Kriteria Audit Kinerja Sektor Publik

Perumusan Kriteria Pemeriksaan Kinerja Berbasis Good Management Model yang Disempurnakan

Eko Yulianto

1. Pendahuluan

Kriteria merupakan sebuah tolok ukur yang menentukan keberhasilan pemeriksaan kinerja. Pada masa lalu, keberadaan kriteria kinerja menjadi hal yang menentukan apakah suatu kegiatan atau organisasi dapat diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) atau tidak. BPK RI akan melakukan melakukan pemeriksaan kinerja apabila kriterianya telah tersedia. Sebaliknya, BPK RI tidak akan merencanakan pemeriksaan kinerja apabila kriterianya belum ada. Namun, dengan terbitnya Keputusan BPK RI No. 11/K/I-XIII.2/12/2011 mengenai Petunjuk Teknis Penetapan Kriteria Pemeriksaan Kinerja, ketiadaan kriteria kinerja entitas kini tidak lagi menghalangi BPK RI untuk melakukan pemeriksaan kinerja untuk program, kegiatan dan organisasi pemerintah apa pun. Alasannya, Juknis tersebut dapat dijadikan landasan bagi pemeriksa untuk dapat mengembangkan kriteria secara mandiri apabila kriteria yang memadai untuk menilai kinerja entitas tidak ditemukan.

Secara normatif terbitnya Juknis tersebut dapat mendorong dilaksanakannya pemeriksaan kinerja secara ekstensif. Juknis tersebut memiliki posisi strategis dalam menunjang keberhasilan pemeriksaan kinerja BPK RI mengingat pentingnya kriteria dalam pemeriksaan kinerja. Kini pemeriksa pun seharusnya tidak lagi mengalami kesulitan dalam mengembangkan kriteria yang berkualitas karena Juknis dimaksud telah memberi beberapa contoh kriteria.

Namun demikian, pelaksanaan Juknis tersebut dalam nampaknya belum sesuai harapan. Sampai sekarang masih banyak pemeriksa mengalami kesulitan merumuskan kriteria yang memenuhi syarat sesuai ketetapan Juknis. Salah satu sumber masalah yang teridentifikasi dari pelaksanaan pemeriksaan kinerja yang telah dilakukan selama ini adalah absennya penjelasan mengenai proses berpikir yang melandasi cara membuat rumusan kriteria. Juknis hanya memberikan contoh produk kriteria namun tidak menguraikan langkah yang perlu dilakukan untuk menghasilkan kriteria tersebut. Di samping itu, Juknis juga tidak menyediakan alat bantu (decision aid) untuk menghasilkan kriteria yang andal, objektif, dapat diperbandingkan, bermanfaat, dapat diterima, dan relevan. Ketiadaan penjelasan mengenai proses berpikir dan alat bantu tersebut pada akhinya membuat proses perumusan kriteria menjadi bertele-tele dan tidak efisien (juga tidak efektif, barangkali).

Makalah ini ditulis untuk mengeskplorasi dua hal penting yang belum diakomodasi dalam Jukinis tersebut sekaligus mengajukan sebuah konsep praktis yang dapat membantu pemeriksa dalam menyusun kriteria dengan lebih baik, yaitu matriks kriteria kinerja. Keberhasilan penerapan konsep ini Makalah ini ditulis untuk mengeskplorasi dua hal penting yang belum diakomodasi dalam Jukinis tersebut sekaligus mengajukan sebuah konsep praktis yang dapat membantu pemeriksa dalam menyusun kriteria dengan lebih baik, yaitu matriks kriteria kinerja. Keberhasilan penerapan konsep ini

tanggapan positif dari para pemeriksa dan beberapa pejabat entitas yang diperiksa. Para pemeriksa pada umumnya menyatakan bahwa matriks tersebut memudahkan mereka dalam memahami esensi kinerja beserta ukuran-ukurannya. Beberapa pejabat entitas pun menyatakan bahwa matriks tersebut mudah dipahami dan membantu mereka dalam mengidentifikasi berbagai kelemahan yang terjadi dalam kegiatan yang mereka jalankan.

Makalah ini dibagi dalam beberapa bagian. Setelah ini sebuah landasan penting yang mendasari penetapan kriteria kinerja, yaitu good management model, akan dipaparkan. Berturut-turut, makalah ini kemudian akan mengelaborasi proses pembentukan matriks kriteria kinerja, penerapan penyusunan kriteria dengan matriks tersebut, dan beberapa aspek penting terkait implikasi penerapan matriks dalam pemeriksaan kinerja di BPK RI.

2. Good Management Model sebagai Basis Kriteria Pemeriksaan Kinerja

Kriteria pemeriksaan kinerja merupakan standar yang masuk akal (reasonable) dan dapat dicapai (attainable) yang akan digunakan untuk menilai ekonomi, efisiensi, dan efektivitas dari sebuah kegiatan. Kriteria mencerminkan norma atau model ideal yang menunjukkan praktik terbaik, sebuah harapan

orang mengenai apa yang seharusnya dilakukan (Intosai, 2004) 2 . Di dalam Juknis dinyatakan bahwa kriteria pemeriksaan kinerja terutama bersumber dari entitas yang

diperiksa. Kriteria tersebut dapat berupa standar, ukuran, hasil, target, dan komitmen yang ditetapkan oleh entitas atau lembaga legislatif. Kriteria bisa juga diperoleh dari kinerja entitas pada masa lalu atau peraturan perundang-undangan terkait yang mengatur entitas. Selain itu, kriteria bisa bersumber dari praktik terbaik dari kegiatan serupa, standar yang ditetapkan organisasi professional dan berterima umum atau bahkan informasi dan ilmu pengetahuan yang telah dibakukan.

Juknis membedakan dua jenis kriteria: hasil dan proses. Kriteria hasil berorientasi pada penilaian secara langsung terhadap masukan, keluaran, atau dampak dari sebuah kegiatan. Sedangkan kriteria proses menitikberatkan pada penilaian proses yang mengolah masukan menjadi keluaran. Untuk kriteria terakhir, Juknis meminta pemeriksa untuk mengembangkan kriteria sendiri dengan berdasarkan praktik pengelolaan yang baik, atau yang disebut sebagai better management practice.

Bila dilacak sejarahnya, pendekatan untuk kriteria proses itu sebelumnya dikenal sebagai good management model. Penulis berpendapat bahwa istilah ini sebenarnya lebih tepat untuk

1 Antara lain Pemeriksaan Kinerja Program Bahteramas Provinsi Sultra, PDAM Kota Kendari, Dinas Perizinan Kota Kendari, RSUD Kota Yogyakarta, dan Program Jamkesda Provinsi DIY.

2 Intosai. 2004. Implementation Guidelines for Performance Auditing: Standards and guidelines for performance auditing base d on INTOSAI’s Auditing Standards and practical experience. Http://www.....

menggambarkan pendekatan tersebut. Alasannya, selain cocok secara semantik, istilah tersebut sudah lazim digunakan oleh lembaga-lembaga audit beberapa negara, seperti Inggris dan Belanda (Put, 2011). 3

Seperti tercermin dalam istilahnya, GMM pada hakekatnya merupakan sebuah gagasan yang digunakan untuk menggambarkan praktik manajemen yang dapat menjamin terlaksananya sebuah kegiatan dengan baik, yang dalam konteks kinerja berarti ekonomis, efisien, dan efektif. Sebagai sebuah konsep, GMM dapat dikatakan sebagai simplifikasi dari enam fungsi manajemen yang digagas oleh Henry Fayol (1841-1925), yang terdiri forecasting, planning, organizing, commanding, coordinating dan controlling. Gagasan yang diusung GMM sangat sederhana. GMM menggambarkan tiga aktivitas utama yang harus dilakukan ketika kita akan merancang dan menjalankan sebuah kegiatan, yaitu perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan. Logika GMM adalah sebuah kegiatan akan sukses apabila direncanakan secara memadai, dilaksanakan sesuai rencana, dan dipantau atau dievaluasi. Dengan kata lain, perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan kegiatan yang dilakukan dengan baik dan benar akan membantu pencapaian tujuan kegiatan yang telah direncanakan. Ketiga tahapan itu menggambarkan sebuah pola yang dapat membantu manajemen dalam mencapai kinerja yang tinggi.

Untuk menjelaskan penerapan konsep ini, mari kita ambil contoh sederhana: kegiatan Diklat Pemeriksaan Kinerja untuk Ketua Tim. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan para ketua tim di bidang pemeriksaan kinerja. Ukuran kesuksesan diklat ini adalah bertambahnya pengetahuan dan ketrampilan seluruh peserta diklat mengenai pemeriksaan kinerja. Jika ingin mencapai tujuan ini, maka kita harus melakukan tiga tahapan GMM. Pertama, kita harus membuat rencana yang baik. Dalam hal ini kita harus merancang jadwal, menyiapkan materi, menghubungi pengajar yang kompeten, menentukan syarat dan jumlah peserta, merancang metode evaluasi, menyiapkan post-test, menyiapkan peralatan pendukung dan lain sebagainya. Intinya, pada tahap ini kita harus menyiapkan dan merencanakan segala sesuatu yang diperlukan agar diklat berjalan dengan baik.

Pada tahap kedua, setelah melakukan perencanaan matang, kita kemudian melaksanakan diklat dimaksud. Pada tahap ini kita menjalankan semua hal yang telah direncanakan. Agar sesuai rencana, kita harus memperoleh peserta yang memenuhi syarat, memperoleh pengajar yang kompeten, melaksanakan diklat sesuai jadwal, menyediakan konsumsi yang berkualitas, dan menggunakan peralatan yang disediakan.

Terakhir, pada tahap pemantauan, kita melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap seluruh aktivitas yang dilakukan pada tahap perencanaan dan pelaksanaan. Kita akan menilai apakah pengajar dan peserta pelatihan yang dilibatkan telah sesuai kualifikasi yang ditentukan. Kita juga akan menilai apakah pelatihan dilakukan sesuai dengan jadwal yang ditentukan dengan materi yang sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Lalu, yang tidak kalah penting, penilaian juga perlu dilakukan untuk memastikan bahwa peserta pelatihan telah memperoleh tambahan pengetahuan dan ketrampilan mengenai pemeriksaan kinerja. Tahap evaluasi ini biasanya dilakukan dengan meminta peserta untuk mengikuti

3 Put, V. 2011. Norms used: some strategic considerations from The Netherlands and the UK dalam Performance Auditing: Contributing to Accountability in Democratic Government (Editor Londsdale, J. et al.). Edward Elgar.

Cheltenham, UK. 75 – 94.

post-test dan mengisi lembar evaluasi kegiatan diklat. Namun, hal penting lainnya yang tidak boleh dilupakan setelah itu adalah melakukan evaluasi menyeluruh atas kegiatan tersebut berdasarkan informasi yang diperoleh dari post-test dan lembar evaluasi.

Contoh di atas menunjukkan bahwa tiga tahapan kegiatan tersebut terdiri dari serangkaian aktivitas yang terkait satu sama lain dan saling menunjang pencapaian tujuan kegiatan. Dalam GMM, rangkaian aktivitas tersebut akan berfungsi sebagai panduan sekaligus tolok ukur keberhasilan sebuah kegiatan. Selanjutnya, dari sudut pandang pemeriksaan kinerja, aktivitas-aktivitas tersebut kemudian akan dijadikan sebagai kriteria yang akan digunakan untuk mengukur kinerja.

Peraga 1. Contoh Good Management Model untuk Kegiatan Diklat

•merancang jadwal •menyiapkan materi •menghubungi pengajar yang kompeten

Perencanaan

•menentukan syarat dan jumlah peserta •merancang metode evaluasi •menyiapkan peralatan pendukung

•memperoleh peserta yang memenuhi syarat •memperoleh pengajar yang kompeten

Pelaksanaan

•melaksanakan diklat sesuai jadwal •menyediakan konsumsi yang berkualitas •menggunakan peralatan yang disediakan

•menilai kesesuaian kualifikasi pengajar dan peserta pelatihan •menilai kesesuaian ketepatan jadwal pelatihan •menilai kesesuaian materi pelatihan dengan standar yang telah ditetapkan

Pemantauan

•meminta peserta untuk mengikuti post-test dan mengisi lembar evaluasi diklat •mengevaluasi kegiatan diklat secara menyeluruh berdasarkan informasi yang

diperoleh dari post-test dan lembar evaluasi

Elaborasi aktivitas-aktivitas logis untuk setiap tahapan seperti tergambar di atas secara sepintas tampak mudah. Kemudahan ini diperoleh karena kegiatan diklat adalah kegiatan yang biasa ditemui oleh semua pemeriksa. Mereka selalu mengikuti kegiatan pelatihan yang diselenggarakan di kantor sendiri, Balai Diklat maupun Pusdiklat BPK RI. Meskipun tidak terlibat sebagai penyelenggara, namun setidaknya mereka dapat memahami keseluruhan rangkaian kegiatan diklat tersebut. Dengan pemahaman ini, para pemeriksa tentu akan dapat membayangkan berbagai kemungkinan aktivitas terkait pelaksanaan diklat yang akan dijadikan patokan kinerja.

Namun demikian, kemudahan serupa barangkali tidak dijumpai manakala pemeriksa menghadapi jenis program, kegiatan, atau organisasi yang kompleks atau yang sama sekali baru. Kini bayangkan sebuah program lain yang spesifik belum pernah diperiksa sebelumnya atau bahkan terpikirkan oleh sebagian pemeriksa. Misalnya saja Program Peningkatan Keamanan Perbatasan Wilayah NKRI. Bila pemeriksa menilai bahwa program atau kegiatan ini belum pernah diperiksa sebelumnya, atau tidak diketahui sebelumnya, bagaimana kemudian pemeriksa menguraikan berbagai kegiatan yang perlu dilakukan Namun demikian, kemudahan serupa barangkali tidak dijumpai manakala pemeriksa menghadapi jenis program, kegiatan, atau organisasi yang kompleks atau yang sama sekali baru. Kini bayangkan sebuah program lain yang spesifik belum pernah diperiksa sebelumnya atau bahkan terpikirkan oleh sebagian pemeriksa. Misalnya saja Program Peningkatan Keamanan Perbatasan Wilayah NKRI. Bila pemeriksa menilai bahwa program atau kegiatan ini belum pernah diperiksa sebelumnya, atau tidak diketahui sebelumnya, bagaimana kemudian pemeriksa menguraikan berbagai kegiatan yang perlu dilakukan

Berhadapan dengan program yang baru, para pemeriksa biasanya akan berusaha memperoleh informasi sebanyak-banyaknya mengenai program tersebut. Pemeriksa akan melakukan familiarisasi terhadap program dimaksud dengan cara memelajari buku manual, panduan resmi, atau petunjuk yang dibuat oleh pemerintah dan berbagai publikasi lain menyangkut pelaksanaan program tersebut. Pendeknya, pemeriksa akan melakukan riset mendalam sebelum menentukan kriteria yang diperlukan untuk menetapkan kriteria. Setelah semua data terkumpul, pemeriksa baru merumuskan kriteria-kriteria yang relevan untuk pemeriksaan.

Sampai di sini, pertanyaan lain yang muncul adalah: apakah setelah melalui serangkaian riset tersebut proses penyusunan kriteria untuk program tersebut menjadi lebih mudah? Apakah proses tersebut dapat meyakinkan kita akan kelengkapan kriteria yang kita susun? Bagaimana memastikan kualitas kriteria tersebut sebelum kita diskusikan dengan pejabat entitas yang kita periksa?

Menurut pengalaman penulis, kedalaman riset mengenai program dan kegiatan yang akan diperiksa tidak dapat menjamin kemudahan dan keakuratan penyusunan kriteria kinerja oleh pemeriksa. Bisa saja terjadi, pemeriksa justru kebingungan sendiri setelah memperoleh informasi yang begitu banyak. Mereka bisa saja gagal dalam mengelola informasi tersebut sehingga tidak mampu memilah dan memilih mana yang tepat digunakan sebagai bahan kriteria yang andal dan meyakinkan. Atau sebaliknya, mereka barangkali hanya memperoleh data yang sangat sedikit sehingga pemeriksa akhirnya juga kesulitan menentukan kriteria yang tepat. Kalaupun akhirnya kriteria berhasil dirumuskan, pemeriksa barangkali akan gamang karena tidak yakin akan kualitas kriteria tersebut.

3. Matriks Kriteria Kinerja

Kesulitan serupa sebelumnya pernah penulis temui ketika bertugas di BPK Perwakilan Kendari (2010- 2011). Saat itu Juknis belum diterbitkan dan kami melakukan piloting pemeriksaan kinerja pada tiga

entitas pemeriksaan, yaitu Program Bahteramas 4 Provinsi Sulawesi Tenggara, PDAM Kota Kendari, dan Dinas Perizinan Kota Kendari. Dalam pemeriksaan ini kami mengembangkan sebuah alat bantu, yang

kami sebut sebagai matriks kriteria kinerja (MKK), untuk memudahkan kami dalam menyusun dan mengevaluasi kriteria untuk ketiga pemeriksaan kinerja tersebut. MKK ini diperlukan sebagai model atau panduan penyusunan kriteria yang bersifat generik karena ketika itu kami tidak menemukan kriteria yang memadai untuk menilai pelaksanaan ketiga entitas pemeriksaan tersebut.

Ide dasar pembuatan MKK adalah penyempurnaan pola pikir GMM dengan menambahkan empat komponen yang selalu menjadi bagian sebuah program atau kegiatan, yaitu masukan (M - input), proses (P - process), keluaran (K - output), dan dampak (D - outcome). Tujuan utama penggabunggan tiga

4 Program Bahteramas adalah sebuah program pengentasan kemiskinan, peningkatan kesehatan, dan peningkatan pendidikan di Provinsi Sulawesi Tenggara.

tahapan GMM (perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan) dan komponen M-P-K-D ini adalah melahirkan sebuah model baru yang lebih sistematis dan praktis yang memudahkan pemeriksa dalam mengidentifikasi dan membedakan berbagai aktivitas yang diperlukan dalam mengembangkan kriteria yang relevan dalam manajemen kinerja sebuah entitas. Sebagai sebuah model, MKK diharapkan dapat berfungsi sebagai sebuah rancangan utama (grand design) yang siap digunakan untuk penyusunan berbagai jenis kriteria untuk program, kegiatan, dan organisasi (baik pemda maupun badan usaha) yang berbeda.

Meskipun sederhana, penggabungan tersebut sebenarnya memiliki basis ilmiah yang kuat. Bila ditelurusi secara teori, MKK se e ar ya erupaka a ak dari hasil perkawi a antara fungsi manajemen dan fungsi produksi dalam ilmu ekonomi. Seperti disinggung sebelumnya, GMM menggunakan tiga dari enam fungsi manajemen yang digagas oleh Henry Fayol. Tiga fungsi manajemen dalam GMM ini kemudian dikombinasikan dengan fungsi produksi (production function) yang menggambarkan hubungan antara masukan (input) dan keluaran (output) dalam sebuah kegiatan produksi. Di dalam MKK, komponen fungsi produksi diperluas dengan menambahkan komponen proses dan dampak (outcome).

Alasan utama pengawinan GMM dan fungsi produksi yaitu karena sebuah program, kegiatan, atau organisasi dan entitas lainnya sebenarnya pengejawantahan dari sebuah proses produksi. Program atau kegiatan diadakan karena ingin memproduksi sesuatu yang akan dimanfaatkan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Hal yang sama juga berlaku dengan organisasi, yang didirikan sebagai sarana mencapai tujuan, dan pencapaian ini dilakukan dengan memproduksi barang dan jasa.

Asumsi yang mendasari penggabungan komponen fungsi produksi dalam proses penyusunan kriteria adalah adanya keterkaitan erat antara keempat komponen tersebut dengan tiga tahapan GMM. Setiap komponen masukan, proses, keluaran, dan dampak sejatinya memiliki dimensi perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan. Agar kegiatan berjalan dengan baik, masukan harus direncanakan, diadakan, dan dievaluasi. Proses juga harus direncanakan, dilaksanakan, dan dievaluasi. Hal yang sama juga berlaku untuk keluaran dan dampak sebuah kegiatan. Dengan kata lain, untuk mencapai tujuan, semua kegiatan harus melibatkan tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan untuk komponen masukan, proses, keluaran, dan dampak. Oleh karena itu, penilaian kinerja suatu entitas akan lebih mudah dilakukan apabila kita menggunakan dua perspektif sekaligus: manajerial (perencanaan, pelaksanaa, dan pemantauan) dan produksi (masukan, proses, keluaran, dan dampak).

Jika digambarkan secara visual, maka gabungan antara tiga tahapan fungsi manajemen dan empat komponen fungsi produksi akan menghasilkan matriks 4 x 3 atau 12 sel berikut.

Peraga 2. Kerangka Matrik Kriteria Kinerja Dimensi

Masukan

Proses

Keluaran

Dampak

Perencanaan

Pelaksanaan

Pemantauan

Dari gambar tersebut nampak bahwa ke-12 sel tersebut terbentuk karena kombinasi tahapan GMM dan komponen M-P-K-D. Dalam matriks ini, setiap sel akan menggambarkan aktivitas spesifik yang relevan untuk satu tahapan GMM dan satu komponen produksi tertentu. Sebagai contoh, sel 1 akan berisi aktivitas-aktivitas perencanaan terkait komponen masukan (M). Sel 2 akan terdiri dari aktivitas-aktivitas perencanaan untuk komponen proses (P) dan seterusnya sampai dengan sel 12 yang berisi aktivitas- aktivitas pemantauan yang terkait dengan komponen dampak (D).

Untuk mengisi ke-12 sel tersebut, ada empat langkah yang harus ditempuh, yaitu:

a. Identifikasi tujuan yang ingin dicapai;

b. Identifikasi entitas yang perlu dibentuk untuk mencapai tujuan;

c. Identifikasi proses bisnis yang relevan untuk entitas terpilih;

d. Identifikasi aktivitas-aktivitas yang relevan untuk menjalankan proses bisnis entitas dalam MKK.

Peraga 3. Langkah Pembuatan MKK

Identifikasi Entitas

Identifikasi

Aktivitas- Identifikasi Tujuan

(program,

Identifikasi Proses

kegiatan, fungsi

dalam MKK

Setiap langkah tersebut dijelaskan secara rinci sebagai berikut.

3.1 Identifikasi Tujuan

Tujuan entitas merupakan alasan utama mengapa sebuah program, kegiatan, atau fungsi organisasi dibentuk. Tujuan tidak perlu diciptakan atau dibuat-buat rumusannya karena ia tidak lain merupakan problem nyata yang sedang dihadapi dan harus dipecahkan oleh suatu organisasi. Sebuah problem muncul apabila organisasi mengidentifikasi adanya kesenjangan antara kondisi saat ini dengan kondisi ideal yang diharapkan. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tujuan adalah antitesis dari problem. Ibaratnya, bila problem adalah kondisi negatif, maka tujuan adalah kondisi positifnya. Oleh karena itu, jika pemerintah, misalnya, mengidentifikasi kemiskinan sebagai sebuah problem, maka tujuan yang harus dicapai adalah kesejahteraan. Begitu juga, jika problemnya adalah kinerja yang rendah, maka tujuannya adalah kinerja yang tinggi.

Pada langkah pertama ini, pemeriksa wajib memastikan bahwa program, kegiatan, atau fungsi organisasi yang ada memang dibentuk dengan tujuan untuk memecahkan masalah tertentu. Rumusan tujuan entitas biasanya dapat ditemukan dalam dokumentasi program, kegiatan, atau fungsi berupa manual, petunjuk pelaksanaan, petunjuk teknis dan panduan lain yang dibuat sebagai acuan pelaksanaan entitas. Namun, ada kalanya rumusan tersebut tidak secara eksplisit dinyatakan dalam dokumen-dokumen itu atau bahkan tidak dinyatakan sama sekali. Bila hal ini terjadi, pemeriksa harus mendiskusikannya dengan Pada langkah pertama ini, pemeriksa wajib memastikan bahwa program, kegiatan, atau fungsi organisasi yang ada memang dibentuk dengan tujuan untuk memecahkan masalah tertentu. Rumusan tujuan entitas biasanya dapat ditemukan dalam dokumentasi program, kegiatan, atau fungsi berupa manual, petunjuk pelaksanaan, petunjuk teknis dan panduan lain yang dibuat sebagai acuan pelaksanaan entitas. Namun, ada kalanya rumusan tersebut tidak secara eksplisit dinyatakan dalam dokumen-dokumen itu atau bahkan tidak dinyatakan sama sekali. Bila hal ini terjadi, pemeriksa harus mendiskusikannya dengan

Dalam mengidentifikasi tujuan, pemeriksa perlu mengajukan pertanyaan sederhana seperti: Mengapa program ini dibuat? Atau, apa masalah nyata yang dihadapi sehingga harus diatasi dengan kegiatan ini? Pertanyaan tersebut diajukan untuk menggali berbagai alasan yang mendasari perencanaan dan pelaksanaan program atau kegiatan tertentu. Meskipun sebagian besar program didasarkan pada masalah yang nyata, namun bukan berarti bahwa pemeriksa tidak akan menemui program yang tujuannya sengaja dibuat-buat atau mengada-ada. Bisa saja, misalnya, suatu kegiatan dilaksanakan karena semata-mata untuk menghabiskan anggaran atau alasan sejumlah alasan lain selain kepentingan publik. Dengan kata lain, langkah identifikasi tujuan ini sangat bermanfaat untuk validasi program, kegiatan, atau fungsi organisasi ada, seperti dijelaskan selanjutnya pada langkah kedua.

Bagi pemeriksa, kejelasan mengenai rumusan tujuan ini sangat penting bagi penilaian keberhasilan sebuah program, kegiatan, atau fungsi organisasi yang ditetapkan. Dalam MKK, rumusan tujuan sebuah entitas pada akhirnya akan menjadi acuan dalam mengukur dampak (outcome) yang diharapkan akan dicapai melalui program, kegiatan, atau fungsi organisasi yang tengah dijalankan pemerintah. Dengan demikian, rumusan tujuan bisa juga dikatakan sebagai dampak. Tujuan dan dampak adalah awal dan akhir dari entitas.

3.2 Identifikasi Entitas

Setelah rumusan tujuan dapat dinyatakan dengan jelas, langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi pilihan-pilihan entitas (program, kegiatan, atau fungsi organisasi) yang dapat dijadikan sarana untuk mencapai tujuan tersebut. Me gapa dise ut piliha -pilihan e titas ? Apakah berarti akan ada lebih dari satu program, kegiatan, atau fungsi organisasi yang diperlukan untuk menyelesaikan sebuah masalah? Jawabnya, ya. Hal ini berangkat dari pemahaman bahwa sebuah masalah yang dihadapi organisasi biasanya kompleks karena disebabkan oleh berbagai faktor; bukan hanya satu faktor, melainkan banyak faktor. Misalnya, bila saat ini BPK RI memiliki masalah terkait penurunan kualitas laporan hasil pemeriksaan, faktor-faktor yang menyebabkan hal itu bisa jadi bukan hanya terkait dengan kualitas pemeriksa, melainkan juga kualitas penyelenggaraan dan kurikulum diklat, sistem penjaminan mutu pelaporan hasil pemeriksaan, manajemen pengetahuan (knowledge management), pola komunikasi antara atasan dan bawahan, tekanan pekerjaan, serta fasilitas dan lingkungan kerja.

Meskipun kita dapat membuat daftar mengenai faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya masalah, namun daftar tersebut harus didasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan secara ilmiah. Mengapa? Karena antara tujuan dan pilihan entitas harus menunjukkan hubungan kausalitas yang valid, bukan rekaan, dan validitas hubungan itu akan dapat terungkap hanya dengan metodologi penelitian yang tepat. Bila suatu kegiatan yang diadakan hanya didasarkan pada pertimbangan selain itu, maka alasan yang mendasari kegiatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan dan tidak ada jaminan bahwa kegiatan tersebut akan dapat menjadi solusi atas permasalahan yang ada.

Peraga 4. Contoh Permasalahan dan Berbagai Faktor Penyebab

penjaminan mutu

Pola komunikasi

pelaporan hasil

Kualitas kurikulum &

Tekanan penyelenggaraan

pekerjaan diklat

Kualitas

Fasilitas & pemeriksa

Jumlah & kualifikasi

LHP lingkungan kerja

Kembali pada contoh di atas, anggap saja bahwa berbagai faktor yang menjadi penyebab rendahnya mutu laporan hasil pemeriksaan BPK RI tersebut diperoleh dari hasil kajian dan penelitian yang dilakukan oleh Biro Sumber Daya Manusia dan Direktorat Analisa dan Pelaporan Pemeriksaan. Karena merupakan hasil penelitian, ketujuh faktor tersebut kemudian bisa dijadikan basis perumusan sebuah program (misalnya, Program Peningkatan Mutu Laporan Hasil Pemeriksaan) yang didukung oleh tujuh kegiatan misalnya Kegiatan Rekrutmen Pegawai, Kegiatan Penyempurnaan Kurikulum Diklat, Kegiatan Penyempurnaan Sistem Pelaporan Hasil Pemeriksaan, dan lain-lain, sesuai dengan faktor-faktor yang teridentifikasi.

3.3 Identifikasi Proses Bisnis

Setelah mengidentifikasi tujuan dan pilihan entitas, pemeriksa kemudian harus menentukan proses bisnis yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu atau untuk menjalankan program, kegiatan atau fungsi organisasi terpilih. Pada dasarnya, identifikasi proses bisnis ini dilakukan dengan merinci urutan aktivitas logis yang saling terkait dalam rangka mencapai tujuan entitas yang telah ditetapkan. Penentuan rincian aktivitas yang relevan untuk proses bisnis tersebut didasarkan pada praktik lazim dan terbaik sejenis yang pernah berjalan sebelumnya.

Secara praktis, perincian proses bisnis ini dilakukan sebagai langkah awal untuk mengisi MKK. Jika kita mampu mengidentifikasi proses bisnis yang relevan untuk mencapai tujuan, maka kita akan dapat menentukan seluruh kriteria secara lebih akurat. Di sini, proses bisnis yang perlu dirinci terdiri dari proses bisnis utama dan proses bisnis pendukung. Proses bisnis utama terdiri dari rangkaian aktivitas pokok yang terkait secara langsung dengan entitas yang diperiksa. Oleh karena itu, jenis dan banyaknya aktivitas yang terlibat dalam proses bisnis utama akan bergantung pada jenis program, kegiatan, atau fungsi organisasi yang dipilih. Sementara itu, proses bisnis pendukung terdiri dari aktivitas-aktivitas penunjang yang diperlukan dalam mendukung proses bisnis utama. Berbeda dengan proses bisnis Secara praktis, perincian proses bisnis ini dilakukan sebagai langkah awal untuk mengisi MKK. Jika kita mampu mengidentifikasi proses bisnis yang relevan untuk mencapai tujuan, maka kita akan dapat menentukan seluruh kriteria secara lebih akurat. Di sini, proses bisnis yang perlu dirinci terdiri dari proses bisnis utama dan proses bisnis pendukung. Proses bisnis utama terdiri dari rangkaian aktivitas pokok yang terkait secara langsung dengan entitas yang diperiksa. Oleh karena itu, jenis dan banyaknya aktivitas yang terlibat dalam proses bisnis utama akan bergantung pada jenis program, kegiatan, atau fungsi organisasi yang dipilih. Sementara itu, proses bisnis pendukung terdiri dari aktivitas-aktivitas penunjang yang diperlukan dalam mendukung proses bisnis utama. Berbeda dengan proses bisnis

Penentuan jenis dan jumlah aktivitas, khususnya terkait proses bisnis utama, tidak dilakukan berdasarkan selera atau penilaian pemeriksa yang bersifat arbitrary, melainkan berdasarkan pertimbangan profesional pemeriksa. Oleh karena itu, dalam perumusan kriteria ini, identifikasi proses bisnis entitas ini harus dilakukan oleh pemeriksa yang memiliki keahlian atau pengalaman untuk menjamin kualitas pertimbangan profesional yang diperlukan. Terkait hal ini, Intosai (2004) menyatakan bahwa prasyarat yang harus dipenuhi pemeriksa dalam menyusun kriteria adalah pemahaman mengenai area yang akan diperiksa. Pemeriksa harus mengetahui berbagai dokumen yang relevan, dasar-dasar legal dan aktivitas yang dijalankan pemerintah melalui program dan kegiatan yang dijalankan. Pemeriksa juga harus mampu memahami harapan dari para pemangku kepentingan utama dan menyadari pentingnya keahlian serta pengetahuan mengenai praktik terkait program atau kegiatan pemerintah serupa. Semua hal ini diperlukan agar pemeriksa memiliki sensitivitas dan kejelian dalam menentukan proses bisnis yang paling tepat bagi program atau kegiatan yang sedang diperiksa.

Untuk menjelaskan langkah ini, kita kembali pada contoh kegiatan rekrutmen pegawai. Anggap saja bahwa berdasarkan pertimbangan profesional pemeriksa, proses bisnis utama yang terkait dengan kegiatan tersebut terdiri sepuluh aktivitas berikut: penetapan kebutuhan pegawai, pengumuman di media massa, penerimaan lamaran, penilaian lamaran, pemanggilan peserta terpilih, tes tertulis, tes kesehatan, wawancara, dan pengumuman hasil penerimaan, dan evaluasi kegiatan rekrutmen. Sementara itu, proses bisnis pendukung dalam kegiatan ini terdiri dari manajemen personel, manajemen keuangan, dan manajemen barang/jasa yang terkait dengan kegiatan rekrutmen.

Peraga 5. Model Dasar Matriks Kriteria Kinerja Berbasis GMM yang Disempurnakan

Dampak (Efektivitas) Perencanaan

Masukan (Ekonomi)

Proses (Efisiensi)

Keluaran (Efektivitas)

Penetapan masukan standar

Penetapan proses standar

Penetapan keluaran standar

Penetapan hasil standar

Penetapan target dampak komponen masukan yang

Penetapan standar untuk

Penetapan prosedur

Penetapan standar waktu,

penggunaan keluaran dari diperlukan, yaitu personel

operasional standar (POS)

kuantitas, dan kualitas dari

aspek waktu, kuantitas, (man), anggaran (money),

untuk fungsi proses bisnis

keluaran yang diharapkan

kualitas dan peralatan (material)

utama dan pendukung

(Identifikasi permasalahan dari sisi kuantitas dan

dengan mempertimbangkan

pokok yang akan kualitas

aspek waktu, kuantitas, dan

kualitas

dipecahkan)

Pelaksanaan Pemenuhan masukan

Pemenuhan hasil standar standar

Pemenuhan proses standar

Pemenuhan keluaran

standar

Penyediaan tiga kompnen

Penggunaan keluaran dalam masukan (man, money,

Pelaksanaan semua fungsi

Pemenuhan keluaran yang

rangka mencapai target material) yang mengacu

manajemen yang relevan

didasarkan pada standar

dampak yang telah pada standar yang telah

dengan mengikuti POS yang

waktu, kuantitas, dan

ditetapkan ditetapkan

telah ditetapkan

kualitas yang telah

ditetapkan

(Penggunaan keluaran untuk menyelesaikan masalah pokok)

Pemantauan Evaluasi masukan standar

Evaluasi proses standar

Evaluasi keluaran standar

Evaluasi hasil standar

Penilaian kesesuaian

Penilaian kesesuaian masukan yang tersedia

Penilaian kesesuaian

Penilaian kesesuaian

dampak riil penggunaan dengan masukan standar

pelaksanaan fungsi

keluaran yang diperoleh

keluaran dengan dampak yang telah ditetapkan

manajemen dengan POS

dengan keluaran standar

yang telah ditetapkan

yang telah ditetapkan

yang diharapkan (Penilaian penggunaan keluaran dalam menyelesaikan masalah pokok )

3.4 Identifikasi Aktivitas-aktivitas dalam MKK

Pada langkah keempat ini, pemeriksa akan mulai mengisi sel-sel MKK dengan mengacu pada hasil yang diperoleh dari tiga langkah sebelumnya. Namun demikian, proses perumusan ini tidaklah serumit sebelumnya karena akan menggunakan sebuah pola tertentu. Berikut akan dijelaskan pola dimaksud dan urutan pembahasannya akan disesuaikan dengan nomor urut sel dalam MKK yang telah digambarkan sebelumnya. Peraga 5 menyajikan model dasar MKK yang akan digunakan sebagai basis penguraian aktivitas-aktivitas dalam 12 sel yang terbentuk. Penjelasan mengenai isi sel-sel tersebut masing-masing akan dijelaskan sebagai berikut.

3.4.1 Perencanaan

Esensi aktivitas perencanaan adalah membuat estimasi atau standar yang akan menjadi acuan bagi dua tahapan GMM lainnya, yaitu pelaksanaan dan pemantauan. Yang menjadi kata kunci pada tahap ini adalah penetapan standar. Seperti disinggung sebelumnya, MKK mengharuskan perencanaan dibuat untuk semua komponen masukan, proses, keluaran, dan dampak.

3.4.1.1 Perencanaan – Masukan (Sel 1)

Sel ini berisi aktivitas penetapan standar untuk masukan yang diperlukan untuk melaksanakan sebuah kegiatan oleh entitas. Masukan yang harus distandardisasi terdiri dari personel, keuangan, dan bahan/peralatan 5 . Dua atribut penting yang perlu direncanakan untuk ketiga komponen masukan

tersebut adalah kualitas dan kuantitas. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan pada sel ini adalah penetapan kualitas dan kuantitas orang yang akan dilibatkan, kuantitas uang yang dibutuhkan, serta kualitas dan kuantitas peralatan yang akan digunakan.

Mengacu pada contoh kasus dan penjelasan pada paragraf sebelumnya, perencanaan masukan yang diperlukan untuk kegiatan rekrutmen pegawai BPK RI akan terdiri dari tiga aktivitas berikut.

a. Menetapkan jumlah dan kualifikasi personel yang terlibat dalam rekrutmen

b. Menetapkan jumlah anggaran yang dibutuhkan selama proses rekrutmen

c. Menetapkan jenis, jumlah, dan kualitas peralatan, media, atau alat bantu untuk mendukung kegiatan rekrutmen

Rincian aktivitas yang diperlukan untuk mendukung tiga aktivitas utama dapat dilakukan dengan mempertimbangkan proses bisnis yang telah diidentifikasi sebelumnya, yang terdiri sepuluh tahapan rekrutmen. Baik jumlah dan kualitas personel yang dibutuhkan, jumlah anggaran yang ditetapkan, dan jumlah dan kualitas peralatan yang diperlukan harus mengacu pada sepuluh tahapan tersebut.

3.4.1.2 Perencanaan – Proses (Sel 2)

Dalam sebuah fungsi produksi, komponen proses menggambarkan aktivitas-aktivitas yang dilakukan untuk mengolah atau mengubah masukan menjadi keluaran. Untuk menghasilkan keluaran yang

5 Pemilihan tiga komponen masukan juga bersumber dari literatur ekonomi terkait fungsi produksi, yang terdiri dari man, money, dan material.

diharapkan, rangkaian proses harus memiliki standar. Proses harus diatur agar menghasilkan keluaran tepat waktu, tepat jumlah, dan tepat mutu. Untuk itu, pada tahap perencanaan ini, penetapan standar untuk komponen proses harus dilakukan dengan membuat prosedur operasional standar (POS).

Penentuan jenis POS pada dasarnya mengacu pada fungsi-fungsi dalam sebuah organisasi. Pada tahap ini kita tidak perlu lagi mengeryitkan dahi untuk merinci fungsi-fungsi tersebut, karena kita dapat menggunakan fungsi-fungsi yang sudah kita identifikasi sebelumnya, yaitu personel, keuangan, pengadaan barang/jasa, dan fungsi-fungsi yang terdapat dalam proses bisnis utama. Selain keempat kategori fungsi tersebut, ada satu fungsi tambahan yang sangat diperlukan, yaitu fungsi pemantauan, evaluasi dan pelaporan. Dengan demikian, aktivitas yang perlu dijalankan pada sel perencanaan-proses adalah sebagai berikut.

1. Menetapkan POS untuk pengelolaan personel yang terlibat dalam kegiatan rekrutmen;

2. Menetapkan POS untuk pengelolaan keuangan dari penganggaran s.d. pertanggungjawaban;

3. Menetapkan POS untuk pengadaan barang dan jasa yang diperlukan selama proses rekrutmen;

4. Menetapkan POS untuk proses bisnis utama rekrutmen pegawai, yang berisi POS-POS untuk sepuluh tahapan rekrutmen yang telah diidentifikasi sebelumnya;

5. Menetapkan POS untuk aktivitas pemantauan, evaluasi dan pelaporan terkait kegiatan rekrutmen (personel, keuangan, pengadaan barang/jasa, dan proses bisnis utama).

Di samping menjelaskan standar urutan proses, POS-POS yang ditetapkan juga harus mengatur mengenai level standar terkait waktu (berapa lama, berapa kali), kuantitas (berapa banyak), dan kualitas (dengan mutu atau kualifikasi seperti apa). Meskipun merupakan domain entitas, level standar yang ditetapkan untuk ketiga aspek tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Oleh karena itu, acuan atau rujukan yang digunakan untuk menentukan level standar untuk POS yang dimiliki harus berasal dari regulasi yang ada, praktik terbaik atau benchmark untuk proses sejenis, atau bahkan teori- teori tertentu yang relavan.

3.4.1.3 Perencanaan – Keluaran (Sel 3)

Sel perencanaan-keluaran berisi mengenai produk standar yang diharapkan akan dihasilkan dari kegiatan, program, atau fungsi organisasi. Meskipun sebuah entitas memiliki POS-POS yang telah direncanakan pada sel perencanaan-proses, level capaian suatu keluaran juga tetap harus direncanakan. Level produk yang dimaksud meliputi dimensi waktu (berapa lama, berapa kali), kuantitas (berapa banyak), dan kualitas (seberapa baik). Penentuan level keluaran ini sangat penting karena akan menjadi sebuah target yang akan dicapai dan akan menjadi acuan dalam melaksanakan proses dalam entitas.

Dalam contoh kegiatan rekrutmen pegawai BPK RI di atas, perencanaan-keluaran ini akan berisi aktivitas berikut.

a. Menetapkan jangka waktu pelaksanaan proses rekrutmen (waktu);

b. Menetapkan jumlah pegawai yang akan direkrut (kuantitas);

c. Menetapkan jumlah pegawai yang akan dialokasikan pada satuan kerja (kuantitas);

d. Menetapkan kualifikasi (bidang ilmu, ketrampilan) pegawai yang akan diterima (kualitas).

3.4.1.4 Perencanaan – Dampak (Sel 4)

Aktivitas perencanaan-dampak tidak lain merupakan aktivitas untuk mengidentifikasi tujuan program, kegiatan, dan fungsi organisasi. Seperti dijelaskan sebelumnya, indentifikasi tujuan dilakukan dengan terlebih dahulu mengenal permasalahan pokok yang dihadapi. Oleh karena itu, aktivitas perencanaan- dampak sama dengan aktivitas pengenalan masalah.

Berbekal contoh kegiatan rekrutmen pegawai, rumusan aktivitas yang harus dijalankan pada sel ini adalah menetapkan dampak yang akan dicapai oleh kegiatan rekrutmen pegawai. Kita telah mendiskusikan bahwa masalah pokok yang diidentifikasi adalah penurunan mutu hasil pemeriksaan BPK ‘I. Oleh kare a itu, ru usa tujua ya g tepat u tuk asalah i i adalah pe i gkata utu hasil pe eriksaa BPK ‘I , da i i juga e u jukka ga ara da pak ya g i gi di apai oleh BPK ‘I

dengan melaksanakan kegiatan rekrutmen pegawai. Dampak (outcome) berbeda dengan keluaran (output). Dari sisi waktu, keluaran diperoleh lebih dahulu

sebelum dampak. Dampak sebuah keluaran akan timbul apabila keluaran mulai dimanfaatkan atau digunakan. Keluaran merupakan alat yang diharapkan akan membantu pemerintah dalam mengatasi masalah yang diidentifikasi sebelumnya. Jika pemanfaatan keluaran tadi dapat menyelesaikan masalah, maka dapat dikatakan bahwa keluaran tersebut telah berdampak. Artinya, pemerintah memperoleh dampak yang diinginkan dari program atau kegiatan yang dirancang.

Selanjutnya, dari sisi pengukuran, dampak relatif lebih sulit diukur daripada keluaran. Pengukuran keluaran dapat dilakukan segera setelah barang atau jasa diperoleh, namun pengukuran dampak baru dapat dilaksanakan setelah barang atau jasa tersebut dimanfaatkan. Observasi terhadap level capaian keluaran, baik itu waktu, kuantitas, dan kualitas, dapat dilakukan segera setelah sebuah program, kegiatan, atau fungsi organisasi selesai dilaksanakan. Kita dapat menilai apakah keluaran diterima sesuai jadwal yang ditentukan (waktu), dengan jumlah yang sesuai (kuantitas), dan mutu produk yang sesuai standar (kualitas). Namun, untuk menilai dampak, kita perlu menunggu hasil dari penggunaan atau pemanfaatan suatu produk keluaran sampai jangka waktu tertentu.

Pengukuran dampak bukan sesuatu yang mudah. Hubungan antara sebuah program dan dampak menunjukkan hubungan kausalitas. Hal ini adalah konsekuensi logis dari kausalitas yang ditunjukkan oleh faktor-faktor yang menjadi penyebab timbulnya masalah, seperti telah disinggung sebelumnya. Di sini, pengukuran dampak pun juga harus dilakukan secara ilmiah dan dengan menggunakan metodologi penelitian yang tepat. Hasil penelitian dampak ini, selanjutnya akan menjadi salah satu bahan simpulan menyangkut efektivitas program atau kegiatan yang dirancang pemerintah untuk memecahkan masalah.

3.4.2 Pelaksanaan

Esensi tahap pelaksanaan adalah pengejawantahan atau pewujudan seluruh hal yang direncanakan menjadi sebuah realitas. Jika aktivitas perencanaan adalah membuat impian-impian (dreams), maka aktivitas pelaksanaan adalah proses making all dreams come true, membuat semua impian menjadi kenyataan, dari komponen masukan, proses, keluaran, dan dampak. Kata kunci untuk tahap ini adalah

pemenuhan standar.

3.4.2.1 Pelaksanaan – Masukan (Sel 5)

Sel pelaksanaan-masukan berisi aktivitas-aktivitas untuk mewujudkan semua masukan yang telah direncanakan sebelumnya. Aktivitas utama pada sel ini berpusat pada upaya untuk memenuhi seluruh kebutuhan personel, keuangan, dan peralatan standar yang telah direncanakan untuk mendukung kegiatan utama.

Dalam praktik, pemenuhan masukan standar sering diabaikan dengan alasan keterbatasan sumber daya: kurang orang, tidak ada anggaran, tidak tersedianya peralatan dan lain sebagainya. Dalam manajemen kinerja yang baik, semua alasan kekurangan dan ketidaktersediaan seharusnya tidak terjadi. Semua kebutuhan masukan, baik personel, keuangan, dan peralatan harus disediakan secukupnya demi menghasilkan keluaran yang diinginkan. Bila ketidakmampuan dalam memenuhi masukan sesuai dengan level yang dipersyaratkan sudah teridentifikasi dari awal, maka perolehan keluaran yang sesuai dan pencapaian dampak yang diinginkan tentu akan sulit diharapkan.

Dengan contoh rekrutmen pegawai, aktivitas pelaksanaan-masukan yang harus dilakukan adalah:

a. Memenuhi jumlah dan kualitas personel yang diperlukan untuk kegiatan rekrutmen sesuai standar yang telah ditetapkan;

b. Memenuhi jumlah anggaran yang diperlukan untuk kegiatan rekrutmen sesuai standar yang ditetapkan;

c. Memenuhi jenis, jumlah, dan kualitas peralatan yang diperlukan untuk kegiatan rekrutmen sesuai dengan standar yang ditetapkan.

3.4.2.2 Pelaksanaan – Proses (Sel 6)

Sel ini berisi aktivitas-aktivitas yang untuk menggerakkan sumber daya yang disediakan untuk mengeksekusi seluruh kegiatan yang direncanakan. Catatan penting untuk sel ini adalah bahwa proses eksekusi kegiatan itu harus dilakukan menurut POS yang telah ditetapkan pada tahap perencanaan. POS mengatur urutan, cara, durasi, dan hal-hal teknis terkait proses bisnis terkait personel, keuangan, peralatan, aktivitas utama, dan pemantauan.

Dengan contoh kegiatan yang sama, aktivitas pelaksanaan-proses akan terdiri dari:

a. Melaksanakan pengelolaan personel untuk kegiatan rekrutmen sesuai dengan POS yang telah ditetapkan;

b. Melaksanakan pengelolaan keuangan untuk kegiatan rekrutmen sesuai dengan POS yang telah ditetapkan;

c. Melaksanakan pengelolaan barang dan jasa yang diperlukan untuk kegiatan rekrutmen sesuai dengan POS yang telah ditetapkan;

d. Melaksanakan seluruh aktivitas utama kegiatan rekrutmen pegawai sesuai dengan POS yang telah ditetapkan;

e. Melaksanakan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan kegiatan rekrutmen sesuai dengan POS yang telah ditetapkan.

3.4.2.3 Pelaksanaan – Keluaran (Sel 7)

Komponen keluara adalah ko sekue si logis dari proses ya g terjadi se elu ya. Oleh kare a itu, esensi sel pelaksanaan-keluaran adalah memastikan bahwa keluaran yang dihasilkan oleh proses sesuai dengan target yang direncanakan dari aspek waktu, kuantitas, dan kualitas. Aktivitas ini tidak bersifat pasif dengan hanya menunggu hasil dari proses, melainkan aktif melakukan tindakan-tindakan koreksi yang dilakukan segera apabila mengetahui adanya perbedaan antara keluaran dengan rencana sehingga hasil akhir yang diperoleh benar-benar sesuai dengan target yang ditetapkan.

Pada contoh rekrutmen pegawai BPK RI, aktivitas yang dilakukan pada sel ini adalah memastikan bahwa:

a. Menepati seluruh jadwal (waktu) kegiatan rekrutmen pegawai;

b. Menerima pegawai sesuai jumlah (kuantitas) dan kualifikasi dengan yang direncanakan.

3.4.2.4 Pelaksanaan – Dampak (Sel 8)

Aktivitas berkaitan dengan sel pelaksanaan-dampak dilakukan untuk memastikan bahwa pemanfaatan keluaran dilakukan dalam rangka mencapai dampak yang diinginkan. Aktivitas sel ini memiliki peranan penting dalam menghubungkan komponen keluaran dan dampak. Aktivitas ini akan menggambarkan sebuah proses pemecahan masalah. Tanpa aktivitas pelaksanaan-dampak, seluruh kegiatan hanya berhenti pada produksi keluaran saja, dan hal ini tentu tidak akan memecahkan masalah yang menjadi latar belakang perlunya sebuah program, kegiatan atau fungsi organisasi.

Jika kita mengacu pada contoh kegiatan rekrutmen pegawai BPK RI, maka sel pelaksanaan-dampak harus berisi aktivitas menggambarkan pemanfaatan pegawai yang baru saja direkrut untuk memecahkan masalah rendahnya mutu laporan hasil pemeriksaan. Pemanfaatan ini antara lain ditunjukkan dengan:

a. Menempatkan pegawai sesuai dengan rencana kebutuhan organisasi dan kompetensi pegawai;

b. Menetapkan uraian tugas yang sesuai dengan kompetensi yang dimiliki pegawai;

c. Mengembangkan kompentensi melalui diklat yang sesuai dengan bidang ilmu yang mereka dikuasai;

d. Menugaskan pegawai yang sesuai dengan kompetensi yang dimiliki; Secara normatif, kegiatan pemanfaatan ini seharusnya menjadi satu rangkaian yang tidak terpisahkan

dari sebuah program atau kegiatan agar dampak dari kegiatan tersebut lebih mudah dilacak dan diukur. Kemudahan ini terjadi karena penilaian dampak menjadi sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan dalam kegiatan tersebut. Namun, dalam kenyataan, aktivitas pemanfaatan keluaran terpisah dari kegiatan pengadaan keluaran. Pemanfaatan hasil pengadaan lebih sering digabungkan (blended) dengan kegiatan operasional harian.