Laporan Praktik Kerja Profesi Farmasi Industri

BAB II
TINJAUAN UMUM INDUSTRI

2.1 Industri Farmasi
2.1.1 Pengertian Industri Farmasi
Industri Farmasi menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
1799/Menkes/Per/XII/2010 adalah badan usaha yang memiliki izin dari menteri
kesehatan untuk melakukan kegiatan pembuatan obat atau bahan obat. Industri
Farmasi harus membuat obat sesuai aturan CPOB agar sesuai dengan tujuan
penggunaannya, memenuhi persyaratan yang tercantum dalam dokumen izin edar
(registrasi) dan tidak menimbulkan risiko yang membahayakan konsumen, baik
karena ketidakamanan, ketidakefektifan, maupun mutu obat yang substandar
(Menkes RI, 2010).
2.1.2 Persyaratan Industri Farmasi
Proses pembuatan obat dan/atau bahan obat hanya dapat dilakukan oleh
Industri Farmasi. Setiap pendirian Industri Farmasi wajib memperoleh Izin
Industri Farmasi dari Direktur Jenderal. Direktur Jenderal yang dimaksud adalah
Direktur Jenderal pada Kementerian Kesehatan yang bertugas dan bertanggung
jawab dalam pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan (Menkes RI, 2010).
Persyaratan untuk memperoleh Izin Industri Farmasi tercantum dalam
Permenkes RI Nomor1799/Menkes/Per/XII/2010 adalah sebagai berikut:

1. Berbadan usaha berupa perseroan terbatas.
2. Memiliki rencana investasi dan kegiatan pembuatan obat.
3. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.

4

4. Memiliki secara tetap paling sedikit 3 (tiga) orang Apoteker Warga Negara
Indonesia masing-masing sebagai penanggung jawab pemastian mutu,
produksi, dan pengawasan mutu.
5. Komisaris dan direksi tidak pernah terlibat, baik langsung ataupun tidak
langsung dalam pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang
kefarmasian (Menkes RI, 2010).
2.1.3 Izin Usaha Industri Farmasi
Berdasarkan Permenkes RI Nomor 1799/Menkes/Per/XII/2010, untuk
memperoleh Izin Usaha Industri Farmasi diperlukan persetujuan prinsip. Tata cara
permohonan persetujuan prinsip Industri Farmasi sebagai berikut:
a. Permohonan persetujuan prinsip diajukan kepada Direktur Jenderal dengan
tembusan kepada Kepala Badan dan kepala dinas kesehatan provinsi.
b. Sebelum pengajuan permohonan persetujuan prinsip, pemohon wajib
mengajukan permohonan persetujuan Rencana Induk Pembangunan (RIP)

kepada Kepala Badan.
c. Persetujuan Rencana Induk Pembangunan (RIP) diberikan oleh Kepala Badan
dalam bentuk rekomendasi hasil analisis Rencana Induk Pembangunan (RIP)
paling lama dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan
diterima.
d. Permohonan persetujuan prinsip diajukan dengan kelengkapannya.
e. Persetujuan prinsip diberikan oleh Direktur Jenderal paling lama dalam waktu
14 (empat belas) hari kerja setelah permohonan diterima atau menolaknya.
f. Pemohon izin industri farmasi dengan status Penanaman Modal Asing atau
Penanaman Modal Dalam Negeri yang telah mendapatkan Surat Persetujuan

5

Penanaman Modal dari instansi yang menyelenggarakan urusan penanaman
modal, wajib mengajukan permohonan persetujuan prinsip sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini (Ditjen Binfar dan Alkes RI,
2011).

Gambar 2.1 Tata cara pemberian persetujuan prinsip (Ditjen Binfar dan Alkes RI,
2011).

Setelah memperoleh persetujuan prinsip, Industri Farmasi dapat
mengurus Izin Industri Farmasi dengan tata cara sebagai berikut:
a. Pemohon yang telah selesai melaksanakan tahap persetujuan prinsip dapat
mengajukan permohonan izin industri farmasi.
b. Surat permohonan izin industri farmasi harus ditandatangani oleh Direktur
Utama dan Apoteker penanggung jawab pemastian mutu diajukan ke
Kementerian Kesehatan beserta kelengkapannya.
c. Permohonan izin industri diajukan kepada Direktur Jenderal dengan tembusan
kepada Kepala Badan dan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi setempat.
d. Paling lama dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak diterimanya tembusan
permohonan, Kepala Badan melakukan audit pemenuhan persyaratan CPOB.

6

e. Paling lama dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak diterimanya tembusan
permohonan, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi melakukan verifikasi
kelengkapan persyaratan administratif.
f. Paling lama dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja sejak dinyatakan memenuhi
persyaratan CPOB, Kepala Badan mengeluarkan rekomendasi pemenuhan
persyaratan CPOB kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala

Dinas Kesehatan Provinsi dan pemohon.
g. Paling lama dalam waktu 10 (sepuluh) hari sejak dinyatakan memenuhi
kelengkapan persyaratan administratif, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi
mengeluarkan rekomendasi pemenuhan persyaratan administratif kepada
Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Badan dan pemohon.
h. Paling lama dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja setelah menerima
rekomendasi serta persyaratan lainnya, Direktur Jenderal menerbitkan izin
industri farmasi (Ditjen Binfar dan Alkes RI, 2011).

Gambar 2.2 Tata cara pemberian izin usaha industri farmasi (Ditjen Binfar dan
Alkes RI, 2011).

7

2.1.4 Pembinaan dan Pengawasan Industri Farmasi
Pembinaan terhadap pengembangan Industri Farmasi dilakukan oleh
Direktur Jenderal, sedangkan pengawasan dilakukan oleh Kepala Badan.
Pelanggaran

terhadap


ketentuan

dalam

Permenkes

RI

Nomor

1799/Menkes/Per/XII/2010 dapat dikenakan sanksi administratif berupa:
1. Peringatan secara tertulis.
2. Larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan/atau perintah untuk
penarikan kembali obat atau bahan obat dari peredaran bagi obat atau bahan
obat

yang

tidak


memenuhi

standar

dan

persyaratan

keamanan,

khasiat/kemanfaatan atau mutu.
3. Perintah pemusnahan obat atau bahan obat, jika terbukti tidak memenuhi
persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan atau mutu.
4. Penghentian sementara kegiatan.
5. Pembekuan Izin Industri Farmasi.
6. Pencabutan Izin Industri Farmasi.
2.1.5 Pencabutan Izin Usaha Industri Farmasi
a. Persetujuan Prinsip
Persetujuan prinsip batal apabila setelah jangka waktu 3 (tiga) tahun

dan/atau setelah jangka waktu 1 (satu) tahun perpanjangan, pemohon belum
menyelesaikan pembangunan fisik (Ditjen Binfar dan Alkes RI, 2011).
b. Izin Industri Farmasi
Izin produksi industri farmasi dapat dicabut apabila melanggar ketentuan
peraturan perundangan yang berlaku (Ditjen Binfar dan Alkes RI, 2011).

8

2.2 Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB)
Cara Pembuatan Obat yang Baik adalah pedoman pembuatan obat bagi
industri farmasi di Indonesia yang bertujuan untuk memastikan agar sifat dan
mutu obat yang dihasilkan senantiasa memenuhi persyaratan mutu yang telah
ditentukan dan sesuai dengan tujuan penggunaannya (Badan POM RI, 2012).
Berikut adalah aspek-aspek yang diatur dalam CPOB 2012:
2.2.1 Manajemen Mutu
Unsur dasar manajemen mutu adalah sistem mutu dan pemastian mutu.
Sistem mutu mencakup struktur organisasi, prosedur, proses, dan sumber daya.
Pemastian mutu (QA) adalah totalitas semua pengaturan yang dibuat dengan
tujuan untuk memastikan bahwa obat yang dihasilkan dengan mutu yang sesuai
dengan tujuan pemakaiannya. Sedangkan pengawasan mutu (QC) adalah bagian

dari CPOB yang berhubungan dengan pengambilan sampel, spesifikasi, pengujian
serta organisasi, dokumentasi dan prosedur pelulusan (Badan POM RI, 2012).
Konsep dasar Pemastian Mutu, Cara Pembuatan Obat yang Baik
(CPOB), Pengawasan Mutu dan Manajemen Risiko Mutu adalah aspek
manajemen mutu yang saling terkait (Badan POM RI, 2012).
Pemastian mutu mencakup Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB)
ditambah dengan faktor lain di luar pedoman ini seperti desain dan pengembangan
produk. Sistem pemastian mutu yang benar dan tepat bagi industri farmasi
hendaklah memastikan bahwa:
- Desain dan pengembangan obat dilakukan dengan memperhatikan persyaratan
Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) dan semua langkah produksi dan
pengawasan diuraikan secara jelas.

9

- Tanggung jawab manajerial diuraikan dengan jelas dalam uraian jabatan.
- Pengaturan disiapkan untuk pembuatan pasokan dan penggunaan bahan awal
dan pengemas yang benar.
- Semua pengawasan terhadap produk antara dan pengawasan selama - proses
(In Process Control/IPC) lain memenuhi persyaratan yang ditetapkan.

- Pengkajian terhadap semua dokumen yang terkait dengan proses pengemasan
dan pengujian Bets (Batch) dilakukan sebelum memberikan pengesahan
pelulusan untuk distribusi.Penilaian hendaklah meliputi semua faktor yang
relevan termasuk kondisi pembuatan, hasil dan Pengawasan Selama Proses (In
Process Control/IPC), pengkajian dokumen produksi termasuk pengemasan,
pengkajian penyimpangan dari prosedur yang telah ditetapkan, pemenuhan
persyaratan dari spesifikasi produk jadi dan pemeriksaan produk dalam
kemasan akhir.
- Obat tidak dijual atau dipasok sebelum Kepala Bagian Manajemen Mutu
(pemastian mutu) menyatakan bahwa tiap bets (Batch) produksi dibuat dan
dikendalikan sesuai dengan persyaratan yang tercantum dalam izin edar dan
peraturan lain yang berkaitan dengan aspek produksi, pengawasan mutu dan
pelulusan produk.
- Tersedia pengaturan yang memadai untuk memastikan bahwa sedapat mungkin
produk disimpan, didistribusikan dan selanjutnya ditangani sedemikian rupa
agar mutu tetap dijaga selama masa edar atau masa simpan obat.
- Tersedia prosedur inspeksi diri dan audit mutu yang secara berkala
mengevaluasi efektivitas dan penerapan sistem pemastian mutu.

10


- Pemasok bahan awal dan bahan pengemas dievaluasi dan disetujui untuk
memenuhi spesifikasi mutu yang telah ditentukan oleh perusahaan.
- Penyimpangan dilaporkan, diselidiki dan dicatat.
- Tersedia sistem persetujuan terhadap perubahan yang berdampak pada mutu
produk.
- Prosedur pengolahan ulang dievaluasi dan disetujui.
- Evaluasi mutu produk berkala dilakukan untuk verifikasi konsistensi proses
dan memastikan perbaikan proses yang berkesinambungan (Badan POM RI,
2012).
Manajemen resiko mutu adalah suatu proses sistematis untuk melakukan
penilaian, pengendalian dan pengkajian resiko terhadap mutu suatu produk.
Manajemen risiko mutu hendaklah memastikan bahwa:
- Evaluasi risiko terhadap mutu dilakukan berdasarkan pengetahuan secara
ilmiah, pengalaman dengan proses dan pada akhirnya terkait pada perlindungan
pasien.
- Tingkat usaha, formalitas dan dokumentasi dari proses manajemen risiko mutu
sepadan dengan tingkat risiko (Badan POM RI, 2012).
2.2.2 Personalia
Suatu industri farmasi bertanggung jawab menyediakan personil yang

sehat, terkualifikasi dan dalam jumlah yang memadai agar proses produksi dapat
berjalan dengan baik. Semua personil harus memahami prinsip CPOB agar
produk yang dihasilkan bermutu (Badan POM RI, 2012).
Kesehatan personil hendaklah dilakukan pada saat perekrutan, sehingga
dapat dipastikan bahwa semua calon karyawan (mulai dari petugas kebersihan,

11

pemasangan dan perawatan peralatan, personil produksi dan pengawasan hingga
personil tingkat manajerial) memiliki kesehatan fisik dan mental yang baik
sehingga akan berdampak pada mutu produk yang dibuat. Disamping itu
hendaklah dibuat dan dilaksanakan program pemeriksaan kesehatan berkala yang
mencakup pemeriksaan jenis-jenis penyakit yang dapat berdampak pada mutu dan
kemurnian produk akhir. Untuk masing-masing karyawan hendaklah ada catatan
tentang kesehatan mental dan fisiknya (Badan POM RI, 2012).
Dalam kualifikasi dan pengalaman personil yang diperlukan untuk tiap
posisi hendaklah ditetapkan secara tertulis yang disimpan oleh bagian SDM, juga
dapat ditampilkan pada uraian tugas masing-masing (Badan POM RI, 2012).
Jumlah personil yang memadai sangat mempengaruhi proses produksi.
Kekurangan jumlah personil cenderung mempengaruhi kualitas obat karena
jumlah karyawan yang sedikit biasanya mengakibatkan kerja lembur sehingga
dapat menimbulkan kelelahan fisik dan mental baik bagi operator ataupun
supervisor yang melakukan evaluasi atau mengambil keputusan (Badan POM RI,
2012).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 51 tahun 2009 pasal 9,
Industri Farmasi minimal harus memiliki 3 (tiga) orang Apoteker sebagai
penanggungjawab masing-masing pada bidang Pemastian Mutu, Produksi dan
Pengawasan Mutu setiap produksi sediaan farmasi.
2.2.3 Bangunan dan Fasilitas
Bangunan dan fasilitas untuk pembuatan obat hendaklah memiliki desain,
kontruksi, letak yang memadai dan kondisi yang sesuai serta perawatan yang
dilakukan dengan baik untuk memudahkan pelaksanaan operasi yang benar. Tata

12

letak dan desain ruangan harus dibuat sedemikian rupa untuk memperkecil
terjadinya resiko kekeliruan, pencemaran silang dan kesalahan lain serta
memudahkan pembersihan, sanitasi dan perawatan yang efektif untuk
menghindari pencemaran silang, penumpukan debu atau kotoran dan dampak lain
yang dapat menurunkan mutu obat (Badan POM RI, 2012).
Tingkat kebersihan ruang/area untuk pembuatan obat hendaklah
diklasifikasikan sesuai dengan jumlah maksimum partikulat udara yang
diperbolehkan untuk tiap kelas kebersihan sesuai tabel di bawah ini:

Keterangan: Kelas A, B, C dan D adalah kelas kebersihan ruang untuk pembuatan
produk steril. Kelas E adalah kelas kebersihan ruang untuk
pembuatan produk non steril (Badan POM RI, 2012).
Ruangan produksi hendaklah dilengkapi dengan sistem ventilasi dengan
pengontrol udara yang sesuai bagi produk dan aktifitas yang dilakukan, baik
terhadap ruangan lain maupun terhadap udara luar (Badan POM RI, 2013).
Rancang bangunan hendaklah dibuat sehingga untuk kegiatan yang
berhubungan langsung dengan daerah luar sarananya dikelompokkan. Kegiatan
yang berhubungan langsung dengan daerah luar antara lain:
- Penerimaan bahan awal.

13

- Keluar masuk karyawan.
- Pemakaian seragam kerja.
- Toilet, tempat cuci tangan.
- Penyerahan produk jadi untuk distribusi.
Rancangan diatas perlu ditekankan agar tidak berdampak negatif
terhadap kegiatan produksi yang dilakukan di area dengan kelas kebersihan lebih
tinggi (Badan POM RI, 2013).
Tata letak ruang hendaklah dikaji sejak tahap perencanaan kontruksi
bangunan demi keefektifan semua kegiatan, kelancaran arus kerja, komunikasi,
dan pengawasan serta untuk menghindari ketidakteraturan (Badan POM RI,
2013).
Tata letak ruang dalam area produksi yang harus dipenuhi antara lain
sebagai berikut:
- Untuk memperkecil risiko bahaya medis yang serius akibat terjadi pencemaran
silang, suatu sarana khusus dan self-contained harus disediakan untuk produksi
obat tertentu.
- Luas area kerja produksi minimal 2 kali luas yang diperlukan untuk
penempatan peralatan (termasuk wadah yang diperlukan untuk suatu kegiatan)
ditambah luas area untuk keperluan pembersihan dan perawatan mesin oleh
operator produksi atau teknisi.
- Permukaan lantai, dinding, langit-langit dan pintu hendaklah:
• Kedap air.
• Tidak terdapat sambungan untuk mengurangi pelepasan atau pengumpulan
partikel.

14

• Mudah dibersihkan, serta tahan terhadap proses pembersihan, bahan
pembersih

dan

disinfektan

yang

digunakan

berulangkali

dengan

memperhatikan faktor kepadatan, porositas, tekstur dan sifat elektrostatis
(Badan POM RI, 2013).
2.2.4 Peralatan
Peralatan yang digunakan dalam pembuatan obat hendaklah memiliki
rancang bangun dan konstruksi yang tepat, ukuran yang memadaidan ditempatkan
dengan tepat sehingga mutu dari setiap produk obat terjamin secara seragam dari
bets ke bets, serta untuk memudahkan pembersihan dan perawatannya (Badan
POM RI, 2012).
Rancangan bangunan dan kontruksi peralatan hendaklah memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
1. Permukaan peralatan yang bersentuhan dengan bahan baku, produk antara,
produk jadi tidak boleh bereaksi, mengadisi atau mengasorbsi yang dapat
mengubah identitas, mutu atau kemurniannya di luar batas yang ditentukan.
2. Peralatan tidak boleh menimbulkan akibat yang merugikan terhadap produk.
3. Bahan-bahan yang diperlukan untuk suatu tujuan khusus, seperti pelumas
atau pendingin tidak boleh bersentuhan langsung dengan bahan yang diolah.
4. Peralatan hendaknya dapat dibersihkan dengan mudah, baik bagian dalam
maupun bagian luar.
5. Peralatan yang digunakan untuk menimbang, mengukur, menguji dan
mencatat hendaklah diperiksa ketelitiannya secara teratur serta dikalibrasi
menurut suatu program dan prosedur yang tepat.
6. Peralatan hendaknya dirawat sesuai jadwal yang tepat.

15

7. Alat-alat harus dikalibrasi dan divalidasi untuk menjamin kelancaran kerja.
8. Daerah yang digunakan sebagai tempat penyimpanan bahan yang mudah
terbakar hendaklah dilengkapi dengan perlengkapan elektris yang kedap
eksplosi serta dibumikan dengan sempurna (Badan POM RI, 2012).
2.2.5 Sanitasi dan Higiene
Tingkat sanitasi dan higiene yang tinggi hendaklah diterapkan pada
setiap aspek pembuatan obat. Ruang lingkup meliputi personalia, bangunan,
peralatan dan kelengkapan, bahan produksi serta wadahnya, dan setiap hal yang
dapat merupakan sumber pencemaran produk. Sumber pencemaran hendaklah
dihilangkan melalui suatu program sanitasi dan higiene yang menyeluruh serta
terpadu (Badan POM RI, 2012).
Sanitasi dan higiene yang diatur dalam pedoman CPOB 2012 adalah
terhadap personalia, bangunan dan peralatan. Prosedur pembersihan, sanitasi dan
higiene hendaklah divalidasi serta dievaluasi secara berkala untuk memastikan
efektivitas prosedur dan selalu memenuhi persyaratan (Badan POM RI, 2012).
2.2.6 Produksi
Produksi hendaklah dilaksanakan dengan mengikuti prosedur yang telah
ditetapkan dan memenuhi ketentuan CPOB yang menjamin senantiasa
menghasilkan produk yang memenuhi persyaratan mutu serta memenuhi
ketentuan izin pembuatan dan izin edar (Badan POM RI, 2012).
Produksi baiknya dilakukan dan diawasi oleh personil yang kompeten,
mutu suatu obat tidak hanya ditentukan oleh hasil analisa terhadap produk akhir,
melainkan juga oleh mutu yang dibangun selama tahapan proses produksi sejak

16

pemilihan bahan awal, penimbangan, proses produksi, personalia, bangunan,
peralatan, kebersihan dan higiene sampai dengan pengemasan.
Prinsip utama produksi adalah:
a. Adanya keseragaman atau homogenitas dari bets ke bets.
b. Proses produksi dan pengemasan senantiasa menghasilkan produk yang
seidentik mungkin (dalam batas syarat mutu) baik bagi bets yang sudah
diproduksi maupun yang akan diproduksi.
Hakikat produksi adalah:
a. Mutu produk obat tidak ditentukan oleh hasil akhir analisa saja tetapi
ditentukan oleh keseluruhan proses produksi (built in process).
b. Adanya prosedur baku (standar) untuk setiap langkah (tahapan) proses
produksi dengan persyaratan yang harus diikuti dengan konsisten (Badan POM
RI, 2012).
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam produksi antara lain:
a. Pembelian Bahan Awal
Pembelian bahan awal hendaklah hanya dari pemasok yang telah
disetujui dan memenuhi spesifikasi yang relevan. Semua penerimaan, pengeluaran
dan jumlah bahan tersisa hendaklah dicatat. Catatan hendaklah berisi keterangan
mengenai pasokan, nomor bets/lot, tanggal penerimaan, tanggal pelulusan, dan
tanggal daluarsa (Badan POM RI,2012).
b. Pencegahan Pencemaran Silang
Tiap tahap proses, produk dan bahan hendaklah dilindungi terhadap
pencemaran mikroba dan pencemaran lain. Resiko pencemaran silang ini dapat
timbul akibat tidak terkendalinya debu, uap, percikan atau organisme dari bahan

17

atau produk yang sedang diproses, dari sisa yang tertinggal pada alat dan pakaian
kerja operator. Tingkat resiko pencemaran ini tergantung dari jenis pencemaran
dan produk yang tercemar. Pencemaran silang hendaklah dihindari dengan
tindakan teknis atau pengaturan yang tepat, antara lain:
- Produksi di dalam gedung yang terpisah (diperlukan untuk produk seperti
penisilin, hormon, sitotoksik dan produk biologi).
- Tersedia ruang penyangga udara dan penghisap udara.
- Memakai pakaian pelindung yang sesuai di area dimana produk yang beresiko
tinggi terhadap pencemaran silang diproses.
- Melaksanakan prosedur pembersihan dan dekontaminasi yang terbukti efektif
(Badan POM RI, 2012).
c. Penimbangan dan Penyerahan
Penimbangan dan penyerahan bahan awal, bahan pengemas, produk
antara dan produk ruahan dianggap sebagai bagian dari siklus produksi dan
memerlukan dokumentasi yang lengkap. Hanya bahan awal, bahan pengemas,
produk antara dan produk ruahan yang telah diluluskan oleh pengawasan mutu
dan masih belum daluarsa yang boleh diserahkan (Badan POM RI,2012).
d. Pengembalian
Semua bahan awal dan bahan pengemas yang dikembalikan ke gudang
penyimpanan hendaklah didokumentasikan dengan benar (Badan POM RI,2012).
e. Pengolahan produk antara dan produk ruahan
Semua bahan yang dipakai di dalam pengolahan hendaklah diperiksa
sebelum dipakai. Semua kegiatan pengolahan hendaklah dilaksanakan mengikuti

18

prosedur yang tertulis. Tiap penyimpangan hendaklah dilaporkan. Semua produk
antara dan ruahan diberi label (Badan POM RI,2012).
f. Kegiatan Pengemasan
Kegiatan pengemasan berfungsi mengemas produk ruahan menjadi
produk jadi. Pengemasan hendaklah dilaksanakan di bawah pengendalian yang
ketat untuk menjaga identitas, keutuhan dan mutu produk akhir yang
dikemas.Semua kegiatan pengemasan hendaklah dilaksanakan sesuai dengan
instruksi yang diberikan danmenggunakan bahan pengemasan yang tercantum
dalam prosedur pengemasan induk. Rincian pelaksanaan hendaklah dicatat dalam
catatan pengemasan bets (Badan POM RI, 2012).
g. Pengawasan Selama Proses
Pengawasan selama proses hendaklah mencakup:
- Semua parameter produk, volume atau jumlah isi produk diperiksa pada saat
awal dan selama proses pengolahan atau pengemasan.
- Kemasan akhir diperiksa selama proses pengemasan dengan selang waktu yang
teratur untuk memastikan kesesuaiannya dengan spesifikasi dan memastikan
semua komponen sesuai dengan yang ditetapkan dalam prosedur pengemasan
induk (Badan POM RI, 2012).
h. Karantina Produk Jadi
Karantina produk jadi merupakan tahap akhir pengendalian sebelum
penyerahan ke gudang dan siap untuk didistribusikan.Pengawasan yang ketat
hendaklah dilaksanakan untuk memastikan produk dan catatan pengolahan bets
memenuhi spesifikasi yang ditentukan (Badan POM RI, 2012).

19

2.2.7 Pengawasan Mutu
Pengawasan Mutu merupakan bagian yang esensial dari CPOB untuk
memberikan kepastian bahwa produk secara konsisten mempunyai mutu yang
sesuai dengan tujuan pemakaiannya. Keterlibatan dan komitmen semua pihak
yang berkepentingan pada semua tahap merupakan keharusan untuk mencapai
sasaran mutu mulai dari awal pembuatan sampai kepada distribusi produk jadi.
Pengawasan mutu tidak terbatas pada kegiatan laboratorium, tapi juga harus
terlibat dalam semua keputusan yang terkait dengan mutu produk (Badan POM
RI, 2012).
Bagian Pengawasan Mutu secara keseluruhan mempunyai tanggung
jawab, antara lain adalah:
- Membuat, memvalidasi dan menerapkan semua prosedur pengawasan mutu,
- Menyimpan sampel pembanding dari bahan dan produk,
- Memastikan pelabelan yang benar pada wadah bahan dan produk,
- Memastikan pelaksanaan pemantauan stabilitas dari produk,
- Ikut serta pada investigasi dari keluhan yang terkait dengan mutu produk
(Badan POM RI, 2012).
Personil, bangunan dan fasilitas serta peralatan laboratorium hendaklah
sesuai untuk jenis tugas yang ditentukan dan skala kegiatan pembuatan obat.
Kegiatan bagian Pengawasan Mutu yang dipersyaratkan dalam CPOB adalah
sebagai berikut:
a. Penanganan baku pembanding.
b. Penyusunan spesifikasi dan prosedur pengujian.
c. Penanganan contoh pertinggal.

20

d. Validasi.
e. Pengawasan terhadap bahan awal, produk antara, produk ruahan, dan obat jadi
meliputi spesifikasi, pengambilan contoh, pengujian untuk bahan-bahan
tersebut serta in process control.
f. Pengujian ulang bahan yang diluluskan.
g. Pengujian stabilitas.
h. Penanganan terhadap keluhan produk dan produk kembalian.
Bagian

Pengawasan

Mutu

memiliki

wewenang

khusus

untuk

memberikan keputusan akhir meluluskan atau menolak atas mutu bahan baku,
produk obat ataupun hal lain yang mempengaruhi mutu obat (Badan POM RI,
2012).
Dokumentasi

dan

prosedur

pelulusan

yang

diterapkan

bagian

Pengawasan Mutu hendaklah menjamin bahwa pengujian yang diperlukan telah
dilakukan sebelum bahan digunakan dalam produksi dan produk disetujui
sebelum didistribusikan (Badan POM RI, 2012).
2.2.8 Inspeksi Diri, Audit Mutu dan Audit & Persetujuan Pemasok
Tujuan inspeksi diri adalah untuk mengevaluasi apakah semua aspek
produksi dan pengawasan mutu industri farmasi memenuhi ketentuan CPOB
(Badan POM RI,2012).
Aspek-aspek dalam inspeksi diri antara lain:
- Personalia
- Bangunan termasuk fasilitas untuk personil
- Perawatan bangunan dan peralatan
- Penyimpanan bahan awal, bahan pengemas dan obat jadi

21

- Peralatan
- Pengolahan dan pengawasan selama proses
- Pengawasan mutu
- Dokumentasi
- Sanitasi dan higiene
- Program validasi dan re-validasi
- Kalibrasi alat dan sistem pengukuran
- Penanganan keluhan
- Pengawasan label
- Hasil inspeksi sebelumnya dan tindakan perbaikan
Inspeksi diri hendaklah dilakukan oleh tim yang anggotanya ditunjuk
secara tertulis atau ditetapkan dalam system inspeksi diri. Anggota tim inspeksi
diri hendaklah mempunyai pengetahuan tentang CPOB dan penerapannya,
terkualifikasi dan mempunyai pengalaman yang memadai dalam melakukan
inspeksi diri (Badan POM RI,2013).
Penyelenggaraan audit mutu berguna sebagai pelengkap inspeksi diri.
Audit mutu meliputi pemeriksaan dan penilaian semua atau sebagian dari sistem
manajemen mutu dengan tujuan spesifik. Audit mutu umumnya dilaksanakan oleh
spesialis dari luar atau independen atau suatu tim yang dibentuk khusus untuk hal
ini oleh manajemen perusahaan.

Audit mutu juga dapat diperluas terhadap

pemasok dan penerima kontrak (Badan POM RI, 2012).
Daftar pemasok yang disetujui hendaknya dibuat untuk bahan awal dan
bahan pengemas. Daftar pemasok harus disiapkan dan ditinjau ulang. Hendaklah
dilakukan evaluasi sebelum pemasok disetujui dan dimasukkan ke dalam daftar

22

pemasok atau spesifikasi. Evaluasi hendaklah mempertimbangkan riwayat
pemasok dan sifat bahan yang dipasok. Semua pemasok yang telah ditetapkan
hendaklah dievaluasi secara teratur (Badan POM RI, 2012).
2.2.9 Penanganan Keluhan Terhadap Produk dan Penarikan Kembali
Produk
Keluhan dan informasi lain yang berkaitan dengan kemungkinan terjadi
kerusakan obat harus dikaji dengan teliti sesuai dengan prosedur tertulis. Untuk
menangani semua kasus yang mendesak, hendaklah disusun suatu sistem, bila
perlu mencakup penarikan kembali produk yang diketahui atau diduga cacat dari
peredaran secara cepat dan efektif (Badan POM RI, 2012).
Keluhan dapat ditangani dengan:
- Menunjuk personil yang bertanggung jawab untuk menangani keluhan dan
memutuskan tindakan yang hendak dilakukan bersama staf yang memadai
untuk membantunya.
- Tersedia prosedur tertulis yang merinci penyelidikan, evaluasi, tindak lanjut
yang sesuai, termasuk pertimbangan untukpenarikan kembali produk, dalam
menanggapi keluhan terhadap obat yang diduga cacat.
- Memberikan perhatian khusus untuk menetapkan apakah keluhan disebabkan
oleh pemalsuan.
- Mencatat tiap keluhan yang menyangkut kerusakan produk yang mencakup

rincian mengenai asal-usul keluhan dan diselidiki secara menyeluruh dan
mendalam.

23

Pelaksanaan Penarikan Kembali Produk:
- Tindakan penarikan kembali produk hendaklah dilakukan segera setelah
diketahui ada produk yang cacat mutu atau diterima laporan mengenai reaksi
yang merugikan.
- Pemakaian produk yang berisiko tinggi terhadap kesehatan, hendaklah
dihentikan dengan cara embargo yang dilanjutkan dengan penarikan kembali
dengan segera.
- Sistem dokumentasi penarikan kembali produk di industri farmasi, hendaklah
menjamin bahwa embargo dan penarikan kembali dilaksanakan secara cepat,
efektif dan tuntas.
- Pedoman dan prosedur penarikan kembali terhadap produk hendaklah dibuat
untuk memungkinkan embargo dan penarikan kembali dapat dilakukan dengan
cepat dan efektif dari seluruh mata rantai distribusi.
Produk yang ditarik kembali diberi identifikasi dan disimpan terpisah di
area yang aman sementara menunggu keputusan terhadap produk tersebut.
Efektivitas penyelenggaraan penarikan kembali hendaklah dievaluasi dari waktu
ke waktu (Badan POM RI, 2012).
2.2.10 Dokumentasi
Dokumentasi pembuatan obat merupakan bagian dari sistem informasi
manajemen dan dokumentasi yang baik merupakan bagian yang sangat penting
dari pemastian mutu. Sistem dokumentasi yang dirancang/digunakan hendaklah
mengutamakan tujuannya, yaitu menentukan, memantau dan mencatat seluruh
aspek produksi serta pengendalian dan pengawasan mutu. Dokumentasi sangat
penting untuk memastikan bahwa tiap personil menerima uraian tugas secara jelas

24

dan rinci sehingga memperkecil resiko terjadinya kekeliruan yang biasanya timbul
karena hanya mengandalkan komunikasi lisan. Dokumentasi meliputi:
- Spesifikasi
Spesifikasi menguraikan secara rinci persyaratan yang harus dipenuhi produk
atau bahan yang digunakan atau diperoleh selama pembuatan. Dokumen ini
merupakan dasar untuk mengevaluasi mutu. Spesifikasi meliputi spesifikasi
bahan awal, spesifikasi bahan pengemas, spesifikasi produk antara dan produk
ruahan dan spesifikasi produk jadi.
- Dokumen Produksi
Dokumen produksi meliputi dokumen produksi induk, prosedur pengolahan
induk, dan prosedur pengemasan induk (formula pembuatan, instruksi
pengolahan, dan instruksi pengemasan) yang menyatakan seluruh bahan awal
dan bahan pengemas yang digunakan serta menguraikan semua operasi
pengolahan dan pengemasan.
- Prosedur
Prosedur berisi cara untuk melaksanakan operasi tertentu, misalnya
pembersihan, berpakaian, pengendalian lingkungan, pengambilan sampel,
pengujian dan pengoperasian peralatan.
- Laporan dan Catatan
Catatan menyajikan riwayat tiap bets produk, termasuk distribusi dan semua
catatan yang berpengaruh pada mutu produk akhir (Badan POM RI, 2012).
2.2.11 Pembuatan dan Analisis Berdasarkan Kontrak
Kontrak hendaklah dibuat antara pemberi kontrak dan penerima kontrak
dengan menetapkan tanggung jawab masing-masing pihak yang berhubungan

25

dengan produksi dan pengendalian mutu produk. Semua pengaturan pembuatan
dan analisis harus sesuai dengan izin edar dan disetujui oleh kedua belah pihak.
Pemberi kontrak hendaklah:
• Bertanggung jawab untuk menilai kompetensi penerima kontrak dalam
melaksanakan pekerjaan atau pengujian yang diperlukan.
• Menyediakan semua informasi yang diperlukan penerima kontrak untuk
melaksanakan pekerjaan kontrak secara benar sesuai izin edar dan persyaratan
legal lain.
• Memastikan semua produk yang diproses dan bahan yang dikirimkan oleh
penerima kontrak memenuhi spesifikasi yang ditetapkan atau telah diluluskan.
Penerima kontrak hendaklah:
• Mempunyai gedung dan peralatan yang cukup, pengetahuan dan pengalaman,
dan personil yang kompeten
• Memastikan bahwa semua produk dan bahan yang diterima sesuai dengan
tujuan penggunaannya.
• Tidak mengalihkan pekerjaan atau pengujian kepada pihak ketiga tanpa
persetujuan pihak pemberi kontrak
• Membatasi diri dari segala aktifitas yang berpengaruh buruk pada mutu (Badan
POM RI, 2012).
2.2.12 Kualifikasi dan Validasi
A. Kualifikasi
Validasi untuk mesin, peralatan produksi dan sarana penunjang disebut
dengan kualifikasi. Kualifikasi adalah kegiatan pembuktian (dokumentasi) bahwa
perlengkapan, fasilitas atau sistem yang digunakan dalam proses/sistem akan

26

bekerja dengan kriteria yang diinginkan secara konsisten. Kualifikasi merupakan
langkah awal (first step) dari keseluruhan pelaksanakan (Priyambodo, 2007).
Kualifikasi mesin, peralatan produksi dan sarana penunjang terdiri dari 4
tingkatan, yaitu:
1. Kualifikasi Desain.
Untuk menjamin dan mendokumentasikan bahwa sistem atau peralatan atau
bangunan yang akan dipasang atau dibangun (rancang bangunan) sesuai
dengan ketentuan atau spesifikasi yang diatur dalam ketentuan Cara
Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) yang berlaku. Kualifikasi desain
dilaksanakan sebelum mesin, peralatan produksi atau sarana penunjang
(termasuk bangunan untuk industri farmasi) tersebut dibeli atau dipasang atau
dibangun.
2. Kualifikasi Instalasi.
Untuk menjamin dan mendokumentasikan bahwa sistem atau peralatan yang
diinstalasi atau dipasang sesuai dengan spesifikasi yang tertera pada dokumen
pembelian, buku manual alat yang bersangkutan dan pemasangannya
dilakukan memenuhi spesifikasi yang telah ditetapkan. Kualifikasi instalasi
dilaksanakan pada saat pemasangan atau instalasi peralatan produksi atau
sarana penunjang.
3. Kualifikasi Operasional.
Untuk menjamin dan mendokumentasikan bahwa sistem atau peralatan yang
telah diinstalasi bekerja (beroperasi) sesuai dengan spesifikasi yang
diinginkan. Kualifikasi operasional dilaksanakan setelah pemasangan atau

27

instalasi mesin atau peralatan produksi atau sarana penunjang dan digunakan
sebagai mesin atau peralatan percobaan.
4. Kualifikasi Kinerja.
Untuk menjamin dan mendokumentasikan bahwa sistem atau peralatan yang
telah diinstalasi bekerja (beroperasi) sesuai dengan spesifikasi yang
diinginkan dengan cara menjalankan sistem sesuai dengan tujuan penggunaan
(Priyambodo, 2007).
Pelaksanaan

kualifikasi

harus

dilakukan

secara

berurutan

dan

berkesinambungan. Pelaksanaan kualifikasi dimulai dari kualifikasi desain,
kemudian kualifikasi instalasi, kualifikasi operasional dan yang terakhir
kualifikasi kinerja, tidak bisa dibolak-balik (Priyambodo, 2007).
B. Validasi
Validasi adalah suatu tindakan pembuktian dengan cara yang sesuai
bahwa tiap bahan, proses, prosedur, kegiatan, system, perlengkapan atau
mekanisme yang disunakan dalam produksi dan pengawasan mutu akan
senantiasa mencapai hasil yang diinginkan secara konsisten/terus-menerus
(Priyambodo, 2007).
1. Validasi Proses
Validasi

Proses

diartikan

sebagai

tindakan

pembuktian

yang

didokumentasikan bahwa proses yang dilakukan dalam batas parameter yang
ditetapkan dapat bekerja secara efektif dan memberi hasil yang dapat terulang
untuk menghasilkan produk jadi yang memenuhi spesifikasi dan atribut mutu
yang ditetapkan sebelumnya (Priyambodo, 2007).

28

Validasi bertujuan untuk memberikan dokumentasi secara tertulis bahwa
prosedur produksi yang berlaku dan digunakan dalam proses produksi (Batch
Processing Record), senantiasa mencapai hasil yang diinginkan secara terusmenerus, mengurangi problem yang terjadi selama proses produksi serta
memperkecil kemungkinan terjadinya proses ulang (Priyambodo, 2007).
Validasi proses dilakukan dengan pendekatan sebagai berikut:
a. Validasi Prospektif
Validasi Prospektif adalah Validasi yang dilakukan sebelum pelaksanaan
produksi rutin dari produk yang akan dipasarkan dan dilaksanakan sebelum
produk diedarkan yang berlaku untuk:
• Produk baru,
• Modifikasi pada proses produksi yang dapat berdampak pada karakteristik
produk tersebut. Prasyarat lain adalah Laporan produk transfer dari bagian
R&D ke bagian Produksi.
b. Validasi Konkuren
Validasi Konkuren adalah Validasi yang dilakukan pada saat pembuatan rutin
produk untuk dijual yang oleh suatu hal belum dilakukan validasi prospektif.
Produk yang telah divalidasi secara prospektif karena hal tertentu seperti:
• Perubahan

parameter

proses

sebagai

tindak

lanjut

dari

penyimpangan atau rekomendasi dari Pengkajian Mutu Produk
• Perubahan pabrik pembuat eksipien dengan spesifikasi yang sama
• Perubahan mesin dengan spesifikasi yang sama
• Transfer pembuatan produk ke pabrik lain
Dapat dilakukan validasi konkuren (Badan POM RI, 2013).

29

adanya

c. Validasi retrospektif
Validasi retrospektif adalah validasi pembuatan produk yang telah dipasarkan
yang dilaksanakan berdasarkan data pembuatan, pengujian dan pengawasan
bets yang dikumpulkan sesuai dengan protocol yang telah disiapkan dan
disetujui (Badan POM RI, 2013).
2. Validasi Pembersihan
Tujuan dari pelaksanaan Validasi Pembersihan (Cleaning Validation)
adalah untuk membuktikan bahwa prosedur yang ditetapkan untuk membersihkan
suatu peralatan pengolahan, hingga pengemasan primer mampu membersihkan
sisa bahan aktif obat dan deterjen yang digunakan untuk proses pencucian dan
juga dapat mengendalikan cemaran mikroba pada tingkat yang dapat diterima
(Priyambodo, 2007).
3. Validasi Metode Analisis
Tujuan validasi metode analisis adalah untuk menunjukkan bahwa metode
analisis sesuai dengan tujuan penggunaannya.
Validasi metode analisis umumnya dilakukan terhadap 4 jenis, yaitu:
• Uji identifikasi.
• Uji kuantitatif kandungan impuritas (impurity).
• Uji batas impuritas.
• Uji kuantitatif zat aktif dalam sampel bahan aktif obat atau obat atau komponen
tertentu dalam obat.
Metode analisi lain, seperti uji disolusiuntuk obat atau penentuan ukuran
partikel untuk bahan aktif obat, hendaklah juga divalidasi (Badan POM RI, 2012).

30

4. Validasi Ulang
Fasilitas, sistem, peralatan dan proses termasuk proses pembersihan
hendaklah dievaluasi secara berkala untuk konfirmasi keabsahannya (Badan POM
RI, 2012). Validasi ulang juga diperlukan pada kondisi sebagai berikut:
• Melibatkan bahan aktif obat baru / pemasok baru.
• Melibatkan formulasi baru.
• Perubahan prosedur analisis.
• Prosedur pembersihan diperbaharui melalui mekanisme perubahan.
• Melewati jangka waktu yang ditetapkan untuk melakukan validasi ulang (Badan
POM RI, 2013).

31