Peranan Komunikasi Bencana Dalam Proses Rehabilitasi Dan Rekonstruksi

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Konteks Masalah
Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat rawan akan bencana alam. Hal ini
terjadi karena faktor alam itu sendiri. Secara geografis, Indonesia berada di antara dua benua dan
dua samudera sehingga sangat rentan dilalui badai tropis yang tak jarang menimbulkan bencana
alam yang hebat. Badai itu bisa memicu gelombang pasang maupun curah hujan yang sangat
tinggi hingga menyebabkan banjir. Gempa yang berkekuatan 9,3 SR mengingatkan kita pada
tragedi tsunami akhir tahun 2004 yang lalu. Tragedi tersebut telah meninggalkan kesedihan dan
penderitaan luar biasa bagi masyarakat Aceh dan Indonesia pada umumnya. Posisi Indonesia
merupakan titik pertemuan dua lempengan bumi Pasifik dan Hindia yang menjadikannya sebagai
negara yang sering mengalami bencana gempa bumi dan gunung berapi. Negeri ini berdiri di atas
pertemuan lempeng-lempeng tektonik yang mengakibatkan Indonesia berada di atas jalur gempa
dan patahan-patahan yang menyebabkan gempa. Indonesia juga memiliki banyak gunung berapi.
Jumlahnya sekitar 129 gunung yang aktif. Iklim Indonesia yang tropis juga menyebabkan banyak
tanah yang tidak stabil dan tanah yang rusak. Hal ini dibuktikan dengan terus menerus, baik itu
peristiwa gempa bumi, tsunami, banjir, letusan gunung berapi, tanah longsor, angin ribut, dan
lain-lain. Bencana yang terjadi akan mengakibatkan berbagai penderitaan bagi masyarakat, baik
berupa korban jiwa manusia, kerugian harta benda, kerusakan lingkungan dan musnahnya hasilhasil pembangunan yang telah dicapai.
Gunung berapi terdapat di seluruh dunia, tetapi lokasi gunung berapi yang paling dikenali
adalah gunung berapi yang berada di sepanjang busur Cincin Api Pasifik (Pacific Ring of Fire).

Gunung berapi pada lokasi tersebut kebanyakan adalah gunung berapai aktif yang dapat
membahayakan kehidupan umat manusia kira-kira 500 juta orang tinggal di daerah yang
beresiko di dekat 1.500 gunung berapi aktif di seluruh dunia. Tanah subur dan puncak gunung
berapi yang mengagumkan menarik perhatian penduduk dan wisatawan. Akibatnya, jumlah
orang yang terancam resiko yang ditimbulkan gunung berapi yang berpotensi aktif terus
meningkat (Prager, 2006).
Indonesia memiliki gunung berapi aktif yang lebih banyak daripada negara-negara lain,
terdapat 129 gunung berapi aktif di Indonesia, di pulau Sumatera terdapat 30 gunung berapi.

Universitas Sumatera Utara

Penyebaran gunung berapi di Indonesia merentang sepanjang 700 km dari Aceh sampai ke
Sulawesi Utara melalui Bukit Barisan, Pulau Jawa, Nusa Tenggara dan Maluku. Beberapa
diantara gunung berapi tersebut adalah gunung berapi yang pernah meletus dengan dahsyat, yang
tak terlupakan dalam sejarah peradaban manusia seperti Gunung Krakatau (Departemen
Kesehatan RI, 2007). Letusan Gunung Krakatau sekitar satu abad yang silam menyebabkan
sekitar 36 ribu orang yang berada di daerah sekitar Pulau Jawa dan Pulau Sumatera meninggal
dunia (Winardi, 2006).
Letusan gunung berapi merupakan salah satu fenomena yang menjadi perhatian utama di
Indonesia yang menimbulkan korban jiwa dan kerugian yang sangat besar. Letusan gunung

berapi dapat menimbulkan gejala vulkanik seperti erupsi gunung berapi. Erupsi gunung berapi
membawa awan panas serta material vulkanik yang amat berbahaya bagi manusia dan
lingkungan. Luka bakar dan memburuknya kesehatan terutama pernafasan merupakan dampak
yang secara langsung dapat dirasakan manusia akibat erupsi gunung berapi selain kerugian dari
segi materil. Erupsi gunung berapi juga mengakibatkan kerusakan kehidupan ekosistem di
sekitar wilayah gunung berapi. Hutan, udara, sungai, sawah dan perkebunan penduduk menjadi
tercemar akibat debu dan material vulkanik yang muncul dari erupsi berapi (Adiputro, 2002).
Letusan gunung berapi terjadi akibat endapan magma di dalam perut bumi yang didorong keluar
oleh gas yang bertekanan tinggi. Magma merupakan cairan pijar yang terdapat di dalam lapisan
bumi dengan suhu yang sangat tinggi, yakni diperkirakan lebih dari 1.000 °C. Cairan magma
yang keluar dari dalam bumi disebut lava. Suhu lava yang dikeluarkan bisa mencapai 700-1.200
°C. Letusan gunung berapi membawa batu dan debu dapat menyembur sampai sejauh radius 18
km bahkan lebih, sedangkan lavanya bisa mengalir sampai sejauh radius 90 km (Pollard, 2007).
Kabupaten Karo secara geografis berada di dekat jejeran gunung berapi wilayah
Sumatera, di Kabupaten karo ada 2 dari 129 gunung berapi aktif yang berada di Indonesia yaitu
Gunung Berapi Sinabung dan Gunung Berapi Sibayak. Kedua gunung ini berstatus siaga (level
III). Kedua gunung ini tidak pernah erupsi sejak tahun 1600. Gunung Sinabung (bahasa Karo:
Deleng Sinabung) adalah gunung api di dataran tinggi Karo, kabupaten Karo, Sumatera Utara,
Indonesia. Sinabung bersama gunung Sibayak di dekatnya adalah dua gunung berapi aktif di
Sumatera Utara dan menjadi puncak tertinggi di provinsi itu. Ketinggian gunung ini adalah 2.460

meter dari permukaan laut dan disertai 4 kawah yaitu (kawah I, kawah II, kawah III dan kawah
IV). Gunung ini tidak pernah tercatat meletus sejak tahun 1600, tetapi mendadak aktif kembali

Universitas Sumatera Utara

dengan meletus pada tahun 2010. Letusan terakhir gunung ini terjadi sejak September 2013 dan
berlangsung hingga kini. Masyarakat yang bermukim dan beraktivitas dalam radius 6 km dari
kawah aktif diungsikan ke tempat yang aman. Mereka yang mengungsi berasal dari kecamatan
Payung, kecamatan Tiga Nderket, kecamatan Simpang Empat dan kecamatan Naman Teran yang
di tempatkan di posko pengungsian yang berbeda-beda (BMKG, 2010 dan BNPB, 2008).
Kecamatan Naman Teran merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Karo, Sumatera
Utara, Indonesia yang menjadi korban dari erupsi Gunung Sinabung. Ada 14 desa (Kuta Gugung,
Sigarang-garang, Bekerah, Simacem, Suka Nalu, Kuta Tonggal, Suka Ndebi, Naman, Suka
Tepu, Ndeskati, Kuta Mbelin, Gung Pinto, Kebayaken, Kuta Rayat) dari Kecamatan Naman
Teran yang menjadi korban dari erupsi Gunung Sinabung yang hingga kini belum diketahui
sampai kapan akan berakhirnya derita ini. Masyarakat yang berada di dalam radius 3 km, yaitu
yang bermukim di Kecamatan Payung (desa Sukameriah) dan Kecamatan Naman Teran (desa
Bekerah, desa Simacem), agar direlokasi. Sementara masyarakat yang tinggal di luar radius 3
km dari kawah Gunung Sinabung dan berada di depan bukaan kawah, berpotensi terancam oleh
guguran lava dan luncuran awan panas diungsikan ke tempat yang jauh lebih aman dan

ditempatkan di posko pengungsian yang berbeda-beda.
Berada di pengungsian yang memakan waktu lebih dari setahun itu membuat keadaan
sosial warga di Kecamatan Naman Teran secara drastis berubah pasca erupsi Gunung Sinabung.
Sektor pertanian juga menjadi dampak terbesar yang mengakibatkan warga beralih pekerjaan
menjadi buruh lepas harian (dalam bahasa karo disebut aron). Mereka ketakutan untuk bercocok
tanam, trauma dan situasi ini membuat warga sulit untuk tidur di malam hari. Masyarakat yang
enggan berada di pengungsiandan meninggalkan rumahnya guna melihat tanaman sekaligus
hewan ternaknya selalu membuat pos jaga yang dilakukan oleh laki-laki secara bergantian. Hal
ini dilakukan guna menghindari terjadinya pencurian, baik itu harta benda, tanaman maupun
hewan ternak mereka karena situasi seperti ini bisa dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak
bertanggung jawab. Masyarakat yang tidak berada di pengungsian sudah diarahkan untuk
menyiapkan pakaian mereka dalam karung sebagai upaya kesiapan bilamana bencana datang
tiba-tiba. Kecamatan Naman Teran merupakan salah satu dari empat kecamatan yang menjadi
dampak korban erupsi gunung Sinabung. Dimana, hampir seluruh desa di kecamatan ini
merasakan keganasan dari erupsi gunung itu sendiri. Bahkan dua desa(Bekerah dan Simacem)
harus direlokasi ke desa Siosar, Kecamatan Merek. Kedua desa tersebut direlokasi karena situasi

Universitas Sumatera Utara

dan kondisi yang tidak memungkinkan bagi penduduk untuk tinggal dan melanjutkan

kehidupannya. Status gunung yang sampai saat ini belum diketahui kejelasannya menyebabkan
mereka harus menuruti keputusan tersebut. Tidak ada alasan bagi mereka untuk bertahan melihat
keadaan yang belum menemukan titik terangnya. Karena situasi inilah peneliti memilih
Kecamatan Naman Teran sebagai objek dari penelitian ini.
Kabupaten Karo mengalami peristiwa erupsi Gunung Sinabung cukup mengejutkan pada
tanggal 29 Agustus 2010. Surono selaku Kepala PVMBG sebelumnya menyatakan: “Gunung
Sinabung tidak akan mengalami erupsi”. Akhirnya Surono mengumumkan pernyataan: “Gunung
Sinabung berbahaya dari status tipe B berubah menjadi tipe A. Masyarakat agar mengungsi
sejauh 6 km dari kaki Gunung Sinabung”. Erupsi sinabung juga mengakibatkan rusaknya
pertanian dan perkebunan seluas 60 ha. Sektor mata pencaharian utama sebahagian besar
masyarakat Kabupaten Karo adalah sektor pertanian. Masyarakat yang mengungsi ke 21 titik
pengungsian berjumlah 24.472 orang dan korban meninggal sebanyak dua orang (KeMenKes RI,
2010).
Pemerintah Kabupaten Karo salah memprediksi dan memberi informasi kepada warganya
dan belum menangani pengungsi erupsi Gunung Sinabung dengan baik. Koordinator Palang
Merah Indonesia (PMI) di lokasi bencana, M. Irsal mengatakan: “pemerintah Kabupaten Karo
tidak memiliki satuan koordinasi penanganan bencana. Relawan dari berbagai elemen seperti
Tentara Nasional Indonesia (TNI), Polisi Republik Indonesia (POLRI), Tim Serach and Rescue
(SAR), pecinta alam, Universitas dan Organisasi Amatir Radio Indonesia (ORARI) bekerja
secara sporadis dan sendiri-sendiri”. Korban berasal dari empat kecamatan yang terdekat dengan

Gunung Sinabung, yaitu Kecamatan Tiga Nderket, Kecamatan Payung, Kecamatan Simpang
Empat dan Kecamatan Naman Teran. Pengungsi kekurangan air untuk MCK dan air minum.
Irsal mengatakan, pada sabtu 29 Agustus relawan telah bersiap-siap mengantisipasi meletusnya
Gunung Sinabung dengan membawa sejumlah peralatan dan bantuan darurat. Rapat Musdipa,
Bupati Karo menegaskan sebelumnya daerahnya aman dan tidak akan terjadi letusan. Penduduk
pulang ke daerah masing-masing. Lima menit meninggalkan kantor bupati, terjadilah letusan,
masyarakat tidak siap. Masyarakat yang sempat mengungsi sudah terlanjur disuruh kembali ke
desa masing-masing. Ratusan pengungsi korban letusan Gunung Sinabung, memblokir jalan
meuju pendopo rumah dinas Bupati Karo di Jalan Veteran, Kabanjahe, Karo, Sumatera Utara,
karena kesal belum juga mendapatkan bantuan makanan. Pengungsi sempat ribut dengan petugas

Universitas Sumatera Utara

yang berusaha mencoba menenangkan massa. Ratusan warga tersebut meminta pemerintah
daerah setempat segera memberikan bantuan makanan. Masyarakat ada yang sudah dua malam
di pengungsian mengaku belum mendapatkan bantuan dari pemerintah setempat. Bantuan
makanan tidak dikirimkan dari posko penanggulangan bencana. Pengungsi merasa kesal, di
lokasi pengungsian beberapa kilometer dari pendopo rumah dinas Bupati Karo yang kini
dijadikan posko penanggulangan bencana, ternyata bantuan tidak sampai. Kepala Bidang Humas
Kabupaten Karo, Jhonson Tarigan menyatakan dari tujuh belas kecamatan yang ada di

Kabupaten Karo, empat kecamatan lokasinya berada di sekitar Gunung Sinabung. Yaitu:
Kecamatan Naman Teran, Kecamatan Tiga Nderket, Kecamatan Payung dan Kecamatan
Simpang Empat. Warga dari keempat kecamatan ini, terutamanya yang desanya berada di bawah
kaki gunung Sinabung, untuk segera dievakuasi. Baik ke Berastagi, Kabanjahe atau tempat
lainnya

(http://www.haluankepri.com/news/nasional/3221-gunung-sinabung-meletus-18-ribu-

warga-mengungsi.html) Diakses 11 Juli 2015 pukul 18.49 WIB.
Kejadian di atas jelas memperlihatkan bahwa komunikasi yang terjalin dalam proses
penanggulangan dan penanganan bencana belum efektif. Keterlambatan bantuan dan proses
evakuasi menambah keresahan warga yang memicu terjadinya keributan. Memang kejadian ini
pertama kali terjadi sejak ribuan tahun yang lalu. Namun, kesiapsiagaan untuk menghadapi
setiap bencana yang akan terjadi seharusnya sudah diperhitungkan jauh sebelum terjadinya
bencana. Koordinasi dan komunikasi yang baik merupakan cara yang efektif demi mengurangi
dampak serta resiko bencana yang terjadi. Maka, proses penanggulangan bencana ini dapat
meminimalisir setiap kekurangan yang ada. Koordinator setiap bidang yang terkait harus
melakukan koordinasi dan komunikasi antara bidang yang satu dengan yang lainnya untuk
mengurangi resiko bencana yang lebih besar. Karena situasi yang kacau seperti ini seharusnya
bisa dikendalikan ketika komunikasi yang dilakukan berjalan dengan lancar. Namun, fakta

dilapangan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Setiap bidang yang terlibat dalam penanganan
bencana ini bekerja secara sendiri-sendiri, seolah tanpa ada arahan yang jelas yang
mengakibatkan pengungsi merasa resah dan takut ketika Gunung Sinabung mengalami erupsi
susulan. Padahal, pengungsi membutuhkan bantuan dan kepastian informasi terkait bencana yang
sedang mereka hadapi.
Peranan komunikasi sangatlah diperlukan dalam penanggulangan bencana. Komunikasi
menjadi unsur penting dalam penanggulangan bencana, baik pada saat prabencana, darurat

Universitas Sumatera Utara

bencana dan pascabencana. Dalam penanggulangan bencana harus dibangun komunikasi
integratif dan kohesif yang setara antara pemerintah, masyarakat, media dan korban bencana.
komunikasi bencana harus melibatkan semua pihak dari unsur masyarakat, akademisi dan
pemerintah. Dimana, tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah karena informasi dari
pemerintah belum sepenuhnya dipakai oleh masyarakat bahkan lembaga pemerintah lainnya juga
bisa tidak menghiraukannya. Dalam masalah bencana, informasi sering hanya dianggap sebatas
pelengkap. Masyarakat justru menjadikannya sebagai mitos, lagenda, worldview dan nilai
tradisional sebagai rujukan utama. Untuk itu harus ada komunikasi interaktif antara pemerintah,
korban bencana, lembaga swasta dan masyarakat. Komunikasi yang dilakukan harus fokus pada
pemulihan korban dan lingkungannya. Masyarakat korban bencana harus diberi hak komunikasi

sederajat dengan pemerintah maupun lembaga lain. Media massa mendorong komunikasi yang
transparan dalam penanganan korban. Pemahaman masyarakat akan tanggap bencana alam
erupsi gunung berapi harus terus ditingkatkan demi menghindarkan banyaknya korban jiwa,
terlebih lagi memang sebagian wilayah Indonesia termasuk daerah rawan bencana. Pendidikan
bencana dalam membangun kesiapsiagaan masyarakat sangat penting artinya demi
menghindarkan banyaknya korban jiwa saat bencana melanda.
Banyak pihak yang terlibat dalam penanggulangan bencana termasuk yang berhubungan
dengan informasi dan komunikasi bencana. Banyaknya

instansi yang turun dalam

penanggulangan bencana erupsi Gunung Sinabung tentu mempengaruhi proses penanggulangan
bencana. Komunikasi yang terjalin dalam proses penanganannya belum sesuai dengan yang
diharapkan sehingga masih banyak kendala yang dihadapi dalam penanganannya. Apalagi,
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) yang dibentuk tahun 2013 lalu dianggap belum
mampu dalam memainkan perannya dalam penanggulangan bencana hingga sebagian dari tugas
mereka dialihkan kepada Dinas Sosial. Hal ini membuktikan bahwa komunikasi memang
sangatlah diperlukan dalam proses penanganan bencana. Maka, setiap instansi, lembaga swadaya
masyarakat (LSM), organisasi maupun relawan yang ingin melibatkan diri dalam susunan tim
penanganan tanggap darurat bencana seharusnya berkoordinasi dan melaporkan setiap agenda

kegiatan yang akan dilakukannya melalui Dandim 0205 Tanah Karo (selaku komandan tanggap
darurat), Sekretaris Daerah (selaku penanggung jawab) dan Bupati Karo (selaku Pembina).
Humas sekaligus media centre penanganan tanggap darurat bencana juga berperan penting dalam
penanganan erupsi Gunung Sinabung. Selain menghimpun data dan informasi penanganan

Universitas Sumatera Utara

bencana yang terjadi, juga membentuk jaringan informasi dan komunikasi serta menyebarkan
informasi tentang bencana Gunung Sinabung ke media massa dan masyarakat luas.
Dalam situasi bencana yang mendadak dan sulit untuk dikontrol, sejumlah pihak dengan
klaim peduli bencana sepertinya berhak memproduksi pesan sendiri tanpa pengorganisasian
informasi yang berasal dari sumber terpercaya.Akibatnya, muncul kesimpang siuran berita yang
berpotensi mengganggu penerapan berbagai peraturan penanggulangan ataupun pemulihan pasca
bencana. Lebih celaka lagi, munculnya kelompok politik dalam kemasan membantu korban
tetapi lebih banyak melakukan kampanye terselubung demi meraih popularitas. Masyarakat
korban bencana sepertinya menjadi komoditas yang rentan untuk dieksploitasi oleh para
pemburu kekuasaan. Wilayah bencana seolah-olah sebagai daerah tak bertuan yang bisa digarap
menjadi salah satu lumbung suara untuk menghadapi kompetisi politik lokal maupun nasional.
Sudah teramat klise kita selalu menyuarakan betapa hebatnya nilai gotong royong untuk
membantu sesamanya dan betapa tolerannya kita kepada mereka yang berduka. Akan tetapi,

potret bencana bisa bicara lain mirip dengan dogma politik, tidak ada yang bisa diperoleh gratis
dalam proses memburu kekuasaan.
Mengintrodusir pesan yang bermakna untuk memberikan kekuatan moral bagi korban
adalah mutlak.Membangun jaringan komunikasi antar entitas yang konsisten dalam membantu
mereka yang berduka adalah kewajiban utama agar dampak bencana bisa dipulihkan dengan
segera. Lembaga politik, pemerintah maupun lembaga swasta seringkali mengunggulkan bantuan
teknologi dan aneka macam panduan teknis untuk menangani korban dan lingkungannya. Akan
tetapi, tugas membantu korban bisa diselesaikan dengan mengandalkan pendekatan teknis
semata yang kadang-kadang sengaja menempatkan korban bencana sebagai objek yang tidak
berhak bicara dan mengatur diri sendiri serta jauh dari tindakan yang dikehendaki.Kerentanan
moralitas dan ketidakpercayaan diri para korban yang semakin mencengkram mereka harus
segera dihilangkan. Tidak untuk dilembagakan dan dipamerkan untuk menarik simpati
dermawan dari seluruh penjuru angin. Korban harus diberi hak untuk berdiri tegak menghadapi
realitas. Masyarakat di kawasan rawan bencana harus memiliki kekuatan dan dukungan
menjalani hidup dengan wajar dan leluasa tanpa pengaturan berlebihan dari pemegang otoritas
sosial, ekonomi maupun politik.
Pengorganisasian pesan ini dilakukan oleh Humas sekaligus media centre dalam
penanganan bencana. Media centre dijadikan sebagai pusat data dan informasi yang

Universitas Sumatera Utara

dibutuhkan.Seluruh data dan informasi yang diperlukan oleh pengungsi maupun masyarakat lain
dapat mengunjungi media centre yang berada di posko utama. Media centre akan melayani
setiap orang yang ingin mencari data dan informasi yang dibutuhkan tentang bencana erupsi
Gunung Sinabung. Khususnya bagi pengungsi, media centre merupakan salah satu alternatif
yang dapat dimanfaatkan untuk menambah informasi dan antisipasi dalam menghadapi bencana.
Selain itu, informasi mengenai proses penanganan bencana erupsi Gunung Sinabung juga bisa
diperoleh pengungsi. Artinya, setiap kendala yang didapat pengungsi baik itu di lokasi
pengungsian maupun di tempat lain dapat dicairkan di media centre ini. Kemudian media centre
akan melakukan komunikasi dan koordinasi dengan lembaga terkait sesuai dengan apa yang
dibutuhkan dan dikeluhkan oleh pengungsi.
Secara umum komunikasi mengacu pada tindakan oleh satu orang atau lebih yang
mengirim dan menerima pesan, terjadi dalam konteks tertentu, mempunyai pengaruh tertentu dan
ada kesempatan untuk melakukan umpan balik. Komunikasi juga menuntut adanya partisipasi
dan kerja sama dari pelaku yang terlibat sehingga dalam kegiatan komunikasi terjadi pokok
perhatian yang sama terhadap topik yang dibicarakan. Berkaitan dengan bencana, komunikasi
dapat berfungsi sebagai radar sosial yang memberi kepastian kepada pihak lain mengenai adanya
bencana di satu tempat. Dalam konteks ini, komunikasi diperuntukkan pada kegiatan prabencana
yang meliputi kesiagaan, peringatan dini dan mitigasi. Dalam hal ini, komunikasi memberikan
informasi kepada masyarakat dari kecamatan Naman Teran mengenai kesiagaan yang diperlukan
dan persiapan apa yang harus dilakukan ketika bencana itu terjadi. Semua ini dimaksudkan untuk
mengurangi seminimal mungkin korban jiwa dan harta benda. Upaya penanggulangan bencana
haruslah dimulai jauh sebelum bencana terjadi karena antisipasi sedini mungkin akan mampu
menekan jumlah kerugian jiwa dan materi. Ketika upaya penanggulangan bencana dapat
dilakukan sedini mungkin, kita berharap muncul sikap, tindakan dan perilaku yang menekankan
kesadaran manusia dan peningkatan kemampuan manusia dalam menghadapi ancaman (Susanto,
2011:90-91).
Komunikasi bencana adalah mengorganisasikan pesan dan bekerja keras untuk
menghadapi kompleksitas bencana. Bukan sebaliknya, komunikasi berjalan linier dengan
bencana yang kusut tidak terurai. Penanganan bencana sesungguhnya bukan semata-mata
mengandalkan kemampuan untuk memberikan bantuan material saja tetapi memberikan
dukungan moral, kepada mereka yang terkena bencana, menjadi suatu keharusan. Melalui

Universitas Sumatera Utara

komunikasi yang berpedoman kepada etika dan substansi komunikasi dalam penyampaian pesan,
dari satu sumber ke sumber lain yang bertujuan memperoleh pemahaman ataupun pemaknaan
bersama, maka komunikasi menjadi sangat esensial dalam memberikan bantuan terhadap
bencana alam (Susanto, 2011:5).
Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana
yang menyatakan bahwa, Rehabilitasi adalah Perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan
publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pasca bencana dengan
sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan
kehidupan masyarakat pada wilayah pascabencana. Sementara itu, Rekonstruksi adalah
Perumusan kebijakan dan usaha serta langkah-langkah nyata yang terencana baik, konsisten dan
berkelanjutan untuk membangun kembali secara permanen semua prasarana, sarana dan sistem
kelembagaan, baik di tingkat pemerintahan maupun masyarakat, dengan sasaran utamanya
tumbuh berkembangnya perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan
bangkitnya peran dan partisipasi masyarakat sipil dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat
di wilayah pascabencana.
Rehabilitasi dan rekonstruksi adalah bagian inti dari rencana pemulihan ketika bencana
sudah terjadi. Periode ini merupakan rangkaian setelah rencana darurat, berfokus pada aktivitas
yang bertujuan memberikan kemampuan bagi korban untuk memulihkan kehidupan yang
normal, layak dan juga sebagai sarana untuk mata pencaharian. Bagaimanapun juga setelah
terjadinya bencana, ada kemungkinan tetap dibutuhkan bantuan kemanusiaan untuk kelompokkelompok tertentu yang paling rentan akibat terjadinya bencana (Susanto, 2011:95). Terkait
pasca erupsi gunung Sinabung, Tanah Karo, dampak psikologis pada korban yang selamat
(survivor) terutama yang masih berada di lokasi pengungsian berkembang seiring waktu dan
kondisi sosial pascabencana. Kondisi psikologis yang muncul ditengarai seperti gejala depresi
dan stres. Umumnya yang muncul di pengungsian adalah rasa jenuh dan gejala stres berkaitan
dengan perasaan kehilangan keluarga, tempat tinggal, pekerjaan, dan harta benda. Kondisi
tersebut juga ditambah dengan perasaan ketidakpastian terhadap bencana yang terjadi. Apalagi
masyarakat setempat tidak berpengalaman dalam menghadapi bencana erupsi sebelumnya.
Erupsi Sinabung juga menimbulkan dampak baik secara fisik dan psikologis. Kehilangan
harta benda dan kesedihan mendalam pastinya dirasakan oleh korban bencana dari kecamatan

Universitas Sumatera Utara

Naman Teran. Akan tetapi, kondisi penyikapan dari para korban berbeda. Dampak psikologis ini
akan mempengaruhi pikiran, emosi, dan perilaku korban bencana dalam menjalani kehidupan
sehari-harinya setelah mengalami bencana. Pengaruh ini dapat berlangsung dalam waktu singkat
maupun lama, bahkan hingga seumur hidup. Sebagian besar kelompok rentan pada pengungsi
erupsi Gunung Sinabung merasakan dampak psikologis yang sangat kuat dari bencana tersebut.
Status gunung yang tidak stabil dan menjadikan mereka tinggal lebih lama di pengungsian
membuat mereka bosan dan mengalami perubahan keadaan psikologis. Selain itu, mereka juga
cukup kaget dengan perubahan drastis yang ada. Gunung Sinabung tidak pernah terdengar
aktivitasnya namun tiba-tiba meletus padahal mereka tidak memiliki persiapan apapun. Oleh
sebab itu, secara umum kegiatan yang dapat dilakukan terkait dengan psikologi adalah
membantu memulihkan psikologis para survivor melalui konseling traumatik. Tujuan konseling
traumatik, antara lain mengajak para survivor untuk berfikir realistis bahwa trauma adalah
bagian dari kehidupan, memperoleh pemahaman tentang peristiwa dan situasi yang
menimbulkan trauma, memahami dan menerima perasaan para survivor yang berhubungan
dengan trauma, serta mengajak para survivor belajar keterampilan baru untuk mengatasi trauma.
Belajar dari peristiwa erupsi Gunung Sinabung, maka Indonesia khususnya pemerintahan
Kabupaten Karo seharusnya mempersiapkan penanganan bencana komunikasi selain utamanya
menangani darurat bencana. Bencana komunikasi ditandai dengan minimnya sumber-sumber
komunikasi yang dapat memberikan informasi mengenai situasi terkini di lokasi bencana. Di
samping itu, bencana komunikasi juga terjadi karena terputusnya saluran-saluran komunikasi
masyarakat akibat rusaknya infrastruktur dan sarana komunikasi karena dihantam bencana.
Bencana komunikasi dalam situasi bencana alam menyebabkan tidak adanya informasi yang
memadai apalagi akurat tentang situasi darurat bencana. UU No 24 Tahun 2007 menjelaskan tiga
fase dalam penanganan bencana yaitu: Pertama, fase prabencana terdiri dari dua kondisi dalam
situasi tidak terjadi bencana dan situasi terdapat potensi terjadinya bencana yang meliputi aspek
kesiapsiagaan, peringatan dini dan mitigasi bencana. Kedua, fase tanggap darurat bencana
dengan melakukan langkah pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi , kerusakan dan
sumber daya; penentuan status keadaan darurat bencana; penyelamatan dan evakuasi masyarakat
terkena bencana; pemenuhan kebutuhan dasar; perlindungan terhadap kelompok rentan; dan
pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital. Ketiga, Fase pascabencana yang meliputi
rehabilitasi terhadap masyarakat korban bencana dan rekonstruksi dengan melakukan

Universitas Sumatera Utara

pembangunan kembali pada fasilitas dan infrastruktur yang rusak akibat bencana. Ketiga fase
tersebut memerlukan komunikasi dalam fungsi sosialiasi dan edukasi, fungsi koordinasi, fungsi
manajemen, fungsi konseling juga fungsi hiburan. Fungsi sosialisasi dan edukasi dibutuhkan
pada masa prabencana. Sedangkan fungsi koordinasi dan manajemen sangat dibutuhkan dalam
penanganan tanggap darurat seperti koordinasi tim penolong, manajemen distribusi bantuan,
koordinasi antar instansi dan manajemen penanganan pengungsi. Fungsi konseling dan hiburan
diperlukan saat melakukan rehabilitasi pada korban yang mengalami trauma akibat bencana dan
upaya untuk mengembalikan kondisi sosial dan psikologis seperti sediakalanya.
Pada tahapan rehabilitasi dan rekonstruksi ini, layanan psikologis dan konseling dapat
dilakukan untuk mengatasi dan mengendalikan stress yang dialami korban bencana. Ada
beberapa teknik yang dapat digunakan untuk mengurangi pemicu stress agar korban bencana
terhindar dari gangguan mental. Cara yang paling tepat yaitu dengan memandang secara positif
untuk setiap masalah yang ada dan berusaha untuk menyelesaikannya. Hal ini bisa dilakukan
dengan meminta korban bencana untuk meningkatkan interval toleransi terhadap stress. Selain
itu, melakukan pendekatan orientasi kepada korban bencana untuk penyelesaian masalah.
Kegiatan yang dapat dilakukan dengan latihan pernafasan dalam, istirahat teratur, sosialisasi,
meditasi dan relaksasi. Adapun poses rehabilitasi merupakan kebutuhan pemulihan mendesak
yang meliputi: kebutuhan dasar individu; kebutuhan fasilitas kesehatan; kebutuhan rohani;
kebutuhan sanitasi; serta kebutuhan sarana dan prasarana mendesak. Sementara itu, rekonstruksi
merupakan kebutuhan pemulihan jangka panjang yang meliputi: membangun perekonomian
lokal; perbaikan unsur rohani, adat budaya; perbaikan saluran listrik dan komunikasi permanen;
perbaikan fasilitas umum; perbaikan produksi pangan; perbaikan dan pelestarian lingkungan; dan
pemulihan pendidikan.
Berdasarkan uraian konteks masalah diatas, maka peneliti tertarik untuk meneliti
“Peranan komunikasi bencana dalamproses rehabilitasi dan rekonstruksi di kecamatan Naman
Teran, kabupaten Karo”.

Universitas Sumatera Utara

1.2 Fokus Masalah
Berdasarkan konteks masalah di atas maka yang menjadi fokus masalah dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut: “Bagaimanakah Peranan Komunikasi Bencana dalamProses
Rehabilitasi dan Rekonstruksi pada Bencana Gunung Sinabung di Kecamatan Naman Teran
Kabupaten Karo”.

1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui lembaga apa saja yang berperan memberikan informasi yang
dibutuhkan pengungsi.
2. Untuk mengetahui pesan/informasi apa saja yang dibutuhkan oleh pengungsi yang
mengalami bencana.
3. Untuk mengetahui kebutuhan apa saja yang diperlukan korban bencana Gunung
Sinabung.
4. Untuk mengetahui apakah komunikasi bencana berperan menangani bencana di Gunung
Sinabung.

1.4 Manfaat Penelitian
Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah:
1. Secara teoritis, penelitian ini diharapakan dapat memberikan kontribusi positif terhadap
perkembangan Ilmu Komunikasi, khususnya mengenai Komunikasi Bencana.
2. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya keanekaragaman wacana
penelitian di departemen ilmu komunikasi FISIP USU.
3. Secara praktis, melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran bagi pembacanya dalam menghadapi bencana dari perspektif Ilmu
Komunikasi.

Universitas Sumatera Utara