QUO VADIS KOPERASI INDONESIA SEBUAH TARI

ESSAY COMPETITION
“Opini Tentang Penerapan Undang-undang Koperasi Nomor 17 Tahun 2012 pada Koperasi
di Indonesia”
QUO VADIS KOPERASI INDONESIA: SEBUAH TARIK ULUR ANTARA
‘PROFESIONALISASI’ DENGAN NILAI MORAL SISTEM EKONOMI
PANCASILA
Sebuah Studi Terhadap Implementasi dan Kontroversi Undang-Undang No. 17 tahun
2012 bagi perkembangan Koperasi Indonesia

Disusun oleh:
Nama : Desiana Rizka Fimmastuti
NIM : 10/ 305078/ SP/ 24358

JURUSAN POLITIK DAN PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2014

QUO VADIS KOPERASI INDONESIA: SEBUAH TARIK ULUR ANTARA
‘PROFESIONALISASI’ DENGAN NILAI MORAL SISTEM EKONOMI

PANCASILA
Sebuah Studi Terhadap Implementasi dan Kontroversi Undang-Undang No. 17 tahun
2012 bagi perkembangan Koperasi Indonesia

Koperasi merupakan salah satu garda terdepan penggerak perekonomian dalam sistem
kerakyatan yang diterapkan di Indonesia. Kehadiran koperasi merupakan perejawantahan dari
sistem ekonomi Pancasila, yang notabene merupakan sebuah sistem ekonomi yang
berlandaskan pada ideologi Pancasila baik dalam landasan teoritik maupun dalam
implementasinya. Menurut Mubyarto (1987), sistem ekonomi Pancasila merupakan sebuah
usaha bersama yang berasaskan kekeluargaan dan gotong royong. Idealnya, asas- asas inilah
yang akan menjadi roh penggerak koperasi.
Sebagai sebuah aktor yang berperan dalam perekonomian, keberadaan koperasi juga
ditopang oleh landasan legal formal yang mengalami dinamika dari waktu ke waktu.
Dinamika ini tidak terlepas dari pengaruh oleh rejim yang berkuasa pada saat itu. Pada era
saat ini, koperasi ditopang oleh landasan regulasi berupa Undang-Undang No. 17 tahun 2012.
Regulasi menjadi bagian menarik untuk dilihat secara lebih mendalam karena regulasi
menjadi landasan utama untuk melihat pergerakan koperasi pada dekade ini. Butir demi butir
pasal dapat menunjukkan bagaimana keberpihakan para pemegang otoritas terhadap
eksistensi koperasi, apakah pada arah profesionalisasi atau mengedepankan nilai moral
bangsa. Atas dasar inilah, tulisan ini mencoba untuk mengelaborasi lebih mendalam

mengenai nuansa politis yang dibawa oleh regulasi terbaru.
Untuk menghasilkan tulisan yang komprehensif, penulis terlebih dahulu memaparkan
perbedaan substantif antara UU No 17 tahun 2012 dengan Undang-undang Nomor 25 tahun
1992. Tidak lupa, penulis akan menyertakan konsekuensi regulasi terbaru bagi koperasi kini.
Kemudian penulis akan mengakhiri penulisan dengan memaparkan analisa dari sudut
pandang politik atas adanya regulasi terbaru.
KONSEKUENSI LOGIS HADIRNYA UU NO 17 TAHUN 2012

Koperasi secara legal formal ditopang oleh regulasi yang menjadi penentu arah
geraknya. Pada dekade ini, ada semacam hal baru bagi koperasi di Indonesia, dimana
Undang-Undang Nomor 17 tentang Perkoperasian telah diundangkan pada tanggal 30
Oktober 20121. Selain dari segi substansi, perubahan juga terjadi pada jumlah bab dan ayat
dimana peraturan lama hanya memuat 17 bab dan 67 ayat, sedangkan peraturan terbaru terdiri
dari 17 bab dan 126 ayat. Hal ini mengisyaratkan bahwa peraturan terbaru telah detail
mengatur koperasi, sehingga terdapat perbedaan mendasar dengan regulasi yang terbaru.
Berikut adalah beberapa esensi yang dapat ditarik melalui kehadirannya2:
1. Melalui regulasi ini, maka kedudukan koperasi akan semakin tegas, yakni sebagai
badan hukum dan badan usaha. Hal ini akan berimplikasi pula pada pemisahan
kekayaan anggota sebagai modal Koperasi dan adanya tanggungjawab terbatas dari
anggota.

2. Perubahan mendasar pada terkait dengan nilai, pendirian dan nama koperasi. Tidak
hanya itu, regulasi ini memperjelas mengenai keanggotaan, pengawas, dan pengurus
koperasi.
3. Terdapat hal baru dimana regulasi ini mengatur jenis koperasi yang mencakup
koperasi konsumen, koperasi produsen, koperasi jasa dan koperasi simpan pinjam,
yang harus termaktub dalam AD.
4. Pelayanan pada koperasi simpan pinjam (KSP) hanya dapat dilakukan kepada anggota
koperasi.
5. Pengawasan akan lebih efektif tatkala ada pembentukan lembaga pengawasan KSP.
Disamping itu, perlindungan atas KSP akan lebih baik karena adanya pembentukan
lembaga penjaminan KSP.
Disamping adanya beberapa esensi di atas, kehadiran regulasi ini semakin
mempertegas peranan Dekopin (Dewan Koperasi Indonesia) sebagai simpul perjuangan
Gerakan Koperasi di Indonesia. Hal ini disebabkan karena terdapat penguatan fungsi

1

Suwandi, 2012, ‘UU Nomor 17/2012, Apa yang Baru?’ dilihat pada 15 Januari 2014

2


Suwandi, 2012, ‘UU Nomor 17/2012, Apa yang Baru?’ dilihat pada 15 Januari 2014

supervisi, advokasi, penyadaran masyarakat untuk berkoperasi, mendorong kerja sama antar
koperasi, juru bicara gerakan koperasi dan memajukan organisasi anggotanya3.
Atas adanya peraturan ini, maka koperasi harus berbenah diri dengan segera untuk
menghadapi iklim baru. Beberapa hal yang harus diperhatikan koperasi salah satunya terkait
dengan perubahan anggaran dasar. Pada anggaran dasar, koperasi perlu menegaskan dirinya
terkait nama, usaha dan jenis koperasi. Pada sisi permodalan, koperasi juga perlu
mempersiapkan mengenai modal bagi keberlanjutan koperasi4. Aspek lain yang harus
diperhatikan bagi koperasi adalah untuk bersegera membenahi sistem manajemen,
mengupayakan penguatan kapasitas kelembagaan dan sumberdaya manusia, mempertahankan
dan meningkatkan kerjasama yang telah dibangun koperasi. Hal ini memang terlihat tidak
mudah, namun memang harus dipersiapkan mengingat segala sesuatu akan terawasi lebih
ketat guna menunjang profesionalisasi koperasi. Untuk itu, koperasi memang harus segera
memantapkan identitasnya agar tetap bertahan dan berdayasaing global.
Persiapan menyongsong peraturan baru tidak hanya perlu dilakukan oleh koperasi
selaku objek kebijakan. Lebih dari itu, peranan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah
juga sangat diharapkan baik dari sisi teknis, regulatif dan kontrol. Pada sisi teknis
pelaksanaan, pemerintah diharapkan untuk melakukan sosialisasi secara intensif untuk

menyamakan persepsi, agar kelak tidak menuai pro dan kontra dalam implementasi
kebijakan. Pada sisi regulatif, pemerintah harus menyelesaikan berbagai Peraturan
Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri (Permen) yang dimandatkan atas kelahiran UU
terbaru. Pada sisi kontrol, pemerintah perlu melayangkan pemberitahuan kepada
masyarakatyang berhubungan dengan koperasi. Hal ini penting mengingat adanya masa
peralihan dan belum tersedianya PP dan Permen yang baru.
Stakeholder lain yang harus bersiap diri atas adanya perubahan regulasi ini adalah
bagi Dekopin dan Dekopinda, yang harus segera berkonsolidasi untuk perubahan AD.
Kedepan harapannya Dekopin dan Dekopinda harus aktif dalam mengawasi perkembangan
koperasi serta memberikan masukan kepada pemerintah. Untuk menunjang tugas ini,
memang diperlukan percepatan pelaksanaan tugas yang perlu didukung oleh adanya
pembiayaan guna menunjang pengembangan Dewan Koperasi Indonesia.
3

Suwandi, 2012, ‘UU Nomor 17/2012, Apa yang Baru?’ dilihat pada 15 Januari 2014

4

Fawzy, Achmad 2013,’ Perbedaan UU No. 17 Tahun 2012 dengan UU No. 25 Tahun 1992’ dilihat pada 16 Januari 2014



QUO VADIS KOPERASI INDONESIA: ANTARA PROFESIONALISASI ATAU
MEMPERTAHANKAN NILAI BANGSA
Dengan adanya beberapa point perubahan yang telah dijabarkan, terlihat jelas bahwa
pengaturan ini akan memberikan dampak positif dalam kehidupan koperasi. Koperasi dituntut
semakin disiplin dan profesional dalam melayani anggota, yang ditunjang adanya sanksi yang
berkaitan dengan masalah pelayanan kepada anggota. Tidak hanya itu, pada era ini PP No 9
tahun 1995 tentang KSP telah ditingkatkan muatannya menjadi Undang -Undang, yang
notabene memiliki kekuatan hukum lebih tinggi. Kesemua ini menunjukkan adanya
peningkatan kapasitas koperasi dengan lebih terfokus dan terprogram, dengan berbagai hal
yang sistematik dan terukur hasilnya (Soegono, Soebroto Hadi dalam bejatikoran.com, 2012).
Melalui hal ini, dapat dilihat bersama atas adanya pengawasan yang ketat akan berimplikasi
pada peningkatan transparansi dan akuntabilitas sebuah lembaga. Disinilah salah satu prinsip
good governance akan diimplementasikan.
Namun dibalik ‘angin segar’ yang diberikan oleh UU no 17 tahun 2012, tersimpan
beberapa hal yang luput dari perhatian pemerintah. Terdapat nilai- nilai moral yang justru
terhapuskan dan tergantikan dengan hal baru- yang bertentangan dengan semangat koperasi.
Terdapat beberapa pasal yang mengindikasikan adanya tumpangan nilai ala Barat yang coba
dihembuskan terhadap koperasi. Hal ini terlihat dalam pasal- pasal yang termaktub dalam UU
No 17 tahun 2012.

Pertama, pasal 83 yang mensyaratkan koperasi untuk memiliki jenis yang jelas
memang secara langsung akan mendorong profesionalisme karena koperasi didorong untuk
fokus kepada satu bidang tertentu. Namun disisi lain, aturan ini berdampak akan mengancam
eksitensi koperasi. Sebagaimana diketahui bahwa di Indonesia masih banyak koperasi yang
kapasitasnya masih kecil, dan memiliki fokus beragam misalnya koperasi yang melayani
simpan pinjam sekaligus penjualan barang/jasa. Regulasi ini justru menjegal koperasi kecil
untuk berkembang karena aturan ini mebuat koperasi kecil memfokuskan satu bidang,
sedangkan bisa jadi koperasi tersebut bisa bertahan karena adanya berbagai fokus yang
dikelolanya. Melalui hal ini dapat diketahui bahwa regulasi ini hanya pro terhadap koperasi
besar, yang mayoritas modalnya dikuasai oleh para borjuis.
Kedua, pada pasal 66 ayat 1 dipaparkan bahwa sumber modal koperasi salah satunya
berasal dari adanya penyertaan modal tanpa adanya pengaturan mengenai proporsi. Hal ini
memang memberi peluang bagi non anggota untuk menginvestasikan dana bagi koperasi.

Disisi lain, nonanggota tersebut akan mendapatkan hak milik koperasi yang besar jika ia
mampu menguasai mayoritas modal. Dengan demikian, penguasa koperasi tidak lagi anggota,
namun pemilik modal besar. Inilah yang menegaskan bahwa terjadi proses swastanisasi
koperasi, yang akan menggantungkan peran anggota.
Ketiga, pada pasal 50 ditunjukkan bahwa kewenangan pengawas amatlah superior.
Hal ini memang akan berkontribusi dalam transparansi dan akuntabilitas. Akan tetapi disisi

lain, hal ini justru mengarahkan pada liberalisasi koperasi. Proses musyawarah secara
mufakat ala Pancasila menjadi amat minim untuk diaplikasikan. Hal ini akan membuat rasa
kekeluargaan dan kepercayaan anggota semakin menurun.
Keempat, pasal 78 ayat 2 diatur bahwa jika terdapat laba yang berasal dari transaksi
non anggota, maka laba tersebut tidak boleh dinikmati oleh anggota. Memang hal ini akan
menambah pundi- pundi modal bagi koperasi untuk dikembangkan selanjutnya. Namun akan
menjadi sebuah ironi jika kita menilik hakekat tujuan koperasi, yaitu untuk mensejahterakan
anggota. Melalui inilah, anggota hanya akan menikmati hasil laba dari transaksi internal
anggota. Padahal, masih banyak koperasi yang nominal transaksi anggota masih kecil. Hal ini
bisa mematikan minat masyarakat untuk bergabung dengan koperasi karena minimnya
keuntungan yang diberikan koperasi kepada anggota.
Berdasakan beberapa pemaparan point di atas, memang regulasi yang baru akan
membuat koperasi semakin baik pengelolaannya. Akan tetapi regulasi ini sarat dengan motif
ekonomi individualistis (Raharjo, M Dawam dalam bejatikoran.com, 2012). Contohnya
dalam Koperasi Simpan Pinjam hanya melayani anggota koperasi, sehingga non-anggota
tidak dapat mengakses simpan pinjam. Disinilah, ‘garis’ pemisah akan semakin tebal
sehingga nilai kekeluargaan dan pengabdian semakin memudar. Hal ini senada seperti yang
diungkapkan oleh Alexis de Tocqueville (1954), pada masa- masa demokratis, ketika tugas
kemasyarakatan masing- masing individu lebih jelas, pengabdian sepenuh hati kepada satu
orang pun semakin langka; ikatan kasih sayang manusia meluas tapi mengendur (Tocqueville

2005, h. 310). Akibat hal ini, dikhawatirkan akan menghilangkan motif moral dan sosial
dalam tubuh koperasi Indonesia, dan disisi lain semangat individual akan semakin tinggi.
Selain regulasi ini sarat dengan nilai ekonomi individualis yang tinggi, terdapat
dampak jangka panjang yang mengkhawatirkan koperasi. Contohnya pada KSP, regulasi ini
membuat koperasi seolah- olah berdiri di atas menara gading, dengan ‘melepaskan’ diri dari
ranah masyarakat umum. Sebagaimana yang disebutkan, terdapat garis yang sangat tegas

dalam bidang ini. Akibatnya anggota dapat memaksimalkan keuntungannya dengan
mengabaikan khalayak luas yang belum berstatus sama. Disinilah ciri khas sistem ekonomi
Pancasila berupa adanya pengendalian diri, tenggang rasa, dan semangat kekeluargaan
(Mubyarto dikutip dalam Swasono 1985, h.147) dapat perlahan- lahan tergerus dan
berimplikasi pada adanya koperasi ala Barat.
Melihat realitas yang terjadi ini, pemerintah diharapkan untuk lebih sensitif dalam
menggodog berbagai kebijakan agar koperasi dapat berkembang seperti harapan rakyat
(Anoraga 1995, h. 170). Pemerintah juga harus memahami dan mengejawantahkan sistem
ekonomi Pancasila dalam koperasi Indonesia, yang mana harus berdasarkan asas
kekeluargaan (Sumodiningrat 1999, h. 49). Disinilah koperasi seharusnya menyerukan
“laissez faire laizess passer” bagi perekonomian rakyat untuk berkembang dan membentuk
susunan perekonomian nasional sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan
Raharjo, M Dawam dalam bejatikoran.com, 2012). Dengan adanya hal ini, maka tujuan

koperasi yang sesungguhnya akan tercapai.
Untuk menjalankan hal ini memang bukan hal yang mudah, karena diperlukan adanya
independensi pemerintah agar tidak mudah disetir oleh pihak- pihak tertentu. Para aktor
tersebut bisa jadi menginginkan Indonesia ala Barat, sehingga nilai asli bangsa secara
perlahan namun pasti digerus melalui regulasi. Mekanisme peminjaman dana yang
mensyaratkan adanya liberalisasi ekonomi memang banyak diterapkan oleh lembaga donor.
Namun ini semua akan bergantung pada peran pemerintah agar menetapkan haluan yang jelas
dan sesuai dengan nilai falsafah bangsa. Dapat dikatakan untuk saat ini, quo vadis koperasi
Indonesia.
KESIMPULAN
Koperasi merupakan sebuah entitas masyarakat ekonomi yang senantiasa mengalami
dinamika dari waktu ke waktu. Salah satu hal yang berpengaruh besar pada proses ini adalah
regulasi yang menopang keberadaan koperasi. Pada era demokratisasi ini, terdapat regulasi
terbaru melalui UU No 17 tahun 2012 yang sarat dengan nilai demokrasi liberal yang tinggi.
Regulasi yang sangat liberal dan individualistis bukanlah merupakan isapan jempol
semata. Hal ini terlihat dalam pasal demi pasal yang dibungkus rapih dengan semangat
‘profesionalisasi’. Beberapa pasal yang terlihat mengusung semangat ekonomi liberal adalah
pasal 66 ayat 1, pasal 50, psal 80, serta pasal 78 ayat 2 UU No 17 tahun 2012. Kesemua itu

memang tidak secara gamblang membeberkan ide liberalisasi, namun jika dianalisa lebih jauh

ini merupakan sebuah ‘titipan’ ide dari orang- orang tertentu.
Pada kondisi ini, memang seluruh masyarakat mengharapkan pemerintah yang
independen dan memiliki integritas. UU No 17 tahun 2012 dapat dikatakan sarat dengan
nuansa liberal yang tinggi. Bisa jadi hal ini merupakan titipan dari beberapa pihak yang
menginginkan Indonesia berorientasi ke Barat, bukan berorientasi pada Pancasila. Untuk itu,
masyarakat juga perlu untuk mengawasi dan menyuarakan aspirasi agar pemerintah tetap
pada orientasinya mensejahterakan rakyat.

DAFTAR REFERENSI
Mubyarto 1987, Ekonomi Pancasila Gagasan dan kemungkinan. LP3ES, Jakarta.
De Tocqueville, Alexis 2005, Tentang Revolusi, Demokrasi, dan Masyarakat. Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta.
Anoraga, P 1995, BUMN, Swasta dan Koperasi, tiga pelaku ekonomi, Dunia Pustaka Jaya,
Jakarta.
Sumodiningrat, Gunawan 1999, Sistem ekonomi pancasila, Impac Wahana Cipta, Jakarta.
Sri- Edi Swasono 1985, Sistem ekonomi dan demokrasi ekonomi, UI Press, Jakarta
Suwandi, 2012, ‘UU Nomor 17/2012, Apa yang Baru?’ dilihat pada 15 Januari 2014

Fawzy, Achmad 2013,’ Perbedaan UU No. 17 Tahun 2012 dengan UU No. 25 Tahun 1992’
dilihat pada 16 Januari 2014
______2013, Diskusi Ilmiah Di Ikopin Dampak UU.No.17 Tahun 2012 Terhadap Koperasi,
dilihat pada 14 Januari 2014