Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998 D 762008002 BAB II

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa
Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

| 25

BAB II

KERANGKA TEORETIS
Secara keseluruhan, proyek disertasi ini pertama-tama
menyentuh persoalan perlawanan kelompok minoritas terhadap
kebijakan yang diberlakukan negara atas mereka, khususnya
perlawanan yang dilakukan oleh orang-orang Tionghoa Kristen di
dalam Gereja Kristus Tuhan terhadap kebijakan asimilasi yang
dikeluarkan oleh Pemerintah Orde Baru. Karena kebijakan
asimilasi ini ditujukan kepada orang-orang dengan kebudayaan
tertentu demi membawa mereka ke dalam “conformity with the
customs, attitudes, etc., of a dominant cultural group of national
culture”1 maka teori-teori yang dipergunakan dalam penelitian ini
dimaksudkan untuk mengeksplorasi perlawanan yang mereka
lakukan terhadap pelaksanaan kebijakan itu. Asumsi-asumsi
teoretis kunci yang melandasi studi ini adalah bahwa perlawanan

merupakan suatu keniscayaan dalam relasi dengan kekuasaan dan
bahwa perlawanan itu beraneka ragam rupanya.2 Berangkat dari
asumsi-asumsi inilah maka studi ini akan fokus kepada cara-cara
yang ditempuh dalam melakukan perlawanan, di mana itu
dilakukan dan apa saja bentuk perlawanannya.
Uraian kerangka teori ini akan dimulai dengan suatu
uraian mengenai hasil-hasil penelitian terdahulu tentang orang
Tionghoa di Indonesia. Dari situ kemudian diuraikan tiga konsep
kunci yang dipakai di sini, yaitu kebijakan asimilasi, identitas
nasional dan perlawanan. Bagian berikutnya akan mengeksplorasi
sejumlah pikiran tentang asimilasi dan perlawanan yang ditujukan
kepadanya. Teori-teori tentang asimilasi akan dikaji secara kritis
“Assimilation” dalam Alexander J. Motyl, ed., Encyclopedia of
Nationalism: Leaders, Movements, and Concepts (San Diego, CA.: Academic
Press, 2001), 29.
2
Michel Foucault, The History of Sexuality: An Introduction, Vol. I
(New York: Vintage Books, 1990), 95-96; Stephen Gill, Power and Resistance in
the New World Order (New York: Palgrave Macmillan, 2008), xiv.
1


26

| BAB II KERANGKA TEORETIS

untuk menemukan kontribusinya kepada studi ini. Sejumlah teori
tentang perlawanan juga akan turut dikaji dalam cara yang sama
untuk menyiapkan jalan kepada bangun teori yang akan
dipergunakan dalam penelitian ini.3 Uraian ini akan mencakup
garis besar pemikiran teori-teori itu dan bagaimana keterbatasan
teori-teori tersebut dalam menjelaskan fenomena sosial yang
diteliti. Bagian berikutnya merupakan inti dari bab ini di mana
teori perlawanan sehari-hari yang digagas James C. Scott akan
diuraikan dan disusun untuk dipergunakan memahami fenomena
sosial yang diteliti di sini.
A. Tinjauan atas Hasil-hasil Studi Tentang Asimilasi Orang
Tionghoa di Indonesia
Studi-studi awal tentang asimilasi orang-orang Tionghoa
di Indonesia memperlihatkan bahwa kegagalan asimilasi itu
disebabkan oleh situasi sosial-politik yang mengitari kehidupan

orang-orang Tionghoa. Unger mencatat bahwa kegagalan itu
disebabkan oleh dua faktor. Pertama adalah pembatasanpembatasan yang dikenakan oleh pemerintah kolonial Belanda,
yang memisahkan orang-orang Tionghoa dari non-Tionghoa; dan
yang kedua adalah karena kebangkitan nasionalisme Tiongkok
yang melanda orang-orang Tionghoa sejak mulai awal abad ke-20.
Keduanya membuat orang-orang Tionghoa lebih mengorientasikan hidupnya kepada Tiongkok, negara asalnya, dari pada kepada
negara di mana para perantau ini berdiam.4

3
The Editors of Salem Press, Theories of Social Movement dalam seri
Sociology Reference Guide (Pasadena, CA.: Salem Press, 2011); Per Herngren,
Path of Resistance: The Practice of Civil Disobedience, e-book, (Gabriola Island,
B.C.: New Society Publishers, 2004); Henry David Thoreau, On the Duty of
Civil Disobedience, e-book; Stuart Hall & Tony Jefferson, Resistance through
Rituals: Youth subcultures in post-war Britain (London: Routledge, 2006); Kevin
O’Brien & Lianjiang Li, Rightful Resistance in Rural China (Cambridge, UK.:
Cambridge University Press, 2006); Stephen Gill, Power and Resistance in the
New World Order (New York: Palgrave Macmillan, 2008).
4
Leonard Unger, “The Chinese in Southeast Asia,” Geographical

Review Vol. 34, No. 2 (Apr., 1944): 196-217.

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa
Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

| 27

Skinner menambahkan kesimpulan lain kepada studi
Unger dengan mendiferensiasikan level asimilasi pada dua
kategori. Pada ketegori pertama yang bersifat spasial, level
asimilasi akan berbeda untuk wilayah yang berbeda. Di sejumlah
tempat seperti di Sumatera dan Kalimantan, kebudayaan asli
Tionghoa masih kuat dipertahankan; sementara di daerah-daerah
lain seperti di Sumatera Barat, Sulawesi Utara, Maluku dan Bali,
pengaruh budaya setempat lebih kuat mempengaruhi mereka.5
Pada kategori kedua yang bersifat sosial-kultural, dan secara
khusus di Jawa, ada dua macam orang Tionghoa dengan dua
macam derajat asimilasi.6 Orang Tionghoa peranakan, oleh karena
sudah lama tinggal di Jawa, telah menyerap kebudayaan setempat
sebagai bagian dari identitas sosialnya sementara orang Tionghoa

totok, yang belum begitu lama menetap, memperlihatkan
karakteristik budaya asli yang lebih kuat. Secara sosial, budaya,
ekonomi dan politik mereka masih berorientasi ke Tiongkok, ke
negeri asalnya.
Setelah Indonesia merdeka, timbul dua kategori lain
tentang orang Tionghoa di Indonesia. Keduanya adalah orang
Tionghoa yang berkewarganegaraan Indonesia (Tionghoa WNI)
dan orang Tionghoa yang berkewarganegaraan asing (Tionghoa
WNA). Terhadap asimilasi, Skinner tidak menjelaskan sikap apa
saja yang muncul di kalangan orang Tionghoa WNA. Namun
pada kelompok orang Tionghoa WNI Skinner mendapati dua
sikap berbeda. Kelompok pertama, yang umum disebut kelompok
integrasionis, menentang asimilasi yang dipaksakan meski tetap
ingin menjadi bagian integral dari negara Indonesia sebagai
kelompok etnis yang terpisah. Kelompok kedua, yang sering
disebut kelompok asimilasionis, menerima dan mendukung
asimilasi, bahkan menginginkan supaya hal itu dapat diwujudkan
secepat mungkin.

5


Skinner dalam Mely G. Tan, ed., Golongan Etnis Tionghoa di
Indonesia: Suatu Masalah Pembinaan Kesatuan Bangsa (Jakarta: PT Gramedia,
1979), 9.
6
Ibid., 10-12.

28

| BAB II KERANGKA TEORETIS

Studi Tan Giok Lan pada pertengahan tahun 50-an,7
menemukan bahwa orang Tionghoa WNI dapat dikatakan
ekuivalen dengan orang Tionghoa peranakan sementara orang
Tionghoa WNA dengan orang Tionghoa totok. Namun demikian
apa yang dikatakan tentang orang Tionghoa peranakan sebagai
yang sudah berasimilasi oleh Giok Lan ditemukan baru sampai
pada tahap akulturasi budaya saja. Elemen-elemen tertentu dari
kebudayaan masyarakat setempat diadopsi serta diintegrasikan ke
dalam kebudayaan Tionghoa sehingga melahirkan suatu budaya

jenis baru yang Giok Lan sebut sebagai budaya peranakan.8 Pada
orang-orang Tionghoa totok, ia menemukan hampir tidak ada
keinginan untuk berasimilasi ke dalam masyarakat di mana
mereka berada. Orientasi sosial, budaya dan politiknya adalah
kepada Tiongkok (Tiongkok komunis) atau Taiwan (Tiongkok
nasionalis).
Baik Lea F. Williams maupun Leo Suryadinata samasama sepakat bahwa keengganan itu disebabkan oleh faktor
pendidikan yang diterima di sekolah-sekolah asing Tionghoa.
Dengan guru-guru yang berorientasi kuat kepada Tiongkok atau
Taiwan dan dengan kurikulum pendidikan yang berisi indoktrinasi
nasionalisme Tiongkok maka siswa-siswi tersebut sulit untuk
dibawa ke arah asimilasi.9 Meski demikian, Williams sepakat
dengan Unger bahwa ada faktor-faktor eksternal yang turut
mendesak mereka ke pilihan tersebut. Kondisi sosial dan politik
Indonesia yang kurang bersahabat pada zaman itu telah
menimbulkan perasaan tidak aman pada orang-orang Tionghoa

7
Tan Giok Lan, The Chinese of Sukabumi: A Study in Social and
Cultural Accomodation (Ithaca, NY.: Cornell University Press, 1963).

8
Ibid., 277.
9
Lea F. Williams, “Nationalistic Indoctrination in the Chinese
Minority Schools in Indonesia,” Comparative Education Review, Vol. 1, No. 3
(Feb., 1958): 12-17; Leo Suryadinata, “Indonesian Chinese Education: Past
and Present,” Indonesia, Vol. 14 (Oct., 1972): 49-71.

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa
Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

| 29

WNA. Hal itu mendorong mereka mencari perlindungan kepada
Tiongkok dan mengidentikkan diri dengannya.10
Dalam studinya atas kehidupan orang Tionghoa pada
dekade 60-an, Charles A. Coppel meneguhkan salah satu
kesimpulan Giok Lan yang mengatakan bahwa jalan yang sedang
ditempuh oleh orang-orang Tionghoa belum bisa dikatakan
sebagai berasimilasi. Namun berbeda dari Giok Lan, dari

perspektif politik Coppel menyimpulkan bahwa yang dilakukan
baru akomodasi. Mereka sekedar mengadaptasikan diri dengan
situasi dan keadaan sosial-politik di Indonesia yang menuntut
kejelasan identitas dan loyalitasnya.11 Karenanya, dalam
pandangannya kategori peranakan dan totok, yang dibangun di
atas pemakaian bahasa Tionghoa, jadi tidak relevan untuk
mendefinisikan orang Tionghoa. Pun nama Tionghoa tidak.12
Sebagai gantinya, ia menawarkan definisi yang bersifat fungsional
di mana seorang adalah orang Tionghoa karena memerankan diri
sebagai bagian dari kelompok orang-orang Tionghoa.13
Bagi Suryadinata kategori totok dan peranakan masih
tetap relevan. Begitu pula dengan gagasan asimilasi. Bahkan,
dalam soal berasimilasi keduanya menampilkan pola perilaku
yang sama.14 Pada generasi tua asimilasi terpaksa dilakukan demi
menyesuaikan diri dan dengan kecepatan yang lambat sekali. Pada
generasi yang lebih muda dengan sikapnya yang lebih responsif,
hasil yang dicapai oleh generasi muda Tionghoa peranakan adalah
makin menyerupai masyarakat pribumi, sementara pada generasi
muda Tionghoa totok hasilnya adalah makin serupa dengan
Tionghoa peranakan, sebelum akhirnya akan menjadi indonesia

sepenuhnya.
10

Williams, Comparative Education Review, Vol. 1, No. 3 (Feb., 1958):

16-17.
11

Charles A. Coppel, Tionghoa Indonesia Dalam Krisis (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1994).
12
Ibid., 33.
13
Ibid., 26.
14
Leo Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa (Jakarta: Grafiti
Pers,1984), 205-206.

30


| BAB II KERANGKA TEORETIS

Mely G. Tan dan Thung Ju Lan serta peneliti-peneliti lain
di kemudian hari menindaklanjuti gagasan asimilasi di level
generasi yang berbeda. Seperti Suryadinata didapati bahwa derajat
asimilasi akan berbeda untuk tiap generasi yang berbeda.15 Ju Lan
menerobos jauh lebih ke dalam dengan menganalisis derajat
asimilasi pada generasi yang lahir pada tahun 30-an, 40-an, 50-an,
60-an dan 70-an. Dua generasi pertama cenderung masih tebal
dan kuat identitas Tionghoanya.16 Pada generasi yang ketiga,
ketionghoaannya lebih ditentukan oleh lingkungan sosialnya. Jika
ia lebih banyak bergaul dengan orang Tionghoa totok maka
identitas Tionghoanya akan lebih kuat; sementara bila lebih
banyak bergaul dengan orang Tionghoa peranakan dan pribumi
maka akan lebih dekat ke situ. Untuk dua generasi terakhir,
situasinya benar-benar berbeda. Mereka benar-benar sudah “lepas
dari ikatan tradisi dan adat-istiadat leluhur.”17 Meski demikian
Tan memberi catatan bahwa pada generasi yang terakhir ini tetap
juga ada pengecualian, khususnya pada level relasi antar
kelompok. Ada kecenderungan bahwa anak-anak muda Tionghoa
ini tetap merasa lebih nyaman dan leluasa berhubungan dengan
sesama Tionghoa dari pada dengan orang non-Tionghoa.18
Kesimpulan ini diteguhkan oleh riset Juliette Koning pada
sejumlah pengusaha Tionghoa di kota Yogyakarta.19 Meski merasa
15
Mely G. Tan, “The Ethnic Chinese in Indonesia: Issues of
Identity” dalam Mely G. Tan, ed., Etnis Tionghoa di Indonesia, 177-178; Thung
Ju Lan “Susahnya Jadi Orang Cina: Ke-Cina-an sebagai Konstruksi Sosial”
dalam I. Wibowo, ed., Harga Yang Harus Dibayar: Sketsa Pergulatan Etnis Cina
di Indonesia (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000), 184-187.
16
Observasi yang dilakukan Abdul Wahid pada sejumlah responden
di Yogyakarta, yang dipublikasikan pada tahun 2003 juga menemukan
kesimpulan yang sama. Generasi tua, yang berumur 60-70 tahun, memiliki
“orientasi ke-Tionghoa-an yang kental” sementara pada generasi muda
umumnya “tidak lagi memiliki orientasi ke-Tionghoa-an yang kuat.” Lihat
Abdul Wahid, “Proses Menjadi (Tidak) Indonesia? Persepsi dan Memori
Massa-Rakyat Tionghoa di Yogyakarta” dalam Budi Susanto, SJ., ed.
Identitas dan Postkolonialitas di Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 2003), 65-102.
17
Ju Lan, dalam I. Wibowo, ed., Harga Yang Harus Dibayar, 184-187.
18
Tan dalam Mely G. Tan, ed., Etnis Tionghoa di Indonesia, 177-178.
19
Juliette Koning, “Chineseness and Chinese Indonesian Business
Practices: A Generational and Discursive Enquiry,” East Asia (2007) 24: 129152.

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa
Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

| 31

sudah menjadi orang Indonesia dan tidak lagi berminat kepada
tradisi-tradisi Tionghoa pada umumnya namun dalam soal
berbisnis atau menikah mereka masih merasa ketionghoaan
sebagai unsur yang tetap penting. Mereka lebih suka berbisnis
dengan sesama orang Tionghoa karena dianggap lebih baik, “more
business oriented, more focused on working hard and always have
the success of the business in the forefront.”20 Sementara untuk
menikah mereka merasa bahwa menikah dengan sesama orang
Tionghoa masih jauh lebih baik karena celah perbedaan yang
harus diseberangi sempit saja. Lain halnya bila dengan orang nonTionghoa. Celah perbedaannya sangat lebar.
Baik Suryadinata, Greif, Tan, Ju Lan maupun yang lain
sepakat bahwa agama yang dianut, dalam hal ini agama Kristen
dan Hindu Bali, turut berperan besar dalam mengasimilasikan
orang Tionghoa. Kalau Suryadinata menolak peran positif Islam,
Ju Lan malah mengafirmasi bahwa Islam justru mendorong
pengaburan ketionghoaan orang Tionghoa, khususnya pada
mereka yang lahir dari tahun 1960-an sampai 1970-an.21 Coppel
juga menolak tesis Suryadinata tentang Islam. Bagi Coppel akar
masalahnya tampaknya bukan di agama tetapi pada sikap politik
akomodasinya, yang cenderung membangun kesepakatan dengan
penguasa daripada dengan masyarakat di mana ia berada.22
Berangkat dari asumsi bahwa “puncak dari bentuk
asimilasi adalah asimilasi perkawinan”23 penelitian Hariyono
menemukan bahwa faktor-faktor yang mendorong asimilasi
tersebut ialah sistem familiisme, ethnosentrisme, interaksi sosial
seseorang dan kedalaman penghayatan agama.24 Semakin kuat
20
21

22
23

Koning dalam East Asia (2007) 24: 150.
Ju Lan dalam I. Wibowo, ed., Harga Yang Harus Dibayar, 187.

Lihat Coppel, Tionghoa Indonesia dalam Krisis, 34-36, 323.

P. Hariyono, Kultur Cina dan Jawa: Pemahaman Menuju Asimilasi
Kultural (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), 17.
24
Hariyono, Kultur Cina dan Jawa, 105. Sistem familiisme
didefinisikan Hariyono sebagai jaringan nilai-nilai yang mengatur tata
hubungan dalam suatu keluarga. Nilai-nilai ini menempatkan kepentingan
keluarga di atas kepentingan-kepentingan individu, bangsa dan bahkan

32

| BAB II KERANGKA TEORETIS

sistem familiisme mempengaruhi seorang Tionghoa maka
ethnosentrismenya cenderung akan menguat. Akibatnya, interaksi
sosialnya dengan orang dari kelompok lain akan makin berkurang
dan akhirnya membatasi jumlah perkawinan campur yang dapat
terjadi dengan orang non-Tionghoa.25 Namun ketaatan dalam
menjalankan agama dapat mendorong asimilasi karena rumah
ibadah dan aktivitas ibadah bersama merupakan “agen sosialisasi”
orang Tionghoa dengan orang dari etnis lain. Selain itu, ajaran
agama yang menekankan semangat tanpa diskriminasi turut pula
“memperlancar proses asimilasi”26 yang dapat berujung kepada
perkawinan campur.
Setelah pertama kali diungkap Unger, penelitian
belakangan mulai fokus pada pemerintah yang mengeluarkan
kebijakan itu. Sejumlah peneliti mulai melihat bahwa kegagalan
asimilasi disebabkan oleh kontradiksi yang melekat di dalam
kebijakan itu sendiri. Ariel Heryanto melihat kontradiksi itu
terletak pada cara pemerintah Orde Baru mendefinisikan orang
Indonesia.27 Jika identitas adalah produk relasi resiprokal antara
diri (self) dengan masyarakat (society)28 maka untuk mengkonstruksi
suatu gagasan tentang orang Indonesia diperlukan yang namanya
‘orang lain’ (the other), baik yang itu nyata maupun sekedar

negara. Ethnosentrisme ia definisikan sebagai sikap kelompok yang dibangun
di atas landasan etnis tertentu dan memandang kelompok etnis sendiri sebagai
lebih baik daripada kelompok etnis lain. Smentara interaksi sosial adalah
hubungan timbal balik yang terjadi di level antar pribadi atau antar kelompok
dari dua atau lebih kelompok yang berbeda.
25
Hariyono, Kultur Cina dan Jawa, 104.
26
Ibid., 195.
27
Ariel Heryanto, “Ethnic Identities and Erasure: Chinese
Indonesians in Public Culture” dalam Southeast Asian Identities: Culture and
Politics of Representation in Indonesia, Malaysia, Singapore and Thailand. Joel S.
Kahn, ed. (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1998), 103.
28
Jan E. Stets & Peter J. Burke, “A Sosiological Approach to Self
and Identity,” Handbook of Self and Identity, eds. Mark Leary & June Tangney
(Ney York, NY.: Guilford Press, 2003), 128. Lihat pula Peter J. Burke & Jan
E. Stets, Identity Theory (New York: Oxford University Press, 2009), 3-4.

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa
Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

| 33

imajinasi belaka, sebagai interlokutor (mitra percakapan).29
Bersama-sama dengan yang namanya Barat, Komunisme dan
Islam Fundamentalis, orang Tionghoa ditaruh di dalam kategori
‘orang lain’ tersebut.30 Mereka adalah ‘orang lain’ karena berasal
dari luar batas geografis nasional Indonesia, berbeda budayanya,
kuat secara ekonomi dan dicurigai terkait erat dengan komunisme.
Kebijakan asimilasi jadinya berkontradiksi di dalam
dirinya sendiri karena membentuk garis pemisah yang
membedakan orang Tionghoa, yang dianggap bukan pribumi, dari
orang-orang non-Tionghoa, yang dianggap pribumi. Perbedaan itu
lantas dimuat ke dalam kesadaran nasional, dibakukan dan
diwujudkan dalam rupa perlakuan yang diskriminatif. Hal itu
membuat identitas ketionghoaan yang coba dihapus justru makin
kentara dan jadi semakin tidak terhapus serta terus-menerus
direproduksi. Di pihak lain, sistem ekonomi yang dibangun Orde
Baru di atas pembagian kerja menurut ras turut pula mengeraskan
perbedaan dan mengkontradiksikan kebijakan itu. Pelaksanaan
asimilasi total jadinya tidak bisa terjadi sebab justru akan
menghapus sistem sosial-ekonomi yang selama ini telah
memberikan keuntungan besar kepada penguasa.31
Senada dengan Heryanto, Christian Chua juga berpendapat bahwa kebijakan asimilasi gagal karena kontradiksi yang
diciptakan oleh pemerintah itu sendiri.32 Chang Yau Hoon

29
Pikiran Charles Horton Cooley seperti diterangkan oleh James A.
Holstein & Jaber Gubrium dalam The Self We Live B: Narrative Identity in A
Postmodern World (New York: Oxford University Press, 2000), 27.
30
Heryanto dalam Joel S. Kahn, ed., Southeast Asian Identities, 97.
31
Ibid., 104. Sarah Turner menjelaskan bahwa orang-orang
Tionghoa, khususnya sejumlah konglomerat Tionghoa, dalam sistem
ekonomi Orde Baru memang sengaja ditempatkan sebagai pengelola ekonomi
negara. Lihat Sarah Turner, “Speaking Out: Chinese Indonesians After
Suharto,” Asian Ethnicity, Volume 4, Number 3, October 2003: 342-343.
32
Christian Chua, “Defining Indonesian Chineseness Under the
New Order,” Journal of Contemporary Asia, Vol. 34 No. 4 (2004): 465-479.
Sebelum Christian Chua, sejumlah artikel yang dimuat dalam jurnal Asian
Ethnicity Volume 4, Number 3, October 2003, juga mempergunakan baik

34

| BAB II KERANGKA TEORETIS

melokalisasi problemnya pada konsep identitas nasional Indonesia
yang coba dipertahankan oleh pemerintah Orde Baru. Dalam
konsep itu ada dua problem yang melekat. Yang pertama warga
negara dibagi ke dalam dua kategori: pribumi dan non-pribumi.
Warga negara pribumi adalah penduduk asli yang mendiami suatu
wilayah atau tanah. Karena itu, sekalipun sudah berstatus WNI,
orang Tionghoa tetap saja asing sebab bukan penghuni asli suatu
daerah. Masalah yang kedua adalah sifat singularitas dan statis dari
konsep identitas nasional Indonesia. Konsep identitas yang dianut
oleh pemerintah Orde Baru bersifat tunggal dan tetap sementara
Indonesia tersusun atas beraneka etnis, budaya, bahasa dan
agama. Orang Tionghoa sendiripun jauh dari sebuah komunitas
yang homogen. Ketidakpekaan pemerintah kepada keanekaragaman ini menyebabkan pilihan yang tersedia bagi orang Tionghoa
adalah “to give up all their ‘Chineseness’.”33 Melepaskan secara
menyeluruh ketionghoaan jelas sebuah ketidakmungkinan karena
baik keindonesiaan maupun ketionghoaan itu sendiri adalah
konsep hibrida, yang tidak pernah merupakan sebuah konsep yang
stabil. Kebijakan asimilasi, dengan demikian, menjadi sebuah
usaha politis yang sia-sia.
Keruntuhan Orde Baru mendorong timbulnya suatu genre
baru dalam studi atas orang-orang Tionghoa. Diilhami oleh teori
Albert Hirschman tentang perilaku konsumen, Ignatius Wibowo
mulai mengarahkan perhatian penelitian bukan lagi kepada situasi
internal atau eksternal orang Tionghoa yang mengitari orangorang Tionghoa namun langsung kepada respons-respons mereka
sendiri kepada situasi yang mengelilinginya. Tiga konsep
Hirschman yang ia pakai untuk membaca respons mereka adalah

seluruhnya maupun sebagian argumentasi Heryanto tentang kontradiksi
kebijakan asimilasi.
33
Chang Yau Hoon, “Assimilation, Multiculturalism, Hybridity:
The Dilemmas of the Ethnic Chinese in Post-Suharto Indonesia,” Asian
Ethnicity, Vol. 7 No. 2, June 2005: 152.

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa
Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

| 35

exit, voice dan loyalty.34 Pada exit, bentuk responsnya ada tiga. Yang
pertama adalah meninggalkan Indonesia dan pindah ke negara
lain. Yang kedua adalah pindah ke daerah lain, dan yang ketiga
adalah tetap tinggal di tempat semula namun membangun pagarpagar pelindung yang tinggi.
Untuk voice, Wibowo menemukan respons ini diperagakan
dengan mendirikan lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM)
yang memperjuangkan penghapusan segala bentuk diskriminasi
terhadap orang Tionghoa. Sementara untuk loyalty, Wibowo
melihat hal itu ditampilkan dalam pilihan melibatkan diri di dalam
dunia politik Indonesia, baik dengan menjadi anggota partai
politik yang sudah ada maupun dengan mendirikan partai yang
berjuang menghapus diskriminasi terhadap orang Tionghoa.
Bentuk lain yang diperagakan dalam kategori ini adalah
mengambil sikap “suffer in silence, confident that things will soon
get better.”35 Wibowo percaya bahwa respons ini merupakan
respons dari mayoritas orang Tionghoa.
Apakah respons-respons ini dapat menggambarkan
respons orang Tionghoa semasa Orde Baru? Tulisan Wibowo
tidak memberi gambaran sampai sejauh itu karena ia menulis
tentang orang Tionghoa pasca jatuhnya Soeharto. Namun tulisan
Van Der Kroef yang terbit pada tahun 1968 memberikan
gambaran yang sedikit mirip dengan apa yang dilukiskan
Wibowo.36 Menyikapi situasi yang mengancam sejumlah besar
orang Tionghoa di berbagai kota berupaya mencari jalan untuk
keluar dari Indonesia.37 Yang lain menyuarakan protesnya kepada
perlakuan buruk yang diterima.38 Namun respons-respons ini tidak
berlangsung lama karena mendapat perlawanan keras dari aparat
Ignatius Wibowo, “Exit, Voice and Loyalty: Indonesian Chinese
after the Fall of Suharto,” Sojourn: Journal of Social Issues in Southeast Asia, Vol.
16, No. 1 (April 2001): 125-146.
35
Ibid., 142.
36
Justus M. Van Der Kroef, “The Sino-Indonesian Rupture,” The
China Quaterly, No. 33 (Jan.—Mar., 1968): 17-46.
37
Ibid., 30.
38
Ibid., 32.
34

36

| BAB II KERANGKA TEORETIS

dan masyarakat. Setelah kekacauan awal peralihan rezim berlalu,
orang-orang Tionghoa, mengikuti analisis Wibowo, tampaknya
lebih memilih diam menanggung derita dalam kesunyian.
Meski diam dalam kesunyian tidak berarti bahwa orangorang Tionghoa lantas tidak berbuat apa-apa melawan arus kuat
asimilasi yang dipaksakan kepadanya. Studi Aimee Dawis coba
memasuki ruang-ruang hidup di belakang pengawasan pemerintah
Orde Baru untuk mencari tahu apa yang dilakukan dengan
identitasnya. Ia menemukan bahwa tekanan untuk menjadi sama
dengan orang Indonesia lainnya ternyata tidak diterima begitu saja
oleh orang-orang Tionghoa. Sejumlah orang Tionghoa malah
berusaha mengkonstruksi identitas sosial tersendiri, yang tetap
diwarnai oleh budaya Tionghoanya. Merujuk kepada konsep
Stuart Hall tentang pengalaman diaspora dan hibriditas, Dawis
mendapati bahwa film-film silat Mandarin telah dipergunakan
sebagai medium untuk mengenali dan memahami kebudayaan
Tionghoa serta kehidupan di negeri asal yang tidak bisa ditemukan
lagi di ruang-ruang publik.39 Nilai-nilai budaya Tionghoa yang
dilihat dari film-film itu bersama dengan nilai-nilai budaya
setempat, oleh suatu proses yang dinamis dikonstruksi sedemikian
rupa menjadi suatu identitas pribadi yang bersifat hibrida.
Kebijakan asimilasi adalah kebijakan yang lahir dari
keinginan kelompok dominan untuk menegakkan hegemoninya
atas mereka yang dipersepsi sebagai para pendatang.40 Ia
merupakan bagian dari operasi kekuasaan penguasa Orde Baru
atas orang-orang Tionghoa yang dipersepsi sebagai pendatang,
bukan asli Indonesia, asing dan sebuah masalah yang harus dicari
jalan keluarnya. Studi-studi yang ada sudah lama tiba pada
kesimpulan itu. Meski demikian, respons terhadap kebijakan itu
masih belum banyak digali. Orang-orang Tionghoa masih
39
Aimee Dawis, Orang Tionghoa Indonesia Mencari Identitas (Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama, 2010).
40
James Forrest & Kevin Dunn, “Core’ culture hegemony and
multiculturalism: Perceptions of the privileged position of Australians with
British backgrounds,” Ethnicities Vol 6 (2), 2003: 203-204.

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa
Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

| 37

tergambarkan secara monokrom sebagai kelompok orang yang
tunduk dan patuh mengikutinya. Kalau pun akhirnya mereka tidak
berasimilasi maka hal itu terjadi karena ketidakkonsistenan
pemerintah dalam menjalankannya serta kontradiksi yang melekat
di dalamnya.41 Yang lain memahami kegagalan asimilasi terjadi
karena dibangun di atas pandangan yang keliru tentang identitas,
yakni memahami identitas secara esensialis atau primordialis.42
Pandangan ini mereduksi orang ke dalam sebuah ‘esensi’ yang
homogen dan tidak berubah, yang menandainya dalam interaksi
sosial dengan orang lain. Esensi itu dapat berupa rasnya, fisiknya,
budayanya, bahasanya dan lain sebagainya. Sementara dalam
praktiknya identitas seseorang adalah bersifat majemuk dan terusmenerus mengalami proses rekonstruksi. Di dalam proses ini
selalu terbuka kemungkinan bagi terbentuknya identitas yang tidak
sama persis dengan yang diinginkan penguasa.
Telah ada upaya untuk menunjukkan bahwa respons
orang Tionghoa tidak melulu patuh dan setia tetapi juga melawan.
Hanya saja fokus analisis Wibowo masih sebatas pada masa
sesudah runtuhnya Orde Baru. Studi Aimee Dawis membuka
cakrawala baru karena mengangkat strategi-strategi yang ditempuh
oleh orang Tionghoa di masa Orde Baru untuk dapat terus
berhubungan dengan akar-akar budaya Tionghoa. Studi ini lantas
menjadi penting artinya karena fokusnya kini beralih kepada
aktivitas hidup sehari-hari orang-orang Tionghoa. Berbeda dari
sebagian besar studi sebelumnya yang fokus kepada interaksi
secara umum dengan penguasa, Dawis memperlihatkan bahwa
dalam aktivitas hidup sehari-hari itu ada modus-modus interaksi
41
Leo Suryadinata, Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia
(Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010), 218.
42
Untuk uraian lebih lanjut tentang identitas primordial atau
esensialis lihat Harold R. Issacs, Pemujaan Terhadap Kelompok Etnis: Identitas
Kelompok dan Perubahan Politik (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993). Ia
memakai istilah “Rumah Muumbi” sebagai metafora untuk identitas
primordial itu. Yang lain lihat Stephen Cornell & Douglas Hartman, Ethnicity
and Race: Making Identities in A Changing World (Thousand Oaks, CA.: Pine
Forge Press, 1998). Ia memberikan uraian panjang lebar tentang pendekatan
primordial, sirkumstansional atau situasional dan konstruksional.

38

| BAB II KERANGKA TEORETIS

yang berbeda dari yang selama ini tersingkap. Kalau yang umum
tampak adalah orang Tionghoa tunduk dan kalah kepada
kemauan penguasa; dalam lokasi hidup sehari-hari, di arena yang
tidak teramati oleh penguasa, orang-orang Tionghoa terus
menjalin hubungan dengan kebudayaannya yang terlarang serta
terus diberi makan secara kultural olehnya. Kalau demikian
mungkinkah hal seperti itu juga terjadi, meski dengan cara yang
berbeda, dalam ruang-ruang lain yang jauh dari pengamatan
penguasa? Di sinilah aktivitas orang Tionghoa di dalam lembagalembaga keagamaannya menjadi menarik untuk dicermati.
Selanjutnya, kalau peran agama selama ini digambarkan
secara positif sebagai yang memfasilitasi asimilasi, studi-studi
sosiologi agama sebenarnya memperlihatkan bahwa fungsi agama
tidak melulu begitu. Agama memang dapat berfungsi sebagai alat
apologi dan legitimasi status quo dengan budaya ketidakadilannya
namun di pihak lain agama juga bisa berfungsi sebagai alat protes,
perubahan dan pembebasan.43 Penelitian tentang fungsi agama,
khususnya agama Kristen, pada orang Tionghoa dalam kaitannya
dengan kebijakan asimilasi selama ini terlalu menitikberatkan
fungsi pertama agama. Namun kalau agama punya fungsi lain,
yaitu sebagai alat untuk melawan hegemoni maka tentu saja
mungkin untuk mengharapkan respons lain dari orang-orang
Tionghoa terhadap kebijakan asimilasi. Namun untuk sampai ke
sana dibutuhkan terlebih dulu sebuah kerangka teori yang dapat
memfasilitasi penemuan tersebut. Di bawah ini adalah suatu
upaya untuk mengkonstruksi kerangka teori semacam itu.

Dorothee Solle, dikutip oleh Dwight B. Billings, “Religion as
Opposition: A Gramscian Analysis,” The American Journal of Sociology, Vol.
96, No. 1 (Jul., 1990): 2. Kutipannya adalah “religion must be understood in
its ‘double function’ that is, ‘as apology and legitimation of the status quo and
its culture of injustice on the one hand, and as a means of protest, change and
liberation on the other hand.’”
43

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa
Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

| 39

B. Definisi-definisi Konseptual
Setidaknya ada tiga konsep penting yang menyusun
kerangka teori yang akan dipergunakan di sini. Ketiganya adalah
kebijakan asimilasi, identitas nasional Indonesia dan perlawanan.
Agar tidak timbul kekaburan maka suatu definisi operasional akan
diberikan kepada komponen-komponen konseptual tersebut.
1. Kebijakan Asimilasi
Secara etimologis, asimilasi berasal dari kata Latin
adsimilare yang berarti membuat serupa atau sama.44 Dalam
pengertian umum, asimilasi menunjuk kepada proses yang dijalani
oleh
individu-individu
atau
kelompok-kelompok
untuk
mengadopsi bahasa, norma-norma kultural dan nilai-nilai dari
kelompok lain.45 Individu-individu atau kelompok-kelompok itu
umumnya dianggap sebagai orang luar (outsider) atau orang asing
(foreigners) oleh masyarakat yang menerima mereka (host society).
Di antara mereka adalah kaum migran, yakni para pendatang dan
perantau dari berbagai negara dan budaya yang menetap di suatu
negara.46
Meski di kemudian hari ditemukan bahwa asimilasi
merupakan sebuah proses dua arah47 namun gagasan yang selama
bertahun-tahun melekat dalam konsep ini adalah sebuah proses
satu arah saja. Dalam proses satu arah itu, para pendatang atau
kelompok minoritas secara perlahan-lahan menyesuaikan dirinya

Laura Zanfrini, “Assimilation” Dictionary of Race, Ethnicity &
Culture, eds. Guido Bolaffi, et all (London: SAGE Publications, 2003), 19.
45
David G. Embrick, “Assimilation” International Encyclopedia of the
Social Sciences 2nd Edition, ed. William A. Darity, Jr. (Farminton Hills, MI.:
Macmillan Reference USA, 2008), 188.
46
Larry Ray, “Assimilation,” The Cambridge Dictionary of Sociology,
ed. Bryan S. Turner (Cambridge, UK.: Cambridge University Press, 2006 ),
24; Zanfrini dalam Dictionary of Race, Ethnicity & Culture, 19; Roger Scruton,
The Palgrave Macmillan Dictionary of Political Thought (New York: Palgrave
Macmillan, 2007), 42.
47
Lihat Ray dalam The Cambridge Dictionary of Sociology, 24;
44

40

| BAB II KERANGKA TEORETIS

dengan suasana hidup di lingkungan yang baru dengan menyerap
nilai-nilai dari budaya dominan.48
Sasaran akhir yang hendak dicapai dari proses ini adalah
hilangnya batas-batas yang membedakan suatu etnis atau ras
berikut perbedaan-perbedaan sosial dan kultural serta identitasidentitas yang diasosiasikan dengan etnis atau ras tersebut.49 Ciriciri kultural yang membedakan lenyap bersamaan dengan
terserapnya ke dalam budaya mayoritas atau budaya dominan.50
Pada level kelompok hasilnya bisa berupa terserapnya satu atau
lebih kelompok minoritas ke dalam kelompok mayoritas, atau
penggabungan kelompok-kelompok minoritas; sementara pada
level individual hasilnya adalah terakulturasi, terintegrasi dan
teridentifikasi dengan anggota-anggota kelompok lain.51
Hakikat asimilasi pada dasarnya adalah penciptaan sebuah
masyarakat dengan identitas kultural yang seragam (uniform).52
Pendatang atau orang asing atau kelompok etnis minoritas dengan
karakteristik sosial dan kultural yang berbeda dianggap berbahaya
bagi stabilitas sosial dan politis.53 Asimilasi lantas menjadi strategi
politik yang dipilih oleh penguasa untuk menjaga masyarakat tetap
sehomogen mungkin.54 Implementasinya diwujudkan dalam
bentuk kebijakan yang dipaksakan oleh negara, yang bertujuan
membasmi semua budaya-budaya minoritas.55

48

Zanfrini dalam Dictionary of Race, Ethnicity & Culture, 19; Embrick
dalam Darity, Jr., ed., International Encyclopedia of the Social Sciences, 188.
49
R.G. Rumbaut, “Assimilation,” International Encyclopedia the Social
and Behavioral Sciences Vol. I, eds. Neil J. Smelser & Paul. B. Baltes (Oxford,
UK.: Elsevier, 2001), 845.
50
Lihat Alexander J. Motyl, ed., Encyclopedia of Nationalism Vol. 2:
Leaders,Movements, and Concepts (San Dieago, CA.: Academic Press, 2001), 29;
Zanfrini dalam Dictionary of Race, Ethnicity & Culture, 19.
51
Rumbaut dalam International Encyclopedia the Social and Behavioral
Sciences Vol. I, 845.
52
Ray dalam The Cambridge Dictionary of Sociology, 24
53
Scruton, The Palgrave Macmillan Dictionary of Political Thought, 42.
54
Zanfrini dalam Dictionary of Race, Ethnicity & Culture, 19.
55
Rumbaut dalam International Encyclopedia the Social and Behavioral
Sciences Vol. I, 845.

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa
Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

| 41

Pengertian tentang kebijakan asimilasi yang dipergunakan
di sini adalah segala peraturan yang dikenakan oleh pemerintah
Orde Baru kepada orang Tionghoa dengan maksud untuk
mengintegrasikannya ke dalam masyarakat dan kebudayaan
Indonesia. Pada hakikatnya ia berisi tiga hal. Pertama,
penghapusan identitas sosial-kultural etnis Tionghoa, yang
mencakup bahasa, agama, adat istiadat, kebiasaan, dan
kebangsaannya. Kedua, memaksa orang Tionghoa keluar dari
kelompoknya, bertemu dengan orang lain dan membuka
kelompoknya untuk dimasuki oleh orang lain. Ketiga, memaksa
mereka untuk merangkul suatu identitas baru, identitas nasional
Indonesia, dengan bahasa, agama, adat istiadat, kebiasaan,
kebangsaan dan kewarganegaraan yang sama dengan masyarakat
di mana mereka berada.
2. Identitas Nasional Indonesia
Gagasan tentang identitas nasional tidak bisa dilepaskan
dari percakapan tentang nasionalisme dan asal-usul bangsa dan
negara modern.56 Sebagian pendapat mengatakan bahwa bangsa
dan negara merupakan produk industrialisasi dan modernisasi.
Sebelum era modern yang dimulai pada abad ke-18, nasionalisme
dan negara seperti yang dikenal saat ini masih belum ada ada.57
Pendapat yang lain mengatakan bahwa negara tidak sepenuhnya
merupakan fenomena modernitas. Nasionalisme dan negarabangsa adalah realitas-realitas modern yang memiliki akar-akar
dari masa lalu.

Lihat Craig Calhoun, “Nationalism and Ethnicity,” Annual Review
of Sociology, Volume 19 (1991): 211-239; Anthony D. Smith, The Cultural
Foundations of Nations: Hierarchy, Covenant, and Republic (London: Blackwell
Publishing, 2008); Anthony D. Smith, Myths and Memories of the Nation
(Oxford, UK.: Oxford University Press, 1999); Ernest Gellner, Nations and
Nationalism (Ithaca, N.Y.: Cornell University Press, 1983).
57
Menurut Smith, teori dominan melihat bangsa dalam artian
modern muncul bersamaan dengan timbulnya Revolusi Amerika dan
Revolusi Perancis. Lihat Smith, The Cultural Foundations of Nations, xii.
56

42

| BAB II KERANGKA TEORETIS

Pada pendapat pertama bangsa lahir sebagai produk dari
arus industrialiasi yang mengubah secara besar-besaran struktur
masyarakat agraris dan membuat banyak orang tercerabut dari
akar-akar hidupnya. Untuk menyatukan masyarakat yang tercerai
berai ini maka sejumlah elit kemudian meluncurkan nasionalisme
sebagai ideologi yang mempersatukan semua orang itu ke dalam
suatu batas-batas politis dan budaya yang sama.58 Pikiran ini
berbeda dari konsep kedua yang memahami kejadian bangsa dari
dalam etnisitas pra-modern. Sebelum suatu bangsa ada, sudah
lebih dulu ada apa yang diistilahkan Smith sebagai ethnie, atau
komunitas etnis. Di kemudian hari, oleh proses-proses sosiohistoris, komunitas ini berubah menjadi ethnie cores, yaitu sebuah
komunitas yang kohesif dan sadar akan keperbedaannya dari yang
lain. Mereka inilah yang nantinya menjadi “kernel and basis of
states and kingdoms.”59
Dalam kaitan ini setidaknya timbul dua bentuk negara.
Yang pertama adalah nation-state dan yang kedua adalah national
state.60 Bentuk yang pertama umum dikenal dengan istilah “negara
bangsa.” Dalam negara ini rakyat memiliki kesamaan bahasa,
agama dan identitas simbolik yang kuat. Yang kedua adalah
58

Pada pokoknya ini adalah argumen Gellner. Lihat Gellner,
Nations and Nationalism, 39-52. Juga lihat Thomas Hylland Eriksen,
Antropologi Sosial dan Budaya: Sebuah Pengantar (Maumere: Penerbit Ledalero,
2009), 468. Berbeda dari Gellner, Ben Anderson mengajukan teori lain
tentang munculnya bangsa. Kalau Gellner menaruh sebab timbulnya bangsa
pada
industrialisasi,
Anderson
menaruhnya
pada
faktor-faktor
berkembangnya pemakaian bahasa setempat (vernacular), teknologi
percetakan, media komunikasi dan perkembangan peta. Untuk ringkasan
argumen Anderson lihat Calhoun dalam Annual Review of Sociology, Volume
19 (1991): 233-235. Lengkapnya Benedict Anderson, Imagined Communities:
Reflections on the Origin and Spread of Nationalism, revised edition (New York:
Verso, 1991).
59
Anthony D. Smith, National Identity (London: Penguin Books,
1991), 38-39.
60
Smith memakai istilah yang berbeda untuk kedua macam negara
ini. Untuk national state ia memakai istilah civic state model, yang merupakan
gejala khas Barat (Western) sementara untuk nation-state Smith memakai
istilah ethnic state model, yang ia katakan merupakan khas Eropa Timur, Asia
dan sebagian besar Afrika. Lihat Ibid., 8-15.

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa
Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

| 43

negara yang berusaha memperluas kekuasaan langsung sampai
kepada seluruh populasi rakyatnya dan di saat yang sama berusaha
mengembangkan kapasitas mereka untuk mengorganisir
rakyatnya.61 Baik negara yang pertama maupun negara yang
kedua, persoalan yang dihadapi tetap sama, yaitu bagaimana
mencapai dan mempertahankan kesatuan dan keutuhan bangsa
dan negara. Di titik ini kaum nasionalis kemudian mengintroduksi
isu identitas nasional. Dengan merangkul sebuah identitas kolektif
yang diklaim lebih utama dan kepentingannya mengalahkan
kepentingan identitas-identitas lain, seperti identitas personal atau
kelompok, maka individu-individu yang bermacam-macam dalam
batas-batas teritori negara akan merasa menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari orang lain yang berada dalam batas-batas negara.
Dengan jalan ini tiap-tiap orang dihubungkan secara langsung
dengan bangsa secara keseluruhan.62 Meminjam ucapan Barker,
identitas nasional adalah “a way of unifying cultural diversity.”63
Identitas nasional jadinya menunjuk kepada dua hal. Yang
pertama kepada gambar diri kolektif anggota-anggota suatu
bangsa, dan yang kedua sistem budaya tersendiri yang dianut oleh
mayoritas populasi bangsa.64 Gambar diri itu dibentuk dengan cara
mengidentifikasi diri kepada simbol-simbol bangsa.65 Tentu saja
tiap-tiap bangsa memiliki identitas nasional yang berbeda-beda.
Namun demikian masing-masing memiliki komponen-komponen
61

Calhoun dalam Annual Review of Sociology, Volume 19 (1991): 217.
Ibid., 229.
63
Chris Barker, The Sage Dictionary of Cultural Studies (London:
SAGE Publications, 2004), 132. Terjemahan: “suatu cara untuk menyatukan
keanekaragaman budaya.”
64
Liora Lukitz, Iraq: The Search for National Identity (London: Frank
Cass & Co. Ltd., 1995), 2.
65
Dari perspektif psikologi sosial, William Bloom mendefinisikan
identitas nasional sebagai “condition in which a mass of people have made
the same identification with national symbols—have internalised the symbols
of the nation—so that they may act as one psychological group when there is
a threat to, or the possibility of enhancement of, these symbols of national
identity.” Lihat William Bloom, Personal Identity, National Identity and
International Relations (Cambridge, UK.: Cambridge University Press, 1993),
52. Bnd. Barker, The Sage Dictionary of Cultural Studies, 131.
62

44

| BAB II KERANGKA TEORETIS

umum yang sama. Smith menyebut lima komponen umum
identitas nasional yang ada bisa ditemukan pada semua konsep
identitas nasional mana saja. Kelimanya adalah: [a] sebuah teritori
atau tanah air historis, [b] mitos-mitos dan memori-memori
sejarah yang sama, [c] sebuah kebudayaan publik yang sama, [d]
hak-hak dan kewajiban yang sama untuk semua anggota bangsa,
dan [e] suatu ekonomi yang sama dengan mobilitas teritorial yang
sama untuk semua anggota bangsa.66 Scruton menambahkan
komponen-komponan lain yakni [a] sifat alamiah bangsa, [b]
kepentingan-kepentingan bersama, dan [c] tujuan hidup yang
sama.67
Komponen-komponen
tersebut
umumnya
dapat
ditemukan dalam berbagai konstruksi identitas nasional.68 Dalam
penelitian ini identitas nasional akan dipahami sebagai suatu
bentuk identifikasi dengan bangsa seperti terungkap lewat simbolsimbolnya. Identitas ini bersifat multidimensional, artinya simbolsimbol bangsa kepada mana individu-individu mengidentifikasikan
dirinya tidak melulu terdiri atas satu komponen saja. Identitas
nasional merupakan konstruksi kompleks, yang terdiri atas
komponen-komponen etnis, kultural, teritorial, ekonomi, legal dan
politis. Individu-individu yang mengidentifikasikan dirinya dengan
identitas itu lantas terikat dalam suatu “bonds of solidarity among
members of communities united by shared memories, myths and
traditions.”69
Dengan pengertian semacam itu maka identitas nasional
Indonesia adalah suatu bentuk identifikasi dengan bangsa
Indonesia melalui simbol-simbolnya. Di antara hal-hal yang
dipahami sebagai simbol-simbol bangsa Indonesia adalah bahasa
Indonesia, tanah air Indonesia yang membentang dari Sabang
sampai Merauke, bendera nasional Sang Merah Putih, lagu
kebangsaan Indonesia Raya, burung garuda, semboyan Bhinneka
66

Smith, National Identity, 14.
Scruton, Palgrave Macmillan Dictionary of Political Thought, 316.
68
Misalnya lihat Eriksen, Antropologi Sosial dan Budaya, 492-493.
69
Smith, National Identity, 15.

67

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa
Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

| 45

Tunggal Ika, Undang-undang Dasar 1945 dan dasar negara
Pancasila.70 Dari semuanya itu, komponen simbolik yang menjadi
tekanan penting pemerintahan Orde Baru adalah Pancasila.71 Ia
menjadi simbol utama kebudayaan dan kebangsaan Indonesia.
Melekatkan diri kepada Pancasila dapat dikatakan sama artinya
dengan melekatkan diri kepada Indonesia.
Identitas nasional Indonesia yang disimbolkan di dalam
Pancasila diungkapkan oleh Presiden Soeharto dalam berbagai
metafor. Dalam salah satu bagian pidatonya pada upacara
peresmian keanggotaan MPR pada tahun 1972, Presiden Soeharto
mengatakan bahwa “Pancasila adalah jiwa dari Bangsa Indonesia.”72
Ia tidak saja jiwa namun juga kepribadian dan pandangan hidup
bangsa Indonesia, yang memberi bimbingan dan tuntunan dalam
segala kegiatan bangsa, negara, masyarakat dan manusia
Indonesia serta tujuan hidup bangsa Indonesia.73 Ia tidak muncul
mendadak namun “merupakan nilai-nilai luhur yang lahir dan
tumbuh dari sejarah dan kebudayaan kita yang telah berabad-abad
lamanya. Suatu kebudayaan yang menempatkan keselarasan
sebagai kunci kebahagiaan manusia.”74 Dengan merangkul
Pancasila sebagai identitas nasional maka yang akan tercipta
bukan lagi suatu masyarakat yang terpecah belah oleh “faham
golongan dan perseorangan” tetapi sebuah “masyarakat

70
Dikdik Baehaqi Arif, Diktat Pendidikan Kewarganegaraan
(Yogyakarta: FKIP Universitas Ahmad Dahlan, 2011), 3-4; Jakob Oetama,
“Pancasila, Identitas dan Modernitas” Restorasi Pancasila: Mendamaikan Politik
Identitas dan Modernitas, ed. Irfan Nasution & Ronny Agustinus (Bogor:
Brigthen Press, 2006), 120-125; Azyumardi Azra, “Pancasila dan Identitas
Nasional Indonesia: Perspektif Multikulturalisme” dalam Ibid., 143-161.
71
R.E. Elson, The Idea of Indonesia: Sejarah Pemikiran dan Gagasan
(Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2008), 373-374. Lihat pula Yau Hoon
dalam Asian Ethnity, Volume 7, Number 2, June 2006:150-151.
72
Krissantono, ed., Pandangan Presiden Soeharto Tentang Pancasila
(Jakarta: CSIS, 1976), 11-12.
73
Ibid., 10, 14, 15.
74
Ibid., 20.

46

| BAB II KERANGKA TEORETIS

Pancasila” yaitu “masyarakat
kepribadian Indonesia sendiri.”75

Indonesia

yang

bercorak

Selain Pancasila, komponen lain dari identitas nasional
Indonesia yang ditekankan oleh pemerintahan Orde Baru adalah
bahasa Indonesia.76 Bahasa ditekankan karena kesadaran bahwa
masyarakat Indonesia adalah “masyarakat majemuk; masyarakat
ganda” yang terdiri atas bermacam-macam suku, bahasa dan
kebudayaan, adat-istiadat dan agama yang berbeda. Perbedaan itu
disadari sepenuhnya berpotensi menimbulkan perpecahan bangsa.
Bahasa Indonesia menjadi tekanan karena dengan bahasa yang
satu itu bangsa Indonesia yang beraneka ragam ini dapat diikat
menjadi satu kesatuan.77
Komponen terakhir yang cukup ditekankan adalah
komponen kesatuan teritorial, kultural dan legal-politis. Indonesia
adalah suatu teritori “dari Sabang sampai Merauke” yang “bulat
dan utuh.”78 Di dalam teritori itu hidup suatu masyarakat yang
majemuk, dengan suku, golongan, kepentingan, keyakinan dan
agama yang berbeda-beda. Namun semua itu harus ditundukkan
di bawah nasionalisme Pancasila, yang mengharuskan
dihapuskannya “penonjolan kesukuan, keturunan ataupun
perbedaan warna kulit.”79 Dalam kaitan ini maka suatu gagasan
tentang kewarganegaraan ganda sama sekali tidak bisa diterima.80
Dan senada dengan itu “tata pergaulan yang eksklusif di dalam
75

Krissantono, ed., Pandangan Presiden Soeharto Tentang Pancasila, 20,

23.
76

Elson, The Idea of Indonesia, 380.
Krissantono, ed., 52-53. Soedjatmoko melihat fungsi bahasa
Indonesia sebagai “wahana integrasi politik dan alat perjuangan kolonial”
pada tataran elit bangsa telah berhasil dijalankan oleh bahasa Indonesia sejak
1928-1978. Sementara dalam periode berikutnya, penggunaan bahasa
Indonesia perlu digalakkan dan ditekankan di berbagai level demi mendorong
proses transformasi bangsa sebagai satu kesatuan yang utuh. Lihat Andre
Hero Triman, ed., Menjadi Bangsa Terdidik Menurut Soedjatmoko (Jakarta:
Penerbit Buku Kompas, 2010), 119-159.
78
Krissantono, ed., 53.
79
Ibid., 48.
80
Elson, The Idea of Indonesia, 380.
77

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa
Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

| 47

lingkungan satu Bangsa”81 atau hidup dengan “perasaan kesukuan
yang sempit”82 tidak bisa diterima pula. Yang kini harus
dihidupkan adalah semangat kebangsaan dan persatuan serta rasa
cinta yang lebih besar kepada Tanah Air Indonesia. Di sini
Pancasila memegang peranan krusial, yakni “sebagai faktor
integrasi.”83 Berkomitmen kepada Pancasila akan menimbulkan
komitmen kepada bangsa dan negara Indonesia.
3. Perlawanan
Istilah ‘perlawanan’ yang dipergunakan di sini merupakan
terjemahan dari kata kerja resist dan kata benda resistance. Dalam
Dictionary of Politics and Government, kata resistance diberi dua
makna.84 Makna pertama adalah suatu aksi yang memperlihatkan
bahwa orang menolak sesuatu; sementara makna kedua menunjuk
kepada sebuah kelompok yang secara diam-diam berjuang
melawan musuh yang menduduki negerinya. Makna ini tidak jauh
berbeda dari kata kerja resist, yang diartikan sebagai berjuang
melawan sesuatu atau tidak mau tunduk kepada sesuatu.85 Dalam
kamus lain kata resist antara lain bermakna bangkit memberikan
perlawanan kepada seseorang atau sesuatu, menahan tekanan
sesuatu dan menolak untuk patuh.86 Melawan, jadinya berisi sikap
dan tindakan. Ia adalah sikap yang tidak mau tunduk dan patuh,
yang terungkap dalam tindakan memberikan perlawanan terhadap
seseorang atau sesuatu, serta dalam tindakan menolak kekuatan
tertentu secara diam-diam. Perlawanan, jadinya, menunjuk kepada
sikap tidak mau menyerah kepada suatu tekanan dan kepada

81

Krissantono, ed., 56.
Ibid., 50.
83
Ibid., 51.
84
P.H. Collin, Dictionary of Politics and Government, 3rd ed. (London:
Bloomsbury Publishing Plc, 2004), 212-213.
85
Collin, Dictionary of Politics and Government, 212. K

Dokumen yang terkait

KEBIJAKAN ASIMILASI ETNIS TIONGHOA PADA MASA ORDE BARU TAHUN 1966 -1998

0 3 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Esuriun orang Bati D 902008103 BAB II

0 0 44

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998 D 762008002 BAB I

0 1 25

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998 D 762008002 BAB III

0 1 48

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998 D 762008002 BAB IV

0 0 89

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998 D 762008002 BAB V

0 0 26

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998 D 762008002 BAB VI

0 0 8

D 762008002 Daftar Pustaka

1 6 37

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

0 0 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

0 2 10