Analisis Kata صلوة ṣalātun Dalam Alquran(Tinjauan Morfologis dan Semantis)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Penelitian tentang analisis salah satu kata yang ada di dalam Alquran
ditinjau dari segi morfologi dan semantik (secara bersamaan) belum pernah diteliti
oleh mahasiswa Sastra Arab Universitas Sumatera Utara.
2.1 Alquran
Alquran merupakan kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat yang
diturunkan (diwahyukan) pada nabi Muhammad SAW dan membacanya adalah
ibadah. (Depag R.I, 1977:16). Alquran alkarim adalah kitab Allah yang
diturunkan kepada nabi Muhammad SAW mengandung hal-hal yang berhubungan
dengan keimanan, ilmu pengetahuan, kisah-kisah, falsafah, peraturan-peraturan
yang mengatur tingkah laku dan tata cara hidup manusia baik sebagai makhluk
individu ataupun sebagai makhluk sosial, sehingga berbahagia hidup di dunia dan
akhirat. (Depag R.I, 1977:27)
Adapun Alquran didefenisikan ulama Ushul, ulama Fikih, dan ulama
Bahasa adalah kalam Allah yang diturunkan kepada nabi-Nya, Muhammad SAW,
yang lafazh-lafazhnya mengandung mukjizat, membacanya mempunyai nilai
ibadah diturunkan secara mutawatir dan ditulis pada mushaf, mulai dari awal
surah Al-Fatihah (1) sampai akhir surat An-Naas (114) (Anwar, 2006:11).
2.2 Morfologi

Menurut Crystal dalam Ba‟dulu dan Herman (2005:1) morfologi adalah
cabang tata bahasa yang menelaah struktural atau bentuk kata, utamanya melalui
penggunaan morfem. Morfologi pada umumnya dibagi ke dalam dua bidang :
yakni telaah infleksi (inflectional morpology) dan telaah pembentukan kata
(lexical or derivation morphology).

7
Universitas Sumatera Utara

Morfologi di dalam bahasa Arab disebut dengan ilmu ṣaraf. Al- Ghulayani
(2007:8) memaparkan defenisi ilmu ṣaraf sebagai berikut:
.‫ا ء‬

‫ا‬

‫ا‬

‫أ ا‬

‫ا‬


‫ص ا‬

‫ف‬

‫ٌ أص‬

:‫ف‬

‫ا‬

/aṣṣarfu : ʻilmun biuṣūlin tuʻrafu bihā ṣiyagu al-kalimāti al-ʻarabiyyati wa
ahwāluhā allatī laisat bi`iʻrābin wa lā binā`in/ „„sharaf adalah ilmu yang
mengkaji akar kata untuk mengetahui bentuk-bentuk kata arab dengan segala halihwalnya di luar i‟rab dan bina”
Menurut Hasan ilmu ṣaraf adalah ilmu yang menerangkan hal
memalingkan satu kata kepada beberapa rupa dan sifat untuk menghasilkan
beberapa makna. Sesuai pendapat Hasan di atas, penulis akan meneliti kata ‫ص ة‬
/ṣalātun/ untuk menemukan bentuk-bentuk kata ‫ ص ة‬/ṣalātun/ kemudian meneliti
proses morfologisnya.


2.2.1 Proses Morfologis
Proses morfologis ialah proses pembentukan kata-kata dari satuan lain
yang merupakan bentuk dasarnya. Bentuk dasarnya itu mungkin berupa kata.
Seperti pada kata terjatuh yang dibentuk dari kata jatuh; mungkin berupa pokok
kata, misalnya kata bertemu yang dibentuk dari kata temu; mungkin berupa frase,
misalnya kata ketidak adilan yang dibentuk dari frase tidak adil; mungkin berupa
kata dan kata, misalnya kata rumah sakit yang dibentuk dari kata rumah dan kata
sakit; mungkin berupa kata dan pokok kata, misalnya kata pasukan tempur yang
dibentuk dari kata pasukan dan pokok kata tempur; dan mungkin pula berupa
pokok kata dan pokok kata, misalnya lomba tari yang dibentuk dari pokok kata
lomba dan pokok kata tari (Ramlan, 2001:51).

Proses morfologis disebut juga dengan proses morfemis, Parera, (1994)
mengatakan, proses morfemis merupakan proses pembentukan kata bermorfem
jamak baik derivative maupun inflektif. Proses ini disebut morfemis karena proses
ini bermakna dan berfungsi sebagai pelengkap makna leksikal yang dimiliki oleh
sebuah bentuk dasar. Di samping sebutan morfemis ini juga disebut proses
morfologis. Samsuri (1980:190) mengatakan, proses morfologis adalah cara
8
Universitas Sumatera Utara


pembentukan kata-kata dengan menghubungkan morfem yang satu dengan
morfem yang lain.
Di dalam Alquran kata ‫ ص ة‬/ṣalātun/ dan perubahan-perubahannya secara
morfologi adalah sebagai berikut:
‫ ص‬/ṣalātun/ sebanyak 67;
sebanyak 4;
sebanyak 2;

‫ صا‬/ṣalātuhum/ sebanyak 5;

‫ ص‬/ṣalla/ sebanyak 3;

‫ ص ا‬/ṣalawātun/

/muṣallīna/ sebanyak 3; ‫ا‬

/yuṣallī/ sebanyak 2; ‫ ص‬/ṣalli/ sebanyak 2;
‫ ص‬/ṣalātihim/


sebanyak 2; dan kata

/yuṣallūna/ ‫ ص ا‬/ṣallū/ ‫ صا‬/ṣalātahu/

‫ ص‬/ṣalātuka/

‫ صا‬/ṣalātika/

‫ ى ا‬/ṣalāti/

/yuṣallū/

/tuṣalli/

‫ ص ا‬/ṣalawātihim/

/muṣallā/ masing-masing sebanyak 1. (Abdul Baqi, 2006:508-510)

2.3 Semantik
Semantik adalah ilmu yang mempelajari sistem tanda dalam bahasa.

Dalam bahasa Arab disebut „ilm ad-dalalah. „ilm-ad-dalalah ini terdiri atas dua
kata: „ilm yang berarti ilmu pengetahuan, dan ad-dilalah yang berarti penunjukan
atau makna. Jadi, „ilm ad-dilalah menurut bahasa adalah ilmu pengetahuan yang
mengetahui tentang makna. Secara terminologis, ilm- ad-dilalah sebagai salah
satu cabang linguistik („ilm al-lughoh) yang telah berdiri sendiri yaitu ilmu yang
mempelajari tentang makna suatu bahasa, baik pada tataran makna mufrodat (kosa
kata) maupun pada makna dalam tataran tarokib (struktur atau gramatikal bahasa)
(http://www.falaahisme.blogspot.com/2013/04/pengertian-ilmu-semantik-atauilmu-ad.html).
Menurut Umar, (1998:11) „ilm ad-dilalah adalah sebagai berikut:

‫ا غ‬

‫ا‬

‫ا‬

‫سا‬

‫ا‬


‫ا ا‬

‫اس ا‬

‫ف‬
‫ا‬

‫ا‬

/yuʻarrifuhu baʻḍuhum bi`annahu dirāsatu al-maʻnā au al-ʻilmu al-lażī yadrusu
al-ma`nā au żalika al-farʻu min ʻilmi al-lugati al-lażī yatanāwalu naẓriyata
almaʻnā/ “didefenisikan sebagian mereka dengan studi tentang makna atau ilmu
yang memepelajari tentang makna, atau merupakan cabang linguistik yang
mengkaji tentang teori makna”

9
Universitas Sumatera Utara

Dalam buku makna dalam wacana yang ditulis oleh Yayat Sudaryat kata
semantik berasal dari bahasa Yunani sema (nomina) „tanda‟ atau „lambang‟ yang

verbanya semaino „menandai‟ atau „melambangkan‟. Tanda atau lambang ini
dimaksudkan tanda linguistik (Perancis: signe linguistique). (Sudaryat, 2008:3).

Secara umum semantik lazim diartikan sebagai kajian mengenai makna
bahasa. Mengapa harus dieksplisitkan makna bahasa?, karena selain makna
bahasa, dalam kehidupan kita banyak makna-makna yang tidak berkaitan dengan
makna bahasa melainkan dengan tanda-tanda dan lambang-lambang lain, seperti
tanda-tanda lalu lintas,

tanda-tanda kejadian alam, lambang-lambang negara,

simbol-simbol negara, simbol-simbol kebudayaan, simbol-simbol keagamaan, dan
lambang atau simbol lainnya bidang ilmu yang mengkaji makna berbagai tanda
dan lambang itu disebut semiotik. Lalu, karena bahasa itu juga merupakan sistem
lambang maka sebenarnya makna bahasa juga termasuk dalam semiotika. Namun,
secara khusus kajian mengenai makna bahasa mempunyai wadah sendiri, yaitu
semantik. (Chaer, 2007).

Untuk dapat memahami makna sebuah ujaran banyak faktor yang harus
diperhatikan seperti faktor sosial, faktor psikologi, dan faktor budaya. Dalam studi

semantik faktor-faktor itu tercermin pada yang disebut tingkatan makna, yakni
makna leksikal dan idiomatikal, makna gramatikal, dan makna kontekstual.
(Chaer, 2007)
2.3.1 Makna Leksikal
Istilah leksikal adalah bentuk ajektifa dari nomina leksikon, yang berasal
dari leksem. Menurut Kridalaksana dalam Chaer (2003:269) mengatakan bahwa
di dalam kajian morfologi leksem lazim diartikan sebagai bentuk dasar yang
setelah mengalami proses gramatikalisasi akan menjadi kata. Dalam kajian
semantik leksem lazim diartikan sebagai satuan bahasa yang memiliki satu makna
atau satu pengertian, seperti air dalam arti „sejenis bahan cair yang digunakan
untuk keperluan sehari-hari‟, pensil dalam arti „sejenis alat tulis, yang terbuat dari

10
Universitas Sumatera Utara

kayu dan arang‟, meja hijau dalam arti „pengadilan‟ dan membanting tulang
dalam arti „bekerja keras‟ adalah contoh-contoh leksem. Dari contoh itu, tampak
bahwa, leksem itu bisa berupa kata bisa juga berupa gabungan kata. Namun,
dalam dunia pendidikan bentuk-bentuk seperti meja hijau dan membanting tulang
lazim disebut sebagai ungkapan atau idiom. (Chaer, 2003:269).

Jadi, makna leksikal adalah yang secara inheren dimiliki oleh sebuah
leksem. Makna leksikal ini dapat juga diartikan sebagai makna kata secara lepas,
di luar konteks kalimatnya. Makna leksikal ini terutama yang berupa kata di
dalam kamus biasanya didaftarkan sebagai makna pertama dari kata atau entri
yang terdaftar dalam kamus itu misalnya bagian tubuh dari leher ke atas‟ adalah
makna leksikal dari kata kepala‟, sedangkan makna „ketua‟ atau „pemimpin‟
bukanlah makna leksikal, sebab untuk mengatakan makna „ketua‟ atau
„pemimpin‟ kata kepala itu harus bergabung dengan unsur lain, seperti dalam
frase kepala sekolah dan kepala kantor.
Tahap pertama untuk bisa meresapi makna suatu ujaran adalah memahami
makna leksikal setiap butir leksikal (kata, leksem) yang digunakan di dalam
ujaran itu. Andaikata seseorang tidak tahu makna leksikal sebuah kata yang
digunakan di dalam suatu ujaran, maka bisa melihatnya di dalam kamus, atau
bertanya kepada orang lain yang tahu.
2.3.2 Makna Gramatikal
Makna Gramatikal adalah makna yang “muncul” sebagai hasil suatu
proses gramatikal. Dalam bahasa Indonesia dikenal adanya beberapa proses
gramatikal. Yang utama adalah proses afiksasi, proses reduplikasi, proses
komposisi, proses pemfrasean dan proses pengalimatan. (Chaer, 2003:277).
2.3.2.1 Makna Gramatikal Afiksasi.

Afiksasi adalah proses pembubuhan afiks pada bentuk dasar. Dalam
bahasa Indonesia afiksasi merupakan salah satu proses penting dalam
pembentukan kata dan penyampaian makna. Jenis afiks dan makna gramatikal

11
Universitas Sumatera Utara

yang dihasilkan cukup banyak dan beragam. Satu hal yang jelas makna afiks yang
dihasilkan

mempunyai

kaitan

dengan

fitur

semantik

bentuk

dasarnya.

Umpamanya dalam prefiksasi dengan prefiks ber- pada bentuk dasar nomina yang
berfitur makna [+pakaian] atau [+perhiasan] akan melahirkan makna gramatikal
„mengenakan‟ atau „memakai‟. Misalnya pada kata berdasi, bersepatu, berbedak
dan berpita. Pada bentuk dasar yang berfitur semantik [+kendaraan] akan
melahirkan makna „mengendarai‟, „naik‟ atau „ menumpang‟. Misalnya pada kata
bersepeda, berkereta, berkuda dan berbemo. (Chaer, 2003:279)
Kalau sebuah bentuk dasar memiliki fitur makna yang menonjol lebih dari
satu, umpamanya kata patung memiliki fitur makna yang menonjol (a) [+hasil
(pekerjaan)] dan (b) [+sifat diam (tak berbicara, tak bergerak)], maka bila
dibubuhi prefiks me- menjadi kata mematung akan memunculkan makna
gramatikal (a) „membuat patung‟ dan (b) „diam seperti patung‟. Padahal kata
menyambal hanya bermakna gramatikal „membuat sambal‟ dan kata membatu
hanya bermakna gramatikal „(keras) seperti batu‟. Mengapa? Karena kata sambal
hanya memiliki satu fitur makna yang menonjol yaitu [+hasil (pekerjaan)], dan
kata batu hanya memiki satu fitur makna yang menonjol yaitu [+‟(keras) seperti
batu‟]. Untuk mengetahui makna gramatikal makna yang diacu pada kata
mematung tampaknya tidak cukup hanya pada tingkat morfologi, melainkan
harus melihat pada tingkat gramatikal yang lebih tinggi, yaitu tingkatan sintaksis
seperti kalimat berikut:
1. Usaha mematung banyak dilakukan penduduk desa itu.
2. Dia duduk saja mematung dalam seminar itu.
Kalimat pertama memberikan makna gramatikal „membuat patung‟ dan kalimat
kedua memberikan makna gramatikal „(diam) seperti patung‟.
Contoh makna gramatikal kata ‫ ص ة‬/ṣalātun/ dalam Alquran dan
Terjemahnya Departemen Agama RI yang sementara ini penulis temukan
diantaranya:

12
Universitas Sumatera Utara



.






   
  
   


 
/Wa `iżja„alnāl baita maṡābatan linnāsi wa `amnan wa `attakhiżū min maqāmi
`ibrahīma muṣallān, wa „ahidnā `ilā `ibrahīma wa `ismā„īla `an ṭahhirā baitiya
liṭṭā`ifīna wal „ākifīna wa ar-rukka„i as-sujūdi/. “Dan (ingatlah), ketika Kami
menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat
yang aman. dan Jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. dan telah
Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk
orang-orang yang thawaf, yang i'tikaf, yang ruku' dan yang sujud”. (Qs. 2:125)

Ayat Alquran di atas dilihat dari segi maknanya, kata ‫ ص ة‬/ṣalātun/
dengan bentuk ً ‫ ص‬/muṣallān/ bermakna gramatikal tempat salat. Makna „tempat
salat‟ adalah makna yang dihasilkan akibat proses afiksasi yang terdapat pada kata
ً ‫ ص‬/muṣallān/ tersebut, yaitu penambahan prefiks (- ) /mim/ sebagai salah satu
penanda dari isim makan.
2.3.2.2 Makna Gramatikal Reduplikasi
Reduplikasi juga merupakan satu proses gramatikal dalam pembentukan
kata. Secara umum makna gramatikalnya adalah menyatakan „pluralis‟ atau
„intensitas‟. Umpamanya kata rumah direduplikasikan menjadi rumah-rumah
bermakna gramatikal „banyak rumah‟, dan kata besar direduplikasikan menjadi
besar-besar memiliki makna gramatikal „banyak yang besar‟. Sedangkan kata
memukul yang direduplikasikan menjadi memukul-mukul memberi makna
gramatikal „berkali-kali memukul‟. (Chaer, 2003:280)
Namun, makna gramatikal reduplikasi ini tampaknya tidak bisa ditafsirkan
pada tingkat morfologi saja, melainkan baru bisa ditafsirkan pada tingkatan
gramatikal yang lebih tinggi yaitu pada tingkatan sintaksis.
Contoh :

13
Universitas Sumatera Utara

1. Bukalah pintu itu lebar-lebar!
2. Daunnya sudah lebar-lebar, tetapi belum dipetik.
3. Kumpulkan kertas yang lebar-lebar itu disini.

Kata lebar-lebar pada kalimat (1) bermakna „selebar mungkin‟, pada kalimat (2)
bermakna „banyak yang lebar‟ dan pada kalimat (3) bermakna „hanya yang lebar
saja‟. Sejauh ini penulis tidak menemukan kata ‫ ص ة‬/ṣalātun/ dalam Alquran yang
mengalami proses gramatikal reduplikasi.
2.3.2.3 Makna Gramatikal Komposisi
Butir leksikal dalam setiap leksikal, termasuk bahasa Indonesia, adalah
terbatas, padahal konsep-konsep yang berkembang dalam kehidupan manusia
selalu bertambah. Oleh karena itu, selain dengan proses afiksasi dan proses
reduplikasi, banyak juga digunakan proses komposisi untuk menampung konsepkonsep yang baru muncul itu atau yang belum ada kosa katanya. Umpamanya,
dulu kata kereta digunakan untuk menampung konsep „kendaraan beroda yang
ditarik oleh kuda‟. Kemudian dengan hadirnya kereta yang berjalan di atas rel dan
ditarik oleh lokomotif bertenaga uap, muncullah gabungan kata kereta api atau
kereta rel; dan yang ditarik oleh kuda disebut kereta kuda. Lalu, dengan hadirnya
tenaga listrik yang digunakan untuk menjalankan kereta muncullah kata kereta
listrik. (Chaer, 2003:282)
Dalam perkembangan selanjutnya dikenal pula pola komposisi kata seperti
kereta penumpang, kereta barang, kereta bisnis, kereta eksekutif dan sebagainya,
dengan makna gramatikal ‟kereta untuk mengangkut penumpang‟,‟ kereta untuk
mengangkut barang‟, „kereta untuk kelas bisnis‟, dan „kereta untuk penumpang
eksekutif‟
Penutur (asli) suatu bahasa tidak perlu secara khusus mempelajari dulu
fitur semantik kosa kata yang ada di dalam bahasanya untuk dapat membuat

14
Universitas Sumatera Utara

gabungan kata, sebab fitur-fitur semantik itu sudah turut ternuranikan sewaktu dia
dalam proses pemerolehan bahasanya.

Contoh yang penulis temukan diantaranya:












     



   

















    





   
/Yā `ayyuha al-lażīna `āmanū liyasta`żinukumu al-lażīna malakat `aimānukum wa
al-lażīna lam yablugū al-ḥuluma minkum ṡalāṡa marrātin, min qabli ṣalāti al-fajri
wa ḥīna taḍaʻū ṡiyābakum mina aẓ-ẓahīrati wa min baʻdi ṣalāti al-ʻisyā`i, ṡalāṡa
ʻaurātin lakum, laisa ʻalaikum wa lā ʻalaihim junāḥun baʻdahunna, ṭawwāfūna
ʻalaikum baʻḍukum ʻalā baʻḍin, każalika yubayyinu allahu lakumu al-`ayāti, wa
allahu ʻalīmun ḥakīmun./ “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budakbudak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig di
antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) Yaitu:
sebelum sembahyang subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di
tengah hari dan sesudah sembahyang Isya'. (Itulah) tiga 'aurat bagi kamu. tidak
ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. mereka
melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain).
Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. dan Allah Maha
mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Qs. 24:58)
Pada ayat Alquran di atas terdapat 2 (dua) kata ‫ ص ة‬/ṣalātun/ yang mengalami
proses gramatikal, yaitu gramatikal komposisi pada ‫ صلوة الفجر‬/ṣalāti al- fajri/
dan ‫ صلوة العشاء‬/ṣalāti al-`isyā‟/
Proses gramatikal di sini adalah penggabungan dua kata yaitu kata ‫صلوة‬
/ṣalāti/ dengan kata ‫الفجر‬

/al-fajri/, sehingga ‫ صلوة الفجر‬/ṣalāti al- fajri/
15
Universitas Sumatera Utara

bermakna gramatikal „sembahyang subuh (sembahyang yang dilakukan di waktu
subuh)‟ serta penggabungan dua kata yaitu kata ‫ صلوة‬/ṣalāti / dengan kata ‫ العشاء‬/
al-`isyā‟/, sehingga ‫صلوة العشاء‬

/ṣalāti al-`isyā‟/ bermakna gramatikal

„sembahyang yang dilakukan di waktu isya`‟. ‫ صلوة الفجر‬/ṣalāti al- fajri/ dan ‫صلوة‬
‫العشاء‬

/ṣalāti al-`isyā‟/ dalam bahasa Arab dikenal dengan iḍafah, yaitu ‫صلوة‬

/ṣalāti sebagai muḍaf, sedangkan ‫ الفجر‬dan ‫ العشاء‬adalah muḍafun ilaih.
2.3.2.4 Kasus Kepolisemian
Kepolisemian lazim diartikan sebagai dimilikinya lebih dari satu makna
oleh sebuah kata atau leksem atau dengan rumusan sederhana lazim dikatakan
polisemi adalah kata yang bermakna ganda atau memiliki banyak makna.
Misalnya kata kepala dalam kamus besar bahasa Indonesia tercatat memiliki
enam buah makna, yaitu: (1) bagian tubuh diatas leher ; (2) bagian di atas leher
tempat tumbuhnya rambut; (3) bagian suatu benda yang sebelah atas (ujung,
depan, dan sebagainya); (4) bagian yang terutama, (yang penting); (5) pemimpin,
ketua dan (6) akal pikiran, otak. Sedangkan kata jatuh tercatat memiliki sepuluh
buah makna, yaitu: (1) turun ke bawah dengan cepat; (2) merosot, menjadi murah;
(3) ditujukan kepada (4) bertepatan dengan; (5) berhenti dari suatu jabatan; (6)
bangkrut, merugi; (7) kalah, dirampas musuh; (8) tidak lulus; (9) tidak tahan lagi;
dan (10) menjadi sakit (miskin dan sebagainya) (Chaer, 2003:283).
Konsep umum bahwa polisemi merupakan masalah sebuah kata yang
memiliki makna lebih dari satu, sebetulnya kurang tepat, sebab substansinya tidak
menyangkut masalah leksikal. Makna pertama kata kepala dan makna pertama
kata jatuh yang tercatat dalam kamus besar bahasa Indonesia memang makna
leksikal atau makna denotatif dari kata kepala dan kata jatuh itu. Namun, maknamakna berikutnya tidak bisa dipahami tanpa konteks sintaksisnya, baik dalam
satuan frase maupun satuan kalimat. Makna „pemimpin‟, „ketua‟ sebagai makna
kelima dalam kamus besar itu baru bisa dipahami atau dimengerti kalau kata
kepala itu berada dalam frase seperti kepala kantor, kepala sekolah dan kepala
keluarga. Tanpa konteksnya dalam frase seperti itu kata kepala hanyalah memiliki

16
Universitas Sumatera Utara

makna leksikalnya. Begitupun makna menjadi sebagai makna kesepuluh dari kata
jatuh yang tercatat dalam kamus besar itu baru bisa dipahami kalau kata jatuh itu
berada dalam konteks frase seperti jatuh cinta, jatuh miskin dan jatuh sakit. Tanpa
konteks tentu kata jatuh itu hanya memiliki makna leksikalnya, yakni makna
pertama yang tercatat dalam kamus besar itu.
Contoh :
    .
   
  
/`ulā‟ika „alaihim ṣalawātun mmin rrabbihim waraḥmatun wa `ulā`ika humu almuhtadūna/ “mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat
dari tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk” (Qs.
2:157)
   .
 
   
/ḥāfiẓū „alā aṣ-ṣalawāti wa aṣ-ṣalāti al-wusṭā wa qūmū lillahi qānitīna/
“peliharalah segala salatmu dan peliharalah salat wustha berdirilah untuk Allah
(dalam salatmu) dengan khusyu`” (Qs. 2:238)




.







    








    
 
/Wa mina al-`a„rābi man yu`minu bi allahi wa al-yaumi al-`ākhiri wa yattakhiżu
māyunfiqu qurubātin „inda allahi wa ṣalawāti ar-rasūli, `alā `innahā qurbatun
lahum, sayudkḣiluhumu allahu fī raḥmatihi, inna allaha gafurun rohīmun/ "di
antara orang-orang Arab Badwi itu ada orang yang beriman kepada Allah dan hari
Kemudian, dan memandang apa yang dinafkahkannya (di jalan Allah) itu, sebagai
jalan untuk mendekatkannya kepada Allah dan sebagai jalan untuk memperoleh
doa rasul. ketahuilah, Sesungguhnya nafkah itu adalah suatu jalan bagi mereka
untuk mendekatkan diri (kepada Allah). kelak Allah akan memasukan mereka

17
Universitas Sumatera Utara

kedalam rahmat (surga)Nya; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (Qs. 9:99)
   .
    
     






   
    



 

  
/allażīna `ukhrijū min diyārihim bigairi ḣaqqin `illā `an yaqūlū rabbunā allahu,
wa laulā daf‟u allah an-nāsa ba„ḍahum biba„ḍin lahuddimat ṣawāmi„u wa
biya„un wa ṣalawātun wa masājidu yużkaru fīhā `ismu allahi kaṡīran, wa
layanṣuranna allah man yanṣuruhu, inna allaha laqawiyyun „azizun. “(yaitu)
orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang
benar, kecuali karena mereka berkata: "Tuhan Kami hanyalah Allah". dan
Sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian
yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumahrumah ibadat orang Yahudi dan masjid- masjid, yang di dalamnya banyak disebut
nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha kuat lagi Maha perkasa," (Qs. 22:40)
Pada ayat-ayat

Alquran di atas terdapat kata ‫ ص ة‬/ṣalātun/ yang

mengalami proses gramatikal, yaitu gramatikal kepolisemian. Proses gramatikal
kepolisemian di sini adalah terdapatnya banyak makna pada satu kata yaitu pada
kata

‫ ص‬/ṣalawātun/ yang memiliki 4 makna yaitu: ‘keberkatan’, ‘doa’, ‘segala

salatmu’, dan ‘rumah-rumah ibadat orang yahudi’ dikarenakan proses
pemfrasean atau proses pengalimatan.
Untuk mengetahui proses gramatikal lainnya perlu dilakukan penelitian
yang lebih mendalam terkait makna kata ‫ ص ة‬/ṣalātun/ dalam Alquran dan
Terjemahnya Departemen Agama RI.
2.3.3 Makna Kontekstual
Untuk dapat memahami makna suatu ujaran harus pula diketahui konteks
dari terjadinya ujaran itu, atau tempat terjadinya ujaran itu. Konteks ujaran ini

18
Universitas Sumatera Utara

dapat berupa konteks intrakalimat, antarkalimat, bidang ujaran atau juga situasi
ujaran. (Chaer, 2003:285)

19
Universitas Sumatera Utara