Pengaruh Penggunaan Gadget dengan Pola Tidur Pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Angkatan 2011, 2012 dan 2013

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tidur
Tidur didefinisikan sebagai keadaan tidak sadar dimana seseorang dapat
dibangunkan oleh stimulus sensori atau stimulus lainnya. Tidur harus dibedakan
dengan koma yang merupakan keadaan tidak sadar yakni seseorang tidak dapat
dibangunkan (Guyton, 2006).

2.1.1 Ritme Sirkadian
Siklus tidur-bangun manusia memiliki periode sekitar 24 jam. Ketika
semua indikator waktu eksternal dihilangkan, ritme sirkadian bertahan namun
waktu bangun dan tidur menjadi semakin lama setiap harinya. Ritme sirkadian
dianggap diregulasi oleh nukleus suprakiasmatik hipotalamus. Hubungan
retinohipotalamik mengikat ritme sirkadian ke kondisi cahaya lingkungan.
Terdapat juga proyeksi retina ke kelenjar pineal dimana hormon melatonin yang
dihasilkan memiliki efek yang mempengaruhi ritme (Rohkamm, 2004).

2.1.2 Stadium Tidur
Terdapat dua tipe tidur yaitu tidur non-rapid eye movement (NREM) dan
tidur rapid eye movement (REM). Tidur NREM dibagi menjadi stadium 1, 2, 3,

dan 4 dan mewakili perjalanan kedalaman tidur. Tidur NREM disebut juga tidur
slow wave. Masing-masing stadium memiliki karakteristik unik yang melibatkan
pola gelombang otak, pergerakan mata dan tonus otot (Altevogt, 2006).
Ketika seseorang tidur, orang tersebut memasuki stadium pertama dari
tidur dalam jam pertama. Pada stadium ini, electroencephalography (EEG)
menunjukkan pola gelombang mixed low-voltage. Ritme theta (4-7 Hz) terlihat
pada stadium awal tidur ini. Di sepanjang tidur NREM, terdapat aktivitas otot
rangka tapi tidak dijumpai pergerakan mata. Stadium ini biasanya berlangsung
selama satu hingga tujuh menit di awal siklus dan mewakili 2-5 persen dari

Universitas Sumatera Utara

keseluruhan tidur dan sangat mudah terganggu oleh suara (Purves, 2001 dan
Barrett, 2010).
Stadium 2 pada tidur berlangsung selama 10 hingga 25 menit pada awal
siklus dan memanjang di setiap siklusnya dan mewakili 45-55% dari jumlah
waktu tidur. Individu pada stadium tidur kedua membutuhkan stimulus yang lebih
intens daripada stadium pertama untuk bangun. Aktivitas otak pada EEG
menunjukkan gelombang sinusoidal yang disebut sleep spindle (12-14 Hz) dan
gelombang bifasik voltase tinggi yang disebut kompleks K yang berlangsung

selama 1 dan 2 detik. Dihipotesakan bahwa sleep spindle memiliki peran penting
untuk konsolidasi memori (Purves, 2001; Altevogt, 2006; dan Barrett, 2010).
Stadium tidur ketigamerepresentasikan tidur yang menengah dalam,
jumlah spindel berkurang dan amplitudo gelombang frekuensi rendah meningkat
menjadi gelombang delta dengan amplitudo tinggi (0,5-4 Hz). Stadium 3
berlangsung hanya selama beberapa menit dan mewakili 3-8 persen dari tidur
(Purves, 2001; Altevogt, 2006; dan Barrett, 2010).
Stadium tidur NREM yang terakhir adalah stadium 4 yang berlangsung
selama 20-40 menit dan mewakili 10-15% tidur, yakni ditandai dengan ambang
bangun paling tinggi dibanding seluruh stadium NREM dan merupakan fase tidur
yang paling dalam. Aktivitas EEG yang dominan berupa gelombang dengan
amplitudo tinggi dan frekuensi rendah (1-4 Hz) yang disebut gelombang delta
(Purves, 2001; Altevogt, 2006; dan Barrett, 2010).
Mengikuti periode tidur slow wave, rekaman EEG menunjukkan stadium
tidur yang berbalik menuju suatu keadaan yang berbeda yang disebut rapid eye
movement atau tidur REM. Pada tidur REM, rekaman EEG serupa dengan
keadaan bangun. Setelah 10 menit tidur REM, otak kemudian akan kembali ke
siklus NREM. Pergerakan mata yang cepat terjadi pada tidur REM. Pada awal
tidur, perpindahan dari stadium 1 hingga stadium 4 terjadi dalam periode 30-45
menit lalu berbalik melalui stadium yang sama. Episode tidur REM selama 10

hingga 15 menit terjadi di akhir setiap siklus tidur slow wave (Purves, 2001;
Altevogt, 2006; Sherwood, 2010; dan Barrett, 2010).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.1 Gambaran Gelombang Electrooculogram (EOG), Electromyogram
(EMG), dan Electroencephalogram (EEG) pada Tiap-Tiap Stadium Tidur
Sumber: K.E. Barrett dalam Ganong’s Review of Medical Physiology edisi 23
(2010)

2.1.3 Fisiologi Tubuh Pada Saat Tidur
Selama tidur, terjadi penurunan denyut nadi dan tekanan darah tanpa
adanya perubahan pada curah jantung. Hal ini disebabkan oleh deaktivasi
kardiovaskular yang general dan resetting dari baroreflex selama tidur NREM.
Tingkat terendah dari tekanan darah dicapai pada stadium 3 dan 4. Penurunan
tekanan darah ini terutama berhubungan dengan penurunan denyut nadi dan
vasomotor simpatis. Stadium 3 dan 4 dari tidur NREM merupakan fase yang
paling dalam dengan penurunan 10-30% dari tekanan darah, kecepatan nafas dan
laju metabolik basal (Murali, 2003; Altevogt, 2006 dan Silvani, 2013).
Pada pernafasan akan terjadi penurunan ventilasi per menitdengan

dimulainya tidur sebagai respon terhadap penurunan metabolisme dan
berkurangnya kemosensitivitas terhadap oksigen dan karbondioksida. Ventilasi
selama tidur NREM menunjukkan pola respirasi yang lebih teratur dibandingkan
pernafasan sewaktu bangun, tanpa penurunan signifikan dalam frekuensi rata-rata.
Titik terendah dari ventilasi per menit pada tidur NREM terjadi pada stadium 3
dari tidur NREM sebagai hasil dari penurunan volume tidal (Krimsky, 2005;
Altevogt, 2006; Smith, 2008 dan Malik, 2012).
Otot rangka yang berhubungan dengan respirasi menurun secara signifikan
akibat atonia yang berhubungan dengan tidur REM, dan ventilasi dicapai hanya
dengan diafragma. Oleh karena itu, tidur REM berhubungan dengan hipoventilasi
relatif dari penurunan kapasitas respirasi mekanik dan penurunan sensitivitas
respirasi terhadap hiperkapnia dan hipoksia (Altevogt, 2006 dan Malik, 2012).

Universitas Sumatera Utara

Tidur NREM dihubungkan dengan penurunan signifikan dari aliran darah
sedangkan aliran darah pada tidur REM menyerupai aliran darah ketika bangun.
Namun, metabolisme dan aliran darah meningkat pada daerah otak tertentu selama
tidur REM dibandingkan dengan ketika bangun seperti sistem limbik yang
berpengaruh terhadap emosi dan daerah yang berhubungan dengan penglihatan

(Altevogt, 2006).
Sekresi beberapa hormon endokrin tidak menetap sepanjang 24 jam.
Beberapa ritme hormonal bergantung terhadap jam sirkadian seperti Adrenal
Corticotropin Hormone(ACTH), kortisol dan melatonin. Beberapa lainnya
berhubungan dengan tidur seperti prolaktin dan Thyroid Secreting Hormone
(TSH). Sekresi Growth Hormone (GH) berhubungan dengan episode tidur slow
wave pertama di awal malam. Pulsasi prolaktin dan GH berhubungan dengan
peningkatan aktivitas gelombang delta (Luboshitzky, 2000 dan Altevogt, 2006).
Kadar glukosa dan sekresi insulin meningkat selama tidur dan
diperkirakan akibat penurunan metabolisme glukosa di otak akibat penurunan
aktivitas otak selama tidur. Peningkatan glukosa seama tidur juga dapat
disebabkan oleh kurangnya pemakaian glukosa oleh otot yang tidak aktif dan oleh
sekresi GH yang memiliki efek anti-insulin. Ketika tidur REM, kadar glukosa dan
sekresi insulin berkurang dan hal ini disebabkan oleh peningkatan pemakaan
glukosa (Morris, 2012).

Gambar 2.2 Kadar Hormon Kortisol dan GH pada Stadium Tidur Tertentu
Sumber: A. Steiger dalam Journal of Internal Medicine edisi 254 (2003)

Universitas Sumatera Utara


2.1.4 Fungsi Tidur
Secara keseluruhan, fungsi tidur belum diketahui dengan jelas. Namun,
beberapa hipotesa telah disampaikan untuk menjelaskan fungsi tidur. Hipotesahipotesa tersebut yaitu:
1. Memulihkan sistem tubuh
Hipotesa

ini

menunjukkan

kebutuhan

organisme

untuk

memulihkan energi dan memperbaiki dirinya sendiri setelah periode
pemakaian dan pemecahan energi. Otak yang tetap aktif selama tidur dan
laju metabolik yang rendah diperkirakan berhubungan dengan reaksi

biosintetik. Namun, tidak terdapat bukti bahwa perbaikan terjadi selama
masa tidur. Bahkan, sintesis protein berkurang ketika tidur (Bethesda,
2007).
2. Mengembalikan cadangan energi
Pemakaian energi lebih tinggi ketika tidak tidur dibandingan ketika
tidur dan pemakaian energi lebih rendah ketika episode tidur selama 8 jam.
Stadium tidur memiliki efek yang minimal terhadap pemakaian energi. Hal
ini berkaitan dengan fungsi tidur untuk memulihkan cadangan energi
(Jung, 2010). Selain itu, penyakit infeksi cenderung membuat seseorang
lebih mengantuk. Hal ini disebabkan oleh pengeluaran sitokin selama
proses infeksi. Dihipotesiskan bahwa energi yang tersimpan selama proses
tidur dapat digunakan oleh sistem imun untuk melawan infeksi (Bethesda,
2007).
3. Konsolidasi memori dan pembelajaran
Tidur merupakan suatu kondisi untuk mengoptimalkan konsolidasi
dari informasi yang baru didapatkan ke dalam memori. Konsolidasi selama
tidur meningkatkan memori baik kuantitatif maupun kualitatif. Melalui
pola spesifik dari aktivitas neuromodulatori, tidur slow wave dan tidur
REM mendukung konsolidasi sistem dan sinaptik. Selama tidur slow wave,
ossilasi, spindle dan ripple mengkoordinasi reaktivasi dan redistribusi dari

memori hipokampus ke lokasi neokorteks. Sedangkan selama tidur REM,

Universitas Sumatera Utara

peningkatan lokal dari aktivitas gen membantu konsolidasi sinaptik
memori ke dalam korteks (Diekelmann, 2010).
Tidur

juga

penting

untuk

pembelajaran.

Seseorang

yang


mendapatkan tidur dalam NREM yang banyak pada paruh pertama malam
dan tidur REM pada paruh kedua meningkatkan kemampuan melakukan
tugas yang berhubungan dengan ruang (Bethesda, 2007).
4. Penyaluran emosi
Dihipotesakan bahwa bermimpi selama tidur REM menyediakan
penyaluran emosi yang aman. Sebagai perlindungan, paralisis otot selama
tidur REM tidak memungkinkan seseorang untuk melakukan apa yang
dimimpikannya. Sekitar 65% dari mimpi berhubungan dengan kesedihan,
pemahaman, atau kemarahan, 20% berhubungan dengan kegembiraan, dan
hanya 1% yang berhubungan dengan perasaan seksual. Dihipotesakan
bahwa mimpi memberi kelegaan terhadap stress yang terjadi selama masa
bangun dan membantu mempertahankan performa optimal (Purves, 2001
dan Bethesda, 2007).

2.1.5 Faktor yang Mempengaruhi Gangguan Tidur
Faktor yang paling sering dijumpai mengakibatkan gangguan tidur adalah
(LeBlanc, 2009):


Faktor demografis (seperti penuaan, wanita, tinggal sendiri)




Kondisi genetik (riwayat keluarga menderita insomnia)



Faktor psikologis (kecemasan dan depresi)



Faktor fisiologis dan gaya hidup (kerentanan untuk dibangunkan dan
merokok)
Faktor pencetus terjadinya gangguan tidur berupa kejadian hidup yang

mencetus stress seperti perceraian, perpisahan, dan kematian orang yang dicintai
serta faktor psikologis dan kesehatan seperti nyeri dan masalah mental. Faktor
lainnya yaitu kebiasaan tidur yang salah seperti menghabiskan waktu yang lama
di tempat tidur, tidur siang, dan pemakaian obat-obatan kronis (Bastien, 2004 dan
LeBlanc, 2009). Faktor eksternal lainnya yang berkontribusi terhadap gangguan


Universitas Sumatera Utara

tidur berupa lingkungan tidur yang tidak familiar, jet lag, perubahan waktu kerja,
lingkungan tidur yang tidak nyaman seperti suara bising, temperatur yang terlalu
panas atau terlalu dingin, cahaya atau permukaan tidur yang buruk dan masalah
pada rekan tidur (American Psychological Association, 2001).

2.1.6Efek dari Gangguan Tidur
Gangguan pada tidur meningkatkan aktivitas sistem saraf simpatis yang
berujung kepada peningkatan tekanan darah dan peningkatan sekresi kortisol.
Respon imun dapat terganggu dan perubahan metabolik seperti resistensi insulin
dapat terjadi (Alhola, 2007). Gangguan tidur juga dapat meningkatkan berat badan
dan resiko diabetes melalui efek perubahan pada metabolisme glukosa,
meningkatnya selera makan, dan berkurangnya pengeluaran energi (Knutson,
2007 dan Silver, 2011).
Penurunan pada performa kognitif juga dapat terjadi pada penderita
gangguan tidur. Penurunan ini disebabkan oleh berkurangnya kewaspadaan dan
perhatian, menurunnya respon, dan ketidakstabilan kesadaran (Philibert, 2005 dan
Knutson, 2007).
Gangguan tidur juga meningkatkan resiko kecelakaan akibat kesalahan
manusia. Hal ini disebabkan terutama karena mengantuk di siang hari. Penelitian
terbaru untuk menunjukkan prevalensi mengantuk di siang hari pada responden
berusia 21-30 tahun menunjukkan bahwa rata-rata tidur malam hari sebanyak 6,7
jam. Mengantuk berhubungan terbalik dengan jumlah jam tidur. Penelitian ini
menunjukkan bahwa tidur malam selama 8 hingga 9 jam dibutuhkan untuk
menghilangkan mengantuk akibat berkurangnya waktu tidur (Durmer, 2005).
Gangguan tidur juga berhubungan dengan gangguan psikomotor setara
dengan konsumsi alkohol di atas batas aman. Gangguan akibat tidak tidur selama
satu malam setara dengan gangguan akibat konsentrasi alkohol di darah sebanyak
0,07% (Durmer, 2005 dan Killgore, 2010).

Universitas Sumatera Utara

2.2Gadget
Menurut masyarakat awam, gadgetmerujuk kepada perangkat elektronik
yang memiliki fungsi yang spesifik, misalnya sebagai perekam suara, pemutar
video ataupun smartphone. Namun, menurut CambridgeDictionaries, gadget
adalah sebuah alat atau mesin kecil dengan fungsi dan tujuan tertentu, dan
terutama merupakan penemuan baru. Dalam karya tulis ini, yang dimaksudkan
sebagai gadget adalah peralatan media elektronik seperti smartphone, tablet PC
dan juga laptop.
Berdasarkan International Telecommunication Union, pada tahun 2013
terdapat 96,2% penduduk dunia yang memiliki gadget dan 38,8% yang memiliki
akses dengan internet. Di Amerika Serikat, lebih dari 80% remaja memiliki
setidaknya satu gadget, misalnya handphone, PDA, ataupun komputer dan mereka
menggunakan teknologi ini dengan frekuensi yang meningkat untuk mengirim
pesan, email, dan mengakses media sosial.
Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika pada tahun
2010 didapatkan jumlah gadget yang beredar di Indonesia berjumlah 240 juta dan
meliputi 67% dari penduduk Indonesia. Survei dari Kaiser Family Foundation
menemukan bahwa anak-anak berusia 8 hingga 18 tahun rata-rata menghabiskan
waktu dengan gadget selama 6 jam 21 menit setiap hari. Paparan terhadap media
ini melebihi waktu yang dihabiskan untuk tidur (Ray, 2010). Menurut Andreassen
(2013), lebih dari 90 persen remaja membuka internet, menonton film, atau email
minimal satu kali seminggu sebelum tidur.
Berdasarkan penelitian independen oleh Retrevo, aktivitas mengakses
media sosial seperti Facebook dan Twitter tetap berlanjut bahkan pada waktu
tidur. Sekitar 48% responden mengakses media sosial ketika mereka bangun di
tengah malam atau segera setelah mereka terbangun di pagi harinya dan
kebanyakan berusia di bawah usia 25 tahun (Van Grove, 2010).

2.2.1 Efek Pemakaian Gadgetdan Internet yang Patologis
Pemakaian gadget sebagai aktivitas malam hari terus meningkat pada
remaja ditengah-tengah keprihatinan mengenai efek penggunaan gadget terhadap

Universitas Sumatera Utara

pola tidur dan pekerjaan di siang hari. Penelitian di Australia menemukan bahwa
71% remaja melaporkan tidur malam yang tidak optimal akibat pemakaian gadget
di malam hari sebelum tidur. Ini menunjukkan bagaimana pemakaian gadget
dapat mempengaruhi pola tidur dan waktu mulainya tidur pada remaja (King,
2014).
Menurut Andreassen (2013), cahaya dari gadget dapat mempengaruhi
mekanisme biologis yang menunda tidur dan ritme sirkardian. Permainan
komputer atau acara televisi dapat menimbulkan kegembiraan dan mengakibatkan
susah tidur. Meskipun begitu, hal ini dapat terjadi sebaliknya. Insomnia dan
penundaan pada pola tidur dapat mengakibatkan orang-orang berbaring lebih lama
pada jam tidur tanpa tertidur yang akhirnya mencari media elektronik sebagai
hiburan.
Pemakaian internet yang berlebihan juga menjadi salah satu alasan
pemakaian gadget sebelum tidur. Menurut Pies (2009), internet addiction atau
kecanduan internet merupakan ketidakmampuan seorang individu untuk
mengendalikan pemakaian internet yang mengakibatkan distress ataupun
gangguan fungsi yang bermakna dalam hidup sehari-hari. Meskipun tidak
termasuk dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM)
edisi kelima, kecanduan internet dianggap sebuah diagnosis gangguan spektrum
kompulsif impulsif yang meliputi pemakaian komputer online atau offline dan
terdiri dari minimal tiga subtipe yaitu bermain game berlebihan, preokupasi
seksual, dan mengirim pesan singkat.
Kriteria diagnostik untuk kecanduan internet yang diajukan adalah (Lai,
2013):


Preokupasi terhadap internet



Kebutuhan

untuk

menghabiskan

waktu

yang

meningkat

untuk

menggunakan internet


Usaha berulang namun gagal untuk mengurangi pemakaian internet



Gejala withdrawal akibat pengurangan pemakaian internet



Masalah memanajemen waktu



Distress lingkungan dari sekolah, keluarga, kerja, dan teman-teman

Universitas Sumatera Utara



Perubahan mood akibat pemakaian internet
Efek dari pemakaian internet yang berlebihan terutama atas alasan rekreasi

adalah gangguan pada performa akademis. Gangguan ini disebabkan karena
kesepian, bangun hingga larut malam, kelelahandan tidak masuk ke kelas (Kubey,
2001).
Kecenderungan mengirim pesan, chatting dan media sosial seperti
Facebook masih relatif baru sehingga penelitian terhadap efek jangka panjangnya
belum tersedia. Namun, dapat dijumpai banyak penelitian tentang efek dari
televisi dan video games. Waktu yang lebih banyak dihabiskan untuk menonton
televisi memiliki dampak negatif terhadap perhatian dan performa akademik
seseorang. Pemakaian media yang meningkat berhubungan dengan nilai akademis
yang menurun (Diaz, 2011).
Beberapa konten internet memiliki kecenderungan untuk mengakibatkan
pemakaian kompulsif dari gadget. Konten-konten tersebut antara lain perjudian
online, permainan interaktifdan pornografi (DiNicola, 2004). Menurut King
(2014), pemakaian media elektronik yang patologis sebelum tidur apabila
digunakan lebih dari 35 menit.

Universitas Sumatera Utara