ANOTASI ARTIKEL REPRESENTASI WACANA KOLO

ANOTASI ARTIKEL REPRESENTASI WACANA KOLONIAL
DALAM BUKU TEKS SEJARAH PENDIDIKAN MENENGAH INDONESIA SELAMA DAN
SETELAH ORDE BARU (1975-2013)
Oleh :
AGUNG KARUNIASTHI / 171314006
a. Judul
: The Representation of Colonial Discourse in Indonesian Secondary
Education History Textbooks During and After The New Order (1975–2013) 1
b. Nama Pengarang
: Hieronymus Purwanta
c. Jurnal
: History of Education
d. Penerbit
: Francis and Taylor
e. Tahun Terbit
: 2017
f. Ringkasan Isi
:
Hubungan intim antara Indonesia dan Barat menghasilkan kebutuhan untuk menulis ulang
sejarah Indonesia, termasuk buku teks untuk pelajaran sejarah. Persyaratan ini ditempuh melalui
Seminar Sejarah Nasional Kedua yang diselenggarakan di Yogyakarta pada tahun 1970. Salah satu

hasil dari seminar tersebut adalah pembentukan sebuah komite penulisan sejarah nasional dengan
Sartono Kartodirdjo selaku ketua tim. Sejarah nasional Indonesia tidak hanya direncanakan sebagai
buku standar di tingkat universitas tetapi juga sebagai buku teks referensi utama untuk siswa sekolah. 2
Buku teks sejarah baru yang diperkenalkan untuk kurikulum 1975 memposisikan penjajahan
Belanda sebagai faktor penentu dari banyak peristiwa sejarah di Indonesia, termasuk berakhirnya
feodalisme dan lahirnya nasionalisme Indonesia. 3 Salah satu dampak penggunaan buku teks sejarah
baru dalam proses belajar mengajar adalah kelahiran generasi baru yang tidak memiliki identitas
Indonesia. Selama Orde Baru, kurikulum nasional diperbaharui pada tahun 1975, 1984 dan 1994. Di
era Reformasi, DoE (Departemen Pendidikan) telah memperbarui kurikulum nasional dua kali: pada
tahun 2006 dan 2013. Untuk setiap periode di mana kurikulum baru diimplementasikan,
diperkenalkan buku teks yang 'dianggap sangat diperlukan dan dibutuhkan untuk siswa sekolah
menengah yang ingin belajar secara otoritatif tentang sejarah Indonesia'.
Di era Reformasi, produksi buku teks sejarah untuk kurikulum 2006 menjadi tanggung jawab
Badan Standar Nasional Pendidikan (Badan Standar Nasional Pendidikan).
Papan yang dipilih dan diterbitkan buku teks yang kemudian diproduksi sebagai buku
elektronik (e-book). Guru dan siswa dapat mendownload buku teks ini secara gratis di
http://bse.kemdikbud.go.id/.
Buku teks sejarah sekunder yang dipilih untuk studi sosial adalah Sejarah untuk SMA
(History for Secondary School), ditulis oleh Tarunasena. Untuk kurikulum tahun 2013, sistem
produksi untuk buku teks sejarah sekunder berubah, dan DoE (Departemen Pendidikan) membentuk

tim yang terdiri dari sejarawan profesional untuk menulis buku teks.
1

Hieronymus Purwanta, “The Representation of Colonial Discourse in Indonesian Secondary Education History Textbooks
During and After The New Order (1975–2013)” pada jurnal History of Education edisi bulan Oktober 2017. (London, Francis & Taylor,
2017)
2

Michael Kuhn and doris Weidemann, eds., Internationalisation of the Social Sciences: Asia – Latin America – Middle East –
Africa – Eurasia (Wetzlar: Bielefeld, 2010), 118–119.
3

nugroho notosusanto and yusmar Basri, eds., Sejarah Nasional Indonesia Untuk SMA (The national history of Indonesia for
secondary school), vol. 3 (official textbook) (Jakarta: departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1981), 13–28

Wacana kolonial dibuat oleh sejarawan lokal, yang dikenal sebagai sejarawan profesional
modern (MPH).4 Dalam konteks ini, sejarawan profesional ini adalah sejarawan yang lulus dari
universitas.
Narasi besar ini secara implisit mewakili kolonisasi kembali budaya politik barat di Indonesia,
karena modernitas sebagai sebuah cara hidup dan sebagai proses perubahan material, yang ditandai

oleh inovasi dan manajemen teknologi, dipelopori oleh masyarakat barat. Narasi besar MPH bersifat
teleologis dalam arti bahwa semua dinamika sosiokultural, termasuk peristiwa sejarah, diarahkan pada
satu tujuan, yaitu perkembangan Indonesia dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern.MPH
memiliki sudut pandang modernistik bahwa kaum intelektual yang menerima western pendidikan dan
pemikiran dan bertingkah laku seperti orang barat adalah pelopor gerakan nasional Indonesia. Untuk
memperkuat argumen bahwa kelompok yang mengalami pendidikan barat termasuk aktor sejarah
terbaik, narasi dalam buku teks kontemporer juga meniadakan bangsawan Indonesia. Narasi ini
menghadirkan bangsawan yang menjaga budaya Indonesia tetap hidup sebagai berorientasi regional,
tradisional dan hanya memiliki pekerjaan turun-temurun.
Pembangunan sejarah Indonesia modern karena proses westernisasi secara historis telah
dianggap sebagai hasil penelitian oleh sejarawan barat yang dikutip oleh sejarawan Indonesia. Dalam
karya Niel, Snouck Hurgronje dihormati sebagai aktor sentral pada awal proses westernisasi di
Indonesia. Seorang sejarawan Indonesia yang mengikuti gagasan Robert van Niel dan menjadi
pemimpin berpengaruh MPH adalah Sartono Kartodirdjo( orang yang memperkenalkan pendekatan
sains sosial sebagai karakteristik sejarawan profesional, dengan menggunakan teori dan konsep ilmu
sosial dalam analisis interdisipliner terhadap peristiwa sejarah).5 Sebaliknya, sejarawan yang
merekonstruksi sejarah menggunakan model naratif deskriptif ditolak dengan diberi label sejarawan
amatir. Dari sudut pandangnya, Kartodirdjo menyatakan bahwa Kebijakan Etis Belanda merupakan
kebijakan kolonial yang membawa Indonesia sebagai koloni ke orbit budaya Belanda sebagai negara
ibu.

Selain berfokus pada proses westernisasi, representasi wacana kolonial diungkapkan dengan
meniadakan budaya asli, negasi ini dilakukan dengan membuat penjelasan bahwa budaya asli telah
hancur dalam proses westernisasi. Kartodirdjo menjelaskan bahwa penetrasi sistem penjajahan
Belanda yang tidak dapat dihindari ke Indonesia menyebabkan budaya dan adat istiadat masyarakat
adat mengalami fraktur, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya krisis. Banyak nilai kehidupan
terguncang dan relevansinya dipertanyakan sehubungan dengan kondisi baru ini. Banyak simbol
tradisional kehilangan makna karena perubahan ini sampai pada fondasi budaya Indonesia.
Representasi wacana kolonial dalam buku teks sejarah dipelopori oleh Nugroho Notosusanto
dan Yusmar Basri melalui Sejarah Nasional Indonesia Untuk SMA (kurikulum Nasional untuk
Sekolah Menengah Atas) untuk kurikulum 1975. Dalam buku teks untuk kurikulum 1975, wacana
kolonial diwakili dengan membangun kolonialisme Belanda sebagai kekuatan penentu. Salah satu
peristiwa sejarah yang banyak dibahas dalam buku teks ini sebagai faktor penentu adalah Kebijakan
Etis. Kebijakan tersebut memiliki tiga program utama: irigasi, transmigrasi dan pendidikan yang
digunakan untuk mendukung pendudukan.
Dalam buku teks untuk kurikulum 1984, pengaruh dari Kebijakan kolonial Belanda dijelaskan
secara rinci. Buku teks tersebut menyatakan bahwa kemunculan urbanisasi dan transmigrasi menjadi
basis pertumbuhan nasionalisme. Dalam buku teks untuk kurikulum tahun 1994, posisi faktor penentu
diperlebar untuk memasukkan tidak hanya penjajahan Belanda tapi juga budaya barat pada umumnya.
Ketika menggambarkan kekuatan kolonialisme Belanda sebagai penentu, pengaruh positif dari
kebijakan ekonomi pemerintah kolonial dijelaskan secara lebih rinci. Akhirnya, buku teks tersebut

menyatakan bahwa pengusaha modern berjuang untuk memastikan bahwa semua pekerja menerima
gaji yang layak.
4

Indonesia has historical accounts written by non-professional historians, called amateur historians. see sony Karsono,
Setting History Straight? Indonesian Historiography in the New Order (thesis, department of southeast asian studies and the
center for international studies) (ohio: ohio university, 2005), 194.
5

Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: Gramedia, 1992), 1–2.

Buku teks Sardiman dan Kusriyantinah melangkah lebih jauh dan mewakili wacana kolonial
dalam satu volume. Buku teks tersebut menjelaskan akar penjajahan barat dan buku teks juga
menjelaskan kemunculan banyak ideologi barat, yaitu nasionalisme, liberalisme, sosialisme dan
demokrasi. Indonesia dijelaskan di akhir setiap bab sebagai respon terhadap stimulus kebijakan
kolonial.
Pada buku berikutnya, buku teks Sardiman dan Kusriyantinah berfokus pada kemunculan dan
perkembangan gerakan nasional Indonesia. Seperti buku teks lainnya, wacana kolonial
dipresentasikan melalui narasi pelaksanaan Kebijakan Etis sebagai faktor penentu munculnya
kesadaran nasional.

Pada tahun 2006, Kementerian Pendidikan meluncurkan kurikulum nasional baru yang
menghasilkan kurikulum berbasis kompetensi Dalam buku teks untuk kurikulum tahun 2006,
kebijakan kolonial Belanda dari abad kesembilan belas sampai pertengahan abad ke-20 digambarkan
hanya dalam delapan halaman. Wacana penjajahan Belanda sebagai faktor penentu diperlihatkan lebih
dalam perkembangan fisik, seperti jaringan jalan raya dan rel kereta api.
Dalam buku teks sejarah untuk kurikulum tahun 2013, narasi peran kolonialisme Belanda
sebagai faktor penentu menurun, terutama saat menangani kebijakan ekonomi. Penggunaan
'kapitalisme barat' mengindikasikan bahwa penulis buku teks memandang kolonialisme Belanda
hanya sebagai pemasar uang. Dalam mendukung wacana ini, buku teks tersebut menjelaskan bahwa
masyarakat Indonesia telah menderita.
Buku teks sejarah dari tahun 1975 dan 1984 menggambarkan perkembangan pendidikan
dengan rincian seperti berbagai jenis sekolah: Volksschool (sekolah pedesaan), Sekolah Inlandse
Hollands (SD), Middle Meer Lager Onderwijs (primer), dan Algemene Middelbare School
(sekunder).Kurikulum kedua tahun tersebut menekankan pengembangan pendidikan sebagai faktor
penentu terpenting bagi kemunculan nasionalisme Indonesia.
Dalam buku teks sejarah untuk kurikulum tahun 1994, penjelasan tentang kebijakan kolonial
Belanda di bidang pendidikan hanya berisi sebagian kecil (hanya satu halaman) dan dijelaskan dalam
satu paragraf.Pendidikan Barat digambarkan sebagai faktor yang meningkatkan kemampuan pemuda
Indonesia saat membandingkan kondisi Indonesia dengan Barat.
Dalam kurikulum tahun 2006, buku teks sejarah membahas pendidikan secara lebih

mendalam daripada kurikulum tahun 1994. Selain menjelaskan dampak positif pendidikan dalam
mendukung gerakan Indonesia menuju kemerdekaan, buku teks tersebut juga mengkritik tingkat
diskriminasi yang tinggi dalam sistem pendidikan yang dikembangkan oleh kolonialisme Belanda.
Dalam buku teks sejarah kurikulum tahun 2013, narasi singkat dan terfokus pada pendidikan
sebagai faktor penentu kelahiran kelas baru yang disebut elit nasional. Mereka memiliki peran untuk
membangun persatuan antar kelompok etnis dan berjuang untuk membebaskan bangsa Indonesia dari
segala bentuk penindasan kolonial Belanda.
Perubahan mendasar terjadi dimulai dengan kurikulum 1975 karena narasi dalam buku teks
sejarah sekunder baru menjadi lebih kolonialis dalam perspektif. Melalui buku teks wajib yang
diterbitkan oleh pemerintah, sebuah wacana baru diproduksi. Penjajahan Belanda dan imperialisme di
Indonesia tidak lagi dianggap sebagai penyebab kesengsaraan; Sebagai gantinya, ia menjadi konveyor
pembangunan.