Revisi Makalah Pemikiran Pendidikan Isla

PERGUMULAN PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM DENGAN
TEOLOGI, PERIPATESTISME, GNOSISME, ILUMANISME, DAN
TRANSDENTALISME
Makalah ini dipresentasekan pada Mata Kuliah
Pemikiran Pendidikan Islam

OLEH :

SA’ADAH FITRIANI LUBIS
ZUL PADLAN

PEDI-A-III (REGULER)
Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Dja’far Siddik, M.A

PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUMATERA UTARA
2017

DAFTAR ISI


DAFTAR ISI ................................................................................................... i
PENDAHULUAN ........................................................................................... 3
PEMBAHASAN ............................................................................................ 4
A. . Teologi.................................................................................................. 4
B. . Peripatetik…......................................................................................... 7
C. . Gnosisme….......................................................................................... 10
D. . Illumanisme ………………………...................................................... 13
E. . Transdentalisme……………………………………………….………. 15
PENUTUP ....................................………………………………………….. 18
A. . Kesimpulan……………….…………………………………….…....

18

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 20

2
Makalah ini masih dalam proses diskusi

PERGUMULAN PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM DENGAN

TEOLOGI, PERIPATESTISME, GNOSISME, ILUMANISME, DAN
TRANSDENTALISME

ABSTRAK
.
The grouwth of islamic education was the result continually the produced
beneficially for all moslems. In formulating islamic educatoinal thought, we
should have undersstood the ideology that explained an interpretation
characterisstic and classsification in order we could understand the thought it self.
The ideologi which contributed in developing islamic eucation thought was,
Theology, Peripatetisme, Gnosisme, Illuminasionisme, Transendentalisme. these
all tried to explain the truth that, was taken ftom alquran and hadith ass well as
human mind (rational) in creating a product called knowledge. The philosophers
could interpret, answer the questions, and also solve the problems by using all
these ideologies (Theology, Peripatetisme, Gnosisme, Illuminasionisme, And
Transendentalisme) as human being, we should have found the truth that did not
stand againsst islamic laws, because the truth in islam could be found through
rational it self. Because it could be could be concluded that knowledge in islam
could be gained through revelation, senses, and rational.


Keywords : definition, characteristic, classification, theology, Peripatetisme,
Gnosisme, Illuminasionisme, And Transendentalisme.

Berkembangnya
pemikiran

pendidikan

menghasilkan nilai-nilai

Pendidikan
Islam

yang

Islam

merupakan

memadai,


terus

hasil

pertumbuhan

menerus,

sehingga

nyata yang bermanfaat bagi umat Islam. Dalam

merumuskan pemikiran Pendidikan Islam kira harus lebih dahulu memahami
aliran yang menguraikan sebuah penegrtian, karakteristik, dan klasifikasi sehingga
kita bisa memahami isi sebuah pemikiran. Aliran yang ikut andil dalam
mengembangkan pemikiran pendidikan Islam diantaranya adalah: Teologi,
Parepatetisme, Gnosisme, Ilumanisme, dan Transdentalisme. Aliran ini mencoba
3
Makalah ini masih dalam proses diskusi


mengurai kebenaran yang tidak lepas dari pegangan utama yaitu Alquran dan
Hadis yang dijadikan sebagai pedoman untuk mengarahkan akal dalam mencapai
kebenaran. Sehingga dengan akal rasional manusia juga bisa mendapatkan
pengetahuan. Dengan aliran Teologi, Parepatetisme, Gnosisme, Ilumanisme, dan
Transdentalisme para pemikir, bisa menafsirkan, memberikan jawaban bagi
permasalahan-permasalahn yang belum bisa dituntaskan. Karena dalam kehidupan
manusia harus mencari sebuah kebenaran, yang kebenaran itu tidak bertolak
belakang dengan syariat, dan agama mencari kebenaran dengan menggunakan
akal. Dapat difahami bahwa ilmu-ilmu dalam islam diperoleh dengan wahyu,
panca indra, dan akal rasional.

Kata kunci: Pengertian, karakteristik, klasifikasi, Teologi, Parepatetisme,
Gnosisme, Ilumanisme, dan Transdentalisme.

4
Makalah ini masih dalam proses diskusi

BAB I


PENDAHULUAN

Pendidikan Islam yang akan kita kembangkan seharusnya memiliki
sebuah paradigma yang kokoh secara spiritual dan unggul secara intelektual, dan
dengan penanaman moral yang berlandaskan Alquran. Jangan sampai umat Islam
kehilangan kiblat dalam meraih peradaban yang lebih baik, khususnya dalam
bidang pendidikan.
Pertumbuhan pendidikan Islam lahir dari ide para pemikir Islam yang
berusaha menggali, mendalami dan menyumbangkan pemikirannya dalam dunia
Islam. Sehingga dengan karya-karya mereka kita bisa mengkaji ulang,
mengkritisi, dan menganalisis sehingga temuan-temuan bisa kita jadikan i’tibar
dan sebagai khazanah ilmu.
Dalam mencapai sebuah kebenaran haruslah dengan menggunakan sumber
utama dalam ajaran Islam, yaitu Alquran dan Sunnah. Para pemikir berusaha
mengurai, mengkaji ilmu-ilmu yang terdapat di dalamnya. Selain itu, kebenaran
ilmu juga bisa kita peroleh dengan akal rasional selama batasan-batasan syariat
tetap jadi tolak ukurnya.
Kebenaran suatu ilmu bisa lahir dari gagasan-gagasan para ilmuan muslim
dan mengelompokkannya dalam sebuah pemahaman, aliran, dan keyakian yang
bisa diterima oleh akal rasional. Dengan hasil pemikiran para ahli diharapkan kita

bisa meraih kembali masa-masa kejayaan pendidikan Islam yang terhitung dengan
waktu yang sangat panjang.
Diantara Pergumulan pendidikan Islam erat kaitannya dengan Teologi,
Peripatestisme, Gnosis, Ilumanisme, dan Transdentalisme. Untuk lebih jelasnya
maka pemakalah akan membahas tentang pengertian, karakteristik, dan klasifikasi
aliran Teologi, Peripatestisme, Gnosis, Ilumanisme, dan Transdentalisme.

5
Makalah ini masih dalam proses diskusi

BAB II

PEMBAHASAN

A. Teologi
Teologi banyak memiliki nama, selain disebut teologi, aliran ini disebut
pula sebagai ‘ilm kalam, ‘Ilm Tauhid. ‘lm Fikih al-Akbar, ‘Ilm Ushul al-Din, ‘Ilm
‘Aqaid,, ‘Ilmi Nazhar wa al-Istidlal, dan ‘Ilm Tauhid wa al-Sifat. Meskipun de b
al-kalam al-ilahi’ (golongan yang ahli bicara ketuhanan) dan al-mutakllimun


mikian, semua nama itu merujuk kepada salah satu cabang keilmuan Islam yang
membahas tentang dasar-dasar keimanan.1
Istilah Teologi memang dikursus mengenai Tuhan, Dalam literatur filsafat
Islam, istilah teologi memang diterjemahkan ke dalam bahasa arab menjadi ‘asha
al-ilahiyat’ (mereka yang membahas soal-soal ketuhanan).2

1. Pengertian Teologi
Secara etimologi, istilah teologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu theos
dan logos. Kata theos bermakna Tuhan, dan kata logos bermakna ilmu dan
pengetahuan. Dalam bahasa Indonesia, teologi memiliki makna sebagai
pengetahuan ketuhanan. Secara etimologi, istilah teologi memiliki arti
pengetahuan mengenai tuhan.3
Secara etimologi, istilah kalam berasal dari bahasa arab, artinya adalah
‘kata, dan perkataan’. Kata ini lebih dimaksud sebagai sebuah ilmu, yaitu ilmu
kalam (scholastic theology). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Istilah kalam
diartikan sebagai perkataan Allah. Dalam hal ini kalam diartikan sebagai
pembahasan tentang masalah teologi (ilmu ketuhanan).4
Secara terminologi, para pemikir Muslim telah memberikan definisi
kalam. Al Farabi (w. 950) misalnya, mendefinisikan kalam sebagai “ilmu yang
memungkinkan seseorang untuk menopang kepercayaan-kepercayaan tertentu dan

1
2

Siddik dan Ja’far, Jejak Langlah Intelektual Muslim (Medan: IAIN Press, 2010), h. 9.
Syamsuddin Arifin, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran (Depok: Gema Insani, 2008),

h. 46-47.
3
4

Ibid., h. 9.
Ibid.

6
Makalah ini masih dalam proses diskusi

perbuatan-perbuatan yang ditetapkan oleh Sang Pembuat Hukum agama dan
untuk menolak opini-opini yang bertentangan dengannya.5. Ibn Khaldun (w 1404)
menjelaskan bahwa ilmu kalam adalah ilmu yang melibatkan argumentasi dengan
bukti-bukti rasional untuk membela rukun-rukun iman dan menolak para ahli

bid’ah yang menyimpang dari kepercayaan kaum Muslin generasi awal dan
ortodoksi Muslim.6 Muhammad Abduh menyatakan bahwa teologi adalah ilmu
yang membahas tentang wujud Allah dan sifat-sifatnya, baik yang wajib maupun
yang mustahil, juga keberadaan para Rasul untuk menguatkan risalah mereka, dan
segala sesuatu yang wajib, yang boleh dan yang tidak boleh disandarkan kepada
mereka.7
Dalam agama Kristen teologi tidak hanya berusaha memberikan suatu
pertahanan rasional untuk keyakinan, tetapi ia juga berusaha memberikan suatu
‘pintu masuk’ realitas tertinggi bagi kehidupan sprit (jiwa), seperti ditemukan
dalam teologi mistik Dionisiyus the Areopagite atau, dalam konteks Protestan
dalam Theologika Germanica Martin Luther . Hal yang seperti itu tidak terjadi
dalam Islam, dimana kalam yang secara literal berarti ‘kata’ telah berkembang
menjadi “ilmu yang menunjang tanggung jawab kepercayaan-kepercayaan agama
yang mapan secara kokoh, memberi bukti dan menghalau keragu-raguan. 8

2. Karakteristik Teologi
Secara metodologi, aliran Kalam menggunakan motode seperti kaum
Parepatetik, yaitu metode deduktif silogistik, karena itu metode ini memandang

ilmu logika (‘ilm mantiq) sangat penting, sebab metode deduktif silogistik dibahas

secara luas dalam ilmu logika, bahkan metode ini menjadi inti pembahasan ilmu
logika itu sendiri. Secara etimologi, istilah logika berasal dari bahasa Yunani,
logos, yang berarti kata, berbicara, alasan. Dalam bahasa Inggris disebut logik,

5

Ibid., h. 10.
Ibid.
7
Ja’far, Gerbang-Gerbang Hikmah
Pena, 2011), h. 52.
6

Pengantar Filsafat Islam (Banda Aceh: Penerbit

7
Makalah ini masih dalam proses diskusi

sedangkan dalam bahasa arab disebut ilm mantiq, yang artinya ilmu berbicara
tentang rasional. Kata mantiq berasal dari kata nathaq yang berarti berbicara.9
Dalam konteks ini, para teolog dituntut menguasai, memahami dan
mengaplikasikan ilmu logika secara tepat, karena ilmu ini sangat berpengaruh dan
membantu seorang teolog meraih dan mewujudkan pengetahuan yang benar, jadi
dari segi metodologis, aliran teologi menggunakan akal rasional atau logika agar
bisa memperoleh kebenaran yang sebenarnya.
Metode deduktif silogistik ini dibahas secara rinci dalam ilmu logika.
Metode ini disebut dengan silogisme. Silogisme merupakan suatu bentuk
penyimpulan tidak langsung. Metode ini menjadi contoh tentang berfikir deduktif,
yaitu suatu usaha rasio untuk mengambil sebuah keputusan khusus berdasarkan
keputusan-keputusan umum terdahulu. Dalam silogisme kesimpulan terdahulu
harus terdiri dari dua keputusan (kalimat) saja, salah satu keputusan tersebut harus
universal, dan diantara dua keputusan itu harus ada suatu unsur yang sama-sama
dimiliki oleh kedua keputusan tersebut. Dengan kata lain silogisme terdiri atas
tiga komponen, yaitu keputusan pertama yang disebut premis mayor
(muqoddimah kubra), keputusan yang kedua disebut premis minor (muqoddimah
sughra), dan kesimpulan yang disebut dengan konklusi (natijah). Sedangkan

unsur yang sama antara kedua keputusan disebut term penengah (al-had alausath). Premis mayor dan premis minor harus sebuah keputusan yang

kebenarannya tidak diragukan lagi. Dalam logika premis ini harus diperoleh
secara induktif maupun deduktif. Cara berfikir induktif adalah suatu usaha
mendapatkan suatu pemahaman umum dari pemahaman-pemahaman khusus.
Sebaliknya, cara berfikir deduktif adalah usaha mendapatkan sebuah pemahaman
khusus dari kesimpulan-kesimpulan umum. Secara sederhana, inilah gambaran
umum tentang metode deduktif-silogistik tersebut.10

3. Spesifikiasi Teologi
Berdasarkan paparan diatas yang menjadi spesifikasi aliran teologi adalah
bahawa premis-premis akal rasional dimulai dengan baik dan buruk dan

9

Siddik dan Ja’far, Jejak , h. 12.
Ibid., h. 13.

10

8
Makalah ini masih dalam proses diskusi

menjadikan agama sebagai tolak ukurnya. Bahwa teologi beranjak dari ajaranajaran syariat Islam (Alquran dan Sunnah) dan kebenarannya juga bisa diterima
oleh akal. Misalnya, di dalam Alquran dijelaskan bahwa Allah yang menciptakan
langit dan bumi dan pergantian siang dan malam, sebagaimana tercantum dalam
(Q.S al-‘Imran/3: 190).

☺











  

  

Artinya: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya
malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.

Berdasarkan ayat di atas kita ketahui bahwa wahyu menjelaskan tentang
penciptaan langit dan bumi serta pergantian siang dan malam, dan hal ini bisa
diterima oleh akal rasional manusia, karena kita bisa merasakan dan mengalami
perubahan-perubahan tersebut.

B. Paripatetisme
1. Pengertian Peripatetisme
Secara etimologi, Istilah “Peripatetik” berasal dari Yunani, peripatos. Kata
ini diartikan sebagai berkeliling, berjalan-jalan, tempat berlindung, tempat
bersembunyi, tempat berjalan-jalan, dan atau percakapan sambil berjalan-jalan.
Istilah ini dikenal sebagai julukan bagi pengikut ajaran Aristoteles. Setelah
Aristoteles wafat ajarannya dikembangakan oleh pengikutnya, antara lain
Theopharatos, Strato, Andronikos, dan Alexander Aphrodisias. Mereka sebagai
komentator pertama ajaran Aristoteles, dan pendukung mazhab Peripatetis.11
Sedikitnya ada dua pandangan tentang asal usul penanaman Peripatetis
bagi para pengikut Aristoteles. Pertama. Penggunaan ini mengacu kepada metode
mengajar Aristoteles. Aristoteles mengajarkan filsafat kepada muridnya sambil
berjalan-jalan. Pandangan ini sebenarnya diadopsi dari Protagoras, namun banyak
11

Ibid., h. 33.

9
Makalah ini masih dalam proses diskusi

orang mengenal Perepatetik sebagai metode mengajar Aritoteles dan pengikutnya.
Kedua, Pandangan ini sama sekali bukan mengacu kepada metode mengajar tetapi
tempat belajar Aritoteles. Dalam bahasa Yunani istilah peripatos mengacu kepada
suatu tempat (ruangan) di serambi gedung olahraga Athena. Aristoteles mengajar
para muridnya di tempat ini sambil berjalan-jalan. Para penerus Aristoteles pun
menggunakan ruangan ini sebagai tempat pembelajarn filsafat.
Secara terminologi, para filsuf Peripatetik telah memberikan beragam
definisi tentang makna filsafat. Nasr menuliskan sejumlah makna filsafat menurut
al-Kindi (801-865), filsuf muslim pertama, mengungkapkan bahwa filsafat adalah
“pengetahuan tentang realitas hal-hal yang mungkin bagi manusia, Karena tujuan
puncak seorang filosof dalam pengetahuan teoritis adalah untuk memperoleh
kebenaran. Al-Farabi (870-950 M) menulis bahwa filsafat adalah “induk ilmuilmu dan mengkaji segala yang adaa Ibnu Sina menulis bahwa filsafat adalah
usaha untuk mencapai kesempurnaan jiwa melalui konseptualisasi atas segala hal
dan pembenaran realitas-realitas teoritis dan praktis berdasarkan pada ukuran
kemampuan manusia.12

2. Karakteristik Peripatetisme
Peripatetisme dikenal sebagai aliran yang mensintesiskan antara syari’at
Islam, Aristotelianisme dan Neo Platonisme. Ketiga komponen ini berhasil
diharmoniskan oleh para filsuf Peripatetisme. Dengan demikian dapat dipahami
bahwa aliran Peripatetisme Islam bukan hanya masya’iyah dalam makna aliran
Aristotelian, akan tetapi lebih dominan merupakan suatu kombinasi antara
prinsip-prinsip Islam dengan Aristotelian dan Neo Platonik secara bersamaan.
Aliran Filsafat yang dikenal baik sebagai masysya’i atau filsafat
Perepatetik adalah sintesis ajaran-ajaran wahyu Islam, Aristotelianisme dan
Neoplatonisme, baik Atenian maupun Alexandrian, ditemukan pada abad III/IX
dalam iklim intelektual yang kaya di Bagdad oleh Abu Ya’kib al-Kindi (w.
260/873). Ia juga termasuk filosof yang banyak karyanya, dan telah menyusun
lebih dari dua ratus penjelasan secara rinci, dalam kaitannya dengan sains dan
filsafat, mulai sebuah kecendrungan yang mencirikan kelompok muslim bijaksana
12

Ibid., h. 35.

10
Makalah ini masih dalam proses diskusi

yakni filosof-saintis yang bukan hanya filosof-filosof. Perhatian utamanya adalah
menemukan kebenaran dimanapun ia ada. Dalam sebuah pernyataan yang terkenal
dan sering diulang berapa abad, yang mencirikan semua filsafat Islam ia hanya
menyatakan.

Kita

tidak

akan

pernah

malu

mengakui

kebenaran

dan

mengambilnya dari sumber manapun ia datang bagi kita, sekalipun ia dibawa
generasi baru dan orang asing. Bagi mereka yang mencari kebenaran tidak ada
nilai yang lebih tinggi dari pada kebenaran itu sendiri. Kebenaran tidak akan
pernah merendahkan atau merendahkan dirinya yang mencapai, tapi baginya
penghormatan dan penghargaan.
Inilah konsep universal tentang kebenaran yang selalu mencirikan filsafat
Islam, sebuah kebenaran, bagaimanapun, tidaklah dibatasi keterbatasanketerbatasan penalaran.13
Aliran Peripatetik (Hikmah al-masya’iyah) disebut juga hikmah albasyhtiyah . Penamaan ini ini dilatari oleh argument bahwa aliran ini bertumpu

kepada silogisme (qiyas), argumentasi (istidlal) dan demonstrasi rasional
(burhanul aqli). Jadi, secara epistemologis , aliran Parepatetik ini menggunakan

metode deduktif silogistik. Jelas sekali bahwa, seperti kaum teolog, aliran ini
sangat bertumpu kepada ilmu logika (‘ilm mantiq). Karena ilmu itu membahas
metode deduktip-silogistik tersebut.
Parepatetik Islam atau filsafat masysya’i mencapai puncaknya dengan Ibnu
Sina, yang barang kali terbesar dan secara pasti mempengaruhi sebagian besar
filosof-filosof Islam, dalam suatu pengertian sebagai bapak, khususnya filsafat
abad pertengahan secara luas dimana filsafat itu memberikan perhatian secara
mendasar tentang wujud. Dalan karya-karya Peripatetik yang dibanggakan seperti
al-syifa ’. Ibnu Sina membuat sintesis final tentang Islam dengan filsafat

Aritotelianisme dan Neoplatonisme, yang menjadi sebuah dimensi intelektual
yang permanen dalam dunia Islam dan bertahan sebagai ajaran filsafat yang hidup
sampai hari ini.14

3. Spesifikasi Parepatetik

13

Seyyed Hossein Nasr, Intelektual Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 31-32.
Ibid., h. 38-39.

14

11
Makalah ini masih dalam proses diskusi

Aliran Peripatetik ini hampir mirip dengan aliran Teologi, persamaannya
sama-sama menggunakan metode deduktif-silogistik, hanya saja teologi beranjak
dari wahyu setelah itu memerankan akal sebagai alat mencari kebenaran. Namun,
Parepatetik ini mendasari premisnya dengan akal. Dalam sebuah silogisme terdiri
dari tiga komponen, yaitu premis mayor (muqoddimah kubra), premis minor
(moqoddimah sugra) dan adanya konklusi (natijah) Misalnya:

Premis mayor :
Manusia itu adalah hewan (al-insanu hayawanun).
Premis minor:
Hewan itu bertutur (Hayawanun Natiq)
Konklusi:
Manusia itu bertutur (al-insanu al-natiq)

C. Gnosime
1. Pengertian Gnosisme
Dalam Islam, ada dua istilah yang digunakan sebagai maksud dari
Gnosisme (mistisme Islam), yaitu tashawuf dan irfan. Kedua istilah ini memiliki
beberapa perbedaan, seperti dijelaskan berikut ini.
Dalam konteks term tasawuf, ada delapan pendapat tentang asal-usul
istilah tasawuf (sufi):15
a. Pendapat bahwa tasawuf berasal dari kata suf. Pendapat ini sangat paling
popular, kata ini mengandung arti kain wol. Kata ini diambil karena
simbol kesederhanaan dan kemiskinan. Karenanya, kata ini menjadi asal
kata tasawuf, karena sufi menempuh hidup sederhana, dan mereka tidak
ubah seperti orang miskin, namum memiliki hati suci dan mulia.
b. Pendapat bahwa istilah ini berasal dari kata ahlal suffah yaitu orang-orang
yang ikut pindah dengan Nabi Muhammad saw. Dari Makkah ke Madinah.
Karena kehilangan harta, mereka tinggal di mesjid dan tidur memakai
bangku batu dengan memakai pelana (suffah) sebagai bantal.
c. Pendapat bahwa istilah ini berasal dari kata saf yaitu orang yang shalat di
saf pertama. Karena itu, mereka diberikan Allah kemuliaan dan pahala.
15

Siddik dan Ja’far, Jejak, h. 58-59.

12
Makalah ini masih dalam proses diskusi

d. Pendapat bahwa kata ini berasal dari sufi yaitu suci, kata ini dianggap
sebagai asal-usul kata tasawuf, karena para sufi memiliki dan telah
mensucikan diri mereka setelah menempuh latihan ruhani sekian lama.
e. Pendapat bahwa istilah ini berasah dari bahas Yunani, yaitu kata sophos
bermakna hikmah atau kebijaksanaan. Kata ini diakui sebagai asal-usul
kata tasawuf, Karena para sufi telah mencapai kebijaksanaan setelah
mereka melakukan pensucian diri (tazkiyaj al-nafs).
f. Pendapat bahwa istilah taswauf berasal dari kata shafa, yang artinya
bersih. Kata ini diyakini sebagai asal-usul kata tasawuf, Karena para sufi
memiliki jiwa dan hati yang suci.
g. Pendapat bahwa istilah tasawuf berasal dari kata shaufanah. Kata ini
diartikan sebagai buah-buahan kecil yang berbulu lebat. Para sufi memakai
pakaian yang berbulu lebat, seperti buah tersebut. Karena itulah kata
tasawuf berasal dara kata saufanah.
h. Pendapar bahwa kata tasawuf berasal dari seorang sufi yaitu Abu Hasyim
al-Sufi. Abu Hasyim dianggap sebagai orang pertama kali menggunakan
kata sufi, dan ia menggunakan kata ini sebagai mana nama belakang.

Dari uraian di atas pendapat pertama lebih popular dibandingkan pendapat
lainnya. Sebab, para sufi baik secara lahiriah maupun batiniah mencerminkan
filosofi wol. Secara lahiriyah mereka memakai pakaian yang terbuat dari wol.
Sedangkan secara batiniah mereka memiliki sikap hidup sederhana.
Dalam kehidupan tasawuf hubungan manusia dengan Tuhan mempunyai
peranan yang penting karena Tuhan telah menciptakan manusia, dan Karena itu,
timbullah rasa terima kasih dan cinta disanubari manusia. Karena rasa terimakasih
inilah manusia mau mendekati tuhan, dan tuhan akan mencintai manusia. Tasawuf
juga merupakan suatu usaha untuk mencapai pembebasan diri lewat tauhid.16
Secara terminologi, sejumlah sufi telah memberikan definisi tasawuf. AlKalabazi menyebut sejumlah definisi tasawuf menurut para sufi. Al-Junaidi
mengatakan bahwa tasawuf adalah, memurnikan hati dari berhubungan dengan
Fadlil Munawar Mansur, “Tasawuf dan Sastra Tasawuf dalam kehidupan pesantren,”
dalam. Jurnal Humaniora, Vol. II, No. 10, 1999.
16

13
Makalah ini masih dalam proses diskusi

makhluk lain, meninggalkan sifat-sifat alamiah, menekan sifat-sifat manusiawi,
menghindari godaan jasmani, mengambil berbagai sifat ruh, mengingatkan diri
kepada ilmu-ilmu hakikat, sungguh-sungguh beriman kepada tuhan dan mengikuti
syariat Nabi Muhammad saw. Sahl Abd Allah al-Tustari menyebut sufi (ahli
tasawuf) adalah orang yang bersih dari ketidakmurnian dan selalu merenung,
memutuskan hubungan dengan manusia lain demi mendekatkan diri kepada
Allah.17
Dalam konteks makna irfan, bahwa kata ‘irfan berasal dari kata kerja
lampau ‘arafa, yang bermakna mengetahui. Irfan diartikan juga sebagai
pengetahuan dan ma’rifat. Ibnu Sina mengatakn bahwa ‘irfan adalah memisahkan
diri dari semua kesibukan kepada selain Allah swt. Sampai menjadi fana’ dan
meleburkan diri bersama Ilahi, sehingga bisa berprilaku sesuai akhlak Ilahi dan
mencapai hakikat tunggal, hingga mencapai kesempurnaan.18

2. Karakteristik Gnosis
Tasawuuf atau sufisme sebagaimana halnya dengan mistisme di luar
agaman Islam, mempunyai tujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari
dengan tuhan sehingga didasari benar bahwa seseorang berasa di hadirat tuhan.
Inti dari aliran mistisme, disadari bahwa diri manusia akan menjalin komunikas
serta dialog dengan cara ‘uzlah (menyendiri) menghadap tuhan. Hal ini
merupakan suatu cara agar bisa ittihad bersatu dengan tuhan.19
Secara umum, kaum sufi hanya bertumpu kepada metode penyucian jiwa
(taskiyah

al-nafs)

semata,

mereka

melakukan

perjalanan

rohani

guna

mendekatkan diri kepada Allah swt. Sehingga mereka bisa mengetahui bahkan
sampai kepada hakikat. Dengan kata lain metode ini menggunakan metode intuitif
(eksferensial). Aliran ini menolak penggunaan argumentasi rasional, sembari
meyakini bahwa kaki kaum rasional sebagai terbuat dari kayu rapu. Bagi aliran
ini, pengetahuan sebagai hasil penyingkapan intuisi lebih unggul dari pada
pengetahuan sebagai hasil olah akal, sehingga pengetahuan para sufi sebagai hasil

17

Siddik dan Ja’far, Jejak Langkah, h. 60
Ibid., h. 6 .
19
Harun Nasution, Falsafat Mistisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), h. 56.
18

14
Makalah ini masih dalam proses diskusi

dari penyingkapan yang dicapai mereka lebih unggul dari pengetahuan filsuf
sebagai hasil dari silogisme akal.20

3. Spesifikasii Gnosis
Dalam mencapai kebenaran, aliran Gnosime menggunakan metode
tazkiyah al-Nafs, dan dalam pelaksanannya mereka mereka menggunakan metode

intuitif. Dalam perjalannannya mencari kebenaran tidak bisa menggunakan
rasional karena harus melewati beberapa tahapan, mulai dari mengosongkan hati,
mengisinya dengan nilai Islam serta menjaganya agar hati tetap tertuju kepada
penciptanya.
Dalam ajaran sufi, tazkiya al-nafs dilaksanakan dengan tahapan-tahapannya,
yaitu tahapan membersihkan jiwa, yang hal ini dinamakan sebagai usaha untuk
menyingkap tabir penghalang antara manusia dengan tuhannya, tahapan tersebut
terdiri dari takhalli, tahalli, dan tajalli.21 Sehingga jelas bahwa tujuan akhir dari
motode tazkiya al-nafs adalah mendekatkan diri kepada Allah.

D. Illuminasionisme
1. Pengertian illuminasionisme (Hikmah Isyraqiyah)
Illuminasionisme ini dikenal sebagai sebuah aliran dalam filsafat di
kalangan para filosof, orang-orang di negara barat menyebutkan istilah
illuminasionisme ini sebagai the philosofhy of illumination, the wisdom of isyraq,
dan theosophie Orientale. Dan dikalangan orang-orang arab illuminasionisme ini
disebut sebagai istilah hikmah al-isyraq. Istilah ini terdiri dari dua kata, yaitu
hikmah dan isyraq.22

Kata hikmah memiliki kemiripan arti dengan kata falsafah. Kata falsafah
lebih dahulu muncul di kalangan para filosof muslim, dan pastilah kata falsafah
banyak dipakai oleh kalangan para filosof muslim pada masanya, setelah itu selain
kata falsafah, maka muncullah kata hikmah yang juga digunakan oleh kalangan
para filosof muslim.23
Siddik dan Ja’far, Jejak langkah, h. 62.
Asmaran AS, Pengantar Studi Tasawwuf (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2002), h. 67.
22
Siddik dan Ja’far, Jejak langkah, h. 88.
23
Ibid., h. 88.

20
21

15
Makalah ini masih dalam proses diskusi

Secara bahasa, kata hikmah diartikan dengan “kebijaksanaan” dan jika
dibawa ke dalam bahasa indonesia, hikmah diartikan sebagai kebijaksanaan dari
Allah swt. Secara terminologis seperti yang dikatakan di dalam buku jejak
langkah intelektual Islam yang ditulis oleh Dja’far siddik bahwa hikmah tidaklah
hanya berupa hasil dari kerja akal semata, namun meminjam definisi dari
Toshihiko Izutsu “produk orisinil aktifitas akal analitis yang keras dan didukung
oleh tangkapan intuitif yang penting tentang realitas” oleh karena itu hikmah tidak
hanya dimaknai sebagai hasil kerja akal manusia saja, namun dimaknai sebagai
hasil kerja yang menjadi perpaduan antara kerja akal dan intuisi manusia dalam
memahami realitas.
Sedangkan kata al-isyraq diartikan sebagai iluminasi, dan istilah ini
diartikan sebagai cahaya pertama pagi hari, yang mana cahaya di pagi hari seperti
yang sudah kita ketahui bersama bahwa cahaya tersebut muncul dari arah timur,
dalam hal ini kata isyraq diambil dari bahasa arab yaitu syarq yang arti nya timur,
kemudian dikaitkan dengan pengistilahan kata isyraq dalam pembahasan ini.
Dengan demikian, istilah hikmah al-isyraq dapat diartikan sebagai kebijaksanaan
cahaya.24

2. Karakteristik Illuminasionisme (hikmah isyraqiyah)
Illuminasionisme adalah sebuah pengetahuan yang bersifat cahaya yang
datangnya dari Tuhan dan hadir secara sepontan, tentunya melalui proses, ada 4
tahap yang harus dilalui oleh para filosof seperti yang tertera berikut:25
a. Seorang filsuf harus melakukan sejumlah persiapan awal. Ia harus
meninggalkan kenikmatan dunia agar ia bisa dengan mudah menerima
pengalaman.
b. Seorang filsuf akan memasuki tahap iluminasi, yakni ketika ia mencapai
visi melihat cahaya ilahi. Cahaya ilahi ini akan memasuki wujudnya, dari
cahaya ini, ia akan memperoleh ilmu hakiki, sebuah ilmu dasar bagi ilmuilmu sejati.

24
25

Ibid., h. 99.
Ibid., h. 91.

16
Makalah ini masih dalam proses diskusi

c. Filsuf tersebut telah memperoleh pengetahuan tak terbatas. Lalu ia
mengkonstruksi ilmu tersebut dengan menggunakan filsafat diskursif.
d. Filsuf mulai menuliskan hasil konstruksi atas pengalaman secara diskursif
atau dalam kata lain filsafat iluminasi diturunkan dalam bentuk tulisan.
Dalam hal ini dapat kita pahami bahawa illuminasionisme adalah sebuah
proses penggabungan antara proses kerja otak dan cahaya yang didapatkan dari
Tuhan, sebagai pencapaian dalam hakikat sesuatu.

3. Spesifikasi Illuminasionisme (Hikmah Isyraqiyah)
Suhrawardi sebagai tokoh aliran Illuminasionisme menegaskan bahwa
sejak semula telah ada suatu “olahan abadi” (al-hamirat al-azaliyah), yang tiada
satupun melainkan kebijakan abadi atau shopia prennis Ia disamarkan dalam
subtansi manusia yang siap “diolah” dan diaktualisasikam melalui latihan
intelektual dan pensucian hati. Aliran ini menggabungkan antara platonisme
dengan metrik Islam. Dan pencapaian pengetahuan adalah melalui Tuhan dan
kitab sucinya, Hikmah tidak diharapakn hanya seorang yang memiliki
pengetahuan rasional, tetapi jadi orang suci, karena ditranformasikan oleh
pengetahuannya.
Falsafat isyraqy bahwa manusia dipimpin oleh suatu pengetahuan yang
merupakan cahayanya sendiri, sebagaimana nabi bersabda “al’ilmu nurun” ilmu
itu cahaya. Dan hikmah al-isyraq tidak bisa diajarkan kepada setiap orang, untuk
hal tersebut jiwa manusia harus dilatih dengan latihan-latihan yang bersifat
filosofis secara keras dan jiwanyya harus disucikan melalui usaha batin untuk
menundukkan ular naga batin berupa nafsu ruhani.26

E. Transendentalisme
1. Pengertian transendentalisme (Hikmah Muta’aliyah)
Adapun transdentalisme ini adalah sebuah aliran Filsafat yang dibawa oleh
seorang filosof Syi’ah yang bernama Shadr al-Din al-Syirazi 1640 masehi pada
abad ketujuh belas, yang juga dikenal dengan nama Mulla Shadra. Mulla Shadra
26

Nasr, Intelektual Islam, h. 74.

17
Makalah ini masih dalam proses diskusi

adalah seorang filosof yang telah berhasil mensintesiskan ketiga aliran filsafat
yang telah menjadi sebuah pembahasan yang didiskusikan seperti Peripatetik,
Iluminasi dan ‘Irfani.
Di dalam aliran Al-Hikmah al-Muta’aliyah ini tidak hanya membahas
tentang yang menampilkan sintesa pemikiran saja, akan tetapi mengangkat sebuah
hasil

pemikiran itu dengan bukti-bukti yang terdapat dari

Alquran maupun

Hikmah

mempunyai

Hadis.
diidentik

dengan

kata

falsafah

yang

arti

kebijaksanaan, dan dalam hal ini Alquran menjustifikasikan filsafat sebagai
sinonim dari kata hikmah yang mana kata hikmah ini tercantum dalam Alquran
sebanyak 20 kali.27
Sedangkan kata Muta’liyah memiliki sejumlah pengertian, sesuai dengan
pendapat Hasan Bakti di dalam buku Jejak Intelektual Islam yang ditulis oleh
Dja’far siddik antara lain:
a.

Apabila diambil dari kata ta’la, maka Muta’aliyah mempunyai arti kata
“yang tinggi” dalam hal ini Muta’aliyah diartikan sebagai sistem
filsafat yang melampaui filsafat-filsafat sebelumnya.

b.

Apabila ditinjau dari segi tujuannya maka Muta’aliyah bisa diartikan
sebagai proses mengenal Allah sebagai Muta’aliyah, dan dalam konteks
ini dapat diartikan sebagai “yang tertinggi” yang tersempurna dan yang
berada dalam jangkauan alam.

Berdasarkan dari kedua pemaknaan di atas maka Hikmah Muta’aliyah
dapat diartikan sebagai metode filsafat Islam yang berupaya mengenal Allah
sebagai yang “trancendent”, dengan menggunakan metode yang dikelompokkan
kepada metode diskursif, intuitif, dan syari’ah.28
2. Karakteristik transendentalisme (Hikmah Muta’aliyah)
Hikmah Mutaaliyat terlihat jelas dalam kata-kata Mulla Shadra sendiri “

pengetahuan Hikmah Muta’aliyah haruslah didasarkan pada argumentasi rasional
dan pandangan rohani serta sesuai dengan syariat”, adalah mustahil hukum27
28

Sidik dan Ja’far, Jejak Langkah, h. 119.
Ibid., h. 120.

18
Makalah ini masih dalam proses diskusi

hukum syariat yang benar berbenturan dengan pengetahuan yang terbukti
(pengetahuan intuitif), dan jelaslah aliran filsafat yang selaras dengan Alquran dan
sunnah. Dan jelas bahwa Hikmah Muta’aliyah memiliki tiga prinsip yakni
argumentasi, demonstratif, dan pembuktian intuitif. Baik Alquran, Hadis-hadis
Nabi Muhammad saw.29 Dari prinsip-prinsip tersebut bisa dilihat sumber-sumber
ajaran Hikmah Muta’aliyah bersumber pada syari’at Islam, Kalam, Peripatetik,
Illuminasi, dan Gnosis.
3. Spesifikasi Transendentalisme (Hikmah Muta’aliyah)
Ajaran-ajaran dari berbagai tradisi tersebut mengilhami doktrin-doktrin
aliran Hikmah Muta’aliyah. Kendati demikian doktrin-doktrin berbagai aliran
tidak begitu saja diadopsi, tanpa melewati kritik konstruktif. Kenyataan pada
doktrin Hikmah Muta’aliyah melahirkan dua asumsi penting, pertama Doktrin
hikmah Muta’aliyah bisa difahami secara baik dan benar apabila doktrin-doktrin
semua aliran pembentuk doktrin Hikmah Muta’aliyah ini telah difahami terlebih
dahulu secara sempurna. Kedua, Epitemologi Hikmah Muta’aliyah akan bisa
diketahui, dipahami, dan diterapkan secara benar apabila semua epitemologi
berbagai aliran filsafat pra Hikmah Muta’aliyah telah difahami dan dikuasai
secara baik dan benar.

29

Ibid., h. 122.

19
Makalah ini masih dalam proses diskusi

BAB III
KESIMPULAN
Spesifikasi aliran teologi adalah bahawa premis-premis akal rasional
dimulai dengan baik dan buruk dan menjadikan agama sebagai tolak ukurnya.
Bahwa teologi beranjak dari ajaran-ajaran syariat Islam (Alquran dan Sunnah) dan
kebenarannya juga bisa diterima oleh akal.
Aliran Peripatetisme dikenal sebagai aliran yang mensintesiskan antara
syari’at Islam, Aristotelianisme dan Neo Platonisme. Ketiga komponen ini
berhasil diharmoniskan oleh para filsuf Peripatetisme. Dengan demikian
Peripatetisme Islam bukan hanya masya’iyah dalam makna Aristotelian, tetapi
lebih merupakan kombinasi antara prinsip-prinsip Islam dengan Aristotelian dan
Neo Platonik sekaligus.
Kaum sufi hanya bertumpu kepada metode penyucian jiwa (taskiyah alnafs) semata, mereka melakukan perjalanan rohani guna mendekatkan diri kepada

Allah swt. Sehingga mereka bisa mengetahui bahkan sampai kepada hakikat.
Dengan kata lain metode ini menggunakan metode intuitif (eksferensial). Aliran
ini menolak penggunaan argumentasi rasional, sembari meyakini bahwa kaki
kaum rasional sebagai terbuat dari kayu rapu. Bagi aliran ini, pengetahuan sebagai
hasil penyingkapan intuisi lebih unggul dari pada pengetahuan sebagai hasil olah
akal.
Illuminasionisme adalah sebuah proses penggabungan antara proses kerja
otak dan cahaya yang didapatkan dari Tuhan, sebagai pencapaian dalam hakikat
sesuatu. Aliran ini menggabungkan antara platonisme dengan metrik Islam. Dan
pencapaian pengetahuan adalah melalui Tuhan dan kitab sucinya, Hikmah tidak
diharapakn hanya seorang yang memiliki pengetahuan rasional, tetapi jadi orang
suci, karena ditranformasikan oleh pengetahuannya.
Pengetahuan Hikmah Muta’aliyah haruslah didasarkan pada argumentasi
rasional dan pandangan rohani serta sesuai dengan syariat”, adalah mustahil
hukum-hukum syariat yang benar berbenturan dengan pengetahuan yang swabukti
(pengetahuan intuitif), Dari prinsip-prinsip tersebut bisa dilhat sumber-sumber

20
Makalah ini masih dalam proses diskusi

ajaran hikmah muta’aliyah bersumber pada syari’at Islam, Kalam, Peripatetik,
Illuminasi, dan Gnosis.

21
Makalah ini masih dalam proses diskusi

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Syamsuddin. Orientalis dan Diabolisme Pemikiran. Depok: Gema Insani,
2008.
AS, Asmaran. Pengantar Studi Tasawwuf. Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2002.
Nasution, Harun. Falsafat Mistisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1995.
Ja’far. Gerbang-Gerbang Hikmah

Pengantar Filsafat Islam. Banda Aceh:

Penerbit Pena, 2011.
Mansur, Fadlil Munawar. “Tasawuf dan Sastra Tasawuf dalam kehidupan
pesantren”. Jurnal Humaniora. Vol. II NO. 10. Januari-Februari 1999.
Nasr, Seyyed Hossein. Intelektual Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Siddik, Dja’far dan Ja’fa. Jejak Langlah Intelektual Muslim. Medan: IAIN Press,
2010.

22
Makalah ini masih dalam proses diskusi