hukum Kekayaan antara dua orang (persoon) atau lebih, yang memberi
hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu
prestasi “. 14
Sesuai dengan pengertian di atas, perjanjian/ verbintennis adalah

hubungan hukum/ rechtbetrekking yang oleh hukum itu sendiri diatur
dan disahkan cara perhubungannya. Oleh karena itu perjanjian yang
mengandung hubungan hukum antara perseorangan/person adalah halhal yang terletak dan berada dalam lingkungan hukum. 15
Itulah sebabnya hubungan hukum dalam perjanjian, bukan suatu
hubungan yang bisa timbul dengan sendirinya seperti yang dijumpai
dalam harta benda kekeluargaan. Dalam hubungan hukum kekayaan
keluarga, dengan sendirinya timbul hubungan hukum antara anak
dengan kekayaan orang tuanya seperti yang diatur dalam hukum waris.
Lain halnya dalam perjanjian. Hubungan hukum antara pihak yang satu
dengan yang lain tidak bisa timbul dengan sendirinya. Hubungan itu
tercipta oleh karena adanya tindakan hukum/ rechtshandeling.

13

M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hal. 6.
Ibid.
15
Ibid. hal. 7.
14


Universitas Sumatera Utara

Tindakan/perbuatan hukum yang dilakukan oleh pihak-pihaklah
yang menimbulkan hubungan hukum perjanjian, sehingga terhadap satu
pihak diberi hak oleh pihak yang lain untuk memperoleh prestasi.
Sedangkan pihak yang lain itupun menyediakan diri dibebani dengan
kewajiban untuk menunaikan prestasi. 16
Jadi satu pihak memperoleh hak/recht dan pihak yang lain
memikul kewajiban/plicht menyerahkan/menunaikan prestasi. Prestasi
ini adalah objek atau voorwerp dari verbintenis. Tanpa prestasi,
hubungan hukum yang dilakukan berdasar tindakan hukum, sama sekali
tidak mempunyai arti apa-apa bagi hukum perjanjian. Pihak yang
berhak atas prestasi mempunyai kedudukan sebagai kreditur atau
schuldeiser. Pihak yang wajib menunaikan prestasi berkedudukan
sebagai schuldenaar atau debitur. 17
Karakter hukum kekayaan/harta benda ini bukan hanya terdapat
dalam hukum perjanjian. Malahan dalam hubungan keluarga, hukum
kekayaan mempunyai karakter yang paling mutlak. Akan tetapi seperti
yang telah pernah disinggung di atas, karakter hukum kekayaan dalam
harta benda keluarga adalah lahir dengan sendirinya, semata-mata

karena ketentuan undang-undang.
Hukum/Vermogenrecht kekayaan yang bersifat pribadi dalam
perjanjian/verbintenis

baru

bisa

tercipta

apabila

ada

tindakan

hukum/rechthandeling. Sekalipun yang menjadi objek atau vorwerp itu
16

Ibid.

Ibid. hal. 8

17

Universitas Sumatera Utara

merupakan benda, namun hukum perjanjian hanya mengatur dan
mempermasalahkan hubungan benda/kekayaan yang menjadi objek
perjanjian antara pribadi tertentu (bepaalde persoon). Selanjutnya dapat
dilihat perbedaan antara hukum benda/zakenrecht dengan hukum
perjanjian:
1. Hak kebendaan melekat pada benda dimana saja benda ituberada, jadi
mempunyai melekat/droit de suite.
2. Semua

orang

secara

umum


terikat

oleh

suatu

kewajiban

untukmenghormati hak seseorang atas benda tadi, tidak dapat diganggu
gugat/in violable et sacre.
3. Si empunya hak atas benda, dapat melakukan segala tindakan
sesukanya atas benda tersebut. 18
Kalau hukum kebendaan bersifat hak yang absolut, hukum
kebendaan dalam perjanjian adalah bersifat “ hak relatif “/relatief recht.
Dia hanya mengatur hubungan antara pribadi tertentu. Bepaalde
persoon, bukan terhadap semua orang pemenuhan prestasi dapat
dimintanya. Hanya kepada orang yang telah melibatkan diri padanya
berdasar suatu tindakan hukum. Jadi hubungan hukum / recht
berrekking dalam perjanjian hanya berkekuatan hukum antara orangorang tertentu saja. 19

Hanya saja dalam hal ini perlu diingatkan, bahwa gambaran
tentang pengertian hukum benda yang diatur dalam KUH Perdata dalam
18

Ibid.
Ibid. hal. 9.

19

Universitas Sumatera Utara

Buku II, yang menganggap hak kebendaan itu “hak yang tidak dapat
diganggu gugat/inviolable et sacre“ dan memiliki hak melekat kepada
pemilik/droit de suite, tidak mempunyai daya hukum lagi. Sebab
dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria sesuai dengan asas
unifikasi hukum pertanahan, buku II KUH Perdata tidak dinyatakan
berlaku lagi.
Terutama mengenai hubungan tanah dengan seseorang, tidak lagi
ditekankan pada faktor hak. Tetapi dititik beratkan pada segi
penggunaan dan fungsi sosial tanah, agar selaras dengan maksud dan

jiwa pada Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945. Seperti telah
dikemukakan di atas, pada umumnya hak yang lahir dari perjanjian itu
bersifat hak relatif, artinya hak atas prestasi baru ada pada
orang/persoon tertentu, jika hal itu didasarkan pada hubungan hukum
yang lahir atas perbuatan hukum.
Akan tetapi ada beberapa pengecualian : 20
1. Sekalipun tidak ada hubungan hukum yang mengikat antara dua orang
tertentu (bepaalde persoon), verbintenis bisa terjadi oleh suatu
keadaan/kenyataan tertentu. Misalnya karena pelanggaran kendaraan.
2. Atau oleh karena suatu kewajiban hukum dalam situasi yang nyata,
dapat dikonkritisasi sebagai verbintenis. Sekalipun sebelumnya tidak
ada hubungan hukum antara dua orang tertentu, seperti yang dapat
dilihat pada Waterkraan Arrest (H.R.10 Juni 1910).

20

Ibid., hal. 10.

Universitas Sumatera Utara


Perjanjian/verbintenis mempunyai sifat yang dapat dipaksakan.
Dalam perjanjian, kreditur berhak atas prestasi yang telah diperjanjikan.
Hak mendapatkan prestasi tadi dilindungi oleh hukum berupa sanksi.
Ini berarti kreditur diberi kemampuan oleh hukum untuk memaksa
kreditur menyelesaikan pelaksanaan kewajiban / prestasi yang mereka
perjanjikan.
Apabila debitur enggan secara sukarela memenuhi prestasi,kreditur
dapat meminta kepada Pengadilan untuk melaksanakan sanksi, baik
berupa eksekusi, ganti rugi atau uang paksa. Akan tetapi tidak
seluruhnya verbintenis mempunyai sifat yang dapat dipaksakan.
Pengecualian terdapat misalnya pada natuurlijke verbintenis.
Dalam hal ini perjanjian tersebut bersifat tanpa hak memaksa. Jadi
natuurlijk verbintenis adalah perjanjian tanpa mempunyai kekuatan
memaksa.
Dengan demikian, perjanjian dapat dibedakan antara : 21
1. Perjanjian tanpa kekuatan hukum (zonder rechtwerking). Perjanjian
tanpa kekuatan hukum ialah perjanjian yang ditinjau dari segi hukum
perdata tidak mempunyai akibat hukum yang mengikat. Misalnya
perjanjian keagamaan, moral, sopan santun dan sebagainya.
2. Perjanjian yang mempunyai kekuatan hukum tak sempurna seperti

natuurlijke verbintenis. Ketidak sempurnaan daya hukumnya terletak
pada sanksi memaksanya, yaitu atas keengganan debitur memenuhi

21

Ibid., hal. 11.

Universitas Sumatera Utara

kewajiban prestasi, kreditur tidak diberi kemampuan oleh hukum untuk
melaksanakan pemenuhan prestasi. Jadi tidak dapat dipaksakan.
3. Verbintenis

yang

sempurna

daya

kekuatan


hukumnya,

Disini

pemenuhan dapat dipaksakan kepada debitur jika ia ingkar secara
sukarela melaksanakan kewajiban prestasi. Untuk itu kreditur diberi hak
oleh hukum menjatuhkan sanksi melalui tuntutan eksekusi pelaksanaan
(perintah eksekusi) dan eksekusiriel (waktu eksekusi), ganti rugi serta
uang paksa.
2. Saat dan Tempat Lahirnya Perjanjian
Hukum perjanjian meganut sistem terbuka yang memberikan
kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan
perjanjian yang berisi apa saja asalkan tidak bertentangan dengan
undangundang, tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.
Sistem terbuka ini dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1338
ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi “Semua perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yag
membuatnya.” Selain itu juga dalam hukum perjanjian berlaku suatu
azas yang dinamakan azas konsensualitas. Berdasaran azas ini, pada
dasarnya perjanjian atau perikatan sudah dilahirkan jika tercapainya
kesepakatan.
Perjanjian sudah sah dan mengikat apabila sudah adanya
kesepakatan mengenai hal-hal yang pokok dan tidaklah diperlukan
sesuatu formalitas tertentu kecuali untuk perjanjian-perjanjian yang

Universitas Sumatera Utara

diharuskan secara tertulis atau dengan akte notaris seperti perjanjian
perdamaian atau perjanjian penghibahan barang.
Dengan

demikian,

berdasarkan

azas

konsensualitas,

suatu

perjanjian lahir sejak detik tercapainya kesepakatan atau persetujuan
kedua belah pihak mengenai hal-hal pokok dari apa yang menjadi objek
perjanjian, dan mengenai saat lahirnya perjanjian dapat disimpulkan
bahwa yang dapat dipakai sebagai pedoman, ialah pernyataan yang
sepatutnya dapat dianggap melahirkan maksud dari orang yang tidak
mengikatkan dirinya. Suatu pernyataan yang diucapkan secara bersenda
gurau tidak boleh dipegang untuk dasar bagi suatu perjanjian. Lagi pula,
apabila suatu pernyataan yang nyata-nyata atau mungkin sekali keliru,
tidak boleh dianggap sudah terbentuknya suatu kesepakatan dan
dijadikan dasar bagi suatu perjanjian yang mengikat.
Sedangkan mengenai tempat lahirnya suatu perjanjian ditentukan
bahwa tempat tinggal pihak yang mengadakan penawaran itu berlaku
sebagai tempat lahirnya atau ditutupnya perjanjian.
Tempat ini penting untuk menetapkan hukum manakalah yang
akan berlaku apabila kedua belah pihak berada ditempat yang berlainan
di dalam negeri ataupun di negara yang berlainan adat biasanya.
3. Syarat Sahnya Suatu Perjanjian
Untuk sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi ketentuan-ketentuan
yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Universitas Sumatera Utara

2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian
3. Mengenai suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal.
Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif,
karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan
perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat
objektif karena mengenai perjanjian sendiri oleh obyek dari perbuatan
hukum yang dilakukan itu.
Dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan,
bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat,
setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian
yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga
dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang
sama secara timbal balik, si penjual mengingini sesuatu barang si
penjual. 22
Perjanjian atau kesepakatan dari masing-masing pihak itu harus
dinyatakan dengan tegas, bukan diam-diam. Perjanjian itu juga harus
diberikan bebas dari pengaruh atau tekanan yaitu paksaan.
Suatu kesepakatan dikatakan mengandung cacat, apabila kehendak
kehendak itu mendapat pengaruh dari luar sedemikian rupa, sehingga
dapat mempengaruhi pihak-pihak bersangkutan dalam memberikan kata
sepakatnya.

22

R. Subekti, Hukum Perjanjian, Penerbit Alumni, Bandung, 1981, hal. 17.

Universitas Sumatera Utara

Misalnya karena ditodong, dipaksa atau karena kekeliruan mengenai
suatu sifat dari pada benda yang diperjanjikan dan dapat pula karena
penipuan. Pendek kata ada hal-hal yang luar biasa yang mengakibatkan
salah satu pihak dalam perjanjian tersebut telah memberikan
perizinannya atau kata sepakatnya secara tidak bebas dengan akibat
perizinan mana menjadi pincang tidak sempurna. 23
Perjanjian yang diadakan dengan kata sepakat yang cacat itu
dianggap tidak mempunyai nilai. Lain halnya dalam suatu paksaan yang
bersifat relatif, dimana orang yang dipaksa itu masih ada kesempatan
apakah ia akan mengikuti kemauan orang yang memaksa atau
menolaknya, sehingga kalua tidak ada perjanjian dari orang yang
dipaksa itu maka jelas bahwa perjanjian yang telah diberikan itu adalah
perjanjian yang tidak sempurna, yaitu tidak memenuhi syarat-syarat
yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
Paksaan seperti inilah yang dimaksudkan undang-undang dapat
dipergunakan sebagai alasan untuk menuntut batalnya perjanjian, yaitu
suatu paksaan yang membuat perjanjian atau perizinan diberikan, tetapi
secara tidak benar.
Mengenai kekeliruan atau kesilapan Undang-Undang tidak
memberikan penjelasan ataupun pengertian lebih lanjut tentang apa
yang dimaksud dengan kekeliruan tersebut. Untuk itu penulis harus
melihat pendapat doktrin yang mana telah memberikan pengertian

23

Ibid, hal. 23.

Universitas Sumatera Utara

terhadap kekeliruan itu, terhadap sifat-sifat pokok yang terpenting dari
obyek perjanjian itu. Dengan perkataan lain bahwa kekeliruan itu
terhadap unsur pokok dari barang–barang yang diperjanjikan yang
apabila diketahui atau seandainya orang itu tidak silap mengenai hal-hal
tersebut perjanjian itu tidak akan diadakan. Jadi sifat pokok dari barang
yang diperjanjikan itu adalah merupakan motif yang mendorong pihakpihak yang bersangkutan untuk mengadakan perjanjian.
Sesuatu kekeliruan atau kesilapan untuk dapat dijadikan alasan
guna menuntut pembatalan perjanjian maka haruslah dipenuhi
persyaratan bahwa barang-barang yang menjadi pokok perjanjian itu
dibuat, sedangkan sebagai pembatasan yang kedua dikemukakan oleh
doktrin adalah adanya alasan yang cukup menduga adanya kekeliruan
atau dengan kata lain bahwa kesilapan itu harus diketahui oleh lawan,
atau paling sedikit pihak lawan itu sepatutnya harus mengetahui bahwa
ia sedang berhadapan dengan seseorang yang silap.
Misalnya si penjual lukisan harus mengetahui bahwa si pembelinya
mengira bahwa lukisan itu adalah buah tangan asli dari Raden Saleh
dan ia memberikan pembeli itu dalam kesilapannya. Atau dalam hal
penyanyi yang mengetahui bahwa sang Direktur Operasi itu secara silap
telah mengadakan kontrak dengan penyanyi kesohor yang sama
namanya. 24

24

Ibid, hal. 24.

Universitas Sumatera Utara

Kekeliruan atau kesilapan sebagaimana yang dikemukakan diatas
adalah kekeliruan terhadap orang yang dimaksudkan dalam perjanjian.
Jadi orang itu mengadakan perjanjian justru karena ia mengira bahwa
penyanyi tersebut adalah orang yang dimaksudkannya.
Dalam halnya ada unsur penipuan pada perjanjian yang dibuat,
maka pada salah satu pihak terdapat gambaran yang sebenarnya
mengenai sifat-sifat pokok barang-barang yang diperjanjikan, gambaran
dengan sengaja diberikan oleh pihak lawannya.
Dalam hal penipuan inipun dapat pula diajukan sanksi atas dasar
perbuatan melawan hukum atau sebagaimana yang diatur Pasal 1365
KUH Perdata.
Perihal adanya penipuan itu harus dibuktikan, demikian hal
tersebut ditegaskan dalam Pasal 1328 ayat 1 KUH Perdata. ,
Yuriprudensi dalam hal penipuan ini menerangkan bahwa untuk dapat
dikatakan adanya suatu penipuan atau tipu muslihat tidak cukup kalau
seseorang itu hanya melakukan kebohongan mengenai suatu hal saja,
paling sedikit harus ada sesuatu rangkaian kebohongan. Karena
muslihat itu, pihak yang tertipu terjerumus pada gambaran yang keliru
dan membawa kerugian kepadanya.
Syarat kedua untuk sahnya suatu perjanjian adalah, kecakapan para
pihak. Untuk hal ini penulis kemukakan Pasal 1329 KUH Perdata,
dimana kecakapan itu dapat kita bedakan :

Universitas Sumatera Utara

1. Secara umum dinyatakan tidak cakap untuk mengadakan perjanjian
secara sah.
2. Secara khusus dinyatakan bahwa seseorang dinyatakan tidak cakap
untuk mengadakan perjanjian tertentu, misalnya Pasal 1601 KUH
Perdata yang menyatakan batalnya suatu perjanjian perburuhan apabila
diadakan antara suami isteri.
Perihal ketidakcakapan pada umumnya itu disebutkan bahwa
orang-orang yang tidak cakap sebagaimana yang diuraikan oleh Pasal
1330 KUH Perdata ada tiga, yaitu :
1. Anak-anak atau orang yang belum dewasa
2. Orang-orang yang ditaruh di bawah pengampunan
3. Wanita yang bersuami
Ketidak cakapan ini juga ditentukan oleh undang-undang demi
kepentingan curatele atau orang yang ditaruh di bawah pengampuan itu
sendiri. Menurut Pasal 1330 KUH Perdata diatas wanita bersuami pada
umumnya adalah tidak cakap untuk bertindak dalam hukum, kecuali
kalua ditentukan lain oleh undang-undang. Ia bertindak dalam lalu
lintas hukum harus dibantu atau mendapat izin dari suaminya.
Hal ini mengingat bahwa kekuasaan sebagai kepala rumah tangga
adalah besar sekali. Sesuai kemajuan zaman, dimana kaum wanita telah
berjuang membela haknya yang kita kenal dengan emansipasi, kiranya
sudah tepatlah kebijaksanaan Mahkamah Agung yang dengan surat
Edarannya No. 3 Tahun 1963 tanggal 4 Agustus 1963 telah

Universitas Sumatera Utara

menganggap Pasal 108 dan Pasal 110 KUH Perdata tentang wewenang
seorang isteri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap
di depan pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suaminya sudah tidak
berlaku lagi.
Dalam halnya perjanjian-perjanjian yang dibuat mereka yang
tergolong tidak cakap ini, pembatalan perjanjian hanya dapat dilakukan
oleh mereka yang dianggap tidak cakap itu sendiri, sebab undangundang beranggapan bahwa perjanjian ini dibatalkan secara sepihak,
yaitu oleh pihak yang tidak cakap itu sendiri, akan tetapi apabila pihak
yang tidak cakap itu mengadakan bahwa perjanjian itu berlaku penuh
baginya, akan konsekwensinya adalah segala akibat dari perjanjian
yang dilakukan oleh mereka yang tidak cakap dalam arti tidak berhak
atau tidak berkuasa adalah bahwa pembatalannya hanya dapat
dimintakan oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan.
Pembatalan terhadap orang-orang tertentu dalam hal kecakapan
membuat suatu perjanjian sebagaimana dikemukakan Pasal 1330 KUH
Perdata tersebut, kiranya dapat kita mengingat bahwa sifat dari
peraturan hukum sendiri pada hakekatnya selalu mengejar dua tujuan
yaitu rasa keadilan di satu pihak dan ketertiban hukum dalam
masyarakat di pihak lain. Maka demikianlah bilamana dari sudut tujuan
hukum yang pertama ialah mengejar rasa keadilan memang wajarlah
apabila orang yang membuat suatu perjanjian dan nantinya terikat oleh
perjanjian itu harus pula mempunyai cukup kemampuan untuk

Universitas Sumatera Utara

menginsyapi akan tanggung-jawab yang harus dipikulkan dan tujuan
yang satu inilah akan sulit diharapkan apabila orang-orang yang
merupakan pihak dalam suatu perjanjian itu adalah orang-orang di
bawah umur atau orang sakit ingatan atau pikiran yang pada umumnya
dapat dikatakan sebagai belum atau tidak dapat menginsyapi apa
sesungguhnya tanggung-jawab itu.
Pembatasan termaksud di atas itu kiranya sesuai apabila dipandang
dari sudut tujuan hukum dalam masyarakat, yaitu mengejar ketertiban
hukum dalam masyarakat, dimana seseorang yang membuat perjanjian
itu pada dasarnya berarti juga mempertaruhkan harta kekayaannya.
Maka adalah logis apabila orang-orang yang dapat berbuat itu adalah
harus orang-orang yang sungguh-sungguh berhak berbuat bebas
terhadap harta kekayaannya itu. Dimana kenyataan yang demikian itu
tidaklah terdapat dalam arti orang–orang yang sungguh tidak ditaruh di
bawah pengampuan atau orang-orang yang tidak sehat pikirannya,
karena sebab-sebab lainnya ataupun pada diri orang-orang yang masih
di bawah umur.
Selanjutnya syarat yang ketiga untuk sahnya satu perikatan adalah
adanya hal tertentu yang diperjanjikan maka ini berarti bahwa apa yang
diperjanjikan harus cukup jelas dalam arti barang atau benda yang
dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya
(Pasal 1333 ayat (1) KUH Perdata) dengan pengertian bahwa
jumlahnya barang tidak menjadi syarat, asal saja kemudian dapat

Universitas Sumatera Utara

dihitung atau ditetapkan. Syarat yang ketiga ini menjadi penting,
terutama dalam hal terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak,
guna dapat menetapkan apa-apa saja yang menjadi hak dan kewajiban
dari pada pihak-pihak dalam perjanjian yang mereka buat itu.
“Jika prestasi itu kabur, sehingga perjanjian itu tidak dapat
dilaksanakan, maka dianggap tidak ada obyek perjanjian. Akibat tidak
dipenuhi syarat ini, perjanjian itu batal demi hukum (voidneiting)”. 25
Akhirnya selalu syarat untuk sahnya suatu perjanjian itu, Pasal
1320 KUH Perdata menyebutkan sebagai syarat ke-empat ialah adanya
suatu sebab yang halal. Dengan sebab ini dimaksudkan tiada lain dari
pada isi perjanjian itu sendiri. Atau seperti dikemukakan R. Wirjono
Prodjodikoro, yaitu :
“Azas-azas hukum perjanjian, bahwa dengan pengertian causa
adalah bukan hal yang mengakibatkan hal sesuatu keadaan belaka.
Selanjutnya beliau mengatakan dalam pandangan saya, causa dalam
hukum perjanjian adalah isi dan tujuan suatu persetujuan, yang
menyebabkan adanya perjanjian itu”. 26
Selaku suatu causa dalam perjanjian, haruslah berupa causa yang
halal, dalam arti bahwa isi perjanjian itu harus bukan sesuatu hal yang
terlarang. “Sebagai sontoh dari suatu perjanjian yang mengandung

25

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 2002, hal. 94.
Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Penerbit Sumur, Bandung, 1984,

26

hal. 36.

Universitas Sumatera Utara

causa yang terlarang, adalah si penjual hanya bersedia menjual pisaunya
kalau si pembeli membunuh orang”. 27
Sehubungan dengan perbedaan syarat-syarat untuk sahnya suatu
perjanjian telah penulis kemukakan terlebih dahulu, yaitu syarat
obyektif dan syarat subyektif, maka apabila syarat obyektif tersebut
tidak dipenuhi, perjanjian itu dapat dikatakan batal demi hukum.
Sedangkan dalam hal syarat subyektif yang tidak dipenuhi, maka
terhadap perjanjian yang demikian itu salah satu pihak mempunyai hak
untuk menuntut perjanjian yang telah dibuat menjadi batal.
Dengan perkataan lain, bahwa bila syarat subyektif tidak dipenuhi
maka dapat dituntut pembatalannya, sedangkan bila syarat subyektif
yang tidak dipenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum.
4. Asas-Asas Perjanjian
Asas hukum bukan merupakan hukum konkrit, melainkan pikiran
dasar yang umum dan abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan
konkrit yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan
putusan hakim yang merupakan hukum positif. Asas hukum dapat
diketemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam
peraturan konkrit tersebut.
Ada 6 asas dalam membuat perjanjian, yaitu: 28
1. Asas Kebebasan Berkontrak
27

R. Subekti, Op.Cit, hal. 20.
H.S. Salim. Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Penerbit: Sinar

28

Grafika. Jakarta, 2006, hal. 24.

Universitas Sumatera Utara

Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan
kebebasan kepada para pihak untuk:
a. Membuat atau tidak membuat perjanjian;
b. Mengadakan perjanjian dengan siapapun;
c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;
d. Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.
2. Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme berhubungan dengan saat lahirnya suatu
perjanjian yang mengandung arti bahwa perjanjian itu terjadi sejak saat
tercapainya kata sepakat antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian,
mengenai saat terjadinya kesepakatan dalam suatu perjanjian, yaitu
antara lain:
a. Teori Pernyataan (Utingstheorie), kesepakatan (toesteming) terjadi pada
saat yang menerima penawaran menyatakan bahwa ia menerima
penawaran itu. Jadi dilihat dari pihak yang menerima, yaitu pada saat
menjatuhkan ballpoint untuk menyatakan menerima, kesepakatan sudah
terjadi. Kelemahan teori ini adalah sangat teoritis karena dianggap
kesepakatan terjadi secara otomatis.
b. Teori Pengiriman (Verzendtheorie), kesepakatan terjadi apabila pihak
yang menerima penawaran mengirimkan telegram.
c. Teori Pengetahuan (Vernemingstheorie), kesepakatan terjadi apabila
yang

menawarkan

itu

mengetahui

adanya

penerimaan,

tetapi

penerimaan itu belum diterimanya (tidak diketahui secara langsung).

Universitas Sumatera Utara

d. Teori Penerimaan (Ontvangstheorie), kesepakatan terjadi pada saat
pihak yang menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan.
3. Asas Pacta Sunt Servanda
Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang menyatakan bahwa semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya. Artinya bahwa kedua belah pihak wajib
mentaati

dan

melaksanakan

perjanjian

yang

telah

disepakati

sebagaimana mentaati undang-undang. Oleh karena itu, akibat dari asas
pacta sunt servanda adalah perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali
tanpa persetujuan dari pihak lain. Hal ini disebutkan dalam Pasal 1338
ayat (2) KUHPerdata yaitu suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali
selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karenaalasan-alasan yang
oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
4. Asas Itikat Baik
Di dalam hukum perjanjian itikad baik itu mempunyai dua
pengertian yaitu:
a. Itikad baik dalam arti subyektif, yaitu Kejujuran seseorang dalam
melakukan suatu perbuatan hukum yaitu apa yang terletak pada sikap
batin seseorang pada waktu diadakan perbuatan hukum. Itikad baik
dalam arti subyektif ini diatur dalam Pasal 531 Buku II KUHPerdata.
b. Itikad baik dalam arti obyektif, yaitu Pelaksanaan suatu perjanjian harus
didasarkan pada norma kepatutan dalam masyarakat. Hal ini dapat
dilihat dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, dimana hakim diberikan

Universitas Sumatera Utara

suatu kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian agar jangan
sampai pelaksanaannya tersebut melanggar norma-norma kepatutan dan
keadilan. Kepatutan dimaksudkan agar jangan sampai pemenuhan
kepentingan salah satu pihak terdesak, harus adanya keseimbangan.
Keadilan artinya bahwa kepastian untuk mendapatkan apa yang telah
diperjanjikan dengan memperhatikan norma-norma yang berlaku.
5. Asas Kepribadian
Asas ini berhubungan dengan subyek yang terikat dalam suatu
perjanjian. Asas kepribadian dalam KUHPerdata diatur dalam pasal
1340 ayat (1) yang menyatakan bahwa suatu perjanjian hanya berlaku
antara pihak yang membuatnya. Pernyataan ini mengandung arti bahwa
perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang
membuatnya. Ketentuan mengenai hal ini ada pengecualiannya,
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1337 KUHPerdata yaitu, dapat
pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu
perjanjian dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang
lain, mengandung suatu syarat semacam itu. Pasal ini memberi
pengertian bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian untuk
kepentingan pihak ketiga dengan suatu syarat yang telah ditentukan.
Sedangkan dalam Pasal 1338 KUHPerdata, tidak hanya mengatur
perjanjian untuk diri sendiri, tetapi juga untuk kepentingan ahli
warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak dari padanya.

Universitas Sumatera Utara

6. Asas Kepatutan
Asas kepatutan tertuang dalam Pasal 1339 KUHPer. Asas ini
berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian yang diharuskan
oleh kepatutan berdasarkan sifat perjanjiannya.
5. Hapusnya Perjanjian
Menurut ketentuan Pasal 1381 KUH Perdata, hapusnya suatu
perikatan ada 10 cara, yaitu :
a. Karena Pembyaran
Maksud pembayaran di sini adalah pembayaran dalam arti luas,
yang meliputi pembayaran harga pembelian dan penyerahan barang
oleh pihak penjual.
Dengan

demikian,

ini

dimaksudkan

sebagai

pelaksanaan

perjanjian. Pembayaran harus dilakukan di tempat dalam perjanjian.
Sedangkan kalau dalam perjanjian tidak ditetapkan suatu tempat,
pembayaran mengenai barang tertentu harus dilakukan di tempat barang
itu berada pada waktu perjanjian.
Kalau terjadi pembayaran oleh suatu pihak ketiga kepada kreditur,
maka pihak ketiga itu menggantikan kedudukan kreditur pertama.
Penggantian kreditur semacam ini disebut subrogasi.
b. Karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan
ataupenitipan.

Universitas Sumatera Utara

Dalam hal pembayaran bias terjadi penitipan apabila debitur telah
melakukan penawaran pembayaran dengan perantaran notaris atau juru
sita, kemudian kreditur menolak pembayaran itu.
Atas dasar penolakan oleh kreditur itu, debitur memohon kepada
Pengadilan Negeri, agar penawaran pembayaran yang telah ditolak
kreditur tersebut disahkan. Setelah disahkan barang atau uang yang
akan dibayarkan itu disimpan atau dititipkan pada Panitera Pengadilan
Negeri yang bersangkutan. Dengan demikian, hapuslah perikatan yang
ada antara para pihak, dan segala resiko atas barang yang dititipkan
tersebut menjadi tanggung jawab keditur.
c. Karena Pembayaran Hutang
Pembaharuan hutang terjadi dengan jalan mengganti hutang debitur
lama dengan hutang debitur baru dan krditur lama dengan kreditur baru.
Dalam hal lama diganti dengan hutang baru, terjadilah penggantian
objek perjanjian yang disebut dengan “Novasi Objektif”. Disini hutang
lama menjadi lenyap.
d. Karena Perjumpaan Hutang atau Kompensasi
Perjumpaan hutang maksudnya adalah merupakan suatu cara
penghapusan

hutang

dengan

memperhitungkan

hutang

piutang

masingmasing pihak, sehingga salah satu perikatan jadi hapus.
e. Karena Percampuran Hutang
Percampuran hutang terjadi apabila kedudukan dan debitur itu
menjadi satu, artinya berada dalam satu orang, percampuran hutang

Universitas Sumatera Utara

tersebut terjadi demi hukum atau secara otomatis. Dalam percampuran
hutang ini, hutang piutang menjadi hapus.

f. Karena Pembebasan Hutang
Pembebasan hutang dapat terjadi apabila kreditur menyatakan
dengan tegas, bahwa ia tidak lagi menghedaki prestasi dari debitur, dan
melepaskan haknya atas pembayaran dan pemenuhan perjanjian.
Dengan pembebasan hutang ini, perikatan menjadi hapus. Debitur yang
dibebaskan dari kewajiban memenuhi prestasi itu, harus dapat
membuktikannya karean suatu pembebasan hutang tidak boleh
dipersangkakan saja, hanya pembebasan itu tidak terikat oleh cara
tertentu.
g. Karena Musnahnya Barang Yang Terhutang
Apabila barang tertentu yang menjadi objek perjanjian musnah,
tidak dapat lagi diperdagangkan atau hilang di luar kesalahan debitur
dan sebelum ia lalai menyerahkannya pada waktu yang ditentukan
maka perikatannya hapus.
Walau misalnya debitur lalai menyerahkan barang itu, iapun akan
bebas dari perikatan apabila ia dapat membuktikan bahwa hapusnya
barang itu di luar kekuasaannya dan barang tersebut juga akan menemui
hal yang sama meskipun berada di tangan kreditur.
h. Karena Kebatalan atau Pembatalan

Universitas Sumatera Utara

Suatu perikatan yang tidak memenuhi syarat subyektif, dapat
dimintakan pembatalannya kepada hakim dengan dua cara :
1) Dengan cara aktif, yaitu menuntut pembatalan
kepada hakim dengan dimintakan pembatalan
kepada hakim dengan mengajukan gugatan.
2) Dengan cara pembelaan, yaitu menunggu sampai
ada gugatan untuk memenuhi perikatan dan baru
mengajukan alasan tentang kekurangan perikatan
ini.
i. Karena Berlakunya Syarat Batal
Maksud syarat di sini ketentuan isi perjanjian yang disetujui oleh
kedua belah pihak, syarat sama jika dipenuhi akan megakibatkan
batalnya perikatan itu sehingga perikatan menjadi lenyap. Syarat yang
demikian ini dinamakan syarat batal.
j. Karena Lewat Waktu
Lewat

waktu

atau

daluarsanya

adalah

suatu

alat

untuk

memeperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan,
dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan syarat-syarat yang ditentukan
oleh undang-undang.
Dengan daluarsanya waktu tersebut, maka setiap perikatan hukum
menjadi hapus dan berubah menjadi perikatan bebas (natur vebintenis),
yang membayarnya tidak dituntut di Pengadilan.

Universitas Sumatera Utara

B. Tinjauan Umum Perjanjian Rawat Inap
1. Pengertian Perjanjian Rawat Inap
Perjanjian

rawat

inap

merupakan

suatu

pengertian

yang

mengandung dua makna, yaitu perjanjian dan rawat inap. “Perjanjian”
adalah merupakan terjemahan dari bahasa Belanda “Overeenkomst”.
Dalam menterjemahkan “Overeenkomst” ini para sarjana tidak
menjumpai kesatuan pendapat, ada yang menterjemahkan dengan
“Persetujuan” ada yang menterjemahkan “Perjanjian”. 29
Tentang pemakaian ke dua istilah tersebut (persetujuan dan
perjanjian), subekti mengemukakan bahwa :
Pemakaian perkataan “persetujuan” tentu saja tidak salah, karena
peristiwa termaksud juga berupa kesepakatan atau pertemuan kehendak
antara dua orang atau pihak lain untuk melaksanakan sesuatu dengan
perkataan “Persetujuan” (kalau dilihat dari segi terjemahannya saja)
lebih sesuai dengan perkataan Belanda “overeenkomst” yang dipakai
oleh BW, tetapi perkataan “Perjanjian” oleh masyarakat sudah
dirasakan sebagai suatu istilah yang mantap untuk menggambarkan
janji-janji yang untukperikatannya dijamin oleh hukum.
Dibagian lain beliau juga mengatakan: Perikatan paling banyak
dilahirkan dari peristiwa di mana dua orang atau lebih saling
menjanjikan suatu peristiwa, ini paling tepat dinamakan “Perjanjian”

29

Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisis Kasus, Penerbit: Kencana, Jakarta,
2004, hal. 18.

Universitas Sumatera Utara

yaitu merupakan suatu rangkaian janji-janji. Dapat dikatakan bahwa
perkataan “Perjanjian” sudah sangat popular dikalangan masyarakat.
Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan perjanjian, maka
dapat dilihat pada Pasal 1313 KUH Perdata yaitu: “Perjanjian adalah
suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang atau lebih”.
Rawat inap secara umum adalah “proses perawatan dan
penyembuhan pasien yang dilakukan di Rumah Sakit atas anjuran
dokter atau dengan bisa juga atas permintaan pasien itu sendiri dengan
indikasi medis”.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahwa rawat inap itu
merupakan orang yang sakit dirawat dan bermalam di Rumah Sakit.
Dari uraian pengertian perjanjian dan rawat inap tersebut, maka
pengertian perjanjian rawat inap itu sendiri adalah persetujuan antara
kedua belah pihak, yaitu pihak pasien dan pihak Rumah Sakit untuk
melaksanakan proses perawatan dan penyembuhan yang dilakukan di
Rumah Sakit. 30 Jadi proses perawatan tersebut menimbulkan suatu
hubungan hukum, di mana para pihak saling mengikatkan diri antara
satu sama lainnya yang berakibat melahirkan hak dan kewajiban secara
timbal balik. 31

30

Chrisdiono M. Achadiat, Dinamika Etika dan Hukum kedokteran, Penerbit: Buku
Kedokteran, Jakarta, 2004, hal. 17.
31
Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran, Penerbit: Mandar Maju, Bandung,
2001, hal. 10.

Universitas Sumatera Utara

Hubungan hukum antara pasien dan Rumah Sakit termasuk dalam
perjanjian pada umumnya yang dalam Pasal 1234 BW ditentukan
bahwa “tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk
berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”.
Dalam praktiknya, hubungan hukum yang ditimbulkan dalam
pelayanan kesehatan di rumah sakit antara pasien dengan rumah sakit
dibedakan menjadi dua macam perjanjian : 32
1. Perjanjian Perawatan, dalam hal ini ada kesepakatan yang dilakukan
antara rumah sakit dengan pasien bahwa pihak rumah sakit
menyediakan fasilitas kamar perawatan dan tenaga perawat yang
melakukan tindakan perawatan.
2. Perjanjian pelayanan medis, dalam hal ini ada kesepakatan antara
rumah sakit dengan pasien bahwa tenaga medis di rumah sakit akan
berupaya secara maksimal untuk menyembuhkan pasien melalui
tindakan medis.
Di samping itu yang dimaksud dengan pasien adalah orang sakit
(yang dirawat dokter), penderita (sakit). Pasien dalam praktek seharihari sering dikelompokkan dalam :
a. Pasien dalam, yaitu pasien yang memperoleh pelayanan
tinggal atau dirawat pada suatu unit pelayanan kesehatan
tertentu, atau dapat juga disebut dengan pasien yang
dirawat di Rumah Sakit.
32

Y.A. Triana Ohoiwutun, Bunga Rampai Hukum kedokteran, Penerbit : Bayumedia
Publishing, Malang, 2007, hal. 81

Universitas Sumatera Utara

b. Pasien jalan atau luas, yaitu pasien yang hanya memperoleh
pelayanan kesehatan tertentu atau disebut juga pasien jalan.
c. Pasien rawat inap, yaitu pasien yang memperoleh
pelayanan kesehatan dengan cara menginap dan dirawat di
Rumah Sakit atau disebut juga dengan pasien rawat inap.
2. Berlakunya Perjanjian Rawat Inap
Saat berlakunya suatu perjanjian rawat inap bagi pihak-pihak
yangmengadakan perjanjian ditentukan oleh :
a. Saat berlakunya perjanjian
Dalam Asas Konsenualisme sebagaimana terdapat dalam pasal 1320
KUH Perdata angka (1) kesepakatan dimana menurut asas perjanjian itu
telah lahir cukup dengan adanya kata sepakat. Disini yang ditekankan
adalah adanya persesuaian kehendak (meeting of mind)sebagai inti dari
hukum kontrak. Hal ini sesuai dengan Pasal 1338 KUH Perdata yang
menyatakan tidak perlunya bukti tertulis, asal saja tercapai consensus di
antara pihak yang mengdakan perjanjian.
b. Tempat mulai berlakunya perjanjian
Tempat mulai berlakunya perjanjian juga dapat mempengaruhi
pelaksanaan mulai berlakunya perjanjian. Tempat mulai berlakunya
perjanjian dapat ditentukan oleh para pihak, maka tempat mulai
berlakunya adalah seperti apa yang ditentukan dalam Pasal 17 KUH
Perdata yaitu :

Universitas Sumatera Utara

“Setiap orang dianggap mempunyai berlakunya tempat di mana ia
menempatkan pusat kediamannya, dalam hal tak adanya tempat tinggal
yang demikian, maka tempat kediaman sewajarnya dianggap sebagai
tempat tinggal.”
Dengan demikian tempat mulai berlakunya suatu perjanjian yang
paling baik adalah tempat yang disetujui berdasarkan kesepakatan para
pihak yang mengadakan perjanjian (dalam hal iniperjanjian rawat inap)
tidak berada pada satu daerah, untuk mengatasi hal yang demikian
maka tempat mulai berlakunya perjanjian adalah tempat yang disetujui
oleh mereka. Tempat ini penting untuk menetapkan hukum manakah
yang akan berlaku apabila kedua belah pihak berada di tempat yang
berlainan di dalam negeri ataupun dinegara yang berlainan adat
kebiasaanya.
Untuk perjanjian antara pihak pasien dengan pihak RumahSakit,
maka saat lahirnya dan mengikatkannya perjanjian adalah pada saat
ditandatanganinya surat pernyataan oleh pihak penanggung jawab
pasien. Dengan adanya kemauan pihak pasien untuk menempati ruangruangan rawat inap dan untuk dilakukan perawatan dan ditandatangani
surat para pihak, maka pada saat itu antara kedua belah pihak telah
terjadi kesepakatan dan dianggap sebagai lahirnya perjanjian antara
pihak pasien dengan pihak Rumah Sakit.
Sedangkan mengenai tempat lahirnya perjanjian tersebut adalah
tempat ditutupnya atau tempat tinggal pihak yang mengadakan

Universitas Sumatera Utara

penawaran yaitu pihak Rumah Sakit. Dengan demikian, tempat
terjadinya perjanjian antara Rumah Sakit dengan pihak pasien adalah
tempat domisili Rumah Sakit Umum Daerah H. Abdul Manan
Simatupang Kabupaten Asahan.
3. Prosedur Perjanjian Rawat Inap
Dalam prosedur perjanjian rawat inap di Rumah Sakit Umum
Daerah H.Abdul Manan Simatupang Kabupaten Asahan

memiliki

berbagai jenis kamar dengan kelas dan fasilitas yang berbeda untuk
masing-masing kelas.
Untuk mendapatkan fasilitas seperti yang diharapkan sebaiknya
hubungi bagian Front Office/Admission untuk memperoleh informasi
dan layanan seperti yang diinginkan.
Berikut prosedur Rawat InapRumah Sakit Umum Daerah H. Abdul
Manan Simatupang Kabupaten Asahan : 33
Tahap Persiapan :
1. Kecuali dalam keadaan darurat, dalam rangka mempermudah
pelayanan, sebelum datang sebaiknya lakukan lakukan perjanjian
terlebih dahulu dengan telpon ke Rumah Sakit Umum H.Abdul Manan
Simatupang Kabupaten Asahan

0623-41785 dengan menyebutkan

nama jelas, nomer rekam medis dan tanggal lahir sebagaimana terdapat
pada kartu (buku) pasien, serta dokter yang menangani.

33

Hasil wawancara dengan Ibu Ratna Sari, S.Kep, Ners , Kepala Instalasi Rawat Inap
Rumah Sakit Umum Daerah H. Abdul Manan Simatupang Kabupaten Asahan, Pada tanggal 10
Mei 2017.

Universitas Sumatera Utara

2. Pada saat menelpon, dapat diperoleh informasi prosedur, perkiraan
biaya, metode pembayaran serta fasilitas layanan. Sampaikan juga
asuransi/perusahaan penjamin kalau ada.
3. Dokumen yang harus dibawa :
a.

Kartu pasien

b.

Buku pasien

c.

Surat rujukan (apabila ada)

d.

Hasil pemeriksaan laboratorium (kalau ada)

e.

Hasil pemeriksaan penunjang lainnya misalnya : CTG,
EKG, rongent (kalau ada)

f.

Kartu asuransi/jaminan

g.

Dokumen jaminan perusahaan (kalau ada)

h.

Kartu

kredit/debit

(kalau

pembayaran

dengan

kartu

kredit/debit)
i.

Dokumen akte lahir (apabila akan mengurus akte lahir) :
foto copy KTP suami istri, akte nikah, kartu keluarga.

Tahap Registrasi :
a. Front Office/Admission akan membantu melakukan registrasi;
b. Tunjukkan kartu asuransi atau jaminan (ini penting untuk mempercepat
layanan);
c. Isi formulir jaminan;

Universitas Sumatera Utara

d. Isi formulir registrasi rawat inap;
e. Apabila

jaminan

asuransi/perusahaan,

maka

Admission

akan

melakukan konfirmasi terlebih dahulu kepada asuransi/jaminan;
f. Perawat akan mengantar pasien ke ruang perawatan/tindakan;
Tahap Pembayaran :
a) Uang muka harus dilunasi pada hari masuk rawat sebesar ketentuan
yang berlaku di Rumah Sakit Umum Daerah H. Abdul Manan
Simatupang Kabupaten Asahan.
b) Apabila dijamin oleh asuransi/perusahaan dan telah dilakukan
konfirmasi, maka tidak diperlukan uang muka. Namun apabila
belum ada konfirmasi dari asuransi/perusahaan maka tetap
membayar uang muka, tetapi kalau setelah itu terdapat konfirmasi,
maka uang muka tersebut akan dikembalikan.
c) Jika uang muka perawatan yang telah dibayar tersisa sampai batas
minimal maka harus ditambah lagi uang muka sampai terpenuhi.
d) Setiap saat pasien/keluarga dapat meminta perincian biaya
perawatan sementara kepada kasir.
e) Bila tunggakan bertambah besar dan belum ditambah lagi uang
mukanya, maka :
(1) Obat yang diresepkan harus dibeli sendiri;
(2) Pemeriksaan penunjang dibayar tunai;
(3) Pasien yang bersangkutan dipindahkan ke kelas yang lebih rendah.

Universitas Sumatera Utara

g. Biaya tindakan (misalnya operasi) akan mengacu pada kelas kamar
yang paling tinggi yang ditempati pasien.
h. Pembayaran hanya dengan uang tunai dan tidak menerima
pembayaran dengan giro/cek.
Tahap Perawatan :
a. Rumah Sakit Umum Daerah H.Abdul Manan Simatupang Kabupaten
Asahan memiliki wewenang untuk memindahkan pasien ke kamar lain
sesuai kelas perawatannya, dengan persetujuan pasien/keluarganya.
b. Staff medis dan paramedis Rumah Sakit Umum Daerah H. Abdul
Manan Simatupang kabupaten Asahan berwenang melakukan tindakan
pertolongan medis pada keadaan kegawatan untuk menolong jiwa
pasien.
4. Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Rawat Inap
Sebelum diuraikan hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian
rawat inap, terlebih dahulu dikemukakan pihak-pihak yang terlibat
dalam perjanjian rawat inap, yaitu :
a. Rumah Sakit, dalam hal ini sebagai pihak penyelenggara perawatan dan
penyebuhan pasien.
b. Pasien, sebagai pihak yang mendapatkan jasa perawatan dari Rumah
Sakit.
Adapun pihak ketiga hanya sebagai penjamin dalam biaya
perawatan danpenyembuhan pasien.

Universitas Sumatera Utara

Hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian rawat inap di Rumah
Sakit adalah sebagai berikut :
1.

Hak dan kewajiban Rumah Sakit.

Hak Rumah Sakit sebagi penyelenggara perawatan dan penyembuhan
pasien, yaitu :
a.

Menerima pembayaran atau biaya perawatan dan penyembuhan pasien.

b.

Menolak permintaan pihak pasien terhadap pelayanan dan penyediaan
fasilitas perawatan yang tidak sesuai dengan perjanjian.

Kewajiban rumah sakit adalah :
a.

Berkewajiban melayani dan memberikan suatu pelayanan dan
perawatan yang baik terhadap pasien.

b.

Berkewajiban memberikan waktu kunjungan buat pasien.
2.

Hak dan Kewajiban Pasien

Hak-hak pasien adalah : 34
a.

Hak atas informasi yang jelas perihal penyakitnya (meliputi penyakit
yang diderita, tindakan medis yang akan dilakukan, kemungkinan
masalah yang timbul akibat tindakan medis tersebut dan tindakan yang
dilakukan untuk mengatasinya, alternative terapi lainnya dan perkiraan
biaya yang diperlukan.

34

Y.A. Triana Ohoiwutun, Bunga Rampai Hukum kedokteran, Loc. cit. hal. 16.

Universitas Sumatera Utara

b.

Hak untuk menyutujui tindakan medis yang akan dilakukan oleh dokter
atas penyakit yang dideritanya.

c.

Hak untuk dirahasiakan selamanya tentang keadaan kesehatan termasuk
data-data medis yang dimilikinya.

d.

Hak untuk mendapatkan pelayanan medis sebaik-baiknya.

e.

Hak untuk menolak tindakan medis yang akan dilakukan terhadap
dirinya.

Kewajiban pasien adalah : 35
a.

Membayar

uang

muka

dan

semua

biaya

perawatan

dan

penyembuhanselama dirawat.
b.

Pasien wajib mematuhi segala perawatan dan tata tertib yang berlaku di
Rumah Sakit.

Dan adapun Hak dan Kewajiban pihak ketiga sebagai Penjamin :
a.

Berhak meminta kepada pihak Rumah Sakit untuk memberikan
pelayananperawatan yang baik terhadap tanggungannya.

b.

Berhak meminta fasilitas perawatan terhadap pasien tanggungannya
yang sesuai dengan klasisikasi atau kelas yang telah disepakati.
Kewajiban pihak ketiga adalah :

a.

Membayar semua biaya perawatan pasien selama di Rumah Sakit yang
telah menjadi bebannya atau tanggungannya.
35

Rismalinda, 2011, Etika Profesi dan Hukum Kesehatan, Penerbit Hukum Kesehatan,
Jakarta, hal. 26

Universitas Sumatera Utara

b.

Berkewajiban untuk mematuhi segala ketentuan yang dimuat dalam
akta perjanjian rawat inap. 36
5. Hapusnya Perjanjian Rawat Inap
Buku III (tiga) dari B.W. berkepala “Pemusnahan Perjanjian” dan
pasal pertama yaitu pasal 1381 menyebutkan sepuluh macam cara
pemusnahan perjanjian, yaitu: 37
Ke 1

:

Karena pembayaran;

Ke 2: Karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan
penyimpanan;
Ke 3 : : Karena pembaharuan hutang;
Ke 4

: Karena perjumpaan hutang atau kompensasi;

Ke 5 : Karena percampuran hutang;
Ke 6 : Karena pembebasan hutang;
Ke 7 : Karena musnahnya barang yang terhutang;
Ke 8 : Karena kebatalan atau pembatalan;
Ke 9 : Karena berlakunya syarat-batal;
Ke 10 : Karena kadaluarsa (verjaring).
Untuk itu hapusnya perjanjian rawat inap di Rumah Sakit pada
Umumnya adalah karena para pihak pasien atau penanggungnya
telahmelakukan “Pembayaran”.

36

Hasil wawancara dengan M. Saifuddin Zuhri, SE, Kepala Bagian Tata Usaha Rumah
Sakit Umum Daerah H. Abdul Manan Simatupang Kabupaten Asahan, Pada tanggal 10 Mei 2017
37
Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Penerbit cv. Mandar Maju,
Bandung, 2011, hal. 190.

Universitas Sumatera Utara

Hapusnya perjanjian rawat inap karena pembayaran dalam hal ini
pasien atau penanggungnya telah melakukan “Pembayaran lunas”
semua biaya perawatan dan penyembuhan selama di Rumah Sakit dan
dibuktikan oleh ataudengan surat pernyataan lunas (kwitansi) dari
Rumah Sakit. Pembayaran ini harus dilaksanakan diakhir perawatan
pasien atau dengan kata lain pasien menurut pertimbangan medis atau
dokter dinyatakan sembuh dan dibenarkan pulang atau keluar dari
Rumah Sakit.

Universitas Sumatera Utara