Peranan Komunikasi Bencana Dalam Proses Rehabilitasi Dan Rekonstruksi

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Perspektif/Paradigma Kajian
Paradigma bukanlah teori-teori, namun lebih merupakan cara berfikir atau pola-pola
untuk penelitian yang diperluas dan dapat menuju pembentukan suatu teori. Jadi, paradigma
merupakan keseluruhan susunan kepercayaan dan asumsi-asumsi yang dipegang bersama yang
dipakai oleh peneliti dalam memandang fokus masalah penelitiannya.
Penelitian pada hakikatnya merupakan wahana untuk menemukan kebenaran atau untuk
lebih mudah membenarkan kebenaran. Usaha untuk mengejar kebenaran dilakukan oleh para
filsuf, peneliti maupun para praktisi melalui model-model tertentu. Model-model tersebut
biasanya disebut dengan paradigma. Paradigma merupakan model atau pola tentang bagaimana
sesuatu distruktur (bagian dan hubungannya) atau bagaimana bagian-bagian berfungsi. (Hidayat,
2003: 3)
Auguste Comte menyatakan bahwa cara berfikir manusia harus keluar dari dua tahap
tersebut, yaitu dengan masuk pada fase berikutnya, yaitu tahap pengetahuan positivis yang dapat
dijadikan sarana untuk memperoleh kebenaran dengan cara observasi untuk menemukan
keteraturan dunia fisik maupun sosial.
Anis Chariri membuat pengertian paradigma positivisme secara lebih sederhana
berdasarkan pendapat Neuman (2003), yaitu suatu pendekatan yang diadopsi dari ilmu alam
yang menekankan pada kombinasi antara angka dan logika deduktif dan penggunaan alat-alat

kuantitatif dalam menginterpretasikan suatu fenomena secara “objektif”. Dengan cara itu, suatu
fenomena dapat dianalisis untuk kemudian ditemukan hubungan di antara variabel-variabel yang
terlibat di dalamnya. Hubungan tersebut adalah hubungan korelasi atau hubungan sebab akibat.
Paradigma positivisme membuat parameter bahwa ilmu sosial dan ilmu alam menggunakan
suatu dasar logika ilmu yang sama, sehingga seluruh aktivitas ilmiah pada kedua bidang ilmu
tersebut harus menggunakan metode yang sama dalam mempelajari dan mencari jawaban serta
mengembangkan teori. Dunia nyata berisi hal-hal yang bersifat berulang-ulang dalam aturan
maupun urutan tertentu sehingga dapat dicari hukum sebab akibatnya. (Anis Chariri, 2009:5)

Universitas Sumatera Utara

C.A. van Peursen menilai bahwa positivisme logis memecahkan kendala yang dihadapi
empirisisme berkaitan dengan kaidah-kaidah logika dan matematika yang berlaku umum.
Positivisme logis menganggap ilmu formal (matematika, logika) bukan sebagai pengetahuan
yang berhubungan dengan sesuatu di luar bahasa (kenyataan). Positivisme logis bertolak dari
data empiris, seperti pengamatan dan fakta yang dinyatakan dengan memakai ungkapan
pengamatan atau “kalimat protokol”. Sedangkan ilmu formal tidak mengenai data empiris
(kenyataan) tapi menjalin hubungan antara lambang-lambang yang membuka kemungkinan
memakai data observasi yang telah diperoleh untuk menghitung (menyusun penjabaran logis dan
deduksi).

Paradigma positivisme berpandangan bahwa teori terbentuk dari seperangkat hukum
universal yang berlaku. Sedangkan tujuan penelitian adalah untuk menemukan hukum-hukum
tersebut. Dalam pendekatan ini, seorang peneliti memulai dengan sebuah hubungan sebab akibat
umum yang diperoleh dari teori umum. Kemudian, menggunakan idenya untuk memperbaiki
penjelasan tentang hubungan tersebut dalam konteks yang lebih khusus.
Paradigma Positivisme mendefenisikan komunikasi sebagai suatu proses linier atau
proses sebab akibat, yang mencerminkan pengirim pesan (komunikastor/encoder) untuk
mengubah

pengetahuan (sikap/ prilaku) penerima

pesan (komunikasn/decoder) yang

pasif.Positivisme berusaha menjelaskan pengetahuan ilmiah berkenaan dengan tiga komponen
yaitu bahasa teoritis, bahasa observasional dan kaidah-kaidah korespondensi yang mengakaitkan
keduanya. Tekanan positivistik menggaris bawahi penegasannya bahwa hanya bahasa
observasional yang menyatakan informasi faktual, sementara pernyataan-pernyataan dalam
bahasa teoritis tidak mempunyai arti faktual sampai pernyataan-pernyataan itu diterjemahkan ke
dalam bahasa observasional. (C.A. van Peursen, 1989:82)
Penelitian yang dilakukan dalam skripsi ini menggunakan metode penelitian kualitatif

yang sesuai dengan pandangan paradigma positivis. Penelitian ini bersumber dari hasil
wawancara yang menggambarkan fenomena sebab akibat yaitu kegiatan yang dilakukan oleh
pelaku peranan komunikasi bencana dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi pada bencana
Gunung Sinabung di Kecamatan Naman Teran Kabupaten Karo. Penelitian ini menjelaskan
informasi faktual yang diperoleh dari informan yang telah ditentukan berdasarkan tujuan
penelitian yang ingin dicapai. Perumusan penelitian ini bersumber dari data-data yang objektif
dan faktual, serta direduksikan berdasarkan temuan dari hasil wawancara yang sifatnya induktif.

Universitas Sumatera Utara

2.2 Kajian Pustaka
Adapun teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Komunikasi,
Penanggulangan Bencana, Komunikasi Bencana, Komunikasi Interpersonal, Komunikasi Massa
dan Media Massa.
2.2.1) Komunikasi
Secara epistimologis, istilah komunikasi berasal dari bahasa latin, yakni communication
yang bersumber dari kata communis. Arti communis disini adalah sama, dalam arti sama makna
mengenai satu hal. Komunikasi berlangsung apabila diantara orang-orang yang terlibat terdapat
kesamaan mengenai suatu hal yang dikomunikasikan. Jika satu orang mengerti akan suatu hal
yang disampaikan oleh orang lain kepadanya, maka komunikasi berlangsung. Dengan kata lain

hubungan diantara mereka bersifat komunikatif (Effendy, 2003:30).
Komunikasi merupakan proses sosial dimana individu menggunakan simbol-simbol
untuk menciptakan dan menginterpretasikan makna dalam lingkungan mereka.
Gambar 1.1
Defenisi Komunikasi

Lingkungan

Sosial

Makna

Komunikasi

Simbol

Proses

(Sumber: Susanto, 2011:86)


Universitas Sumatera Utara

Gambar 1.1 tersebut mendeskripsikan bahwa komunikasi merupakan suatu proses yaitu
suatu kejadian yang berkesinambungan, dinamis, dan tidak memiliki akhir. Sosial artinya
manusia selalu berinteraksi dengan manusia lain dalam suatu kelompok. Simbol berarti suatu
label yang diberikan kepada sebuah fenomena. Simbol konkret yaitu simbol yang
mempresentasikan sebuah objek, dan simbol abstrak mempresentasikan sebuah ide, gagasan,
atau pemikiran. Makna merupakan sesuatu yang diambil orang atas suatu pesan. Pesan dapat
memiliki lebih dari satu makna, dan makna memiliki konsekuensi budaya. Sedangkan
lingkungan adalah situasi atau konteks di mana komunikasi terjadi, terkait dengan waktu, tempat,
periode sejarah, relasi dan latarbelakang budaya antara pihak-pihak yang berkomunikasi.
Komunikasi adalah suatu proses interaksi timbal balik antara satu individu atau
sekelompok individu dengan individu lain yang bertujuan untuk menciptakan kesamaan makna.
Artinya, apa yang disampaikan oleh komunikator dapat dimengerti dan dimaknai sama oleh
komunikan dan sebaliknya posisi komunikator dan komunikan saling bergantian. Pada saat
berbicara disebut komunikator, sementara pada saat mendengarkan disebut komunikan (Susanto,
2011:87).
Begitu juga dengan

peristiwa erupsi Gunung Sinabung,


arahan dan bantuan yang

disampaikan oleh tim penangangan tanggap darurat bencana erupsi Gunung Sinabung dapat
dimengerti dan dimaknai sama oleh pengungsi (selaku korban bencana). Begitu juga sebaliknya,
keluhan atau kendala apa yang disampaikan oleh pengungsi dapat diterima dan dijalankan sesuai
dengan harapan dari korban bencana tersebut. Ketika proses interaksi yang terjalin antara tim
penanganan tanggap darurat bencana dengan pengungsi menciptakan kesamaan makna maka
pada saat itulah terjalin proses komunikasi yang efektif. Karena adanya timbal balik dari proses
komunikasi yang terjalin. Namun, ketika pengungsi masih merasa takut dan resah akan
penanggulangan bencana erupsi Gunung Sinabung ini, di saat itu jugalah kurangnya koordinasi
dan komunikasi yang terjalin, baik itu sesama tim penanganan tanggap darurat bencana maupun
terhadap pengungsi khususnya. Akibatnya, dapat memicu keributan yang diluar kendali mereka.

Universitas Sumatera Utara

2.2.2) Penanggulangan Bencana
a) Pengertian Bencana
Menurut United Nation Development Program (UNDP), bencana adalah suatu kejadian
yang ekstem dalam lingkungan alam atau manusia yang secara merugikan mempengaruhi

kehidupan manusia, harta benda atau aktivitas sampai pada tingkat yang menimbulkan bencana.
Menurut National Fire Protection Association (NFPA) 1600: Standart on Disaster/Emergency
Management and Business Continuity Programs, bencana adalah insiden dimana sumber daya,
personel dan bahan dari fasilitas ini terkena dampak tidak dapat mengendalikan situasi abnormal
(kebakaran, ledakan, kebocoran, well blow out dan lain-lain) yang mengancam.
Defenisi bencana menurut Undang-Undang RI Nomor 24 tahun 2007, bahwa:
1. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau
faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa
manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis.
2. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa
yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus,
banjir, kekeringan, angin topan dan tanah longsor.
3. Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rankaian
peristiwa non alam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi
dan wabah penyakit.
4. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok
atau antar komunitas masyarakat dan teror.
Dengan kata lain, bencana adalah suatu peristiwa yang terjadi, akibat faktor alam atau

manusia yang mengganggu kehidupan, misalnya bencana banjir, gunung meletus, gempa bumi,
teror bom, konflik dan lain-lain. Peristiwa yang mengejutkan terjadi ketika Gunung Sinabung
mengalami erupsi. Tidak ada yang dapat memprediksi bahwa gunung tersebut akan mengalami
erupsi. Kejadian ini termasuk dalam kategori bencana alam. Bahkan, hingga kini tidak ada yang
mampu untuk memprediksikan sampai kapan derita ini akan berakhir. Status gunung yang
hampir setiap harinya mengalami erupsi membuat korban bencana harus menjalani hidup dan
kehidupannya di pengungsian lebih dari setahun. Mereka masih menanti kebijakan dari
pemerintah daerah terkait penanggulangannya. Bahkan, sebagian dari korban bencana sudah
memilih untuk berpindah tempat untuk menjalani hidup dan kehidupannya. Akibat dari erupsi
tersebut selain menghancurkan rumah mereka, lahan pertanian yang mereka tanami tidak bisa

Universitas Sumatera Utara

lagi diolah sampai beberapa tahun ke depan karena debu vulaknik yang sangat tebal yang hampir
menyatu dengan tanah itu sendiri. Keadaan ini jelas sangat memprihatinkan. Dampak terbesar
yang dialami korban bencana adalah dampak psikologis karena berada di pengungsian yang
sudah lebih dari setahun. Tahapan rehabilitasi dan rekonstruksi harus dijalankan dengan baik
oleh tim penanganan tanggap darurat bencana. Begitu juga dengan pihak-pihak yang ingin
melibatkan diri, baik itu LSM, organisasi, relawan dan sebagainya seharusnya melakukan yang
terbaik bagi korban bencana.


b) Tujuan Penanggulangan Bencana
Pada dasarnya, setiap kegiatan/hal yang dilakukan tentunya memiliki tujuan. Apalagi
penanggulangan bencana alam. Pembentukan tim penanganan tanggap darurat bencana erupsi
Gunung Sinabung jelas menjadi sorotan ketika melaksanakan tugas dan tanggung jawab setiap
pihak dalam memainkan perannya. Begitu juga dengan pihak lain seperti lembaga swasta, LSM,
organisasi, relawan dan lainnya yang ingin melibatan diri dalam penanggulangan bencana ini.
Bukan malah memanfaatkan situasi untuk tujuan yang berbeda, baik itu kepentingan pribadi
maupun kepentingan kelompoknya. Ketika menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dengan
ikhlas maka hasil dari kegiatan yang dilakukan akan sesuai dengan apa yang diharapkannya.
Sekalipun tujuan itu belum sesuai dengan harapan, paling tidak sudah ada dilakukan usaha yang
terbaik bagi korban bencana erupsi Gunung Sinabung. Adapun penanggulangan bencana
bertujuan sebagai berikut:
1. Mempersiapkan diri menghadapi semua bencana atau kejadian yang tidak diinginkan.
2. Menekan kerugian dan korban yang dapat timbul akibat dampak suatu bencana atau
kejadian.
3. Meningkatkan kesadaran semua pihak dalam masyarakat atau organisasi tentang bencana
sehingga terlibat dalam proses penanganan bencana.
4. Melindungi anggota masyarakat dari bahaya atau dampak bencana sehingga korban dan
penderitaan yang dialami dapat diminimalisasi.

c) Asas Penanggulangan Bencana
Penanggulangan bencana merupakan kegiatan yang sangat penting bagi masyarakat di
Indonesia umumnya, khususnya Kabupaten Karo yang notabenenya adalah sektor pertanian.
Perputaran perekonomian di sana merosot drastis akibat dari peristiwa erupsi Gunung Sinabung

Universitas Sumatera Utara

ini. Padahal hampir keseluruhan penghasilan terbesar dari Tanah Karo diperoleh dari hasil
pertanian.

Untuk itulah dilakukan penanggulangan bencana guna mengurangi dan

mengembalikan kehidupan yang normal bagi masyarakat karo, khususnya masyarakat dari
Kecamatan Naman Teran. Pelaksanaan penanggulangan bencana dilakukan berasaskan sebagai
berikut:
1. Kemanusiaan
Aspek penanggulangan bencana memiliki dimensi kemanusiaan yang tinggi. Korban
bencana khususnya bencana alam akan mengalami penderitaan baik fisik, moral maupun
materi sehingga memerlukan dukungan tangan dari pihak lain agar bisa bangkit kembali.
Penerapan manajemen bencana merupakan usaha mulia yang menyangkut aspek

kemanusiaan untuk melindungi sesama.
2. Keadilan
Penerapan penanggulangan bencana mengandung asas keadilan, yang berarti bahwa
penanggulangan bencana tidak ada diskriminasi atau berpihak kepada unsur tertentu.
Pertolongan harus diberikan dengan asas keadilan bagi semua pihak.
3. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan
Penanggulangan bencana mengandung asas kesamaan dalam hukum dan juga dalam
pemerintahan, semua pihak harus tunduk kepada perundangan yang berlaku dan taat asas
yang ditetapkan.
4. Keseimbangan, keselarasan dan keserasian
Penanganan bencana harus berasaskan keseimbangan, keselarasan dan keserasian
program yang dikerjakan untuk mengatasi bencana memperhatikan keseimbangan alam,
ekologis, sosial, budaya dan lingkungan hidup. Upaya penanggulangan bencana tidak
berarti harus mengorbankan kepentingan yang lain atau aspek kehidupan yang telah
dijalankan sehari-hari, menempatkannya sebagai kekuatan untuk membangun
penanggulangan bencana.
5. Ketertiban dan kepastian hukum
Penanggulangan bencana harus mempertimbangkan aspek ketertiban dan kepastian
hukum. Program dan penerapan penanggulangan bencana harus berlandaskan hukum
yang berlaku dan ketertiban anggota masyarakat lainnya.
6. Kebersamaan
Salah satu asas penting dalam penanggulangan bencana adalah kebersamaan. Masalah
bencana tidak bisa diselesaikan secara partial atau hanya oleh satu pihak saja, harus
melibatkan seluruh anggota masyarakat atau komunitas yang ada. Tanpa keterlibatan dan
peran serta, program penanggulangan bencana tidak akan berhasil dengan baik.
7. Kelestarian lingkungan hidup
Penanggulangan bencana harus memperhatikan aspek lingkungan hidup di sekitarnya,
benturan yang akan terjadi dalam menjalankan penanggulangan bencana dengan aspek
lingkungan. Untuk mencapai keberhasilan, kelestarian lingkungan harus tetap terjaga dan
terpelihara.
8. Ilmu pengetahuan dan teknologi
Penerapan peanggulangan bencana dilakukan secara ilmiah dan memanfaatkan ilmu
pengetahuan. Bencana sangat erat kaitannya dengan berbagai disiplin keilmuan seperti

Universitas Sumatera Utara

geologi, geografi, linkungan, ekonomi, budaya, teknologi, dan lainnya. Harus
dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhan sehingga diperoleh hasil yang lebih baik.
(Sumber: Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana)
d) Perundangan Bencana Erupsi Gunung Sinabung
Berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b dengan
berpedoman pada pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana, Bupati Karo menetapkan keputusan tentang penetapan perpanjangan status tanggap
darurat atas bencana erupsi Gunung Sinabung Kabupaten Karo 2015.
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonomi
Kabupaten Dalam Lingkungan Daerah Provinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 1092).
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 26).
3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang perubahan kedua atas UndangUndang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5679).
5. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan
Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor
43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4829).
6. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan
Bantuan Bencana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 44,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4830).
7. Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 6.A Tahun 2011
tentang Pedoman Penggunaan Dana Siap Pakai Pada Status Keadaan Darurat Bencana.
8. Peraturan Daerah Kabupaten karo Nomor 01 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Peraturan Daerah Kabupaten Karo Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Organisasi dan
Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Karo.
Surat keputusan ini dikeluarkan untuk menetapkan perpanjangan status tanggap darurat
atas bencana erupsi Gunung Sinabung Kabupaten Karo Tahun 2015. Keputusan ini mulai
berlaku pada sejak tanggal ditetapkan dan dapat diperpanjang atau diperpendek sesuai dengan

Universitas Sumatera Utara

perkembangan status Gunung Sinabung. (Sumber: Surat Keputusan Bupati Karo Nomor:
361/215/BPBD/2015)
e) Proses Penanggulangan Bencana
Penanggulangan bencana dapat dibagi atas tiga tingkatan, yaitu pada tingkat lokasi
disebut manajemen insimden, tingkat unit atau daerah disebut manajemen darurat, dan tingkat
nasional atau korporat disebut manajemen krisis.
1. Manajemen insiden adalah penanggulangan kejadian di lokasi atau langsung di tempat
kejadian. Dilakukan oleh tim tanggap darurat yang dibentuk atau petugas lapangan sesuai
dengan keahliannya masing-masing. Penanggulangan bencana pada tingkat ini bersifat
teknis.
2. Manajemen darurat adalah upaya penanggulangan bencana di tingkat yang lebih tinggi
yang mengkoordinir lokasi kejadian.
3. Manajemen krisis berada di tingkat yang lebih tinggi. Misalnya, di tingkat nasional atau
tingkat korporat bagi suatu peruasahaan yang mengalami bencana
(Sumber: Susanto, 2011: 25-26)
Perbedaan tugas dan tanggung jawab pada ketiga tingkatan adalah berdasarkan
fungsinya yaitu taktis dan strategis. Tingkat manajemen insiden, tugas dan tanggung jawab
lebih banyak bersifat taktis dan semakin keatas tugasnya akan lebih banyak menangani hal yang
strategis. Pengaturan fungsi dan peran sangat penting dilakukan dalam mengembangkan suatu
penanggulangan bencana. Hambatan di lapangan pada dasarnya terjadi karena pengaturan tugas
dan peran tidak jelas. Siapa yang bertanggung jawab mengkoordinir bantuan dari pihak luar dan
siapa yang mengelola bantuan tersebut setelah berada di lapangan. Siapa penentu kebijakan
penanggulangan bencana dan siapa yang melakukan penerapannya di lapangan.
Begitu juga dengan erupsi Gunung Sinabung, dimana fungsi dan peran yang dijalankan
setiap pihak yang terkait belum menunjukan hasil yang maksimal. Proses evakuasi korban dari
desa ke tempat pengungsian masih berjalan lamban. Kurangnya koordinasi pihak yang terkait
menjadi kendala dalam penanganannya. Pihak-pihak yang terlibat dalam penanggulangan
bencana ini berjalan sproradis dan sendiri-sendiri. Seharusnya sebagai tim penanganan tanggap
darurat bencana, koordinasi dan komunikasi merupakan kunci utama keberhasilan dalam
penanggulangnnya. Bahkan, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) yang baru saja
dibentuk dianggap belum mampu untuk mengemban tugas dan tanggung jawabnya. Sehingga
sebagian dari tugas mereka diserahkan kepada Dinas Sosial. Termasuk penanganan relokasi di
desa Siosar yang sebelumnya dikendalikan oleh BPBD kini diserahkan kepada Dandim 0205

Universitas Sumatera Utara

(selaku komandan tanggap darurat). Hal ini membuktikan bahwa proses penanganan yang lebih
dari setahun itu seolah percuma. Pihak-pihak yang terlibat harusnya banyak belajar dari
kejadian sebelumnya. Proses komunikasi dan koordinasi yang baik di setiap lininya harus
dioptimalkan untuk mencapai hasil yang maksimal dalam proses penanggulangan bencana
ini.Setiap kegiatan yang dijalankan harus dipertanggung jawabkan kepada koordinator setiap
bidangnya, kemudian dilaporkan kepada bupati Karo (selaku pembina tim penanganan darurat
bencana). Kekurangan dan kepuasan yang terjadi di lapangan dapat diperbaiki dan
dipertahankan bilamana bencana serupa terjadi kembali.
f) Tahapan Penanggulangan Bencana
Penanggulangan bencana suatu proses terencana yang dilakukan untuk mengelola
bencana dengan baik dan aman melalui tiga tahapan sebagai berikut :
1. Prabencana
Tahapan penanggulangan bencana pada kondisi sebelum kejadian meliputi:
a. Kesiapsiagaan
Kesiapsiagaaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi
bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya
guna. Membangun kesiapsiagaan merupakan unsur penting, tidak mudah dilakukan
karena menyangkut sikap mental dan budaya serta disiplin di tengah masyarakat.
Kesiapsiagaan adalah tahapan yang paling strategis karena sangat menentukan
ketahanan anggota masyarakat dalam menghadapi datangnya suatu bencana.
b. Peringatan dini
Langkah ini diperlukan untuk memberi peringatan kepada masyarakat tentang
bencana yang akan terjadi sebelum kejadian. Peringatan dini disampaikan dengan
segera kepada semua pihak, khususnya mereka yang potensi terkena bencana akan
kemungkinan datangnya suatu bencana di daerahnya masing-masing.
c. Mitigasi bencana
Menurut peraturan pemerintah (PP) No.21 tahun 2008, mitigasi bencana adalah
serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana, baik melalui pembangunan fisik
maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.
2. Saat kejadian bencana
Tahapan paling krusial dalam sistem penanggulangan bencana adalah saat bencana
sesungguhnya terjadi. Telah melalui proses peringatan dini, tanpa peringatan atau terjadi
secara tiba-tiba. Diperlukan langkah-langkah seperti tanggap darurat untuk dapat
mengatasi dampak bencana dengan cepat dan tepat agar jumlah korban atau kerugian
dapat diminimalkan.
3. Pasca bencana
Bencana setelah terjadi dan setelah proses tanggap darurat dilewati, langkah berikutnya
adalah melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi.

Universitas Sumatera Utara

a. Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek layanan publik atau
masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pasca bencana dengan sasaran
utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar aspek pemerintahan dan
kehidupan masyarakat pada wilayah pasca bencana.
b. Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua sarana dan prasarana, kelembagaan
pada wilayah pasca bencana, pada tingkat pemerintahan masyarakat dengan sasaran
utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya,
tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala
aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah pasca bencana.
Gambar 1.2
Siklus Bencana
Kesiapsiagaan

Tanggap Darurat

Mitigasi
Saat Bencana

Pra Bencana

Pencegahan

Rekonstruksi

Pemulihan

(Sumber: Ramli, 2010)

2.2.3) Komunikasi Bencana
Komunikasi mutlak diperlukan guna melaksanakan penyampaian informasi dan
koordinasi dalam upaya penanggulangan bencana. Secara umum komunikasi mengacu pada
tindakan oleh satu orang atau lebih yang mengirim dan menerima pesan, terjadi dalam konteks
tertentu, mempunyai pengaruh tertentu dan ada kesempatan untuk melakukan umpanbalik.
Komunikasi juga menuntut adanya partisipasi dan kerjasama dari pelaku yang terlibat sehingga

Universitas Sumatera Utara

dalam kegiatan komunikasi terjadi pokok perhatian yang sama terhadap topik yang dibicarakan.
Komunikasi bencana adalah mengorganisasikan pesan dan bekerja keras untuk menghadapi
kompleksitas bencana. Bukan sebaliknya, komunikasi berjalan linier dengan bencana yang kusut
tidak terurai. Komunikasi bencana dapat dilakukan dengan membantu sekuat tenaga dengan
bicara dan bertindak, dengan memposisikan pengungsi erupsi Gunung Sinabung dari Kecamatan
Naman Teran sebagai komunitas yang memiliki pilihan hidup berdampingan dengan
bencana.Bukan malah menyalahkan dan memojokkan mereka yang berduka tertimpa bencana,
layaknya orang-orang yang kalah dalam permainan untung rugi. Komunikasi harus mampu
mendorong semangat korban, termasuk yang tetap memilih bertahan hidup dan melanjutkan
kehidupannya di kawasan rawan bencana.
Berpijak kepada pengertian bencana dari aspek legal, maka penanganan bencana
sesungguhnya bukan semata-mata mengandalkan kemampuan untuk memberikan bantuan
material saja, tetapi memberikan dukungn moral, kepada mereka yang terkena bencana menjadi
suatu keharusan. Melalui komunikasi yang berpedoman kepada etika dan substansi komunikasi
dalam penyampaian pesan, dari satu sumber kepada sumber lain yang bertujuan memperoleh
pemahaman ataupun pemaknaan bersama, maka komunikasi menjadi sangat esensial dalam
memberikan bantuan terhadap bencana alam. Apalagi status gunung yang tidak dapat diprediksi
akhir dari erupsinya, maka peranan komunikasi sanngatlah membantu untuk mengurangi
keresahan dan ketidakpastian yang sedang mereka hadapi.
Myers dan Myers (dalam Susanto, 2011:14) berpendapat, bahwa komunikasi
dimaksudkan untuk berbagi informasi dan mengurangi kekakuan dalam organisasi. Jadi,
komunikasi dapat menciptakan suatu fleksibilitas alam melaksanakan kegiatan organisasi tanpa
harus melakukan penyimpangan terhadap peraturan yang ada. Dalam pemikiran konvensional,
komunikasi merupakan pengungkapan diri yang berjalan sesuai dengan aturan atau norma yang
berlaku sebagai hak dan kewajiban setiap orang yang terlibat didalamnya. Dengan demikian,
komunikasi dapat menciptakan fleksibilitas dalam pelaksanaan kegiatan, namun tetap berpijak
kepada aturan dan norma yang disepakati bersama.
Menurut Chamsah (2007:9) dalam implementasi penanggulangan bencana, pemerintah
daerah harus menyusun Contigency Plan penanggulangan bencana, yang mencakup analisa
daerah rawan bencana, identifikasi potensi dan sistem sumber yang dapat dimobilisasi
menentukan kebijakan serta langkah strategis jika terjadi bencana.

Universitas Sumatera Utara

Kecepatan dalam komunikasi untuk pengambilan keputusan dan sistem komunikasi yang
terhubung antar lembaga peduli bencana, akan meminimalisir jatuhnya korban. Acuan
penanggulangan bencana dapat berjalan lancar jika manajemen informasi bencana dikelola
dengan interaktif. Harjadi (2007:17), mengungkapkan acuan penanggulangan bencana, tidak bisa
lepas dari fungsi komunikasi yang memberikan sinyal untuk mengurangi ketidakpastian, sebagai
berikut:
1. Memasang sarana diseminasi informasi, termasuk : dedicated link (Saluran Komunikasi
Khusus), radio internet, server untuk sistem “5 in one” dan sirene, sehingga informasi
dari BMKG dapat diterima secepat-cepatnya.
2. Membuat peta jalur evakuasi dan zona evakuasi serta rambu-rambu bahaya erupsi di
sepanjang daerah rawan bencana erupsi gunung Sinabung.
3. Membangun shelter pengungsian yang dilengkapi dengan jalan dari pemukiman
penduduk ke shelter, serta sarana dan prasarana darurat di pengungsian.
4. Mengadakan pelatihan evakuasi baik untuk masyarakat maupun aparat terkait, secara
berkala 2 (dua) kali setahun, dalam rangka meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat
dalam menghadpi bencana erupsi gunung Sinabung.
5. Memfasilitasi peningkatan pemahaman masyarakat mengenai bencana melalui
pendidikan formal dan non formal.
Mengingat komunikasi juga terkait respon yang berbeda, ketersediaan waktu dan situasi,
maka selayaknya jika institusi pemerintah sebagai pihak yang berhubungan langsung dengan
penanganan bencana, harus membuat pusat informasi bencana yang mengeluarkan informasi
standar, faktual dan mudah diakses oleh masyarakat. Sebab bagaimanapun juga komunikasi
adalah kekuatan untuk mempengaruhi khalayak dengan memberikan informasi untuk
mengurangi ketidakpastian. Media centre merupakan pusat data dan informasi yang berada di
posko utama. Keberadaan media centre ini diharapkan lebih mempermudah masyarakat untuk
mengakses informasi dan data yang mereka butuhkan. Setiap kendala dan keluhan yang mereka
hadapi baik itu saat berada di pengungsian maupun tempat lainnya bisa dicairkan dengan
mengunjungi media centre tersebut. Selanjutnya akan dikoordinasikan kepada pihak yang terkait.
Standarisasi informasi bukan berarti menghentikan kebebasan menyampaikan informasi,
tetapi demi untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat agar mereka dapat melakukan
dengan bertumpu kepada kekuatan dan pengalaman diri sendiri, dalam meminimalisir dampak
negatif, jika sewaktu-waktu muncul bencana di lingkungannya (Susanto, 2011:6).
Penyebaran informasi faktual untuk mencegah kerugian harta maupun korban jiwa
menjadi tanggungjawab pemerintah. Dengan demikian tidak bisa dilakukan secara sporalis, tanpa

Universitas Sumatera Utara

koordinasi dan kurang menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Sebab, secara asasi, kebutuhan
atas informasi adalah hak yang melekat dalam diri manusia (Haryanto, 2010:7). Karena itu,
penetapan standar informasi bencana yang terintegrasi dari semua organ-organ kekuasaan negara
harus disebarluaskan dengan memanfaatkan saluran komunikasi yang ada di masyarakat, seperti
media massa dan media alternatif lain. Hal ini dilakukan guna mempermudah masyrakat
khususnya korban bencana untuk mengakses data dan informasi yang mereka butuhkan.
Gordon, Deines dan Havice (dalam Susanto, 2011: 16-17), menyatakan bahwa liputan
media massa menjadi kontributor utama dalam memberikan pemahaman kepada masyarakat
maupun tindakan yang harus diambil ketika menghadapi berbagai isu tentang lingkungan,
teknologi dan resiko yang akan terjadi. Sedangkan McQuail (dalam Susanto, 2011:16-17)
menyatakan, khalayak media massa yang berjumlah besar, tersebar luas, heterogen dan tidak
terorganisir bisa dipengaruhi oleh liputan media. Dengan demikian, media massa dan media
alternatif lain yang mengandalkan kekuatan teknologi komunikasi, merupakan entitas yang
mampu memberikan dukungan dalam mengeksplorasi pesan-pesan bencana dari sumber yang
bisa dipertanggung jawabkan.
Eksistensi media dalam penanggulangan bencana, sejalan dengan arah kebijakan dan
strategi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) maupun Badan Penanggulangan
Bencana Daerah (BPBD) Karo yang berupaya menanggulangi bencana secara terencana, terarah,
terkoordinasi, terpadu dan menyeluruh serta akuntabel (Prisma, Juni 2010). Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) yang baru dibentuk masih harus banyak belajar dalam
menanggulangi setiap bencana yang akan terjadi. Hal ini dibuktikan ketika sebagian dari tugas
dan tanggung jawab mereka diserahkan kepada Dinas Sosial. Karena BPBD dianggap belum
mampu dalam menangani dan menanggulangi bencana erupsi Gunung Sinabung ini. Hakikatnya,
dengan memanfaatkan media massa dan media alternatif lain, pemerintah beserta sub-ordinat
kekuasaannya, dapat meningkatkan kecepatan reaksi, mampu menyelesaikan penanganan darurat
korban bencana dan pemulihan sarana fisik maupun non fisik di wilayah pasca-bencana secara
terpadu dan menyeluruh.
a) Fungsi Komunikasi Sosial Sebagai Manajemen
Menurut Susanto (2001: 90-91) komunikasi sosial berfungsi sebagai dasar tindakan atau
kegiatan komunikasi yang menjadi alat untuk mengatur atau mengendalikan anggota komunitas

Universitas Sumatera Utara

dan anggota ini mengetahui apa yang diharapkan oleh pihak lain terhadap dirinya dalam hidup
bermasyarakat. Lebih lanjut, Wilbur Schram mendeskripsikan empat fungsi komunikasi sosial,
yaitu:
1. Komunikasi sebagai radar sosial.
Komunikasi sosial berfungsi untuk memastikan atau memberi keyakinan kepada pihak
lain mengenai informasi yang sedang berlangsung, bahwa apabila ada informasi yang
baru dan relevan dengan kehidupan masyarakat, masyarakat yang memperoleh
informasi tersebut dapat menggunakannya dalam pergaulan sehari-hari, agar tidak
ketinggalan informasi.
2. Komunikasi sebagai manajemen
Komunikasi sosial berfungsi sebagai dasar tindakan atau kegiatan komunikasi yang
menjadi alat untuk mengatur atau mengendalikan anggota komunitas dan anggota ini
mengetahui apa yang diharapkan oleh pihak lain terhadap dirinya dalam hidup
bermasyarakat.
3. Komunikasi sebagai sarana sosialisasi
Kegiatan komunikasi untuk menyampaikan pengetahuan atau pendidikan bagi warga
atau pun generasi baru dalam kehidupan bermasyarakat. Kegiatan ini disebut juga
sebagai proses sosialisasi.
4. Kegiatan komunikasi yang berfungsi untuk menghibur masyarakat atau kegiatan yang
dapat melepaskan ketegangan hidup bermasyarakat.
(Sumber: Susanto,2011: 90-91)
Setiap peristiwa maupun kejadian pasti memiliki dampak baik itu positif maupun negatif.
Ketika berbicara tentang bencana alam apalagi erupsi Gunung Sinabung maka sudah jelas
dampak yang dirasakan oleh korban. Rumah, lahan pertanian, peternakan dan sebagainya
menjadi korban dari keganasan gunung tersebut. Bahkan sampai merenggut nyawa manusia itu
sendiri. Situasi seperti inilah yang membuat warga resah dan takut untuk menghadapi dan
menjalani kehidupanya layaknya masyarakat normal lainnya. Komunikasi memang menjadi
alternatif yang sangat efektif guna mengurangi rasa takut dan keresahan yang dihadapi korban
bencana. Sesuai dengan fungsi komunikasi yang dijelaskan diatas, setiap kegiatan komunikasi
yang dilakukan akan mempengaruhi keadaan yang sedang dihadapi. Masyarakat yang dulunya
tidak tahu akan situasi gunung kini mereka mulai bisa mempelajari bahkan memprediksi keadaan
gunung itu sendiri. Selain sebagai menajemen dan sarana sosialisasi, kegiatan komunikasi dapat
dilakukan untuk menghibur masyarakat dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat
melepaskan ketegangan yang sedang mereka hadapi. Bukan hal yang mudah untuk berada
dipengungsian yang memakan waktu lebih dari setahun. Sekalipun belum maksimal paling tidak
pihak yang terlibat dalam penanggulangan bencana ini sudah melakukan yang terbaik.

Universitas Sumatera Utara

b) Peran Komunikasi dalam Komunikasi Bencana
komunikasi menjadi unsur penting dalam penanggulangan bencana, baik pada saat pra
bencana, darurat bencana dan pasca bencana. Dalam penanggulangan bencana harus dibangun
komunikasi integratif dan kohesif yang setara antara pemerintah, masyarakat, media dan korban
bencana.komunikasi bencana juga harus melibatkan semua pihak dari unsur masyarakat,
akademisi dan pemerintah. Dimana, tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah karena informasi
dari pemerintah belum sepenuhnya dipakai oleh masyarakat. Bahkan lembaga pemerintah
lainnya juga bisa tidak menghiraukannya. Dampak paling awal ketika terjadinya bencana adalah
kondisi darurat, bahwa korban tidak mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya dengan
kapasitasnya sendiri. Kondisi ini harus direspon secara cepat dengan tujuan utama pemenuhan
kebutuhan dasar masyarakat korban sehingga kondisi kualitas hidup tidak makin parah.
Setelah kondisi darurat, biasanya situasi ketika terjadi bencana diikuti dengan kebutuhan
pemulihan (rehabilitasi), rekonstruksi (terutama menyangkut perbaikan-perbaikan infrastruktur
yang penting bagi keberlangsungan hidup komunitas), sampai pada proses kesiapan terhadap
bencana. Setiap proses penanganan bencana selalu melibatkan peran komunikasi, baik
komunikasi interpersonal, kelompok, organisasi, publik, media massa, media interaktif dan
bahkan komunikasi lintas budaya. Peran-peran komunikasi dapat dideskripsikan pada setiap
tahap penanganan bencana, walaupun langkah-langkah penanganan setiap bencana yang terjadi
di setiap provinsi, kota maupun daerah penanganannya tidak sama, tergantung kondisi dimana
bencana terjadi, budaya, karakter, kebiasaan, nilai-nilai yang dianut dan lain-lain yang ada di
wilayah bencana (Susanto, 2011:92-93). Berikut tahap-tahap penanganan bencana menurut UU
Penanggulangan Bencana Nomor 24 Tahun 2007 dan kompetensi komunikasi yang seharusnya
dimiliki oleh setiap orang yang terlibat dalam tahapan penanganan bencana. Tahapan dimulai
dari prabencana, saat bencana berupa tanggap darurat dan pasca bencana dengan rekonstruksi
dan rehabilitasi.
Pada saat prabencana, menurut Pasal 34, penyelengaraan penanggulangan bencana pada
tahapan prabencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf a meliputi: (a). Dalam situasi
tidak terjadi bencana; dan (b). Dalam situasi terdapat potensi terjadinya bencana. Dalam UndangUndang Nomor 24 tahun 2007 tentang penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi
tidak terjadi bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf a meliputi:

Universitas Sumatera Utara

a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.

Perencanaan penanggulangan bencana:
Pengurangan risiko bencana;
Pencegahan;
Pemaduan dalam perencanaan pembangunan;
Persyaratan analisis risiko bencana;
Pelaksanaan dan penegakan bencana tata ruang;
Pendidikan dan pelatihan; dan
Persyaratan standar teknis penanggulangan bencana.

Perencanaan penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud pasal ayat (1) meliputi:
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Pengenalan dan pengkajian ancaman bencana
Pemahaman tentang kerentanan masyarakat
Analisis kemungkinan dampak bencana
Pilihan tindakan pengurangan risiko bencana
Penentuan mekanisme kesiapan dan penanggulangan dampak bencana
Alokasi tugas, kewenangan dan sumber daya yang tersedia

Pemerintah dan pemerintah daerah dalam waktu tertentu meninjau dokumen perencanaan
penanggulangan bencana secara berkala. Dalam usaha meyelaraskan kegiatan perencanaan
penanggulangan bencana, pemerintah dan pemerintah daerah dapat mewajibkan pelaku
penanggulangan bencana untuk melaksanakan perencanaan penanggulangan bencana.
Dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang penyelenggaraan penanggulangan
bencana pada saat tanggap darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf b meliputi:
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan dan sumber daya
Penentuan status keadaan darurat bencana
Penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana
Pemenuhan kebutuhan dasar
Perlindungan terhadap kelompok rentan
Pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital

Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahap pascabencana sebagaimana
dimaksud dalam Undang-UndangNomor 24 tahun 2007 Pasal 33 huruf c meliputi: rehabilitasi
dan rekonstruksi. (1) Rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf a dilakukan
melalui kegiatan:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

Perbaikan lingkungan daerah bencana
Perbaikan prasarana dan sarana umum
Pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat
Pemulihan sosial psikologis
Pelayanan kesehatan
Rekonsiliasi dan resolusi konflik
Pemulihan sosial ekonomi budaya

Universitas Sumatera Utara

h. Pemulihan keamanan dan ketertiban
i. Pemulihan fungsi pemerintahan
j. Pemulihan fungsi pelayanan publik
Pada tahapan pascabencana, biasanya diikuti dengan kebutuhan pemulihan (rehabilitasi).
Rehabilitasi merupakan kebutuhan pemulihan medesak yang meliputi: kebutuhan dasar individu;
kebutuhan fasilitas kesehatan; kebutuhan rohani; kebutuhan sanitasi; serta kebutuhan sarana dan
prasarana mendesak. Pemenuhan kebutuhan ini harus dengan segera karena bisa berakibat fatal
bagi korban bencana. Untuk itu sosialisasi tentang rahabilitasi sangatlah diperlukan guna
pemulihan pascabencana erupsi Gunung Sinabung. Misalnya, bantuan makanan dan minuman
yang mau tidak mau harus dipenuhi karena bisa menyebabkan timbulnya penyakit bahkan yang
lebih parahnya adalah kematian. Proses rehabilitasi ini sangatlah penting bagi korban bencana
guna pemulihan situasi dan kondisi psikologis mereka akibat dari erupsi Gunung Sinabung yang
terus menerus mengalami erupsi. Gejala penyakit, trauma bahkan stress menghantui pikiran
korban. Pemulihan kebutuhan mendesak seperti inilah yang wajib dipenuhi untuk mengurangi
dampak bencana yang lebih parah. Semua pihak yang terkait harus berkoordinasi dan melakukan
komunikasi yang baik guna mencegah hal-hal yang diluar kemungkinan bisa terjadi.
Rekonstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf b, dilakukan melalui kegiatan
pembangunan yang lebih baik, meliputi:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.

Pembangunan kembali prasarana dan sarana
Pembangunan kembali sarana sosial masyarakat
Pembangkitan kembali kehidupan sosial budaya masyarakat
Penerapan rancang bangun yang tepat dan penggunaan peralatan yang lebih baik dan
tahan bencana
Partisipasi dan peran serta lembaga dan organisasi kemasyarakatan, dunia usaha dan
masyarakat
Peningkatan kondisi sosial, ekonomi dan budaya
Peningkatan fungsi pelayanan publik
Peningkatan pelayanan utama dalam masyarakat

Rekonstruksi merupakan perbaikan-perbaikan menyangkut infrastruktur yang penting
bagi keberlangsungan hidup komunitas (korban bencana). Kebutuhan pemulihan jangka panjang
ini meliputi: membangun perekonomian lokal; perbaikan unsur rohani, adat budaya; perbaikan
saluran listrik dan komunikasi permanen; perbaikan fasilitas umum; perbaikan produksi pangan;
perbaikan dan pelestartian lingkungan; dan pemulihan pendidikan. Tidak semua korban bisa

Universitas Sumatera Utara

merasakan kebutuhan dari pemulihan jangka panjang ini. Ada 14 desa dari Kecamatan Naman
Teran yang merasakan dampak dari erupsi Gunung Sinabung. Misalnya, desa Bekerah dan desa
Simacem yang memang harus direlokasi ke lokasi yang jauh lebih aman. Situasi dan kondisi
yang tidak memungkinkan membuat mereka harus pergi meninggalkan tanah leluhurnya itu.
Padahal, mungkin sebagian dari masyarakat dari dua desa tersebut masih ingin melanjutkan
hidup dan kehidupannya di kawasan rawan bencana. Proses relokasi ke desa Siosar, Kecamatan
Merek belumlah rampung dan masih dalam proses pengerjaan. Korban yang direlokasi ke desa
tersebut pasti mengalami kesulitan karena harus beradaptasi dengan alam yang baru. Namun,
bagaimana pun juga proses relokasi ini patut untuk diapresiasi melihat situasi dan kondisi korban
yang butuh hidup dan menjalani kehidupannya yang baru.
Kemampuan manajemen komunikasi penanggulangan masalah akibat bencana di
lapangan memerlukan proses sebagai berikut:
1) Perencanaan (planning)
a. Perencanaan adalah proses kegiatan pemikiran, dugaan dan penentuan-penentuan
prioritas yang harus dilakukan secara rasional sebelum melaksanakan tindakan yang
sebenarnya dalam rangka mencapai tujuan yang sudah ditetapkan.
b. Perencanaan juga merupakan kegiatan-kegiatan rohaniah sebelum melakukan tindakan
jasmaniah
c. Perencanaan itu amat diperlukan dalam rangka mengarahkan tujuan dan sasaran
organisasi maupun tujuan suatu program pembangunan, sebab daripadanya dipaparkan
pula tentang kebutuhan penggunaan tenaga kerja, biaya, waktu, peralatan dan sumbersumber (resources) lainnya. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam perencanaan
adalah:
1) Tindakan apa yang harus dikerjakan?
2) Apakah sebabnya tindakan itu harus dikerjakan?
3) Di manakah tindakan itu harus dikerjakan?
4) Kapankah tindakan itu harus dikerjakan?
5) Siapakah yang akan mngerjakan tindakan itu?
6) Bagaimanakah caranya melaksanakan tindakan itu?
2) Pengorganisasian (organizing)
a. Pengorganisasian merupakan proses penyusunan pembagian kerja ke dalam unit-unit
kerja dan fungsi-fungsinya beserta penetapannya dengan cara-cara yang tepat
mengenai orang-orangnya (staffinga) yang harus menduduki fungsi-fungsi itu berikut
penentuannya dengan tepat tentang hubungan wewenang dan tanggungjawabnya.
b. Pengorganisasian itu dilakukan demi pelaksanaan kerja dan pelaksanaan dari
perencanaan, yang penting demi adanya pembagian kerja yang setepat-tepatnya.
c. Dalam pengorganisasian sangat penting untuk diperhatikan bahwa penetapan
mengenai orang-orangnya haruslah dilakukan secara objektif dan setelah terlebih
dahulu ditentukan unit-unit kerja dan fungsi-fungsinya.

Universitas Sumatera Utara

Hal-hal yang diperlukan dalam perngorganisasian antara lain:
1) Mengambil keputusan
2) Mengadakan komunikasi agar ada saling pengertian antara atasan dan bawahan
3) Memberi semangat, inspirasi dan dorongan kepada bawahan supaya mereka mau
bertindak
4) Memilih orang-orang yang menjadi anggota kelompoknya, serta memperbaiki
pengetahuan dan sikap-sikap bawahan agar mereka terampil dalam usaha mencapai
tujuan yang ditetapkan
3) Pendorongan (motivating)
a. Pendorongan merupakan proses kegiatan yang harus dilakukan untuk membina dan
mendorong semangat kerja dan kerelaan kerja para pegawai (anggota organisasi) demi
tercapainya tujuan organisasi.
b. Pendorongan itu penting sekali mengingat arti pentingnya faktor manusia dalam
organisasi dan dalam proses produksi.
c. Rangkaian kegiatan pendorongan ini mencakup segi-segi dorongan atau perangsang
yang bersifat kerohanian (seperti pemberian kenaikan pangkat, pemberian pendidikan
dan pengembangan karier, penambahan pengalaman, penyelenggaraan human
relations dengan tepat, pemberian cuti dan sebagainya), maupun segi-segi dorongan
kejasmanian (seperti adanya sistem upah dan gaji yang menggairahkan, pemberian
tunjangan-tunjangan serta distribusi sandang dan pangan, penyediaan perumahan,
kendaraan, jaminan-jaminan pemeliharaan kesehatan dan lain-lainnya).Hal penting
yang perlu diperhatikan dala proses ini yaitu memberi bimbingan, saran perintahperintah atau instruksi kepada bawahan dalam melaksanakan tugas masing-masing
yang ditetapkan semula. Motivating atau pemotivasian kegiatan merupakan salah satu
fungsi manajemen berupa pemberian inspirasi, semangat dan dorongan kepada
bawahan agar bawahan melakukan kegiatan secara suka rela sesuai apa yang
diinginkan oleh atasan.
4) Pengendalian atau kontrol (controlling)
a. Pengendalian atau kontrol adalah rangkaian kegiatan yang harus dilakukan untuk
mengadakan pengawasan, penyempurnaan dan penilaian untuk menjamin bahwa
tujuan dapat tercapai sebagai mana yang telah ditetapkan dalam perencanaan.
Pengendalian atau kontrol itu perlu untuk mengetahui sampai dimana pekerjaan sudah
dilaksanakan, sumber-sumber yang telah dimanfaatkan, hambatan-hambatan dan
sebagainya.
b. Dari hasil pengorganisasian itu, dapatlah diadakan penyempurnaan, evaluasi dan
penelitian tentang perlunya tindakan-tindakan korektif ataupun tindak lanjut yang
harus dilakukan, sehingga pemborosan-pemborosan dapat dihindarkan dan
pengembangan-pengembangan selanjutnya dapat ditingkatkan pelaksanaannya.
(Sumber: Susanto, 2011:96-98)
Peran komunikasi sesuai dengan pendapat Fanggidae,dkk. (2002) bahwa pada tahap
perencanaan antara lain informasi-informasi yang terangkum dalam laporan hasil assement
kemudian dipergunakan sebagai acuan dalam perencanaan kegiatan. Kegiatan yang dilakukan

Universitas Sumatera Utara

tidak selalu berupa pemberian bantuan kemanusiaan. Beberapa kegiatan yang bisa menjadi
follow-up dari hasil penelitian antara lain:
1. Memulai kegiatan bantuan kemanusiaan untuk korban bencana.
2. Melakukan monitoring situasi secara reguler.
3. Mendukung pihak lain yang memberikan bantuan kemanusiaan.
4. Melakukan advokasi atau tekanan kepada pihak lain untuk melakukan sesuatu, baik
bantuan berupa perubahan kebijakan (khusunya kepada pemerintah).

2.2.4) Komunikasi Interpersonal
Komunikasi interpersonal didefinisikan oleh Joseph A. Devito dalam bukunya “The
Interpersonal Communication Book”, (Devito, 1989:4) sebagai proses pengiriman dan
penerimaan pesan-pesan antara dua orang atau diantara sekelompok kecil orang-orang, dengan
beberapa efek dan beberapa umpan balik seketika (Effendy, 2003:59).
Komunikasi interpersonal atau yang sering disebut pula sebagai komunikasi antar pribadi
merupakan pengiriman pesan dari seseorang dan diterima oleh orang lain dengan efek dan
feedback yang langsung (Devito). Komunikasi interpersonal sangat efektif dalam mengubah
sikap atau perilaku karena satu sama lainnya terlibat komunikasi yang tinggi (Hidayat, 2012:38).
Proses komunikasi akan lancar apabila para pihak yang terlibat memiliki kompetensi
komunikasi yang baik, seperti kompetensi komunikasi interpersonal sebagai berikut:
keterbukaan, empati, sikap mendukung, sikap positif dan kesamaan (Widjaja, 2000: 128-130) :
1. Keterbukaan
Sikap keterbukaan menunjuk paling tidak pada dua aspek tentang komunikasi
interpersonal yaitu: (1) Terbuka pada orang-orang yang berinteraksi dengan kita. Hal ini
berarti bahwa kita harus dengan serta merta mempunyai kemauan untuk membuka diri
pada masalah-masalah umum yang dihadapi oleh para korban bencana. (2) Menunjuk
pada kemampuan kita untuk memberikan tanggapan terhadap para korban dengan jujur
dan terus terang tentang segala sesuatu yang dikatakannya.
2. Empati
Empati adalah kemampuan seseorang untuk menampakkan dirinya pada peranan atau
posisi orang lain. Dalam arti bahwa seseorang petugas harus mampu memahami apa yang
dirasakan dan dialami oleh para korban bencana. Dengan empati, seseorang berusaha
melihat dan merasakan seperti yang dilihat dan dirasakan orang lain.
3. Sikap mendukung (supportiveness)

Universitas Sumatera Utara

Komunikasi interpersonal akan lebih efektif bila dalam diri seseorang ada perilaku
mendukung