Tata Laksana Perioperatif Pada Pasien Penyakit Paru

TATA LAKSANA PERIOPERATIF PADA PASIEN PENYAKIT
PARU
Alwinsyah Abidin, E.N Keliat, Herlina M. Sitorus
Divisi Pulmonologi dan Alergi Immunologi Departemen Penyakit Dalam
FK-USU/RSUP.H.Adam Malik/RSU dr.Pirngadi Medan
Pendahuluan 1
Sesuai perkembangan di bidang kedokteran termasuk juga meningkatnya
kemampuan mendiagnosis dan penatalaksanaan penyakit-penyakit yang memerlukan
pembedahan,maka semakin sering dilakukan prosedur operasi termasuk pada pasien yang
dahulu dianggap beresiko tinggi untuk dilakukan operasi.Termasuk pada mereka dengan
Penyakit Paru yang dianggap beresiko tinggi menerima beban prosedur operasi.
Seorang ahli bedah dan/atau ahli anestesi akan meminta pendapat dari seorang
ahli penyakit dalam yang disebut sebagai konsultan perioperatif sebelum mereka melakukan
tindakan operasi serta anestesi.Bagi seorang ahli penyakit dalam konsultasi itu berdampak
professional dan hukum.Maka perlu bagi seorang ahli penyakit dalam mempunyai
pengetahuan medik di bidangnya dan pemahaman akan tata cara perilaku maupun ramburambu yang bertujuan mengamankan si pasien maupun dokter itu sendiri.1
Tujuan dan Prinsip Konsultasi Preoperatif

1

Dalam upaya untuk mengamankan pasien(dapat memiliki satu atau lebih

penyakit) konsultasi preoperative mempunyai beberapa tujuan,yaitu:
1.Mengidentifikasikan penyakit-penyakit penyerta

serta

faktor-faktor risiko operasi

sebelumnya tidak terdeteksi.
2.Mengoptimalkan keadaan pasien sebelum menjalani operasi
3.Memahami,mengenali dan mengobati keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan
terjadinya penyulit pascabedah.
4.Berperan sebagai anggota tim bersama ahli anestesi dan bedah.

1

5. Mengupayakan keseimbangan antara faktor resiko dan manfaat dalam prosedur yang akan
dilaksanakan.
Hal diatas penting karena seorang pasien mungkin sudah mengidap penyakit
kronik atau menahun yang dapat memperberat kondisinya akibat tindakan pembedahan
maupun anestesi.Peranan seorang internis adalah upaya memberikan ketenangan pada ahli

bedah serta ahli anestesi dalam menjalankan tugasnya dengan cara mengamankan pasien
pasien dari perburukan keadaan akibat penyakit penyerta tersebut.
Dalam menjawab konsultasi perioperatif tersebut seorang internist juga diberi
batasan-batasan sehingga tidak melampaui kapasitas sebagai konsultan preoperative.Sebuah
contoh adalah pada penilian kardiopulmoner pasien yang akan dioperasi,hal-hal yang perlu
dipegang antaranya:
1. Tujuannya adalah menentukan dan melaporkan apakah terdapat risiko berlebih dan tidak
merupakan uraian penyakitnya.
2. Anamnesis dan pemeriksaan fisik adalah kunci
3. Apakah ada perubahan dalam keadaan pasien atau status kesehatannya
4. Nilai toleransi terhadap beban fisik atau latihan.
5. Apakah risiko yang harus diantisipasi pada pembedahan?
Dalam menjalankan tugasnya sebagai konsultan,diperlukan pemahaman akan
beberapa prinsip dalam cara menjawab maupun cakupannya,yaitu:
1.Substansi saran yang diberikan tidak boleh keluar dari batasan kompentensi keahlian
sebagai spesialis penyakit dalam.
2.Batasi jumlah saran,terlalu banyak saran akan mengaburkan permasalahan yang seharusnya
menjadi perhatian.
3.Arahkan jawaban dan saran pada permintaan konsultasinya.Isi jawaban akan berbeda bila
permintaanya adalah”adakah kelainan di bidang TS” jika dengan “ mohon evaluasi adakah

kemungkinan risiko gangguan pernapasan pada pasien dengan PPOK”.
4. Ikuti pasien sampai masa pasca bedah/pasca operasi karena berbagai komplikasi terjadi
pada masa ini (bila mendapat izin dari dokter utama pasien.
2

5. Penting untuk diingat bahwa konsultan tidak menyatakan persetujuan atau tidak ada
kontraindikasi opersi”’melainkan menyatakan bahwa secara umum pada pasien didapatkan
“average risk” dari segi penyakit dalam bila tidak ada kelainan penyerta atau bila pasien
mempunyai penyakit maka nyatakan pasien dalam risiko rendah atau sedang atau berat dari
segi kelainan yang didapat.
Faktor-faktor yang mempengaruhi komplikasi pada pasien paru yang menjalani
operasi 1,2,3
Komplikasi yang sering terjadi pasca operasi seperti pneumonia,bronkospasme,
atelektasis, hipoksemia sampai gagal napas yang memerlukan ventilator mekanik jangka
panjang.risiko terjadinya komplikasi paru tertinggi ada pada pasien-pasien yang menjalani
pembedahan kardiak,pembedahan toraks dan abdominal bagian atas dengan komplikasi yang
dilaporkan sebesar 9% sampai 76%.Pada pasien yang menjalani pembedahan abdomen
bawah dan pelvis bervariasi antara 2% sampai 5% dan pada prosedur pembedahan di
ekstremitas kurang 1-3%.ketika operasi non elekktif.
Faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi paru yaitu karateristik pasien,adanya

Table
1 : Faktor-faktor
yang
mempengaruhi dari
tindakan operasi
penyakit
paru,daerah
operasi,prosedur
operasi.(Table
1) terhadap fungsi paru
ACTA BIOMED 2006; 77; 69-74 Mattioli 1885

3

Anamnesis yang menyeluruh dan komprehensif

diperlukan agar informasi

penting terkait dengan persiapan perioperatif tidak terlewatkan.Fokus anamnesis adalah untuk
mengidentifikasi adanya faktor risiko atau komorbid yang mempengaruhi risiko perioperatif..

Anamnesis untuk mengevaluasi fungsi paru seyogianya berfokus pada adanya
dan beratnya faktor risiko yang ada pada pasien. Pada pasien yang mempunyai riwayat
penyakit paru kronik harus dievaluasi secara rinci. Upaya harus dilakukan untuk menetukan
kondisi pada awal dan apakah ada terjadi perburukan pada fungsi paru seperti meningkatnya
batuk dan produksi sputum.Setiap gejala adanya infeksi saluran napas harus ditemukan dan
diatasi.Walaupun bukan suatu kontraindikasi mutlak untuk pembedahan namun lebih
bijaksana untuk menunda prosedur pembedahan yang bersifat elektif jika dijumpai
infeksi.Risiko pada usia yang lanjut diidentifikasi sebagai kompliksai paru.Dianggap
komplikasi ini disebabkan oleh keadaan komorbitas yang terjadi pada usia lanjut ini.
Merokok merupakan faktor resiko preoperatif yang sangat bermakna.Efek ini
terutama berkaitan pada penyakit paru-paru kronik,walaupun pada seseorang yang merokok
memiliki pengaruh terhadap fungsi paru-paru.Penghentian merokok selama 48 jam sebelum
operasi mengurangi carboxyhemoglobin ke tingkat yang normal,menghapuskan efek
stimulant dari nikotin pada system kardiovaskuler dan meningkatkan pernapasan
ciliary.Dalam mengurangi volume dahak diperlukan waktu 1-2 minggu menghentikan rokok
sebelum operasi,4-6 minggu menghentikan rokok untuk memperbaiki gejala dan fungsi
paru.Perokok yang merokok lebih dari 20 pack/tahun dikaitakan dengan peningkatan resiko
pasca operasi.
Komplikasi dari post operasi adalah penurunan dari volume paru-paru setelah
operasi.Pada orang dengan obesitas secara fisiologis dijumpai adanya restriktif paru dan

keadaan ini pada kondisi post operasi akan menurunkan volume paru dan kemampuan untuk
bernafas secara dalam setelah operasi.Komplikasi paru post operasi dijumpai 10% pada BMI
43kg/m2 dan 12% dengan BMI lebih dari 43kg/m2.
Pemeriksaan fisik dan Pemeriksaan Penunjang 1,6
Pemeriksan fisik diagnostik
Pemeriksaan fisik pada pasien yang mempunyai penyakit paru kronik perlu
mendapat perhatian seperti meningkatnya dimensi anteroposterior dada dan adanya bunyi

4

napas

tambahan

terutama

wheezing.Adanya

ronkhi


atau

bronkospasme

mungkin

menunjukkan adanya penyakit paru atau gagal jantung.
Foto toraks
Pemeriksaan foto toraks preoperative diindikasikan pada pasien yang dinilai
beresiko. Pada foto toraks jika dijumpai emfisema hal ini sudah dapat didiagnosis dari awal
dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik.Pemeriksaan foto toraks dilakukan pada pasien
dengan usia lebih dari 50 tahun yang akan menjalani operasi besar,untuk pasien dengan
penyakit kardiopulmonal dan untuk pasien yang kemungkinan menderita penyakit
kardiopulmonal yang tidak terdeteksi sebelumnya Dijumpai kurang 1 % hasil dari foto toraks
yang abnormal mengubah diagnose dan tata laksana operasi.
Spirometri
Pemeriksaan spirometri dilakukan pada pasien yang telah diketahui kondisi
klinisnya ataupun tidak adanya kepastian telah terjadi gangguan paru-paru.Sebuah gambaran
klinis yang ambigu mengenai bronkospasme adanya COPD,respon terhadap bronkodilator
dapat diklarifikasi melalui spirometri.Spirometri non invasive dapat memberikan informasi

penting tentang adanya penyakit paru-paru.
Tes yang dilakukan adalah pemeriksaan Kapasitas Ekspirasi Paksa dalam 1 detik
(FEV1) dan Kapasitas Vital Paksa (FVC).Hasil spirometri yang abnormalpada obstruktif
(apakah FEV1 rendah atau rasio FEV1/FVC rendah) dapat digunakan secara kuantitatif
memprediksi risiko komplikasi pulmonar.Walaupun pada pasien dengan hasil spirometri
abnormal berat(< 0,5%) dapat menjalani pada operasi emergensi dengan antisipasi risiko
yang sudah diketahui dan penangananya (seperti pemakaian ventilator sesudah operasi bial
terjadi gagal napas)
Ada beberapa kondisi yang memerlukan pemeriksaan spirometri (table 2 dan
table 4)

5

Tabel 2: Jenis operasi yang memerlukan pemeriksaan spirometri (Chest 1995; 107:1294-97)

Table 3 : Kondisi pasien dan tindakan operasi yang diindikasikan pemeriksaan
spirometri(Chest 1995; 107:1294-97)

Analisa Gas Darah
Pemeriksaan analisa gas darah tidak diperlukan untuk semua kasus,pada keadaan

yang diragukan adanya hiperkapnia atau hipoksemia sedangkan spirometri tidak bisa
dilakukan dapat dilakukan pemeriksaan ini.Walaupun pada pasien preoperative sering
dijumpai kelainan pada gas darah tetapi pada pasien yang secara gambaran klinis dijumpai
kondisi PPOK yang berat dan dipastikan adanya hiperkapnia melalui gas darah.Kondisi ini
bukan merupakan kontrandikasi absolute operasi tetapi

menunjukan risiko dari

operasi.Hipoksemia tidak menunjukan risiko lebih dari risiko dasarnya.
Pada waktu operasi dan pasca operasi pasien sering mengalami kelainan pada
oksigenasi dan ventilasi.Analisa gas darah tidak menambah kelainan risiko karena kebutuhan
tambahan oksigen ditentukan pada tingkat oksigenasi dan hemoglobin setelah operasi. Jika
telah diketahui riwayat penyakit sebelumnya kemudian dilakukan pemeriksaan fisik maka
dengan pemakain pulse oximetry maka dapt dinilai kadar oksigen tanpa melakukan tindakan
invasive, cepat dan hemat biaya.Pada pasien hipoksemia akan terdeteksi kejenuhan
oksigenasi arterial abnormal.
6

Pemeriksaan Albumin Serum
Albumin serum merupakan salah satu dari pemeriksaan laboratorium yang

penting dalam menetukan risiko komplikasi dari pulmonar.Kadar albumin serum yang rendah
(