BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kitin dan Kitosan 2.1.1 Kitin - Penggunaan Bentonit Setelah Dilapisi Kitosan Sebagai Adsorben Untuk Menyerap Ion Logam Besi (Fe) Dengan Metoda Spektrofotometri Serapan Atom

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kitin dan Kitosan

2.1.1 Kitin

  Kitin merupakan polisakarida rantai linier dengan rumus 2-asetamido-2-deoksi- β-(1- 4)-D-glukopiranosa (Muzarelli,R.A.A,1977) dan kitin sebagai precursor kitosan pertama kali ditemukan pada tahun 1881 oleh orang Prancis bernama Henri Braconnot sebagai hasil isolasi dari jamur. Sedangkan kitin dari kulit serangga ditemukan pada tahun 1820 (Rismana,2004).

  Kitin tersebar luas di alam dan dijumpai sebagai bahan pembentuk kerangak luar (eksokleton) kelompok hewan krustacea, insekta, moluska dan dinding sel jamur

  9

  10

  tertentu dan ditaksir dihasilkan di alam sekitar 10 hingga 10 ton per tahunnya (Kumar, 2000).

Gambar 2.1 Struktur Kitin

  2.1.2 Kitosan

  Kitosan adalah hasil deasetilasi dari kitin. Kitosan merupakan senyawa dari kitin yang memilki struktur 2-Amino-2-Deoksi- β-(1-4)-D-glukopiranosa.Sumber kitosan dapat berasal dari kerangka Crustacea (Muzarelli,R.A.A,1977). Kitosan ditemukan oleh Routget (1859). Beliau menemukan bahwa kitin yang telah didihkan pada larutan KOH, juga dapat diperlakukan dengan NaOH dan dipanaskan, maka terjadi perlepasan gugus asetil yang terikat pada atom nitrogen menjadi gugus amino bebas yang disebut dengan kitosan (Vinvogrado,A.P,1971).

Gambar 2.2 Struktur Kitosan

  Dari struktur kitin dan kitosan diatas terlihat bahwa kitin murni mengandung gugus asetamida (NH-COCH

  3 ) dan kitosan murni mengandung gugus amino (NH 2 ).

  Perbedaan gugus ini akan mempengaruhi sifat – sifat kimia senyawa tersebut( Robert,G.A.F,1992).

  2.1.3 Sifat – Sifat Kitosan

  Kitosan adalah padatan amorf putih kekuningan yang tidak larut dalam alkali dan asam mineral kecuali pada keadaan tertentu. Kelarutan kitosan yang paling baik adalah dalam larutan asam asetat 1 %, asam format 10 % dan asam sitrat 10 %. Kitosan tidak dapat larut dalam asam piruvat, asam laktat dan asam – asam anorganik pada pH tertentu, walaupun setelah dipanaskan dan diaduk dengan waktu yang agak lama (Hwang dan Shin,2001).

  Kitosan hanya dapat larut dalam asam encer, seperti asam asetat,asam format, asam sitrat. Kelarutan kitosan dalam asam format ataupun asam asetat dapat membedakan kitosan dan kitin karena kitin tidak dapat melarut dalam keadaan pelarut asam tersebut. Kitosan dibedakan dari kitin oleh kelarutannya dalam larutan asam encer (Dunn et al,1997).

  Kitosan memiliki sifat unik yang dapat digunakan dalam berbagai cara serta memilki kegunaan yang beragam, antara lain sebagai perekat, aditif untuk kertas dan tekstil, penjernihan air minum, serta untuk memperbaiki sifat pengikatan warna. Kitosan mempunyai kemampuan untuk mengadsorpsi logam dan membentuk kompleks kitosan dengan logam (Robert,G.A.F,1992).

2.2 Pengolahan Kitin dan Kitosan

  Kitin yang terdapat padat kulit atau cangkang ini masih terikat dengan protein, CaCO

  3 , pigmen, dan lemak. Berbagai teknik dilakukan untuk memisahkannya, tetapi

  pada umumnya ada tiga tahapan yaitu deproteinisasi dengan NaOH encer, demineralisasi dengan HCl encer dan deasitilasi dengan NaOH pekat Beberapa penelitian menggunakan proses deproteinisasi dan demineralisasi yang berbeda, ada yang demineralisasi dulu kemudian deproteinisasi atau sebaliknya. Pilihan pengolahan tergantung dari tujuan penggunaan kitosan (Brine, 1984).

2.2.1 Deproteinisasi

  Proses deproteinisasi ini dilakukan untuk menghilangkan protein yang terdapat pada kulit atau cangkang kepiting. Proses deproteinisasi ini menggunakan berbagai pereaksi seperti Na

  2 CO 3 , NaHCO 3 , KOH, Na

  2 SO 4 , Na

  2 S, Na

  3 PO 4 dan NaOH.

  • 0,5

  36

  CH 3 COOH dan HCOOH. Umumnya menggunakan HCl 50 % (Roberts,G.A.F, 1992).

  2 SO4 ,

  3 , H

  . Proses demineralisasi ini menggunakan berbagai pereaksi asam seperti HCl, HNO

  3

  Proses demineralisasi bertujuan untuk memisahkan kitin dari CaCO

  Penggunaan enzim untuk memisahkan protein juga dilakukan dalam beberapa penelitian, diantaranya dengan pepsin, setelah didemineralisasi sebelumnya dengan suatu zat. Perlakuan dengan enzim ini masih menyisakan protein sekitar 5 % yang memerlukan proses lanjutan (Roberts,G.A.F, 1992).

  1 2,5 (Roberts,G.A.F, 1992).

  60

  72

  Suhu kamar 100 80 – 85 100

  24 Lobster 2,5 1,0 1,25 2,5

  72 1,5 – 2,25

  3

Tabel 2.1 Kondisi Perlakuan dengan NaOH pada Proses Deproteinisasi

  2

  80 100 100 85 – 90 100

  65

  Kepiting 0,5 1,0 1,0 1,0 1,25 1,25

  1

  0,5

  65 100 100

  100

  Udang 0,125 0,25 0,75 1,25

  C) Lama Reaksi (Jam)

  o

  Suhu (

  Sumber Konsentrasi NaOH (N)

2.2.2 Demineralisasi

  • 1 1 – 3

  12

  C selama 6 jam yang menghasilkan kitosan dengan derajat deasetilasi 92 %. Derajat deasetilasi kitosan tergantung dari konsentrasi alkali yang digunakan, lama reaksi, ukuran partikel kitin dan berat jenis (Hwang dan Shin ,2000)

  o

  Proses deasetilasi kimiawi dilakukan untuk menghilangkan gugus asetil kitin melalui perebusan dalam larutan alkali konsentrasi tinggi. Hwang dan Shin (2000) menggunakan larutan NaOH 40 % dalam proses deasetilasi kitin, pada suhu 70

  3 ) yang terdapat di dalamnya (Muzzarelli, 1997).

  Kitin yang diperoleh dari proses deproteinisasi dan demineralisasi tidak dapat larut dalam sebahagian besar pereaksi kimia. Untuk memudahkan kelarutannya, maka kitin dideasetilasi dengan pelarut alkali menjadi kitosan. Setelah melalui proses deasetilasi maka daya absorbs kitin akan meningkat dengan bertambahnya gugus amino (NH

  48 (Roberts,G.A.F, 1992).

  5

  Suhu Kamar Suhu Kamar Suhu Kamar 11 – 14

  4 Lobster 1,57 2,0 2,0

  48

  24

  Suhu Kamar Suhu Kamar Suhu Kamar Suhu Kamar Suhu Kamar

  Kepiting 0,65 1,0 1,0 1,57 2,0 11,0

  16

  Suhu Kamar Suhu Kamar Suhu Kamar 20 22

  Udang 0,275 0,5 1,25 1,57

  C) Lama Reaksi (Jam)

  o

  Suhu (

  Sumber Konsentrasi HCl (N)

Tabel 2.2 Kondisi Perlakuan dengan HCl pada Proses Demineralisasi

  • 5
  • 20

2.2.3 Deasetilasi

  Makin tinggi konsentrasi alkali yang digunakan makin rendah suhu atau makin singkat waktu yang diperlukan dalam proses ini.

  2.3 Interaksi Kitosan Dengan Ion Logam

  Muzzarelli (1977) menyatakan bahwa kitosan mengikat logam melalui pertukaran ion, penyerapan dan pengkhelatan. Ketiga proses tersebut bergantung pada ion logam masing – masing.

  Kemampuan kitosan untuk mengikat logam dengan cara pengkhelat adalah dihubungkan dengan kadar nitrogen yang tinggi pada rantai polimernya. Kitosan mempunyai kumpulan amino linier bagi setiap unit glukosa. Kumpulan amino ini mempunyai sepasang elektron yang dapat membentuk ikatan – ikatan aktif dengan kation – kation logam. Unsur nitrogen pada setiap monomer kitosan dikatakan sebagai gugus yang aktif berkoordinat dengan kation logam (Hutahean,S.I, 2001).

  2.4 Bentonit

  Bentonit adalah istilah perdagangan untuk jenis lempung yang mengangung mineral monmorillonit lebih dari 85 % yaitu suatu mineral hasil pelapukan, pengaruh hydrothermal atau akibat transformasi adri tufa gelas yang diendapkan di dalam air dalam suasan alkali. Fragmen sisa pada umunya terdiri dari campuran mineral kuarsa/kristobalit, feldsfar, kalsit, gypsum, kaolinit,plagioklas, illit dan sebagainya.

  Bentonit dapat dibagi menjadi 2 golongan berdasarkan kandungan alu-munium silikat hydrous, yaitu activated clay dan fuller's Earth. Activated clay adalah lempung yang kurang memiliki daya pemucat, tetapi daya pemucatnya dapat ditingkatkan melalui pengolahan tertentu. Sementara itu, fuller's earth digunakan didalam fulling atau pembersih bahan wool dari lemak.

  (Zulkarnaen, S. W dan D.H. Marmur. 1990). Sedangkan berdasarkan tipenya, bentonit dibagi menjadi dua, yaitu :

  a. Tipe Wyoming (Na-bentonit – Swelling bentonite) Na bentonit memiliki daya mengembang hingga delapan kali apabila dicelupkan ke dalam air, dan tetap terdispersi beberapa waktu di dalam air. Dalam keadaan kering berwarna putih atau cream, pada keadaan basah dan terkena sinar matahari akan berwarna mengkilap. Perbandingan soda dan kapur tinggi, suspensi koloidal mempunyai pH: 8,5-9,8, tidak dapat diaktifkan, posisi pertukaran diduduki oleh ion- ion sodium (Na+) (Zulkarnaen, S. W dan D.H. Marmur. 1990) b. Mg, (Ca-bentonit – non swelling bentonite) Tipe bentonit ini kurang mengembang apabila dicelupkan ke dalam air, dan tetap terdispersi di dalam air, tetapi secara alami atau setelah diaktifkan mempunyai sifat menghisap yang baik. Perbandingan kandungan Na dan Ca rendah, suspensi koloidal memiliki pH: 4-7. Posisi pertukaran ion lebih banyak diduduki oleh ion-ion kalsium dan magnesium. Dalam keadaan kering bersifat rapid slaking, berwarna abu-abu, biru, kuning, merah dan coklat. Penggunaan bentonit dalam proses pemurnian minyak goreng perlu aktivasi terlebih dahulu. Endapan bentonit Indonesia tersebar di P. Jawa, P. Sumatera, sebagian P. Kalimantan dan P. Sulawesi, dengan cadangan diperkirakan lebih dari 380 juta ton, serta pada umumnya terdiri dari jenis kalsium (Ca- bentonit)(Brady,1986)

2.4.1 Proses Terjadinya Bentonit di Alam

  Secara umum, asal mula terjadinya endapan bentonit ada 4, yaitu 1. Endapan Hasil Pelapukan.

  Faktor utama dalam pembentukan endapan bentonit sebagai hasil pelapukan adalah komposisi kimia dan daya lalu air pada batuan asalnya. Mineral-mineral utama dalam pembentukan bentonit antara lain adalah, plagioklas, kalium- feldspar, biotit, muskovit serta sedikit kandungan senyawa alumina dan ferromagnesia. Pembentukan bentonit dari proses pelapukan diakibatkan oleh adanya reaksi antara ion-ion hidrogen yang terdapat dalam air tanah dengan senyawa silikat.

  2. Endapan Proses Hidrotermal.

  Larutan hidrotermal merupakan larutan yang bersifat asam dengan kandungan khlorida, sulfur, karbondioksida, dan silika. Dalam proses ini komposisi larutan kemudian berubah karena adanya reaksi dengan batuan lain. Larutan alkali selanjutnya terbawa keluar dan bersifat basa serta akan tetap bertahan selama unsur alkali tanah tetap terbentuk akibat penguraian batuan asal. Pada alterasi lemah, keterdapatan unsur alkali tanah akan membentuk bentonit.

  3. Endapan Akibat Transformasi.

  Endapan bentonit sebagai hasil transformasi / devitrifikasi debu gunung api terjadi dengan sempurna apabila debu diendapkan di dalam wadah berbentuk cekungan. Mineral-mineral gelas gunung api secara perlahan-lahan akan mengalami devitrifikasi yang selanjutnya akan menghasilkan bentonit.

  4. Endapan Sedimen.

  Bentonit juga dapat terbentuk sebagai cadangan sedimen keadaan basah. Mineral-mineral yang terbentuk secara sedimenter dan tidak berasosiasi dengan tufa, salah satunya adalah bentonit serta terbentuk dalam cekungan yang bersifat basa (Zulkarnaen,S.W.,D.H. Marmur. 1990)

2.4.2 Struktur Bentonit

  Struktur monmorillonit memiliki konfigurasi 2:1 yang terdiri dari dua silicon oksida tetrahedral dan satu alumunium oksida tetrahedral. Pada tetrahedral, empat atom oksigen berikatan dengan atom silikon di ujung struktur. Sedangkan pada octahedral atom alumunium berikatan dengan enam atom oksigen pada ujung struktur (Soedjoko T.S.,1987).

Gambar 2.3 Struktur Bentonit (http//:www.tekmira.esdm.go.id/data/bentonit)

  2 O 3 19,8 17,33

  2 O 7,2 7,22

  H

  2 O 0,4 0,55

  K

  2 O 2,2 0,50

  CaO 0,6 3,68 MgO 1,3 3,30 Na

  2 O 3 3,9 5,30

  Fe

  61,3 – 6,14 62,12 Al

  2.4.3 Komposisi Bentonit

  3

  Si

  C untuk Komposisi Na-bentonit (%) Ca – Bentonit (%)

  o

  1. Secara Pemanasan Pada tahap ini bentonit dipanaskan pada temperature 300 - 350

  Sebelum digunakan dalam berbagai aplikasi, bentonit harus diaktifkan dan diolah terlebih dahulu. Ada 2 (dua) cara yang dapat dilakukan untuk aktivasi bentonit, yaitu :

  2.4.4 Aktivasi Bentonit

  (http//:www.tekmira.esdm.go.id/data/bentonit diakses tanggal 23 November 2011)

Tabel 2.3 Komposisi Bentonit

2 O

  2. Secara Pengasaman (kontak asam) Tujuan dari aktivasi kontak asam adalah untuk menukar kation Ca yang ada di

  • dalam Ca-bentonit menjadi ion H dan melepaskan ion Al, Fe, Mg dan pengotor lainnya dari kisi – kisi struktur sehingga secara fisik bentonit tersebut menjadi lebih aktif. Untuk keperluan tersebut, asam sulfat dan asam klorida adalah zat kimia yang digunakan (Zulkarnaen,S.W.,D.H. Marmur. 1990).

2.4.5 Aplikasi Bentonit

  A. Bentonit sebagai Bahan Penyerap (Adsorben) atau Bahan Pemucat Pada Industri Minyak Kelapa Sawit.

  Proses Penyerapan zat warna merupakan proses yang sering ditemukan seperti penyerapan zat warna pada minyak hewani, minyak nabati, minyak bumi dan lain – lain. Dalam keadaan awal, bentonit mempunyai kemampuan tinggi untuk menjernihkan warna. Kemampuan penyerapan warna ini dapat ditingkatkan melalui proses pengolahan dan pengasaman.

  Berdasarkan kandungan Alumino silikat hidrat yang terdapat dalam bentonit, maka bentonit dapat dibagi atas 2 (dua) golongan ,yaitu :

  1. Activated Clay Merupakan lempung yang mempunyai daya pemucatan yang rendah.

  2. Fuller’s Earth Biasanya digunakan sebagi bahan pembersih bahan wool dari lemak.

  Fuller’s earth adalah sejenis lempung yang secara alami mempunyai sifat daya serap terhadap zat warna pada minyak, lemak dan pelumas. Karakteristik dari lempung jenis ini adalah mempunyai kandungan air yang tinggi, plastisitas yang rendah, dan struktur yang berlapis – lapis. B. Bentonit sebagi Katalis Penggunaan lempung sebagai katalis telah lama diperkenalkan, yaitu pada proses perengkahan minyak bumi dengan menggunakan mineral montmorillonit yang telah diasamkan. Namun penggunaan lempung sebagi katalis memilki kelemahan, yaitu tidah tahan terhadap suhu tinggi.

  C. Bentonit sebagai Penukar Ion Pemanfaatan bentonit sebgai bahan penukar ion didasarkan pada sifat permukaan bentonit yang bermuatan negative sehingga kation – kation dapat terikat secara elektrostatik pada permukaan bentonit. Sifat ini juga merupakan hal penting dalam pengubahan Ca-bentonit menjadi Na-bentonit. Bentonit di Indonesia memilki daya penukar kation dengan nilai kapasitas tukar kation yang berbeda untuk tiap – tiap daerah yaitu berkisar antara 50 – 100 meq/100 g. Hal ini disebabkan karena perbedaan komposisi kandungan kimianya.

  D. Bentonit sebagai Lumpur Bor Penggunaan utama mineral lempung adalah pada industri lumpr bor, yaitu sebgai lumpur pemilar dalam pengeboran minyak bumi, gas bumi serta uap panas bumi.

  E. Bentonit untuk Pembuatan Tambahan Makanan Ternak Untuk dapat digunakan dalam pembuatan tambahan makanan ternak, bentonit harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :

  • Kandungan bentonit yang digunakan dalam pembuatan tambahan makanan ternak < 30 %
  • Ukuran butiran bentonit adalah 200 mesh
  • Memilki daya serap > 60 %
  • Memiliki kandungan mineral montmorillonit sebesar 70 %
F. Bentonit untuk Bahan Kosmetik Untuk dapat digunakan dalam industri kosmetik, bentonit harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :

  • Mengandung mineral magnesium silikat (Ca-Bentonit)
  • Mempunyai pH netral
  • Kandungan air dalam bentonit adalah < 5 %
  • Tidak mengalami perubahan panas selama dan setelah pemanasan • Ukuran butiran bentonit adalah 325 mesh (Soedjoko T.S.,1987).

  2.5 Adsorpsi

  Adsorpsi adalah suatu proses pemisahan dimana komponen dari suatu fase fluida berpindah ke permukaan zat padat yang menyerap (adsorben). Secara umum proses adsorpsi ada dua macam, yaitu :

  1. Adsorpsi Fisik

  • Panas adsorpsi kurang dari 40 KJ/mol
  • Adsorpsi berlansung pada suhu rendah
  • Kesetimbangan adsorpsi reversible dan cepat
  • Tidak ada energi aktivasi yang terlibat dalam proses ini
  • Terjadi adsorpsi multi lapis

  2. Adsorpsi Kimia

  • Panas adsorpsi lebih besar dari +/- 80 KJ/mol
  • Adsorpsi berlansung pada suhu tinggi
  • Ksetimbangan adsorpsi irreversible
  • Ada energi aktivasi yang terlibat dalam proses ini
  • Terjadi adsorpsi monolapisan

  2.6 Besi

  Besi adalah besi mempunyai simbol Fe daSifat fisik dari besi, yaitu :

  Besi murni merupakan logam berwarna abu – abu

  • = 7,86 g/cm³
  • = 6,98 g/cm³
  • = 13,81 kJ/mol
  • = 340 kJ/mol
  • = (25 °C) 25,10 J/(mol·K)
  • iakses tanggal 14 November 2011)

  Jarang terdapat besi komersil yang murni. Biasanya besi mengandung sejumlah kecil karbida, silisida,fosfida, dan sulfida dari besi serta sedikit grafit.Besi

  2+ 3+

  memiliki 2 muatan yaitu Fe dan Fe . Ion besi (II) dapat mudah dioksidasikan menjadi ion besi (III), maka merupakan zat pereduksi yang kuat. Dalam suasana netral atau basa bahkan oksigen dari atmosfer akan mengoksidasikan ion besi (II). Maka larutan besi (II) harus sedikit asam bila ingin disimpan untuk waktu yang agak lama (Vogel, 1990).

2.6.1 Toksisitas Besi

  Besi merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat didalam tubuh manusia yaitu sebanyak 3- 5 gr di dalam tubuh manusia dewasa. Mineral mikro terdapt dalam jumlah sangat kecil di dalam tubuh, namun mempunyai peranan esensial untuk kehidupan, kesehatan dan reproduksi. Besi mempunyai beberapa fungsi esensial di dalam tubuh : sebagai alat angkut oksigen dari paru – paru ke jaringan tubuh, sebagai alat angkut elektron di dalam sel dan sebagai bagian terpadu berbagai reaksi enzim di dalam jaringan tubuh (Almatsier, S.2003).

2.7 Spektrofotometri Serapan Atom

  Spektrofotometer serapan atom adalah metoda pengukuran kuantitatif suatu unsur yang terdapat dalam suatu cuplikan berdasarkan penerapan cahaya pada panjang gelombang tertentu oleh atom – atom bentuk gas dalam keadaan dasar. Telah lama ahli kimia menggunakan pancaran radiasi oleh atom yang dieksitasikan dalam suatu nyala sebagai alat analisi. Fraksi atom – atom yang tereksitasi berubah secara eksponensial dengan temperature. Teknik ini digunakan untuk penetapan sejumlah unsur, kebanyakan logam dan sampel yang sangat beraneka ragam (Walsh, 1955).

  2.7.1 Prinsip dan Dasar Teori

  Spektrofotometer serapan atom didasarkan pada bahwa atom – atom pada suatu unsur dapat mengabsorpsi energi sinar pada panjang gelombang tertentu. Banyak energi sinar yang di absorpsi berbanding lurus dengan jumlah atom – atom unsur yang mengadsorpsi. Atom terdiri atas inti atom yang mengandung proton bermuatan positif dan neutron berupa partikel netral, di mana inti atom dikelilingi oleh elektron – elektron bermuatan negatif pada tingkat energi yang berbeda – beda. Jika energi diabsorpsi oleh atom, maka elektron yang berada di kulit terluar (electron valensi) akan tereksitasi dan bergerak dari keadaan dasar atau tingkat energi yang terendah ke keadaan tereksitasi dengan tingkat energi yang terendah. Jumlah energi yang dibutuhkan untuk memindahkan elektron ke tingkat energi tertentu dikenal sebagai potensial eksitasi untuk tingkat energi tersebut (Clark,D.V, 1979).

  2.7.2 Instrumentasi

  Komponen penting yang membentuk spektrofotometer serapan atom diperlihatkan pada gambar di bawah ini.

Gambar 2.4 Instrumentasi SSA

  (Day, R.A. Jr. dan Underwood A.L, 1988)

  1. Sumber sinar Sumber sinar yang lazim dipakai adalah lampu katoda berongga. Lampu ini terdiri atas tabung kaca tertutup yang mengandung suatu katoda dan anoda. Katoda berbentuk silinder berongga yang terbuat dari logam atau dilapisi dengan logam tertentu. Tabung logam ini diisi dengan gas mulia (neon atau argon) dengan tekanan rendah. Neon biasanya lebih disukai karena memberikan intensitas pancaran lampu yang lebih rendah (Khopkhar,S.M 1990 dan Mulja, M.,1992).

  2. Tempat sampel Dalam analisis dengan spektrofotometer serapan atom, sampel yang akan dianalisis harus diuraikan menjadi atom – atom netral yang masih dalam keadaan asas. Ada berbagai macam alat yang dapt digunakan untuk mengubah suatu sampel menjadi uap atom – atom yaitu dengan nyala dan tanpa nyala.

  a. Nyala (Flame) Nyala digunakan untuk mengubah sampel yang berupa padatan atau cairan menjadi bentuk uap atomnya dan juga berfungsi untuk atomisasi. b. Tanpa nyala (Flameless) Teknik atomisasi dengan nyala dinilai kurangg peka karena atom gagal mencapai nyala, tetesan sampel yang masuk ke dalam nyala terlalu besar dan proses atomisasi kurang sempurna. Oleh karena itu muncullah suatu teknik atomisasi yang baru yakni atomisasi tanpa nyala. Pengatoman dapat dilakukan dalam tungku dari grafit.Sampel diletakkan dalam tabung grafit, kemudian tabung tersebut dipanaskan dengan sistem elektris dengan cara melewatkan arus listrik grafit. Akibat pemanasan ini, maka zat yang akan dianalisa berubah menjadi atom – atom netral (Rohman, A, 2007).

  3. Monokromator Monokromator memisahkan, mengisolasi dan mengontrol intensitas dari radiasi energi yang mencapai detektor. Idealnya monokromator harus mampu memisahkan garis resonansi. Karena ada beberapa unsur yang mudah dan ada beberapa unsur yang sulit (Haswell,S.J, 1991).

  4. Detektor Detektor dapat diatur sedemikian rupa pada nilai frekuensi tertentu, sehingga tidak memberikan respon terhadap nilai emisi yang berasal dari eksitasi termal (Khopkar,S.M, 2003).

  5. Read out Readout merupakan suatu alat petunjuk atau dapat juga diartikan sebagai sistem pencatat hasil. Sistem read out untuk instrument Spektrofotometer Serapan Atom dilengkapi dengan suatu mikroprosesor (komputer) sehingga memungkinkan pembacaan lansung konsentrasi analit di dalam sampel yang dianalisa (Haswel,S.J,1991).

2.7.3 Gangguan Pada SSA dan Cara Mengatasinya

  Gangguan nyata pada SSA adalah seringkali didapatkan suatu harga yang tidak sesuai dengan konsentrasi sampel yang ditentukan. Penyebab dari gangguan ini adalah faktor matriks sampel, faktor kimia adanya gangguan molekuler yang bersifat radiasi.

  Sampel dalam bentuk molekul karena disosiasi yang tidak sempurna akan cenderung mengabsorpsi radiasi dari sumber radiasi. Demikian juga terjadinya ionisasi atom akan menjadi sumber kesalahan pada SSA oleh karena spectrum radiasi oleh ion jauh berbeda dengan spectrum absorpsi atom netral yang memang akan ditentukan. Ada beberapa usaha untuk mengurangi gangguan kimia pada SSA yaitu dengan jalan :

  1. Menaikkan temperatur nyala agar mempermudah penguraian untuk itu dipakai gas pembakar campuran C H + N O yang memberikan nyala dengan

  2

  2

  2 temperatur yang tinggi.

  2. Menambahkan elemen pengikat gugus atom penyangga, sehingga terikat kuat akan tetapi atom yang ditentukan bebas sebagai atom netral. Misalnya penentuan logam yang terikat sebagai garam, dengan penambahan logam yang lainnya akan terjadi ikatan lebih kuat dengan anion pengganggu.

  3. Pengeluaran unsur pengganggu dari matriks sampel dengan cara eksitasi (Mulja, M.,1995).

Dokumen yang terkait

Penggunaan Bentonit Setelah Dilapisi Kitosan Sebagai Adsorben Untuk Menyerap Ion Logam Besi (Fe) Dengan Metoda Spektrofotometri Serapan Atom

4 86 58

Penyediaan Dan Karakterisasi Kitosan Glutaraldehide Sebagai Adsorben Untuk Menentukan Kadar Ion Logam CU Dengan SSA (Spektrofotometri Serapan Atom)

2 62 59

Pengaruh Biosorpsi Rumput Laut (Sargassum) Setelah Dilapisi Kitosan Sebagai Adsorben Untuk Menyerap Ion Logam Kadmium (Cd2+)

2 53 57

Penggunaan Kitosan Sebagai Absorben Untuk Menyerap Ion Fe Dan Kekeruhan Pada Campuran Larutan Deterjen Dan Besi

0 30 49

Penggunaan Kitosan Magnetik Nanopartikel Untuk Menyerap Logam Kadmium (Cd) Dan TembagA (Cu) Dengan Menggunakan Spektrofotometer Serapan Atom(SSA)

3 49 61

Studi Perbandingan Penggunaan Kitosan Dan Amberjet 1200 Terhadap Penurunan Kadar Logam Tembaga Cu (II) Dengan Metode Spektrofotometri Serapan Atom

0 41 4

Penggunaan Kitosan Dari Tulang Rawan Cumi-Cumi (Loligo Pealli) Untuk Menurunkan Kadar Ion Logam Cd Dengan Menggunakan Spektrofotometri Serapan Atom

4 91 6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Penggunaan Karboksimetil Kitosan Dari Cangkang Belangkas (Tachypleus Gigas) Sebagai Adsorben Untuk Menurunkan Konsentrasi Logam Pb

0 0 16

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kitin - Penggunaan Natrium Tripolifosfat Untuk Pembuatan Nanopartikel Kitosan Dari Cangkang Belangkas

0 1 18

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kitin dan Kitosan - Penggunaan Kitosan Molekul Tinggi dari Cangkang Belangkas (Tachypleus gigas) dan Gelatin sebagai Membran untuk Menurunkan Kadar Logam Timbal (Pb) dengan Metode Solid Phase Extraction (SPE)

0 0 23