Ujian Akhir Semester Genap (1)

Ujian Akhir Semester Genap
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Nama

: Nurhalimah

NIM

: E97216025

Prodi/ Semester

: Ilmu Tasawuf/ II

Matakuliah

: Filsafat Perennial

Dosen Pembimbing

: Suhermanto Ja’far, M.Ag


Soal!!
1. Jelaskan dan bandingkan, konsep filsafat perennial menurut Frithjouf Suchoun dan Seyyed
Hossein Nasr?
2. Bagaimana analisis saudara relevansi filsafat perennial dengan dialog dan titik temu
agama-agama?
3. Bagaimana pendapat saudara, tentang filsafat perennial yang menjadi titik temu agama
dengan filsafat?
4. Menurut saudara, Apa urgensi filsafat perennial dengan koor prodi akhlak dan tasawuf?
Jawab
1. Penulis rasa antara keduanya memiliki pemikiran sama, sekaligus berbeda. Walaupun
Frithjouf Suchoun merupakan salah satu guru Sayyed Hossein Nasr. Tentu sedikit banyak
pemikiran Nasr memiliki persamaan dan sekaligus perbedaan pula. Keduanya merupakan
tokoh muslim yang mengusung teori Transencenden Unity of Religion. Dalam penekanan
Transendent Unity of Religion, menekankankan terhadap keselamatan umat manusia,

namun dalam teori ini tidak menginginkan agar menyamakan semua agama menyesuaikan
dengan zaman modern. Akan tetapi, agama harus tetap menjadi identitasnya, tanpa perlu
melebur dan menyamakan.
Pandangan Frithjouf Suchoun bahwa filsafat perennial tidak dapat terpisah sama

sekali dengan tradisi, dan transmisi (mata rantai) tradisional termasuk dalam realitas
spiritual. Metafisika inilah yang menjadikan setiap agama bersifat religio perennis.
Filsafat perennial memahami agama dalam bentuk yang transenden, dan bukan hanya

yang faktual saja.1 Dalam pemikirannya Suchoun berusaha mensintesiskan pemahaman
agama dengan metafisika. Menurut Suchoun tentang kajian metafisika hanya mampu
dituntaskan dengan cara memahami agama secara mendalam. Agama tidaklah dapat
diabaikan dalam mencari realitas yang sebenrnya. Dalam artian pemahaman eksoterisme
dan esoterisme haruslah saling berkelindan dan tidak bisa dipisahkan antara yang satu
dengan yang lainnya. Memang jika agama hanyalah di pandang dari segi eksoterisme,
tentu kebenaran agama hanya dimiliki oleh setiap pelaku agama saja. Akan tetapi, jika
ditilik dari segi esoterisme pada hakikatnya adalah sama.
Dalam hal ini, Frithjouf Suchoun memberikan suatu gagasan mengenai kesatuan
agama-agama di wilayah transenden. Filsafat Perenial menyakini adanya keabadian yang
universal dalam segi esoterik agama-agama. Secara konseptual dalam segi eksoterik setiap
agama memiliki metode masing-masing, yang pastinya berbeda dengan segi esoterik.
Mengenai segi esoterik dimensi yang ditekankan adalah mengenai segi batin manusia.
Sedangkan segi eksoterik merupakan segi lahir dari setiap manusia. Kemudian pandangan
ini akan berimplikasi terhadap pluralisme agama.
Pemikiran Suchoun ini terlatar belakangi oleh perlakuan manusia barat dalam

menghegemoni agama. Sehingga Suchoun tergerak hatinya untuk mengembalikan peranan
agama dalam kesuciannya. Suchoun menilai bahwa filsafat modern cenderung mendistorsi
peranan substansi metafisik sebagai konsep ilmu pengetahuan, dalam artian mereka
menolak peranan agama dalam pemikirannya. Dan hal ini perlu diperbaiki.
Selain itu, Suchoun berpendapat bahwa kebenaran mutlak bersandar terhadap
“inti” setiap dari setiap wujud fisik dan inilah yang ia sebut sebagai “kebenaran
mutlak”yang lahir dari perspektif religio perennis. Dari inilah Suchoun mengemukakan
tentang The transendent of unity religion.
Sedangkan Nasr menganggap bahwa filsafat perennial merupakan suatu tradisi,
tradisi di sini bukan bermakan seperti biasanya. Akan tetapi, tradisi merupakan kebenaran
tentang asas illahi. Yang berimplikasi terhadap suatu kebenaran batin yang terbentuk
dengan kesucian-kesuvian serta unik, dan kebenaran ini hanyalah satu.
Nasr juga mengatakan bahwa filsafat perennial adalah pengetahuan yang selalu ada
dan akan ada, dan selalu bersifat universal. “Ada” yang dimaksud di sini, berarti pula, ada
pada setiap zaman dan setiap tempat, mengingat prinsipnya yang sangat universal. 2Dalam
1

Arqom Kuswanjono, Ketuhanan dalam Telaah Filsafat Perennial Refleksi Pluralisme Agam di Indonesia,
(Yogyakarta: CV. Arindo Nusa Media, Cet I, 2006), 19-20.
2

Arqom Kuswanjono, Ketuhanan dalam Telaah Filsafat Perennial Refleksi Pluralisme Agam di Indonesia, 21.

FILSAFAT PERENNIAL

2

filsafat perennialnya Nasr juga mencanangkan tentang prinsip Javidan Khirad (Persia)
sama dengan istilah Sanatha Dharwa atau Hikmah al-Khlaidah. Munculnya pemikiran
Nasr tentang filsafat perennial, berangkat dari pandanganya terhadap masalah-masalah
yang dialami manusia modern. Ia menganggap manusia modern berada di luar eksistensi
spiritual, atau lebih tepatnya menjauh dari spiritual, sehingga mereka mengalami krisis
spiritual. Masa modern tidaklah bisa menjadi solusi, bagi manusia, akan tetapi, tambah
menjadi masalah bagi manusia. Javidan Khirad yang dimaksud Nasr diartikan sebagai
kebenaran yang kekal dan tiada bermula.
Selain itu Nasr juga mengemukakan tentang Scinetia Sacra, menurutnya tradisi
mengandung pengetahuan yang suci yang berada dalam jantung setiap wahyu, di sinilah
merupakan pusat dan lingkaran, di mana tradisi di arahkan. Fokus kajian Scientia Sacra,
adalah mengenai tentang The Principle. Yang dimaksud The Principle adalah yang absolut
dan yang selainnya relatif. Dia tak terbatas, sedangkan yang lain terbatas, Ia substansi
sedangkan yang lain adalah aksiden. Hal ini menyakinkan bahwa terma scientia sacra

merupakan inti fokus pembahasan Javidan Khirad.
Mengenai aspek eksoterisme dan esoterisme, pada esensinya semua agama adalah
sama. Akan tetapi, dari segi eksoterisme atau syariah itu berbeda. Pada inti pemikiran Nasr
tidak terlepas dari pembahasan tradisi, agama, Javidan Khirad, dan Scientia sacra.
Melalui tradisi terdapat bermacam-macam agama, melalui scientia sacra lah pembahasan
Nasr tentang Javidan Khirad atau filsafat perennial.
Penulis rasa antara kedua tokoh ini, memiliki pemikiran yang saling berkelindan dan
mengingat Nasr merupakan salah satu murid Suchoun, jadi tidaklah menutup
kemungkinan Nasr sebagai murid Suchoun terpengaruh pemikirannya.
2. Penulis rasa, dialog antar agama itu memiliki pengaruh yang signifikan, untuk
memperkuatkan keimanan penganut setiap agama, atau lebih tepatnya agar saling
memahami dan menyadari adanya perbedaan dalam agama. Mengingat antara tradisi dan
modernitas semenjak sekita abad pertengahan yang lalu, seringkali terjadi perseteruan
antar gama.
Dengan kedatangan filsafat perennial bertujuan untuk mendamaikan semua
agama, tepatnya agar tidak menjadi truth claim antara agama yang satu dengan agama
yang lainnya. Sedangkan mengenai kerelevanan antara filsafat perennial dengan dialog
dan titik temu agama-agama itu merupakan sesuatu yang sangat relevan. Dan bahkan bisa
dikatakan filsafat perennial sebagai solusi dalam mendamaikan agama-agama lainnya.
FILSAFAT PERENNIAL


3

Memang kita tidaklah bisa menafikan bahwa pluralitas dalam agama memang
beragam dan hal ini, tidak sepantasnya jika setiap penganut agama menganggap bahwa
hanya agama dirinyalah yang paling benar. Lantas filsafat Perennial di sini, datang tidak
untuk menyamakan semua agama, tentu jika demikian maka dianggap kafir. Akan tetapi
filsafat perennial mengajarkan bahwa pada hakikatnya semua agama itu satu, yakni
apapun yang berasal dari yang satu pada esensinya sama. Hanya saja dalam segi
pengajaran dan tata cara agama yang satu berbeda. Dalam segi eksoteris berbeda, namun
dalam segi esoteris pada intinya adalah sama. Sesuatu yang keluar dari yang satu pada
esensinya adalah sama.
Dalam memahami filsafat perennial dibutuhkan tiga sudut pandang;
Pertama, secara epistemologis, filsafat perennial membahas makna substansi dan sumber

kebenaran agama, serta bagaimana kebenaran itu berproses dan mengalir dari Tuhan yang
absolut. Kedua, Ontologis, filsafat perennial berusaha menjelaskan adanya sumber dari
segala yang ada namun bersifat relatif. Ketiga, Psikologis, filsafat perennial dipandang
berusaha mengungkapkan apa yang disebut wahyu batiniah, agama asli, kebenaran abadi,
sophia perennis yang terdapat dalam hati setiap pemeluk agama, yang akan menjalankan


ajaran agamanya dengan baik dan benar.
Ketika berbicara tentang agama, pada esensinya semua agama sama-sama
mengajarkan kebenaran, perdamaian bukan malah pertentangan. Akan tetapi, yang terjadi
pada akhir-akhir ini, nilai agama terasa terdistorsi dari nilai sebenarnya. Agama yang
dinilai membawa kedamaian malah keluar dari tujuan utamanya. Bahkan yang terjadi
antar umat beragama saling bentrok, dan yang paling genting adalah agama dijadikan
sebagai legitimasi politik oleh sebagian masyarakat. Dan hal ini,

tentu sangat

menyimpang dari ajaran agama yang sebenarnya. Tak jarang antara agama yang satu
mengatakan “hanya agama saya yang paling benar” dan merasa tidak ada yang benar lagi
selain dirinya, lantas menganggap selain agamanya adalah kafir.
Untuk menanggulangi permasalahan di atas, perlu kiranya, jika antar agama
melakukan dialog, agar tidak terjadi kesalah pahaman. Adanya dialog ini bukan berarti
mengajak oranglain agar berpindah agama, akan tetapi, untuk memperkuat keimanan
seseorang dalam beragama.
Peran filsafat perennial begitu diandalkan untuk menanggulangi kesalah pahaman
antar agama. Seandainya semua agama menerapkan hal ini, tentu tidak akan terjadi

pertentangan dan konflik antar agama.

FILSAFAT PERENNIAL

4

3. Penulis rasa relevansi filsafat perennial dengan dialog dan titik temu agama-agama dan
filsafat memiliki peranan yang sangat signifikan. Bahkan filsafat perennial haruslah
dipertimbangkan peranannya sebagai cabanng filsafat perennial dalam rangka memahami
kompleksitas agama dan permasalahan dalam kehidupan manusia, termasuk krisis spiritual
yang dialami manusia modrn. Seandainya semua orang memahami akan pentingnya
filsafat perennial tentu tidaklah mungkin melakukan truth claim antar agama seperti
halnya saat ini. Sebenarnya istilah Filsafat Perennial berangkat dari sepucuk surat yang
dilakukan oleh Leibniz
Seandainya semua manusia menyadari tentang prinsip yang dicanangkan dalam
filsafat Perennial, tentu tidak akan timbul pertentangan antar agama. Seperti halnya yang
terjadi saat ini. Seagama pun mengalami bentrokan, terlihat aneh dan sangat
membingungkan. Bahkan yang paling mengherankan dalam masalah politik rela
membawa nama agama, jika dianalogikan bagaikan menjual agama demi kepentingan
pemerintahannya.

Sebagaimana dari sejarahnya filsafat dan agama pernah mengalami pertentangan,
dan bahkan bisa dikatakan filsafat tidak ingin dicampuri oleh peranan agama. Hal ini,
terlihat di masa pertengahan, atau tepatnya di masa rennainsance filsafat ingin melepas
diri dari peranan agama. Masa rennainsance atau tepatnya masa modern menjanjikan
keindahan-keindahan dan kenyamanan, akan tetapi yang terjadi malah manusia modern
mengalami kekurangan spiritual. Sebagaimana yang dikatakan oleh Nasr; “manusia
modern berada di luar eksistensinya” dalam artian manusia modern semakin menjauhi
pusat. Dalam menanggulangi hal ini, filsafat perennial berusaha mengobati permasalahanpermasalahan yang dialami oleh manusia modern.
Mungkin kita bisa menilik dalam fase hegemoni barat dari masa Descartes
terhadap agama yang memulai metode epistimologinya dengan metode skeptis yang
mengutamakan rasio dari pada doktrin agama, hal ini terlihat dalam ucapannya mengenai
“cogito ergo sum”. Kemudian hal ini ditanggapi oleh Hume, bahwa kebenaran itu hanya
dapat diperoleh melalui data empiris saja. Hal ini, membuktikan bahwa pemikiran barat
modern mendistorsi peran agama yang ikut andil dalam filsafat. Berangkat dari
permasalahan ini lah para tokoh seperti halnya Frithjouf Suchoun, Rene Gunoun, dan
Ananda Comaraswamy, berusaha mengembalikan agam kepada konsep kesucian. Dengan
memaki sebuah gagasan menegakkan hikmah keabadian atau The Perenni of Philoshopia
atau hikmah al-khalidah.

FILSAFAT PERENNIAL


5

4. Penulis rasa urgensi filsafat perennial terhadap akhlak dan tasawuf, sungguh sangat
penting, mengingat pentingnya filsafat perennial dalam kehidupan kita. Apalagi di zaman
yang begitu canggih, dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat membludak
memecahkan sistem–sistem tradisional. Lantas, yang terjadi saat ini manusia kehilangan
dan menjauh dari pusat eksistensinya.
Penulis mengatakan filsafat perennial begitu penting untuk dipelajari dalam prodi
kita, bahkan penulis sarankan bukan hanya di prodi ilmu tasawuf yang harus belajar
filsafat perennial, semua prodi pun harus mempelajarinya. Kalau perlu filsafat perennial
harus menjadi matakuliah wajib di seluruh universitas di Indonesia. Karena jika semua
memahami apa itu filsafat perennial, tentu tidak akan ada lagi pertentangan dan
permusuhan antar agama. Apalagi, jika kita mengingat agama di Indonesia sekarang
identik dengan truth claim nya. Tak jarang yang terlihat dilayar kaca sesama agama pun,
mengalami pertentangan dan bermusuhan, bahkan saling membunuh. Lantas peranan
agama seperti apa? Apakah agama hanyalah sebuah tempat pelarian saja? Atau agama
hanyalah sekedar nama atau kompilasi yang tak berharga. Tentu penulis rasa ini
meruapakan suatu hal yang rumit dan membingungkan sekaligus mengherankan saat ini,
peran agama terlihat terdistorsi. Nilai agama yang sebenarnya malah hilang, dan tak tau

entah kemana. Agama yang berfungsi sebagai rahmat, malah berbalik arah, dan mendekat
lalu melakukan penyerangan. Sehingga agama ternilai buruk, hal ini terlihat dengan
mengatas namakan agama, melakukan penyerangan. Dengan berlandas agama, melakukan
legitimasi politik.
Lantas, apakah agama mengajarkan keburukan dan kejahatan? tentu jawabannya
tidak. Lalu bagaimana yang terjadi saat ini, jika terdapat sebagian kelompok melakukan
legitimasi politik, dengan mengatas namakan agama?. Tentu kelompok ini, penulis rasa
tidak memahami apa artinya agama yang sebenarnya. Agama yang sebenarnya tidaklah
demikian, agama diturunkan ke dunia, untuk mendamaikan dan menjadi rahmat bagi
manusia.
Lalu yang menjadi pertanyaan di sini, apa pentingnya filsafat perennial dipelajari
di prodi akhlak tasawuf? Penulis rasa, agar kita memahami apa arti dari perbedaan antar
agama. Sehingga kita tidak melakukan truth claim antar agama yang lainnya. Dalam
filsafat Perennial dijelaskan, bahwa setiap agama di dunia ini, pada hakikatnya adalah
sama. Sesuatu yang keluar dari yang satu, pada hakikatnya adalah sama. Cahaya yang
keluar dari prisma, bentuk keluarannya berbeda-beda, walaupun berbeda-beda, pada
kenyataannya cahaya ini sama.
FILSAFAT PERENNIAL

6

Penulis rasa prodi ilmu tasawuf tak terkecuali khususnya Usluhuddin memiliki
andil untuk menanggulangi permasalahan atau konflik yang terjadi. Diharapkan ke
depannya mampu menanggulangi permasalahan-permasalahan dalam kehidupan manusia
dan antar agama melakukan dialog.
Seandainya semua mempelajari tentang filsafat perennial tentu setiap pemeluk
agama tidak akan melakukan pertentangan, dan permusuhan antar agama. Mengingat
negara kita merupakan negara yang memiliki agama yang beragam dan bermacam-macam.
Wawwahu a’lam bishhowab..

FILSAFAT PERENNIAL

7