Penyelenggaraan Pelaksanaan Syari’at Islam Tentang Khalwat Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Studi Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat)
PENYELENGGARAAN PELAKSANAAN SYARI’AT ISLAM TENTANG
KHALWAT
DI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
(Studi Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat)
TESIS
Oleh
MUHIBUDDIN
077005148/HK
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(2)
PENYELENGGARAAN PELAKSANAAN SYARI’AT ISLAM TENTANG
KHALWAT
DI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
(Studi Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat)
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora Dalam Program Studi Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
MUHIBUDDIN
077005148/HK
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(3)
Judul Tesis
: PENYELENGGARAAN PELAKSANAAN
SYARI’AT ISLAM TENTANG KHALWAT DI
PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
(Studi Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat)
Nama Mahasiswa
: Muhibuddin
Nomor Pokok
: 077005148
Program Studi
: Ilmu Hukum
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Muhammad Abduh, SH) Ketua
(Dr. Pendastaren Tarigan, SH,. MS) (Dr. Faisal Akbar Nasution, SH,. M.Hum.)
Anggota Anggota
Ketua Program Studi Dekan
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH,. MH) (Prof. Dr. Runtung .SH., M.Hum.)
(4)
Telah diuji pada
Tanggal 22 Desember 2009
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua
:
1. Prof. Muhammad Abduh, SH
Anggota
2. DR. Pendastaren Tarigan, S.H., M.S
3. DR. Faisal Akbar Nasution, SH,. M. Hum
4. Prof. DR. Suhaidi, SH., MH
(5)
ABSTRAK
Pasal 18 B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan, bahwa negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang di atur dengan Undang-undang. Perkataan khusus memiliki cakupan yang luas. Maka memungkinkan membentuk pemerintahan daerah dengan otonomi khusus seperti Aceh dan Irian Jaya. Dan hasil amandemen kedua Pasal 18 dan Pasal 18 B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut telah memberikan harapan bagi Provinsi Aceh melaksanakan syari’at Islam kembali didaerah serambi mekah.
Penyelenggaraan Pelaksanaan Syari’at Islam tentang Khalwat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan keistimewaan bagi Aceh yang telah diatur melalui Undang-Undang Nomor. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, kemudian dikuatkan kembali dengan Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang telah diganti dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Yang meliputi Penyelenggaraan kehidupan beragama, adat, pendidikan dan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah Aceh.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui Penyelenggaraan Pelaksanaan Syari’at Islam tentang Khalwat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif yang bersifat deskriptif, yaitu metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam perundang-undangan. dengan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) karena yang diteliti adalah berbagai aturan hukum yang berkaitan dengan Penyelenggaraan Pelaksanaan Syari’at Islam tentang Khalwat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Data pokok dalam penelitian ini adalah data sekunder yang memberikan penjelasan mengenai data primer. Seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, karya kalangan sarjana hukum, data yang diperoleh dari lapangan, berupa hasil wawancara dari para imforman dan nara sumber yang berkompeten di bidangnya, yang ada keterkaitan dengan Penyelenggaraan Pelaksanaan Syari’at Islam tentang Khalwat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Penyelenggarakan pelaksanaan syari’at Islam tentang Khalwat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam belum terlaksana dengan baik antara lain. (1). Pelaksanaan syari’at Islam tentang khalwat di Aceh adalah tidak dapat dilaksanakan dengan sepenuhnya karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (2). Penegakan hukum yang selama ini dilakukan belum efektif (3). Perlu segera merevisikan Qanun Pidana (Jinayah) khususnya Qanun No. 14 tentang Khalwat. (4). Belum dimasukan Materi muatan lokal yang sesuai dengan syari’at Islam kedalam kurikulum pendidikan dari Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA) yang sesuai standar pendidikan nasional, sehingga tidak memberikan dampak positif bagi remaja, pelajar dan para mahasiswa dalam memahami penting diberlakukan penyelenggaraan pelaksanaan syari’at Islam di Aceh.
(6)
ABSTRACT
Chapter 18 B verses (1) of Republic of Indonesian’s Constitution 1945 stated that the state recognizes and respect the special or extraordinary regional government units as regulated by the Law. The word “special” has wide scope. It is then possible to form regional government with special autonomy such as Aceh and Irian Jaya. And result of second amendment of chapter 18 and chapter 18 B of The Republic of Indonesian’s Constitution 1945 has given an expectation for Province of Aceh to implement the Islamic Syariah again in Serambi Mekkah.
The implementation of Islamic Syariat on Khalwat in Province of Nanggroe Aceh Darussalam is a specialization for Aceh that has been regulated through the Law No. 44/1999 regarding The Implementation of Special Aceh Province, and it was then reconfirmed by the Law No. 18/2001 regarding the special autonomy for Aceh Province as Province of Nanggroe Aceh Darussalam, that has been replaced with the Law No. 11/2006 regarding Government of Aceh, including religious life, customs, education and the role of Ulama in policy making of Aceh region.
This research was conducted to know the implementation of Islamic Syariat on Khalwat in Province of Nanggroe Aceh Darussalam. This was a descriptive research using juridical and normative methods, a method of research referring on law norms found in the statutes, and statutes related to implementation of Islamic Syariat on Khalawat in Province of Nanggroe Aceh Darussalam. The main data of research was secondary data explaining the primary data, including the law drafting, the results of researches, scholarship works, the field data, interview result of informants and the competent respondents in their parts, related to Implementation of Islamic Syariat on Khalwat in Province of Nanggroe Aceh Darussalam.
It could be then concluded that implementation of Islamic Syariat on Khalwat in Province of Nanggroe Aceh Darussalam was still insufficient: 1. The implementation of Islamic Syariat on Khalwat in Aceh could not be realized completely because it was controversial to regulation of higher statutes, 2. There was no effective law enforcement so far, 3. particularly Qanum No. 14 regarding the khalwat. 4. The local material was not included yet according to Islamic Syariat into curriculum of Elementary School until Senior High School as described in national education standard, thus it could not exert positive impact on adolescents, students or pupils in understanding the importance of Islamic Syariat implementation in Aceh.
Keywords: Implementation, Islamic, Syari’at, Khalwat (prostitution), Province, Nanggroe, Aceh, Darussalam.
(7)
KATA PENGANTAR
Berkat Rahmat Allah SWT. Serta do’a yang tiada putusnya dari kedua Orang Tua, Anak dan istri tercinta. Akhirnya penulis dapat menyelesaikan tesis ini sebagai salah satu syarat untuk memenuhi persyaratan, untuk mencapai gelar Magister Hukum pada Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Adapun tesis ini berjudul “Penyelenggaraan Pelaksanaan Syari’at Islam tentang Khalwat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam” (Studi Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat).
Penulis menyadari bahwa dalam penyesunan tesis ini tidak mungkin berhasil diselesaikan tanpa bantuan, bimbingan, masukan, arahan, dorongan dari berbagai pihak. Untuk itu perkenankanlah penulis menyampaikan penghargaan tertinggi dan tulus ikhlas yang tak terhingga, serta ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada semua pihak yang terlibat dalam penulisan tesis ini sebagai berikut:
1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A (k) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH., M. Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum dan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution S.H., M.H. selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Prof. Muhammad Abduh, S.H,. Dr. Pendastaren Taregan, S.H,. M.Si. DR. Faisal Akbar Nasution, S.H,. M. Hum. Selaku pembimbing yang tidak bosan-bosannya
(8)
memberikan membimbingan kepada penulis dalam penyusunan tesis ini. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H, M.H. Dr. Sunarmi, S.H., M. Hum. Selaku penguji yang telah banyak memberikan masukan dan saran untuk kesempurnaan tesis ini.
5. Prof. A. Hadi Arifin, SE,. M. Si. Selaku Rektor Universitas Malikussaleh.
6. Sulaiman, S.H,. M. Hum. Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh, yang telah memberikan kesempatan untuk melanjutkan studi dan selalu memberikan motivasi untuk segera menyelesaikan penulisan tesis.
7. Harun, S.H,. M.H. T. Nazaruddin, S.H., M. Hum. Sumiadi, S.H,. M. Hum. Ibu Manfarisyah, S.H,. M.H. dan Ibu Elidar Sari,S.H., M.H. Selaku Pembantu Dekan I, II, III, IV dan Kabag. Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh.
8. Orang tua tercinta, Almarhum ayahanda Tgk. A. Hamid semoga mendapat Syurga Jannatun Na’im dan di tempatkan pada tempat yang mulia disisi ALLAH SWT dan ibunda tersayang Asmawati yang telah mencurahkan kasih sayang, do’a dan memberikan dukungan moril serta materil yang tiada henti-hentinya.
9. Kakak dan abang serta adik-adikku tercinta, Nurhayati, Almarhumah Farida, Husaini, Nurzakiah. Misbahuddin, Musriadi dan Rahmaniah yang selalu memberikan do’a, dukungan dan semangat yang tiada terhingga.
10.Istri tercinta Nasrianti, S.H,. M. Hum. dan anak tersayang Jimly Ash Shiddiqie, yang telah rela berkorban jauh dengan penulis, dan memberikan motivasi, pengertian serta memberikan spirit terus maju pada penulis dengan harapan dapat secepatnya menyelesaikan pendidikan PPs untuk dapat berkumpul kembali dengan keluarga.
(9)
11.Civitas Akademika Universitas Malikussaleh Lhokseumawe yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi S2 ke Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
12.Civitas Akademika Universitas Sumatera Utara di Medan yang telah banyak membantu dalam proses belajar mengajar di kampus Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
13.Rekan-rekan Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang selalu kompak dan penuh kecerian menjalani hari-hari perkuliahan dan selalu memberikan motivasi, semangat dan tidak bosan-bosannya mengingatkan penulis untuk secepatnya menyelesakan tesis.
Penulis mengucapkan terimakasih atas bimbingan dan bantuan dari semua pihak.
Medan, Oktober 2009,
Penulis
(10)
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Muhibuddin
Tempat/Tgl. Lahir : Tanjung Hagu/ 27 Agustus 1976 Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam Status : Kawin
Pekerjaan : Dosen Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh Lhokseumawe Pendidikan : - Sekolah Dasar Negeri (SDN) Samudera Tahun 1990
- Sekolah Tingkat Pertama Mhammadiyah (SMPM) Lhokseumwe Tahun 1995
- Sekolah Menengah Atas (SMA) Samudera Tahun 1998 - Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh Tahun 2003
- Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Tahun 2009
(11)
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK..……… i
KATA PENGANTAR ……….. iii
RIWAYAT HIDUP………... vi
DAFTAR ISI……….. vii
DAFTAR SINGKATAN………... ix
BAB I : PENDAHULUAN……… 1
A. Latar Belakang..….………….………. 1
B. Permasalahan…….………... 14
C. Tujuan Penelitian……….………... 14
D. Manfaat Penelitian…….……….. 15
E. Keaslian Penelitian……… 16
F. Kerangka Teori dan Konsepsi…….……….. 17
1. Kerangka Teori……..………. 17
2. Konsepsi...…...………... 32
G. Metode Penelitian……… 34
BAB II : KEDUDUKAN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM DALAM SISTEM PEMERINTAHAN DAERAH ...………... 40
A. Kedudukan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Dalam Sistem Pemerintahan Daerah...…………. 40
B. Kedudukan Qanun Dalam Sistem Hukum Nasional…………...…… 68
C. Kedudukan Pemberlakukan Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam Sistem Pemerintahan Daerah... 89
(12)
BAB III : PENYELENGGARAAN PELAKSANAAN SYARI’AT ISLAM TENTANG KHALWAT DI PROVINSI NAGGROE ACEH
DARUSSALAM……… 104
A. Penyelenggaraan Pelaksanaan Syari’at Islam Tentang Khalwat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam…………... 104
B. Perbuatan Khalwat/Meusum di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam……….... 120
C. Kewenangan Makamah Syar’iyah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam………... 126
BAB IV : HAMBATAN ATAU KENDALA PELAKSANAAN SYARI’AT ISLAM TENTANG KHALWAT DI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM……..………... 140
A. Hambatan atau Kendala Penyelenggaraan Syari’at Islam Tentang Khalwat di Provinsi Nanngroe Aceh Darussalam……….... 140
B. Hambatan atau Kendala Pendidikan dalam Penyelenggaraan Pelaksanaan Syari’at Islam tentang Khalwat di Provinsi Nanngroe Aceh Darussalam………... 147
C. Upaya Pemerintahan Daerah dalam Penyelenggaraan Pelaksanaan Syari’at Islam tentang Khalwat di Provinsi Nanngroe Aceh Darussalam………... 153
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN………... 160
A. Kesimpulan………... 160
B. Saran……….... 162
(13)
DAFTAR SINGKATAN
AMM Acheh Monitoring Mission
APBA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
ADB Aceh Developmen Board
AM Aceh Merdeka
Bappeda Badan Perancang dan Pembangunan Daerah
CoHA Cessation of Hostilities Agreement
DOM Daerah Operasi Militer
DPR Dewan Perwakilan Rakyat
DPRA Dewan Perwakilan Rakyat Aceh
DPRK Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten
DPRD Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
DPSU Dewan Perwakilan Sumatera
DI Darul Islam
GAM Gerakan Aceh Merdeka
KPPSU Komisaris Pemerintah Pusat untuk Sumatera Utara
KMB Komprensi Meja Bundar
KDMA Komando Daerah Militer Aceh
MPR Majelis Permusyawaratan Rakyat
MPU Majelis Permusyawaratan Ulama
MoU Memorandum of Understanding
NGO Non Government Organitation
NAD Nanggroe Aceh Darussalam
NKRI Negara Kesatuan Republik Indonesia
PEPERDA Penguasa Perang Daerah Istimewa Aceh
Perpu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
PP Peraturan Pemerintah
Perpres Peraturan Presiden
Perda Peraturan Daerah
PDRI Pemerintah Darurat Republik Indonesia
RIS Republik Indonesia Serikat
TII Tentara Islam Indonesia
UUD 1945 Undang-Undang Dasar Tahun 1945
UUDS Undang-Undang Dasar Sementara
UU Undang-Undang
(14)
DAFTAR ISTILAH ISLAM Qanun Peraturan Daerah Aceh
Islam Tuntunan, bimbingan dan aturan ALLAH
Hukum Islam Hukum Syari’at Islam
Syari’at Ketetapan Allah dan Ketentuan Rasul-Nya Khalwat/Meusum Perbuatan yang berpeluang terjadinya zina Mahkamah Syar’iyah Tempat melaksanakan Peradilan Syari’at Islam
Kaffah Sempurna
Al-Ahwal Al-Syakhshiyah Hukum Keluarga Mu’amalah Hukum Perdagangan
Jarimah Perbuatan terlarang yang diancam dengan pidana
Jinayah Hukum Pidana
Hudud/Qisas Hukuman berdasarkan ketentuan Nas Al-Qur’an Ta’zir Penentuan hukuman didasarkan pada Ijma’ Ulama Uqubat Ancaman hukuman terhadap pelanggar Jarimah Cambuk Hukuman pencabukann yang dilakukan dengan rotan
(15)
ABSTRAK
Pasal 18 B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan, bahwa negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang di atur dengan Undang-undang. Perkataan khusus memiliki cakupan yang luas. Maka memungkinkan membentuk pemerintahan daerah dengan otonomi khusus seperti Aceh dan Irian Jaya. Dan hasil amandemen kedua Pasal 18 dan Pasal 18 B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut telah memberikan harapan bagi Provinsi Aceh melaksanakan syari’at Islam kembali didaerah serambi mekah.
Penyelenggaraan Pelaksanaan Syari’at Islam tentang Khalwat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan keistimewaan bagi Aceh yang telah diatur melalui Undang-Undang Nomor. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, kemudian dikuatkan kembali dengan Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang telah diganti dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Yang meliputi Penyelenggaraan kehidupan beragama, adat, pendidikan dan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah Aceh.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui Penyelenggaraan Pelaksanaan Syari’at Islam tentang Khalwat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif yang bersifat deskriptif, yaitu metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam perundang-undangan. dengan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) karena yang diteliti adalah berbagai aturan hukum yang berkaitan dengan Penyelenggaraan Pelaksanaan Syari’at Islam tentang Khalwat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Data pokok dalam penelitian ini adalah data sekunder yang memberikan penjelasan mengenai data primer. Seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, karya kalangan sarjana hukum, data yang diperoleh dari lapangan, berupa hasil wawancara dari para imforman dan nara sumber yang berkompeten di bidangnya, yang ada keterkaitan dengan Penyelenggaraan Pelaksanaan Syari’at Islam tentang Khalwat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Penyelenggarakan pelaksanaan syari’at Islam tentang Khalwat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam belum terlaksana dengan baik antara lain. (1). Pelaksanaan syari’at Islam tentang khalwat di Aceh adalah tidak dapat dilaksanakan dengan sepenuhnya karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (2). Penegakan hukum yang selama ini dilakukan belum efektif (3). Perlu segera merevisikan Qanun Pidana (Jinayah) khususnya Qanun No. 14 tentang Khalwat. (4). Belum dimasukan Materi muatan lokal yang sesuai dengan syari’at Islam kedalam kurikulum pendidikan dari Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA) yang sesuai standar pendidikan nasional, sehingga tidak memberikan dampak positif bagi remaja, pelajar dan para mahasiswa dalam memahami penting diberlakukan penyelenggaraan pelaksanaan syari’at Islam di Aceh.
(16)
ABSTRACT
Chapter 18 B verses (1) of Republic of Indonesian’s Constitution 1945 stated that the state recognizes and respect the special or extraordinary regional government units as regulated by the Law. The word “special” has wide scope. It is then possible to form regional government with special autonomy such as Aceh and Irian Jaya. And result of second amendment of chapter 18 and chapter 18 B of The Republic of Indonesian’s Constitution 1945 has given an expectation for Province of Aceh to implement the Islamic Syariah again in Serambi Mekkah.
The implementation of Islamic Syariat on Khalwat in Province of Nanggroe Aceh Darussalam is a specialization for Aceh that has been regulated through the Law No. 44/1999 regarding The Implementation of Special Aceh Province, and it was then reconfirmed by the Law No. 18/2001 regarding the special autonomy for Aceh Province as Province of Nanggroe Aceh Darussalam, that has been replaced with the Law No. 11/2006 regarding Government of Aceh, including religious life, customs, education and the role of Ulama in policy making of Aceh region.
This research was conducted to know the implementation of Islamic Syariat on Khalwat in Province of Nanggroe Aceh Darussalam. This was a descriptive research using juridical and normative methods, a method of research referring on law norms found in the statutes, and statutes related to implementation of Islamic Syariat on Khalawat in Province of Nanggroe Aceh Darussalam. The main data of research was secondary data explaining the primary data, including the law drafting, the results of researches, scholarship works, the field data, interview result of informants and the competent respondents in their parts, related to Implementation of Islamic Syariat on Khalwat in Province of Nanggroe Aceh Darussalam.
It could be then concluded that implementation of Islamic Syariat on Khalwat in Province of Nanggroe Aceh Darussalam was still insufficient: 1. The implementation of Islamic Syariat on Khalwat in Aceh could not be realized completely because it was controversial to regulation of higher statutes, 2. There was no effective law enforcement so far, 3. particularly Qanum No. 14 regarding the khalwat. 4. The local material was not included yet according to Islamic Syariat into curriculum of Elementary School until Senior High School as described in national education standard, thus it could not exert positive impact on adolescents, students or pupils in understanding the importance of Islamic Syariat implementation in Aceh.
Keywords: Implementation, Islamic, Syari’at, Khalwat (prostitution), Province, Nanggroe, Aceh, Darussalam.
(17)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Amandemen kedua Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan :
1. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.
2. Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
3. Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
4. Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis.
5. Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.
6. Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan- peraturan lain
untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Karenanya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah untuk mengatur pelaksanaan otonomi daerah dengan menerbitkan peraturan perundang-undangan, sehingga pemerintahan daerah bisa dan mampu mengatur rumah tangganya sendiri dan dapat mengatur dan melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan yang diberikan kepada pemerintahan daerah. Dengan pemberian otonomi daerah, pemerintahan daerah mendapat kekuasaan dan wewenang yang penuh membentuk peraturan daerah bersama Dewan Perwakilan Daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah yang sesuai dengan asas otonomi dan tugas pembantuan, yang dapat memberi dampak yang besar terjadi perubahan pola hubungan pusat dan daerah yang selama ini berlaku sistem sentralisasi berubah menjadi
(18)
desentralisasi dengan diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. selanjutnya dikeluarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Pasal 18 B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan, bahwa negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang di atur dengan Undang-undang. Perkataan khusus memiliki cakupan yang luas.1 Maka memungkinkan membentuk pemerintahan daerah dengan otonomi khusus seperti Aceh dan Papua.2 Hasil amandemen kedua Pasal 18 dan Pasal 18 B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memperkuat kembali lahirnya UU No. 3 Tahun 1950 tentang pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta yang mengukuhkan daerah Kesultanan Yogyakarta dan daerah Paku Alaman adalah bagian integral Negara Indonesia. UU No. 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai isi yang sangat singkat dengan 7 pasal, yang khusus memberikan kewenangan keistimewaan kepada Pemerintah Daerah Yogyakarta untuk mengankat kepala daerah dari keluarga keraton tanpa harus dipilih dari masayarakat seperti daerah lain di Indonesia.
Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai satuan pemerintahan yang bersifat khusus dalam kedudukannya sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sebagai daerah otonom memiliki fungsi dan peran yang penting dalam mendukung penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia karena itu perlu diberikan kekhususan tugas, hak, kewajiban, dan tanggung jawab dalam penyelenggaraan
1
. Bagir Manan, “ Menyonsong Fajar Otonomi Daerah”, (Yogyakarta; Pusat Studi Hukum, Fakultas Hukum Unversitas Islam Indonesia, 2001), hlm. 15
2
. Setya Retnani, “Sistem Pemeintahan Daerah” (Makalah Kantor Menteri Negara Otonomi Daerah Republik Indonesia. 2000), hlm. 1
(19)
pemerintahan daerah berdasarkan UU No. 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia. UU ini mengatur kekhususan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara. Selanjutnya Provinsi Papua diberikan Otonomi Khusus sendiri adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua.
Otonomi khusus Papua diatur melalui UU No. 21 Tahun 2001 yang memberikan peran, wewenang, tugas, tanggung jawab yang tegas dan jelas. Dan peran Majelis Adat Rakyat Papua sebagai representasi kultural penduduk asli Papua yang diberikan kewenangan khusus. Sedangkan untuk Provinsi Aceh diberikan Keistimeweaan dalam Pendidikan, Adat dan peran Ulama dalam pembangunan Aceh bersasarkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Namun pemerintah belum bisa mengakomodir tuntutan masyarakat Aceh dalam pelaksanaan syari’at Islam yang
kaffah. maka pada Sidang umum MPR Tahun 1999 melahirkan Ketetapan MPR Nomor
1V/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara mengatur secara hukum otonomi khusus yang di berikan kepada dua Daerah Provinsi, yaitu Daerah Istimewa Aceh dan Irian Jaya yaitu :
Dalam rangka pengembangan otonomi daerah di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta untuk menyelesaikan secara adil dan menyeluruh permasalahan di daerah yang memerlukan penanganan segera dan bersungguh-sungguh maka perlu di tempuh langkah-langkah sebagai berikut; Mempertahankan integrasi bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan menghargai kesetaraan dan keregaman kehidupan social budaya masyarakat Aceh dan Irian Jaya sebagai daerah otonomi khusus yang diatur dengan Undang-undang.3
3
. Titik Triwulan,’Pokok-Pokok Hukum Tata Negara”, (Jakarta; Prestasi Pustaka Republika, 2006), hlm. 207
(20)
Menindaklanjuti ketetapan MPR tersebut pada Sidang Umum Tahunan MPR Tahun 2000 melalui Ketetapan MPR Nomor 1V/MPR/2000 merekomendasikan supaya secepatnya Undang-Undang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh maka dikeluarkan UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang pada prinsipnya mengatur kewenangan pemerintahan yang merupakan kekhususan dalam bidang pelaksanaan Syari’at Islam¸ diakui Peran Wali Nanggroe dan Tuha Nanggroe sebagai Penyelenggara Adat, Budaya, dan Persatu Masyarakat, mendapatkan dana perimbangan keuangan yang besar dari daerah lain dan ditetapkan Qanun sebagai Peraturan Daerah.
Pelaksanaan Syari’at Islam yang diberikankan untuk Aceh merupakan Otonomi Khusus yang diamanatkan UU No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus. Kelahiran UU ini dilatarbelakangi konflik Aceh yang berupa gerakan separatisme dilakukan Gerakan Aceh Merdeka pada Tahun 1976 dan gerakan reformasi yang dilakukan mahasiswa menuntut perubahan di segala aspek, terutama pola hubungan pusat dan daerah yang selama ini berlaku sistem sentralisasi berubah menjadi desentralisasi dengan diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Yang telah diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 3 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Daerah menjadi UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan kedua atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan Daerah.
UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan Daerah telah mengatur dan memberikan wewenang dan kewajiban yang lebih menekan pada daerah otonom untuk mengatur dan
(21)
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum dan daya saing daerah.4 Pemberian Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam melahirkan harapan dan membuka peluang untuk tumbuhnya kreatifitas, diskresi dan kebebasan bagi Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota serta masyarakat Aceh pada umumnya Untuk menemukan kembali indentitas diri dan membangun wilayahnya. Peluang ini di tanggapi secara positif oleh berbagai komponen masyarakat dan pemerintah. Tanggapan positif ini memang diperlukan untuk mencegah timbulnya kemungkinan bahwa pengalaman dahulu pada massa orde baru akan berbalik kembali kesistem pemerintah yang sentralisasi.5
Untuk tidak terulang kembali sistem sentralisasi, maka diterapkan sistem demokrasi di Indonesia dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Karena demokrasi dipraktekan secara langsung (direct democracy), artinya hak rakyat untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga Negara yang bertidak berdasarkan prosedur mayoritas. Pada hakikatnya demokrasi adalah pelembagaan dari kebebasan.6
Penyelenggaraan pemerintahan daerah di berikan kebebesan untuk menyelenggarakan pemerintahan secara mandiri yang sesuai dengan otonomi daerah. Sedangkan dalam pemerintahan daerah Indonesia, demokrasi mengandung tiga arti yaitu pertama, demokrasi dikaitkan dengan sistem pemerintahan, dalam arti bagaimana caranya rakyat diikut sertakan
4
. Pasal 2 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004. yang dimaksud daya saing daerah adalah merupakan kombinasi antara factor kondisi ekonomi daerah, kualitas kelembagaan public daerah, sumber daya manusia dan teknologi, yang secara keseeluruhan membangun kemampuan daerah untuk bersaing dengan daerah lain.
5
. Al Yasa’ Abubakar, “ Hukum Pidana Islam Di NAD” (Banda Aceh; Dinas Syari’at Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 2006), hlm. 1
6
. Sobirim Melian, “ Gagasan perlunya konstitusi Baru Pengganti UUD1945”, (Yogyakarta; UII Press. 2001), hlm. 44.
(22)
dalam penyelenggaraan pemerintahan. kedua, demokrasi sebagai asas yang dipengaruhi oleh perjalanan histories bangsa Indonesia. ketiga, demokrasi sebagai solusi tentative untuk menyelesaikan beberapa persoalan yang dihadapi dalam rangka penyelenggaraan negara sehingga lahir istilah musyawarah mufakat.7
Dalam kontek itulah sejarah penyelenggaraan Pemerintahan Republik Indonesia menunjukkan, bahwa otonomi daerah merupakan salah satu sendi penting penyelenggaraan pemerintahan Negara. Otonomi daerah diadakan bukan sekedar menjamin efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan, bukan pula sekedar menampung kenyataan Negara yang luas, penduduk banyak dan beribu-ribu pulau. Akan tetapi otonomi daerah merupakan dasar memperluas pelaksanaan demokrasi dan instrument dalam rangka mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat bahkan tidak kalah pentingnya bahwa otonomi daerah merupakan salah satu sendi ketatanegaraan Republik Indonesia.8
Daerah otonomi yang bebas dan mandiri mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri merasa diberi tempat yang layak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga tidak ada alasan untuk keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia Sebelum reformasi.9 Bagir Manan menyebutkan, penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak dijalankan sebagaimana mestinya, daerah tidak diberdayakan untuk mandiri melainkan di buat serba tergantung dan harus mematuhi kehendak pusat. Urusan rumah tangga daerah terbatas dan
7
. Hazairin , “ Demokrasi pancasila”, (Jakarta; Bina Aksara), 1985, hlm. 69.
8
. Bagir Manan, “Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945, (Unsika; Krawang), 1993, hlm. 46.
9
. Husni Jalil, “Eksistensi Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Dalam Negara Kesatuan
RI Berdasarkan UUD 1945”. (Bandung; CV. Utomo. 2005), hlm. 3. Reformasi yang dipelopori oleh mahasiswa
pada Tahun 1998 untuk menuntut berbagai perubahan seperti kebebasan berpendapat, kebebasan pers, pemilu yang bebas termasuk di dalamnya reformasi di bidang hukum pada umumnya dan otonomi daerah pada khususnya.
(23)
serba diawasi. Keuangan daerah serba tergantung pada kebaikan hati pemerintahan pusat. Hal semacam ini menimbulkan kecewaan luar biasa pada daerah.10
Setya Retnani mengatakan, pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, yang di dalamnya terkandung 3 (tiga) hal utama yaitu sebagai berikut:
1. Pemberian tugas dan kewenangan untuk melaksanakan sesuatu yang sudah diserahkan kepada pemerintah daerah.
2. Pemberian kepercayaan dan wewenang untuk memikirkan, mengambil inisiatif dan menetapkan sendiri cara-cara pelaksanaan tugas tersebut.
3. Dalam upaya memikirkan, mengambil inisiatif dan mengambil keputusan tersebut mengikut sertakan masyarakat baik secara langsung maupun melalui Dewan Perwakilan Daerah.11
Penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai subsistem dari Pemerintahan Pusat di laksanakan melalui prinsip desentralisasi kekuasaan. Antara lain melalui penyerahan sebagian kewenangan Pemerintah Pusat kepada pemerintahan daerah untuk memberikan kesempatan kepada pemerintahan daerah agar mengurus sendiri rumah tanga daerah yang sesuai dengan prinsip-prinsip penyelengaraan otnomi daerah. Kebijaksanaan pembangunan daerah masih tetap menjadi sasaran pokok pembangunan Nasional, sebagaimana yang tertuang dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang menyebutkan sebagai berikut:
“Mengembangkan otonomi daerah secara luas, nyata dan bertanggungjawab dalam rangka pemberdayaan masyarakat, lembaga ekonomi, lembaga politik, lembaga hukum, lembaga keagamaan, lembaga adat dan lembaga swadaya masyarakat, serta seluruh potensi masyarakat dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Upaya ini dilakukan pengkajian tentang berlakunya otonomi daerah bagi Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten, Daerah Kota dan Desa”.12
10
. Ibid, hlm. 2
11
. Setya Retnani,”Sistem Pemerintahan Daerah Di Indonesia. (Makalah Kantor Menteri Negara Otonomi Daerah Republik Indonesia. 2000), hlm. 1.
12
(24)
Penyerahan kewenangan yang luas kepada pemerintahan daerah untuk mengatur rumah tangga sendirinya, dimaksudkan untuk memberikan kemandirian kepada daerah dan pemberian otonomi kepada pemerintahan daerah, pemerintah pusat juga mendemokrasikan penyelenggaraan dan pertanggungjawaban pemerintahan daerah. Oleh karenanya penyelengaaraan pemerintahan daerah diserahkan kepada daerah untuk mengatur dan mengelolanya sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan alasan tersebut diatas maka Pemerintahan Aceh di berikan Otonomi khusus untuk memberikan landasan agar dapat mengatur urusan yang telah menjadi keistimewaan Aceh melalui kebijakan daerah yang lebih akomodatif terhadap aspirasi rakyat Aceh melalui Pasal 3 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus menyebutkan, bahwa Kewenangan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang di atur dalam Undang-Undang ini adalah kewenangan dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus.
Peraturan mengenai otonomi khusus bagi daerah tertentu dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, mencakup segala segi, sehingga setiap daerah dapat menuntut suatu kekhususan, semata-mata berdasarkan factor-faktor tertentu tanpa suatu kriteria umum yang ditetapkan dalam undang-undang. Apalagi jika kekhususan itu mengandung suatu muatan
Privelege tertentu yang dimiliki oleh daerah lain dan hal ini disebabkan aspirasi masyarakat di
daerah itu beragam karena potensi situasi dan keadaan di setiap tidak sama atau satu dengan lainnya.
(25)
Pandangan yang menggeneralisasikan dan menyamaratakan kemampuan potensial, situasi dan keadaan terhadap setiap daerah merupakan hal yang salah kaprah.13 Karenanya otonomi daerah seharusnya di pandang sebagai suatu tuntutan yang berupaya untuk mengatur kewenangan sebagai suatu tuntutan yang berupaya untuk mengatur kewenangan pemerintahan sehingga serasi dan fokus pada tuntutan kebutuhan masyarakat dengan demikian otonomi daerah bukanlah tujuan tetapi suatu instrument untuk mencapai tujuan.14
Amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintahan daerah diberikan wewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masayarakat, di samping itu melalui otonomi luas daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan meperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.15
Karenanya daerah diberikan kewenangan yang seluas-luasnya disertai dengan pemeberian hak dan dan kewajiban dalam rangka menyelenggaraan otonomi daerah. Sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar Tahun 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang di atur dengan Undang-Undang, maka berdasarkan perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Aceh merupakan satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa terkait dengan salah satu karakter khas sejarah perjuangan
13
. Sjahran Basah, ”Tiga Tulisan Tentang Hukum, (Bandung; Armico. 1986), hlm. 36.
14
. J. Kaloh, “Mencari Bentuk Otonomi Daerah, Satu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan
Tantangan Global, ” (Jakarta; Rineta Cipta. 2002), hlm. 6.
15
(26)
masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi. Ketahanan dan daya juang tinggi tersebut bersumber dari pandangan hidup yang berladaskan Syari’at Islam yang melahirkan budaya Islam yang kuat sehingga Aceh menjadi daerah modal bagi perjuangan dalam merebut kemerdekaan Negara Republik Indonesia.16
Pelaksanaan Syari’at Islam merupakan keistimewaan bagi Aceh yang telah diatur melalui UU No. 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh, dalam Penyelenggaraan kehidupan beragama di Daerah diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan Syari’at Islam bagi pemeluknya dalam bermasyarakat. Daerah mengembangkan dan mengatur penyelenggaraan kehidupan beragama sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan tetap menjaga kerukunan hidup antar umat beragama. UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus, yang melahirkan Qanun sebagai produk hukum daerah yang sama dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia yang dapat melahirkan Peraturan Daerah. Ini merupakan bagian dari Keistimewaan Aceh dan juga sebagai pengakuan bangsa Indonesia yang diberikan kepada daerah Aceh karena perjuangan dan nilai-nilai hakiki masyarakat yang tetap dipelihara secara turun temurun sebagai landasan spiritual, moral, dan kemanusiaan.
Keistimewaan yang dimiliki Aceh meliputi Penyelenggaraan kehidupan beragama, adat, pendidikan dan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah. Penyelenggaraan kehidupan beragama yang diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan syari’at Islam dilakukan secara menyeluruh secara kaffah. Artinya seluruh dimensi kehidupan masyarakat mendapat pengaturan dari hukum syari’at Islam. Maka hukum yang di berlakukan di Aceh adalah hukum
16
(27)
yang bersumber pada ajaran agama Islam yaitu ajaran Syari’at Islam yang selanjutnya di implementasikan dalam Qanun.
Penyelenggaraan pelaksanaan syari’at Islam tentang Khalwat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam belum dapat terlaksana dengan baik. Terjadi bencana alam gempa bumi dan tsunami di Aceh telah menumbuhkan solidaritas seluruh potensi bangsa Indonesia untuk membangun kembali masyarakat dan wilayah Aceh serta menyelesaikan komplik secara damai, menyeluruh berkelanjutan dan bermartabat dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.17 Berdasarkan kesepakatai damai antar pihak GAM dengan pemerintahan Republik Indonesia Maka lahirlah UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menyebutkan, penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan syari’at Islam bagi pemeluknya di Aceh dengan tetap menjaga kerukunan hidup antar umat beragama.
Kerukunan antar umat beragama bagi non muslim yang tinggal Aceh tetap dihormati dan dilindungi sesuai Pasal 29 ayat (2) UUD 19945 bahwa, Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Kata menjamin jelas bermakna imperative. Artinya Negara berkewajiban melakukan upaya-upaya agar tiap penduduk memeluk agama dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Keatifan Negara disini adalah memberikan jaminan bagaimana penduduk dapat memeluk dan menjalankan agamanya.18
Negara dan pemerintahan daerah sangat berperan untuk terlaksananya syari’at Islam di Aceh. Berdasarkan konstitusi UUD 1945 yang mengakui dan menghormati satuan-satuan
17
. Ibid.
18
. Hartono Mardjono,”Menegakkan Syari’at Islam Dalam Konteks Keindonesiaan”, (Bandung; Mizan. 1997), hlm. 29
(28)
pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa. Salah satu keistimewaan Aceh adalah pelaksanaan syari’at Islam yang merupakan pandangan hidup masyarakat Aceh dikenal sebagai komunitas yang taat dan fanatis terhadap syari’at Islam dan telah menjadikan norma agama sebagai standar untuk mengukur apakah suatu perbuatan sesuai atau tidak sesai dengan syari’at Islam.
Berdasarkan latarbelakang dan uraian yang penulis kemukakan tersebut diatas, dengan melihat perkembangan, situasi dan kondisi keadaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam setelah lahirnya Undang-Undang Pemerintahan Aceh, maka penulis sangat menarik untuk mengadakan penelitian dan melakukan analisis terhadap Penyelenggaraan Pelaksanaan Syari’at Islam tentang Khalwat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang di kemukakan tersebut diatas yang mejadi permasalahan yang akan diteliti dan dianalisis dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana Kedudukan Provinsi Nanggore Aceh Darussalam Dalam Sistem Pemerintahan Daerah?
2. Bagaimana Penyelenggaraan Pelaksanaan Syari’at Islam tentang Khalwat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam?
3. Hambatan dan upaya apa yang dilakukan dalam Pelaksanaan Syari’at Islam tentang Khalwat di Provinsi Nanggore Aceh Darussalam?
(29)
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan yang telah diuraikan diatas, maka yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui Kedudukan Provinsi Nanggore Aceh Darussalam Dalam Sistem Pemerintahan Daerah.
2. Untuk mengetahui Penyelenggaraan Pelaksanaan Syari’at Islam tentang khalwat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
3. Untuk mengetahui Hambatan dan upaya apa yang dilakukan dalam Pelaksanaan Syari’at Islam tentang Khalwat di Provinsi Nanggore Aceh Darussalam.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini di harapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis yaitu sebagai berikut:
1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut dalam rangka pengembangan Hukum Tata Negara khususnya dibidang pemerintahan daerah dan selanjutnya dengan dilakukan penelitian ini akan memperoleh gambaran tentang Pelaksanaan Syari’at Islam tentang Khalwat di Provinsi Naggroe Aceh Darussalam. maka di harapkan pemerintahan Aceh dapat melaksanakan syari’at Islam secara kaffah dan tetap dapat mempertahankan kembali struktur Pemerintahan Daerah Istimewa Aceh.
2. Secara praktis, penelitian ini diharapakan dapat berguna bagi Pemerintahan Aceh dalam Pelaksanaan Syari’at Islam di Provinsi Naggroe Aceh Darussalam dalam Sistem Hukum Tata Negara Republik Indonesia. yang tujuannya untuk dapat meningkatkan peran
(30)
pemerintah daerah dalam membudaya pola hidup masyarakat berpedoman pada ajaran syari’at Islam dan juga menjadi dasar pemikiran bagi pemerintahan pusat dalam mengambil kebijakan perencanaan pembangunan di Nanggroe Aceh Darussalam dengan tetap memperhatikan hak asal usul daerah Istimewa Aceh sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
E. Keaslian Penelitian
Penulisan ini didasarkan pada ide, gagasan, serta pemikiran penulis secara pribadi dengan melihat perkembangan Hukum Ketatanegaraan yaitu dibidang hukum pemerintahan daerah khususnya dalam permasalahan Penyelenggaraan Pelaksanaan Syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Berdasarkan penelusuran yang dilakukan atas hasil-hasil penelitian yang ada, mengenai penulisan penelitian penulis belum pernah ada yang meneliti di lingkungan Universitas Sumatera Utara, namun demikian ada yang telah melakukan penelitian yang berkaitan dengan otonomi khusus yaitu:
1. Husni Jalil, dalam bukunya Eksistensi Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia Berdasarkan UUD 1945. Penelitian ini di lakukan pada tahun 2005.
Yang menjadi permasalahannya adalah: a. Dasar Eksistensi Otonomi Khusus.
(31)
c. Perkembangan Pemerintahan Nanggroe Aceh Darussalam Dalam sejarah Ketatanegaraan Indonesia.
d. Eksistensi Otonomi Khusus Dalam Negara Kesatuan. Temuannya sebagai berikut:
Pemberian otonomi khusus kepada Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah pertama, sebagai salah satu cara terbaik untuk mewujudkan suatu pemerintahan yang berkedaulatan rakyat dengan partisipasi luas dari anggota masyarakat, sehingga dapat mencegah disintegrasi bangsa, kedua, untuk menjamin dan mewujudkan Negara hukum dan ketiga, sebagai cara untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan social bagi seluruh rakyat.
Berdasarkan titik permasalahan dari penelitian tersebut diatas maka adanya perbedaan yang akan di bahas dalam penelitian ini. Maka penulis menegaskan bahwa penelitian ini belum pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti lain. oleh karena itu keaslian penelitian penulisan ini dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Dalam penjelasan naskah asli Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menyebutkan, istilah
rechtstaat yang dilawankan dengan machtstaat. Namun setelah terjadi amandemen ketiga
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia menyebutkan dengan tegas dalam Pasal 1 ayat (3) bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum.19
19
. Jimly Asshiddiqie, “Konsolidasi Naskah UUD 1945 setelah perubahan keempat,” (Jakarta: Pusat Studi HTN Fakultas Hukum UI, 2002), hlm. 3
(32)
Pembentukan negara hukum di kemukakan oleh Plato dalam tulisannya tentang nomoi. Kemudian berkembang konsep negara hukum di negara Eropa Kontinetal dengan istilah
rechtstaat, konsep negara hukum Anglo Saxon dengan istilah the rule of law. dengan
perkembangan konsep tersebut menyentuh pergulatan konsep dari para sarjana (ahli atau pakar) tentang negara hukum, misalnya Kant memaparkan prinsip negara hukum formal, sementara Stahl dengan pandangan negara hukum material, dan Dicey dengan konsepnya tentang the rule of law.
Paham rechtstaat sudah populer di Eropa sejak abad XIX dan kemudian dipopulerkan oleh Alber Venn Dicey pada Tahun 1885 dalam bukunya dengan judul Introduction to Study
of the Law of the Constution. Perberdaan sebutan konsep negara hukum negara Eropa
Kontinetal dengan istilah rechstaat, konsep negara hukum Anglo Saxon the rule of law. Walaupun terjadi perbedaan keduanya dalam perkembangan tidak dipersoalkannya, karena mengarah pada tujuan yang sama untuk perlindungan terhadap hak asasi manusia.20 Kemudian Frederich Julius Stahl, seorang jerman yang menulis dalam bukunya Philosophie des Rechts, terbit padan Tahun 1878, sebagaimana dikutip oleh Padmo Wahjono21 menyebutkan paham negara hukum mengandung beberapa unsur utama yaitu:
a. Mengakui dan melindungi hak-hak asasi manusia
b. Penyelenggaraan negara harus berdasarkan pada teori Trias Politika
c. Dalam menjalankan tugasnya, pemerintah harus berdasarkan Undang-undang
(wetmatigbestuur)
d. Adanya peradilan Administrasi negara.
20
. Philipus M. Hadjon, “Perlndungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia; Sebuah Studi tentang
Prinsip-prinsipnya, Penerapannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara”, (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), hlm. 72
21
(33)
Paul Scholten dalam Azhari menyantakan paham Negara hukum dapat dilihat dengan membedakan tingkatan unsur-unsur Negara hukum tersebut. Unsur yang sangat penting dan utama disebut dengan unsur asas dan turunannya disebut dengan aspek. Namun unsur paham Negara hukum yang diutamakan adalah unsur asas yaitu: 22
a. Ada hak warga terhadap Negara yang mengandung dua aspek adalah, 1. Hak individu pada prinsipnya berada diluar wewenang Negara,
2. Pembatasan terhadap hak tersebut hanyalah dengan undang-undang, berapa peraturan yang berlaku umum,
b. Adanya pemisahan kekuasaan, dengan mengikuti Montesquieu yang membagi tiga kekuasaan Negara yaitu, kekuasaan pembentukan undang-undang, kekuasaan melaksnakan undang-undang dan kekuasaan mengadili.
Untuk terlaksananya unsur-unsur asas tersebut dalam penyelenggaraan Negara oleh pemerintah di dalam Negara hukum ada terdapat suatu pola yang harus dilaksanakan yaitu, menghormati dan melindungi hak-hak manusia, mekanisme kelembagaan Negara yang demokratis, tertib hukum dan kekuasaan kehakiman yang bebas.23
Supaya terlaksananya tertib hukum dan untuk membatasi terjadi penyalahgunaan kekuasaan dalam penyelenggaraan Negara dan pemerintahan daerah harus diatur dengan pembentukan peraturan perundang-undangan, karena Negara Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam segala aspek penyelenggaraan Negara maupun penyelenggaraan pemerintahan daerah harus senantiasa berdasarkan atas hukum, maka untuk itu penyelenggaraan Pemerintahan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam terbentuklah dalam suatu Peraturan perundang-undangan yang khusus untuk mengatur wewenang dan kekuasaan penyelenggaraan Pemerintahan Aceh.
22
. Azhari, “Negara Hukum Indonesia Analisis Yuridis Normatif tentang Unsur-unsurnya”, (Jakarta: UI Press, 1995). hlm. 39
23
. Padmo Wahyono, “Indonesia Negara Yang Berdasarkan Atas Hukum, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tanggal 17 November 1979, Fakultas Hukum UI. hlm, 6
(34)
Logeman menyatakan, Negara sebagai suatu organisasi kemasyarakatan yang bertujuan untuk dengan kekuasaannya mengatur dan mengurus suatu masyarakat tertentu.24 Sedangkan D.H Meuwissen Hukum Tata Negara lazimnya mengenal dua pilar Hukum Tata Negara yaitu organisasi Negara dan warga Negara.25
Dalam organisasi Negara diatur bentuk Negara dan sistem pemerintahan termasuk pembagian kekuasaan Negara atau alat perlengkapan Negara. Pembagian kekuasaan Negara ada dua macam yaitu pembagian kekuasaan Negara secara horizontal dan pembagian kekuasaan secara vertikal. Pembagian kekuasaan secara vertikal ini bukanlah persoalan
Supertion of power atau division of power yang dikenal dalam pembagian kekuasaan secara
horizontal.26 Pembagian kekuasaan secara vertikal dalam Negara kesatuan (unitaris) dalam kepustakaan Hukum Tata Negara lebih dikenal sebagai “desentralisasi territorial” (terrtoriale
decentralisatie). Desentralisasi diartikan penyerahan tugas atau wewenang kepada pemerintah
tinggkat bawah (decentralisatiede overdrcht van taken of bevoegdheden naar lagere
overheden).27
Syahda Guruh L.S menyebutkan secara teoritis kekuasaan dapat dibagi dengan dua cara yaitu sebagai berikut:
1. Secara Vertikal yaitu pembagian kekuasaan menurut tingkatannya, maksudnya ialah pembagian kekuasaan antara beberapa tingkat pemerintah.
2. Secara Horizontal yaitu pembagian kekuasaan menurut fungsinya pembagian ini menunjukkan perbedaan antara fungsi-fungsi pemerintahan yang bersifat legislative,
24
. Rozikin Daman,”Suatu Pengantar Hukum Tata Negara”. (Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada. 2007), hlm. 13
25
. D.H.Meuwissen,”Elementen Van Staatsrecht”. (Deel I, W.E.J. Tjeek Willink-Zwolle.1975), hlm. 44.
26
. Philips M. Hadjon,”Pembagian Kewenangan Pusat Dan Daerah”, (Malang; Makalah, Pusat Pengembangan Otonomi Daerah Fakultas Hukum Unibraw. 2001), hlm. 2.
27
(35)
eksekutif dan yudikatif yang lebih di kenal dengan trias politika atau pembagian kekuasaan
(devition of power).28
Menurut Faisal Akbar Nasution, pembagian kekuasaan secara vertikal dan horizontal sebagaiberikut:
”Pembagian kekuasaan secara vertikal yang dibangun pemerintah pusat pada setiap daerah, bertujuan untuk menyederhanakan administrasi pemerintahan dalam rangka melayani kepentingan publik dari setiap warga masayarakat yang berdiam di daerah daerah. Dalam hal ini para petugas atau pejabat administrasi yang menjalankan tugas kedekonsentrasian ini tidak memiliki kewenangan yang mandiri seperti aparat pemerintah daerah yang memiliki otonomi, dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai bagian dari administrasi pemerintah pusat. Kewenangan yang ada padanya ada merupakan kewenangan yang sifatnya melaksanakan tugas dalam ruang lingkup kewenangan yang pada penjabat otoritas pemegang kekuasaan pemerintah pusat. dan Pembagian kekuasaan secara horizontal dipandang dari segi politik, dimaksudkan untuk mencegah penumpukan kekuasaan pada satu pihak saja yang akhirnya dapat menimbulkan tirani. Pandangan ini dapat dibenarkan bila diingat dalam sejarah kekuasaan yang pernah ada dalam dunia ini, dimana kekuasaan yang berada pada satu orang atau satu pihak saja telah menimbulkan kencendrungan pihak yang berkuasa menjalankan kekuasaanya bersikap otoriter dan semena-mena, yang menyebabkan timbulnya penderintaan dikalangan rakyat yang diperintah. Untuk menghindari terjadinya penumpukan kekuasaan pada satu pusat kekuasaan saja, kiranya kekuasaan ini dapat dibagi berdasarkan pembagian kekuasaan secara horizontal (antara lembaga-lembaga negara tingkat pusat) dan pembagian kekuasaan secara vertikal yakni diantara tingkatan pemerintahan yang ada dari pemerintahan pusat kepada bagian dari pemerintahan yang menjadi bagian dari negara (pemerintahan lokal) berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. 29
Karena itu John Locke yang lahir di Wrinton, Inggris (1632-1704) dalam bukunya Two
Treatiseof Government, yang terbit tahun 1690. membagi kekuasaan itu atas kekuasaan
membentuk undang-undang (legeslatif), kekuasaan melaksanakan undang-undang (eksekutif), dan kekuasaan federatif. Ia membedakan tiga fungsi Negara yaitu:
1. Kekuasaan Legislatif Power yaitu Kekuasaan pembentukan undang-undang 2. Kekuasaan Eksekutif Power yaitu Kekuasaan melaksanakan undang-undang
28
. Syahda Guruh. L.S. “Menimbang Otonomi Vs Federal”. (Jakarta; Remaja Rosda Jakarta. 2000), hlm. 68.
29
. Faisal Akbar Nasution, ”Pemerintahan Daerah dan Sumber-Sumber Pendapatan Daerah”, (Jakarta: PT. Sofmedia. 2009), hlm. 49-50.
(36)
3. Kekuasaan Federatif Power yaitu Kekuasaan untuk melaksanakan hubungan luar negeri dan menyatakan perang dan damai.30
Sedangkan Montesquieu (1689-1755), ahli hukum berkembangsaan Prancis ini dalam bukunya De L’Esprit des Lois yang terbit tahun 1748, atas pengaruh pemeikiran Locke, mengemukakan teori pemisahan kekuasaan Negara dalam tiga bentuk yaitu sebagai berikut:
1. Kekuasaan Legislatif yaitu Kekuasaan membentuk undang-undang 2. Kekuasaan Eksekutif yaitu Kekuasaan melaksanakan undang-undang
3. Kekuasaan Yudikatif yaitu Kekuasaan yang menjalankan kekuasaan kehakiman31 Teori tersebut di atas terdapat perbedaan tetapi tujuannya sama yang ingin diterapkan dimana teori John Locke tidak terdapat kekuasaan yudikatif karena telah digabungkan kedalam kekuasaan federatif. Sedangkan pendapat teori Montesquien tidak ada terdapat kekuasaan federatif karena masalah hubungan luar negeri telah dimasukkan dalam kekuasaan legisletif.32 oleh karenanya Montesquien menegaskan bahwa kebebasan politik hanya ada di Negara-negara di mana kekuasaan Negara bersama dengan fungsinya yang berkaitan tidak ada pada tangan yang sama. suatu pengalaman yang abadi bahwa orang yang diberikan kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakannya, ia melakukannya sampai ia bertemu batasan-batasan untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan, langkah-langkah harus diambil agar kekuasaan dapat dibatasi dengan dilakukan pembentukan hukum.
Soehino mengatakan, sebagai reaksi terhadap absolutisme dan menggunakan suatu bentuk Negara berdasarkan atas hukum yang didasarkan pada pemisahan kekuasaan, sebagai jaminan terhadap kebebasan adalah sudah menjadi kebiasaan untuk membagi-bagikan tugas-tugas pemerintahan dalam trichotomy berdasarkan ajaran trias politica, namun dalam berbagai
30
. Agussalim A.D.”Pemerintahan Daerah”. (Bogor; Gahalia Indonesia. 2007), hlm. 40.
31
. Koentjoro Poerbopranoto,”Sistem Pemerintahan Demokrasi”, (Bandung; Eresco. 1987), hlm. 23.
32
(37)
konstitusi terdapat berbeda penafsiran terhadap pelaksanaan ajaran tersebut.33 Menurut Ismail
Sunny. Pemisahan kekuasaandalam arti materil tersebut sepantasnya pemisahan kekuasaan, sedangkan pemisahan dalam arti formal sebaiknya disebutkan dengan pembagian kekuasaan
(division of powers).34
Pemisahan kekuasaan dalam arti materil tidak terdapat dan tidak pernah di laksanakan di Indonesia, yang ada adalah pemisahan kekuasaan dalam arti formal. Hal ini menunjukkan bahwa di Indonesia terdapat pembagian kekuasaan dengan tidak menekankan pada pemisahannya. Soepomo telah secara tegas menolak teori trias politica dimasukkan dalam UUD dengan pernyataannya “dalam rancangan UUD ini kita memang tidak memakai sistem yang membedakan prinsipil 3 badan itu”. 35
Menurut Attamin, penggunaan istilah yang berasal dari ajaran Montsquien dalam Penjelasan UUD 1945, seperti legislative power, eksecutif power, dan sebagainya tidak berarti bahwa UUD 1945 menganut ajaran tersebut. Demikian juga Kusnardi berkemsimpulan bahwa UUD 1945 tidak menganut asas pemisahan kekuasaan. jumlah organ Negara yang ditetapkan dalam UUD 1945 lebih dari tiga sehingga timbul kemungkinan bahwa suatu organ mempunyai fungsi lebih dari pada satu atau sebaliknya.36
Kekuasaan dan kedaulatan menjadi pilar utama dalam penyelenggaraan Negara karena hal itu merupakan perpaduan keinginan (aspirasi) rakyat dan kebijakan yang di terapkan oleh
33
. Soehino,”Hukum Tata Negara”, (Yogyakarta; Liberty. 1985), hlm. 25
34
. Ismail Suny,”Pembagian Kekuasaan Negara”, (Jakarta; Aksara Baru, 1985), hlm. 4
35
. Ismail Suny,”Upaya Mewujudkan Demokrasi Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia Pasca
Proklamasi 17 Agustus 1945. (Lampung; Makalah disampaikan pada Seminar Hukum dalam Konstek Perubahan
UUD 1945, Kerja Sama BP-MPR dengan Fakultas Hukum UI). 24-26 Maret 2000. hlm. 8-10.
36
. Moh. Kusnardi dan Bintan R. Seragih,”Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem UUD
(38)
pemerintah.37 Pembatasan kekuasaan termaktub dalam konstitusionalisme merupakan gagasan yang menyatakan bahwa pemerintahan merupakan suatu kumpulan aktivitas yang diselenggarakan atas nama rakyat, tetapi tunduk kepada beberapa pembatasan untuk menjamin agar kekuasaan yang di perlukan untuk menjalankan pemerintahan tidak disalahgunakan oleh pihak pemegang kekuasaan. Sri Sumantri menyatakan tidak ada satupun Negara di dunia ini yang tidak mempunyai konstitusi atau undang-undang dasar, yang di dalamnya lazim atur tentang pembagian kekuasaan, baik secara vertical maupun horizontal.38
Jimli Asshiddiqie menyebutkan, Negara Indonesia adalah Negara hukum yang berbentuk kesatuan (unitary state). kekuasaan asal berada di perintah pusat, namun kewenangan (authorithy) pemerintah pusat ditentukan batas-batasnya dalam undang-undang dasar dan undang-undang ditentukan sebagai kewenangna yang dimiliki oleh pemerintah daerah. Dengan pengaturan-pengaturan konstitusional yang demikian itu, berarti NKRI diselenggarakan dengan federal arrangement atau pengaturan yang bersifat federalistis.39
Namun demikian kewenangan daerah dalam suatu Negara kesatuan seperti halnya Indonesia, tidak dapat diartikan adanya kebebesan penuh dari suatu daerah untuk menjalankan hak dan fungsi otonominya sekehendak daerah tanpa mempertimbangkan kepentingan nasional secara keseluruhan, walaupun tidak tertutup kemungkinan untuk memberikan kewenangan yang lebih luas kepada daerah.40 Abu Daut Busroh menyebutkan, Negara kesatuan ditinjau dari susunannya adalah Negara yang tidak tersusun dari beberapa Negara,
37
. Jimly Asshiddigi ,”Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di
Indonesia”. (Jakarta; Ihktiar Baru van Hoeve. 1994), hlm. 11-12.
38
. Sri Sumantri,”Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi”, (Bandung; Alumni. 1987), hlm. 1
39
. Jimly Asshiddiqie,”Pengatar Pemikiran UUD Negara Kesatuan RI”, (Jakarta The Habibi Cebter. 2001), hlm. 28.
40
. Riyas Rasyid,”Perspektif Otonomi Luas dalam Otonomi atau Federalisme Dampaknya Terhadap
(39)
seperti halnya Negara federasi, melainkan Negara itu sifatnya tunggal artinya hanya ada satu Negara tidak ada Negara lain.41
Menurut C.F. Strong, ciri-ciri Negara kesatuan ialah;
Kedaulatan tidak terbagi atau dengan perkataan lain kekuasaan pemerintahan pusat tidak dibatasi karena konstitusi Negara kesatuan tidak tidak mengakui adanya badan legislative lain, selain dari badan legislatif pusat. Namun ia menyebutkan ada dua ciri-ciri mutlak yang yang melekat dalam Negara kesatuan yaitu dekonsentrasi dan desentralisasi.
Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintah oleh pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertical diwilayah tertentu.42
Sebagaimana Faisal Akbar Nasution menyebutkan,
”Dengan dilakukan desentralisasi sebagai salah satu asas penyelenggaraan pemerintah daerah untuk mengurus sendiri urusan-urusan yang khas (spesifik) sebagai urusan rumah tangga daerahnya tanpa perlu diatur lebih lanjut pemerintahan pusat, yang selanjutnya lebih dikenal dengan istilah otonomi daerah. Di dalam otonomi daerah ini sebenarnya terdapat kebebasan dan kemandirian dalam melaksanakan sebuah urusan pemerintahan daerah yang menerima penegarahan otonomi tersebut. Bahwa dapat dikatakan kebebasan dan kemandirian itu merupakan hakikat isi otonomi”.43
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dikeluarkan Sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen, karena Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan daerah yang baik, dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan,
41
. Abu Daud Busroh,”Ilmu Negara”, (Jakarta; Bumi Aksara. 1993), hlm. 64.
42
. Pasal 1 ayat (7) dan ayat (8) Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
43
. Faisal Akbar Nasution,”Dimensi Hukum Pemerintahan Daerah”, (Medan; Pustaka bangsa Press. 2003). hlm. 45.
(40)
keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.44
Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 1 ayat (3) UU Pemerintahan Daerah Tahun 2004 menyebutkan Sesuai dengan perkembangan keadaan ketatanegaraan dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah, maka perlu dilakukan pembagian wilayah Indonesia adalah atas daerah provinsi, kabupaten dan kota. Daerah yang ada dapat mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemerintahan provinsi dan DPRD serta pemerintahan kabuten/kota yang terdiri atas pemerintahan daerah kabupaten/kota dan DPRD. Pemerintahan daerah terdiri atas kepala daerah dan perangkat daerah.
Desentralisasi diartikan sebagai sebuah mekanisme penyelenggaraan pemerintahan yang menyangkut pola hubungan antara pemerintahan nasional dan pemerintahan lokal. Di dalam mekanisme ini pemerintahan nasional melimpahkan kewenangan kepada pemerintahan dan masyarakat setempat atau local untuk diselenggarakan guna meningkatkan kemaslahatan hidup masyarakat. Syaukani, HR dkk. Mengatakan, sejumlah alasan mengapa hal itu harus dipilih sebagai salah satu pola hubungan antara pemerintahan nasional dan pemerintahan lokal. Kalangan ilmuan pemerintahan dan politik pada umumnya mengidentifikasi sejumlah alasan mengapa desentralisasi perlu dilaksanakan pada sebuah Negara, yaitu sebagai berikut:45 1. Dalam rangka peningkatan efisien dan effektifitas penyelenggaraan pemerintahan.
2. Sebagai wahana pendidikan politik masyarakat di daerah,
3. Dalam rangka memelihara keutuhan Negara kesatuan atau integrasi nasional,
44
. Konsideran Menimbang, Huruf (a) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
45
. Syaukani,HR,. Afan Gaffar dan Riaas Rasyid,” Otonomi Derah Dalam Negara Kesatuan”. (Jakarta; Pustaka Pelajar. 2003), hlm. 17
(41)
4. Untuk mewujudkan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan yang dimulai dari daerah,
5. Guna memberikan peluang bagi masyarakat untuk membentuk karir dalam bidang politik dan pemerintahan,
6. Sebagai wahana yang diperlukan untuk memberikan peluang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses perencanaan dan pelaksanaan pemerintahan,
7. Sebagai sarana yang diperlukan untuk mempercepat pembangunan di daerah, dan 8. Guna mewujudkan pemerintahan yang bersihdan berwibawa.
Hal demikian mendorong lahirnya Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh dengan prinsip otonomi seluas-luasnya. Pemberian otonomi seluas-luasnya di bidang politik kepada masyarakat Aceh dan mengelola pemerintahan daerah sesuai dengan prinsip good governance yaitu transparan, akuntabel, professional, efesiensi dan efektif dimaksudkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat di Aceh. Dalam menyelenggarakan otonomi yang seluas-luasnya itu, masyarakat Aceh memiliki peran serta, baik dalam merumuskan, menetapkan, melaksanakan maupun dalam mengavaluasi kebijakan pemerintahan daerah.46 Van der pot dalam Koesoemahatmadja mengatakan, konsep otonomi sebagai eigen huishouding (menjalankan rumah tangga sendiri). Otonomi adalah pemberian hak kepada daerah untuk mengatur sendiri daerahnya dan daerah mempunyai kebebasan inisiatif dalam penyelenggaraan rumah tangga pemerintahan di daerah.47 Cakupan otonomi seluas-luasnya bermakna penyerahan urusan sebanyak mungkin kepada daerah untuk menjadi urusan rumah tangga sendiri.48 Otonomi yang seluas-luasnya bukan tanpa batas sehingga terjadi pecah belah
46
. Penjelasan Umum UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
47
. R.D.H. Koesoemahatmadja, ”Pengantar Kearah Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia”, (Bandung: Bina Cipta, 1979), hlm. 15
48
(42)
negara kesatuan, maka sangat penting dasar kesatuan dalam kedudukanya dengan dasar otonomi seluas-luasnya tidak boleh bertentangan dengan dasar kesatuan negara.49
Perkataan seluas-luasnya jangan diartikan sebagai sesuatu yang tidak berunjung, di dalam negara kesatuan, seluas-luasnya sistem otonomi dibatasi oleh kekuasaan pemerintahan negara kesatuan. Negara kesatuan (eenheidstaat) tidak dapat meniadakan otonomi daerah, tapi betapapun luasnya otonomi daerah, tidaklah dapat menampikan wadah negara kesatuan. Maka makna otonomi yang seluas-luasnya menjadi pemerintahan pusat hanya mengatur hal-hal dan masalah-masalah yang harus diatur pemerintah pusat itu sendiri dan segala sesuatu yang tidak termasuk keharusan itu, pada pokoknya harus diatur oleh pemerintahan daerah.50
Karenanya pemerintah pusat dengan DPR berkewajiban mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan peraturan perundang-undangan. Sebagai amanat dari hasil amandemen Pasal 18, 18A dan 18B UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. maka lahir Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Mengigat Pasal 18B ayat (1) menyatakan, bahwa Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Maka lahirlah Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Mengigat Daerah Aceh sebagai daerah yang mempunyai keistimewaan dan khususan dalam agama, adat, pendidikan dan peran ulama. Begitu juga dengan Provinsi Papua, diakuinya peran Majelis Adat. Kemudian Jogyakarta dalam hal pengangkatan Gubernur dari keturunan Sultan dan kekhususan Ibukota Jakarta.
49
. M. Nasroen, “Masalah-Masalah Sekitar Otonomi Daerah”, (Jakarta: Wolters, 1951), hlm. 28
50
(43)
Era otonomi daerah, banyak perda yang bernuansa pelaksanaan syari’at islam hampir seluruh provinsi di Indonesia diterapkan, ini merupakan hak yang diberikan oleh UUDNRI perubahan kedua Pasal 18 ayat 6 menyebutkan, Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Pasal 136 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menyatakan, Perda ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD. Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pejabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Kedua undang-undang tersebut sangat jelas memberikan legitimasi dan wewenang kepada pemerintahan daerah untuk membuat peraturan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah.
Seperti provinsi Sumatera Barat, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Jawa Timur dan juga daerah lainnya bukan warga muslim yang mayoritas. Namun masyarakat Aceh yang mayoritas muslim dan merupakan daerah yang diberikan kekhususan dan keistimewaan tersebut bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang sekarang telah diganti sebutan nama dengan Peraturan Gubernur (Pergub) Aceh Nomor 46 Tahun 2009 tanggal 7 April lalu diubah dan diseragamkan dari sebutan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) menjadi sebutan Aceh.
Pemerintahan Aceh diberikan wewenang untuk melaksanakan syari’at Islam berdasarkan Pasal 125 UU Pemerintahan Aceh menyebutkan, Syari’at Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi aqidah, syar’iyah dan akhlak. Dan syari’at Islam sebagaimana di maksud pada ayat (1) meliputi ibadah, ahwal al-syakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha’ (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah,
(44)
syiar, dan pembelaan Islam. Maka pemerintah daerah dengan masyarakat Aceh sudah sepatutnya mendukung dan menyelenggarakan pelaksanaan syari’at Islam yang kaffah sudah sepatutnya berbudaya dan berakhlak Islami dalam berbagai aspek kehidupan sewajarnya berpedoman keimanan dan amal shaleh yang dapat dipertanggungjawabkan di hadapan manusia (insan) dan Tuhannya.
Sebagaimana Ali Hasyimi mengukapkan, kultur masyarakat Aceh merupakan jelmaan dari pancaran keimanan dan amal shaleh masyarakat.51 Dalam hal ini pemerintah Aceh belum menerapkan syariat Islam dalam semua lini kehidupan sesuai dengan harapan Undang-undang dan harapan masyarakat. Dalam kenyataannya masyarakat Aceh masih cenderung bertanya dengan nada kurang puas dengan realita yang ada seolah-olah masyarakat mau katakan bahwa proses mensyari’atkan birokrasi di Aceh masih hanya sebatas wacana saja, walaupun membirokrasikan syari’at dianggap sudah sukses dengan bedirinya Dinas Syari’at Islam Provinsi dan sampai ke Kabupaten/Kota.
Berdasarkan teori yang dikemukakan tersebut diatas, maka analisa dan pembahasan terhadap permasalahan dalam tesis penulis. Diharapkan dapat terjawab dengan baik secara teoritis maupun secara praktis sebagaimana yang terjadi dalam penyelenggaraan Pelaksanaan Syari’at Islam tentang Khalwat di Provinsi Naggroe Aceh Darussalam.
2. Konsepsi
Bagian landasan konsepsional ini, akan menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan konsep yang digunakan oleh penulis, konsep dasar yang digunakan dalam tesis ini antara lain:
51
(45)
a. Penyelenggaraan pelaksanaan syari’at Islam yang dimaksudkan dalam tesis ini adalah Pemberian kesempatan yang lebih luas untuk melaksanaan syari’at Islam tentang Khalwat secara Kaffah, mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri termasuk sumber-sumber ekonomi, mengali dan memberdayakan sumber daya alam dan sumber daya manusia, menumbuh kembangkan prakarsa, kreatifitas dan demokrasi, meningkatkan peran serta masyarakat Aceh, memfungsikan secara optimal Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam memajukan penyelenggaraan pelaksanaan syari’at Islam oleh Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan mengaplikasikan Syari’at Islam dalam kehidupan masyarakat. Sebagaimana dimaksudkan dalam konsideran menimbang huruf (a) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
b. Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang diberi otonomi khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.52
c. Nanggroe Aceh Darussalam adalah kata “Nanggroe” berasal dari bahasa Aceh yang mengandung dua pengertian yaitu: pertama, “Nanggroe” mengandung makna sebuah perkampungan/banda yang ramai atau padat penduduknya, kedua, “Nanggroe” diartikan sebagai sebuah Negara yang berdaulat, namun pengertian “Nanggroe” dalam penulisan ini bukan sebagai sebuah Negara yang berdaulat, tetapi sebagai wilayah dari sebuah Negara kesatuan, karena sebelum kata “Nanggroe” di dahulukan dengan kata provinsi, sehingga
52
. Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
(46)
pengertian “Nanggroe” diartikan sebuah wilayah yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan bukan Negara yang berdaulat.53
d. Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Udang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyenglenggarakan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintahan Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh sesuai dengan fungsi dan Kewenangannya masing-masing.54
e. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Peraturan Daerah sebagai pelaksanaan Undang-undang di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus.
f. Khalwat/mesum adalah perbuatan bersunyi-sunyi antara dua orang mukallaf atau lebih yang berlainan jenis yang bukan muhrimnya atau tanpa ikatan perkawinan.
G. Metode Penelitian 1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Mahkamah Syar’iyah Provisi Nanggroe Aceh Darussalam, Dinas Syari’at Islam Provisi Nanggroe Aceh Darussalam, Kantor Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Provisi Nanggroe Aceh Darussalam, Biro Hukum Provisi Nanggroe Aceh Darussalam, Biro Pemerintahan Provisi Nanggroe Aceh Darussalam. Alasan pertimbangan
53
. Husni Jalil. Op.cit., hlm. 9.
54
. Lihat Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 , menyebutkan Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(1)
Sulaiman, M. Isa., “Aceh Merdeka, Ideologi, Kepemimpinan dan Gerakan”. Jakarta: Pustaka Al-Kausar. 2000.
Sujamto, “Daerah Istimewa Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia”, Jakarta: Bina Aksara, 1988.
Soehino,”Hukum Tata Negara”, Yogyakarta; Liberty, 1985.
Seragih. R., Bintang dan Moh. Kusnardi.,”Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem UUD 1945”. Jakarta; Gramedia, 1988.
Sumantri,. Sri, ”Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi”, Bandung; Alumni, 1987.
Syamsuddin, Nazaruddin., “Pemberontakan Kaum Republik; Kasus Darul Islam Aceh’, Jakarta: Grafiti cet. I, 1990.
Shihab, M. Quraish., “Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat”. Bandug: Mizan, 1992.
Syahrin, Alvi., “ Pengaturan Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Permukiman Berkelanjutan”, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003.
Yamin Muhammad, “ Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945”, Jilid I, Jakarta: Prapanca, 1959.
Triwulan Titik,’Pokok-Pokok Hukum Tata Negara”, Jakarta; Prestasi Pustaka Republika. 2006.
Ultrecht, E,”Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia”. Jakarta. Ichtiar Baru. 1990 Waluyo, Bambang,”Penelitian Hukum Dalam Praktek”. Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada.
1985.
Yusuf, M. Jalil., Petaka hati yang Tercabik, Jakarta: Yayasan Ulul Arham, 2001.
Zoelva, Hamdan., “Syari’at Islam Kemungkinan Penerapannya di Indonesia”, Jakarta: Media Dakwah, Juli 2002.
Zamzami, Amran., ”Jihad Akbar di Medan Area”, Jakarta: Bulan Bintang. 1990.
Khalid O. Sentosa Khalid O. Sentosa,”Jejak-jejak Sang Penjuang Pemberontak”, Bandung: Sega Arsy. 2006.
(2)
B. Karya Ilmiah/Artikel/Majalah
Asshidiqie, Jimly., “Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Amandement Ke Empat UUD Tahun 194” Bali: Makalah Seminar Hukum Nasional VIII. 2003.
Azra, Azyumardi., “Paradigma Baru Pendidikan Nasional” Jakarta: Kompas, 2002.
Beureueh, Daud Beureueh., “Membangun Negara di Atas Gunung”, Sabili No. 9 Th. X: Sejarah Emas Muslim Indonesia. 2003.
Nasution, Faisal Akbar., Peluang Lahirnya Peraturan Daerah (Perda) Syari’ah dalam Sistem Hukum Tata Negara Republik Indonesia, makalah disampaikan pada Komisi Fadwa Majelis Ulama Indonesia Provinsi Sumatera Utara, Muzakarah Ilmiah Rutin, Edisi Khusus Ramadhan 1427 H/2006 M. Medan 08 Oktober 2006.
Retnani Setya, “Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia”, Makalah Kantor Menteri Negara Otonomi Daerah Republik Indonesia, 2000.
Rasyid, Rasyid.,”Perspektif Otonomi Luas dalam Otonomi atau Federalisme Dampaknya Terhadap Perokonomian”, Jakarta; Suara Pembaharuan. 2000.
Manan Bagir,“Hubungan antara Pusat dan Daerah Berdasarkan Asas Desentralisas”, Disertasi. Bandung; Unpad. 1990.
Mahadi, “Peranan Penegakan Hukum dalam Proses Penegakan Hukum , makalah dalam Simposium Masalah Penegakan Hukum, BPHN, Bali, Cet. I. Bandung: Binacipta, 1982.
Hadjon, Philips M.,”Pembagian Kewenangan Pusat Dan Daerah”, Malang; Makalah, Pusat Pengembangan Otonomi Daerah Fakultas Hukum Unibraw. 2001.
Hartono Mardjono,”Menegakkan Syari’at Islam Dalam Konteks Keindonesiaan”, Bandung; Mizan. 1997.
Hoessein, Benyamin., Desentralisasi dan Otonomi di Negara Kesatuan Republik Indoneisa, akan Berputarkah Roda Desentralisasi dari Efesiensi ke Demokrasi. Dalam pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Dalam Ilmu Administrasi Negara, FISIP UI, 5 September 1995.
Ibrahim, Muslim., ”Penerapan Syari’at Islam dan Penyelesaian Konflik di Aceh”, Makalah di sampaikan pada peringatan hari jadi IAIN Ar-Raniry ke-39 Tanggal, 12 Oktober 2002.
(3)
Sunny, Ismail,”Upaya Mewujudkan Demokrasi Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia Pasca Proklamasi 17 Agustus 1945. Makalah disampaikan pada Seminar Hukum dalam Konstek Perubahan UUD 1945, Kerja Sama BP-MPR dengan Fakultas Hukum UI.Lampung, 24-26 Maret 2000.
Wahyono, Padmo., “Indonesia Negara Yang Berdasarkan Atas Hukum, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tanggal 17 November 1979, Fakultas Hukum UI.
C. Peraturan Perundang-undangan
Republik Indonesia Undang-Undang Dasar Tahun 1945
Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Kedudukan Komite Nasional Daerah (KNID). (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Nomor 29).
Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Penetuan Batas-Batas Wewenang Daerah. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1948 Nomor 37).
Republik Indonesia Undang-Undang Nomor. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1957 Nomor 6)
Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Poko Pemerintahan Daerah. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 83)
Republik Indonesia Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 38)
Republik Indonesia Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1).
Republik Indonesia Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125).
Republik Indonesia Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126).
(4)
Republik Indonesia Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 122).
Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 114).
Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 199 Nomor 172). Republik Indonesia Undang-Undang Nomor. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8).
Republik Indonesia Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 22).
Republik Indonesia Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. (Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2003 Nomor 62). Peraturan Pemerintah Nomor. 29 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan
Agama/Makamah Syar’iyah di Provinsi Aceh.
Peraturan Pemerintah Nomor. 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Makamah Syar’iyah di luar Jawa dan Madura.
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Perda No. 3 Tahun 2000 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) di Provinsi Daerah Istimewa Aceh. (Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2000 Seri D Nomor 23).
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Perda No. 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam di Provinsi Daerah Istimewa Aceh. (Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2000 Nomor 30).
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Perda No. 6 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Pendidikan di Provinsi Daerah Istimewa Aceh. (Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2000 Nomor12).
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Perda No. 7 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat di Provinsi Daerah Istimewa Aceh. (Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2000 Nomor 27).
(5)
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Perda No. 33 Tahun 2001 tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Syari’at Islam Provinsi Daerah Istimewa Aceh. (Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2001 Nomor 65). Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Qanun No. 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syari’at
Islam (Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2002 Nomor 2 Seri E Nomor 2 ).
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Qanun No. 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam. (Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2002 Nomor 54 Seri E Nomor 15).
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Qanun No. 9 Tahun 2003 tentang Hubungan Tata Kerja Mejelis Permusyawaratan Ulama dengan Eksekutif, Legeslatif dan Instansi lainnya. (Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2003 Nomor 22 Seri D Nomor 9).
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Perda No. 3 Tahun 2003 Perda No. 3 Tahun 2000 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) di Provinsi Daerah Istimewa Aceh. (Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 200 Nomor Seri D Nomor ).
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang Minuman Khamar dan sejenisnya, (Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2003 Nomor 25 Seri D Nomor 12).
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Qanun No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir (perjudian). (Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2003 Nomor 26 Seri D Nomor 13).
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (mesum). (Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2003 Nomor 27 Seri D Nomor 14).
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Qanun No. 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat. (Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2004 Nomor 12 Seri B Nomor 4).
Memorandum of Understanding Between The Government of Republic Indonesia and The Free Aceh Movement. Filandia; Helsinki. 2005
(6)
D. Keputusan Presiden/Keputusan Menteri
Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 11 Tahun 2003 tentang Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah Provinsi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Keputusan Menteri Agama No. 6 Tahun 1980, tentang di samakan sebutan nama Pengadilan Agama di seluruh Indonesia untuk sebutan tingkat pertama di berinama Pengadilan Agama dan untuk tingkat Bangdingnya disebut Pengadilan Tinggi Agama.