Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Esuriun orang Bati D 902008103 BAB II

Bab Dua

Survival Strategy, Adaptasi, Integrasi,
Kelembagaan, Identitas, Modal Sosial,
Nilai, dan Pembangunan: Telaah
Pustaka
Survival Strategy
Diskusi teoritis untuk mengungkap kekuatan bertahan hidup
(survival strategy) dengan cara-cara hidup sesuai kebudayaan pada
komunitas terpencil yang mengalami isolasi geografi, namun terus
berjuang untuk menghadapi dan mengatasi persoalan hidup dengan
caranya sendiri. Melalui strategi menjaga dan melindungi hak milik
untuk bertahan hidup (property protection for survival strategy)
meliputi manusia, tanah, hutan, adat, kebudayaan, identitas, dan sebagainya telah memberikan penguatan untuk bertahan hidup (survive).
Kondisi yang dihadapi pada setiap lingkungan masyarakat berbedabeda, sehingga cara mengembangkan kekuatan untuk bertahan hidup
(survive) dengan cara-cara hidup sesuai kebudayaan pada setiap komunitas tidak sama.
Pada lingkungan masyarakat desa yang masih tradisional, bahkan
terabaikan dari pengakuan masayrakat dan berbagai pihak lainnya
ternyata lembaga adat merupakan mata-rantai yang sangat penting dan
berfungsi, berperan untuk mewujudkan seluruh kepentingan mereka
dalam komunitas maupun dengan lingkungan sehingga penguatan yang

bersumber pada budaya spiritual dengan basis nilai yang kuat untuk
membangun diri dan komunitas dengan cara membiayai diri sendiri
agar dapat bertahan hidup (survive) dengan lingkungan berarti spesis
tersebut senantiasa berusaha agar tidak punah dalam lingkungannya.
Perkembangan teori survival strategy ternyata sudah cukup lama
dikenal dalam perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya di

23

Esuriun Orang Bati

kalangan ilmuan atau para ahli yang mempelajari geografi politik, atau
geopolitik. Strategi bertahan hidup (survive) yang dikembangkan oleh
berbagai spesis dengan lingkungan merupakan perilaku untuk bertahan
hidup (survive) dapat dijumpai pada kerajaan hewan yang senantiasa
berusaha menguasai ruang hidup dari masing-masing sehingga generasi
penerus tidak mengalami kepunahan. Hal ini juga dilakukan oleh
manusia yang mendiami lingkungan di berbagai negara dalam belahan
dunia.
Dapat dikatakan bahwa strategi menguasai wilayah kekuasaan

atau ruang hidup merupakan fenomena umum yang dilakukan manusia
pada masa sukubangsa masih berada pada zaman berburu. Aktivitas
hidup manusia pada zaman yang mengandalkan berburu dan meramu
untuk menopang hidup menyebabkan proses kehidupan berpindahpindah tempat (nomaden) menjadi fenomena umum yang dijumpai
dalam kehidupan manusia. Aktivitas nomaden pada manusia selain
untuk mencari sumber makanan dari alam bebas untuk memenuhi kebutuhan hidup, sekaligus manusia membuat demarkasi dalam kawasan
berburu, kemudian mengklaim wilayah kekuasaan berburu sebagai
ruang hidup miliknya, dan tidak boleh dikuasai maupun dimiliki oleh
orang lain.
Mengapa kawasan berburu menjadi penting untuk dikuasai atau
dimiliki ?. Cara klasik seperti ini sesungguhnya berkaitan dengan strategi bertahan hidup (survive) untuk memenuhi kebutuhan makanan.
Untuk itu dijumpai dalam prakteknya di berbagai tempat, cara menguasai ruang hidup yang dilakukan manusia berbeda-beda. Praktek
suku-suku tertentu untuk menguasai kawasan berburu sebagai ruang
hidup yang berisi sumber daya alam guna menopang hidup secara
individu, keluarga, kelompok, maupun komunitas, kemudian bergeser
secara evolusioner menjadi wilayah kekuasaan sukubangsa. Perkembangan yang terjadi kemudian yaitu ruang hidup dari sukubangsa
bergeser menjadi wilayah kekuasaan dari suatu negara. Cara penguasaan ruang hidup seperti dilakukan manusia merupakan perilaku politik
untuk bertahan hidup (survival strategy) dan terus eksis sampai saat
ini.


24

Telaah Pustaka

Usaha memahami perkembangan teori survival strategy sejak
awal dicetuskan oleh Charles Darwin tentang survival of the fittest.
Oleh Suckhurgbh (2008 : 1) yaitu awal kemunculan teori survival
terdapat kata kunci adalah organise. Makna organise berdasarkan teori
Darwin yaitu spesis yang mampu mengorganisir diri dan kelompok
secara baik dapat bertahan hidup (survive) dengan lingkungannya.
Sebaliknya, spesis yang tidak dapat mengorganisir diri dan kelompok
secara baik bisa mengalami kepunahan. Berarti spesis termasuk
manusia yang mendiami suatu lingkungan apabila mampu mengorganisir diri secara baik berarti dapat bertahan hidup (survive). Tetapi
manusia yang mendiami suatu lingkungan dalam planet bumi apabila
tidak dapat mengorganisir diri dan kelompok (termasuk bangsa dan
negara) secara baik dipastikan menghadapi kehancuran, bahkan bubar,
dan akhirnya bisa mengalami keruntuhan.
Setelah mempelajari tesis Darwin tentang survival of the fittest,
kemudian Herbert Spencer pada tahun 1864 menyandingkan dengan
teori tentang Population Growth dari Thomas Maltus tahun 1798

sehingga dijumpai kata kunci to organise. Makna yang dapat diambil
dari perkembangan teori survival strategy berdasarkan teori Maltus
yaitu manusia (penduduk) yang besar, dan telah berani mengorganisir
diri untuk membentuk bangsa dan negara mestinya dapat diorganisir
secara baik agar dapat bertahan hidup (suvive), karena penduduk menjadi sumber kekuatan dasar bagi pembangunan suatu bangsa dan
negara. Sebaliknya, penduduk yang besar apabila tidak dapat diorganisir dan dikelola secara baik, dikhawatirkan bisa mengancam survival strategy dari bangsa dan negara yang bersangkutan sehingga
dapat menuju kehancuran, bahkan sangat mungkin mengalami keruntuhan. Oleh Suckhurgbh, dalam perkembangannya kebenaran teori
survival of the fittest telah diakui oleh berbagai kalangan sehingga
terus dibudidayakan untuk bertahan hidup (survival strategy) yang disebut “unfittest”.
Secara teoritis maupun praktis, perkembangan teori survival strategy telah memperoleh pengakuan oleh berbagai kalangan masyarakat
di dunia karena analisisnya mampu menjawab kebutuhan hidup

25

Esuriun Orang Bati

manusia, kelompok, sukubangsa, bangsa, dan negara agar kelangsungan
hidup (survive) menjadi pilihan arif kalau tidak ingin mengalami kepunahan. Perkembangan teori survival strategy sejak Darwin, maupun
Spencer, kemudian disusul dengan para ahli yang telah berusaha mengembangkan teori survival strategy pada manusia, masyarakat, sukubangsa, negara dan lainnya cukup banyak seperti Emily Shuckburgh
(2008) tentang Survival of the human race. Bahasan tentang kelangsungan hidup ras manusia dengan membangun pendidikan, mengembangkan teknologi diperlukan untuk jangka panjang kemajuan

(termasuk penemuan) tentu saja bisa mencapai sukses atau keberhasilan. Mempelajari teori survival of the human race merupakan langkah
penyelamatan terhadap ras manusia sebagai makhluk yang mulia jika
dibandingkan dengan makhluk lainnya yang terdapat dalam planet
bumi agar tidak mengalami kepunahan.
Pemikiran Paul Kennedy (2008) tentang Survival of empires. Kelangsungan hidup imperium terancam karena kerusuhan revolusioner
Perancis. Walaupun diakui bahwa kejadian ini telah mendatangkan
perubahan besar di Eropa, dan dampaknya sampai ke Rusia, Jepang,
bahkan di belahan dunia lainnya. Perubahan itu terjadi sangat cepat
dalam berbagai hal yang berbeda. Artinya, pemandangan internasional
menyediakan kisah umat manusia sebagai salah satu dari yang berkerja
keras untuk kelangsungan hidup. Industri, teknologi, revolusi komunikasi mengubah dunia, termasuk neraca kekuatan lebih cepat dari
pernah sebelumnya. Selanjutnya menurut Edit Hall (2008) yang menganalisis tentang survival of culture (kelangsungan hidup budaya) menunjukkan bahwa kepentingan kebudayaan Yunani dan Romawi kuno
telah bertahan. Keduanya sampai Renaisans Eropa, bahkan sampai
Perang Dunia II dapat bertahan hidup (survive) bisa dipelajari melalui
media lama. Memahami teori survival of empires dapat mengingatkan
pada manusia terhadap perkembangan di mana ada masa pembentukan,
kejayaan, dan keruntuhan suatu bangsa maupun negara yang tidak bisa
bertahan hidup (survive) dalam menghadapi perubahan.
Analisis survival strategy yang dilakukan oleh Peter Austin
(2008) tentang Survival of language (kelangsungan hidup bahasa) dari

26

Telaah Pustaka

sekitar 6700 bahasa yang diucapkan di bumi ini. Masing-masing erat
terkait dengan identitas budaya masyarakat pembicara. Sebuah ancaman bagi kelangsungan hidup bahasa dari salah satu komunitas ini dalam
terminologi dari bab sebelumnya telah membicarakan ancaman untuk
‘kelangsungan hidup budaya’ mereka. Untuk mempertimbangkan kelangsungan hidup yang diedit Emily Shuckburgh di mana bahasa meninggal setiap dua minggu: apa yang akan kita lakukan mengenai kehilangan satu bahasa per dua minggu? Krisis yang akan datang bagi
kelangsungan hidup bahasa di dunia? Apakah bahasa ditakdirkan
untuk punah, atau ada tanda-tanda bahwa hilangnya bahasa dapat dibalik? Lihat perkiraan Raymond Gordon thnologue bahasa dunia yang
menunjukkan posisi relatif dari top dunia sepuluh bahasa, yang semuanya memiliki lebih dari 130 juta pembicara. Beberapa bahasa, seperti
Spanyol, Rusia, Perancis dan Arab, dapat dianggap multinasional
karena mereka gunakan secara resmi diakui dalam sejumlah negara.
Bahasa Inggris adalah bahasa global sekarang hadir di dunia dan meningkatkan baik dalam penggunaan dan prestise. Sepuluh bahasa dituturkan oleh 40% dari populasi dunia, dan dua puluh bahasa top diucapkan oleh setengah orang di Bumi. Makna dari teori tentang
survival of language mengisyaratkan bahwa perlu mengambil langkah
nyata oleh masyarakat, bangsa, maupun negara di dunia untuk menyelamatkan bahasa berarti menyelamatkan manusia yang terdiri dari
berbagai sukubangsa di dunia sehingga keaneka ragaman sebagai ciri
alamiah pada manusia terus lestari.
Richard Hard dan Olivor Sabot (2008) memunculkan pikiran
yang berbeda mengenai surviving disense (menyelamatkan nyawa dari

penyakit) di mana secara alami kematian mengancam akibat virus menegaskan bila tidak ada pusat untuk kendali penyakit sebagai contoh
virus di Alaska. Terdapat sebanyak partikel virus di paru-paru yang
mengancam di abad modern. Dua influensa lain telah menyapu bola
bumi sejak 1918 virus yang telah terkemuka mengancam angka kematian tinggi baru di timur Asia (secara kasar 50%). Walaupun banyak
kasus unreported jauh melebihi 1% kematian yang disebabkan oleh ketegangan influensa sejak 1919 seperi dialami Spanyol. Mempelajari

27

Esuriun Orang Bati

teori Surviving disense mengisyaratkan bahwa bahaya penyakit yang
mengancam umat manusia dewasa ini di berbagai belahan dunia seperti
HIV, AIDS yang belum ditemukan obat penyebuhannya. Penyalahgunaan obat terlarang seperti ganja, kokain dan sebagainya dimaksudkan agar tidak mengancam keselamatan manusia yang dapat menyebabkan kepunahan.
Pemikiran seperti Andrew Prentice (2008) Surviving famine.
Pemikiran teoritisnya pada manusia untuk bertahan dari bencana alam
menimbulkan ancaman berbeda dengan penyakit. Gunung berapi,
tsunami, badai, banjir dan gempa bumi adalah peristiwa langka, namun
memiliki potensi untuk memusnahkan masyarakat dalam hitungan
detik telah mengancam kota-kota besar di negara berkembang. Makna
dari mempelajari teori Surviving famine berarti manusia diberi peringatan awal untuk menghadapi suatu bencana alam. Teori tersebut

telah memberikan peringatan pada manusia sehingga kebijakan pemerintah berbagai negara berusaha mengembangkan program peringatan dini (early warning system) dimaksudkan untuk mencegah
bahaya yang ditimbulkan oleh bencana alam pada manusia untuk tetap
waspada terhadap bencana alam yang sewaktu-waktu dapat terjadi di
berbagai tempat, dan selanjutnya manusia di daerah bencana dapat mengambil langkah penyelamatan secara tepat.
Teori survival strategy yang dikembangkan oleh Chyntia Kenyon
dan Claire Cockcroft (2008) tentang Surviving longer (kelangsungan
hidup menyelamatkan nyawa lebih panjang). Teori survival strategy
menurut Diana Liverman (2008) Survival into the future (kelangsungan hidup ke masa depan) berkeyakinan bahwa kunci untuk
kelangsungan hidup di akhir abad kesembilan belas adalah kebutuhan
organisasi global untuk mengatasi ancaman baru yang ditimbulkan
oleh perubahan iklim agar hidup ke masa depan dalam menghadapi perubahan iklim menjadi salah satu tantangan besar bagi kelangsungan
hidup manusia dan ekosistem dalam dan di luar abad ini. Makna dari
mempelajari teori surviving longer berarti perlu ada usaha secara individual, kelompok, bangsa, maupun negara agar usia harapan hidup
pada manusia menjadi sangat penting sehingga diperlukan cara kon28

Telaah Pustaka

sumsi bahan-bahan kebutuhan hidup, air, dan sebagainya memiliki
kaitan langsung dengan kelangsungan hidup jangka panjang. Kekhawatiran besar pada perkembangan manusia di seantero belahan
dunia tentang bahaya yang ditimbulkan oleh gejala pemanasan global.

Bahaya ini disebabkan karena ulah manusia sendiri yang melakukan
eksploitasi sumber daya yang terdapat di alam tanpa mempehitungkan
faktor keseimbangan ekosistem lingkungan. Proses perusakan lingkungan yang berlangsung sampai saat ini karena tidak didukung oleh
proses perencanaan yang baik pada tataran lokal, nasional, maupun
global untuk menciptakan pemulihan sehingga kekhawatiran manusia
terhadap ancam keselamatan umat manusia di berbagai tempat menjadi
isu penting untuk dicari solusinya.
Analisis survivaal strategy oleh Anamitra Anurag Danda (2007)
Surviving in the Sundarbans : Threts and Responses, An analytical desciption of life in an Indian riparing commons. Tesis utama mengenai
penjelasan situasi arus di Sundarban yang memberi makna pada
perjuangan manusia untuk bertahan hidup (survive) dalam wilayah
rawa-rawa membutuhkan kearifan. Teori-teori tentang kekuatan bertahan hidup (survival strategy) terus mengalami perkembangan.
Contoh kasus di mana manusia yang mengalami stigma berjuang menghadapi tekanan (presure) dan berusaha untuk bertahan hidup (survive)
pada manusia maupun sukubangsa sehingga nasib mereka terabaikan
karena belum ada pengakuan dari masyarakat maupun pihak terkait
lainnya.
Fenomena kehidupan manusia yang terabaikan karena persoalan
isolasi geografis sehingga hidup menjadi terasingan, atau secara sengaja
berusaha mengasingkan diri dari dunia ramai (eksklusif) akibat menguatnya stigma (anggapan negatif), perlu dicermati secara baik karena
dapat mengancam kelangsungan hidup (survival strategy) pada tingkat

komunitas. Kondisi seperti ini memiliki dampak sangat luas pada
lingkungan masyarakat, sukubangsa, bangsa, bahkan negara. Terutama
pada lingkungan wilayah kepulauan di mana kondisi masyarakatnya
berciri majemuk (plural society), yaitu masyarakat mendiami pulaupulau kecil yang rentan terhadap perubahan sehingga memerlukan
29

Esuriun Orang Bati

model pengelolaan yang tepat untuk menjawab kebutuhan lokal dan
nasional. Pandangan ini mengandung makna bahwa kekuatan bertahan
hidup (survival strategy) suatu komunitas dalam menghadapi stigma
(survive dalam stigma) perlu dicari basis kekuatan (nilai positif) maupun kelemahan (nilai negatif) yang dapat mengancam survival strategy.
Perspektif negatif dari menguatnya stigma pada suatu komunitas
dapat menyebabkan kehidupan manusia maupun komunitas yang terabaikan dalam memperoleh pengakuan, pelayanan dari masyarakat
maupun pemerintah (negara) maupun masyarakat. Nilai positif untuk
survive dalam mengelola wilayah melalui cara menjaga, melindungi
hak milik yang berharga (bernilai) untuk mewujudkan kelangsungan
hidup (survival strategy) jangka panjang sehingga komunitas yang
berada tersebut tidak mengalami kepunahan. Strategi bertahan hidup
dalam menghadapi tekanan (presure) dari lingkungan fisik, sosial,

ekonomi, dan lainnya dapat melahirkan kearifan baru untuk mewujudkan kelangsungan hidup (survival strategy) jangka panjang bertahan
hidup (survival strategy). Sebab strategi bertahan hidup (survival
strategy) yang dilakukan manusia untuk menguasai wilayah atau ruang
hidup seperti ini dapat ditemui pada manusia di seluruh dunia, dan
terus mengalami perdebatan tanpa pernah berakhir karena tanah,
hutan, dan sumber daya lainnya yang terdapat dalam wilayah sebagai
ruang hidup sering menjadi rebutan manusia lain.
Ruang hidup sebagai basis survival strategy jangka panjang yang
mampu dan wajib dijaga dan dilindungi (protection) secara baik agar
tidak mudah direbut orang luar. Berarti stigma dapat mendatangkan
nilai positif. Hak miliki yang berharga seperti manusia, tanah, identitas,
adat, budaya, dan lainnya yang berhasil dijaga dan dilindungi karena
ada kemampuan manusia dalam melakukan organise melalui tahapan
konsolidasi internal. Kekuatan konsolidasi menjadi mata-rantai penghubung, kemudian muncul simpul yang kuat untuk mewujudkan integrasi sehingga memerlukan proses adaptasi manusia yang berbeda
dari makhluk lainnya dalam menguasai wilayah sebagai ruang hidup.

Survive dalam stigma merupakan cara implementasi strategi
bertahan hidup (survive) di bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial,
30

Telaah Pustaka

budaya, keamanan, dan lainnya untuk mempertahankan keunggulan.
Nilai ketahanan (resilience) menjadi hulu dan sekaligus muara di mana
strategi bertahan hidup (survival strategy) pada manusia secara individu, kelompok, maupun komunitas dapat tumbuh secara subur.
Pandangan ini apabila dikaitkan dengan teori survival strategy yang
dikembangkan oleh Suckhurgbh (2008: 9) tentang Survival of The
Human Race yaitu sukses atau keberhasilan yang dicapai kelompok
karena mereka bisa mengorganisir diri (organisation), berkomunikasi
(communication), dan pembaharuan (innovation). Strategi ini oleh
Suckhurgbh tidak terdapat pada spesies lain dalam kerajaan hewan.
Dalam perspektif kebudayaan, makna sukses diukur dengan nilai-nilai
kebudayaan itu sendiri dan bukan dengan sesuatu dari luar. Kebudayaan harus mampu memproduksi dan mendistribusikan barangbarang dan jasa yang dipandang perlu untuk hidup (Haviland, 1985 :
351).
Pemahaman tentang strategi bertahan hidup (survive) yang dilakukan oleh manusia terhadap wilayah kekuasaan sebagai ruang hidup
berbeda-beda. Teori survival of the fittest yang dikemukakan oleh
Darwin telah dikembangkan oleh berbagai ahli sehingga komunikasi
dan inovasi menjadi penting dalam mengembangkan survival strategy.
Untuk melancarkan komunikasi dan inovasi secara efektif agar manusia dapat survive, diperlukan strategi yang tepat dan sesuai. Bagaimana melancarkan strategi komunikasi dan inovasi secara baik agar
manusia dapat survive? Strategi yang relevan untuk melancarkan komunikasi, inovasi dikemukakan oleh Roger dan Shoemaker (1971)
yaitu perlu dilakukan melalui tahapan kesadaran, minat, pengujian,
percobaan, dan penerimaan.
Lima tahap dalam melancarkan komunikasi, inovasi dipercaya
dapat mengantarkan seseorang untuk tiba pada pengambilan keputusan
yang tepat. Artinya keputusan untuk menerima, menolak, maupun melakukan konfirmasi inovasi bersumber dalam diri manusia, tetapi dapat
juga dipengaruhi oleh kondisi dari luar. Strategi seperti ini dapat dijumpai dalam kehidupan manusia di berbagai tempat dengan cara berbeda-beda untuk menguasai wilayah kekuasaan sebagai ruang hidup

31

Esuriun Orang Bati

seperti dilakukan oleh suku-suku terasing yang mengandalkan berburu
dan meramu agar dapat menopang hidup, maka penetapan batas
wilayah kekuasaan menjadi penting. Persoalan wilayah sebagai ruang
hidup senantiasa dialami oleh masyarakat manusia atau suku-bangsa
tertentu di seluruh dunia dari waktu ke waktu.
Wilayah kekuasaan atau ruang hidup yang berhasil dijaga,
dilindungi oleh komunitas yang mengalami stigma, secara teoritis apabila dikaitkan dengan teori ruang hidup yang dikemukakan oleh
Friedrick Ratzel (1844-1904) yaitu setiap makhluk hidup membutuhkan ruang hidup. Mempertahankan kelangsungan hidup manusia selalu
berjuang untuk mendapatkan dan memperluas ruang hidupnya (Hayati
dan Yani, 2007 : 10). Perjuangan untuk menjaga dan melindungi ruang
hidup yang berisi sumber daya seperti tanah, hutan, manusia, identitas,
adat, budaya, dan sebagainya berarti usaha melestarikan hidup menjadi
pilihan yang harus dihormati orang luar. Penggunaan teori survival
strategy yang digunakan untuk membedah kehidupan komunitas terabaikan memiliki relevansi dengan strategi kelangsungan hidup
(survival strategy).
Perspektif ini apabila dikaitkan dengan teori yang dikembangkan
Hayati dan Yani (2007 : 7) bahwa perilaku politik adalah perilaku dasar
dari kehidupan sosial manusia, terutama pada komunitas suku terasing
dalam mempertahankan klannya yang dilakukan secara politik oleh
kepala suku untuk mempengaruhi pemudanya agar bersedia membela
kelompoknya walaupun harus ditukar dengan nyawa. Proses persuasif
kepala suku adalah bagian dari teknik berkomunikasi tetapi tindakan
kepala suku tersebut dapat dimaknai sebagai tindakan politik untuk
melakukan perang dari gangguan suku lain agar ia tetap sebagai kepala
suku. Jika kelompok suku itu kalah berperang maka ia akan kehilangan
kedudukannya. Jadi politik telah hidup sejak manusia eksis di permukaan bumi.
Dalam konteks yang lebih luas, strategi penguasaan wilayah yang
dilakukan oleh suku-suku tertentu terus berkembang dan wilayah kekuasaan menjadi lebih luas sehingga dapat menjadi cikal bakal munculnya wilayah kekuasaan suatu negara setelah melakukan peng32

Telaah Pustaka

organisasian terhadap penduduk. Fenomena seperti ini oleh Ratzel
(1897) agar wilayah teritorial suatu negara ditetapkan dengan tegas,
karena dengan menentukan batas negara dapat ditentukan luas negara
dan juga kekuatan nasional negara bersangkutan (Hayati dan Yani,
2007: 11). Pada perkembangan berikutnya yang diwujudkan sebagai
tujuan mendasar dari negara sebagai suatu organisasi dari suatu bagian
tanah dan orang, untuk membawa semua daerah yang berbeda-beda
dari suatu wilayah negara ke dalam suatu unit tunggal yang terorganisir (Hartshorne dalam Dikshit, 1982 : 20).
Dalam kekuasaan negara Indonesia, sumber daya dipahami sebagai hak milik (property) yang harus dijaga, dilindungi (protection)
secara baik untuk bertahan hidup (survive). Strategi kelangsungan
hidup (survival strategy) jangka panjang yang sukses karena tidak menimbulkan pertentangan (konflik) dengan orang lain. Survival strategy
seperti ini berada dalam sistem adat di mana aspek kelembagaan adat
menjadi dunia keseharian. Kesatuan sosio-budaya-ekologi turut membentuk identitas untuk survive dalam stigma. Mengapa survive dalam
stigma memberikan nilai positif untuk melindungi hak milik yang
utama yaitu tanah? Sebab persoalan tanah menjadi penting pada
manusia, suku, bangsa, dan negera karena tanah adalah aset penting
dan utama untuk bertahan hidup (survive) pada manusia. Contoh kasus
tanah yang krusial dialami Orang Dayak Pitap dalam penguasaan wilayah meliputi hutan, daerah aliran sungai, gunung, huma, kebun, dan
kampung dikuatkan melalui hukum adat. Wilayah yang mereka kuasai
dimanfaatkan dengan tata ruangnya sendiri, teknologi keruangan yang
boleh jadi sangat khas miliknya. Wilayah penguasaan yang dikelola
dengan teknologi ruang ala Pitap ini yang membentuk identitas kepitap-an. Manakala tanah wilayah penguasaan ini terganggu akibat
aktivitas sepihak, tak pelak identitas kepitapan itu pun terganggu
(Budiman, 2007 : 216).
Mengenai persoalan tanah dikemukakan oleh Hildebrand (dalam
Brown, et al, 1995) bahwa Orang Indian kerap kali mengatakan bahwa
perbedaan seorang kolonis atau seorang penduduk bukan Indian
dengan seorang Indian karena si kolonis ingin mewariskan uang bagi

33

Esuriun Orang Bati

anak-anaknya, sedangkan orang-orang Indian ingin mewariskan
hutan-hutan bagi anak-anak mereka”. Begitu adalah persepsi manusia
terhadap tanah dan hutan seperti pemahaman Orang Dayak Pitap di
Kalimantan maupun Orang Indian. Tanah dan hutan merupakan
sumber kehidupan yang vital dan telah mengalami proses adaptasi
dengan kehidupan manusia di berbagai tempat, sehingga dipahami sebagai ruang hidup yang perlu dikuasai maupun dilindungi. Manusia,
tanah, hutan dan sumber daya lainnya menjadi mata-rantai untuk
menghubungkan mereka dengan dunia keseharian yang dipahami
sebagai wilayah bernyawa. Contoh lain misalnya, studi pada Orang Bali
di mana ide-ide baru diadaptasikan dengan lingkungannya karena berbagai faktor sebagai sifat dasar organisasi sosial, otonomi dan kekuatan
sentripetalnya. Kompleksitas dan sifat personalistik dalam hubungan
sosial menyebabkan setiap individu Orang Bali memandang dirinya
sebagai pusat dari suatu pola sentripetal dan kompleksitas. Mereka akan
lebih nyaman bergerak dalam pola tersebut, tetapi sebaliknya akan merasa gelisah apabila ia mencoba ke luar dari batas pola-pola tersebut
adalah pandangan bagaimana Orang Bali mengkonsepsikan dunia
(Geertz dalam Poerwanto, 2008 : 254-260). Artinya proses adapatsi
hanya dapat dilakukan oleh manusia karena manusia memiliki ratio
(akal) dan nurani, kemudian disosialisasikan melalui proses belajar
sehingga berwujud dalam kebudayaan.

Adaptasi
Proses adaptasi-integrasi yang dilakukan komunitas untuk menyatukan kekuatan mereka guna menguasai wilayah kekuasaan (watas
nakuasa) sebagai ruang hidup. Berdasarkan kesepakatan adat dilakukan
melalui cara berbeda-beda. Untuk memahami adaptasi-integrasi yang
berlangsung dalam kehidupan manusia maupun komunitas berdasarkan teori fungsionalisme, Parsons mengemukakan bahwa; pertama,
masyarakat seperti struktur tubuh manusia yang saling berhubungan
satu sama lain, mempunyai berbagai kelembagaan yang saling terkait
dan tergantung satu sama lain sehingga konsep sistem yang di-gunakan
untuk menggambarkan koordinasi harmonis antar kelembagaan ter34

Telaah Pustaka

sebut; kedua, setiap bagian tubuh manusia memiliki fungsi yang jelas
dan khas (specific), demikian pula setiap bentuk kelembagaan dalam
masyarakat melaksanakan tugas tertentu untuk stabilitas dan pertumbuhan masyarakat sehingga istilah “fungsi pokok” (fungtional
imperative) untuk menggambarkan empat macam tugas utama yang
harus dilakukan agar masyarakat tidak “mati” yang dikenal dengan
teori AGIL (Adaptation to the environment, Goal attainment,
Integration, and Latenty) (Parson dalam Suwarno dan Alvin, 2006 : 1011).
Teori sistem Parson yang digunakan untuk menganalisis proses
adaptasi-integrasi yang berlangsung dalam setiap struktur sosial berbeda-beda. Hal ini berarti bahwa teori sistem yang dikembangkan
Parson dapat dianggap cocok untuk melakukan analisis mendalam terhadap komunitas yang menjalani kehidupan tradisional. Kedua konsep
(adaptasi-integrasi) menyatu dalam suatu sistem, dan secara teoritis
menurut Shadid (1979: 87-146) studi mengenai integrasi hakikatnya
identik dengan pemikiran yang mendasari penelitian tentang adaptasi,
asimilasi dan sebagainya. Lembaga adat yang mampu mengintegrasikan
kelompok-kelompok sosial yang berbeda menjadi kekuatan bertahan
hidup (survive) di tengah kondisi terisolasi dan terasing dengan dunia
luar telah menciptakan daya adaptasi socio-cultural yang baru melalui
proses waktu dan tempat yang cukup panjang dilakukan oleh orangorang penghuni hutan di mana mereka berusaha menyatukan kekuatan
untuk menguasai ruang hidup atau wilayah untuk kelangsungan hidup
jangka panjang. Teori adaptasi yang menekankan perubahan respons
pada situasi, terbedakan dari penyesuaian sebagai perubahan stimulus,
misalnya menghadapi air panas orang menyesuaikan diri dengan cara
memasukan tangan yang diselimuti kaos tangan. Ketika orang melakukan adaptasi, ia berlatih memasukkan tangan ke tempat air panas
dimulai dari suhu terendah yang mampu dimasuki, dan secara bertahap
dinaikkan suhu airnya (Fisher dan Baum et al, 1984 69).
Teori ini telah membedah makna adaptasi dan membedakannya
dengan penyesuaian untuk memahami proses adaptasi yang dilakukan
oleh manusia, sedangkan makhluk lain dari manusia tidak mampu

35

Esuriun Orang Bati

melakukan adaptasi dan bisa dilakukan adalah penyesuaian. Dalam
evolusi hayati di mana adaptasi memainkan peran penting mengenai
variasi organis, sekularitas itu kelihatan jelas telah dituding oleh para
biolog yang berpemikiran filosofis. Biologi mengalami kesulitan memuatkan arti yang tepat ke dalam istilah adaptasi, tanpa menghubungkannya dengan fakta bahwa species yang sedang dibicarakannya telah mampu bertahan hidup dan berkembang biak. Bagi
biologi, kelestarian hidup yang diukur dengan keberhasilan reproduksi
merupakan bukti petunjuk adaptasi. Kepunahan merupakan bukti
mengenai kegagalan beradaptasi. Manakala istilah adaptasi digunakan
sebagai label deskriptif yang menyatakan proses yang terjadi dari
waktu ke waktu tidak timbul masalah apa pun (misalnya kemunculan
dan radiasi suatu species baru). Tetapi begitu orang coba menggunakan
konsep adaptasi sebagai piranti untuk menjelaskan proses kemunculan
itu, penjelasannya bersifat tautologis karena pengetian pelestarian
hidup sudah tersirat dalam istilah adaptasi. Kira-kira seperti tersiratnya
pengertian tidak menikah dalam istilah lajang atau gadis. Konsep
adaptasi diartikan sebagai proses yang menghubungkan sistem budaya
dengan lingkungannya. Jadi mustahil kiranya berpikir tentang adaptasi
tanpa mengacu pada suatu lingkungan tertentu (Kaplan, 1999 : 114).
Penekanan mengenai adaptasi sebagai proses artinya tidak mengabaikan penyesuaian, tetapi secara teoritis kedua hal ternyata berbeda.
Sesungguhnya yang berada dalam proses ini adalah menjaga hubungan
adaptasi dengan ekosistem mereka agar bisa bertahan hidup (survive).
Walaupun mencapai adaptasi ini pada prinsipnya melalui medium
budaya, prosesnya sangat bergantung pada hukum-hukum yang sama
dari seleksi alam yang mengatur adaptasi biologis (Keesing, 1981: 146).
Orang-orang penghuni hutan dan gunung memiliki nasib yang sama.
Untuk itu menyatukan kekuatan merupakan kebutuhan agar eksistensi
menjadi kuat, ulet, tangguh (berketahanan) untuk mewujudkan kelangsungan hidup (survival strategy). Proses adaptasi yang berlangsung
dalam kehidupan komunitas terpencil apabila dipahami dari dunia
Antropologi Ekologi terdapat konsep yang unik dan relevan yaitu
adaptasi (adaptation) di mana latar belakang munculnya teori adaptasi
dari ilmu pasti telah menjadi “Dewa” dalam paradigma perkembangan
36

Telaah Pustaka

teori ilmu sosial khususnya Antropologi. Konsep-konsep biologi dan
ilmu pasti dijadikan dasar untuk menjelaskan fenomena-fenomena
sosial.
Secara epistemologi, teori adaptasi mempunyai sifat alur penalaran yang sangat deduktif pada gejala sosial dengan penalaran
bangunnya konseptual terlebih dahulu kemudian banyak mendasarkannya pada proses penalaran induktif dari gejala empiris ke bangunan
konseptual. Ciri deduktif ini memang sangat kental dalam era perkembangan teori ekologi yang awalnya banyak dibangun oleh para ahli
ekologi, seperti Julian Steward, Marvin Harris, Marshal Shalin, dan
lainnya, karena domain ilmiah itu adalah terukur atau kebenaran sesungguhnya adalah ukuran-ukuran yang jelas, menjadi dasar pemahaman para Antropolog pada saat itu (Prasetio, 2008).
Pemahaman tentang konsep adaptasi yang datang dari dunia
biologi, terdapat 2 point penting yaitu, evolusi genetik, dimana fokus
ada pada umpan balik interaksi lingkungan, dan adaptasi biologi yang
berfokus pada perilaku dari organisme selama masa hidupnya, di mana
organisme tersebut berusaha menguasai faktor lingkungan tidak hanya
faktor umpan balik lingkungan, tetapi juga proses kognitif dan level
gerak yang terus-menerus. Adaptasi juga merupakan konsep kunci
dalam 2 versi teori sistem, baik secara biological, perilaku, dan sosial
yang dikemukakan oleh John Bennet bahwa asumsi dasar adaptasi berkembang dari pemahaman yang bersifat evolusionari, senantiasa melihat manusia selalu berupaya untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan alam sekitarnya, baik secara biologis atau genetik, maupun secara budaya. Proses adaptasi dalam evolusi melibatkan seleksi genetik
dan varian budaya yang dianggap sebagai jalan terbaik untuk menyelesaikan permasalahan lingkungan. Adaptasi merupakan proses
yang dinamik karena organisme maupun lingkungan sendiri tidak ada
yang bersifat konstan atau tetap (Hardestry dalam Prasetio, 2008).
Pendalaman terhadap teori adaptasi untuk menemukan strategi adaptasi pada manusia untuk bertahan hidup (survival strategy) telah berlangsung dalam bentuk adaptasi kultural menuju adaptasi sosial sehingga berbagai sekat yang longgar dapat direkatkan.

37

Esuriun Orang Bati

Tahapan adaptasi yang berlangsung antara manusia dengan lingkungan, secara teoritis dapat dikatakan telah melalui proses yang dapat
diklasifikasikan ke dalam 4 tipe tahapan yang sesuai yaitu; (1) Tahapan
Phylogenetic yang bekerja melalui adaptasi genetik individu lewat seleksi alam; (2) Modifikasi fisik dari Phenotype berupa ciri-ciri fisik; (3)
Proses belajar, dan; (4) Modifikasi kultural. Bagi Ellen, modifikasi
budaya menjadi supreme atau yang teratas bagi homo sapiens, di mana
adaptasi budaya dan transmisi informasi dikatakannya sebagai pemberi
karakter spesifik yang dominan. Manusia dilahirkan dengan kapasitas
untuk belajar seperangkat sosial dan kaidah-kaidah budaya yang tidak
terbatas. Fokus perhatian tentang adaptasi seharusnya dipusatkan pada
proses belajar dan modifikasi budayanya. Dasar pembagian keempat
tipe adaptasi di atas, berdasarkan laju kecepatan mereka untuk dapat
bekerja secara efektif. Seperti adapatasi phylogenetik, dibatasi oleh
tingkatan bagaimana populasi dapat berproduksi dan berkembang biak.
Modifikasi fisik bekerja lebih cepat, akan tetapi tetap tergantung pada
perubahan somatik dan akomodasi yang dihubungkan dengan pertumbuhan fisik dan reorganisasi dari tubuh, sedangkan proses belajar
tergantung dari koordinasi sensor motor yang ada dalam pusat sistem
syaraf di mana ada proses uji coba variabel dalam waktu proses belajar
yang ditentukan oleh macam-macam permasalahan dapat terselesaikan. Adaptasi kultural sebagai proses bekerja dianggap lebih
cepat dibandingkan ke 3 proses di atas karena ia dianggap bekerja melalui daya tahan hidup populasi di mana masing-masing komuniti
mempunyai daya tahan yang berbeda berdasarkan perasaan akan resiko, respon kesadaran, dan kesempatan karena sifat-sifat budaya mempunyai koefisiensi seleksi, variasi, perbedaan kematian-kelahiran, dan
sifat budaya yang bekerja dalam sistem biologi (Ellen dalam Prasetio,
2008).
Apabila dikaitkan dengan perkembangan yang berlangsung
dalam post-modern yang berdebat tentang soal pencarian kebenaran
sejati, dan dari mana kebenaran itu datang. Dalam perkembangan
tersebut relevansi teori adaptasi kembali dibicarakan. Namun terdapat
beberapa kritik penting yang patut dialamatkan pada teori adapatasi
antara lain; (1) Tidak dipungkiri bahwa teori adaptasi muncul akibat
38

Telaah Pustaka

pemahaman ketika ilmu dapat dilakukan supreme jika ia bisa menunjukan sisi keilmiahannya, dalam arti ketika itu ilmiah = terukur
jelas, sehingga acuannya adalah ilmu pasti atau ilmu alam. Demikian
juga dalam teori adaptasi ini, ia menunjukan bahwa perbedaan tahapan
dan tataran tingkatan kebudayaan manusia mana yang dianggap paling
unggul. Ini terkait dengan tingkat strategi adaptasi masing-masing
kebudayaan komunikasi tesebut. Aroma paham evolusionisme memang
sangat kental di sini. Ukuran-ukuran kemajuan dalam perubahan juga
tampak dalam teori adaptasi ini. Misalnya bagaimana perbedaan strategi suatu peradaban terhadap lingkungan sehingga ia berlanjut maju
dan substain, dan kebudayaan mana yang kemudian mati sedemikian
rupa karena tidak mampu beradaptasi. Ada pandangan akan tingkatan
perbedaan kebudayaan. Pertanyaannya adalah adapatasi manusia terhadap alam seperti apakah yang mampu dianggap merubah manusia ke
arah yang lebih baik daripada sebelumnya? dan siapa yang menentukan
apa dan mana yang baik untuk suatu komuniti tertentu itu; (2) Dalam
teori adaptasi ini peran manusia secara kultural agak dikesampingkan.
Lebih banyak yaitu bagaimana lingkungan atau alam disebut sebagai
faktor utama perubahan dalam diri manusia tersebut. Hal ini seakan
memberikan penjelasan manusia mempunyai andil yang kecil dalam
perubahan dan mengikuti insting atas perubahannya terhadap alam.
Bertolak belakang dengan pandangan yang menyatakan bahwa sesungguhnya manusia sendirilah kunci dari perubahan itu; (3) Pandangan alur penalarannya menurut saya sangat deduktif. Tentu saja ini
bukan benar. Maksudnya memang ingin seobjektif mungkin untuk memenuhi kaidah keilmiahannya, namun tidak salah juga menjadi
subjektif (Prasetio, 2008).
Proses adaptasi dapat dianggap final karena hasil yang diperoleh
lebih menjanjikan dari tekanan seleksi variasi di mana subjek dari tingkat variasi resistensi pada adaptasi dalam tujuan yang berbeda. Adaptasi
tidak selalu dihubungkan pada penegasan lingkungan secara normatif,
tetapi dalam beberapa lingkungan yang extreme, adaptasi seharusnya
dilihat sebagai respon kultural atau proses yang terbuka pada proses
modifikasi di mana penanggulangan dengan kondisi untuk kehidupan
reproduksi selektif dan memperluasnya. Ukuran-ukuran bekerja ber39

Esuriun Orang Bati

dasar pada adaptasi yang dilibatkan, dan lebih penting lagi pada resiko
yang mana perubahan adalah adaptif (Hardestry dalam Prasetio, 2008).
Mengapa populasi menjadi faktor penting dalam hubungan
dengan lingkungan yang teradaptasi, sebab menghadapi kondisi
masyarakat yang terabaikan, terisolasi dan terasing, ternyata adaptasi
telah memainkan peran penting untuk mendukung proses mengelola
dan memanfaatkan seluruh sumber daya alam yang dimiliki untuk berahan hidup (survive). Mekanisme adaptasi nilai berperan penting
untuk menghubungkan elemen kehidupan sosial. Dalam hal ini dapat
dikemukakan bahwa terdapat faktor lain yang turut berperan yaitu
cuaca dan iklim yang ada cukup menentukan perolehan makanan di
alam bebas melalui mekanisme dalam membatasi ukuran maupun
ruang kehidupan untuk memenuhi kebutuhan pemburu-peramu yang
mengalami nasib terabaikan. Pemahaman tentang kehidupan populasi
merupakan hal penting dalam ekologi karena menjaga keseimbanagn
antara ketersediaan sumber alam dan pemakaiannya (Spradley dan Mc
Curdy; Stanley A. Freed dan Ruth S. Freed dalam Prasetio, 2008).
Faktor yang di-kemukakan adalah benar karena lingkungan alam
sangat berbeda dengan komunitas lainnya yang mendiami Pulau
Seram. Fenomena ini apabila dikaitkan dengan pendalaman membutuhkan daya adaptasi berbeda pada populasi senantiasa melihat
hubungan dengan habitatnya. Konsep dari adaptasi ini adalah historikal. Jadi berbicara tentang populasi beradaptasi adalah hubungan
dengan habitatnya yang sesuai di mana di mana tempatnya untuk
hidup, atau membuat dirinya sendiri lebih menyesuaikannya untuk
hidup dalam habitat (Cohen dalam Prasetio, 2008).
Makna yang dapat dipetik dari proses adaptasi manusia dengan
lingkungan di mana mereka berada dapat dikatakan bahwa kelompok
manusia telah beradaptasi dengan habitatnya, ketika itu juga telah tercipta hubungan yang bergairah dengan habitatnya. Adaptasi merupakan daya tahan kelangsungan hidup kelompok, reproduksi, dan
fungsi-fungsi yang efektif agar elemen-elemen ini bekerja sesuai
dengan tugasnya. Pencapaian hubungan yang bergairah merupakan
hasil modifikasi resiprokal dalam budaya dan habitat melalui pe-

40

Telaah Pustaka

rubahan dalam sistem energi kelompok dan organisasi serta hubungan
sosial selama periode yang panjang.
Aspek historikal dari proses adaptasi adalah apa yang kita sebut
dengan evolusi kebudayaan, atau yang dimaksud dengan proses dari
perubahan dilihat dari kebudayaan. Dalam Antropologi ketika berbicara tentang adaptasi, kita memfokuskan diri pada kelompok sosial,
tidak dengan individual. Kelompok ini (institusi atau organisasi) tidak
secara langsung teramati, mereka merupakan abstraksi dari perilaku
individual yang diamati. Lebih spesifik, kita berbicara tentang institusi
yang ada dalam masyarakat, tetapi yang kita pelajari adalah individu.
Di sana ada dua alasan prinsip untuk ini, yang berhubungan antara satu
dengan yang lain. Pertama adalah pertimbangan praktikal dan yang kedua adalah teorikal (Cohen dalam Prasetio, 2008). Dalam prakteknya,
adaptasi manusia tehadap lingkungan yang khusus melibatkan kombinasi dari tipe-tipe modifikasi yang berbeda (Roy Elen dalam Prasetio,
2008).
Dinamika adaptasi yang berkembang mengisyaratkan bahwa ada
dua macam perilaku yang adaptif bersifat indiosyncratic (cara-cara
unik individu dalam mengatasi permasalahan lingkungan) dan adaptasi
budaya yang dipolakan, kemudian dibagi rata sesama anggota kelompok dan tradisi. Bagi Hardestry, adaptasi dilihat sebagai proses pengambilan ruang perubahan, di mana perubahan tersebut ada dalam
perilaku kultural bersifat teknologikal (technological), organisasional,
dan ideological. Sifat-sifat kultural mempunyai koefisiensi seleksi
seperti layaknya seleksi alam, terdapat unsur variasi, perbedaan tingkat
kematian dan kelahiran, dan sifat kultural yang bekerja melalui sitem
biologi. Proses adaptif yang aktual sedapat mungkin merupakan kombinasi dari beberapa mekanisme biologis dam modifikasi budaya tersebut di atas, sehingga adaptasi dapat disebut sebagai sebuah strategi
aktif manusia. Adaptasi dapat dilihat sebagai usaha untuk memelihara
kondisi kehidupan dalam menghadapi perubahan. Definisi adaptasi tersebut kemudian bekaitan erat dengan tingkat pengukuran yang dihubungkan dengan tingkat keberhasilannya agar dapat bertahan hidup.
Adaptasi seharusnya dilihat sebagai respon kultural atau proses yang

41

Esuriun Orang Bati

terbuka pada proses modifikasi di mana penanggulangan kondisi untuk
kehidupan reproduksi selektif dan memperluasnya (Hardestry dalam
Prasetio, 2008).
Mengacu pada perilaku adaptif yang ada pada manusia, tampak
bahwa desain pada pencapaian tujuan dan kepuasan kebutuhan, keinginan, konsekuensi dari perilaku untuk individu, masyarakat, dan
lingkungan. Ada dua mode analitik utama pada perilaku yaitu; (1)
Tindakan individu di desain untuk meningkatkan produktivitasnya; (2)
Model yang diperbuat oleh perilaku interaktif individu dengan
individu lain dalam group, yang biasanya dibangun oleh aturan yang
bersifat resiprositas. Perilaku interaktif tersebut didesain juga untuk
memenuhi tujuan akhir dan beberapa menjadi instrumental. Berdasarkan pemahaman tentang mekanisme adaptasi yang dikemukakan perlu
diberikan penekanan pada konsep kunci adaptasi pada tingkat sosial
individu kemudian menjadi perilaku adaptif, tindakan strategi dan
sintesis dari keduanya yang disebut strategi adaptif. Perilaku adaptif
merupakan term yang lebih umum dan mengacu pada bentuk perilaku
yang menyesuaikan pada tujuan, pencapaian kepuasan, dan putusan.
Tindakan strategi dianggap lebih spesifik dan mengacu pada kepentingan khusus yang mempunyai sang aktor. Dalam tindakan strategi terdapat konsep yang meliputinya seperti rasionalitas, maksimalisasi, orientasi pencapaian, homo fabel dan lain-lain. Strategi adaptif,
adalah komponen dari tindakan strategi atau tindakan spesifik dengan
tingkatan prediksi keberhasilan, diseleksi oleh individu dalam menentukan keputusannya (Hardestry dalam Prasetio, 2008).
Strategi adaptasi yang dikembangkan oleh manusia tidak lain
untuk mempertahankan kelangsungan hidup (survive). Perhatian besar
terhadap hal ini telah diberikan oleh Sosiolog maupun Antropolog
untuk membedakan antara konsep masyarakat dan konsep kebudayaan. Masyarakat digunakan untuk menunjukkan kepada hubungan yang terpolakan yang dicapai di antara orang-orang. Kebudayaan
seringkali dianggap sebagai hasil dari hubungan yang terpolakan
tersebut, yakni berbagai teknologi, kepercayaan, nilai, dan aturan yang
berfungsi sebagai pedoman, sekaligus sebagai hasil dari hubungan yang

42

Telaah Pustaka

terpolakan (Harris, 1985; Lenski dan Lenski, 1987; Sanderson, 2003 : 44
- 45).
Jadi signifikansi kebudayaan adalah sifat adaptifnya untuk menciptakan bagi manusia sebuah alat adaptasi baru terhadap kondisi kehidupannya. Pada tingkat phylogenetik berkembang dari proses evolusi
biologis yang panjang, dan ketika masyarakat berkembang ke tingkat
kompleksitas yang lebih tinggi, berbagai kondisi dikembangkan untuk
lahirnya sistem simbol dari sistem penyebutan, dan kebudayaan itu
sendiri muncul sebagai sebuah hasil evolusioner. Ketika semua ini
terjadi, tahapan telah sampai kepada perkembangan socio-cultural di
mana kebudayaan menyaingi, dan akhirnya menggantikan biologi sebagai basis utama adaptasi manusia (Sanderson, 2003 : 45). Penekanan
terhadap adaptasi manusia sebagai kemampuan populasi untuk menyatukan diri dengan lingkungan alam melalui proses adaptasi untuk
mencapai kesempurnaannya karena secara ekologi, manusia adalah
bagian integral lingkungan hidupnya. Kelangsungan hidup hanya
mungkin dalam batas kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap
perubahan lingkungan (Soemarwoto, 1994 : 38). Proses integrasi yang
berlangsung dalam sistem sosial, lingkungan, dan sebagainya adalah
mata-rantai untuk mewujudkan nilai integrasi yang harmoni.

Integrasi
Hakikat integrasi pada lingkungan komunitas melalui cara membangun solidaritas sosial pada tingkat individu maupun kelompok
untuk menjalani kehidupan bersama. Fenomena terintegrasinya berbagai kelompok yang berbeda melalui teori Vervei dan Jonker (1973:
10 f) bahwa tingkat integrasi yang dicapai yaitu dimulai dari integrasi
individual yang berarti sejauh mana anggota-anggota individu dari kelompok minoritas ikut ambil bagian dalam masyarakat penerima, dan
integrasi kolektif yaitu sejauh anggota-anggota individu masih memperlihatkan partisipasi mereka dalam kelompok etnisnya. Teori tersebut menunjukkan bahwa proses integrasi yang dicapai karena lahir
dari pemahaman bersama di antara individu maupun kelompok, maupun komunitas sebagai orang satu asal. Walaupun makna integrasi
43

Esuriun Orang Bati

sebagai kualitas budaya yang tidak sempurna tetapi juga hadir terusmenerus suatu sifat struktural yang berbeda dari relatif tinggi ke relatif
rendah. Itu berarti ada nilai yang penting sebagai pengikat tali integrasi, dan menjadi basis dalam sistem nilai atau ideologi. Ideologi
berkaitan dengan nilai dasar yang dijadikan sebagai pedoman hidup
bermasyarakat, karena sebuah ideologi didefinisikan sebagai bagian
dari imagennya mengenai dunia (cara pandang sesorang terhadap
dunia) yang dianggap sebagai hal yang penting bagi identitasnya atau
bagi image (gambaran cita-cita dan citra) dirinya sendiri.
Hal ini berarti bahwa hakikat nilai atau memiliki basis ideologi
yang kuat dalam menyelenggarakan kehidupan bersama berada dalam
suatu sistem nilai budaya bersama karena terdiri dari konsepsi-konsepsi
yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat,
mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam
hidup. Suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman
tertinggi bagi kelakuan manusia. Sistem-sistem tata kelakuan manusia
lain yang tingkatnya lebih konkrit, seperti aturan-aturan khusus,
hukum dan norma-norma, semuanya berpedoman pada sistem nilaibudaya itu (Levine, 1968; Boulding, 1964; Koentjaraningrat, 2002).
Dalam studi tentang integrasi pada lingkungan masyarakat yang
berbeda latar belakang socio-cultural (Usman, 1996), Geertz menyebut masyarakat yang dapat terintegrasi di atas kesepakatan sebagian
besar anggotanya terhadap nilai-nilai sosial tertentu yang bersifat
fundamental. Integrasi semacam itu lebih sering tercipta dalam kehidupan masyarakat yang tergolong majemuk atau lazim disebut polycommunal, yakni suatu masyarakat yang ditandai oleh segmentasi berbagai macam kelompok sosial dengan sub kebudayaan sendiri yang
unik. Masyarakat semacam itu ditandai oleh tingkat diferensiasi fungsional yang tinggi dengan struktur sosial yang terbelah ke dalam institusi yang tidak bersifat komplementer. Dalam kondisi semacam ini
kesepakatan terhadap nilai sosial tertentu yang bersifat fundamental
sangat krusial karena mampu meredam kemungkinan berkembangnya
konflik-konflik ideologi akibat dari kebencian atau antipathy terhadap
nilai-nilai kelompok lain (Amal dan Armawi, 1996 : 80-81).

44

Telaah Pustaka

Teori di atas memiliki nilai sosial yang fundamental karena dibangun atas dasar kesepakatan secara bersama untuk mempertahankan
kelangsungan hidup (survival strategy). Integrasi atau usaha menyatukan kelompok yang berbeda (majemuk) yang berciri komunal dengan
basis nilai sehingga merupakan budaya yang unik dan khas. Kesepakatan yang mampu mengatasi konflik dan mencegah pertikaian di antara
mereka yang berbeda latar belakang sosial-budaya, dan mencapai final
karena tali pengikat integrasi dilakukan proses pelembagaan dalam
adat.

Kelembagaan
Diskusi teoritis mengenai kelembagaan adat yang bersifat non
formal sangat menentukan setiap orang atau kelompok sosial harus dan
tidak harus mengerjakan sesuatu yang meliputi hak dan kewajiban secara sukarela tanpa intervensi pihak luar. Lembaga adat memiliki
kaitan dengan aturan (norma) sosial, adat, dan sebagainya untuk menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat. Menurut Hamilton (dalam
Abdulsyani, 2007: 76) lembaga merupakan tata kehidupan kelompok
yang apabila dilanggar akan dijatuhi pelbagai derajat sanksi. Oleh
Koentjaraningrat, lembaga adalah suatu sistem norma khusus yang menata suatu rangkaian tindakan berpola guna memenuhi suatu keperluan khusus dari manusia dalam kehidupan masyarakat (Ibrahim, 2003:
87).
Berdasarkan pendapat tersebut di atas tampak jelas bahwa dalam
lembaga terdapat; (1) Sistem norma yang disepakati bersama oleh seluruh anggotanya; (2) Dalam sistem norma terdapat tindakan berpola;
(3) Tindakan berpola tersebut dilakukan untuk memenuhi kebutuhan
hidup manusia dalam menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat.
Hal ini berarti bahwa lembaga adat selain digunakan sebagai strategi
bertahan hidup (survival strategy), ternyata lembaga tersebut memilik
fungsi, peran, dalam menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat dan
menjadi media interaksi antara manusia (individu) dan kelompok ber-

45

Esuriun Orang Bati

dasarkan adat, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan lainnya untuk mewujudkan kelangsungan hidup jangka panjang.
Dalam perspektif lain mengenai kelembagaan, Arifin (2002 : 1315) mengemukakan bahwa lembaga mencakup dua demarkasi penting yaitu norma dan konvensi (norms and convention), serta aturan
main (rules of the game). Pendapat tentang kelembagaan yang dikemukakan secara rinci memiliki ruang lingkup antara lain:
(1) Kelembagaan adalah kreasi manusia (human c