Teknik Mulsa Vertikal Pada Budidaya Tebu (Saccharum Officinarum.L) Ratoon Satu
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam pertumbuhannya tebu ratoon membutuhkan unsur hara yang cukup
banyak, baik hara makro maupun hara mikro, yang berasal dari alam atau melalui
penambahan pupuk ke dalam tanah. Selain pupuk makro atau mikro dan pupuk
organik, dapat juga diterapkan pemberian pupuk kompos atau pemberian bokashi
yang bertujuan selain penambahan unsur hara kedalam tanah juga memperbaiki
sifat fisik dan sekaligus sifat biologi tanah.
Kebutuhan unsur hara yang tinggi pada tanaman tebu menyebabkan
kemerosotan yang cepat akan unsur hara di dalam tanah, terutama di daerahdaerah dimana tanaman tebu merupakan monokultur. Dalam hal ini perlakuan
dengan sejumlah pupuk yang cukup merupakan syarat penting untuk mendapatkan
hasil yang menguntungkan. Tanah yang sangat subur sekalipun tidak akan dapat
terus-menerus menyediakan sejumlah hara yang begitu tinggi selama beberapa
tahun. Oleh karena itu, penting sekali memberi atau melengkapi unsur-unsur hara
tersebut secukupnya dengan memakai pupuk, yang dimaksudkan untuk
mempertahankan hasil optimum pada suatu tingkat. Pawirosemadi (2006)
menyatakan bahwa tanaman tebu tidak memerlukan suatu tipe tanah yang khusus
asalkan secara fisik tipe tanah tidak terlalu jelek. Tipe tanah berat lebih sesuai
daripada tipe tanah ringan, asal tanah berat tersebut diberikan sejumlah 60 ton per
hektar bahan organik.
Upaya pengembalian kesuburan tanah yang dapat dilakukan pada lahan
tebu ratoon adalah aplikasi pupuk organik seperti halnya kompos blotong ke
perkebunan tebu tanpa meninggalkan penggunaan pupuk anorganik secara
total.Kombinasi pupuk anorganik dan organik sebagai biostarter untuk
meningkatkan keragaman dan populasi mikroorganisme di dalam tanah yang
selanjutnya dapat mencukupi penyediaan hara.Pemberian pupuk organik
merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kandungan BOT. Bahan organik
yang berupa pupuk organik dapat berfungsi sebagai buffer (penyangga) dan
penahan lengas tanah. Kualitas pupuk organik ditentukan oleh komposisi bahan
mentahnya dan tingkat dekomposisinya (Nuraini dan Nanag, 2003).
Daun tebu pada umumnya tersusun atas selulosa dan lignin yang sulit
untuk didegradasi. Selulosa adalah polisakarida yang tersusun atas 1000-10.000
unit glukosa yang diikat oleh ikatan 1,4 β-glukosida. Secara alami proses
degradasi memerlukan bantuan mikroorganisme
yang mengeluarkan enzim
selulotik. Selulosa dihidrolisis olehenzim selulase dengan memotongikatan 1,4 βglukosida pada rantai panjang selulosa. Pada lingkungan aerobik, selulosa akan
terurai menjadi glukosa yang akan bergabung ke dalam sel yang sedang tumbuh
dan karbondioksida. Sedangkan pada lingkungan anaerobik, selulosa akan terurai
menjadi asam organik dan alkohol (Mariadi, et al,2009). Proses penghancuran
tersebut dipercepat dengan bantuan bakteri selulolitik. Beberapa genus fungi
selulolitik diantaranya adalah Aspergillus, Fusarium, Phoma, dan Trichoderma
(Bainbridge, 1999).
Teknik mulsa vertikal adalah pemanfaatan limbah hutan, baik yang berasal
dari serasah, gulma, cabang, ranting, batang maupun daun-daun bekas tebangan
dengan memasukkannya ke dalam saluran atau alur yang dibuat menurut kontur
pada bidang tanah yang diusahakan.Mulsa vertikal pada dasarnya selalu
dikombinasikan dengan pembuatan rorak / guludan. (Abdul Rauf 1999)
Mulsa vertikal atau disebut juga “teknik jebakan mulsa” adalah bangunan
menyerupai rorak yang dibuat memotong lereng dengan ukuran yang lebih
panjang bila di bandingkan dengan rorak. Ukuran jebakan mulsa harus
disesuaikan dengan keadaan lahan dengan lebar 0,40 -0,60 meter dan dalam 0,30 0,50 meter, jarak antar barisan jebakan mulsa ditentukan oleh kemiringan lahan
atau berkisar antara 3-5 meter. Jebakan mulsa ini merupakan tempat dan sekaligus
berfungsi untuk menampung air aliran permukaan serta sedimen.Pada musim
tanam berikutnya, bersamaan dengan persiapan dan pengelolaan tanah, jebakan
mulsa tersebut diperbaiki (dibuat kembali), hasil pelapukan tanaman dan sedimen
dari jebakan mulsa dikembalikan ke bidang olah yang dapat memperbaiki
kesuburan tanah (Kurnia, 2004).
Biomassa segar yang telah terdekomposisi merupakan media yang dapat
menyerap dan memegang massa air dalam jumlah besar, sehingga penyimpanan
air dalam tanah dapat berjalan efisien dandapat meningkatkan keragaman biota
tanah, karena mulsa merupakan niche ecology bagi berbagai jenis biota tanah.
Biota ini akan memanfaatkan energy dan unsur hara di dalam mulsa dan akan
menghasilkan senyawa organik yang
dapat memantapkan agregat tanah
(Pratiwi 2001).
Dalam upaya melakukan konservasi pada tanaman tebu, kebiasaan
membakar tebu atau sisa-sisa daun tebu di lapangan
harus dihilangkan.
Pembakaran daun tebu bisa menyebabkan pencemaran udara, serta akan
menghilangkan berbagai unsur hara tanah yang mudah menguap seperti nitrogen
dan belerang. Daun dan sisa tanaman tebu lainnya sebaiknya dijadikan mulsa atau
dikomposkan.
Pemberian mulsa, pupuk hijau atau bahan organik akan membantu mencegah
erosi. Mulsa akan menutupi permukaan tanah dari gaya mekanis butir hujan dan
aliran permukaan. Mulsa sebaiknya berasal dari sisa-sisa tanaman yang sukar
lapuk seperti serasah tebu, ampas, jerami padi atau batang jagung.
Penambahan mulsa pada areal tanaman tebu dapat menurunkan erosi
hingga 80%.Sabagai mulsa pada tanaman tebu dapat digunakan serasah tebu ,
blotong atau ampas tebu. Mulsa ditaburkan pada tanah-tanah kosong diantara
barisan tanaman tebu.Mulsa juga bisa menahan laju penguapan air dan
memberikan kondisi iklim mikro yang kondusif bagi pertumbuhan mikroba di
sekitar akar. Penambahan bahan organik ke tanah diharapkan dapat memperbaiki
kualitas fisika tanah, meningkatkan ketersediaan hara dalam tanah, meningkatkan
kemampuan tanah menahan air-tersedia dan mampu memperbaiki pertumbuhan
tanaman (Tangkoonboribun et al, 2007).
Bahan organik yang diberikan ke tanah akan membantu memperbaiki
sifat-sifat fisik tanah yang mendukung proses masuknya air ke dalam tanah.
Dalam budidaya tebu, sumber bahan organik bisa diperoleh dari sisa-sisa tanaman
di kebun atau hasil samping prosesing gula di PG. Daun tebu kering, tunas, sisasisa batang tebu bisa dikomposkan secara manual dengan menambah kapur dan
kotoran hewan. (Thorisman, A 1999 ) Pengembalian bahan organik sisa tumbuhan
sampai saat ini umumnya dilakukan dengan menyebarkan kembali ke dalam tanah
setelah tanah diolah. Beberapa penelitian dibidang pertanian menunjukkan bahwa
cara ini mampu menurunkan laju aliran permukaan, tetapi di lahan dengan
topograpi miring aliran permukaan yang terjadi masih cukup besar.
Oleh karena itu di perlukan teknik
pemanfaatan
sisa bahan organik
tumbuhan, agar aliran permukaan dan erosi dapat dikurangi. Salah satu Teknik
tersebut adalah pemanfaatan bahan organik sisa tanaman melalui teknik mulsa
vertikal.
Teknik mulsa vertikal adalah pemanfaatan sisa tumbuhan dengan
memasukkannya ke dalam saluran yang dibuat menurut kontur pada bidang tanah
yang diusahakan. Penerapan mulsa vertikal terbukti dapat meningkatkan infiltrasi
serta menurunkan laju evaporasi dari permukaan tanah pertanian.
Penelitian
mengenai penggunaan mulsa vertikal di Indonesia pada bidang pertanian telah
banyak dilakukan oleh Brata, et al., (1999). Selanjutnya Abdul-Rauf, (2004)
menyatakan , perlakuan mulsa vertikal baik searah
Mulsa Vertikal Piringan (MVP) menghasilkan
kontur (MVK), maupun
erosi yang lebih kecil dari
perlakuan gulud Piringan (GP) dan berbeda nyata dibandingkan erosi pada
perlakuan mulsa horizontal (MH).
Trichoderma Sp, adalah kelompok kapang yang banyak diisolasi dari
tanah, benda-benda di permukaan tanah seperti serasah, buah-buah busuk, daun
layu, pelapukan kayu dan juga ditemukan
berasosiasi dengan akar tanaman
berkayu dan herba membentuk koloni di dalam tanah. Genus ini adalah jenis
kapang tanah yang paling banyak dikulturkan (Mariadi et al., 2009).
Secara makroskopis, genus Trichoderma ,Sp mempunyai koloni berwarna
putih keabuan dengan permukaan yang halus dan warna konidia hijau keputihan
sampai hijau terang bervariasi tergantung spesies . Hifa bersekat, dinding licin
dengan ukuran 1,5-2,0 µm, dan percabangan membentuk sudut siku-siku dengan
percabangan utama (Kasim, R, 1996).
Potensi Jamur Trichoderma Sp sebagai jamur antagonis yang bersifat
preventif terhadap serangan penyakit tanaman telah menjadikan jamur
tersebutsemakin luas digunakan oleh petani dalam usaha pengendalian Organisme
Pengganggu Tumbuhan (OPT), disamping itu diketahui pula
bahwa,
Trichoderma, Sp juga berfungsi sebagai dekomposer dalam pembuatan pupuk
organik (Mursida, 2005).
Pupuk kandang merupakan campuran kotoran padat, air kencing, dan sisa
makanan (tanaman). Dengan demikian susunan kimianya tergantung dari: jenis
ternak,umur dan keadaan hewan,
sifat dan jumlah amparan, dan
cara
penyimpanan pupuk sebelum dipakai. Hewan hanya menggunakan setengah dari
bahan
organik
yang
dimakan,
dan
selebihnya
dikeluarkan
sebagai
kotoran.Sebagian dari padatan yang terdapat dalam pupuk kandang terdiri dari
senyawa organik serupa dengan bahan makanannya, antara lain selulosa, pati dan
gula, hemiselulosa dan lignin seperti yang kita jumpai dalam humus lignoprotein.Penyusun pupuk kandang yang paling penting adalah komponen hidup,
yaitu organisme tanah, pada sapi seperempat hingga setengah bagian kotoran
hewan merupakan jaringan mikrobia (Suntoro Wongso Atmojo, 2011).
Mowindu, (2001) menyatakan bahwa pupuk kandang biasanya terdiri atas
campuran 0,5% N; 0,25% P2O5dan 0,5% K2O. Pupuk kandang sapi padat dengan
kadar air 85% mengandung 0,40% N; 0,20% P2O5dan 0,1% K2O dan yang cair
dengan kadar air 95% mengandung 1% N; 0,2% P2O5dan 1,35% K2O.
Proses perombakan bahan organik pada tahap awal bersifat hidrolisis
karena proses ini berlangsung dengan adanya air dan enzim hidrolisis ekstra
selular yang menghasilkan senyawa yang lebih sederhana dan mudah larut dalam
air sehingga mikroorganisme dapat memanfaatkannya terutama dalam kondisi
aerobik. Perombakan selanjutnya dalam kondisi aerobik dengan hasil akhirnya
CO2dan H2O.Dalam kondisi anaerobik, hasil samping adalah asam asetat, asam
propionat, asam laktat, asam butirat dan asam format serta alkohol dan gas-gas
CO2, H2dan metan (CH4) (Sugitoet al., 1995).
Sangatanan (1999) merekomendasikan jumlah pupuk kandang sebanyak
15 – 20 ton/ha tergantung jenis tanaman dan pertumbuhan tanaman, dan menurut
Mowidu (2001) pemberian 20 – 30 ton/ha Pupuk Kandang berpengaruh nyata
dalam meningkatkan porositas total, jumlah pori berguna, jumlah pori penyimpan
lengas dan kemantapan agregat serta menurunkan kerapatan , kerapatan bongkah
dan permeabilitas tanah
Low dan Piper (1997) dalam Sugito, et al.,(1995) menyatakan pemberian
pupuk kandang sebanyak 25 ton/ha per tahun selama 6 tahun berturut-turut dapat
meningkatkan 4 % porositas tanah, 14,5 % volume udara tanah pada keadaan
kapasitas lapangan dan 33,3 % bahan organik serta menurunkan kepadatan tanah
sebanyak 3 %. Secara kimia memberikan keuntungan menambah unsur hara
terutama NPK dan meningkatkan KPK serta secara biologi dapat meningkatkan
aktifitas mikroorganisme tanah
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam pertumbuhannya tebu ratoon membutuhkan unsur hara yang cukup
banyak, baik hara makro maupun hara mikro, yang berasal dari alam atau melalui
penambahan pupuk ke dalam tanah. Selain pupuk makro atau mikro dan pupuk
organik, dapat juga diterapkan pemberian pupuk kompos atau pemberian bokashi
yang bertujuan selain penambahan unsur hara kedalam tanah juga memperbaiki
sifat fisik dan sekaligus sifat biologi tanah.
Kebutuhan unsur hara yang tinggi pada tanaman tebu menyebabkan
kemerosotan yang cepat akan unsur hara di dalam tanah, terutama di daerahdaerah dimana tanaman tebu merupakan monokultur. Dalam hal ini perlakuan
dengan sejumlah pupuk yang cukup merupakan syarat penting untuk mendapatkan
hasil yang menguntungkan. Tanah yang sangat subur sekalipun tidak akan dapat
terus-menerus menyediakan sejumlah hara yang begitu tinggi selama beberapa
tahun. Oleh karena itu, penting sekali memberi atau melengkapi unsur-unsur hara
tersebut secukupnya dengan memakai pupuk, yang dimaksudkan untuk
mempertahankan hasil optimum pada suatu tingkat. Pawirosemadi (2006)
menyatakan bahwa tanaman tebu tidak memerlukan suatu tipe tanah yang khusus
asalkan secara fisik tipe tanah tidak terlalu jelek. Tipe tanah berat lebih sesuai
daripada tipe tanah ringan, asal tanah berat tersebut diberikan sejumlah 60 ton per
hektar bahan organik.
Upaya pengembalian kesuburan tanah yang dapat dilakukan pada lahan
tebu ratoon adalah aplikasi pupuk organik seperti halnya kompos blotong ke
perkebunan tebu tanpa meninggalkan penggunaan pupuk anorganik secara
total.Kombinasi pupuk anorganik dan organik sebagai biostarter untuk
meningkatkan keragaman dan populasi mikroorganisme di dalam tanah yang
selanjutnya dapat mencukupi penyediaan hara.Pemberian pupuk organik
merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kandungan BOT. Bahan organik
yang berupa pupuk organik dapat berfungsi sebagai buffer (penyangga) dan
penahan lengas tanah. Kualitas pupuk organik ditentukan oleh komposisi bahan
mentahnya dan tingkat dekomposisinya (Nuraini dan Nanag, 2003).
Daun tebu pada umumnya tersusun atas selulosa dan lignin yang sulit
untuk didegradasi. Selulosa adalah polisakarida yang tersusun atas 1000-10.000
unit glukosa yang diikat oleh ikatan 1,4 β-glukosida. Secara alami proses
degradasi memerlukan bantuan mikroorganisme
yang mengeluarkan enzim
selulotik. Selulosa dihidrolisis olehenzim selulase dengan memotongikatan 1,4 βglukosida pada rantai panjang selulosa. Pada lingkungan aerobik, selulosa akan
terurai menjadi glukosa yang akan bergabung ke dalam sel yang sedang tumbuh
dan karbondioksida. Sedangkan pada lingkungan anaerobik, selulosa akan terurai
menjadi asam organik dan alkohol (Mariadi, et al,2009). Proses penghancuran
tersebut dipercepat dengan bantuan bakteri selulolitik. Beberapa genus fungi
selulolitik diantaranya adalah Aspergillus, Fusarium, Phoma, dan Trichoderma
(Bainbridge, 1999).
Teknik mulsa vertikal adalah pemanfaatan limbah hutan, baik yang berasal
dari serasah, gulma, cabang, ranting, batang maupun daun-daun bekas tebangan
dengan memasukkannya ke dalam saluran atau alur yang dibuat menurut kontur
pada bidang tanah yang diusahakan.Mulsa vertikal pada dasarnya selalu
dikombinasikan dengan pembuatan rorak / guludan. (Abdul Rauf 1999)
Mulsa vertikal atau disebut juga “teknik jebakan mulsa” adalah bangunan
menyerupai rorak yang dibuat memotong lereng dengan ukuran yang lebih
panjang bila di bandingkan dengan rorak. Ukuran jebakan mulsa harus
disesuaikan dengan keadaan lahan dengan lebar 0,40 -0,60 meter dan dalam 0,30 0,50 meter, jarak antar barisan jebakan mulsa ditentukan oleh kemiringan lahan
atau berkisar antara 3-5 meter. Jebakan mulsa ini merupakan tempat dan sekaligus
berfungsi untuk menampung air aliran permukaan serta sedimen.Pada musim
tanam berikutnya, bersamaan dengan persiapan dan pengelolaan tanah, jebakan
mulsa tersebut diperbaiki (dibuat kembali), hasil pelapukan tanaman dan sedimen
dari jebakan mulsa dikembalikan ke bidang olah yang dapat memperbaiki
kesuburan tanah (Kurnia, 2004).
Biomassa segar yang telah terdekomposisi merupakan media yang dapat
menyerap dan memegang massa air dalam jumlah besar, sehingga penyimpanan
air dalam tanah dapat berjalan efisien dandapat meningkatkan keragaman biota
tanah, karena mulsa merupakan niche ecology bagi berbagai jenis biota tanah.
Biota ini akan memanfaatkan energy dan unsur hara di dalam mulsa dan akan
menghasilkan senyawa organik yang
dapat memantapkan agregat tanah
(Pratiwi 2001).
Dalam upaya melakukan konservasi pada tanaman tebu, kebiasaan
membakar tebu atau sisa-sisa daun tebu di lapangan
harus dihilangkan.
Pembakaran daun tebu bisa menyebabkan pencemaran udara, serta akan
menghilangkan berbagai unsur hara tanah yang mudah menguap seperti nitrogen
dan belerang. Daun dan sisa tanaman tebu lainnya sebaiknya dijadikan mulsa atau
dikomposkan.
Pemberian mulsa, pupuk hijau atau bahan organik akan membantu mencegah
erosi. Mulsa akan menutupi permukaan tanah dari gaya mekanis butir hujan dan
aliran permukaan. Mulsa sebaiknya berasal dari sisa-sisa tanaman yang sukar
lapuk seperti serasah tebu, ampas, jerami padi atau batang jagung.
Penambahan mulsa pada areal tanaman tebu dapat menurunkan erosi
hingga 80%.Sabagai mulsa pada tanaman tebu dapat digunakan serasah tebu ,
blotong atau ampas tebu. Mulsa ditaburkan pada tanah-tanah kosong diantara
barisan tanaman tebu.Mulsa juga bisa menahan laju penguapan air dan
memberikan kondisi iklim mikro yang kondusif bagi pertumbuhan mikroba di
sekitar akar. Penambahan bahan organik ke tanah diharapkan dapat memperbaiki
kualitas fisika tanah, meningkatkan ketersediaan hara dalam tanah, meningkatkan
kemampuan tanah menahan air-tersedia dan mampu memperbaiki pertumbuhan
tanaman (Tangkoonboribun et al, 2007).
Bahan organik yang diberikan ke tanah akan membantu memperbaiki
sifat-sifat fisik tanah yang mendukung proses masuknya air ke dalam tanah.
Dalam budidaya tebu, sumber bahan organik bisa diperoleh dari sisa-sisa tanaman
di kebun atau hasil samping prosesing gula di PG. Daun tebu kering, tunas, sisasisa batang tebu bisa dikomposkan secara manual dengan menambah kapur dan
kotoran hewan. (Thorisman, A 1999 ) Pengembalian bahan organik sisa tumbuhan
sampai saat ini umumnya dilakukan dengan menyebarkan kembali ke dalam tanah
setelah tanah diolah. Beberapa penelitian dibidang pertanian menunjukkan bahwa
cara ini mampu menurunkan laju aliran permukaan, tetapi di lahan dengan
topograpi miring aliran permukaan yang terjadi masih cukup besar.
Oleh karena itu di perlukan teknik
pemanfaatan
sisa bahan organik
tumbuhan, agar aliran permukaan dan erosi dapat dikurangi. Salah satu Teknik
tersebut adalah pemanfaatan bahan organik sisa tanaman melalui teknik mulsa
vertikal.
Teknik mulsa vertikal adalah pemanfaatan sisa tumbuhan dengan
memasukkannya ke dalam saluran yang dibuat menurut kontur pada bidang tanah
yang diusahakan. Penerapan mulsa vertikal terbukti dapat meningkatkan infiltrasi
serta menurunkan laju evaporasi dari permukaan tanah pertanian.
Penelitian
mengenai penggunaan mulsa vertikal di Indonesia pada bidang pertanian telah
banyak dilakukan oleh Brata, et al., (1999). Selanjutnya Abdul-Rauf, (2004)
menyatakan , perlakuan mulsa vertikal baik searah
Mulsa Vertikal Piringan (MVP) menghasilkan
kontur (MVK), maupun
erosi yang lebih kecil dari
perlakuan gulud Piringan (GP) dan berbeda nyata dibandingkan erosi pada
perlakuan mulsa horizontal (MH).
Trichoderma Sp, adalah kelompok kapang yang banyak diisolasi dari
tanah, benda-benda di permukaan tanah seperti serasah, buah-buah busuk, daun
layu, pelapukan kayu dan juga ditemukan
berasosiasi dengan akar tanaman
berkayu dan herba membentuk koloni di dalam tanah. Genus ini adalah jenis
kapang tanah yang paling banyak dikulturkan (Mariadi et al., 2009).
Secara makroskopis, genus Trichoderma ,Sp mempunyai koloni berwarna
putih keabuan dengan permukaan yang halus dan warna konidia hijau keputihan
sampai hijau terang bervariasi tergantung spesies . Hifa bersekat, dinding licin
dengan ukuran 1,5-2,0 µm, dan percabangan membentuk sudut siku-siku dengan
percabangan utama (Kasim, R, 1996).
Potensi Jamur Trichoderma Sp sebagai jamur antagonis yang bersifat
preventif terhadap serangan penyakit tanaman telah menjadikan jamur
tersebutsemakin luas digunakan oleh petani dalam usaha pengendalian Organisme
Pengganggu Tumbuhan (OPT), disamping itu diketahui pula
bahwa,
Trichoderma, Sp juga berfungsi sebagai dekomposer dalam pembuatan pupuk
organik (Mursida, 2005).
Pupuk kandang merupakan campuran kotoran padat, air kencing, dan sisa
makanan (tanaman). Dengan demikian susunan kimianya tergantung dari: jenis
ternak,umur dan keadaan hewan,
sifat dan jumlah amparan, dan
cara
penyimpanan pupuk sebelum dipakai. Hewan hanya menggunakan setengah dari
bahan
organik
yang
dimakan,
dan
selebihnya
dikeluarkan
sebagai
kotoran.Sebagian dari padatan yang terdapat dalam pupuk kandang terdiri dari
senyawa organik serupa dengan bahan makanannya, antara lain selulosa, pati dan
gula, hemiselulosa dan lignin seperti yang kita jumpai dalam humus lignoprotein.Penyusun pupuk kandang yang paling penting adalah komponen hidup,
yaitu organisme tanah, pada sapi seperempat hingga setengah bagian kotoran
hewan merupakan jaringan mikrobia (Suntoro Wongso Atmojo, 2011).
Mowindu, (2001) menyatakan bahwa pupuk kandang biasanya terdiri atas
campuran 0,5% N; 0,25% P2O5dan 0,5% K2O. Pupuk kandang sapi padat dengan
kadar air 85% mengandung 0,40% N; 0,20% P2O5dan 0,1% K2O dan yang cair
dengan kadar air 95% mengandung 1% N; 0,2% P2O5dan 1,35% K2O.
Proses perombakan bahan organik pada tahap awal bersifat hidrolisis
karena proses ini berlangsung dengan adanya air dan enzim hidrolisis ekstra
selular yang menghasilkan senyawa yang lebih sederhana dan mudah larut dalam
air sehingga mikroorganisme dapat memanfaatkannya terutama dalam kondisi
aerobik. Perombakan selanjutnya dalam kondisi aerobik dengan hasil akhirnya
CO2dan H2O.Dalam kondisi anaerobik, hasil samping adalah asam asetat, asam
propionat, asam laktat, asam butirat dan asam format serta alkohol dan gas-gas
CO2, H2dan metan (CH4) (Sugitoet al., 1995).
Sangatanan (1999) merekomendasikan jumlah pupuk kandang sebanyak
15 – 20 ton/ha tergantung jenis tanaman dan pertumbuhan tanaman, dan menurut
Mowidu (2001) pemberian 20 – 30 ton/ha Pupuk Kandang berpengaruh nyata
dalam meningkatkan porositas total, jumlah pori berguna, jumlah pori penyimpan
lengas dan kemantapan agregat serta menurunkan kerapatan , kerapatan bongkah
dan permeabilitas tanah
Low dan Piper (1997) dalam Sugito, et al.,(1995) menyatakan pemberian
pupuk kandang sebanyak 25 ton/ha per tahun selama 6 tahun berturut-turut dapat
meningkatkan 4 % porositas tanah, 14,5 % volume udara tanah pada keadaan
kapasitas lapangan dan 33,3 % bahan organik serta menurunkan kepadatan tanah
sebanyak 3 %. Secara kimia memberikan keuntungan menambah unsur hara
terutama NPK dan meningkatkan KPK serta secara biologi dapat meningkatkan
aktifitas mikroorganisme tanah