Kategori Dan Peran Semantis Verba Dalam Bahasa Indonesia

(1)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

KATEGORI DAN PERAN SEMANTIS VERBA

DALAM BAHASA INDONESIA

Mulyadi

Universitas Sumatera Utara Abstract

This paper attempts to present the verb category and the semantic roles of the verb arguments in Bahasa Indonesia. The formulation of the verb is measured by time stability-scale. Verb category applies the natural semantic metalanguage theory and concept of semantic roles adopts generalised semantic roles theory. The Indonesian verbs have three main classes, i.e. states, processes, and actions. The state verbs consist of cognition, knowledge, feeling, perception, volition, and possession types; the process verbs include event and non-agentive motion types; and the action verbs comprise with agentive motion, utterance, and movement. The semantic roles of the state verbs are experiencer and experiencer-locative/theme/stimulus, except for perception verbs that have agent-stimulus relations. The participants of the process verbs are patient and the roles in the derivation system are patient and theme. For the action verbs, the participants are effector and agent while the patient becomes locative, theme, and patient.

Keywords: semantic role, verb, semantic classes, semantic primes, generalised semantic roles

1. PENDAHULUAN

Artikel ini membahas dua masalah pokok yang menyangkut semantik verba bahasa Indonesia (VBI), yakni kategori semantis dan peran semantis. Kajian ini penting sebab berbasis pada kriteria semantis—dan bukan kriteria struktural—dalam menelaah semantik VBI. Dalam kajian sebelumnya (periksa Tampubolon, dkk., 1979, 1988; Moeliono, dkk., 1988; band. Mulyadi 1998), VBI digolongkan atas keadaan (mis. tinggal, terlambat,

bergetar), proses (mis. menyukai, tumbuh, pecah), dan tindakan (mis. mandi, menjumpai, berlari) dengan menggunakan kriteria struktural sehingga hasilnya patut dipertanyakan. Misalnya, beberapa verba yang secara semantis mirip dipisahkan menjadi dua kelas yang berbeda, sedangkan beberapa verba yang berbeda secara semantis justru dikelompokkan ke dalam kelas yang sama. Penetapan ketiga kelas itu tampaknya terlalu sederhana untuk mencakup seluruh ranah makna VBI. Tiga kelas VBI kiranya mempunyai kelas bawahan tersendiri. Fakta lain yang ditemukan ialah bahwa peran semantis VBI belum disinggung sama sekali, kecuali oleh Mulyadi (1998). Namun, kelas dan peran semantis VBI yang diusulkannya tampaknya perlu dielaborasi mengingat ada kelas semantis verba, seperti verba sensasi, verba posesi, dan verba volisi, yang belum termuat dalam pembagiannya. Hal ini tentunya berimplikasi pada

pemetaan peran semantis VBI. Nyatanya, ada relasi yang kuat antara perbedaan kelas semantis verba dan peran semantis argumennya. Melalui pemetaan peran semantis dimungkinkan untuk mengenali berbagai argumen semantis verba meskipun verba itu diekspresikan dalam konfigurasi sintaktis yang berbeda. Sebagai ilustrasi, pertimbangkan peran semantis verba

mencintai (1a) dan menampar (1b) di bawah ini. (1) a. TigorPengalam mencintai gadis ituStimulus b. TigorAgen menampar gadis ituPasien.

Pada contoh di atas, mencintai tergolong verba keadaan dan menampar verba tindakan. Disebut verba keadaan sebab mencintai

mendeskripsikan keadaan perasaan yang dialami oleh partisipan (Tigor) terhadap partisipan lain (gadis itu). Sebaliknya, menampar

mengimplikasikan tindakan satu partisipan kepada partisipan lain. Akibat perbedaan kelas semantis ini, mencintai dan menampar memiliki peran semantis yang berbeda. Pada (1a) Tigor berperan sebagai pengalam dan gadis itu sebagai stimulus, tetapi pada (1b) Tigor adalah agen dan gadis itu

adalah pasien.

2. TINJAUAN PUSTAKA

Dalam analisis semantis status keanggotaan verba perlu diidentifikasi dengan tepat. Dalam penelitian Tampubolon, dkk. (1979), kelas verba ditentukan


(2)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

secara sintaktis. Dikatakan bahwa verba ialah semua kata yang berfungsi sebagai predikat dalam kalimat. Karena dalam bahasa Indonesia pengisi slot predikat termasuk adjektiva, mereka menggolongkan adjektiva seperti putih, kekar, dan

cantik sebagai verba. Moeliono, dkk. (1988) secara eksplisit membedakan verba dengan adjektiva melalui prefiks ter- yang bermakna ‘paling’. Adjektiva dapat diberi prefiks ter- (mis. terdingin,

tersulit), sedangkan verba tidak bisa diberi prefiks

ter- (mis. *tersukar). Verba adalah sebuah kategori gramatikal.

Sebagai kategori semantis, verba mengacu pada peristiwa (periksa Leech 1981:168; Givon 1984:51—52; Frawley 1992:141). Pengertian semacam ini tidak terdapat dalam tulisan Tampubolon, dkk. dan Moeliono, dkk. Berpangkal pada ekspresi peristiwa, perbedaan verba dengan adjektiva sejatinya dapat ditentukan; begitu juga klasifikasi verba. Akan tetapi, pengujiannya harus berbasis pada kriteria semantis. Lebih lanjut, Tampubolon, dkk. (1979, 1988) dan Moeliono, dkk. (1988) berpendapat bahwa VBI memiliki tiga kelas utama: keadaan, proses, dan aksi (perbuatan). Status keanggotaan sebuah verba mereka uji dengan konstruksi interogatif. Jawaban terhadap tes seperti

(2) a. X dalam keadaan apa? b. Apa yang terjadi pada X? c. X melakukan apa?

secara berurutan mengacu pada anggota verba keadaan, verba proses, dan verba aksi. Dalam hal ini, X mengacu pada entitas. Namun, hasil tes ini menimbulkan keraguan. Tampobolon, dkk. (1979:17—18) berpendapat bahwa bosan dan

takut adalah verba keadaan, sementara bimbang

adalah verba proses; datang adalah verba proses dan pergi verba aksi (1979:25—30). Yang ganjil, verba tahu dan bosan justru mereka tempatkan dalam kelas yang sama kendatipun mengacu pada peristiwa yang berbeda; begitu pula, verba seperti

dengar, ingat, dan bimbang.

Pada bagian yang lain, sejumlah ahli (lihat, antara lain, Chafe 1970; Mourelatos 1981; Leech 1981; Foley dan Van Valin 1984; Frawley 1992; Van Valin dan LaPolla 1999; Van Valin 2005) sudah mengusulkan kategorisasi verba bahasa Inggris, tetapi verba tidak sepenuhnya diperlakukan sebagai fenomena semantis. Ini terlihat dari penggunaan tes struktural. Kecuali itu, karena menggunakan sumber data bahasa Inggris, verba yang dibahas kurang sesuai dengan VBI sebab menyangkut perbedaan morfologi kedua bahasa.

3. KONSEP DAN LANDASAN TEORI

3.1 Konsep

Verba ialah sebuah peristiwa prototip yang menunjukkan perubahan properti temporal (Leech 1981:168; Givon 1984:51—52, 64; Elson dan Pickett 1987:20—21; Frawley 1992:142, 144—145). Dari perubahan itu, peristiwa memotivasi kekategorian verba. Perubahan dalam ekspresi peristiwa dimotivasi oleh tingkat kestabilan waktu (Givon 1984:52). Verba keadaan dianggap paling stabil waktunya dalam arti tidak mengalami perubahan waktu. Verba proses kurang stabil waktunya karena bergerak dari suatu keadaan menuju keadaan lain. Verba tindakan tidak stabil waktunya.

Ketiga kelas verba itu akan diuji dengan properti aspektual dinamis, perfektif, dan pungtual. Ciri dinamis berhubungan dengan perkembangan temporal sebuah verba. Perfektif bermakna suatu tindakan sudah selesai dan memengaruhi penderita. Pungtual berarti suatu tindakan terjadi dalam durasi yang singkat dan memengaruhi penderita.

Selanjutnya, peran semantis merupakan generalisasi tentang peran partisipan dalam peristiwa yang ditunjukkan oleh verba (Booij 2007:191). Peran semantis berguna dalam menggolongkan argumen verba. Menurut Levin (2007:3), representasi peran semantis akan mereduksi makna verba melalui seperangkat peran yang diberikan kepada argumennya.

3.2 Landasan Teori

Dalam penelitian ini diterapkan teori Metabahasa Semantik Alami (MSA) dan teori Peran Semantis Rampatan (PSR) untuk menerangkan semantik VBI. Teori MSA bekerja dalam memetakan tipe-tipe semantis VBI, sementara teori PSR berfungsi untuk menerangkan peran semantis argumen VBI. Gambaran tentang kedua teori tersebut dijelaskan secara ringkas di bawah ini.

Teori MSA dipelopori oleh Anna Wierzbicka (1991, 1992, 1996) dan dalam pengembangannya selama lebih dari tiga dekade dibantu oleh rekan-rekan kerjanya—yang utama adalah Cliff Goddard (1994, 1996a, b). Teori MSA bermula sebagai metode analisis makna leksikal yang berbasis pada parafrase reduktif; maksudnya, makna kata-kata yang kompleks dieksplikasi dengan kata-kata yang lebih sederhana, yang lebih mudah dimengerti. Penggunaan metode parafrase reduktif bertujuan untuk menghindari analisis makna yang berputar-putar dan kabur.

Salah satu konsep teoretis utama dalam penentuan tipe semantis verba ialah perangkat makna asali. Seluruh makna asali yang disajikan


(3)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

dalam teori MSA bertumpu pada eksponen bahasa Inggris. Eksponen ini selain mempunyai properti morfosintaktis yang berbeda, termasuk kelas kata, pada bahasa-bahasa yang berbeda, juga mempunyai varian (aloleksis) kombinasi. Namun, kata-kata yang digunakan dalam metabahasa secara semantis adalah sederhana. Perangkat makna tersebut dalam versi BI diilustrasikan pada tabel di bawah ini.

Tabel 1. Perangkat Makna Asali dalam Bahasa Indonesia

(Diadaptasi dari Goddard 2006:12)

KOMPONEN ELEMEN MAKNA ASALI

Substantif AKU, KAMU, SESEORANG/ORANG,

SESUATU/ HAL, TUBUH Substantif

relasional

JENIS, BAGIAN Pewatas INI, SAMA, LAIN

Penjumlah SATU, DUA, SEMUA, BANYAK, BEBERAPA

Evaluator BAIK, BURUK Deskriptor BESAR, KECIL

Predikat mental PIKIR, TAHU, INGIN, RASA, LIHAT, DENGAR

Ujaran UJAR, KATA, BENAR Tindakan,

peristiwa, gerakan, perkenaan

LAKU, TERJADI, GERAK, SENTUH

Keberadaan dan milik

ADA, PUNYA Hidup dan mati HIDUP, MATI

Waktu BILA/WAKTU, SEKARANG, SEBELUM, SETELAH, LAMA,

SEKEJAP, SEBENTAR, SEKARANG, SAAT

Ruang (DI) MANA/TEMPAT, (DI) SINI, (DI) ATAS, (DI) BAWAH, JAUH, DEKAT, SEBELAH, DALAM Konsep logis TIDAK, MUNGKIN, DAPAT,

KARENA, JIKA Augmentor,

intensifier

SANGAT, LEBIH Kesamaan SEPERTI

Dalam penentuan tipe semantis VBI, teori MSA menawarkan polisemi sebagai alat deskripsi. Polisemi adalah sebuah makna bentuk leksikon tunggal yang bersumber dari dua makna asali yang berbeda. Menurut Goddard (1996a:31), ada dua hubungan nonkomposisi yang paling kuat, yakni hubungan pengartian dan hubungan implikasi. Hubungan pengartian diterangkan melalui kombinasi MELAKUKAN/TERJADI dan MELAKUKAN PADA/TERJADI. Seseorang yang melakukan sesuatu pada seseorang atau melakukan sesuatu pada sesuatu dapat dilihat dari sudut pandang ”pasien”; contohnya, jika X

MELAKUKAN SESUATU PADA Y, SESUATU TERJADI PADA Y. Hubungan implikasi terdapat pada eksponen TERJADI dan MERASAKAN; misalnya, jika X MERASAKAN SESUATU, SESUATU TERJADI PADA X.

Selain makna asali dan polisemi terdapat pula konsep sintaksis makna universal, atau disingkat sintaksis MSA, untuk mengacu pada komponen-komponen berstruktur, seperti ‘aku ingin melakukan sesuatu’, ‘sesuatu yang buruk terjadi padamu’, atau ’orang ini merasakan sesuatu yang baik’. Unit dasar dari sintaksis MSA dibentuk oleh substantif dan predikat serta beberapa elemen tambahan yang ditentukan oleh predikatnya. Dalam teori MSA, makna asali yang tergolong sebagai verba dan berfungsi sebagai predikat dalam sintaksis MSA ialah (1) predikat mental [PIKIR, TAHU, INGIN, RASA, LIHAT, DENGAR], (2) ujaran [UJAR, KATA], (3) tindakan, peristiwa, pergerakan, dan perkenaan [LAKU, TERJADI, GERAK, dan SENTUH], (4) keberadaan dan milik [ADA dan PUNYA], dan (5) hidup dan mati [HIDUP dan MATI].

Lebih lanjut, teori PSR merupakan generalisasi dari sejumlah ancangan teoretis tentang peran semantis dan secara khusus dikembangkan dari teori Peran Umum yang diusulkan pertama kali oleh Foley dan Van Valin (1984) dalam Tata Bahasa Peran dan Acuan. Dalam teori ini diproyeksikan gagasan aktor dan penderita pada struktur klausa, baik pada klausa intransitif maupun pada klausa transitif. Kedua peran ini dipahami sebagai relasi semantis universal. Istilah aktor merujuk kepada generalisasi lintas agen, pengalam, instrumen, dan peran-peran lain, sedangkan penderita adalah generalisasi lintas pasien, tema, resipien, dan peran-peran lain. Wujud kedua peran itu pada setiap bahasa berbeda-beda, tergantung dari karakter morfologis dan sintaktis masing-masing. Bagi Van Valin dan LaPolla (1999:143), relasi tematis prototip ialah agen dan pasien; artinya, agen adalah prototip untuk aktor dan pasien adalah prototip untuk penderita.

Aktor dan penderita tidak mempunyai isi semantis yang konstan. Aktor dapat berperan sebagai agen, pengalam, instrumen, dan peran lain, sedangkan penderita berperan sebagai tema, pasien, resipien, dan peran-peran lain. Tidak ada perubahan peran aktor dan penderita pada struktur klausa meskipun konfigurasi sintaktisnya berbeda. Keduanya dapat dipetakan pada argumen predikat transitif dan argumen predikat intransitif. Aktor dan penderita berbeda dengan relasi sintaktis, seperti subjek dan objek, ataupun peran kasus, seperti agen dan pasien. Pada sebuah argumen


(4)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

verba berbagai peran yang berbeda direalisasikan sesuai dengan ciri semantis predikatnya.

Dalam teori PSR penentuan peran umum pada sebuah verba didasarkan pada struktur logisnya (Van Valin dan LaPolla, 1999:151; Van Valin, 2005:62). Ada tiga kemungkinan dalam pemberian peran umum, yaitu 0, 1, 2. Jika sebuah verba memiliki dua argumen atau lebih pada struktur logisnya, verba itu memerlukan dua peran umum. Apabila sebuah verba mempunyai argumen tunggal pada struktur logisnya, pada situasi ini diperlukan satu peran umum. Pada verba tanpa argumen (mis., verba rain dan snow dalam bahasa Inggris) tidak terdapat peran umum. Sifat peran umum merupakan fungsi dari struktur logis verba. Jika sebuah verba membutuhkan dua argumen, keduanya boleh jadi berupa aktor dan penderita. Pada verba dengan peran umum tunggal, pilihan utamanya diikuti langsung dari struktur logis verbanya. Verba dengan predikat kegiatan pada struktur logisnya diberi peran aktor; jika tidak, perannya adalah penderita.

Pilihan terhadap argumen sebagai aktor dan penderita tidak bersifat acak, tetapi berdasarkan dalil tertentu. Van Valin dan LaPolla (1999) mengusulkan sebuah hierarki pemarkahan untuk lingkungan aktor dan penderita, seperti diringkas pada Gambar 1.

AKTOR PENDERITA

Arg arg 1 arg 1 arg 2 arg pred’ MELAKUKAN melakukan’ (x ... pred’ (x, y) pred’ (x, y) keadaan (x)

Gambar 1. Hierarki Aktor dan Penderita

Pada hierarki di atas, ‘argumen MELAKUKAN’ berperingkat tertinggi, dan argumen ini adalah pilihan yang tak bermarkah untuk aktor. Sementara itu, ’argumen pred’ (x)’ berperingkat terendah dan argumen ini adalah pilihan yang tak bermarkah untuk penderita. Tanda panah menunjukkan peningkatan pemarkahan pada peristiwa tipe argumen tertentu untuk aktor atau penderita. Terkait dengan aktor, pilihan yang bermarkah dimungkinkan jika argumen yang berperingkat lebih tinggi tidak hadir pada klausa. Pada penderita, pilihan itu dimungkinkan apabila tidak hadir pasien pada klausa.

4. METODE PENELITIAN

Tiga tahapan dalam penelitian ini ialah pengumpulan data, analisis data, dan penyajian hasil analisis data. Data penelitian ini berupa pola-pola tuturan dan kalimat, utamanya yang mengekspresikan berbagai perilaku verba BI. Data juga bersumber dari intuisi kebahasaan peneliti.

Data lisan diperoleh melalui penerapan metode simak dan metode cakap. Data tulis BI dikumpulkan dari surat kabar, majalah, novel, dan kamus. Data intuisi dibangkitkan secara introspektif untuk melengkapi kekurangan yang ada.

Dalam analisis data digunakan metode padan dan metode agih (lihat Sudaryanto, 1993; Mahsun, 2005; Djajasudarma, 2006). Metode padan berguna dalam penentuan tipe-tipe semantis verba BI. Contohnya, verba sedih, hancur, dan

mengambil digolongkan kelas yang berbeda sebab ekspresinya mengacu pada peristiwa yang berbeda. Sedih mengacu pada keadaan mental;

hancur mengacu pada perubahan keadaan; dan

mengambil mengacu pada tindakan. Dengan demikian, ekspresi ketiga verba ini, secara berurutan, mengacu pada keadaan, proses, dan tindakan.

Metode agih diterapkan untuk mengidentifikasi peran semantis VBI. Beberapa teknik analisis yang digunakan ialah teknik ganti, teknik ubah wujud, teknik parafrase, teknik sisip, dan teknik perluas. Melalui penerapan teknik perluas dan teknik ubah wujud, misalnya, dimungkinkan untuk menunjukkan perbedaan peran semantis sebuah argumen verba. Tidak semua teknik itu diterapkan sekaligus, tetapi penggunaannya disesuaikan dengan kebutuhan.

Hasil analisis data disajikan dengan metode informal dan metode formal. Metode informal tampak dalam penggunaan kata-kata atau kalimat yang dikembangkan secara deduktif dan induktif. Metode formal direalisasikan melalui pemakaian tanda, gambar, dan diagram untuk menerangkan contoh-contoh data. Kaidah analisis disajikan melalui teknik konflasi, yaitu penyajian beberapa kaidah tunggal secara berjalin sedemikian rupa sehingga membentuk satu gabungan kaidah ganda.

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Tipe Semantis VBI

Verba keadaan—dibandingkan dengan verba proses dan verba tindakan—tergolong paling dasar sebab ekspresi temporalnya sangat terbatas. Semua peristiwa lain dapat dihasilkan dari keadaan. Umpamanya, peristiwa inkoatif dapat dihasilkan dari keadaan melalui operator ‘menjadi’ dan peristiwa kausatif dibentuk oleh peranti konektif ‘menyebabkan’. Karena verba ini bersifat statis, properti temporalnya tidak memungkinkan untuk diperluas. Dalam pandangan Mourelatos (1981:192), verba keadaan bertahan selama rentang waktu. Salah satu parameternya, tetapi parameter ini bukanlah satu-satunya alternatif,


(5)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

ialah bahwa verba keadaan umumnya tidak menerima bentuk progresif, seperti (3b) dan (4b). (3) a. Kartareja percaya akan cerita Sukarya. b. *Kartareja sedang percaya akan cerita

Sukarya.

(4) a. Mereka mengetahui ceritanya.

b. *Mereka sedang mengetahui ceritanya. Kegagalan verba kognisi seperti percaya

dan verba pengetahuan seperti mengetahui

menerima progresif dikarenakan peristiwa yang diekspresikannya menggambarkan keadaan yang sudah ada. Adanya pemarkah progresif justru mengimplikasikan suatu usaha atau kekuatan dan kedua verba ini tidak memerlukan usaha atau kekuatan apa pun untuk menghadirkan keadaan. Itu sebabnya, pada latar struktural kalimatnya menjadi tidak gramatikal.

Verba keadaan mungkin saja terbentuk sebagai hasil dari suatu perubahan dan menyimpan potensi perubahan, tetapi keadaan itu sendiri bukanlah suatu perubahan. Fakta semantis ini tampak pada verba emosi seperti mencintai. Walaupun menerima progresif, mencintai tetap digolongkan sebagai verba keadaan. Ini terjadi karena mencintai merupakan hasil dari suatu perubahan sehingga di dalam struktur internalnya terdapat suatu proses yang memungkinkannya menerima bentuk progresif. Dalam perspektif lain, verba mencintai menerima progresif karena verba itu menyatakan keadaan sementara. Jika (5) diberi keterangan, maknanya adalah ‘Dia sedang berusaha, dengan mengerahkan tenaga, untuk merasakan sesuatu’.

(5) a. Dia mencintai tetangganya. b. Dia sedang mencintai tetangganya.

Hal yang sama juga berlaku untuk verba persepsi, verba volisi, dan verba posesi, yang secara berurutan diilustrasikan pada (6)—(8). Dalam struktur internal kelompok verba ini termuat suatu proses; akibatnya, perilaku semantisnya menerima progresif. Pada ketiga tipe verba ini, sekalipun terbuka slot untuk dua partisipan, tidak terdapat peralihan tindakan di antara partisipannya. Implikasinya ialah tidak ada partisipan yang dipengaruhi oleh partisipan lain. Contohnya,

(6) Dia sedang melihat perempuan mandi di pancuran.

(7) Kami sedang ingin makan rujak.

(8) Dia sedang mempunyai sebuah mobil baru sekarang.

Tipe verba kedua, yaitu verba proses, secara sederhana merujuk pada anggota verba yang menempati ranah di luar dari ranah verba keadaan

dan verba tindakan. Secara umum istilah ini hampir sama dengan kelas achievement Vendler (Foley dan Van Valin, 1984:37—38; Mourelatos, 1981:191—192, 201; Shirai dan Andersen, 1995:744), atau kelas performansi Kenny (Mourelatos, 1981:192—193), atau kelas inseptif Leech (1981:210—211). Verba proses mendeskripsikan perubahan suatu entitas dari suatu keadaan menjadi keadaan yang lain. Ini terjadi karena batas keadaan yang lama telah dilampaui. Di sini ciri atau arah perubahan keadaan yang baru itu tidak dipersoalkan, kecuali batas yang dilintasinya.

Misalnya,

(9) Bunga itu sedang layu. (10) Kakak sedang hamil.

Ciri dinamis juga terdapat pada mekar

dan terbit (mis. sedang mekar, sedang terbit), tetapi ciri ini gagal dipenuhi oleh hangus dan putus

(mis. *sedang hangus, *sedang putus) meskipun keduanya mengekspresikan perubahan keadaan entitasnya. Namun, Chafe (1970:99) mengingatkan bahwa penggunaan kaidah progresif dalam menentukan kelas semantis verba bersifat garis besar, bukan ”prosedur penemuan”. Jadi, tidak perlu berpendapat bahwa fakta semantis tertentu akan konsisten seratus persen dengan beberapa fakta lain. Frawley (1992:153) , kendati-pun menggunakan lima tes diagnostis, juga menemukan kasus-kasus yang meragukan ketika menguji fenomena semantis bahasa Inggris.

Hangus dan putus cenderung ditafsirkan statif dalam bahasa Indonesia. Itu sebabnya, keduanya menolak pemarkah progresif. Namun, kedua verba itu tidak bisa dikelaskan sebagai verba keadaan sebab ekspresi temporalnya memiliki batas akhir sehingga dapat menerima perfektif (mis. sudah hangus, sudah putus). Keduanya juga kurang tepat ditempatkan di bawah verba tindakan sebab makna dasarnya tidak menyatakan suatu tindakan. Karena itu, keduanya dimasukkan ke dalam verba proses.

Karena ciri perfektif, dan juga pungtual, dalam kajian ini sudah dielaborasi, dalam arti kedua cirinya berfokus pada pengaruh yang diterima penderita—jadi, bukan hanya tindakan yang sudah selesai dan terjadi dalam waktu singkat, verba proses menolak kedua ciri ini. Ciri perfektif dan pungtual lebih cocok dikaitkan dengan predikat dua tempat daripada predikat satu tempat. Pada predikat dua tempat, relasi semantisnya menjadi aktor-penderita, sedangkan pada predikat satu tempat, hanya ada satu pilihan peran semantisnya: aktor atau penderita.

Verba proses bahasa Indonesia umumnya tidak bermarkah, kecuali verba yang terbentuk


(6)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

sebagai hasil derivasi dari adjektiva prototip. Selain itu, proses derivasi dengan prefiks me- hanya dimungkinkan pada dasar yang mengandung ciri semantis keadaan untuk membentuk verba proses. Namun, pada verba yang sudah mengandung ciri proses, pelekatan prefiks me- menjadi tidak gramatikal; misalnya, *menghancur, *menyakit, *memandul, *menjatuh, dan *menimbul.

Lebih lanjut, salah satu ciri semantis verba tindakan, dan ciri ini sama dengan verba proses, ialah sifatnya yang dinamis. Ini berarti bahwa ekspresi temporal verba tindakan dapat diperluas. Ciri ini terdapat pada verba gerakan seperti pergi, berlari, dan melompat, atau verba ujaran seperti membujuk, melarang, dan

menghina.

(11) a. Pemuda itu melompat dari tempat duduknya.

b. Ibu membujuk Maria.

(12) a. Pemuda itu sedang melompat dari tempat duduknya.

b. Ibu sedang membujuk Maria.

Pada (11), batas temporal atau titik acuan

melompat dan membujuk bersifat implisit. Dalam sebuah wacana batas temporalnya dapat bersifat eksplisit, seperti diilustrasikan oleh pemakaian adverbia temporal ketika saya masuk pada (13). (13) Ketika saya masuk, pemuda itu sedang melompat dari tempat duduknya.

Properti semantis lain yang melekat pada verba tindakan ialah kepungtualan. Properti ini selain terdapat pada verba ujaran dan verba gerakan, juga pada verba perpindahan, seperti

merampas, mencubit, dan memukul. Contoh (14c) tidak berterima sebab tindakan entitas mempunyai interval waktu yang terbatas. Dengan kata lain,

mencubit tidak memiliki tahap transisi yang jelas di antara batas awal dan batas akhir.

(14) a. Sophia mencubit hidung Indra.

b. Sophia mencubit hidung Indra dengan cepat.

c. ??Sophia mencubit hidung Indra dengan lambat.

Ciri kepungtualan pada hakikatnya menyangkut masalah tingkatan. Maksudnya, berbagai verba yang diklasifikasikan sebagai verba tindakan memiliki tingkat kepungtualan yang berbeda. Jadi, walaupun merampas, memukul, dan

mencubit lebih pungtual daripada membakar,

membantu, dan membeli, bukan berarti verba-verba ini tidak pungtual. Oleh karenanya, semua verba ini tetap digolongkan verba tindakan.

Verba tindakan juga mensyaratkan keperfektifan. Banyak verba memenuhi ciri ini. Selain beberapa contoh di atas, ciri ini ditemukan pada verba membantai, menghantam, menikam, dan memancung. Verba-verba ini mengungkapkan bahwa tindakan aktor sudah selesai dan penderita dipengaruhi sepenuhnya. Kalimat seperti

(15) Munadi menghantam kepala Ngatemi. (16) Mereka memancung lehernya.

dengan jelas menggambarkan bahwa aktor bertindak pada penderita dan penderita menerima pengaruh tindakan tersebut sepenuhnya.

Pemetaan ciri temporal itu pada ketiga klasifikasi VBI, yakni keadaan, proses, dan tindakan, memperlihatkan properti berikut. Verba keadaan dan verba proses tergolong imperfektif dan tak pungtual, tetapi verba proses bersifat dinamis. Verba tindakan memenuhi semua properti semantis itu. Pemetaan ketiga ciri temporal tersebut pada VBI diilustrasikan pada Tabel 2. Tabel 2. Properti Temporal VBI

Properti Temporal

Keadaan Proses Tindakan

Dinamis - + + Perfektif - - +

Pungtual - - +

Berdasarkan perangkat makna asali, tipe keadaan, proses, dan tindakan memiliki subtipe masing-masing. Verba keadaan memuat subtipe verba kognisi (‘pikir’), verba pengetahuan (‘tahu’), verba perasaan (‘rasa’), verba persepsi (‘lihat’ dan ‘dengar’), verba volisi (‘ingin’), dan verba posesi (‘punya’). Verba perasaan mempunyai dua kelas verba bawahan: emosi dan sensasi. Perbedaan keduanya didasari oleh fakta bahwa verba emosi (mis. sedih, marah, takjub, dan ngeri) dibentuk oleh sintaksis MSA ‘X merasakan sesuatu’, sementara verba sensasi (mis. lapar, lelah, gatal, dan mengantuk) dibentuk oleh sintaksis MSA ‘X merasa seperti Y. Jelasnya, ekspresi “merasa lapar”, misalnya, dapat diparafrase sebagai berikut: ‘X merasa seperti orang yang tidak makan apa pun dalam waktu lama dan ingin makan sesuatu karena itu.’

Verba proses memiliki dua subtipe: peristiwa dan gerakan nonagentif. Verba peristiwa terbagi atas verba kejadian (dalam pola sintaksis ‘sesuatu terjadi pada sesuatu’), mis. hancur, lebur,

retak, dan patah, dan verba proses badani (dalam pola sintaksis ‘sesuatu terjadi pada seseorang’), mis. sakit, mengidam, demam, dan mabuk. Verba gerakan nonagentif yang tidak memuat gagasan kendali terdapat pada verba-verba, seperti


(7)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

tumbang, longsor, menggelinding, dan runtuh

(‘sesuatu bergerak di tempat ini’) di satu sisi dan verba-verba, seperti jatuh, terpeleset, terjungkang, dan terperosok (‘seseorang bergerak di tempat ini’) di sisi lain.

Verba tindakan mengandung tiga subtipe, yakni verba gerakan agentif, verba ujaran, dan verba perpindahan. Makna verba perpindahan sangat kompleks sebab dapat menurunkan makna sejumlah verba, antara lain, ‘menampilkan’, ‘mencipta’, 'mengambil', 'memberi', 'membawa', ‘menyentuh’, ‘mengonsumsi’, 'memotong', 'merusak', dan 'memukul'. Klasifikasi VBI diringkas pada Tabel 3.

Tabel 3. Tipe Semantis VBI Tipe Verba Subtipe

Sub-Subtipe

Contoh

Kognisi memercayai,

menduga, merenung Pengetahuan mengetahui,

mengerti, mengenal

Emosi gembira, kecewa,

menyesal Perasaan

Sensasi puas, gatal, haus

Persepsi memandang,

menonton, mendengar

Volisi berkehendak,

bermaksud, berniat KEADAAN

Posesi mempunyai,

memiliki

Kejadian hancur, pecah,

patah Peristiwa

Proses Badani

sakit, hamil, mabuk PROSES

Gerakan Nonagentif

tumbang, jatuh,

terpelanting Gerakan

Agentif

pergi, berjalan,

memanjat

Ujaran meminta, memuji,

menuduh

Tampilan bernyanyi, menari, berdansa

Ciptaan menulis, mengarang, mencetak Sentuhan menyentuh,

memegang, meraba

Ambilan mencuri, menculik,

memungut Berian menyumbang,

membeli, mengajar Bawaan mengangkat,

memikul, mengusung Konsumsi makan, melahap,

minum Potongan menebang,

membelah, menyayat Pukulan menghajar,

meninju, menerjang TINDAKAN

Perpindahan

Rusakan merusak, membongkar, menjebol

5.2 Peran Semantis VBI

Ciri utama perbedaan antara aktor dan penderita ialah bahwa aktor memiliki gagasan kendali atas situasi yang dinyatakan oleh verba, sedangkan penderita tidak mengandung gagasan kendali. Penderita justru dipengaruhi oleh aktor dengan berbagai cara. Bertolak dari pengertian ini berikut ini dijelaskan peran semantis yang terdapat argumen VBI.

Dalam bahasa Indonesia verba keadaan, apa pun kelas bawahannya, memiliki relasi aktor sebagai pengalam dan relasi penderita sebagai lokatif, stimulus, dan tema. Satu-satunya kasus terdapat pada verba persepsi yang disengaja (mis.

menonton, mengawasi, dan memandang) yang memiliki relasi tematis agen-stimulus. Lebih jelasnya, verba keadaan dengan argumen tunggal, seperti verba sensasi (mis. lapar atau mengantuk), memiliki aktor yang berperan sebagai pengalam. Jika verba keadaan menghadirkan dua partisipan pada struktur logisnya, dan dalam kelompok verba itu termasuk verba kognisi, pengetahuan, emosi, persepsi (yang disengaja), volisi, serta posesi, seluruh kelas verba itu mempunyai aktor yang berperan sebagai pengalam dan penderita yang berperan sebagai lokatif, stimulus, dan tema.

Kehadiran pengalam sebagai peran wajib pada verba keadaan tampaknya berbasis pada fakta bahwa kelas derivasinya merupakan predikat mental. Tipe kognisi seperti memercayai, tipe pengetahuan seperti mengetahui, atau tipe emosi seperti malu, misalnya, mensyaratkan pengalam sebagai partisipan yang memercayai sesuatu, mengetahui sesuatu, atau merasakan sesuatu. Argumen kedua yang hadir pada verba ini yang digolongkan sebagai partisipan yang dipercayai atau yang diketahui adalah lokatif, sedangkan partisipan yang menjadi sasaran perasaan pengalam adalah stimulus. Dalam pada itu, dua argumen pada verba volisi mempunyai relasi pengalam-tema, sedangkan dua argumen pada verba posesi memiliki relasi pengalam-lokatif.

Layak untuk dicatat bahwa verba persepsi yang disengaja seperti menonton, mengawasi, dan

memandang mempunyai peran semantis yang berbeda. Sebagai ilustrasi, ketidakberterimaan (17b) di bawah ini menjelaskan bahwa aktor adalah agen pada struktur logis verbanya.

Misalnya,

(17) a. Kebetulan X mendengar berita itu. b. ??Kebetulan X menonton/mengawasi/

memandang Y.

Verba proses memiliki satu partisipan. Karena partisipan tunggalnya mengalami perubahan keadaan—dan bukan pengendali tindakan, peran semantisnya dipetakan sebagai penderita. Pertanyaan pokoknya adalah apakah


(8)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

penderita tersebut diderivasi sebagai pasien atau peran semantis yang lain? Dapat dikatakan bahwa pada verba kejadian, seperti pecah, retak, dan

hancur atau verba proses badaniah, seperti sakit,

pingsan, dan hamil, penderitanya ialah pasien. Sementara itu, pada verba gerakan yang melibatkan entitas tidak bernyawa seperti karam,

berputar, dan menggelinding, penderitanya adalah tema, tetapi pada verba gerakan yang melibatkan entitas bernyawa, seperti jatuh, tenggelam, dan

terpeleset, penderitanya adalah pasien. Dalam sistem peran semantis Foley dan Van Valin (1984:51—52), tema diartikan selain untuk entitas yang ditempatkan, juga untuk entitas yang mengalami perubahan lokasi, dan perubahan lokasi ini terjadi bukan atas kehendak entitas itu sendiri.

Pada verba tindakan, ada dua kemungkinan peran derivasi dari aktor, yaitu pemengaruh dan agen. Peran pemengaruh hadir pada verba ujaran dan beberapa subtipe dari verba tindakan, seperti subtipe tampilan (mis. bernyanyi,

menari, dan berdansa) dan subtipe ciptaan (mis.

menulis, mengarang, dan mencetak). Faktanya, jika makna verba tindakan dalam bahasa Indonesia tidak dibatasi, aktor pada hakikatnya dapat menjadi pemengaruh, seperti kalimat berikut: (18) Malaria membunuh sebagian penduduk desa. (19) Badai menghantam rumah penduduk yang

terletak di tepi pantai.

Relasi agen tampak pada verba gerakan agentif satu tempat, seperti datang, berangkat, dan

berjalan. Pada verba gerakan agentif dua tempat, seperti memanjat dan mendaki, relasi tematis di antara kedua partisipannya ialah agen-lokatif. Relasi pemengaruh-lokatif terdapat pada verba ujaran. Pada kelas verba ini, partisipan kedua menjadi lokasi dari ujaran yang disampaikan oleh partisipan pertama. Oleh sebab itu, partisipan keduanya berperan lokatif.

Peran semantis verba perpindahan lebih beragam. Ada kemungkinan penderita dijabarkan menjadi lokatif, tema, atau pasien. Verba

menyanyikan, menulis, dan menyentuh memilih lokatif untuk penderita; verba mencuri,

menyumbang, dan mengangkat memilih tema untuk penderita; dan verba makan, menebang,

menghajar, dan merusak, memilih pasien untuk penderita. Peran tema diberikan karena entitasnya berpindah. Entitas yang menjadi tempat terjadinya peristiwa ditafsirkan berperan sebagai lokatif. Kemudian, entitas yang dipengaruhi sepenuhnya oleh entitas lain, dan menyebabkannya berubah secara fisik ditafsirkan sebagai pasien. Gambaran tentang peran semantis VBI diringkas pada tabel berikut ini.

Tabel 4. Peran Semantis VBI

Peran Semantis Tipe verba Subtipe Struktur Logis

Aktor-Penderita

Kognisi pikir’ (x, y)

Pengalam-Lokatif

Pengetahuan tahu’ (x, y)

Pengalam-Lokatf

marah’ (x, y)

Pengalam-Stimulus Perasaan

lapar’ (x) Pengalam

Persepsi lihat’ (x, y)

Pengalam-Stimulus

tonton’ (x, y) Agen-Stimulus

Volisi ingin’ (x, (y))

Pengalam-Tema KEADAAN

Posesi punya’ (x, y)

Pengalam-Tema

hancur’ (x) Pasien

Peristiwa

hamil’ (x) Pasien

tumbang’ (x) Tema

PROSES

Gerakan

Nonagentif jatuh’ (x) Pasien

pergi’ (x) Agen

Gerakan

Agentif panjat’ (x, y) Agen-Tema

Ujaran puji’ (x, y)

Pemengaruh-Lokatif nyanyi’ (x, (y))

Pemengaruh-Lokatif

tulis’ (x, y)

Pemengaruh-Lokatif

sentuh’ (x, y) Agen-Lokatif

curi’ (x, y) Agen-Tema

sumbang’ (x, y) Agen-Tema

angkat’ (x, y) Agen-Tema

makan’ (x, (y)) Agen-Pasien

tebang’ (x, y) Agen-Pasien

hajar’ (x, y) Agen-Pasien

TINDAKAN

Perpindahan

rusak’ (x, y) Agen-Pasien

6. SIMPULAN

Tipe semantis VBI, berdasarkan skala kestabilan waktu, terdiri atas keadaan, proses, dan tindakan. Pemetaan ciri temporal itu pada ketiga tipe VBI memperlihatkan properti temporal berikut. Verba keadaan dan verba proses tergolong imperfektif dan tak pungtual, tetapi verba keadaan bersifat statis sementara verba proses bersifat dinamis. Verba tindakan memenuhi semua properti semantis itu.

Dengan mengacu pada perangkat makna asali, ketiga tipe utama tersebut mengandung subtipe masing-masing. Verba keadaan memuat subtipe kognisi, pengetahuan, perasaan, persepsi, volisi, dan posesi. Verba perasaan yang dibentuk oleh makna asali ’rasa’ bahkan memiliki sub-subtipe verba emosi dan verba sensasi. Verba proses terdiri atas (1) verba peristiwa—yang dapat dibagi lagi atas verba kejadian dan verba proses badaniah—dan (2) verba gerakan nonagentif. Verba tindakan terdiri atas subtipe gerakan agentif, ujaran, dan perpindahan. Verba perpindahan memuat sejumlah subtipe sesuai dengan kemiripan


(9)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

atau kesamaan maknanya, antara lain, verba tampilan, ciptaan, ambilan, berian, bawaan, sentuhan, konsumsi, potongan, pukulan, dan rusakan.

Verba keadaan memiliki aktor sebagai pengalam dan penderita sebagai lokatif, stimulus, dan tema, kecuali verba persepsi yang disengaja (mis. menonton, mengawasi, dan memandang) yang memiliki relasi tematis agen-stimulus.

Partisipan tunggal pada verba proses adalah penderita, dan peran ini pada sistem derivasi digolongkan sebagai pasien dan tema. Verba tindakan dengan argumen tunggal seperti pada verba gerakan agentif mempunyai relasi agen. Pada verba ujaran terdapat relasi pemengaruh-lokatif. Verba tindakan dengan subtipe verba perpindahan pada umumnya memiliki aktor sebagai agen dan penderita dipetakan sebagai lokatif, tema, dan pasien.

DAFTAR PUSTAKA

Booij, G. 2007. The Grammar of Words: An Introduction to Morphology. Oxford: Oxford University Press.

Chafe, W.L. 1970. Meaning and the Structure of Language. Chicago: The University of Chicago Press.

Djajasudarma, T. F. 2006. Metode Linguistik: Ancangan Metode Penelitian dan Kajian. Bandung: Refika Aditama.

Elson, B. dan V. Pickett. 1987. Beginning Morphology and Syntax. Texas: Summer Institute of Linguistics.

Foley, W. A. dan R. Van Valin Jr. 1984.

Functional Syntax and Universal Grammar. Cambridge: Cambridge University Press. Frawley, W. 1992. Linguistic Semantics. New

Jersey: Lawrence Erlbaum.

Givon, T. 1984. Syntax: A Functional-Typological Introduction. Vol. 1. Amsterdam/ Philadelphia: John Benjamins.

Goddard, C. 1994. “Semantic Theory and Semantic Universal”. Dalam C. Goddard (ed.) 1996. Cross-Linguistic Syntax from a Semantic Point of View (NSM Approach), 1—5. Canberra: Australian National University.

Goddard, C. 1996a. “Building a Universal Semantic Metalanguage: the Semantic Theory of Anna Wierzbicka”. Dalam C. Goddard (ed.) 1996. Cross-Linguistic Syntax from a Semantic Point of View (NSM Approach), 24—37. Canberra: Australian National University.

Goddard, C. 1996b. “Grammatical Categories and Semantic Primes”. Dalam C. Goddard (ed.) 1996. Cross-Linguistic Syntax from a Semantic Point of View (NSM Approach), 38—57. Canberra: Australian National University.

Goddard, C. 2006. “Semantic Molecules.” [dikutip 15 Oktober 2008] Tersedia dari: http://escape.library.uq.edu.au/eseru/UQ:12 798/goddard_c_ALS 2006. pdf.

Leech, G. 1981. Semantics. England: Penguin Books.

Levin, B. 2007. ”The Lexical Semantics of Verbs III: Semantic Determinant of Argument Realization.” [dikutip 22 Oktober 2008]

Tersedia dari: http://www.stanford.edu/~blevin/lsa07

semdet.pdf.

Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Moeliono, A.M. (ed). 1988. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Mourelatos, A.P.D. 1981. “Event, Processes, and

State”. Dalam Tedeschi dan Zaenen, ed. 1981.

Mulyadi. 1998. “Struktur Semantis Verba Bahasa Indonesia”. (tesis). Denpasar: Universitas Udayana.

Shirai, Y. dan R.W. Andersen. 1995. “The Acquisition of Tense-Aspect Morphology: A Prototype Account”. Language, 71: 743—762.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Tampubolon, D.P., Abubakar, dan M. Sitorus. 1979. Tipe-Tipe Semantik Verba Bahasa Indonesia Kontemporer. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.


(10)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Tampubolon, D.P. 1988. “Semantik sebagai Titik Tolak Analisis Linguistik". Dalam Dardjowidjojo, ed. 1988.

Van Valin, R. D. 2005. Exploring the Syntax-Semantics Interface. Cambridge: Cambridge University Press.

Van Valin, R. D. dan R. LaPolla. 1999. Syntax: Structure, Meaning, and Function. Cambridge: Cambridge University Press.

Wierzbicka, A. 1991. Cross-Cultural Pragmatics: The Semantics of Social Interaction. Berlin: Mouton de Gruyter.

Wierzbicka, A. 1992. Semantics, Culture, and Cognition. Oxford: Oxford University Press.

Wierzbicka, A. 1996. Semantics: Primes and Universals. Oxford: Oxford University Press.


(11)

1. I Made Netra

I Made Netra adalah dosen di Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Sastra Universitas Udayana. Dia menyelesaikan S-2 dalam bidang pragmatik tahun 2005 di Universitas Udayana. Selain terlibat dalam berbagai kegiatan penelitian, dia juga rajin menulis artikel ilmiah dan menyajikan makalah dalam seminar linguistik. Saat ini I Made Netra adalah kandidat doktor etnopragmatik di Universitas Udayana.

2. Fajri Usman

Fajri Usman lahir di Pasaman 5 April 1966. Dia adalah dosen di Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Universitas Andalas. Gelar magister humaniora diraihnya di Universitas Udayana dengan membahas mantra dalam bahasa Minangkabau. Kini yang bersangkutan sedang menunggu ujian promosi doktor di Universitas Udayana dalam bidang linguistik kebudayaan.

3. Rumnasari K. Siregar

Rumnasari K. Siregar lahir di Medan, 16 Februari 1968, adalah dosen di Jurusan Akuntansi dan Perbankan Politeknik Negeri Medan. Dia aktif mengikuti kegiatan seminar dan pelatihan yang berbasis pada pengajaran bahasa. Kegiatan akademiknya yang lain ialah sebagai dosen luar biasa di Universitas Islam Sumatera Utara.

4. Ni Wayan Sartini

Ni Wayan Sartini lahir di Denpasar, 11 Agustus 1964. Ia memperoleh gelar sarjana dan magister humaniora dari Universitas Udayana. Sebagai dosen di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, Ni Wayan Sartini rajin mempublikasikan artikelnya dalam jurnal nasional terakreditasi. Saat ini dia adalah kandidat doktor linguistik dari Universitas Udayana.

5. Ni Ketut Alit Ida Setianingsih

Ni Ketut Alit Ida Setianingsih adalah dosen pada Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Sastra, Universitas Udayana.

6. I Gst. Ngurah Parthama

I Gst. Ngurah Parthama adalah dosen pada Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Sastra, Universitas Udayana.

7. Abdurahman Adisaputera

Abdurahman Adisaputera lahir di Stabat, 1 Oktober 1967. Kandidat doktor sosiolinguistik dari Universitas Udayana ini adalah dosen di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Sastra, Universitas Negeri Medan. Karya ilmiahnya telah dipublikasikan dalam berbagai jurnal dan seminar (nasional dan internasional). Karyanya yang mutakhir ialah ”Linguistik Fungsional Sistemik: Analisis Teks Materi Pembelajaran di Sekolah Dasar (SD) terbit di jurnal Logat (2008) dan ”Sosio-ekologis Melayu Langkat dan Pengaruhnya pada Sistem Kekerabatan” yang disajikan pada Seminar Nasional Bahasa Ibu II di Universitas Udayana (2009).

8. Mulyadi

Mulyadi lahir di Tanjung Balai, 31 Juli 1964. Lektor Kepala di Departemen Sastra Indonesia Fakultas Sastra USU ini meraih magister humaniora dari Universitas Udayana (1998) dalam bidang Semantik. Ia kemudian mengikuti program doktor linguistik di Universitas Udayana Tahun 2007 dan kini sedang melaksanakan penelitian tentang semantik verba emosi dalam bahasa Indonesia dan bahasa Melayu Asahan. Tulisannya yang terakhir ialah ”Simbolisme Bunyi dalam Bahasa Indonesia” (2008) terbit di jurnal Kajian Sastra (Universitas Diponegoro), ”Kealamiahan Proses Morfologis: Misteri dalam ”Kotak Pandora” (2008) di jurnal Linguistik Kultura (Universitas Andalas), dan ”Dari Gerakan ke Emosi: Metafora Emosi Bahasa Indoesia” (2009) dalam Seminar Nasional Bahasa Ibu II di Universitas Udayan


(1)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

sebagai hasil derivasi dari adjektiva prototip. Selain itu, proses derivasi dengan prefiks me- hanya dimungkinkan pada dasar yang mengandung ciri semantis keadaan untuk membentuk verba proses. Namun, pada verba yang sudah mengandung ciri proses, pelekatan prefiks me- menjadi tidak gramatikal; misalnya, *menghancur, *menyakit, *memandul, *menjatuh, dan *menimbul.

Lebih lanjut, salah satu ciri semantis verba tindakan, dan ciri ini sama dengan verba proses, ialah sifatnya yang dinamis. Ini berarti bahwa ekspresi temporal verba tindakan dapat diperluas. Ciri ini terdapat pada verba gerakan seperti pergi, berlari, dan melompat, atau verba ujaran seperti membujuk, melarang, dan menghina.

(11) a. Pemuda itu melompat dari tempat duduknya.

b. Ibu membujuk Maria.

(12) a. Pemuda itu sedang melompat dari tempat duduknya.

b. Ibu sedang membujuk Maria.

Pada (11), batas temporal atau titik acuan melompat dan membujuk bersifat implisit. Dalam sebuah wacana batas temporalnya dapat bersifat eksplisit, seperti diilustrasikan oleh pemakaian adverbia temporal ketika saya masuk pada (13). (13) Ketika saya masuk, pemuda itu sedang melompat dari tempat duduknya.

Properti semantis lain yang melekat pada verba tindakan ialah kepungtualan. Properti ini selain terdapat pada verba ujaran dan verba gerakan, juga pada verba perpindahan, seperti merampas, mencubit, dan memukul. Contoh (14c) tidak berterima sebab tindakan entitas mempunyai interval waktu yang terbatas. Dengan kata lain, mencubit tidak memiliki tahap transisi yang jelas di antara batas awal dan batas akhir.

(14) a. Sophia mencubit hidung Indra.

b. Sophia mencubit hidung Indra dengan cepat.

c. ??Sophia mencubit hidung Indra dengan lambat.

Ciri kepungtualan pada hakikatnya menyangkut masalah tingkatan. Maksudnya, berbagai verba yang diklasifikasikan sebagai verba tindakan memiliki tingkat kepungtualan yang berbeda. Jadi, walaupun merampas, memukul, dan mencubit lebih pungtual daripada membakar, membantu, dan membeli, bukan berarti verba-verba ini tidak pungtual. Oleh karenanya, semua verba ini tetap digolongkan verba tindakan.

Verba tindakan juga mensyaratkan keperfektifan. Banyak verba memenuhi ciri ini. Selain beberapa contoh di atas, ciri ini ditemukan pada verba membantai, menghantam, menikam, dan memancung. Verba-verba ini mengungkapkan bahwa tindakan aktor sudah selesai dan penderita dipengaruhi sepenuhnya. Kalimat seperti

(15) Munadi menghantam kepala Ngatemi. (16) Mereka memancung lehernya.

dengan jelas menggambarkan bahwa aktor bertindak pada penderita dan penderita menerima pengaruh tindakan tersebut sepenuhnya.

Pemetaan ciri temporal itu pada ketiga klasifikasi VBI, yakni keadaan, proses, dan tindakan, memperlihatkan properti berikut. Verba keadaan dan verba proses tergolong imperfektif dan tak pungtual, tetapi verba proses bersifat dinamis. Verba tindakan memenuhi semua properti semantis itu. Pemetaan ketiga ciri temporal tersebut pada VBI diilustrasikan pada Tabel 2. Tabel 2. Properti Temporal VBI

Properti Temporal

Keadaan Proses Tindakan

Dinamis - + + Perfektif - - +

Pungtual - - +

Berdasarkan perangkat makna asali, tipe keadaan, proses, dan tindakan memiliki subtipe masing-masing. Verba keadaan memuat subtipe verba kognisi (‘pikir’), verba pengetahuan (‘tahu’), verba perasaan (‘rasa’), verba persepsi (‘lihat’ dan ‘dengar’), verba volisi (‘ingin’), dan verba posesi (‘punya’). Verba perasaan mempunyai dua kelas verba bawahan: emosi dan sensasi. Perbedaan keduanya didasari oleh fakta bahwa verba emosi (mis. sedih, marah, takjub, dan ngeri) dibentuk oleh sintaksis MSA ‘X merasakan sesuatu’, sementara verba sensasi (mis. lapar, lelah, gatal, dan mengantuk) dibentuk oleh sintaksis MSA ‘X merasa seperti Y. Jelasnya, ekspresi “merasa lapar”, misalnya, dapat diparafrase sebagai berikut: ‘X merasa seperti orang yang tidak makan apa pun dalam waktu lama dan ingin makan sesuatu karena itu.’

Verba proses memiliki dua subtipe: peristiwa dan gerakan nonagentif. Verba peristiwa terbagi atas verba kejadian (dalam pola sintaksis ‘sesuatu terjadi pada sesuatu’), mis. hancur, lebur, retak, dan patah, dan verba proses badani (dalam pola sintaksis ‘sesuatu terjadi pada seseorang’), mis. sakit, mengidam, demam, dan mabuk. Verba gerakan nonagentif yang tidak memuat gagasan kendali terdapat pada verba-verba, seperti


(2)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

tumbang, longsor, menggelinding, dan runtuh (‘sesuatu bergerak di tempat ini’) di satu sisi dan verba-verba, seperti jatuh, terpeleset, terjungkang, dan terperosok (‘seseorang bergerak di tempat ini’) di sisi lain.

Verba tindakan mengandung tiga subtipe, yakni verba gerakan agentif, verba ujaran, dan verba perpindahan. Makna verba perpindahan sangat kompleks sebab dapat menurunkan makna sejumlah verba, antara lain, ‘menampilkan’, ‘mencipta’, 'mengambil', 'memberi', 'membawa', ‘menyentuh’, ‘mengonsumsi’, 'memotong', 'merusak', dan 'memukul'. Klasifikasi VBI diringkas pada Tabel 3.

Tabel 3. Tipe Semantis VBI Tipe Verba Subtipe

Sub-Subtipe

Contoh

Kognisi memercayai, menduga, merenung Pengetahuan mengetahui,

mengerti, mengenal Emosi gembira, kecewa,

menyesal Perasaan

Sensasi puas, gatal, haus Persepsi memandang,

menonton, mendengar Volisi berkehendak,

bermaksud, berniat KEADAAN

Posesi mempunyai, memiliki

Kejadian hancur, pecah, patah

Peristiwa

Proses Badani

sakit, hamil, mabuk PROSES

Gerakan Nonagentif

tumbang, jatuh, terpelanting

Gerakan Agentif

pergi, berjalan, memanjat

Ujaran meminta, memuji, menuduh

Tampilan bernyanyi, menari, berdansa

Ciptaan menulis, mengarang, mencetak Sentuhan menyentuh,

memegang, meraba Ambilan mencuri, menculik,

memungut Berian menyumbang, membeli, mengajar Bawaan mengangkat, memikul, mengusung Konsumsi makan, melahap,

minum Potongan menebang, membelah, menyayat Pukulan menghajar, meninju, menerjang TINDAKAN Perpindahan Rusakan merusak, membongkar, menjebol

5.2 Peran Semantis VBI

Ciri utama perbedaan antara aktor dan penderita ialah bahwa aktor memiliki gagasan kendali atas situasi yang dinyatakan oleh verba, sedangkan penderita tidak mengandung gagasan kendali. Penderita justru dipengaruhi oleh aktor dengan berbagai cara. Bertolak dari pengertian ini berikut ini dijelaskan peran semantis yang terdapat argumen VBI.

Dalam bahasa Indonesia verba keadaan, apa pun kelas bawahannya, memiliki relasi aktor sebagai pengalam dan relasi penderita sebagai lokatif, stimulus, dan tema. Satu-satunya kasus terdapat pada verba persepsi yang disengaja (mis. menonton, mengawasi, dan memandang) yang memiliki relasi tematis agen-stimulus. Lebih jelasnya, verba keadaan dengan argumen tunggal, seperti verba sensasi (mis. lapar atau mengantuk), memiliki aktor yang berperan sebagai pengalam. Jika verba keadaan menghadirkan dua partisipan pada struktur logisnya, dan dalam kelompok verba itu termasuk verba kognisi, pengetahuan, emosi, persepsi (yang disengaja), volisi, serta posesi, seluruh kelas verba itu mempunyai aktor yang berperan sebagai pengalam dan penderita yang berperan sebagai lokatif, stimulus, dan tema.

Kehadiran pengalam sebagai peran wajib pada verba keadaan tampaknya berbasis pada fakta bahwa kelas derivasinya merupakan predikat mental. Tipe kognisi seperti memercayai, tipe pengetahuan seperti mengetahui, atau tipe emosi seperti malu, misalnya, mensyaratkan pengalam sebagai partisipan yang memercayai sesuatu, mengetahui sesuatu, atau merasakan sesuatu. Argumen kedua yang hadir pada verba ini yang digolongkan sebagai partisipan yang dipercayai atau yang diketahui adalah lokatif, sedangkan partisipan yang menjadi sasaran perasaan pengalam adalah stimulus. Dalam pada itu, dua argumen pada verba volisi mempunyai relasi pengalam-tema, sedangkan dua argumen pada verba posesi memiliki relasi pengalam-lokatif.

Layak untuk dicatat bahwa verba persepsi yang disengaja seperti menonton, mengawasi, dan memandang mempunyai peran semantis yang berbeda. Sebagai ilustrasi, ketidakberterimaan (17b) di bawah ini menjelaskan bahwa aktor adalah agen pada struktur logis verbanya.

Misalnya,

(17) a. Kebetulan X mendengar berita itu. b. ??Kebetulan X menonton/mengawasi/

memandang Y.

Verba proses memiliki satu partisipan. Karena partisipan tunggalnya mengalami perubahan keadaan—dan bukan pengendali tindakan, peran semantisnya dipetakan sebagai penderita. Pertanyaan pokoknya adalah apakah


(3)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

penderita tersebut diderivasi sebagai pasien atau peran semantis yang lain? Dapat dikatakan bahwa pada verba kejadian, seperti pecah, retak, dan hancur atau verba proses badaniah, seperti sakit, pingsan, dan hamil, penderitanya ialah pasien. Sementara itu, pada verba gerakan yang melibatkan entitas tidak bernyawa seperti karam, berputar, dan menggelinding, penderitanya adalah tema, tetapi pada verba gerakan yang melibatkan entitas bernyawa, seperti jatuh, tenggelam, dan terpeleset, penderitanya adalah pasien. Dalam sistem peran semantis Foley dan Van Valin (1984:51—52), tema diartikan selain untuk entitas yang ditempatkan, juga untuk entitas yang mengalami perubahan lokasi, dan perubahan lokasi ini terjadi bukan atas kehendak entitas itu sendiri.

Pada verba tindakan, ada dua kemungkinan peran derivasi dari aktor, yaitu pemengaruh dan agen. Peran pemengaruh hadir pada verba ujaran dan beberapa subtipe dari verba tindakan, seperti subtipe tampilan (mis. bernyanyi, menari, dan berdansa) dan subtipe ciptaan (mis. menulis, mengarang, dan mencetak). Faktanya, jika makna verba tindakan dalam bahasa Indonesia tidak dibatasi, aktor pada hakikatnya dapat menjadi pemengaruh, seperti kalimat berikut: (18) Malaria membunuh sebagian penduduk desa. (19) Badai menghantam rumah penduduk yang

terletak di tepi pantai.

Relasi agen tampak pada verba gerakan agentif satu tempat, seperti datang, berangkat, dan berjalan. Pada verba gerakan agentif dua tempat, seperti memanjat dan mendaki, relasi tematis di antara kedua partisipannya ialah agen-lokatif. Relasi pemengaruh-lokatif terdapat pada verba ujaran. Pada kelas verba ini, partisipan kedua menjadi lokasi dari ujaran yang disampaikan oleh partisipan pertama. Oleh sebab itu, partisipan keduanya berperan lokatif.

Peran semantis verba perpindahan lebih beragam. Ada kemungkinan penderita dijabarkan menjadi lokatif, tema, atau pasien. Verba menyanyikan, menulis, dan menyentuh memilih lokatif untuk penderita; verba mencuri, menyumbang, dan mengangkat memilih tema untuk penderita; dan verba makan, menebang, menghajar, dan merusak, memilih pasien untuk penderita. Peran tema diberikan karena entitasnya berpindah. Entitas yang menjadi tempat terjadinya peristiwa ditafsirkan berperan sebagai lokatif. Kemudian, entitas yang dipengaruhi sepenuhnya oleh entitas lain, dan menyebabkannya berubah secara fisik ditafsirkan sebagai pasien. Gambaran tentang peran semantis VBI diringkas pada tabel berikut ini.

Tabel 4. Peran Semantis VBI

Peran Semantis Tipe verba Subtipe Struktur Logis

Aktor-Penderita

Kognisi pikir’ (x, y) Pengalam-Lokatif Pengetahuan tahu’ (x, y)

Pengalam-Lokatf marah’ (x, y)

Pengalam-Stimulus Perasaan

lapar’ (x) Pengalam Persepsi lihat’ (x, y) Pengalam-Stimulus tonton’ (x, y) Agen-Stimulus Volisi ingin’ (x, (y))

Pengalam-Tema KEADAAN

Posesi punya’ (x, y) Pengalam-Tema hancur’ (x) Pasien Peristiwa

hamil’ (x) Pasien tumbang’ (x) Tema PROSES

Gerakan

Nonagentif jatuh’ (x) Pasien pergi’ (x) Agen Gerakan

Agentif panjat’ (x, y) Agen-Tema Ujaran puji’ (x, y)

Pemengaruh-Lokatif nyanyi’ (x, (y))

Pemengaruh-Lokatif tulis’ (x, y)

Pemengaruh-Lokatif sentuh’ (x, y) Agen-Lokatif curi’ (x, y) Agen-Tema sumbang’ (x, y) Agen-Tema angkat’ (x, y) Agen-Tema makan’ (x, (y)) Agen-Pasien tebang’ (x, y) Agen-Pasien hajar’ (x, y) Agen-Pasien TINDAKAN

Perpindahan

rusak’ (x, y) Agen-Pasien

6. SIMPULAN

Tipe semantis VBI, berdasarkan skala kestabilan waktu, terdiri atas keadaan, proses, dan tindakan. Pemetaan ciri temporal itu pada ketiga tipe VBI memperlihatkan properti temporal berikut. Verba keadaan dan verba proses tergolong imperfektif dan tak pungtual, tetapi verba keadaan bersifat statis sementara verba proses bersifat dinamis. Verba tindakan memenuhi semua properti semantis itu.

Dengan mengacu pada perangkat makna asali, ketiga tipe utama tersebut mengandung subtipe masing-masing. Verba keadaan memuat subtipe kognisi, pengetahuan, perasaan, persepsi, volisi, dan posesi. Verba perasaan yang dibentuk oleh makna asali ’rasa’ bahkan memiliki sub-subtipe verba emosi dan verba sensasi. Verba proses terdiri atas (1) verba peristiwa—yang dapat dibagi lagi atas verba kejadian dan verba proses badaniah—dan (2) verba gerakan nonagentif. Verba tindakan terdiri atas subtipe gerakan agentif, ujaran, dan perpindahan. Verba perpindahan memuat sejumlah subtipe sesuai dengan kemiripan


(4)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

atau kesamaan maknanya, antara lain, verba tampilan, ciptaan, ambilan, berian, bawaan, sentuhan, konsumsi, potongan, pukulan, dan rusakan.

Verba keadaan memiliki aktor sebagai pengalam dan penderita sebagai lokatif, stimulus, dan tema, kecuali verba persepsi yang disengaja (mis. menonton, mengawasi, dan memandang) yang memiliki relasi tematis agen-stimulus.

Partisipan tunggal pada verba proses adalah penderita, dan peran ini pada sistem derivasi digolongkan sebagai pasien dan tema. Verba tindakan dengan argumen tunggal seperti pada verba gerakan agentif mempunyai relasi agen. Pada verba ujaran terdapat relasi pemengaruh-lokatif. Verba tindakan dengan subtipe verba perpindahan pada umumnya memiliki aktor sebagai agen dan penderita dipetakan sebagai lokatif, tema, dan pasien.

DAFTAR PUSTAKA

Booij, G. 2007. The Grammar of Words: An Introduction to Morphology. Oxford: Oxford University Press.

Chafe, W.L. 1970. Meaning and the Structure of Language. Chicago: The University of Chicago Press.

Djajasudarma, T. F. 2006. Metode Linguistik: Ancangan Metode Penelitian dan Kajian. Bandung: Refika Aditama.

Elson, B. dan V. Pickett. 1987. Beginning Morphology and Syntax. Texas: Summer Institute of Linguistics.

Foley, W. A. dan R. Van Valin Jr. 1984. Functional Syntax and Universal Grammar. Cambridge: Cambridge University Press. Frawley, W. 1992. Linguistic Semantics. New

Jersey: Lawrence Erlbaum.

Givon, T. 1984. Syntax: A Functional-Typological Introduction. Vol. 1. Amsterdam/ Philadelphia: John Benjamins.

Goddard, C. 1994. “Semantic Theory and Semantic Universal”. Dalam C. Goddard (ed.) 1996. Cross-Linguistic Syntax from a Semantic Point of View (NSM Approach), 1—5. Canberra: Australian National University.

Goddard, C. 1996a. “Building a Universal Semantic Metalanguage: the Semantic Theory of Anna Wierzbicka”. Dalam C. Goddard (ed.) 1996. Cross-Linguistic Syntax from a Semantic Point of View (NSM Approach), 24—37. Canberra: Australian National University.

Goddard, C. 1996b. “Grammatical Categories and Semantic Primes”. Dalam C. Goddard (ed.) 1996. Cross-Linguistic Syntax from a Semantic Point of View (NSM Approach), 38—57. Canberra: Australian National University.

Goddard, C. 2006. “Semantic Molecules.” [dikutip 15 Oktober 2008] Tersedia dari: http://escape.library.uq.edu.au/eseru/UQ:12 798/goddard_c_ALS 2006. pdf.

Leech, G. 1981. Semantics. England: Penguin Books.

Levin, B. 2007. ”The Lexical Semantics of Verbs III: Semantic Determinant of Argument Realization.” [dikutip 22 Oktober 2008]

Tersedia dari: http://www.stanford.edu/~blevin/lsa07

semdet.pdf.

Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Moeliono, A.M. (ed). 1988. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Mourelatos, A.P.D. 1981. “Event, Processes, and

State”. Dalam Tedeschi dan Zaenen, ed. 1981.

Mulyadi. 1998. “Struktur Semantis Verba Bahasa Indonesia”. (tesis). Denpasar: Universitas Udayana.

Shirai, Y. dan R.W. Andersen. 1995. “The Acquisition of Tense-Aspect Morphology: A Prototype Account”. Language, 71: 743—762.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Tampubolon, D.P., Abubakar, dan M. Sitorus. 1979. Tipe-Tipe Semantik Verba Bahasa Indonesia Kontemporer. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.


(5)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume V No. 1 April Tahun 2009

Tampubolon, D.P. 1988. “Semantik sebagai Titik Tolak Analisis Linguistik". Dalam Dardjowidjojo, ed. 1988.

Van Valin, R. D. 2005. Exploring the Syntax-Semantics Interface. Cambridge: Cambridge University Press.

Van Valin, R. D. dan R. LaPolla. 1999. Syntax: Structure, Meaning, and Function. Cambridge: Cambridge University Press.

Wierzbicka, A. 1991. Cross-Cultural Pragmatics: The Semantics of Social Interaction. Berlin: Mouton de Gruyter.

Wierzbicka, A. 1992. Semantics, Culture, and Cognition. Oxford: Oxford University Press.

Wierzbicka, A. 1996. Semantics: Primes and Universals. Oxford: Oxford University Press.


(6)

1. I Made Netra

I Made Netra adalah dosen di Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Sastra Universitas Udayana. Dia menyelesaikan S-2 dalam bidang pragmatik tahun 2005 di Universitas Udayana. Selain terlibat dalam berbagai kegiatan penelitian, dia juga rajin menulis artikel ilmiah dan menyajikan makalah dalam seminar linguistik. Saat ini I Made Netra adalah kandidat doktor etnopragmatik di Universitas Udayana.

2. Fajri Usman

Fajri Usman lahir di Pasaman 5 April 1966. Dia adalah dosen di Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Universitas Andalas. Gelar magister humaniora diraihnya di Universitas Udayana dengan membahas mantra dalam bahasa Minangkabau. Kini yang bersangkutan sedang menunggu ujian promosi doktor di Universitas Udayana dalam bidang linguistik kebudayaan.

3. Rumnasari K. Siregar

Rumnasari K. Siregar lahir di Medan, 16 Februari 1968, adalah dosen di Jurusan Akuntansi dan Perbankan Politeknik Negeri Medan. Dia aktif mengikuti kegiatan seminar dan pelatihan yang berbasis pada pengajaran bahasa. Kegiatan akademiknya yang lain ialah sebagai dosen luar biasa di Universitas Islam Sumatera Utara.

4. Ni Wayan Sartini

Ni Wayan Sartini lahir di Denpasar, 11 Agustus 1964. Ia memperoleh gelar sarjana dan magister humaniora dari Universitas Udayana. Sebagai dosen di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, Ni Wayan Sartini rajin mempublikasikan artikelnya dalam jurnal nasional terakreditasi. Saat ini dia adalah kandidat doktor linguistik dari Universitas Udayana.

5. Ni Ketut Alit Ida Setianingsih

Ni Ketut Alit Ida Setianingsih adalah dosen pada Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Sastra, Universitas Udayana.

6. I Gst. Ngurah Parthama

I Gst. Ngurah Parthama adalah dosen pada Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Sastra, Universitas Udayana.

7. Abdurahman Adisaputera

Abdurahman Adisaputera lahir di Stabat, 1 Oktober 1967. Kandidat doktor sosiolinguistik dari Universitas Udayana ini adalah dosen di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Sastra, Universitas Negeri Medan. Karya ilmiahnya telah dipublikasikan dalam berbagai jurnal dan seminar (nasional dan internasional). Karyanya yang mutakhir ialah ”Linguistik Fungsional Sistemik: Analisis Teks Materi Pembelajaran di Sekolah Dasar (SD) terbit di jurnal Logat (2008) dan ”Sosio-ekologis Melayu Langkat dan Pengaruhnya pada Sistem Kekerabatan” yang disajikan pada Seminar Nasional Bahasa Ibu II di Universitas Udayana (2009).

8. Mulyadi

Mulyadi lahir di Tanjung Balai, 31 Juli 1964. Lektor Kepala di Departemen Sastra Indonesia Fakultas Sastra USU ini meraih magister humaniora dari Universitas Udayana (1998) dalam bidang Semantik. Ia kemudian mengikuti program doktor linguistik di Universitas Udayana Tahun 2007 dan kini sedang melaksanakan penelitian tentang semantik verba emosi dalam bahasa Indonesia dan bahasa Melayu Asahan. Tulisannya yang terakhir ialah ”Simbolisme Bunyi dalam Bahasa Indonesia” (2008) terbit di jurnal Kajian Sastra (Universitas Diponegoro), ”Kealamiahan Proses Morfologis: Misteri dalam ”Kotak Pandora” (2008) di jurnal Linguistik Kultura (Universitas Andalas), dan ”Dari Gerakan ke Emosi: Metafora Emosi Bahasa Indoesia” (2009) dalam Seminar Nasional Bahasa Ibu II di Universitas Udayan