Pelaksanaan Mediasi Berdasarkan Perma No. 2 Tahun 2003 Di Pengadilan Negeri Medan

(1)

PELAKSANAAN MEDIASI BERDASARKAN PERMA

NO. 2 TAHUN 2003 DI PENGADILAN NEGERI

MEDAN

TESIS

OLEH

MARIANNUR PURBA

NIM. 057005038

SEKOLAH PASCA SARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2007

Mariannur Purba : Pelaksanaan Mediasi Berdasarkan Perma No. 2 Tahun 2003 Di Pengadilan Negeri Medan, 2007 USU Repository © 2008


(2)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI... i

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Keaslian Penelitian... 8

F. Kerangka Teori... 9

G. Metode Penelitian ... 26

BAB II MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIKAN SENGKETA DI PENGADILAN NEGERI MEDAN... 31

A. Pengertian Mediasi ... 33

B. Sejarah Dan Perkembangan Mediasi... 39

C. Mediasi Dan Konsiliasi ... 45

D. Mediasi Dan Negosiasi... 47

E. Mediator ... 52

1. Pengertian Mediator ... 52

2. Tugas Mediator ... 54

3. Keterampilan Mediator ... 55


(3)

BAB III KEBERHASILAN MEDIASI DI PENGADILAN NEGERI

MEDAN ... 67

A. Proses Mediasi Di Pengadiladn Negeri Medan ... 67

1. Pendaftaran Gugatan ... 67

2. Tahap Pra Mediasi... 69

3. Tahap Mediasi... 72

4. Akhir Mediasi ... 74

5. Perjanjian Perdamaian dalam Mediasi ... 75

6. Kekuatan Hukum Akta Perdamaian dalam Mediasi ... 77

B. Mediator Di Pengadilan Negeri Medan... 79

C. Perkara Yang Diputus Melalui Mediasi Di Pengadilan Negeri Medan ... 82

BAB IV FAKTOR YANG MENJADI HAMBATAN PELAKSANAAN MEDIASI BERDASARKAN PERMA No. 2 TAHUN 2003 DI PENGADILAN NEGERI MEDAN ... 87

A. Faktor yang Berasal dari Dalam Diri Para Pihak (Faktor Intern)... 87

B. Faktor yang Berasal dari Luar Diri Para Pihak (Faktor Ekstern) ... 94

1. Ketidakmampuan Mediator... 94

2. Peran Advokat yang Tidak Mendukung Terjadinya Mediasi... 98


(4)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 102

A. Kesimpulan... 102

B. Saran ... 103


(5)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perselisihan atau persengketaan merupakan suatu keadaan yang tidak dikehendaki oleh setiap orang. Akan tetapi dalam pergaulan di masyarakat yang berbeda kepentingan. Perbedaan kepentingan itulah yang menyebabkan timbulnya perselisihan atau persengketaan.

Penyelesaian sengketa melalui proses litigasi di Pengadilan pada dasarnya berazaskan azas sederhana, cepat, biaya ringan.1 Akan tetapi dalam praktek seringkali ditemukan hal yang sebaliknya, sistim peradilan yang tidak efektif (ineffective) dan tidak efisien (inefficient). Penyelesaian perkara memakan waktu bertahun-tahun, proses bertele-tele, dapat diajukan upaya hukum yang berkepanjangan, mulai dari banding, kasasi dan peninjauan kembali, setelah putusan berkekuatan hukum tetap, eksekusi dibenturkan lagi dengan upaya hukum verzet. Selain proses yang bertele-tele dan biaya mahal, penyelesaian sengketa melalui litigasi juga menimbulkan penumpukan jumlah perkara di Pengadilan.

Memasuki gelanggang forum Pengadilan, tidak ubahnya seperti mengembara dan mengadu nasib di hutan belantara (adventure onto the unknown), padahal

1

Ketentuan Pasal 4 Ayat (2) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan KeHakiman.


(6)

masyarakat pencari keadilan membutuhkan proses penyelesaian yang cepat yang tidak formalitas (informal procedure and be put into motion quickly.2

Melihat kondisi di atas untuk penyelesaian sengketa perdata, lingkungan, bisnis, perbankan dalam ruang lingkup Nasional maupun Internasional, maka peluang penyelesaian sengketa alternative sangat diperlukan.3

Mediasi merupakan bentuk proses penyelesaian sengketa alternatif atau Alternative Dispute Resolution (ADR). Mediation, a form of Alternative Dispute Resolution (ADR), aims to assist two (or more) disputants in reaching an agreement. The key component of mediation is that wether an agreement is reached, and what that agreement, if any, is determined by the parties themselves rather than being imposed by third party. The disputes may involve states, organizations, communities, individuals or other representatives with a vested interest in the outcome.4

Proses penyelesaian sengketa melalui mediasi bertujuan untuk memungkinkan para pihak yang bersengketa mendiskusikan perbedaan-perbedaan mereka secara pribadi dengan bantuan pihak ketiga yang netral (mediator). Mediator menolong para pihak untuk memahami pandangan para pihak lainnya sehubungan dengan masalah-masalah yang disengketakan, dan selanjutnya membantu mereka melakukan penilaian yang objektif dari keseluruhan situasi atau keadaan yang sedang berlangsung selama dalam proses perundingan-perundingan. Jadi mediator harus tetap bersikap netral,

2

M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, (Jakarta : Sinar Grafika, 1997), h. 248

3

Huala Adolf, Arbitrase Komersial Internasional, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1993), h. 13

4

Mediation, versi elektronik dapat dilihat di : http://en.wikipedia.org/wiki/Mediaton, diakses terakhir tanggal 23 Juni 2007


(7)

selalu membina hubungan baik, berbicara dengan bahasa para pihak, memdengarkan secara aktif menekankan pada keuntungan potensial, meminimalkan perbedaan-perbedaan dan menitikberatkan persamaan-persamaan, yang bertujuan untuk membantu para pihak bernegosiasi secara lebih baik atas penyelesaian suatu sengketa.5

Mediator sangat menentukan efektifitas proses penyelesaian sengketa, ia harus secara layak memenuhi kualitas tertentu serta berpengalaman dalam komunikasi dan negosiasi agar mampu mengarahkan para pihak yang bersengketa. Dengan bekal berbagai kemampuan yang dimilikinya, mediator mendiagnosis suatu sengketa tertentu. Ia mendesain serta mengendalikan proses mediasi untuk menuntun para pihak mencapai suatu kesepakatan yang sehat. Ia menjadi katalisator untuk mendorong lahirnya suasana yang konstruktif bagi diskusi.

Dibandingkan dengan Pengadilan, mediasi lebih fleksibel, efektif biaya, pribadi dan efisien. Mediasi merupakan salah satu metode yang berkembang dengan cepat dalam penyelesaian masalah, seperti bisnis yang menemukan fleksibilitas dan keefektifannya yang berarti lebih cepat, lebih efektif dan kurangnya kerugian dalam penyelesaian perselisihan.6

5

Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. 121.

6

Pusat Mediasi Nasional, Mediasi, versi elektronik dapat dilihat di : http://www.pmn.or.id/mediation/what_is_mediation_ind.html, diakses terakhir tanggal 23 Juni 2007.


(8)

Ada dua jenis mediasi yaitu mediasi di luar dan di dalam Pengadilan.7 Mediasi yang dibicarakan disini adalah mediasi di dalam ruang lingkup Pengadilan (court connected mediation), yaitu mediasi di dalam ruang lingkup Pengadilan.

Mediasi yang berada di dalam Pengadilan diatur oleh Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 2 Tahun 2003, dikeluarkan pada tanggal 11 September 2003. Perma ini dirancang oleh mahkamah Agung dan Indonesia Institute for Conflict Transformation (IICT), yaitu organisasi non Pemerintah di bidang transformasi dan manajemen konfik. Adapun pertimbangan Mahkamah Agung mengeluarkan Perma tersebut adalah :

a) Pengitegrasian mediasi kedalam proses beracara di Pengadilan dapat menjadi salah satu instrumen efektif mengatasi kemungkinan penumpukan perkara di Pengadilan.

b) Mediasi merupakan salah satu proses lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses kepada para pihak yang bersengketa untuk memperoleh keadilan atau penyelesaian yang memuaskan atas sengketa yang dihadapi.

c) Surat Edaran No. 1 tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai (Eks Pasal 130 HIR/154 Rbg) belum lengkap, sehingga perlu disempurnakan.

d) Hukum acara yang berlaku, baik Pasal 130 HIR maupun Pasal 154 Rbg, mendorong para pihak untuk menempuh proses perdamaian yang dapat

7

MaPPI, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa, versi elektronik dapat dilihat di : www.pemantauperadilan.com, diakses terakhir tanggal 15 Pebruari 2007.


(9)

diintensifkan dengan cara mengintegrasikan proses mediasi ke dalam prosedur berperkara di Tingkat pertama.

e) Sambil menunggu peraturan perundang-undangan dan memperhatikan wewenang Mahkamah Agung dalam mengatur acara peradilan yang belum cukup diatur oleh peraturan perundang-undangan, maka demi kepastian, ketertiban dan kelancaran dalam proses mendamaikan para pihak untuk menyelesaikan suatu sengketa perdata, dipandang perlu menetapkan suatu Peraturan Mahkamah Agung .8

Latar belakang lahirnya Perma ini yang Pertama adalah sebagai salah satu upaya untuk membantu Lembaga Pengadilan dalam rangka mengurangi beban beban penumpukan perkara. Kedua, adanya kesadaran akan pentingnya sistim hukum di Indonesia untuk menyediakan akses seluas mungkin kepada para pihak yang bersengketa untuk memperoleh rasa keadilan. Ketiga, proses mediasi sering diasumsikan sebagai proses yang lebih efisien dan tidak memakan waktu dibandingkan Pengadilan.9

Berbeda dengan proses persidangan di Pengadilan, para pihak dalam mediasi adalah merupakan kekuasaan tertinggi, sedangkan dalam persidangan, Hakim memegang kekuasaan tertinggi. Dalam mediasi mediator sebagai pihak ketiga yang dianggap netral hanya membantu atau memfasilitasi jalannya proses mediasi. Hasil proses mediasi adalah merupakan kesepakatan antara para pihak (mutually acceptable solution). Kesepakatan para pihak ini lebih kuat sifatnya dibandingkan Putusan

8

Pertimbangan Hukum Peraturan Mahkamah Agung RI No. 02 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, Mahkamah Agung RI

9


(10)

Pengadilan, karena merupakan kesepakatan dari para pihak, artinya kesepakatan itu adalah hasil kompromi atau jalan yang telah mereka pilih untuk disepakati demi kepentingan-kepentingan mereka, sedangkan dalam putusan Pengadilan, ada pihak lain yang memutuskan yaitu Hakim, dengan kata lain Putusan Pengadilan itu bukan kesepakatan para pihak.

Berdasarkan pertimbangan Mahkamah Agung di atas, Perma No. 2 Tahun 2003, dibentuk untuk memberdayakan Pasal 130 HIR dan 154 Rbg. Dalam Pasal tersebut dikatakan bahwa “Pada hari yang ditentukan, jika kedua belah pihak menghadap ke Pengadilan dengan perantara keduanya, maka Hakim mencoba mendamaikan”.10 Artinya Ketua Mejelis wajib mencoba mendamaikan para pihak. Salah satu bentuk usaha untuk mendamaikan tersebut adalah melalui proses mediasi, oleh karena itu dalam Perma No. 2 Tahun 2003 ini, mediasi bersifat wajib.

Proses mediasi di Pengadilan dimulai dengan pendaftaran gugatan oleh para pihak, dalam hal ini Penggugat ke Pengadilan Negeri. Pada hari sidang pertama, Majelis Hakim mengupayakan perdamaian kepada para pihak. Dengan mengupayakan perdamaian itu diarahkan agar para pihak melalui proses mediasi terlebih dahulu. Dalam Perma No. 2 Tahun 2003, ditentukan bahwa Majelis Hakim yang menangani perkara itu berbeda dengan mediator yang nanti akan mencoba akan mendamaikan kedua belah pihak. Selanjutnya dalam Perma tersebut, mediator bisa terdiri dari Hakim dan non Hakim. Begitu juga dengan tempat pelaksanaan mediasi, para pihak diberi alternatif, apakah mediasi dilaksanakan di Pengadilan atau di luar

10


(11)

Pengadilan. Apabila para pihak memilih tempat pelaksanaan mediasi di dalam Pengadilan, maka para pihak boleh memilih Hakim yang akan menjadi mediatornya.

Kesepakatan damai yang telah dicapai oleh para pihak, haruslah merupakan acceptable solution, yaitu kesepakatan yang dapat diterima oleh kedua belah pihak . Jika usaha perdamaian berhasil, maka para pihak membuat Perjanjian Perdamaian yang berisikan kesepakatan-kesepatan para pihak, kemudian diajukan kepada Hakim untuk diputus dalam bentuk putusan dan kekuatan putusan tersebut sama dengan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, mengingat salah satu tujuan Perma No. 2 Tahun 2003 dibentuk adalah sebagai upaya untuk membantu Lembaga Pengadilan dalam rangka mengurangi beban penumpukan perkara, maka untuk melihat pelaksanaan mediasi berdasarkan Perma No. 2 Tahun 2003 di Pengadilan Negeri Medan, menjadi latar belakang penulisan penelitian tesis ini.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka yang menjadi pokok permasalahan yang akan diteliti adalah :

1. Bagaimanakah pelaksanaan mediasi berdasarkan Perma No. 2 Tahun 2003 di Pengadilan Negeri Medan ?

2. Faktor apa yang menjadi hambatan keberhasilan pelaksanaan mediasi berdasarkan Perma No. 2 Tahun 2003 di Pengadilan Negeri Medan ?


(12)

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui dan menganalisis pelaksanaan mediasi berdasarkan Perma No. 2 Tahun 2003 di Pengadilan Negeri Medan

2. Untuk mengetahui dan menganalisis faktor apa yang menjadi hambatan keberhasilan pelaksanaan mediasi berdasarkan Perma No. 2 Tahun 2003 di Pengadilan Negeri Medan

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dilakukan agar dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis.

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk mengembangkan pemikiran tentang pentingnya mediasi.

Secara praktis :

a. Penelitian ini ditujukan bagi kalangan bisnis (pelaku usaha) yang sangat rentan dengan berbagai konflik internal maupun eksternal.

b. Sebagai informasi bagi masyarakat tentang pentingnya mediasi.

c. Sebagai bahan kajian bagi akademisi, mahasiswa dan untuk menambah wawasan ilmu khususnya di bidang mediasi.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan dari perumusan dan hasil–hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai Mediasi Sebagai Salah Satu Penyelesaian Alternatif Berdasarkan Perma


(13)

No. 2 Tahun 2003 di Pengadilan Negeri Medan ini belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan yang sama, sehingga penelitian ini asli, baik dari segi materi maupun metode pendekatan dalam menganalisis bahan hukum primer, sekunder dan tertier, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka untuk kritikan–kritikan yang sifatnya membangun sehubungan dengan topik dan permasalahan dalam penelitian ini.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Penyelesaian sengketa (perselisihan) secara damai (musyawarah muakat) sudah merupakan budaya dalam masyarakat adat tradisional di Indonesia. Penyelesaian sengketa secara damai ini dikenal pada zaman Hindia Belanda, yang disebut dengan “Peradilan Desa” (Dorpsjustitie), sebagaimana diatur dalam Pasal 3 RO.11 Menurut Pasal tersebut dikatakan :

1. Semua perkara yang menurut hukum adat termasuk kekuasaan Hakim dari masyarakat hukum kecil-kecil (Hakim Desa) tetap diadili oleh para Hakim tersebut.

2. Ketentuan ayat di muka tidak mengurangi sedikitpun hak yang berperkara untuk Setiap waktu mengajukan perkaranya kepada Hakim-Hakim yang lebih tinggi.

3. Hakim-Hakim yang dimaksud pada ayat (1) mengadili perkara Menurut hukum adat, mereka tidak boleh menjatuhi hukuman.

11

H. Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, (Bandung : Mandar Maju, 2003), h. 247.


(14)

Jika terjadi perselisihan di kampung, di dusun, di tempat pemukiman, maka untuk memulihkan gangguan keseimbangan keluarga dan masyarakat bersangkutan diselesaikan secara langsung di tempat kejadian antara pribadi yang bersangkutan, atau diselesaikan di rumah keluarga salah satu pihak yang bersangkutan, atau antara tetangga daslam kesatuan rukun tetangga.

Apabila pertemuan yang diselenggarakan pribadi, keluarga atau tetangga tersebut tidak mencapai kesepakatan, atau karena satu dan lain hal tidak berkelanjutan, sehingga perkaranya perlu dilanjutkan kepada Kepala Kerabat atau Kepala Adat. Di daerah Lampung misalnya, perselisihan “kawin lari” di antara sesama orang Lampung, harus diselesaikan oleh Kepala Kerabat atau Kepala Adat.12

Penyelesaian perselisihan secara damai yang dilakukan oleh Kepala Desa dilaksanakan di Balai Desa, yang disebut dengan Peradilan Desa (Doorpsjustitie), sebagai upaya untuk mencapai kesepakatan, Kepala Desa berusaha antara lain : a. Menerima dan mempelajari pengaduan yang disampaikan kepadanya.

b. Memerintahkan Perangkat Desa atau Kepala Dusun untuk menyelidiki kasus perkara, dengan menghubungi para pihak yang bersangkutan.

c. Mengatur dan menetapkan waktu persidangan serta menyiapkan persidangan di Balai Desa.

d. Mengundang para Sesepuh Desa yang akan mendampingi Kepala Desa memimpin persidangan, dan lainnya yang dianggap perlu.

12


(15)

e. Mengundang para pihak yang berselisih, para saksi untuk di dengar keterangannya.

f. Membuka persidangan dengan menawarkan perdamaian di antara kedua belah pihak.

g. Memeriksa perkara, mendengar keterangan saksi, pendapat para Sesepuh Desa, Kepala Dusun yang bersangkutan dan lainnya.

h. Mempertimbangkan dan menetapkan keputusan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.

Cara penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh Kepala Desa atau Kepala Adat bertujuan untuk mewujudkan perdamaian antara kedua belah pihak, bukan mencari siapa yang benar dan siapa yang salah, dengan demikian keseimbangan yang terganggu di antara para pihak dapat dipulihkan kembali, sebagaimana dikatakan Ter Haar : “Hij moet trachten aan te sluiten op de roekoenanpraktijk der Indonesiers, hoe dmeer hoe beter”. Jadi Kepala Desa sebagai juru damai harus berusaha sebanyak mungkin agar kebiasaan rukunan orang-orang Indonesia tetap dipertahankan.13

Penyelesaian sengketa secara damai juga dikenal di kota-kota kecil, besar atau di daerah di mana penduduknya heterogen, di mana terdapat perkumpulan atau organisasi kemasyarakatan, seperti halnya perkumpulan-perkumpulan kekeluargaan masyarakat adat di perantauan, perkumpulan kepemudaan dan kewanitaan, perkumpulan keagamaan dan lainnya. Apabila terjadi pertikaian di antara anggota, maka yang bertindak sebagai juru damai adalah ketua perkumpulan bersangkutan.

13


(16)

Begitu pula jika peristiwa yang terjadi itu bukan di antara sesama anggota, melainkan terjadi dengan orang luar perkumpulan atau perkumpulan lain, maka pimpinan perkumpulan itu masing-masing mengadakan perundingan dan menyelesaikan perselisihan di antara perkumpulan mereka, dengan rukun dan damai.

Dengan meminjam istilah Koesnoe yasng disebutnya dengan Ajaran Menyelesaikan, sebagai lawan dari Ajaran Memutus. Ajaran Menyelesaikan menitikberatkan pada penyelesaian sebuah sengketa dengan cara musyawarah mufakat, sehingga hasilnya dapat memulihkan kembali hubungan di antara para pihak yang bersengketa seperti sebelum terjadinya sengketa.14

Pada dasarnya perselisihan yang terjadi di masyarakat diselesaikan secara musyawarah mufakat. Penyelesaian melalui Litigasi sedapat mungkin dihindari. Gagasan untuk menghindari penyelesaian secara litigasi dan anjuran berkompromi pernah disampaikan oleh Abraham Lincoln pada tahun 1850 dengan ucapan : “Discorage Litigation. Persuade your neighbors to compromise whenever you can. Point out to them how nominal winner is often a real loser in fees, expenses, and waste of time”.15

Apabila mengacu kepada penyelesaian sengketa atau masalah dengan cara musyawarah mufakat Seperti yang telah dikemukakan di atas, maka untuk mencapai penyelesaian masalah atau sengketa harus dibangun paradigma baru, yaitu mengubah

14

Runtung, Pemberdayaan Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Adat pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (1 April 2006), h. 7.

15


(17)

paradigma mengadili menjadi menyelesaikan masalah atau sengketa. Paradigma baru ini akan mencakup empat strategi pokok, yaitu :

Pertama; revitalisasi fungsi Pengadilan untuk mendamaikan pihak-pihak yang menghadapi sengketa hukum. Fungsi ini terutama berkaitan dengan sengketa hukum yang bukan perkara pidana. Sesuai dengan ketentuan yang sudah ada Hakim wajib berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mempertemukan dan meyakinkan pihak-pihak untuk menyelesaikan sengketa yang sedang dihadapi secara damai menuju prinsip win-win solution. Pihak-pihak diwajibkan untuk secara sungguh-sungguh (compulsory) dan di bawah supervisi Hakim untuk menyelesaikan sengketa hukum secara damai.

Kedua; revitalisasi pranata-pranata sosial dengan memberikan dasar-dasar yang lebih kuat bagi pengembangan lembaga penyelesaian (ADR) seperti arbitrase, mediasi, maupun perdamaian di luar Pengadilan. Pada saat ini telah ada BANI dan BMN. Selain itu, perlu didorong peran-peran lain seperti lembaga bantuan hukum untuk mediasi, dan lain-lain.

Ketiga; menata kembali tata cara penyelesaian suatu perkara menjadi lebih efisien, efektif, produktif, dan mencerminkan keterpaduan sistem diantara unsur-unsur penegak hukum dengan merinci pembagian tugas dan wewenang yang tegas diantara para penegak hukum. Prinsip sistem peradilan terpadu dalam perkara pidana (integrated criminal justice system), tidak cukup mengatur hubungan koordinasi diantara para penegak hukum. Tanpa mengurangi maksud membangun kemandirian dan tanggung jawab masing-masing penegak hukum seperti “hubungan


(18)

pertimbangan” atau “hubungan supervisi” agar suatu proses perkara tidak terhenti akibat suatu formalitas yang kurang atau tidak dipenuhi secara sempurna.

Keempat; menata kembali hak-hak berperkara yang menyebabkan penyelesaian yang berlarut-larut, dan mengandung berbagai potensi konflik “permanen” diantara pihak-pihak atau mereka yang terkena perkara. Strategi ini berkaitan dengan pembatasan hak kasasi yang dapat didasarkan kepada nilai perkara, ancaman pidana, atau sifat perkara. Yang terakhir ini berkaitan dengan perkara-perkara di bidang (hukum) kekeluargaan (perceraian, pemeliharaan anak, pengangkatan anak, harga perkawinan dan lain-lain). pembatasan hak kasasi pada perkara-perkara (hukum) kekeluargaan dimaksudkan agar dapat tuntas secepat mungkin mengingat kepentingan-kepentingan dari pihak dan orang ketiga (seperti anak) yang bersangkutan dalam perkara tersebut.16

Rumusan Pasal 1 angka 10 dan alinea ke sembilan dari Penjelasan Umum Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dikatakan bahwa masyarakat dimungkinkan memakai alternatif lain dalam melakukan penyelesaian sengketa. Alternatif tersebut dapat dilakukan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli. Sementara itu yang dimaksud alternatif penyelesaian sengketa adalah suatu pranata penyelesaian

16


(19)

sengketa di luar Pengadilan atau dengan cara mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.17

Alternatif penyelesaian sengketa di luar Pengadilan tersebut akan segera diuraikan di bawah ini :

1. Konsultasi

Meskipun konsultasi alternatif penyelesaian sengketa tersebut dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, namun tidak ada satu Pasal-pun yang menjelaskannya.

Dengan mengutip Black’s Law Dictionary, Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani menguraikan bahwa pada prinsipnya Konsultasi merupakan tindakan yang bersifat “personal” antara suatu pihak tertentu, yang disebut dengan “klien” dengan pihak lain yang merupakan “konsultan”, yang memberikan pendapatnya kepada klien tersebut untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan kliennya tersebut. Tidak ada suatu rumusan yang mengharuskan si klien mengikuti pendapat yang disampaikan konsultan. Jadi hal ini konsultan hanyalah memberikan pendapat (hukum), sebagaimana diminta oleh kliennya, yang untuk selanjutnya keputusan mengenai penyelesaian sengketa tersebut akan diambil sendiri oleh para pihak meskipun adakalanya pihak konsultan juga diberikan

17

Budhy Budiman, Mencari Model Ideal Penyelesaian Sengketa, Kajian Terhadap Praktek Peradilan Perdata dan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, (Jurnal Ilmiah), dapat dilihat di situs : www.pemantauperadilan.com, diakses terakhir tanggal 07 Desember 2005.


(20)

kesempatan untuk merumuskan bentuk-bentuk penyelesaian sengketa yang dikehendaki oleh para pihak yang bersengketa tersebut.18

2. Negosiasi dan Perdamaian

Menurut Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 pada dasarnya para pihak dapat berhak untuk menyelesaikan sendiri sengketa yang timbul di antara mereka. Kesepakatan mengenai penyelesaian tersebut selanjutnya harus dituangkan dalam bentuk tertulis yang disetujui oleh para pihak. Negosiasi adalah mirip dengan perdamaian sebagaimana diatur dalam Pasal 1851 s/d 1864 KUH Perdata, dimana perdamaian itu adalah suatu persetujuan diantara kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung atau mencegah timbulnya suatu perkara. Persetujuan mana harus dibuat secara tertulis dengan ancaman tidak sah. Namun ada beberapa hal yang membedakan, yaitu negosisasi diberikan tenggang waktu penyelesaian paling lama 14 hari, dan penyelesaian sengketa tersebut harus dilakukan dalam bentuk pertemuan langsung oleh dan di antara para pihak yang bersengketa.

Perbedaan lain adalah bahwa negosiasi merupakan salah satu lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang dilaksanakan di luar Pengadilan, sedangkan perdamaian dapat dilakukan baik sebelum proses persidangan Pengadilan

18

Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, (Jakarta : Rajawali Press, 2000), h. 10.


(21)

dilakukan maupun setelah sidang peradilan dilaksanakan, baik di dalam maupun di luar Pengadilan.19

3. Mediasi

Berdasarkan Pasal 6 ayat 3 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999, atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan “seorang atau lebih penasehat ahli” maupun melalui seorang mediator. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat bagi para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik. Hal tersebut sesuai dengan azas iktikad baik di mana setiap orang yang membuat suatu perjanjian harus dilakukan dengan iktikad baik. Maksudnya, bahwa cara menjalankan suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan kepatutan dan keadilan. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata.20 Demikian juga halnya dalam melakukan proses mediasi di Pengadilan sesuai dengan Perma No. 2 Tahun 2003 berdasarkan azas pacta sunt servanda perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam proses mediasi adalah bersifat mengikat bagi para pihak yang membuatnya dan menjadi undang-undang bagi para pihak. Hal tersebut adalah untuk mendapatkan kepastian hukum. Menurut Subekti, tujuan azas pacta sunt servanda adalah untuk memberikan perlindungan kepada para pihak agar tidak khawatir akan hak-haknya karena perjanjian itu

19

Agnes M. Toor, dkk, Arbitrase di Indonesia, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1995), h. 10.

20


(22)

berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.21 Dengan demikian suatu perjanjian harus ada suatu kata sepakat dari mereka yang membuat perjanjian sesuai dengan syarat sah suatu perjanjian yang dianut dalam ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata yang mempunyai azas konsensualitas. Maka, dalam proses mediasi yang memuat perjanjian perdamaian diantara para pihak harus sesuai dengan ketentuan azas konsensualitas berdasarkan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata tersebut.22

Kemudian kesepakatan tertulis yang telah disepakati oleh kedua belah pihak tersebut wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak penandatanganan, dan wajib dilaksanakan dalam waktu selama 30 (tiga puluh) hari sejak pendaftaran.23

4. Konsiliasi dan perdamaian

Seperti pranata alternatif penyelesaian sengketa yang telah diuraikan di atas, konsiliasipun tidak dirumuskan secara jelas dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 sebagai suatu bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar Pengadilan adalah suatu tindakan atau proses untuk mencapai perdamaian di luar Pengadilan. Untuk mencegah dilaksanakan proses ligitasi, melainkan juga dalam setiap tingkat peradilan yang sedang berjalan, baik di dalam maupun di luar

21

A. Qirom Syamsudin Meliala, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya, (Yogyakarta : Liberty, 1985), h. 20.

22

Ibid.

23

Lihat ketentuan Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.


(23)

Pengadilan, dengan pengecualian untuk hal-hal atau sengketa di mana telah diperoleh suatu putusan Hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.24

Penyelesaian perkara melalui mediasi mengandung berbagai keuntungan substansial dan psikologis yang terpenting diantaranya, yakni :

a. Penyelesaian bersifat informal.

Penyelesaian melalui pendekatan nurani, bukan berdasarkan hukum dari kedua belah pihak yang melepaskan diri dari kekakuan istilah hukum (legal term) kepada pendekatan yang bercorak nurani dan moral. Menjauhkan doktrin dan azas pembuktian ke arah persamaan persepsi yang saling menguntungkan.

b. Menyelesaikan sengketa para pihak secara tersendiri.

Penyelesaian ini tidak diserahkan kepada kemauan dan kehendak Hakim ataupun arbiter tetapi diselesaikan para pihak tersendiri sesuai dengan kemauan mereka, karena merekalah yang lebih tahu hal-hal yang sebenarnya dan sesungguhnya atas sengketa yang dipermasalahkan.

c. Jangka waktu penyelesaian pendek

Pada umumnya jangka waktunya relatif singkat atau pendek berdasarkan ketulusan dan kerendahan hati para pihak oleh karenanya bersifat speedy (cepat). d. Biaya ringan

Perdamaian tidak memerlukan biaya yang mahal (very expensive).

24


(24)

e. Aturan pembuktian tidak perlu

Prinsip pembuktian yang formil dan teknis tidak esensil jikalau terjadi perdamaian.

f. Proses penyelesaian bersifat confidential

Penyelesaian perdamaian benar-benar bersifat rahasia (confidential) yakni: penyelesaiannya tertutup untuk umum, yang mengetahui hanya mediator, konsiliator atau advisor maupun ahli yang bertindak membantu proses perdamaian, oleh karenanya nama baik para pihak dalam lingkungan masyarakat dan bisnis tetap terjaga.

g. Hubungan para pihak bersifat cooperative

Dalam proses perdamaian tidak terjadi suatu permusuhan atau antagonisme, tetapi persaudaraan dan kerjasama para pihak menjauhkan dari rasa dendam dan permusuhan.

h. Komunikasi dan fokus penyelesaian

Dalam proses perdamaian terwujud komunikasi aktif diantara para pihak yang berkeinginan memperbaiki perselisihan ataupun kesalahan masa lalu menuju hubungan yang lebih baik untuk masa depan.

i. Hasil yang dituju sama menang

Hasil yang dicari dan dituju para pihak dalam perdamaian dapat dikatakan luhur, yakni sama-sama menang atau disebut konsep win-win solution dengan menjauhkan diri dari sifat egoistik dan serakah atau menang sendiri, dengan


(25)

demikian tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang atau bukan winning or losing seperti penyelesaian melalui Pengadilan ataupun arbitrase.

j. Bebas emosi dan dendam

Perdamaian meredam sikap emosional yang tinggi dan bergejolak.ke arah suasana bebas emosi, oleh karenanya tujuan yang akan dicapai dapat terlaksana dengan baik.25

Oleh karenanya berdasarkan ketentuan Pasal 130 maupun Pasal 154 RBg pada asasnya mengenal dan menghendaki penyelesaian sengketa melalui cara damai. Adapun isi ketentuan Pasal 130 ayat (1) HIR berbunyi :

Jika pada hari yang ditentukan itu kedua belah pihak datang, maka Pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba akan memperdamaikan mereka, Selanjutnya ayat (2) mengatakan :

Jika perdamaian yang demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu bersidang, diperbuat sebuah surat (akta) tentang itu, dalam mana kedua belah pihak dihukum akan mentaati perjanjian yang diperbuat itu, surat mana akan berkekuatan dan akan dijalankan sebagai putusan yang biasa.26

Bertitik tolak dari ketentuan Pasal tersebut, sistem yang diatur dalam hukum acara perdata tentang penyelesaian perkara yang diajukan ke Pengadilan Negeri hampir sama dengan court connection arbitration system, dengan alasan sebagai berikut :

25

M.Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, Op.cit., h. 293.

26


(26)

1. Hakim membantu atau menolong para pihak yang berperkara untuk menyelesaikan sengketa dengan perdamaian,

2. Selanjutnya apabila tercapai kesepakatan diantara para pihak, kesepakatan tersebut dituangkan dalam bentuk perjanjian perdamaian yang ditandatangani para pihak dan terhadap perjanjian perdamaian tersebut dibuat suatu akta berupa putusan yang dijatuhkan Pengadilan yang mencantumkan amar, menghukum para pihak menepati perjanjian perdamaian, oleh karenanya hampir sama dengan court connection arbitration system.

Berdasarkan ketentuan Pasal 130 HIR dan Pasal 154 RBg pada prinsipnya lebih menghendaki penerapan konsep win-win solution yaitu sama-sama menang daripada penerapan winning or loosing yaitu menang atau kalah.

Kemudian berdasarkan Pasal 131 ayat (1) HIR menyatakan upaya Hakim untuk mendamaikan adalah bersifat inperatif yakni Hakim wajib berupaya untuk mendamaikan para pihak yang berperkara, maka oleh karenanya jika Hakim tidak dapat mendamaikan para pihak harus disebut didalam Berita Acara Sidang. Apabila didalam berita acara persidangan tidak mencantumkan upaya perdamaian yang dilakukan oleh Majelis Hakim maka proses pemeriksaan perkara tersebut mengandung cacat formil dan berakibat pemeriksaan batal demi hukum serta melanggar tata tertib beracara yang dikualifikasikan undue process.27

27

Siti Magadianti Adam, dan Clarita Degrantini, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian (Indonesian Institute for Conflict Transformation), (Jakarta : MaPPI FHUI, www.pemantauperadilan.com). Diakses terakhir tanggal 7 Desember 2005


(27)

Bertitik tolak dari pendekatan strict law, menyatakan : pemeriksaan yang sama sekali tidak memberi ruang terhadap perdamaian atau lalai mencantumkan tahap tersebut dalam berita acara, proses pemeriksaan yang dilakukan tidak memenuhi syarat formil, akibatnya pemeriksaan tidak sah dan batal demi hukum.

Kemudian penyelesaian melalui perdamaian diatur dalam Pasal 6 Perma yang berbunyi : Hakim berkewajiban mendorong para pihak untuk menyelesaikan perkara dimaksud melalui perdamaian, baik pada awal persidangan maupun selama berlangsungnya pemeriksaan perkara.28

Berdasarkan ketentuan Pasal 6 Perma dimaksud, dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Hakim wajib mendamaikan.

Penerapan kewajiban mendamaikan yang diatur dalam Pasal 6 Perma No. 2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, yaitu :

a. Kewenangannya berupa tindakan, yakni mendorong para pihak untuk menyelesaikan perkara melalui perdamaian, yang mana perdamaian tersebut diserahkan kepada keinginan para pihak dan Hakim tidak dapat memaksa para pihak untuk berdamai.

b. Berlangsungnya kewajiban mendorong perdamaian dapat diupayakan Hakim, mulai dari saat awal persidangan maupun selama proses pemeriksaan berlangsung sebelum sampai putusan dijatuhkan.

28


(28)

Dengan diterbitkannya Perma No. 2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang efektif berlaku mulai sejak 11 September 2003, memaksakan secara imperatif semua penyelesaian perkara mesti terlebih dahulu ditempuh melalui proses mediasi, dan apabila proses mediasi gagal, maka proses litigasi dapat dilanjutkan. 29

2. Perdamaian dituangkan dalam putusan perdamaian

Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 10 Perma No. 2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, tata cara pemeriksaaan perdamaian yang diatur dalam Pasal 6 tunduk kepada Pasal 130 HIR, dengan acuan sebagai berikut :

a. Para pihak menyepakati sendiri materi perdamaian.

b. Kesepakatan (agreement) dibuat dan dirumuskan di luar persidangan tanpa campur tangan Hakim.

c. Persetujuan dituangkan dalam bentuk tertulis dan ditandatangani para pihak dengan memakai kertas bermaterai.

d. Selanjutnya para pihak meminta kepada Hakim agar terhadap kesempatan itu dijatuhkan putusan perdamaian. Maka berdasarkan permintaan para pihak, Hakim menjatuhkan putusan yang memuat Diktum : “Menghukum para pihak memenuhi dan melaksanakan isi perdamaian”. Putusan demikian disebut dengan putusan acte van vergelijk atau acte van dading.30

29

Lihat ketentuan Perma No. 2 Tahun 2003 tentang prosedur mediasi di Pengadilan

30

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta : Liberty, 1988), h. 83.


(29)

Putusan perdamaian menurut Pasal 130 HIR dianggap sama dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap, yakni :

1. Tertutup terhadap upaya banding dan kasasi.

2. Langsung final dan mengikat (final and binding) kepada para pihak.

3. Serta langsung melekat padanya kekuatan eksekutorial (executorial kracht) sehingga apabila tidak dilaksanakan secara sukarela dapat dijalankan eksekusi melalui Pengadilan Negeri.31

2. Kerangka Konsep

Konseptual adalah merupakan definisi operasional dari berbagai istilah yang dipergunakan dalam tulisan ini sebagaimana dikemukakan M. Solly Lubis bahwa kerangka konsep adalah merupakan konsep secara internal pada pembaca yang mendapat stimulasi dan dorongan konseptual dari bacaan dan tinjauan pustaka.32

Adapun definisi operasional dari berbagai istilah tersebut adalah sebagai berikut :

Mediasi adalah merupakan bentuk proses penyelesaian sengketa alternatif atau Alternative Dispute Resolution (ADR) yang merupakan salah satu proses dengan cara cepat dan biaya murah serta dapat memberikan akses kepada para pihak yang bersengketa untuk memperoleh keadilan atau penyelesaian yang memuaskan atas sengketa yang dihadapinya ataupun para pihak yang bersengketa dapat

31

R. Subekti, Arbitrase Perdagangan, (Jakarta : BPHN-Bina Cipta, 1981), h. 160.

32


(30)

mendiskusikan perbedaan-perbedaan di antara para pihak secara pribadi dengan bantuan pihak ketiga yang netral (mediator).

Perma No. 2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan adalah merupakan suatu peraturan yang dibuat oleh Mahkamah Agung RI tentang prosedur mediasi di Pengadilan khususnya di Pengadilan Negeri sebagai judex factie yang mengatur bagaimana tugas dan peran serta kewenangan seorang Hakim tingkat pertama (judex factie) di Pengadilan sebagai ranah pencari keadilan yang pertama-tama berupaya untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa melalui proses mediasi.

G. Metode Penelitian

Metode penelitian yang dipergunakan untuk menjawab permasalahan yang timbul dalam tesis ini adalah :

1. Spesifikasi dan Pendekatan Penelitian

Sifat penelitian yang digunakan bersifat deskriptif analitis yang bertujuan menggambarkan permasalahan yang bertujuan untuk membangun dan menguji hipotesa-hipotesa atau teori-teori33 yang berkaitan dengan Pelaksanaan Mediasi berdasarkan Perma No. 2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Negeri Medan.

33

Alfi Syahrin, Pengaturan Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Pemukiman Berkelanjutan, (Medan : Pustaka Bangsa Pers, 2003).


(31)

Dalam penelitian tesis digunakan metode pendekatan yuridis normatif yang dilakukan dengan cara terlebih dahulu meneliti bahan-bahan kepustakaan yang relevan dengan permasalahan yang diteliti dan mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, pendapat ahli hukum, dan hakim Pengadilan Negeri Medan yang pernah menangani mediasi.

2. Sumber Data

Adapun sumber data yang dipergunakan untuk mendukung penelitian ini adalah data sekunder, yakni diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library research) yang dilakukan adalah upaya memperoleh data sekunder berupa norma-norma hukum, undang-undang, pendapat ahli hukum, dokumen-dokumen dan keterangan atau informasi dari seluruh mediator dan pihak Pengadilan Negeri Medan. Data sekunder dalam penelitian ini meliputi bahan-bahan hukum seperti bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Sehingga penulisan tesis dapat menghasilkan suatu kesimpulan yang diharapkan. Adapun pembagian bahan hukum primer, sekunder dan tertier terdiri dari :

a. Bahan Hukum Primer

Peraturan perundang–undangan dalam hal ini adalah HIR, RBg, Perma No. 2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.


(32)

b. Bahan Hukum Sekunder

Memberikan penjelasan bahan hukum primer, dalam hal ini hasil penelitian para ahli, pendapat beberapa ahli hukum yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Untuk mendapat data yang lebih mendalam dilakukan dengan cara wawancara (Depth Interview) kepada Ketua Pengadilan Negeri Medan, mediator, Advokat, para pihak yang pernah menangani mediasi di Pengadilan Negeri Medan, sehingga menghasilkan wawancara yang relevan dengan permasalahan yang diteliti.

c. Bahan Hukum Tertier

Bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, dalam hal ini kamus hukum Ensiklopedia.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah Penelitian Kepustakaan (Library Research) yang dilakukan untuk memperoleh data sekunder, maka pengumpulan data ditempuh dengan melakukan penelitian kepustakaan yang berkaitan dengan mediasi, dengan langkah-langkah sebagai berikut :

a. Menginvetarisir dan menilai peraturan perundang-undangan, karya ilmiah, hasil penelitian, majalah dan dokumen lainnya yang erat kaitannya dengan masalah yang diteliti.

b. Menginventarisir dan menilai buku-buku literatur yang pokok pembahasannya berkenaan dengan permasalahan yang diteliti.


(33)

c. Mengadakan wawancara dengan metode wawancara terstruktur, artinya pertanyaan diarahkan untuk mendapatkan data objek penelitian yang terdiri dari variabel mediasi sebagai salah satu penyelesaian sengketa alternatif berdasarkan Perma No. 2 Tahun 2003 di Pengadilan Negeri Medan, faktor-faktor apa saja yang menjadi hambatan keberhasilan pelaksanaan Perma No. 2 Tahun 2003 di Pengadilan Negeri Medan. Maka wawancara terstruktur ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri Medan, seluruh Hakim Mediator Hakim Pengadilan Negeri Medan, Advokat dan para pihak yang pernah berperkara di Pengadilan Negeri Medan. Untuk keperluan wawancara tersebut Peneliti melalukan persiapan-persiapan seperti isi wawancara, catatan-catatan hasil wawancara.

4. Alat Pengumpulan Data

Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data sekunder adalah dengan lebih dahulu mengadakan studi dokumen baik tertulis maupun elektronik (internet) yang kemudian dilakukan inventarisasi secara sistematis sesuai dengan permasalahan yang dikemukakan.34 Alat pengumpulan data yang digunakan :

a. Studi Dokumen

Yaitu menemukan azas-azas hukum, Pasal-Pasal, peraturan Perundang-undangan yang berlaku, teori-teori hukum, doktrin-doktrin hukum, yurisprudensi, dan hal-hal yang relevan guna menunjang kualitas dan kesempurnaan tesis ini.

34

Bambang Sugono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005) h. 82


(34)

b. Wawancara

Wawancara dilakukan dengan narasumber, antara lain : Ketua Pengadilan Negeri Medan, mediator, advokat dan para pihak yang pernah berperkara di Pengadilan Negeri Medan, yang bersifat menunjang penelitian kepustakaan yang juga dimaksudkan untuk menambah kekuranglengkapan data studi kepustakaan.

5. Analisis Data

Analisis data merupakan proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.

Data primer maupun sekunder dilakukan analisis penelitian dengan analisis kualitatif, juga dilakukan interpretasi secara logis dan sistematis, selanjutnya dilakukan penarikan kesimpulan dengan menggunakan logika berpikir secara induktif – deduktif yang akan membantu penelitian ini dalam taraf konsistensi, serta konseptual dan prosedur tata cara sebagaimana yang ditetapkan oleh azas-azas hukum yang berlaku di dalam perundang-undangan yang bertujuan untuk memberikan gambaran terhadap permasalahan yang akan dijawab.35

35

Lexi Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi), (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2007), h. 248.


(35)

BAB II

MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF

PENYELESAIAN SENGKETA

Alternatif penyelesaian sengketa atau secara umum disebut Alternative Dispute Resolution (ADR) adalah suatu pranata penyelesaian sengketa di luar Pengadilan atau dengan cara mengesampingkan penyelesaian sengketa secara litigasi di Pengadilan Negeri.

ADR sebetulnya sudah sejak lama secara informal dilaksanakan dalam masyarakat Indonesia. Langkah ini konsisten dengan musyawarah dalam Pancasila yang secara kultur mudah diterima, karena kedua belah pihak yang bersengketa sama-sama menang (win-win solution).

Alternatif penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan dengan cara konsultasi, negoisasi, mediasi dan konsiliasi.36 Pada prinsipnya konsultasi merupakan tindakan yang bersifat personal antara suatu pihak tertentu yang disebut dengan ”klien” dengan pihak lain yang merupakan ”konsultan”, yang memberikan pendapatnya kepada klien tersebut untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan kliennya tersebut.37

Negosiasi adalah suatu cara untuk menetapkan keputusan yang dapat disepakati atau diterima oleh dua belah pihak menyetujui apa dan bagaimana tindakan

36

Ketentuan Pasal 1 Angka 10 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

37

Budhy Budiman, Mencari Model Ideal Penyelesaian Sengketa, Kajian Terhadap Praktik Peradilan Perdata dan Undang-undang No. 30 Tahun 1999, versi elektronik dapat dilihat di : http://www.uika.bogor.ac.id/jur_05.htm. diakses terakhir tanggal 17 Juli 2007.


(36)

yang akan dilakukan di masa mendatang. Pengertian negosiasi ini dijelaskan dalam buku ”Teach Yourself Negotiations”, karangan Phil Bagley.38

Bentuk lain dari alternatif penyelesaian sengketa adalah Arbitrase. Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.39

Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.40

Berdasarkan pada ketentuan Pasal 3 UU No. 30 Tahun 1999, diketahui bahwa penyelesaian perselisihan atau sengketa melalui arbitrase memiliki kompetensi absolut terhadap penyelesaian perselisihan atau sengketa melalui Pengadilan. Ini berarti bahwa setiap perjanjian yang telah mencantumkam klausula arbitrase atau suatu perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak, menghapuskan kewenangan dari Pengadilan untuk menyelesaikan setiap perselisihan atau sengketa yang timbul dari perjanjian yang memuat klausula arbitrase tersebut atau yang telah timbul sebelum ditandatanganinya perjanjian arbitrase oleh para pihak.41

38

Negoisasi, Harian Sinar Harapan, (4 April 2002).

39

Ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

40

Ketentuan Pasal 1 angka 8 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

41

Gunawan Widjaja, Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001), h. 98


(37)

Defenisi dari perjanjian arbitrase yang diberikan dalam UU No. 30 Tahun 1999, dapat dikatakan bahwa pada dasarnya perjanjian arbitrase dapat terwujud dalam bentuk suatu kesepakatan berupa :

1. Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulilis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau

2. Suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat oleh para pihak setelah timbul sengketa.42

Bentuk yang paling sering dilakukan dari alternatif penyelesaian sengketa adalah mediasi. Sekarang di mana-mana dijadikan pilihan pertama dalam penyelesaian pertikaian.43 Mediasi sebetulnya tidak lebih merupakan negoisasi yang dilakukan dengan dukungan seorang profesional.

A. Pengertian Mediasi

Fenomena pertumbuhan terkait dengan penggunaan mediasi pada tahun terakhir ini sudah menjadi pembahasan yang penting dalam hal apa sebenarnya yang termasuk sebagai mediasi dan apa yang bukan sebagai mediasi. Selanjutnya adalah bagaimana hal tersebut berbeda dengan yang lain terkait dalam penyelesaian perselisihan alternatif yang sesuai, seperti arbitrase yang mengikat dan yang tidak mengikat, evaluasi netral dan keputusan Pengadilan. Perbedaan utama antara mediasi

42

Ibid., hal. 99

43

ADR, Jalan Mudah, Murah dalam Penyelesaian Sengketa, Harian Sinar Harapan, (10 September 2003).


(38)

dan proses lain adalah bahwa dalam mediasi, maka pihak yang berselisih memiliki kekuasaan dalam pembuatan keputusan.

Jaringan Mediasi Kalifornia Utara, organisasi non-profit yang didirikan pada tahun 1985 satu organisasi untuk meramalkan pertumbuhan dan perkembangan program mediasi di masyarakat, sudah melihat penggunaan mediasi, seperti yang dipraktekkan oleh anggota pusat, berkembang di luar dari proses sederhana terhadap penyelesaian masalah.44

Untuk mengetahui lebih jauh tentang apa yang dimaksud dengan mediasi, berikut ini akan diuraikan pengertian dan penjelasan tentang mediasi. Gary Godpaster mengemukakan mediasi adalah proses negosiasi pemecahan masalah dimana pihak luar yang tidak memihak (impartial) dan netral bekerja dengan pihak yang bersengketa untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan perjanjian yang memuaskan. Berbeda dengan Hakim atau arbiter, mediator tidak mempunyai wwenang untuk memutuskan sengketa antara para pihak. Namun dalam hal ini para pihak menguasakan kepada mediator untuk membantu mereka menyelesaikan persoalan-persoalan diantara mereka. Asumsinya bahwa pihak ketiga akan mampu mengubah kekuatan dan dinamika sosial hubungan konflik dengan cara mempengaruhi kepercayaan dan tingkah laku pribadi para pihak, dengan memberikan pengetahuan atau informasi, atau dengan menggunakan proses negosiasi yang lebih

44

Definition of Mediation, versi elektronik dapat dilihat di : http://www.mnne.org/pg_11.efm. diakses terakhir tanggal 10 Juli 2007.


(39)

efektif, dan dengan demikian membantu para peserta untuk menyelesaian persoalan-persoalan yang dipersengketakan.45

Jacqueline M. Nolan Haley, mengemukakan batasan mediasi sebagai berikut : ”mediation is generally understood to be a short-term structured, task-oriented, participatory intervention process. Disputing partties work with a neutral thirt party, the mediator, to reach a mutuallu acceptable agreement. Unlike the udjudication process, where a thirt party intervenor inposes a decision, no such compulsion exist in mediation. It is the parties themselves who shape their agreement”.46

Kimberlee K Kovach merumuskan batasan mediasi adalah :

”Facilited negotiation, it is a proces by which a neutral thirt party , the mediator, assists disputing parties in reaching a mutually satisfactory resolution”.47

Mark E Roszkowski, mengemukakan bahwa:

”mediation is a relatively informal process in which a neutral thirt party, the mediator, help to resolve a dispute. In many respect therefore, mediator can be considered as structured negotiation in which the mediator facilitates the process”.48

Selanjutnya, kamus hukum ekonomi ELIPS, mengatakan bahwa : ”Mediasi salah satu alternatif penyelesaian sengketa di luar Pengadilan dengan menggunakan jasa seorang mediator atau penengah, sama seperti konsiliasi”.49

45

Gary Goodpaster, Negosiasi dan Mediasi : Sebuah Pedoman Negosiasi dan Penyelesaian Sengketa Melalui Negosiasi, (Jakarta : Elips Project, 1993), h. 201.

46

Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003), h. 80.

47

Ibid.

48

Ibid., h. 81

49


(40)

Dalam Blak’s Law Dictionary dikatakkan bahwa mediasi adalah : ”mediation is private, informal dispute resolution process in which a neutral thirt person, the mediator, helps disputing parties to reach an agreement. The mediator has no power to impose a decision to impose a decision on the parties.50

Menurut Kamus Besar bahasa Indonesia, mediasi adalah proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasehat.51

Menurut John W. Head, mediasi adalah suatu prosedur penengahan di mana seseorang bertindak sebagai ”kendaraan” untuk berkomunikasi antar para pihak, sehingga pandangan mereka yang berbeda atas sengketa tersebut dapat dipahami dan mungkin didamaikan, tetapi tanggung jawab utama tercapainya suatu perdamaian tetap berada di tangan para pihak sendiri. Dari definisi tersebut, mediator dianggap sebagai ”kendaraan” bagi para pihak untuk berkomunikasi.52

Christopher W. Moore menyebutkan bahwa mediasi adalah intervensi dalam sebuah sengketa atau negosiasi oleh pihak ketiga yang bisa diterima pihak yang bersengketa, bukan merupakan bagian dari kedua belah pihak dan bersifat netral. Pihak ketiga ini tidak mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan. Dia bertugas untuk membantu pihak-pihak yang bertikai agar secara sukarela mau

50

Gunawan Widjaja, Loc.cit

51

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2000), h. 726

52


(41)

mencapai kata sepakat yang diterima oleh masing-masing dalam suatu persengketaan.53

Selanjutnya Rachmadi Usman menyimpulkan bahwa mediasi adalah cara penyelesaian sengketa di luar Pengadilan melalui perundingan yang melibatkan pihak ketiga yang bersifat netral (non-intervensi) dan tidak berpihak (impartial) kepada pihak-pihak yang bersengketa. Pihak ketiga tersebut disebut ”mediator” atau ”penengah”.

Menurut Kamus Hukum, mediasi adalah usaha untuk menyelesaikan perselisihan hukum melalui partisipasi aktif pihak ketiga (mediator) yang bekerja untuk menemukan poin kesepakatan dan membuat orang yang menghadapi konflik menemukan hasil yang baik. Mediasi berbeda dengan arbitrase dalam hal pihak ketiga (arbitor) bertindak menyerupai Hakim di luar Pengadilan, menyelesaikan masalah dengan cara tidak begitu formal, namun secara aktif berpartisipasi dalam pembahasan. Mediasi menjadi hal yang sangat umum dalam berusaha mengatasi masalah perselisihan hubungan dalam negeri (perceraian, perlindungan anak, kunjungan) dan sering diperintahkan oleh Hakim. Mediasi juga menjadi lebih sering dilakukan dalam kontrak dan dalam kasus kerugian sipil. Dalam hal ini ada mediator profesional atau Hakim yang tidak melakukan mediasi karena biaya substansial, namun biaya yang dibutuhkan dalam hal ini lebih sedikit daripada upaya yasng dilakukan di Pengadilan dan dapat mencapai kesepakatan lebih awal dan mengakhiri

53


(42)

kecemasan yang terjadi. Namun demikian, mediasi tidak selalu menghasilkan perdamaian.54

Ada juga yang mengatakan bahwa mediasi adalah cara yang bersifat sukarela dan rahasia dalam menyelesaikan perselisihan tanpa memberikan kekuatan untuk pembuatan keputusan kepada orang lain (seperti seorang Jaksa). Hal ini melibatkan duduk bersama dengan pihak lain yang berselisih dan pihak ketiga dalam hal ini adalah netral dan tidak memihak (mediator). Mediator membantu pihak yang ada untuk mengidentifikasi masalah yang penting dalam perselisihan tersebut dan memutuskan bagaimana perselisihan dapat diselesaikan dengan baik. Mediator dalam hal ini tidak mengatakan apa yang perlu dilakukan, atau membuat penilaian mengenai siapa yang benar dan siapa yang salah. Kendali atas hasil yang ada tetap ada pada pihak terkait.55

Menurut Perma No. 2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan : ”Mediasi adalah penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak dengan bantuan pihak ketiga”.56

Berdasarkan penjelasan sebagaimana telah diuraikan di atas, mediasi sebagai salah satu bentuk penyelesaian sengketa, bertujuan untuk membantu para pihak dalam mencapai kesepakatan yang lebih baik. Perselisihan yang dimaksud mungkin melibatkan negara, organisasi, masyarakat, individu atau perwakilan lainnya yang

54

Mediation-Definition, versi elektronik dapat dilihat di : http://www.hg.org/mediation-definition.html.

55

Ibid.

56

Ketentuan Pasal 1 Angka 6 Perma No. 2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.


(43)

mempunyai kepentingan di dalamnya. Mediator menggunakan teknik yang sesuai dan/atau keahlian dan memperbaiki dialog antara orang yang berselisih, dan bertujuan untuk membantu pihak-pihak yang berselisih mencapai kesepakatan (dengan hasil konkrit) terhadap masalah yang diperdebatkan. Biasanya, semua pihak yang ada harus menganggap mediator sebagai pihak luar. Mediasi dapat digunakan untuk berbagai perselisihan.

Mediasi memberikan peluang kepada pihak ketiga untuk membahas masalah yang muncul dalam hal biaya, menghilangkan kesalahpahaman, menentukan masalah yang ada. Mediator tidak mengatasi beban yang ada atau membuat keputusan terhadap pihak yang ada, melainkan mediator membantu pihak-pihak terkait untuk mencapai suatu kesepakatan. Proses mediasi bersifat rahasia. Informasi yang diungkapkan selama mediasi tidak akan dibeberkan kepada siapapun.

B. Sejarah dan Perkembangan Mediasi

Aktivitas mediasi sudah ada sejak zaman kuno. Ahli sejarah menjelaskan pertama kali ditemukan dalam kasus dalam perdagangan Phoenician (juga menggambarkan penggunaan di Babylon). Praktek yang dikembangkan di Yunani Kuno (yang dikenal dengan nama proxegenator), selanjutnya pada peradaban Roma (hukum Roma dimulai Justinian’s Digest, 530-533) dikenal adanya mediasi. Orang Roma menyebut mediator dengan beberapa nama seperti internuciusan, medium,


(44)

intercessor, philantrophus, interplolator, conciliator, interlocutor, interpres dan akhirnya mediator.57

Zaman pertengahan memandang mediasi tersebut dengan cara yang berbeda, dan kadang-kadang melarang praktek tersebut atau membatasi penggunaannya terhadap otoritas pusat. Beberapa budaya menganggap mediator sebagai figur yang suci, yang dihormati.

Mediasi berkembang pada abad ke duapuluh dalam arena sekuler di mana hal tersebut mulai dikenal memiliki peranan. Hukum konsiliasi berhubungan dengan hubungan industri dan tindakan yang diberlakukan di United Kingdom pada awal tahun 1896.

Selanjutnya di USA, proses alternatif penyelesaian sengketa (ADR) diberlakukan sebagai pilihan berawal dari Departemen Buruh AS (didirikan pada tahun 1913) dengan mengangkat satu panel yang disebut dengan ”komisioner konsiliasi” untuk mengatasi perselisihan manajemen.58 Komisioner ini menjadi dijadikan sebagai layanan komisioner AS dan pada tahun 1947 entitas tersebut menjadi Mediasi Federal dan Layanan Konsiliasi. Beberapa tulisan sebelumnya dalam ADR menggambarkan pengalaman tenaga kerja dan menggunakannya pada penyelesaian konflik yang terjadi.

Pada tahun 1926, Asosiasi Arbitrasi Amerika didirikan sebagai layanan perdagangan untuk penyelesaian masalah dalam sektor swasta. Asosiasi Keluarga dan

57

Mediation, versi elektronik, Op.cit.

58

Mediation ADR, versi elektronik dapat dilihat di : http://mediationadr.net/conflict/informationpublik-Meds/History.html.


(45)

Peradilan Konsiliasi didirikan pada tahun 1963 untuk mempromosikan konsiliasi keluarga sebagai suatu penyelesaian konflik keluarga. Mediasi keluarga menjadi bagian utama dalam pertumbuhan dan perkembangan ADR yaitu Asosiasi Mediasi Keluarga dan Akademi Mediator Keluarga.

Quakers memiliki sejarah yang panjang dalam hal mediasi dan arbitrase. Banyak model mediasi sebelumnya di AS didasarkan atas pekerjaan yang dilakukan di Quakers. Di kota New York, masyarakat Yahudi mendirikan forum mediasi sendiri. Imigran Cina mendirikan Masyarakat Benelovent Cina untuk menyelesaikan masalah perselisihan dalam keluarga dan dalam masyarakat dengan mediasi.

Pada tahun 1980, Kongres AS menyetujui Hukum Penyelesaian Perselisihan memerintahkan program nasional ADR untuk dicatat oleh Departemen KeHakiman. Namun, Kongres tidak mengikuti pelaksanaannya dengan mengeluarkan dana yang perlu untuk pelaksanaannya.

Banyak negara bagian berusaha mendanai program mediasi untuk mengatasi perselisihan pada banyak situasi termasuk keluarga, lingkungan, kontrak pemerintah dan bahkan untuk tingkat dasar.

Mediasi di Jepang, ditemukan sedikit pengacara mungkin karena dalam sejarah mereka banyak mempergunakan mediasi . Para pemimpin desa diharapkan untuk membantu warganya memecahkan perselisihan yang ada. hal ini dilakukan untuk menghindari banyaknya tantangan dalam proses litigasi secara formal dan hal ini merupakan penekanan terhadap penerapan prosedur informal dan mediasi. Mediasi saat sekarang ini merupakan bagian dari budaya bisnis.


(46)

Budaya Barat mengenal tradisi yang sangat lama tentang mediasi. Gereja-gereja digunakan sebagai tempat perlindunan dan pendeta sering bertindak sebagai mediator antara pelaku kejahatan dan pihak yang menuntut. Pada zaman pertengahan, pendeta Kristen dianggap sebagai perantara dalam menyelesaikan perselisihan antara keluarga dan bahkan dalam perselisihan dalam bentuk diplomatik. Pengadilan Rabbinikal menggunakan tradisi yang ada untuk menyelesaikan masalah yang timbul.

Budaya Islam memiliki tradisi yang kuat tentang mediasi dan konsiliasi sebagai pendekatan yang lebih dipilih dalam penggunaan quadis, kerjasama yang dilakukan untuk mencapai hidup yang harmonis dengan berusaha tetap melakukan kesepakatan dalam menyelesaikan masalah.

Sejarah mediasi di Cina dan Asia, Confucius percaya bahwa cara terbaik dalam menyelesaikan masalah perselisihan adalah melalui persuasi moral dan kesepakatan daripada dengan melakukan koersi. Pada manusia, terdapat suatu perasaan keharmonisan yang seharusnya tidak diganggu. Perdamaian dan saling memahami merupakan inti dari filsafatnya. Tradisi Budha mendorong penyelesaian perselisihan melalui kompromi daripada dengan koersi. Pada budaya ini, litigasi adalah pilihan terakhir dan ternyata mengakibatkan kerugian pada kedua belah pihak. Saat sekarang ini, orang-orang Republik Cina masih menekankan pada konsiliasi dan mediasi yang digunakan dalam penyelesaian perselisihan.

Di Texas, Pengadilan Federal, Distrik dan Daerah berusaha mencari alternatif atas proses peradilan yang panjang dan jumlah gugatan yang sangat banyak telah terakumulasi dalam 20 tahun terakhir. Namun gerakan terhadap penyelesaian


(47)

perselisihan di luar dari lembaga yang ada sudah mendapatkan momentum dan alternatif penyelesaian sengketa (ADR) memperluas ruang lingkup, kekuasaan, keuangan dan kepemimpinan.

Konstitusi Texas pada tahun 1845 membicarakan akan pentingnya arbitrasi untuk perselisihan perselisihan warga. Namun, hal tersebut tidak sampai tahun 1978 di mana Kepala Pengadilan (Mahkamah Agung Texas) Joe R. Greenhill bertemu dengan Kepala Pengadilan Frank G. Evans (Pengadilan Tingkat Pertama) untuk membahas bagaimana caranya untuk menguragi proses peradilan yang panjang. Akhirnya, asosisi bar Houston mendirikan komite ADR dan merekomendasikan pendanaan dari pemerintah dan sektor swasta untuk Pusat Penyelesaian Perselisihan. Yang pertama dalam hal ini dibuka oleh Bar Houston dan Harries County pada bulan Oktober 1980.

Selanjutnya pada tahun yang sama, penyelesaian masalah secara mediasi di kota Dallas dibuka dan di kota Tarrant didirikan dengan layanan yang sama pada tahun 1981. Akhirnya, beberapa daerah di Texas membuka pusat layanan setelah induk di Houston dan Dallas.

Pada tahun 1987, Pengadilan negara bagian merekomendasikan perundangan baru yang mendukung ADR.

Pertama, amandemen terhadap Undang-undang 2372aa diberlakukan, menambah biaya iuran sampai dengan $10. Selanjutnya, satu ketentuan yang membatasi efektifitas kesepakatan arbitrasi swasta untuk dicabut.


(48)

Kembali, pada tahun 1987, Undang-undang pemerintah Texas mensahkan undang tentang prosedur Penyelesaian sengket alternatif 1987. Undang-undang ini menjelaskan kebijaksanaan pemerintah dalam pelaksanaan penyelesaian sengketa secara perdamaian daripada melakukan litigasi. Undang-undang ini juga menjelaskan bagaimana pelaksanaan penyelesaian sengketa alternatif di Pengadilan dan menjelaskan syarat pelatihan dan tugas yang sesuai terhadap pihak ketiga yang netral. Undang-undang ini juga menjamin kerahasiaan materi diskusi yangdipergunakan oleh pihak yang berselisih dalam prosedur alternatif penyelesaian sengketa.

(Sebagian Informasi diatas tentang sejarah Texas didasarkan atas materi yang ada dalam Manual Pelatihan DMS).

Ada banyak persamaan dalam pertumbuhan di dunia, terutama di Australia, Selandia Baru dan Kanada. Australia memiliki sistem yang kompleks untuk mengatasi masalah keluarga dan perhubungan . Sistem ini digabungkan dengan masyarakat banyak sebagai badan komunitas kesehatan mental yang sudah didirikan di Amerika Serikat. Di United Kingdom, Conciliation and Arbitration Service didirikan untuk mengatasi perselisihan dalam bidang industri.

Tulisan yang menggambarkan perkembangan ADR antara lain : Laura Nader dan P.H. Gulliver mulai pada tahun 1969 dan 1973. Antropologis budaya ini mempelajari ADR dan melakukan penelitian untuk penerapan lanjutan dari prinsip ini.59

59


(49)

O.J. Coogler pada tahun 1978 menulis struktur mediasi dalam penyelesaian perceraian, Howard Irving pada tahun 1980 menulis mediasi perceraian, dan John Haynes pada tahun 1981 menulis Pemecahan Masalah secara komplit. Buku ini membantu untuk mengembangkan mediasi pada perselisihan keluarga dan perceraian.60

Martin Deutsch menulis buku yang sangat berpengaruh. Penyelesaian konflik yang menguji aspek negatif dan positif tentang penyelesaian permasalahan dan pengaruh pemikiran mediator dan penulis mengenai ADR.

Lon Fuller, Sarjana Hukum Harvard (mulai awal 1963), Frank Sander dan Roger Fisher (mulai pada pertengahan tujuhpuluhan) sudah membantu dalam membentuk pemikiran mengenai penggunaan teknik dan prosedur mengenai penyelesaian perselisihan.61

Mediasi dalam hukum Indonesia pada dasarnya sudah dikenal sejak dulu. Pasal 130 HIR menentukan agar pada sidang pertama, Hakim terlebih dahulu mengupayakan perdamaian.

C. Mediasi dan Konsiliasi

Banyak perdebatan yang terfokus pada perbedaan antara konsiliasi dan mediasi dan tidak ada kesepakatan universal yang muncul. Konsiliasi kadang-kadang berfungsi sebagai payung yang mencakup semua mediasi dan sebagai fasilitasi dan

60

Ibid.

61


(50)

proses penyelesaian perselisihan. Namun demikian, proses ini tidak menentukan hasil, dan keduanya berbagi banyak persamaan. Misalnya, kedua proses yang ada melibatkan pihak ketiga yang netral dan tidak memiliki kekuasaan.62

Satu perbedaan yang penting antara konsiliasi dan mediasi adalah terletak dalam hal di mana konsiliator memiliki pengetahuan khusus mengenai domain yang mereka selesaikan. Konsiliator dapat memberikan saran terkait dengan ketentuan penyelesaian dan dapat memberikan saran untuk masalah yang timbul. Konsiliator juga dapat menggunakan peranan mereka untuk secara aktif mendorong pihak terkait mencapai kesepakatan. Hal ini membantu mencapai kesepakatan sesuai dengan kerangka kerja yang berlaku terhadap penyelesaian tersebut. Dalam hal ini, konsiliasi mencakup aspek pemberian saran.

Mediasi bekerja secara murni. Praktisi tidak memiliki peran untuk memberikan saran. Lagipula, mediator berusaha untuk mendapatkan bantuan dari pihak-pihak yang ada dalam mengembangkan saling memahami terhadap konflik yang ada dan untuk bekerja dalam mencapai kesepakatan. Kedua mediasi dan konsiliasi berfungsi untuk mengidentifikasi masalah yang dipermasalahkan, dan untuk memberikan pilihan yang membantu pihak yang berselisih mencapai kesepakatan dengan cara yang memuaskan. Mereka keduanya menawarkan proses yang fleksibel dan penyelesaian yang dicapai adalah atas kesepakatan kedua belah pihak. Hal ini berbeda dengan litigasi, yang biasanya mengatasi perselisihan sesuai dengan pihak yang memiliki argumen terkuat.

62


(51)

D. Mediasi dan Negosiasi

Mediasi adalah perluasan dari proses negosiasi. Pihak-pihak yang bertikai yang tidak mampu menyelesaikan konflik akan menggunakan jasa pihak ketiga yang bersikap netral untuk membantu mereka dalam mencapai suatu kesepakatan.63

Negosiasi adalah suatu proses atau metode antara dua orang atau dua kubu untuk mencapai perjanjian yang dapat memenuhi kepuasan semua pihak yang berkepentingan dengan elemen-elemen kerjasama dan kompetisi.64

Negosiasi terjadi ketika orang lain memiliki atau menguasai sesuatu yang diinginkannya. Tetapi sekedar menginginkan tidak cukup. Juga harus melakukan negosiasi untuk mendapatkan apa yang diinginkannya dari pihak lain yang memiliki dan mempunyai keinginan atas sesuatu yang dimiliki orang lain. Sedangkan agar negosiasi dapat terjadi dengan sukses, harus siap untuk memberikan atau merelakan sesuatu yang bernilai yang dapat ditukar dengan sesuatu yang diinginkannya.

Negosiasi dalam aplikasi praktek hukum melibatkan banyak aspek seperti analisa proses kemampuan pengacara, tanggung jawab secara profesional, strategi serta mekanisme. Demikian juga melihat kemungkinan keputusan hasil negoisasi apakah dapat memenuhi kebutuhan klien dan bagaimana keputusannya kelak dilaksanakan.65

63

Bismar Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi, versi elektronik dapat dilihat di : http://bismarnasty.wordpress.com/personal-data/

64

Negoisasi, versi elektronik dapat dilihat di : http://www.id.wikipedia.org/wiki/Negoisasi. diakses terakhir tanggal 17 Juli 2007.

65


(52)

Negosiasi juga merupakan suatu pengetahuan dasar yang wajib diketahui oleh para praktisi hukum. Negosiasi dalam praktek hukum adalah berbeda karena melibatkan hubungan mewakili antara klien dan pengacara. Pengacara harus membangun hubungan dan pengertian yang terbuka antara klien dan memiliki tanggung jawab untuk memberikan informasi terbuka selama proses negosiasi berlangsung. Tujuan pengacara adalah untuk memberikan hasil terbaik kepada klien tetapi bukan merupakan pemenuhan keinginan dan pengacara sendiri. Pengacara harus membantu kliennya untuk memantapkan tujuan dan target mereka dalam negosiasi. Pada akhir proses negosiasipun, justru klienlah yang memutuskan untuk menerima tawaran keputusan hasil negosiasi tersebut atau menolaknya, justru bukan pengacara.66

Inti dari negosiasi dengan tujuan untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang bermasalah, bukan dengan bantuan pihak ketiga seperti mediator atau arbitrator. Pihak bersengketa yang dapat diwakili oleh diri sendiri atau didampingi pengacara mengadakan negosiasi sesuai dengan ketentuan, aturan, tata cara dan bentuk penyelesaian yang dipilih sendiri. Sehingga dapat diprediksikan apabila negosiasi ini gagal, barulah para pihak melalui pengacaranya meneruskannya ke peradilan yang melibatkan pihak ke 3 ataupun menempuh jalur lain seperti mediasi atau konsiliasi.

Berdasarkan beberapa pertimbangan terdapat beberapa teknik-teknik negosiasi. Pertimbangan tersebut misalnya hubungan antara kedua belah pihak yang

66


(53)

berperkara, perusahaan dan pekerja, perusahaan yang ingin mendapatkan kontrak, perceraian dan lain-lain. Pertimbangan akan adanya unsur saling membutuhkan, hubungan kerja jangka panjang, hubungan bisnis untuk sekali saja ataupun unsur hubungan kekeluargaan harus diperhatikan. Dalam negosiasi dikenal beberapa pendekatan, yaitu teknik negosiasi kompetitif (Competition Negotiation), negosiasi kompromi (Compromising Negotiation) dan Negosiasi Bekerja Sama (Win-Win Negotiation).67

Roger Fisher dan William Ury, dalam bukunya Getting to Yes menulis empat strategi dasar dalam bernegosiasi. Pertama, memisahkan pokok permasalahan/yang harus dinegosiasikan dengan lawan. Kedua, mengetahui persis obyektifitas negoisasi dan hasil akhir yang hendak dibidik. Ketiga, satu hal yang paling ditabukan dalam bernegosiasi adalah terjadinya jalan buntu. Keempat, adalah rampungkan negosiasi dengan cepat, tuntas dan tidak bertele-tele.68

Setiap negosiasi memiliki potensi konflik dalam seluruh prosesnya, maka penting sekali untuk memahami cara mengatasi atau menyelesaikan konflik. Untuk menjelaskan berbagai alternatif penyelesaian konflik dipandang dari sudut menang-kalah masing-masing pihak, ada empat kuadran manajemen konflik :

1. Kuadran Kalah-Kalah (Menghindari Konflik)

Kuadran keempat ini menjelaskan cara mengatasi konflik dan mengabaikan masalah yang timbul. Atau bisa berarti bahwa kedua belah pihak

67

Herb Cohen, You Can Negotiate Anything, (Bantam Books, 1980), h. 117.

68


(54)

tidak sepakat untuk menyelesaikan konflik atau menemukan kesepakatan untuk mengatasi konflik tersebut. Tidak boleh memaksakan keinginan dan sebaliknya tidak terlalu menginginkan sesuatu yang dimiliki atau dikuasai pihak lain.

Cara ini sebenarnya hanya bisa dilakukan untuk potensi konflik yang ringan dan tidak terlalu penting. Jadi tidak menjadi beban dalam pikiran atau kehidupan, sebaiknya memang setiap potensi konflik harus dapat diselesaikan. 2. Kuadran Menang-Kalah (Persaingan)

Kuadran kedua ini memastikan bahwa kemenangan konflik dan pihak lain kalah. Biasanya dengan menggunakan kekuasaan atau pengaruh untuk memastikan bahwa dalam konflik tersebut dapat keluar sebagai pemenangnya. Biasanya pihak yang kalah akan lebih mempersiapkan diri dalam pertemuan berikutnya, sehingga terjadilah suatu suasana persaingan atau kompetisi di antara kedua pihak.

Gaya penyelesaian konflik ini sangat tidak mengenakkan bagi pihak yang merasa terpaksa harus berada dalam posisi kalah, sehingga sebaiknya hanya digunakan dalam keadaan terpaksa yang membutuhkan penyelesaian yang cepat dan tegas.

3. Kuadran Kalah-Menang (Mengakomodasi)

Agak berbeda dengan kuadran kedua, kuadran ketiga yaitu kalah-menang ini berarti kita berada dalam posisi mengalah dan mengakomodasi kepentingan pihak lain. Gaya ini kita gunakan untuk menghindari kesulitan atau masalah yang


(55)

lebih besar. Gaya ini juga merupakan upaya untuk mengurangi tingkat ketegangan akibat dari konflik tersebut atau menciptakan perdamaian yang diinginkan.

Mengalah dalam hal ini bukan berarti kalah, tetapi menciptakan suasana untuk memungkinkan penyelesaian yang paripurna terhadap konflik yang timbul antara kedua pihak. Mengalah memiliki esensi kebesaran jiwa dan memberi kesempatan kepada pihak lain untuk juga mau mengakomodasi kepentingan kita sehingga selanjutnya kita bersama bisa menuju ke kuadran pertama.

4. Kuadran Menang-Menang (Kolaborasi)

Kuadran pertama ini disebut dengan gaya manajemen konflik kolaborasi atau bekerja sama. Tujuannya adalah mengatasi konflik dengan menciptakan penyelesaian melalui konsensus atau kesepakatan bersama yang mengikat semua pihak yang bertikai. Proses ini biasanya yang paling lama memakan waktu karena harus dapat mengakomodasi kedua kepentingan yang biasanya berada di kedua ujung ekstrim satu sama lainnya.

Proses ini memerlukan komitmen yang besar dari kedua pihak untuk menyelesaikannya dan dapat menumbuhkan hubungan jangka panjang yang kokoh. Secara sederhana proses ini dapat dijelaskan bahwa masing-masing pihak memahami dengan sepenuhnya keinginan atau tuntutan pihak lainnya dan berusaha dengan penuh komitmen untuk mencari titik temu kedua kepentingan tersebut.


(56)

E. Mediator

1. Pengertian Mediator

Mediator adalah pihak yang bersifat netral dan tidak memihak, yang berfungsi membantu para pihak dalam mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa.69

Menjadi profesi mediator semuanya berkaitan dengan penyelesaian konflik, maka pekerjaan tersebut menuntut pemikiran yang cerdas dalam pemecahan masalah, dan kemampuan untuk mendamaikan.70 Jika dua pihak bertikai, dan ingin menghindarkan urusan Pengadilan, maka mereka dapat memanggil mediator untuk menyelesaikan masalah yang mereka hadapi. Jika banyak orang menaruh curiga kepada Hakim atau pengacara, maka mediator dalam hal ini lebih cenderung berperan untuk memberikan kebijakan, lebih dipercayai dan bersifat netral. Tidak seperti Hakim atau Pengacara yang mengevaluasi, menilai, dan memutuskan untuk orang lain, maka mediator membantu pihak yang berpartisipasi dalam hal mengevaluasi, menilai dan memutuskan untuk para pihak yang berperkara. Pihak-pihak yang ingin menghindarkan penundaan, biaya tinggi, publisitas, dan niat jahat yang terjadi dalam litigasi akan berusaha mencari mediator sebagai pilihan yang baik, tidak mahal dan cepat. Pekerjaan mediator adalah mendengarkan, mensortir perbedaan, antara kedua belah pihak yang berselisih, dan menemukan dasar-dasar yang umum untuk memastikan solusi yang ada. Mediator yang baik adalah jujur, netral dan

69

Ketentuan Pasal 1 angka 5 Perma No. 2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

70

Career Profiles, versi elektronik dapat dilihat di : http://www.princentonreview.com/cte/profiles/dayinlife.asp?


(57)

mendengarkan dengan baik dan bijak serta memiliki keahlian komunikasi yang baik. Dengan membantu kedua belah pihak untuk mencapai kesepakatan yang baik juga butuh kreativitas. Mediasi dalam hal ini dianggap sebagai alternatif penyelesaian sengketa.

Latar belakang pendidikan mediator profesional sangat berbeda-beda. Ada yang mempunyai gelar gelar sarjana hukum, akan tetapi ada juga bahkan tidak mempunyai gelar. Yang paling penting dalam hal ini adalah pendidikan dalam bidang mediasi, apakah tamatan tertentu atau dengan mengikuti kursus pelatihan. Gelar sarjana dalam bidang sosial politik dan yang berhubungan dengan hukum juga memberi latar belakang yang sangat berguna. Dalam beberapa negara dalam melakukan mediasi, mediator harus mempunyai izin atau sertifikat . Pada umumnya orang yang mempunyai profesi mediator, telah mengikuti pelatihan dan bersumpah untuk mengikuti standar etis yang berlaku .

Profesi yang berkaitan dengan mediator ini antara lain adalah Hakim, pemimpin agama, pekerja sosial, konselor, dan pendidik sering diminta menjadi penengah. Mediator yang handal memiliki banyak peluang profesi yang memungkinkan dan terbuka bagi mereka termasuk diplomat dan politisi.

Sebagai mediator, perlu mengetahui dua jenis standar etis yang mengarahkan mediator dalam melakukan fungsinya dan orang yang mengatur kelakuan profesi yang terikat dalam bidang negosiasi. Mediator perlu memahami etika fungsi mediator sehingga akan tahu kapan berbuat terlalu jauh di luar dari batasan etis. Mediator juga


(1)

2. Kepada Mahkamah Agung disarankan agar membuat suatu pelatihan atau kursus mediasi kepada setiap Hakim yang bertugas di Pengadilan Tingkat Pertama (Pengadilan Negeri), hal tersebut berguna agar seluruh Hakim Pengadilan Negeri mengetahui dan mendukung proses mediasi dan apabila ada perpindahan Hakim antar daerah tidak menyebabkan suatu Pengadilan mempunyai mediator yang tidak bersertifikat ataupun tidak mempunyai kemampuan menjadi seorang mediator.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Adolf, Huala, Arbitrase Komersial Internasional, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1993.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 2000.

Fuadi, Munir, Arbitrase Nasional : Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000

Goodpaster, Gary, Negosiasi dan Mediasi : Sebuah Pedoman Negosiasi dan Penyelesaian Sengketa Melalui Negosiasi, Jakarta : Elips Project, 1993.

Hadikusuma, H. Hilman, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung : Mandar Maju, 2003.

Harahap, M. Yahya, Hukum Acara Perdata, Jakarta : Sinar Grafika, 2005.

, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, Jakarta : Sinar Grafika, 1997.

Kadir, Abdul Muhammad, Etika Profesi, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001.

, Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1996.

Lev, Daniel S. Advokat Indonesia Mencari Legitimasi, Jakarta : Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia, 2000

Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung : Mandar Maju, 1994.

Margono, Suyud, ADR dan Arbitrase, Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Jakarta : Ghalia Indonesia, 2000.

Magadianti Adam, Siti dan Degrantini, Clarita, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian (Indonesian Institute for Conflict Transformation), Jakarta :


(3)

MaPPI FHUI, dapat dilihat di : www.pemantauperadilan.com. Diakses terakhir tanggal 7 Desember 2005.

Manan, Bagir, Sistem Peradilan Berwibawa, Yogyakarta : FH-UII Press, 2004. Mertokusumo, Sudikno dan A. Pitlo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Bandung :

Citra Aditya Bakti, 1993.

Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta : Liberty, 1988.

Moleong, J. Lexy, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung : Remaja Rosdakarya, 2000.

Mulyadi, Kartini dan Gunawan Wijaya, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004.

M. Toor, Agnes, dkk, Arbitrase di Indonesia, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1995.

Prodjodikoro, Wirjono, Asas-asas Hukum Perjanjian, Bandung : Mandar Maju, 2000. , Azas-azas Hukum Perdata, Bandung : Penerbitan Sumur Bandung,

1983.

Rahardjo, Soetjipto, Hukum dan Masyarakat, Bandung : Angkasa, 1980.

, Sosiologi Hukum : Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah, Surakarta : Muhammadiyah University Press, 2002.

Remi, Sutan Syahdeni, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit BI, Jakarta : Institut Bankir Indonesia, 1993.

Runtung, Pemberdayaan Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Adat pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 1 April 2006. Soemartono, Gatot, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, Jakarta : Gramedia Pustaka

Utama, 2006.

Subekti, R., Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta : Intermasa, 1983. , Arbitrase Perdagangan, Jakarta : BPHN-Bina Cipta, 1981.


(4)

, Aneka Perjanjian, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1995. , Hukum Perjanjian, Jakarta : Intermasa, 2004.

, Hukum Perjanjian, Jakarta : Intermasa, 1984.

Sugono, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2005.

Suharnoko, Hukum Perjanjian, Teori dan Analisa Kasus, Jakarta : Prenada Media, 2004.

Susilo, R., RBg/HIR Dengan Penjelasan, Bogor : Politea, 1985.

Sutantio, Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, Bandung : Mandar Maju, 1997.

Syahrani, Ridwan, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Bandung : Alumni, 2004.

Syahrin, Alfi, Pengaturan Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Pemukiman Berkelanjutan, Medan : Pustaka Bangsa Pers, 2003.

Tim Penyusun, Kamus Hukum Ekonomi ELIPS, Jakarta : Elips Project.

Usman, Rachmadi, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003.

Qirom Syamsudin Meliala, A., Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya, Yogyakarta : Liberty, 1985.

Wignjodipoero, Soerojo, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta : PT. Toko Gunung Agung, 1995.

Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001.

Widjaja, Gunawan, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001.

Wignjosoebroto, Soetandio, Hukum Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Jakarta : Huma, 2002.


(5)

B. Undang-Undang

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).

Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2000 Tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan.

Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat.

Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Peraturan Mahkamah Agung RI (Perma) No. 2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan

HIR / RBg.

C. Media

Humphrey R. Djemat, Kompas tanggal 27 Mei 2004

Negoisasi Bukan Soal Kalah Menang, Harian Kompas, (28 Oktober 2004). Negoisasi, Harian Sinar Harapan, (4 April 2002).

ADR, Jalan Mudah, Murah dalam Penyelesaian Sengketa, Harian Sinar Harapan, (10 September 2003).

D. Situs Internet

Budiman, Budhy, Mencari Model Ideal Penyelesaian Sengketa, Kajian Terhadap Praktek Peradilan Perdata dan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, (Jurnal Ilmiah), dapat dilihat di situs : www.pemantauperadilan.com, diakses terakhir tanggal 07 Desember 2005.

, Mencari Model Ideal Penyelesaian Sengketa, Kajian Terhadap Praktik Peradilan Perdata dan Undang-undang No. 30 Tahun 1999, versi elektronik dapat dilihat di : http://www.uika.bogor.ac.id/jur_05.htm. diakses terakhir tanggal 17 Juli 2007


(6)

Career Profiles, versi elektronik dapat dilihat di : http://www.princentonreview.com/cte/profiles/dayinlife.asp?

Definition of Mediation, versi elektronik dapat dilihat di : http://www.mnne.org/pg_11.efm. diakses terakhir tanggal 10 Juli 2007.

Dewan Pers Akan Diusulkan Jadi Mediator, Jurnal Hukum, versi elektronik dapat dilihat di : http://hukumonline.com/detail.asp?id=17070&CI=Berita, diakses Terakhir pada tanggal 12 Juli 2007.

Magadianti Adam, Siti dan Clarita Degrantini, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian (Indonesian Institute for Conflict Transformation), (Jakarta : MaPPI FHUI, www.pemantauperadilan.com). Diakses terakhir tanggal 7 Desember 2005

MaPPI, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa, versi elektronik dapat dilihat di : www.pemantauperadilan.com, diakses terakhir tanggal 15 Pebruari 2007.

Mediation ADR, versi elektronik dapat dilihat di : http://mediationadr.net/conflict/informationpublik-Meds/History.html.

Mediation-Definition, versi elektronik dapat dilihat di : http://www.hg.org/mediation-definition.html.

Mediator & Advocates Ethics, versi elektronik dapat dilihat di : http://findarticles.com/p/articles/mi_2a3923/is_2000/ai_n8882684.

Mediation, versi elektronik dapat dilihat di : http://en.wikipedia.org/wiki/Mediaton, diakses terakhir tanggal 23 Juni 2007

Nasution, Bismar, Hukum Kegiatan Ekonomi, versi elektronik dapat dilihat di : http://bismarnasty.wordpress.com/personal-data/

Negoisasi, versi elektronik dapat dilihat di : http://www.id.wikipedia.org/wiki/Negoisasi. diakses terakhir tanggal 17 Juli 2007.

Pusat Mediasi Nasional, Mediasi, versi elektronik dapat dilihat di : http://www.pmn.or.id/mediation/what_is_mediation_ind.html, diakses terakhir tanggal 23 Juni 2007.