Kehidupan Sosial Pelanggar Qanun No. 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat di Kota Langsa

BAB I
PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Aceh adalah sebuah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat
hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam
sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang
dipimpin oleh seorang Gubernur (UU RI No 11 Tahun 2006, Pasal 1 ayat 2).
Aceh merupakan daerah provinsi yang terletak di Semenanjung Pulau
Sumatera. Masyarakat Aceh dalam sejarahnya yang cukup panjang telah
lama berkenalan dengan Agama Islam dan menjadikan Agama Islam
sebagai pedoman hidupnya. Agama Islam telah menjadi bagian dari
kehidupan mereka, sehingga dalam praktek kehidupannya sangat bertumpu
dengan syari’at, adat dan juga tunduk serta taat kepada Syari’at Islam serta
memperhatikan ketetapan atau fatwa ulama. Penghayatan mereka terhadap
ajaran Agama Islam kemudian melahirkan budaya Aceh yang tercermin

dalam kehidupan adat. Adat tersebut hidup dan berkembang dalam
kehidupan masyarakat, yang kemudian diakumulasikan lalu disimpulkan
menjadi “Adat Bak Po Teumeureuhom, Hukom Bak Syiah Kuala, Qanun
Bak Putro Phang, Reusam Bak Laksamana” yang artinya, Hukum Adat di

1
Universitas Sumatera Utara

tangan pemerintah dan Hukum Syariat ditangan Islam. Ungkapan ini
merupakan pencerminan dari perwujudan syariat Islam dalam kehidupan
sehari-hari (Perda No 5, 2000).
Syari’at Islam merupakan sebuah sistem hukum Islam sebagaimana
sistem hukum lainnya, yang mencakup perdata, pidana, dagang, keluarga,
peradilan dan sebagainya. Dalam pemahaman masyarakat muslim Aceh
bahwa Syari’at Islam dan adat diibaratkan dengan pepatah Adat Ngoen
Hukom Lagee Zat Ngoen Sipeut yang artinya bahwa adat dan hukum seperti
zat dan sifat yang mempunyai makna bahwa di Aceh hukum Islam dan adat
yang berlaku dalam masyarakat benar-benar telah menyatu, sehingga tidak
dapat dipisahkan lagi, sudah seperti zat sesuatu benda dengan sifat benda itu
sendiri. Bahkan struktur sosial dan pemerintah masyarakat Aceh disesuaikan

dengan wacana Syariat Islam. Apalagi pada masa Kerajaan Aceh yang
dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda, masyarakat Aceh semakin
mengindentikkan dirinya dengan Syari’at Islam (Majid, 2007:2).
Keberhasilan syariat bukan hanya diukur dari berapa banyak jumlah
pelanggar yang dicambuk, berapa qanun yang sudah dihasilkan, atau masih
ada atau tidak pelanggaran. Keberhasilan syariat yang paling penting adalah
kesadaran masyarakat untuk tidak melakukan hal-hal yang berbau
kriminalitas.

Kesadaran

masyarakat

merupakan

bentuk

kepatuhan

masyarakat terhadap aturan qanun yang mereka aplikasikan kedalam pola

kehidupan, pergaulan dan tingkah laku mareka sehari-hari. Jadi, syariat juga

2
Universitas Sumatera Utara

memerlukan pendekatan rasio yang memadai, bukan hanya mengedepankan
dorongan emosional keagamaan (Halim, 2009).
Eratnya hubungan antara agama Islam dan adat, menjadi bukti sejarah
dan bagian dari jati diri masyarakat Aceh. Selain itu, adanya kenyataan
historis tentang kerajaan – kerajaan Islam yang dulunya berjaya di Aceh,
dan

pernah

secara

formal

menerapkan


Syari’at

Islam

(Isa,

2013:169).Pelaksanaan Syari’at agama Islam di Aceh secara yuridis baru
benar-benar diakui dan dilembagakan melalui undang-undang (selanjutnya
ditulis dengan UU) Nomor 44 tahun 1999 tentang penyelenggaraan
keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Pelaksanaan Syari’at Islam
yang dimaksudadalah sebagai bentuk perwujudan kewenangan khusus bagi
Aceh dibidang penyelenggaraan kehidupan beragama dengan tetap menjadi
kerukunan hidup antar umat beragama, yang selanjutnya diikuti dengan
dikeluarkannya Peraturan Daerah No. 5 Tahun 2000 oleh DPRD Aceh
tentang Pelaksanaan Syari’at Islam (Pamulutan, 2012:2).
Syari’at Islam yang menjadi dambaan masyarakat Aceh sejak dulu,
kini telah terwujud dan berjalan di bumi Serambi Mekkah, pemerintah
secara yuridis telah memberikan wewenang penuh kepada Pemerintah Aceh
untuk menentukan sendiri jalannya pemerintahan, terutama yang berkaitan
dengan pelaksanaan Syari’at Islam. Pada saat ini Aceh telah menyusun

beberapa Qanun (Peraturan Daerah) yang mengatur tentang pelaksanaan
Syari’at Islam, antara lain : Qanun (Peraturan Daerah) Provinsi Aceh No. 5
Tahun 2000 tentang pelaksanaan Syariat Islam, Qanun (Peraturan Daerah)

3
Universitas Sumatera Utara

Provinsi Aceh No. 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam, Qanun
(Peraturan Daerah) Provinsi Aceh No. 11 Tahun 2002 tentang pelaksanaan
Syari’at Islam bidang Aqidah, Ibadah dan Syi’ar Islam, Qanun (Peraturan
Daerah)

Provinsi Aceh No. 12 Tahun 2003 tentang Khamar, Qanun

(Peraturan Daerah) Provinsi Aceh No.13 tahun 2003 tentang Maisir dan
Qanun (Peraturan Daerah)

Provinsi Aceh No. 14 Tahun 2003 tentang

Khalwat. Qanun (Peraturan Daerah) yang telah dikeluarkan tersebut,

terdapat diantaranya tiga buah Qanun (Peraturan Daerah) yang mengatur
secara khusus mengatur tentang jinayat yakni menyangkut tentang minuman
keras (khamar) dan sejenisnya, maisir (perjudian) serta khalwat (mesum)
yang isinya terkait erat dengan persoalan etika dan moral (Pamulutan,
2012:3).
Salah satu penerapan hukum Islam yang berlaku bagi para pelanggar
Qanun (Peraturan Daerah) tersebut akan diberi‘uqubat (sanksi pidana)
berupa hukuman cambuk. Bahkan pada masa keemasan Sultan Iskandar
Muda yang memimpin Kerajaan Aceh pernah melakukan eksekusi hukuman
rajam terhadap putranya mahkotanya yang bernama Meurah Pupok karena
kasus mesum (Isa, 2013:169).
Meskipun sudah disahkan sebagai peraturan daerah (qanun), tetapi
dalam implementasinya tidak semua daerah menggunakan qanun sebagai
rujukan, dan menerapkan hukuman cambuk bagi pelanggar qanun yang
telah disebutkan sebelumnya. Hanya beberapa kabupaten/kota yang
menerapkan hukuman tersebut yakni Kabupaten Bireuen, Kota Banda Aceh,

4
Universitas Sumatera Utara


Kabupaten Pidie, dan Kota Langsa. Kabupaten Bireuen yang tercatat
sebagai daerah pertama yang memberlakukan qanun Nomor 13/2003
tentang perjudian (maisir). Belasan warga yang didakwa melanggar Syariat
Islam, dihukum cambuk di halaman Masjid Jamik Bireuen dengan
disaksikan ribuan warga dan diliput secara besar-besaran oleh wartawan dari
berbagai media (Keumala, 2006).
Pada tanggal 24 Juni 2005, masyarakat Aceh disuguhi pertunjukan
dramatis hukuman cambuk atas 15 orang yang terbukti berjudi. Para penjudi
tersebut dicambuk 6-10 kali oleh Mahkamah Syariah di halaman Masjid
Jamik Bireun, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Mereka tertangkap
basah berjudi dengan omset yang tak lebih dari seratus ribu rupiah. Tapi itu
sudah cukup membuktikan bahwa mereka melanggar Qanun Propinsi NAD
Nomor 13 Tahun 2003 tentang perjudian (maisir). Dalam qanun disebutkan,
setiap orang dilarang melakukan perjudian (maisir), dan yang melanggar
diancam sanksi cambuk di muka umum sebanyak 6-12 kali (Rumadi, 2005).
Bentuk hukuman cambuk ini merupakan bentuk penghukuman baru di
dalam perundangan Indonesia yang diharapkan dapat mengurangi tingkat
kejahatan atau pelanggaran syari’at di Aceh. Maka tidak jarang timbul
perbedaan pandangan di masyarakat terkait dengan pelaksanaan hukuman
cambuk, baik itu dilihat dari segi Qanun itu sendiri ataupun dilihat dari

Hukum Adat setempat. Perbedaan pandangan ini telah terjadi semenjak
qanun masih dalam rancangan sampai sekarang. Penegakan qanun Syari’at
Islam, tidak semua pelanggar diberlakukan dengan hukuman cambuk,

5
Universitas Sumatera Utara

misalnya pada qanun Nomor 11 tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syari’at
Islam Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syi’ar Islam. Dinas Syari’at Islam dalam
hal ini sebagai penegak hukum Islam khususnya di Kota Langsa hanya
memberikan pembinaan bagi pelanggar yang tidak mengenakan pakaian /
busana muslim diluar rumah dengan mengadakan razia di beberapa tempat
tertentu. Penertiban pelajar pada jam belajar, penertiban warnet dan tempat
karaoke, dan penertiban bagi para pedagang makanan / minuman pada bulan
suci Ramadhan. Qanun Nomor 12 tahun 2003 tentang minuman Khamar
dan sejenisnya yang juga hanya diberikan pembinaan maupun teguran bagi
para pelanggar.
Berbeda dengan qanun Nomor 11 Tahun 2002 dan Nomor 12 Tahun
2003, terdapat pula 2 (dua) buah qanun yang menerapkan sanksi hukuman
cambuk bagi para pelanggarnya yakni qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Perjudian dan qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (Mesum).
Pada kedua qanun ini Dinas Syariat Islam bergabung dengan TNI / Polri,
Polisi Militer, dan Tokoh Agama melakukan penertiban pelaku perjudian
dan penertiban warung / kios / rumah sebagai tempat perjudian dan juga
melakukan penertiban pelaku khalwat (mesum), serta penertiban hotel /
losmen / rumah sebagai tempat khalwat (mesum).
Pelaksanaan qanun Syari’at Islam khususnya tentang pelaksanaan
hukuman cambuk masih terdapat pendapat Pro dan Kontra di kalangan
masyarakat. Sebahagian orang yang mendukung terlaksananya hukuman
cambuk, ada kelompok lain yang secara terang-terangan menentang

6
Universitas Sumatera Utara

pelaksanaan hukuman cambuk, apakah hukuman kurungan badan dan
penjara dalam sistem hukum pidana tidak begitu menjadi efek jera bagi para
pelaku tindak pidana atau masyarakat yang tidak mengerti tentang
pelaksanaan hukuman cambuk. Berbagai macam reaksi muncul di dalam
masyarakat terhadap cambuk yang dijadikan sebagai alat pelaksanaan
hukuman. Stigma sebagian masyarakat tentang pelaksanaan hukuman

cambuk yang dilakukan oleh Dinas Syari’at Islam dianggap masih tebang
pilih. Menurut sebagian masyarakat, pelaksanaan hukuman cambuk hanya
berlaku bagi kaum lemah, tidak berdaya. Namun tidak pernah dilakukan
eksekusi hukuman cambuk bagi para pelanggar
Dinas Syariat Islam Kota Langsa (2016) menyebutkan bahwa sampai
dengan saat ini pelaksanaan Syariat Islam di Kota Langsa telah
mendapatkan dukungan penuh dari seluruh komponen masyarakat,
walaupun masih terdapat beberapa kendala dalam melaksanakan tugas di
lapangan. Dinas Syariat Islam disaat melakukan razia dibantu oleh aparat
penegak hukum, seperti Polisi Militer, TNI / Polri, dan Tokoh Agama. Pada
tahun 2014, sebanyak 20 orang telah dilakukan eksekusi hukuman cambuk
bagi pelanggar qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian).
Sebanyak 37 orang telah dilakukan proses hukum cambuk karena melanggar
qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (Mesum). Tahun 2015, telah
dilakukan eksekusi cambuk terhadap pelanggar qanun Nomor 13 tahun 2003
tentang Maisir (perjudian) yakni sebanyak 27 orang.Eksekusi hukuman
cambuk bagi pelanggar qanun Nomor 14 tahun 2003 tentang Khalwat

7
Universitas Sumatera Utara


(Mesum) yakni sebanyak 31 orang. Bulan Januari hingga Maret 2016, Dinas
Syariat Islam menyebutkan bahwa sebanyak 21 (dua puluh satu) orang telah
menjalani hukuman cambuk, dengan perincian sebanyak 6 (enam) orang
pada bulan Januari tahun 2016 dan sebanyak 15 (lima belas) orang pada
bulan Maret tahun 2016.
Berdasarkan hal tersebut maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian yang berjudul Kehidupan Sosial Pelanggar Qanun Nomor 14
Tahun 2003 Tentang Khalwat Di Kota Langsa.

1.2

Rumusan Masalah
Berdasarkan

fenomena

di

atas

peneliti

ingin

mengetahui

bagaimanakah Kehidupan Sosial Pelanggar Qanun Nomor 14 Tahun 2003
Tentang Khalwat Di Kota Langsa?

1.3

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana
Kehidupan Sosial Pelanggar Qanun Nomor 14

Tahun 2003 Tentang

Khalwat Di Kota Langsa.

1.4

Manfaat Penelitian
Dari penelitian ini diharapkan ada dua manfaat yang dapat diambil,
diantaranya, yaitu :
1. Manfaat Teoritis

8
Universitas Sumatera Utara

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan referensi
bagi peneliti selanjutnya dengan variabel yang berbeda.
2. Manfaat Praktis
a. Sebagai masukan bagi Pemerintah Kota Langsa dalam hal ini adalah
Dinas Syariat Islam tentang Implementasi Terhadap Peraturan
Daerah (Qanun) Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Hukum Cambuk
Di Kota Langsa.
b. Sebagai masukan bagi pihak Mahkamah Syariah Kota Langsa, Dinas
Syariat Islam Kota Langsa dan Kejaksaan Negeri Kota Langsa
tentang Kehidupan Sosial Pelanggar Qanun Nomor 14 Tahun 2003
Tentang Khalwat Di Kota Langsa.
c. Sebagai masukan dan informasi bagi masyarakat kota Langsa
sehingga dapat mengetahui dan memahami bagaimana Kehidupan
Sosial Pelanggar Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat Di
Kota Langsa..

1.5

Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam proposal penelitian ini secara garis besar
dikelompokkan dalam tiga bab, dengan uraian sebagai berikut :
BAB I

: PENDAHULUAN
Bab ini berisikan mengenai latar belakang masalah, perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika
penulisan

9
Universitas Sumatera Utara

BAB II

: TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisikan tentang teori, uraian dan konsep yang
berkaitan dengan masalah dan objek yang diteliti, serta
kerangka pemikiran.

BAB III : METODE PENELITIAN
Bab ini berisikan tentang tipe penulisan, lokasi penelitian,
informan penelitian, teknik pengumpulan data serta teknik
analisis data.
BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
Bab ini berisikan tentang gambaran singkat mengenai keadaan
umum lokasi penelitian yakni Kota Langsa.
BAB V

: ANALISIS DATA
Bab ini berisikan tentang hasil temuan dalam bentuk analisis
jawaban responden, analisis data.

BAB VI : PENUTUP
Bab ini berisikan kesimpulan dari hasil penelitian dan juga
saran-saran.

10
Universitas Sumatera Utara