Sintesis di – bis – 2 – hidroksil – etil – 1,9 – nonanadiamida dan dietanolamin menggunakan katalis natrium metoksida

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Oleokimia
Oleokimia pada dasarnya merupakan cabang ilmu kimia yang mempelajari
trigliserida yang berasal dari minyak dan lemak menjadi asam lemak dan gliserin
serta turunan asam lemak baik dalam bentuk ester, amida, sulfat, sulfonat,
alkohol, alkoksi maupun sabun. Beberapa produk oleokimia dapat dihasilkan dari
petrokimia yang merupakan oleokimia sintetik, misalnya alkohol asam lemak
dapat diperoleh dari etilen dan gliserol dari propilen, sedangkan yang dimaksud
dengan oleokimia alami merupakan turunan dari lemak dan minyak. Produk
petrokimia dari industri olefin seperti propilena dapat diubah menjadi gliserol,
demikian juga etilena secara reaksi Ziegler Natta diubah menjadi alkohol asam
lemak (Richtler dan Knaut, 1984).
Sumber minyak dan lemak alami dapat berasal dari bahan nabati maupun
hewani. Sumber minyak nabati diantaranya adalah minyak kelapa sawit, minyak
kacang kedelai, minyak biji matahari, minyak kelapa, sedangkan sumber minyak
dan lemak berasal dari hewan seperti sapi, minyak domba, minyak babi, minyak
ikan yang luas penggunaannya sebagai bahan baku minyak dan lemak yang dapat
dimakan serta berbagai olahan reaksi kimia menjadi produk yang dapat digunakan

untuk kebutuhan manusia. Penggunaan terbesar daripada asam lemak adalah
dengan mengubahnya menjadi alkohol asam lemak, amida, garam asam lemak
dan juga plastik termasuk nilon (hampir mencapai 40 % dari total
penggunaannya). Asam lemak juga digunakan sebesar 30 % untuk dijadikan
deterjen, sabun, kosmetik dan bahan dasar pembuatan resin dan cat sekitar 15 %
sisa daripada penggunaan asam lemak sebagai bahan pembantu dalam industri
pembuatan ban, tekstil, kulit, kertas, pelumas, gemuk, dan lilin (Richtler dan
Knaut 1984).

Hasil olahan oleokimia dapat dibagi 2 bagian, yakni : a) bahan dasar
oleokimia dan b) turunan oleokimia. Gambaran perubahan oleokimia tersebut dari
bahan dasar sampai menjadi oleokimia dan turunan oleokimia seperti berikut pada
tabel di bawah (Richtler,dan Knaut, 1984).
Tabel 2.1. Diagram Alir Oleokimia
Bahan Dasar
Minyak dan
Lemak

Bahan Dasar Kimia Oleo


Beberapa Turunannya
Sabun, Asil klorida,
Amida, Ester

Asam Lemak
Alkohol
Amin
Asam Lemak Asam Lemak
Metil
Ester
Asam Lemak

Etoksida, Epoksida,
Alkanol Amida
Sulfat, Sulfonat, Ester,
dan Aldehida

Ester, Amida, Aldehida
Alkil Resin, Dinamit,
Mono dan Di gliserida


Gliserin
Propilena
Nafta
Etilena

Sumber

:

Richtler dan Knaut,1984

:

Alami

:

Sintesis


Reaksi-reaksi yang banyak digunakan dalam oleokimia antara lain
safonifikasi,

esterifikasi,

klorinasi,

amidasi,

aminasi,

oksidasi,

reduksi,

hidrogenasi, sulfasi, sulfonasi, epoksidasi dan sebagainya. Reaksi-reaksi tersebut
melibatkan bahan baku lemak atau minyak alami serta propilena dan etilena dalam
produk petrokimia (Richtler dan Knault, 1984).

Amida dan amina asam lemak sangat luas penggunaannya, amida asam

lemak pada industri oleokimia digunakan secara luas sebagai slip agent, maupun
sebagai pelumas pada pemutusan resin seperti PVC, Polistirena, Polyolefin,

Polivinil asetat, maupun Fenolat. Sebagai slip agent dan pelumas pada bahan resin
dapat digunakan amida primer maupun metil – cis – amida serta amida sekunder
(Reck, 1985).

2.2. Esterifikasi
Secara umum, reaksi esterifikasi untuk menghasilkan senyawa ester
melalui reaksi antara asam karboksilat dengan alkohol berlangsung melalui
beberapa tahap reaksi, yang dapat diterangkan sebagai berikut (Fessenden,1990):
1.

Oksigen karbonil dari asam karboksilat diprotonisasi oleh asam. Disini terjadi
transfer proton dari katalis asam ke atom oksigen karbonil, sehingga
meningkatan elektrofisilisitas dari atom C dari gugus karbonil.
+
OH

O

R

2.

C

OH + H+

R

OH
OH

C

R

OH

C

+

Alkohol nukleofilik menyerang karbon positif, dimana atom karbon karbonil
kemudian diserang oleh atom oksigen dari alkohol, yang bersifat nukleofilik
sehingga terbentuk ion oksonium. Terjadinya pelepasan proton dari gugus
hidroksil milik alkohol, menghasilkan kompleks teraktivasi.
OH

OH

OH
+

+
R C
+ OH ROH

R C OH

H


R C OH
OR

H OR

3.

OH
+

H

+
R C OH2
OR

Protonisasi terhadap salah satu gugus hidroksil yang diikuti oleh pelepasan
molekul air menghasilkan ester (eleminasi molekul air diikuti penarikan H+
dan H2O).

OH
R

C

+
OH2

OR

OH

OH
- H2O R

C
OR

R


C
OR

O
+

H

R

C

OR

Tahapan reaksi diatas dapat dirangkum sebagai menjadi sebagai berikut:

O

O


OH
+

,
- H2O
R C OR,
R C OH
,
ester
OR
Gambar 2.1. Mekanisme esterifikasi asam karboksilat dengan metanol
(Fessenden,1990)

H
R C OH + ROH
asam karboksilat

Pembuatan metil ester asam lemak juga dapat dilakukan dengan reaksi
interesterifikasi. Sebenarnya reaksi interesterifikasi yang terjadi pada perubahan
trigliserida menjadi metil ester asam lemak dalam penggunaan metanol berlebihan
yang alkalis (menggunakan basa (NaOH, CH3ONa) merupakan suatu pembenaran
dari konsep HSAB, dimana hard acid (HA) lebih senang terikat dengan hard base
(HB), sebaliknya soft acid (SA) dengan soft base (SB).
Dengan konsep HSAB tersebut lebih mudah menjelaskan reaksi
interesterifikasi dari perubahan trigliserida menjadi metil ester asam lemak yang
ditawarkan hamilton mekanisme reaksinya sebagai berikut (Hamilton, 1990).
O
O

O
R

O

-

R

O

O

+

O

NaOCH3

R

O

R

O
-

O
R

R

R

+

O Na

O

+
OCH3

+

O Na
O
R
OCH3
O

O

Gam

O
O

R

bar

2.2. Mekanisme Reaksi Interesterifikasi (Hamilton, 1990)

Secara mendasar memang reaksi interesterifikasi terjadi dikarenakan
modifikasi gugus terdesak gliseroksi dengan penggunaan gugus pengganti
metoksi yang berasal dari penggunaan pelarut metanol dalam suasana alkalis
seperti yang ditawarkan pada mekanisme reaksi di atas. Dasar konsep pemikiran
tersebut telah banyak diteliti pengaruh berbagai jenis katalis basa yang berbeda
nukleofilisitasnya dalam berbagai jenis pelarut semenjak tahun 1954 sampai 1990
pada reaksi oleokimia (Ho, 1977). Akan tetapi sebenarnya lebih mudah
menjelaskan konsep tersebut berdasarkan konsep HSAB. Oleh karena itu secara
hipotesis tetap dianggap pada reaksi transesterifikasi terjadi reaksi penyabunan

yang diikuti segera oleh reaksi esterifikasi antara garam asam organik yang
terbentuk dengan pelarut metanol. Hal ini dapat terjadi dikarenakan Na+ lebih
(R─CH2─CO+) dan demikian juga OH- lebih

hard acid daripada asil

hard base daripada metoksida (CH3O-) sehingga segera terbentuk metil ester dan
NaOH kembali.
O
CH2
CH

O

C
O

O

C
O

CH2

O

R
R

C

+

3 NaOH

R

CH2

OH

CH

OH

3R

+

C
O-Na+

CH2

OH

O

O

C

3R

O

-

+

+

O Na

3 CH3OH

3R

C

+

3 NaOH

OCH3

Gambar 2.3. Pembentukan Metil Ester Melalui Reaksi Saponifikasi dan
Esterifikasi (Ho, 1977)
Berdasarkan konsep HSAB tersebut juga terdapat dijelaskan perubahan
langsung metil ester asam lemak secara reaksi aminasi menjadi turunan amidanya
(Brahmana (II), 1998). Penggunaan konsep HSAB dalam reaksi oleokimia akan
menyederhanakan tahapan reaksi serta sekaligus lebih efisien dan efektif dari
sudut pandang industri kimia.

2.3 Ester Asam Lemak
Yang dikelompok sebagai ester asam lemak meliputi :
a. Ester karboksilat tunggal dengan panjang rantai karbon dari C6 sampai dengan
C20
b. Ester asam lemak yang hanya mengandung karbon, nitrogen dan oksigen
c. Ester alkohol dari asam lemak tersebut di atas termasuk juga dalam kelompok
ester asam lemak.
Berdasarkan Meffert ester asam lemak yang terdapat secara alami tidak
termasuk dalam kelompok ester asam lemak yang dimaksudkan (Meffert and

Henkel, 1984). Jadi dalam hal ini lilin yang merupakan ester asam lemak alami
yang dikelompokkan sebagai ester asam lemak.
Ester asam lemak dalam garis besarnya terbagi atas (Meffert and Henkel, 1984) :
a. Ester asam lemak dengan poliol
b. Etoksilat asam lemak dan ester
c. Ester alkohol tunggal
Ester asam lemak dengan poliol meliputi ester dari etilena glikol, gliserol,
neopentilol maupun karbohidrat. Ester glikol pada umumnya merupakan ester
etilena glikol stearat yang banyak digunakan dalam industri kosmetik, dan juga
digunakan untuk menstabilkan pemantapan o/w maupun w/o (Meffert and Henkel,
1984). Sedangakan ester gliserol asam lemak, adalah campuran utama monoester
dan diester serta dalam jumlah kecil dari C12-18 digunakan secara luas sebagai
bahan pemantap o/w pada bahan makanan dan kosmetik (De Navarre, 1962).
Pada proses pembuatan PVC digunakan ester gliserol monostearat dan
monooleat sebagai pelumas dahil (internal lubricant) (Bhat, 1990). Ester
monostearat gliserol memiliki pengaruh positif terhadap stabilitas termal PVC.
Selanjutnya ester neopentilol asam lemak dari C6-10 digunakan secara luas pada jet
pesawat sipil maupun militer. Malahan dijumpai sangat sesuai digunakan pada
pesawat jet yang memiliki kecepatan 2 – 3 Mach. Juga digunakan pelumas yang
stabil terhadap termal pada industri pembuatan serat filamen (Meffert and Henkel,
1984).
Ester karbohidrat asam lemak telah dikenal seperti ester sorbitol semenjak
tahun 1930-an yang mana kemudian sekarang dikenal pula ester glukosa maupun
ester sukrosa. Sebagai hasil utama terbentuk 1,4 – anhidro sorbitol yang luas
digunakan sebagai bahan pemantap w/o dan o/w pada kosmetik bahan makanan
dan obat (Jaspers, 1987). Selanjutnya etoksilat asam lemak dan esternya
merupakan hasil reaksi etoksilasi maupun esterifikasi asam lemak dengan
polietilena glikol, yang paling penting dalam hal ini adalah dalam bentuk
monoester daripada diester serta digunakan secara luas sebagai bahan pemantap
o/w, pemboran minyak, maupun proses pembuatan aluminium dan logam paduan
(alloy). Ester asam lemak yang paling luas digunakan dalam hal ini adalah C12:0,
C18:0 dan C18:1 (Meffert and Henkel, 1984).

Bentuk etoksilasi monogliserida yang dikenal secara luas adalah ester
sorbitol etoksilat yang digunakan secara luas sebagai bahan pemantap o/w pada
proses pembuatan kosmetik. Sedangkan ester monoalkohol adalah ester dari C16-18
baik dengan metanol, 1- propanol, buatanol, oleil alkohol maupun stearil alkohol
digunakan sebagai bahan pemantap w/o pada industri kosmetik, pelumas pada
pembuatan tekstil maupun plastik (Meffert and Henkel, 1984).
Selanjutnya ester asam lemak yang banyak digunakan dalam industri
oleokimia adalah metil ester. Metil ester yang dapat dibuat secara reaksi
interesterifikasi dan saponifikasi yang diikuti esterifikasi dari minyak dan lemak
baik yang berasal dari hewan dan tumbuh-tumbuhan, merupakan zat antara yang
sangat penting dalam industri oleokimia. Telah banyak penelitian yang
dikembangkan untuk meningkatkan hasil reaksi dengan menggunakan berbagai
jenis katalis seperti asam sulfat, asam klorida, soda kaustik atau soda potash.
Juga diteliti efisiensi proses dalam industri oleokimia dengan cara
membandingkan reaksi interesterifikasi dan esterifikasi. Ternyata reaksi
interesterifikasi memberikan keuntungan lebih besar dibandingkan esterifikasi
disebabkan perolehan gliserol pada proses pertama jauh lebih tinggi
konsentrasinya dibandingkan proses kedua (Yamane and Miyawaki, 1990). Tetapi
pada CPO yang mengandung karetenoid lebih menguntungkan melalui proses
penyabunan yang diikuti esterifikasi.
Perbedaan hasil reaksi antara pembuatan metil ester asam lemak yang
dibandingkan etil ester asam lemak yang menggunakan katalis asam sulfat juga
telah diteliti. Ternyata pembuatan metil ester asam lemak jauh lebih efisien
dibandingkan dengan etil ester (Ozgul and Turkay, 1993). Hal ini dapat
dimengerti karena pengaruh perbedaan kerapatan elektron yang berbeda akibat
bertambah panjangnya rantai hidrokarbon alkohol tersebut.
Pembuatan metil ester asam lemak telah dikembangkan dengan cara
pengadukan kecepatan tinggi serta suhu kamar dengan waktu reaksi 15-30 menit
serta memberikan hasil reaksi pembuatan metil ester asam lemak 90-95 %
(Mittelbach and Tritthart, 1988).

2.4. Asam Oleat Dan Asam Azelat

Asam oleat (C18:1) yang dapat diperoleh dalam kadar kemurnian 99% dari
biji pepaya (Carica papaya) dengan teknik isolasi fraksinasi penambahan urea
(Bhat, 1990) ternyata juga banyak ditemukan pada alpokat, kemiri, biji karet
disamping yang berasal dari minyak kelapa sawit dan kacang kedelai. Oleat tidak
ekonomis ubtuk diproduksi pada industri oleokimia dengan menggunakan bahan
baku dari produk petrokimia. Suatu hal menarik untuk dikaji secara bersama oleh
peneliti dan praktis dari oleokimia, apa yang telah dilakukan Maycock di
Malaysia dalam memanfaatkan fraksi sisa dari hasil pemisahan metil ester yang
kaya akan kandungan oleat sebagai bahan bakar ketel (Maycock, 1986).
Oksdasi asam oleat dengan KMnO4 hasilnya bervariasi tergantung dari
kondisi pada reaksi yang berlangsung.
1. Asam oleat dalam larutan alkali dingin (Ice cold) akan teroksidasi dengan
cepat oleh larutan permanganat encer, sehingga menghasilkan asam dihidroksi
stearat.
O
CH3

(CH2)7 CH
Asam oleat
OH

CH3

(CH2)7

CH

CH

(CH2)7

C
OH

OH
CH

KMnO4/NaOH
H2O

O
(CH2)7

C

OH
Gambar 2.4. Reaksi Oksidasi Asam Oleat dengan KMnO4 suasana basa
(Ketaran, 1986)

Asam linoleat (2 ikatan rangkap) dan asam linolenat (3 ikatan

rangkap)

berturut – turut akan menghasilkan asam tetrahidroksi dan heksahidroksi
tetapi dalam jumlah yang kecil.
2. Proses oksidasi asam hidroksi yang terkontrol akan menghasilkan asam
ketohidroksi stearat dan diketostearat akhirnya dengan proses pemecahannya
rantai karbon akan membentuk asam kaprilat, okasalat, dan suberat.
3. Serbuk KMnO4 yang dididihkan dalam larutan aseton akan memutuskan rantai
karbon pada ikatan rangkap dengan menghasilkan asam. Dalam reaksi ini

menghasilkan sejumlah kecil hasil antara yang merupakan persenyawaan asam
lemak yang telah diadisi oleh oksigen pada ikatan rangkap (Ketaren, 1986).
O
CH3

(CH2)7 CH
Asam oleat

CH

(CH2)7

(CH2)7

Asam pelargonat

H3O+
O

O
+

C

KMnO4/NaOH

OH

O
CH3

C

OH

C
HO

(CH2)7
Asam Azelat

C
OH

Gambar 2.5. Reaksi Pembuatan Asam Azelat dari Asam Oleat (Ketaren, 1986)
Garvi dan Avni (1981) telah melaporkan bahwa oksidasi terhadap asam
lemak tidak jenuh dengan berbagai agen pengoksidasi seperti kalium
permanganat, kalium dikromat, asam kromat dan natrium hipoklorit. Oksidasi
terhadap asam oleat dalam emulsi minyak dalam air pada suasana netral
menghasilkan pembentukan dihidroksi ketodihidroksi dan asam diketo bersama
dengan asam azelat dan asam pelargonat.
Reaksi kalium permanganat dalam suasana basa dengan asam risinoleat
juga telah dilaporkan oleh Hill dan Me Ewen (1943) yang menghasilkan sekitar
34 % yield dari asam azelat. Disamping itu dengan menggunakan natrium
hipoklorit, agen pengaktifan permukaan (surface – active agents) dan ruthenium
klorida sebagai katalis bisa mencapai konvensi yang lebih tinggi dan mengurangi
waktu reaksi jika dibandingkan dengan sistem tak teremulsi atau heterogen
(Zaldman.et.al, 1998).
Asam azelat (asam 1,9 – nonanadioat) merupakan asam lemak dwibasa
yang penting untuk berbagai aplikasi. Asam lemak tidak jenuh seperti asam oleat,
linoleat maupun resinoleat dapat dioksidasi menjadi asam 1,9 – nonanadioat yang
dikenal sebagai asam azelat dengan menggunakan oksidator seperti KMnO4,
HNO3, K2Cr2O7 dan senyawa-senyawa peroksida. Pemakaian oksidator kalium
permanganat memiliki keunggulan dibandingkan oksidator lainnya, karena dapat
didaur ulang. (Brahmana (I), 1998).
Kristal asam azelat dapat didestilasi pada suhu 257 oC dengan tekanan 100
mmHg, asam azelat tidak menguap pada steam, kelarutan asam azelat dalam air

hanya 0,2 % pada suhu 15 oC serta 2,2 % pada suhu 6,5 oC, akan tetapi larut
sempurna pada 100 oC.
Penggunaan asam azelat secara komersial terbagi 3 bagian :
a. Diester dan poliester linear digunakan sebagai plastizer pembuatan polivinil
klorida
b. Diester dipergunakan sebagai minyak pelumas mesin
c. Zat perantara dalam pembuatan polimer seperti poliamida (Nilon 9,9,
poliester, poliuretan, benang dan resin).
Pada umumnya plastizer diester digunakan adalah isooktil dan 2 – etil –
heksil – azelat. Dioktil azelat, didekil azelat, banyak digunakan dalam minyak
pelumas dalam piston dan turbin mesin. Senyawa ini dipergunakan dalam pesawat
terbang, karena pada suhu tinggi dia bersifat stabil dan viskositasnya rendah pada
suhu rendah.
Asam azelat juga dapat dipergunakan dalam pembuatan suatu polimer
nilon 9,9 yaitu dengan mereaksikan asam azelat dengan NH3 mengunakan
katalisator P2O5 untuk menghasilkan 1,7 – disiano heptana yang selanjutnya
direaksikan dengan H2 menghasilkan 1,9 – diamino yang selanjutnya direaksikan
dengan asam azelat menghasilkan nilon 9,9. (Kandesch, 1979).
HOOC - (CH2)7 - COOH
Asam azelat

CN - (CH2)7 - CN
1, 7 - disiano heptana

H2N - (CH2)7 - NH2
1,9 - Diaminnonana

n HOOC - (CH2)7 - COOH + n H2N - (CH2)7 - NH2
1,9 - Diaminnonana
Asam azelat
O
C

O
+ (n - 1) H2O
(CH2)7 C
NH - (CH)7 - NH
n
nilon 9,9

Gambar 2.6. Reaksi Pembuatan Nilon 9,9 (Kandesch, 1979)
Oksidasi asam oleat dapat menghasilkan sejumlah molekul monobasa
yang ekuivalen secara bersama pada pembuatan asam azelat yaitu asam nonanoat
yang secara umum dikenal sebagai asam pelargonat (Kandesch, 1979).

Selanjutnya asam azelat dapat diendapkan dari filtrat yang disaring waktu panas
apabila pH 3. Pada kondisi ini setelah didinginkan asam azelat akan mengendap.
Asam azelat juga telah diproduksi secara komersial oleh Emerox di Ohio dengan
proses ozonolisis asam oleat, diikuti dengan dekomposisi ozonida dengan oksigen
(Johnson, 1984).
Asam azelat dapat diturunkan menjadi berbagai senyawa seperti amida
azelat dimana dapat direduksi menjadi 1,9 – nonanadiamin dan 1,9 – nonanadiol.
Asam azelat juga dapat ditransformasikan menjadi berbagai bentuk senyawa
antara lain 1,9 – digliseril nonanadioat (Masmur, 2000) dan 1 – (propoksidioil –
2,3) – 9 – nonanol (Sulastri, 1999). Disamping itu juga digunakan luas sebagai
plastizer dalam industri pembuatan resin. Asam azelat juga dapat dipakai sebagai
bahan antara polimer untuk pembuatan poliamida, poliester dan perekat poliuretan
(Johnson, 1984).
2.5. Reaksi Amidasi

Amida adalah turunan asam karboksilat yang paling tidak reaktif, karena
itu golongan senyawa ini banyak terdapat di alam. Amida yang terpenting adalah
protein. Amida diberi nama dengan menggantikan akhiran –at atau –oat dengan
akhiran amida. Pada contoh – contoh dibawah ini nama IUPAC diberi tanda
kurung (Hart, 1990).
O
H

C

O

O
CH3

NH2

Formamida
(metamida)

C

C

CH3

Benzenamida
(benzen karboksiamida)

asetamida
(etanamida)

Struktur resonansi hibrid dari amida dapat dituliskan sebagai berikut :
O
R

O

C

R
N

H

NH2

C
N

H

H
H
Gambar 2.7. Struktur Resonansi Amida (Hart, 1990)

Karena keelektronegatifan atom N lebih kecil dari atom oksigen maka
elektron lebih tertarik ke arah oksigen. Oleh karena itu struktur resonansi dengan
C dan N sebagai ikatan ganda ( C═ N ) cukup mantap. Senyawa amida memiliki
titik didih relatif tinggi dibandingkan senyawa lain dengan berat molekul sama.
Hal ini disebabkan karena kemampuannya membentuk ikatan hidrogen (Warsito,
1996).

H
H

O
C

O

N

H

C

N H

R
R
Gambar 2.8. Ikatan Hidrogen Amida (Warsito, 1996)

Amida asam lemak dapat dibuat secara sintetik pada industri oleokimia,
dimana berlangsung pada proses Batch. Pada proses amoniak dan asam lemak
bebas bereaksi pada suhu 200oC dan tekanan 345 – 690 kPa selama 10 – 20 jam.
Dengan proses tersebut dibuat amida primer seperti palmitamida, stearamida
serta yang lainnya (Billenstein dan Blaschkes, 1984).
O

O
R

+

C

NH3

C

R

+

H2O

NH2

OH

Amida

Amoniak

Asam lemak

Selain proses Batch amida dapat diperoleh dengan mereaksikan amoniak dengan
metil ester atau asil klorida asam lemak.
O

O
R

+

C
OCH3
metil ester
O

R

C
asil klorida

R

amoniak

+

C
NH2

amida

CH3OH
metanol

O
+

OCl

NH3

NH3
amoniak

R

+

C
amida

HCl

NH2
asam korida

Gambar 2.9. Reaksi Pembuatan Amida (Billenstein dan Blaschkes, 1984)

Reaksi tersebut mengikuti konsep hard and soft acid and base (HSAB)
dimana H+ dari amoniak merupakan hard acid yang mudah bereaksi dengan hard
base CH3CO- menghasilkan metanol sebaliknya NH2- lebih bersifat soft base
dibandingkan dengan CH3O-, sehingga akan berikatan dengan R – C+═ O yang
lebih soft acid dibandingkan H+. Demikian juga halnya dengan reaksi asil klorida
asam lemak dengan amoniak dimana H+ dari amoniak merupakan Hard acid yang
mudah bereaksi dengan Cl- dari asil klorida yang Hard base membentuk HCl (Ho,
1977).

Pembuatan amida sekunder dilaksanakan dengan mereaksikan asam lemak
dengan amina.
O

O
o

R

+

C

R - NH2 150 - 200 C

R

C

+

H 2O

NHR
amida sekunder
Gambar 2.10. Reaksi Pembuatan Amida Sekunder (Ho, 1977)
OH

Senyawa – senyawa amida dapat mengalami beberapa reaksi, diantaranya adalah :
1. Hidrolisis menggunakan katalisator asam atau basa
O
O
H
+ H2O
+ H - OH
C
R
C
R
OH
amida NH2
asam karboksilat
2. Dehidrasi dengan katalis P2O5 yang disertai pemanasan membentuk
senyawa nitril
O
P2O5
H2O
+
R
C
N
C
R
kalor
NH2
amida
3. Amida dapat direduksi dengan lithium aluminium hidrida menghasilkan
amino (Hardjosudirdjo, 1990)
O
LiAlH4
R
CH2 NH2
C
R
NH2
amida

Gambar 2.11. Reduksi Amida (Hardjosudirdjo, 1990)

Pada reaksi amida gugus karbonil diubah menjadi CH2 dimana reduksi ini
menghasilkan bermacam – macam kelas amina tergantung pada struktur amida.
(Hart, 1990). Disamping metode di atas amina yang dihasilkan hanya senyawa
amina primer dan reduksi dapat dilakukan dengan LiAlH4 atau secara katalitik.
R

C

N

LiAlH4
H2, Ni

R CH2 NH2

Nilon suatu polimer, yaitu poliamida yang dibuat dari reaksi antara asam adipat
dengan heksanal etilediamina.
n HOOC - (CH2)4 - COOH
O
C

Asam adipat
O
(CH2)4

C

+

n H2N - (CH2)4 - NH2
1,6 - Diaminnonana

+ (n - 1) H2O (n = 50 - 100) polimer

NH - (CH)4 - NH

nilon 6,6

200 - 300oC

n

Gambar 2.12. Reaksi Pembuatan nilon 6,6 (Hart, 1990)
Dari reaksi tersebut di atas akan menghasilkan H2O oleh karena itu polimerisasi
semacam ini disebut kondensasi.

2.6. Katalis
Katalis adalah suatu zat yang mempercepat laju reaksi kimia pada suhu
tertentu, tanpa mengalami perubahan atau terpakai oleh reaksi itu sendiri. Suatu
katalis berperan dalam suatu reaksi tapi bukan sebagai pereaksi maupun produk.
Katalis memungkinkan reaksi berlangsung lebih cepat atau memungkinkan reaksi
pada suhu lebih rendah akibat perubahan yang dipicunya terhadap pereaksi.
Katalis mengurangi energi yang dibutuhkan untuk berlangsungnya reaksi.
Katalis dapat dibedakan ke dalam dua golongan utama : katalis homogen
dan katalis heterogen. Katalis heterogen adalah katalis yang ada dalam fase

berbeda dengan pereaksi dalam reaksi yang dikatalisinya, sedangkan katalis
homogen berada dalam fase yang sama.
Efek kelancaran reaksi dari katalis basa adalah yang paling besar, sehingga
katalis inilah yang sekarang paling umum diterapkan dalam praktek seperti
CH3ONa dan CH3OK. Larutan natrium metoksida ini dibuat dengan dengan
mencampurkan natrium hidroksida dengan metanol absolut atau natrium
metoksida yang dibuat dari reaksi CH3OH absolut dengan Na. Reaksi antara
semua natrium hidroksida dengan metanol merupakan reaksi eksoterm
(menghasilkan panas) membentuk molekul polar (CH3O-Na+). Adanya kandungan
air, asam lemak bebas dan hidroperoksida dapat memperlambat aktivitas katalis
natrium metoksida.
Untuk menghindari terjadinya penurunan aktivasi katalis ini sebelum
perlakuan maka minyak harus diberi perlakuan agar kandungan komponen
penggangu dalam minyak tersebut berkurangnya kandungan air, asam lemak
bebas dan hidroperoksida yang dapat menurunkan aktivasi katalis natrium
metoksida serta beberapa katalis lainnya. Apabila terjadi penurunan aktivasi pada
awal reaksi, maka reaksi tidak akan dapat berjalan dengan sempurna (De Greyt.
et.al, 1998).
2.7. Kegunaan Amida
Amida asam lemak atau metil ester asam lemak (Maag, 1894). Dimana
dapat digunakan secara luas sebagai slip agent, maupun sebagai pelumas pada
berbagai proses pembuatan resin. Sebagai slip agent dan pelumas pada bahan
resin seperti PVC, polistirena, polyolefin, polivinil asetat maupu fenolat dapat
digunakan amida primer maupun metil – bis – amida serta amida sekunder.
Amida asam lemak digunakan sebagai bahan pelumas pada proses
pembuatan resin, maka amida tersebut baik digunakan sebagai bahan pelumas
internal maupun eksternal. Pada penggunaan sebagai pelumas eksternal, amida
berperan untuk mempengaruhi polimer yang melebur agar telepas dari permukaan
logam wadah pengolahan resin. Sedangkan sebagai bahan pelumas internal, amida
tersebut berperan mengurangi gaya kohesi dari polimer serta meningkatkan aliran
polimer pada proses pengolahan.

Senyawa amida juga mempunyai banyak kegunaan dalam bidang – bidang
tertentu. Salah satu contoh yang paling nyata adalah senyawa sulfonamida.
Sulfonamida adalah suatu senyawa kemoterapeutica yang digunakan dalam
pengobatan untuk mengobati bermacam – macam penyakit infeksi, antara lain
disentri baksiler yang akut, radang usus dan untuk mengobati infeksi yang telah
resisten terhadap antibiotika (Nuraini, 1988).

2.8. Dietanolamina
Dietanolamina adalah senyawa yang terdiri dari gugus amina dan dialkohol.
Dialkohol menunjukkan adanya adanya dua gugus hidroksil pada molekulnya.
Dietanolamina juga dikenal dengan bis (hydroxyethyl)amine, diethyloamine,
hydroxtdiethyamine, diolaamine dan 2,2 – iminodiethanol.
Sifat – sifat dietanolamina adalah sebagai berikut : (Anonim, 1976).
a. Rumus molekul

: C4H11NO2

b. Berat molekul

: 105,1364 g/mol

c. Densitas

: 1,088 g/cm3

d. Titik leleh

: 28oC (1 atm)

e. Titik didih

: 268,8 oC (1 atm)

f. Kelarutan

: air, metanol, dan aseton

g. Viskositas 30oC

: 351,9 cp

Dietanolamida pertama kali diperoleh dengan mereaksikan dua mol
dietanolamina dengan satu mol asam lemak. Senyawa ini diberi nama Krichevsky
amida sesuai dengan nama penemunya. Bahan baku yang digunakan dalam
produksi dietanolamida dapat berupa asam lemak, trigliserida atau metil ester.
Dietanolamida biasanya diproduksi secara konvensional pada temperatur 150oC
selama 6 – 12 jam (Herawan, 1999).

CH2CH2OH

O
R C

+ HN
O CH3

Metil ester asam lemak

O
R C

CH2CH2OH
dietanoalamina

CH2CH2OH
N

+ CH3OH
CH2CH2OH

dietanolamida

metanol

Gambar 2.13. Reaksi Pembentukan Dietanolamida Dari Metil Ester Asam Lemak
(Herawan, 1999)

2.9. Spektroskopi 1H - NMR
Spektroskopi proton atau 1H memberikan informasi struktural mengenai
atom-atom hydrogen dalam sebuah molekul organik. Spektrum 1H biasanya
diperoleh dengan cara berikut. Sampel senyawa yang akan dianalisis (mg)
dilarutkan dalam sejenis pelarut inert yang tidak memiliki inti 1H. Sebagai contoh
CCl4 atau pelarut dengan hidrogen yang digantikan oleh deuterium, seperti CDCl3
(deuterikloroform) dan CD3COCD3 (heksadeuterioaseton). Sejumlah kecil
senyawa standar ditambahkan. Larutan ini dimasukkan ke dalam tube kaca,
diletakkan di tengah kumparan frekuensi radio (rf), yaitu di antara ujung-ujung
kutub magnet yang sangat kuat. Inti mensejajarkan diri searah dengan atau
melawan medan. Secara berangsur dan terus-meneruskan energi yang diberikan
ke inti dinaikkan oleh kumparan rf. Bila energi ini tepat sama dengan celah energi
di antara keadaan spin berenergi rendah dan keadaan spin berenergi tinggi, maka
energi tersebut diserap oleh inti. Pada saat itu inti dikatakan beresonansi dengan
frekuensi terpasang (resonansi magnetik inti).
Tidak semua inti 1H membalikkan spinnya tepat sama dengan frekuensi
radio karena inti-inti tersebut mungkin berbeda dalam lingkungan kimianya atau
bahkan lingkungan elektroniknya. Kondisi ini meyebabkan adanya pergeseran
kimia. Kebanyakan senyawa organik memiliki puncak bawah medan (di medan
rendah) dari TMS / senyawa standar dan diberi nilai δ positif. Nilai δ = 1,00
berarti bahwa puncak muncul 1 ppm di bawah medan dari puncak TMS. Cara
umum untuk menetapkan puncak ialah dengan membandingkan pergeseran kimia

dengan proton yang serupa dalam senyawa standar yang diketahui. Sebagai
contoh, benzena memiliki enam hidrogen ekuivalen dan menunjukkan satu
puncak pada spektrum NMR 1H-nya pada δ = 7,24. Senyawa aromatik lain juga
menunjukkan puncak di daerah ini. Hal ini menunjukkan bahwa kebanyakan
hidrogen cincin aromatik akan memiliki pergeseran kimia pada sekitar δ = 7.
Demikian pula kebanyakan hidrogen CH3-Ar muncul pada δ = 2,2 - 2,5.
Pergeseran kimia dari inti 1H pada berbagai lingkungan kimia telah ditetapkan
dengan mengukur spektrum NMR 1H dari sejumlah besar senyawa dengan
struktur relatif sederhana yang diketahui. Pergeseran kimia untuk beberapa jenis
inti 1H ditunjukkan pada tabel berikut.
Tabel 2.2. Pergeseran Kimia Proton
Tetrametilsilana/TMS)

1

H

yang

khas

(Relatif

Jenis 1H

C – CH3

� (ppm)

0,85 – 0,95

– CH2 – CH3

� (ppm)

C – CH – C

1,40 – 1,65

– CH = C

5,2 – 5,7

CH3 – C = C

1,6 – 1,9

R – OH

0,5 – 5,5

CH3 – Ar

2,2 – 2,5

Ar – H

6,6 – 8,0

– COOH

10 – 13

– CHO

9,5 – 9,7

CH3 – O –

3–5

Ar – OH

4-8

Jenis 1H

terhadap

4,3 – 4,4

C

(Achmadi, 2003)