Penggunaan Bentonit Setelah Dilapisi Kitosan Sebagai Adsorben Untuk Menyerap Ion Logam Besi (Fe) Dengan Metoda Spektrofotometri Serapan Atom

(1)

PENGGUNAAN BENTONIT SETELAH DILAPISI KITOSAN

SEBAGAI ADSORBEN UNTUK MENYERAP ION LOGAM

BESI (Fe) DENGAN METODA SPEKTROFOTOMETRI

SERAPAN ATOM

SKRIPSI

WINNY WULANDARI

100822002

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2012


(2)

PENGGUNAAN BENTONIT SETELAH DILAPISI KITOSAN

SEBAGAI ADSORBEN UNTUK MENYERAP ION LOGAM

BESI (Fe) DAN ARSEN (As) DENGAN METODA

SPEKTROFOTOMETER SERAPAN ATOM

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat untuk mencapai gelar Sarjana Sains

WINNY WULANDARI

100822002

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2012


(3)

PERSETUJUAN

Judul : PENGGUNAAN BENTONIT SETELAH DILAPISI KITOSAN SEBAGAI ADSORBEN UNTUK MENYERAP ION LOGAM BESI (Fe) DENGAN METODA SPEKTROFOTOMETRI SERAPAN ATOM

Kategori : SKRIPSI

Nama : WINNY WULANDARI

Nomor Induk Mahasiswa : 100822002

Program Studi : EKSTENSI SARJANA (S-1) KIMIA

Departemen : KIMIA

Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

ALAM (FMIPA) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Disetujui di

Medan, April 2012

Komisi Pembimbing :

Pembimbing 2 Pembimbing1

Prof.Dr.Zul Alfian,M.Sc Prof.Dr.Harry Agusnar,M.Sc.,M.Phill NIP. 195504051983031002 NIP. 195308171983031002

Diketahui/Disetujui oleh :

Departemen Kimia FMIPA USU Ketua,

DR.Rumondang Bulan.,MS NIP. 195408301985032001


(4)

PERNYATAAN

PENGGUNAAN BENTONIT SETELAH DILAPISI KITOSAN SEBAGAI ADSORBEN UNTUK MENYERAP ION LOGAM BESI (Fe) DENGAN

MENGGUNAKAN METODA SPEKTROFOTOMETRI SERAPAN ATOM

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing – masing disebutkan sumbernya.

Medan, April 2012

WINNY WULANDARI 100822002


(5)

PENGHARGAAN

Puji dan syukur penulis ucapakan pada Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu persyaratan untuk meraih gelar Sarjana Kimia pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara.

Saya sampaikan penghargaan dan cinta kasih yang terdalam dan tulus kepada Ayahanda tercinta Indra Refli, S.E dan Ibunda tersayang Aida Priyati atas segala doa dan pengorbanan yang telah diberikan kepada saya dan tidak lupa kepada adikku yang manis Tiany Dwi Lestari dan Indra Hidayat yang telah banyak memberikan semangat kepada saya.

Dengan segala kerendahan hati, saya ucapkan terima kasih yang tulus dan sebesar – besarnya kepada :Prof.Dr.Harry Agusnar, M.Sc,M.Phill selaku dosen pembimbing I yang telah memberikan ide dan topik serta tunjuk ajar hingga selesainya skipsi dan Prof.Dr.Zul Afian, M.Sc selaku dosen pembimbing 2 yang telah banyak memberikan bimbingan hingga terselesainya skripsi ini. Dr.Rumondang Bulan Nasution, MS selaku Ketua Departemen Kimia FMIPA USU dan Dr.Darwin Yunus Nasution, MS selaku Koordinator Ekstensi Kimia FMIPA USU serta seluruh staff pegawai Departemen Kimia. Dr.Rumondang Bulan Nasution, M.S selaku dosen wali saya yang telah membimbing saya selama perkuliahan. Bapak dan Ibu dosen yang telah memberikan ilmunya kepada saya selama perkuliahan. Bapak Arman selaku penanggung jawab Laboratorium Peneltian Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Sumatera Utara. Sahabat – sahabat saya Ira, Cut, Zahra dan Kak elda. Terima kasih atas dukungan dan motivasinya selama ini. Buat teman saya Jerfri aldi dan Winny Mustika yang telah membantu saya dalam pencarian bahan untuk penelitian. Serta segala pihak yang telah membantu saya dalam menyelesaikan skipsi ini.

Saya menyadari bahwa skirpsi ini masih banyak kekurangan, karena keterbatasan pengetahuan saya. Oleh karena itu saya mengharapkan saran dan masukkan yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini dan semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Medan, April 2012


(6)

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian tentang penggunaan bentonit setelah dilapisi kitosan sebagai adsorben untuk menyerap ion logam besi (Fe) dengan metoda spektrofotometri serapan atom.Ditambahkan 3 g bentonit alam teraktivasi, kitosan dan bentonit yang dilapisi kitosan ke dalam masing – masing larutan standar besi (Fe) yang mempunyai variasi konsentrasi 2,0; 4,0; 6,0; 8,0 dan 10,0 mg/L. Diaduk selama 15 menit, disaring dan diukur konsentrasi logam besi (Fe) dengan Spektrofotometri Serapan Atom melalui kurva kalibrasi. Adsorpsi logam Besi (Fe) sebesar 96,9350%; 94,9475% ; 92,2710%; 90,1512% dan 87,6310% untuk penambahan bentonit alam teraktivasi, sedangkan adsorpsi logam Besi (Fe) sebesar 93,7300%; 91,5125%; 89,3766%; 87,6375% dan 84,5630% untuk penambahan kitosan. Dan adsorpsi untuk logam Besi (Fe) sebesar 99,8700%; 99,2325%; 98,3533%; 95,3562% dan 93,1670% untuk penambahan bentonit yang dilapisi kitosan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentonit yang dilapisi kitosan mempunyai kemampuan lebih besar dalam mengadsorpsi logam besi (Fe) yaitu 99,8700% dibandingkan dengan bentonit alam teraktivasi (96,9350%) dan kitosan (93,7300%).


(7)

THE USE OF BLEACHING EARTH AFTER COATED CHITOSAN AS AN ADSORBENT TO ADSORPTION IRON ION METAL (Fe)

USING ATOMIC ABSORPTION SPECTROPHOTOMETRIC

METHOD

Abstrak

The use of bleaching earth after coated chitosan as an adsorbent to adsorption iron ion metal (Fe) using Atomic Absorption spectrophotometric method has been studied. 3 g activated bleaching earth, chitosan and bleaching earth after coated chitosan added into iron standard solution (Fe) which has a variation of concentration 2,0; 4,0; 6,0; 8,0; and 10,0 mg/L. Stirred up to 15 minutes, filtered and measured by iron ion metal concentration (Fe) using Atomic Absorption Spectrophotometer instrument with calibration curve. Adsorption of iron ion metal (Fe) is 96,9350%, 94,9475%, 92,2710%, 90,1512% and 87,6310% for activated bleaching earth, while of 93,7300%; 91,5125%, 89,3766%, 87,6375% and 84,5630% for chitosan and 99,8700%, 99,2325%, 98,3533%, 95,3562% and 93,1670% for bleaching earth after coated chitosan. The result of research show that bleaching earth after coated chitosan the best can adsorps iron ion metal (Fe) is (99,8700%) than activated bleaching earth (96,9359%) and chitosan (93,7300).


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

Persetujuan ii

Pernyataan iii

Penghargaan iv

Abstrak v

Abstract vi

Daftar Isi vii

Daftar Tabel ix

Daftar Gambar x

Bab 1 Pendahuluan 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Permasalahan 2

1.3 Pembatasan Masalah 2

1.4 Tujuan Penelitian 2

1.5 Manfaat Penelitian 2

1.6 Lokasi Penelitian 2

1.7 Metodologi Penelitian 3

Bab 2 Tinjauan Pustaka 4

2.1 Kitin dan Kitosan 4

2.1.1 Kitin 4

2.1.2 Kitosan 5

2.1.3 Sifat – Sifat Kitosan 5

2.2 Pengolahan Kitin dan Kitosan 6

2.2.1 Deproteinisasi 6

2.2.2 Demineralisasi 7

2.2.3 Deasetilasi 8

2.3 Interaksi Kitosan dengan Logam 9

2.4 Bentonit 9

2.4.1 Proses Terjadinya Bentonit di Alam 10

2.4.2 Struktur Bentonit 12

2.4.3 Komposisi Bentonit 12

2.4.4 Aktivasi Bentonit 13

2.4.5 Aplikasi Bentonit 13

2.5 Adsorpsi 15

2.6 Besi (Fe) 16

2.6.1 Toksisitas Besi 16

2.7 Spektrofotometri Serapan Atom 17

2.7.1 Prinsip dan Dasar Teori 17

2.7.2 Instrumentasi 17


(9)

Bab 3 Metodologi Penelitian 21

3.1 Alat dan Bahan 21

3.1.1 Alat 21

3.1.2 Bahan 22

3.2 Prosedur Penelitian 22

3.2.1 Pembuatan Larutan Pereaksi 22

3.2.2 Pembuatan Kitin 23

3.2.3 Pembuatan Kitosan 23

3.2.4 Aktivasi Bentonit 24

3.2.5 Pembuatan Larutan Standar Besi (Fe) 100 mg/L 24 3.2.6 Pembuatan Larutan Standar Besi (Fe) 10 mg/L 24 3.2.7 Pembuatan Larutan Seri Standar Besi (Fe) 2,0; 4,0; 6,0;

8,0 dan 10,0 mg/L 24

3.2.8 Bentonit Dilapisi Kitosan 24 3.2.9 Penambahan Bentonit Yang Telah Diaktivasi H2SO4 1,2 M 25

3.2.10 Penambahan Kitosan 25

3.2.11 Penambahan Bentonit Dilapisi Kitosan 25

3.3 Bagan Penelitian 26

3.3.1 Pembuatan Kitin 26

3.3.2 Pembuatan Kitosan 27

3.3.3 Aktivasi Bentonit 28 3.3.4 Bentonit Dilapisi Kitosan 29 3.3.5 Penambahan Bentonit Yang Telah Diaktivasi H2SO4 1,2 M 30

3.3.6 Penambahan Kitosan 31

3.3.7 Penambahan Bentonit Dilapisi Kitosan 32

Bab 4 Hasil dan Pembahasan 33

4.1 Hasil Penelitian 33

4.1.1 Pengolahan Data Logam Besi (Fe) 34 4.1.1.1 Penurunan Persamaan Garis Regresi dengan

Metoda Least Square 34 4.1.1.2 Koefisien Korelasi 36 4.1.1.3 Persentasi (%) Penurunan Konsentrasi Logam Besi (Fe) 36

4.2 Pembahasan 39

Bab 5 Kesimpulan dan Saran 42

5.1 Kesimpulan 42

5.2 Saran 42

Daftar Pustaka 43


(10)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 2.1 Kondisi Perlakuan dengan NaOH pada Proses Deproteinisasi 7 Tabel 2.2 Kondisi Perlakuan dengan HCl pada Proses Demineralisasi 8

Tabel 2.3 Komposisi Bentonit 12

Tabel 4.1 Konsentrasi dan Absorbansi Larutan Standar Besi (Fe) 33 Tabel 4.2 Kondisi alat Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) Merek Shimadzu

AA-6300 pada Pengukuran Konsentrasi Logam Besi (Fe) 34 Tabel 4.3 Penurunan persamaan garis regresi logam besi (Fe)

berdasarkan pengukuran absorbansi larutan seri standar logam besi (Fe) 35 Tabel 4.4 Data Persentase (%) Penurunan Konsentrasi Logam Besi Dalam

Larutan Standar Setelah Penambahan Bentonit Alam Teraktivasi H2SO4

1,2 M 37

Tabel 4.5 Data Persentase (%) Penurunan Konsentrasi Logam Besi

(Fe) Dalam Larutan Standar Setelah Penambahan Kitosan 38 Tabel 4.6 Data Persentase (%) Penurunan Konsentrasi Logam Besi

(Fe) Dalam Larutan Standar Setelah Penambahan Bentonit Dilapisi


(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Struktur Kitin 4

Gambar 2.2 Struktur Kitosan 5

Gambar 2.3 Struktur Bentonit 12

Gambar 2.4 Instrumentasi SSA 18

Gambar 4.1 Kurva Kalibrasi Larutan Standart Besi (Fe) 34 Gambar 4.2 Persentase (%) Penurunan Konsentrasi Logam Besi Dalam Larutan

Standar Setelah Penambahan Bentonit Alam Teraktivasi H2SO41,2 M 40

Gambar 4.3 Persentase (%) Penurunan Konsentrasi Logam Besi Dalam Larutan Standar Setelah Penambahan Kitosan 40 Gambar 4.4 Persentase (%) Penurunan Konsentrasi Logam Besi Dalam Larutan

Standar Setelah Penambahan Bentonit Dilapisi Kitosan 41 Gambar 4.5 Persentase (%) Penurunan Konsentrasi Logam Besi Dalam Larutan

Standar Setelah Penambahan Bentonit alam teraktivasi, Kitosan dan Bentonit setelah dilapisi kitosan 41


(12)

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian tentang penggunaan bentonit setelah dilapisi kitosan sebagai adsorben untuk menyerap ion logam besi (Fe) dengan metoda spektrofotometri serapan atom.Ditambahkan 3 g bentonit alam teraktivasi, kitosan dan bentonit yang dilapisi kitosan ke dalam masing – masing larutan standar besi (Fe) yang mempunyai variasi konsentrasi 2,0; 4,0; 6,0; 8,0 dan 10,0 mg/L. Diaduk selama 15 menit, disaring dan diukur konsentrasi logam besi (Fe) dengan Spektrofotometri Serapan Atom melalui kurva kalibrasi. Adsorpsi logam Besi (Fe) sebesar 96,9350%; 94,9475% ; 92,2710%; 90,1512% dan 87,6310% untuk penambahan bentonit alam teraktivasi, sedangkan adsorpsi logam Besi (Fe) sebesar 93,7300%; 91,5125%; 89,3766%; 87,6375% dan 84,5630% untuk penambahan kitosan. Dan adsorpsi untuk logam Besi (Fe) sebesar 99,8700%; 99,2325%; 98,3533%; 95,3562% dan 93,1670% untuk penambahan bentonit yang dilapisi kitosan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentonit yang dilapisi kitosan mempunyai kemampuan lebih besar dalam mengadsorpsi logam besi (Fe) yaitu 99,8700% dibandingkan dengan bentonit alam teraktivasi (96,9350%) dan kitosan (93,7300%).


(13)

THE USE OF BLEACHING EARTH AFTER COATED CHITOSAN AS AN ADSORBENT TO ADSORPTION IRON ION METAL (Fe)

USING ATOMIC ABSORPTION SPECTROPHOTOMETRIC

METHOD

Abstrak

The use of bleaching earth after coated chitosan as an adsorbent to adsorption iron ion metal (Fe) using Atomic Absorption spectrophotometric method has been studied. 3 g activated bleaching earth, chitosan and bleaching earth after coated chitosan added into iron standard solution (Fe) which has a variation of concentration 2,0; 4,0; 6,0; 8,0; and 10,0 mg/L. Stirred up to 15 minutes, filtered and measured by iron ion metal concentration (Fe) using Atomic Absorption Spectrophotometer instrument with calibration curve. Adsorption of iron ion metal (Fe) is 96,9350%, 94,9475%, 92,2710%, 90,1512% and 87,6310% for activated bleaching earth, while of 93,7300%; 91,5125%, 89,3766%, 87,6375% and 84,5630% for chitosan and 99,8700%, 99,2325%, 98,3533%, 95,3562% and 93,1670% for bleaching earth after coated chitosan. The result of research show that bleaching earth after coated chitosan the best can adsorps iron ion metal (Fe) is (99,8700%) than activated bleaching earth (96,9359%) and chitosan (93,7300).


(14)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bentonit mempunyai kemampuan daya koloid yang kuat, bila bercampur dengan air maka dapat mengembang. Lempung bentonit sangat menarik untuk diteliti karena lempung ini mempunyai struktur berlapis dengan kemampuan mengembang dan memiliki kation – kation yang dapat ditukarkan. Lempung bentonit sangat berguna untuk adsorpsi sehingga dapat digunakan sebagai adsorben.

Selain bentonit, kitosan pun telah banyak dimanfaatkan sebagai adsorben. Kitosan merupakan polimer dengan kelimpahan terbesar setelah selulosa. Pada umumnya kitosan dapat diperoleh dari cangkang kepiting atau udang. Pemanfaatan kitosan yang cukup luas dalam proses adsorpsi disebabkan karena adanya gugus amina dan hidroksil, yang menyebabkan kitosan mempunyai reaktifitas kimia yang tinggi dan menyebakan sifat polielektrolit kation sehingga berperan sebgai penukar ion dan dapat berperan sebagai adsorben dalam mengadsorpsi logam berat.

Optimalisasi pemanfaatan bentonit sebagai adsorben dapat dilakukan melalui modifikasi dengan cara imobilisasi kitosan pada bentonit. Imobilisasi kitosan terhadap bentonit bertujuan untuk memperkaya situs aktif adsorben sehingga dapat meningkatkan kemampuan adsorpsi. Hasil imobilisasi kitosan terhadap bentonit akan menghasilkan adsorben kitosan – bentonit. Kitosan – bentonit memiliki kinerja yang baik sebagai adsorben untuk pestisida diazinon (Permanasari, 2010).

Nurlamba (2010), telah memodifikasi bentonit dengan kitosan untuk mengkaji kinetika adsorpsi kitosan terhadap bentonit dan adsorpsi diazinon terhadap adsorben kitosan-bentonit untuk mengurangi pestisida dalam air minum.


(15)

Berdasarkan latar belakang di atas penulis tertarik untuk mengetahui pengaruh penggunaan bentonit setelah dilapisi kitosan sebagai adsorben untuk menyerap ion logam besi (Fe).

1.2 Permasalahan

Bagaimana pengaruh bentonit setelah dilapisi kitosan terhadap penyerapan ion logam Besi (Fe)

1.3 Pembatasan Masalah

Dalam penelitian ini pemasalahan dibatasi pada :

Penentuan kadar ion logam Besi (Fe) sebelum dan sesudah penggunaan bentonit alam teraktivasi H2SO4 1,2 M, kitosan dan bentonit setelah dilapisi kitosan.

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penggunaan bentonit setelah dilapisi kitosan sebagai adsorben untuk menyerap ion logam Besi (Fe).

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber informasi yang berguna tentang kemampuan bentonit setelah dilapisi kitosan dalam mengadsorpsi ion logam Besi (Fe).

1.6 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Penelitian Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Sumatera Utara. Analisa Spektrofotometri Serapan Atom untuk logam Fe dilakukan dilaboratorium Kimia Analitik Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Sumatera Utara.


(16)

1.7 Metodologi Penelitian

Penelitian ini merupakan eksperimen laboratorium. Pembuatan kitosan berasal dari cangkang kepiting. Dimana pembuatan kitosan meliputi tiga tahap yaitu deproteinisasi, demineralisasi, dan deasetilasi. Bentonit alam diaktivasi dengan H2SO4

1,2 M. Setelah itu bentonit dilapisi dengan kitosan dan untuk pengujian logam Besi (Fe), bentonit yang sudah dilapisi kitosan dimasukkan ke dalam larutan standar Besi (Fe). Diaduk dengan magnetik bar selama 15 menit dan disaring.Kemudian hasilnya dianalisa dengan Spektrofotometri Serapan Atom.


(17)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kitin dan Kitosan

2.1.1 Kitin

Kitin merupakan polisakarida rantai linier dengan rumus 2-asetamido-2-deoksi-β-(1-4)-D-glukopiranosa (Muzarelli,R.A.A,1977) dan kitin sebagai precursor kitosan pertama kali ditemukan pada tahun 1881 oleh orang Prancis bernama Henri Braconnot sebagai hasil isolasi dari jamur. Sedangkan kitin dari kulit serangga ditemukan pada tahun 1820 (Rismana,2004).

Kitin tersebar luas di alam dan dijumpai sebagai bahan pembentuk kerangak luar (eksokleton) kelompok hewan krustacea, insekta, moluska dan dinding sel jamur tertentu dan ditaksir dihasilkan di alam sekitar 109 hingga 1010 ton per tahunnya (Kumar, 2000).


(18)

2.1.2 Kitosan

Kitosan adalah hasil deasetilasi dari kitin. Kitosan merupakan senyawa dari kitin yang memilki struktur 2-Amino-2-Deoksi-β-(1-4)-D-glukopiranosa.Sumber kitosan dapat berasal dari kerangka Crustacea (Muzarelli,R.A.A,1977). Kitosan ditemukan oleh Routget (1859). Beliau menemukan bahwa kitin yang telah didihkan pada larutan KOH, juga dapat diperlakukan dengan NaOH dan dipanaskan, maka terjadi perlepasan gugus asetil yang terikat pada atom nitrogen menjadi gugus amino bebas yang disebut dengan kitosan (Vinvogrado,A.P,1971).

Gambar 2.2 Struktur Kitosan

Dari struktur kitin dan kitosan diatas terlihat bahwa kitin murni mengandung gugus asetamida (NH-COCH3) dan kitosan murni mengandung gugus amino (NH2).

Perbedaan gugus ini akan mempengaruhi sifat – sifat kimia senyawa tersebut( Robert,G.A.F,1992).

2.1.3 Sifat – Sifat Kitosan

Kitosan adalah padatan amorf putih kekuningan yang tidak larut dalam alkali dan asam mineral kecuali pada keadaan tertentu. Kelarutan kitosan yang paling baik adalah dalam larutan asam asetat 1 %, asam format 10 % dan asam sitrat 10 %. Kitosan tidak dapat larut dalam asam piruvat, asam laktat dan asam – asam anorganik pada pH tertentu, walaupun setelah dipanaskan dan diaduk dengan waktu yang agak lama (Hwang dan Shin,2001).

Kitosan hanya dapat larut dalam asam encer, seperti asam asetat,asam format, asam sitrat. Kelarutan kitosan dalam asam format ataupun asam asetat dapat


(19)

membedakan kitosan dan kitin karena kitin tidak dapat melarut dalam keadaan pelarut asam tersebut. Kitosan dibedakan dari kitin oleh kelarutannya dalam larutan asam encer (Dunn et al,1997).

Kitosan memiliki sifat unik yang dapat digunakan dalam berbagai cara serta memilki kegunaan yang beragam, antara lain sebagai perekat, aditif untuk kertas dan tekstil, penjernihan air minum, serta untuk memperbaiki sifat pengikatan warna. Kitosan mempunyai kemampuan untuk mengadsorpsi logam dan membentuk kompleks kitosan dengan logam (Robert,G.A.F,1992).

2.2 Pengolahan Kitin dan Kitosan

Kitin yang terdapat padat kulit atau cangkang ini masih terikat dengan protein, CaCO3, pigmen, dan lemak. Berbagai teknik dilakukan untuk memisahkannya, tetapi

pada umumnya ada tiga tahapan yaitu deproteinisasi dengan NaOH encer, demineralisasi dengan HCl encer dan deasitilasi dengan NaOH pekat

Beberapa penelitian menggunakan proses deproteinisasi dan demineralisasi yang berbeda, ada yang demineralisasi dulu kemudian deproteinisasi atau sebaliknya. Pilihan pengolahan tergantung dari tujuan penggunaan kitosan (Brine, 1984).

2.2.1 Deproteinisasi

Proses deproteinisasi ini dilakukan untuk menghilangkan protein yang terdapat pada kulit atau cangkang kepiting. Proses deproteinisasi ini menggunakan berbagai pereaksi seperti Na2CO3, NaHCO3, KOH, Na2SO4, Na2S, Na3PO4 dan NaOH.


(20)

Tabel 2.1 Kondisi Perlakuan dengan NaOH pada Proses Deproteinisasi Sumber Konsentrasi NaOH

(N)

Suhu (oC) Lama Reaksi

(Jam)

Udang 0,125

0,25 0,75 1,25 100 65 100 100 0,5 1 - 0,5 Kepiting 0,5

1,0 1,0 1,0 1,25 1,25 65 80 100 100 85 – 90 100

2 3 36 72

1,5 – 2,25 24

Lobster 2,5

1,0 1,25 2,5

Suhu kamar 100

80 – 85 100 72 60 1 2,5 (Roberts,G.A.F, 1992).

Penggunaan enzim untuk memisahkan protein juga dilakukan dalam beberapa penelitian, diantaranya dengan pepsin, setelah didemineralisasi sebelumnya dengan suatu zat. Perlakuan dengan enzim ini masih menyisakan protein sekitar 5 % yang memerlukan proses lanjutan (Roberts,G.A.F, 1992).

2.2.2 Demineralisasi

Proses demineralisasi bertujuan untuk memisahkan kitin dari CaCO3. Proses

demineralisasi ini menggunakan berbagai pereaksi asam seperti HCl, HNO3, H2SO4,


(21)

Tabel 2.2 Kondisi Perlakuan dengan HCl pada Proses Demineralisasi

Sumber Konsentrasi HCl

(N)

Suhu (oC) Lama Reaksi

(Jam)

Udang 0,275

0,5 1,25 1,57 Suhu Kamar Suhu Kamar Suhu Kamar 20 22 16 - 1 1 – 3 Kepiting 0,65

1,0 1,0 1,57 2,0 11,0 Suhu Kamar Suhu Kamar Suhu Kamar Suhu Kamar Suhu Kamar - 20 24 12 - 5 48 4

Lobster 1,57

2,0 2,0

Suhu Kamar Suhu Kamar Suhu Kamar

11 – 14 5 48 (Roberts,G.A.F, 1992).

2.2.3 Deasetilasi

Kitin yang diperoleh dari proses deproteinisasi dan demineralisasi tidak dapat larut dalam sebahagian besar pereaksi kimia. Untuk memudahkan kelarutannya, maka kitin dideasetilasi dengan pelarut alkali menjadi kitosan. Setelah melalui proses deasetilasi maka daya absorbs kitin akan meningkat dengan bertambahnya gugus amino (NH3)

yang terdapat di dalamnya (Muzzarelli, 1997).

Proses deasetilasi kimiawi dilakukan untuk menghilangkan gugus asetil kitin melalui perebusan dalam larutan alkali konsentrasi tinggi. Hwang dan Shin (2000) menggunakan larutan NaOH 40 % dalam proses deasetilasi kitin, pada suhu 70 oC selama 6 jam yang menghasilkan kitosan dengan derajat deasetilasi 92 %. Derajat deasetilasi kitosan tergantung dari konsentrasi alkali yang digunakan, lama reaksi, ukuran partikel kitin dan berat jenis (Hwang dan Shin ,2000)


(22)

Makin tinggi konsentrasi alkali yang digunakan makin rendah suhu atau makin singkat waktu yang diperlukan dalam proses ini.

2.3 Interaksi Kitosan Dengan Ion Logam

Muzzarelli (1977) menyatakan bahwa kitosan mengikat logam melalui pertukaran ion, penyerapan dan pengkhelatan. Ketiga proses tersebut bergantung pada ion logam masing – masing.

Kemampuan kitosan untuk mengikat logam dengan cara pengkhelat adalah dihubungkan dengan kadar nitrogen yang tinggi pada rantai polimernya. Kitosan mempunyai kumpulan amino linier bagi setiap unit glukosa. Kumpulan amino ini mempunyai sepasang elektron yang dapat membentuk ikatan – ikatan aktif dengan kation – kation logam. Unsur nitrogen pada setiap monomer kitosan dikatakan sebagai gugus yang aktif berkoordinat dengan kation logam (Hutahean,S.I, 2001).

2.4 Bentonit

Bentonit adalah istilah perdagangan untuk jenis lempung yang mengangung mineral monmorillonit lebih dari 85 % yaitu suatu mineral hasil pelapukan, pengaruh hydrothermal atau akibat transformasi adri tufa gelas yang diendapkan di dalam air dalam suasan alkali. Fragmen sisa pada umunya terdiri dari campuran mineral kuarsa/kristobalit, feldsfar, kalsit, gypsum, kaolinit,plagioklas, illit dan sebagainya.

Bentonit dapat dibagi menjadi 2 golongan berdasarkan kandungan alu-munium silikat hydrous, yaitu activated clay dan fuller's Earth. Activated clay adalah lempung yang kurang memiliki daya pemucat, tetapi daya pemucatnya dapat ditingkatkan melalui pengolahan tertentu. Sementara itu, fuller's earth digunakan didalam fulling atau pembersih bahan wool dari lemak.

(Zulkarnaen, S. W dan D.H. Marmur. 1990).


(23)

Sedangkan berdasarkan tipenya, bentonit dibagi menjadi dua, yaitu :

a. Tipe Wyoming (Na-bentonit – Swelling bentonite)

Na bentonit memiliki daya mengembang hingga delapan kali apabila dicelupkan ke dalam air, dan tetap terdispersi beberapa waktu di dalam air. Dalam keadaan kering berwarna putih atau cream, pada keadaan basah dan terkena sinar matahari akan berwarna mengkilap. Perbandingan soda dan kapur tinggi, suspensi koloidal mempunyai pH: 8,5-9,8, tidak dapat diaktifkan, posisi pertukaran diduduki oleh ion-ion sodium (Na+) (Zulkarnaen, S. W dan D.H. Marmur. 1990)

b. Mg, (Ca-bentonit – non swelling bentonite)

Tipe bentonit ini kurang mengembang apabila dicelupkan ke dalam air, dan tetap terdispersi di dalam air, tetapi secara alami atau setelah diaktifkan mempunyai sifat menghisap yang baik. Perbandingan kandungan Na dan Ca rendah, suspensi koloidal memiliki pH: 4-7. Posisi pertukaran ion lebih banyak diduduki oleh ion-ion kalsium dan magnesium. Dalam keadaan kering bersifat rapid slaking, berwarna abu-abu, biru, kuning, merah dan coklat. Penggunaan bentonit dalam proses pemurnian minyak goreng perlu aktivasi terlebih dahulu. Endapan bentonit Indonesia tersebar di P. Jawa, P. Sumatera, sebagian P. Kalimantan dan P. Sulawesi, dengan cadangan diperkirakan lebih dari 380 juta ton, serta pada umumnya terdiri dari jenis kalsium (Ca-bentonit)(Brady,1986)

2.4.1 Proses Terjadinya Bentonit di Alam

Secara umum, asal mula terjadinya endapan bentonit ada 4, yaitu

1. Endapan Hasil Pelapukan.

Faktor utama dalam pembentukan endapan bentonit sebagai hasil pelapukan adalah komposisi kimia dan daya lalu air pada batuan asalnya. Mineral-mineral utama dalam pembentukan bentonit antara lain adalah, plagioklas, kalium-feldspar, biotit, muskovit serta sedikit kandungan senyawa alumina dan ferromagnesia. Pembentukan bentonit dari proses pelapukan diakibatkan oleh


(24)

adanya reaksi antara ion-ion hidrogen yang terdapat dalam air tanah dengan senyawa silikat.

2. Endapan Proses Hidrotermal.

Larutan hidrotermal merupakan larutan yang bersifat asam dengan kandungan khlorida, sulfur, karbondioksida, dan silika. Dalam proses ini komposisi larutan kemudian berubah karena adanya reaksi dengan batuan lain. Larutan alkali selanjutnya terbawa keluar dan bersifat basa serta akan tetap bertahan selama unsur alkali tanah tetap terbentuk akibat penguraian batuan asal. Pada alterasi lemah, keterdapatan unsur alkali tanah akan membentuk bentonit.

3. Endapan Akibat Transformasi.

Endapan bentonit sebagai hasil transformasi / devitrifikasi debu gunung api terjadi dengan sempurna apabila debu diendapkan di dalam wadah berbentuk cekungan. Mineral-mineral gelas gunung api secara perlahan-lahan akan mengalami devitrifikasi yang selanjutnya akan menghasilkan bentonit.

4. Endapan Sedimen.

Bentonit juga dapat terbentuk sebagai cadangan sedimen keadaan basah. Mineral-mineral yang terbentuk secara sedimenter dan tidak berasosiasi dengan tufa, salah satunya adalah bentonit serta terbentuk dalam cekungan yang bersifat basa (Zulkarnaen,S.W.,D.H. Marmur. 1990)

2.4.2 Struktur Bentonit

Struktur monmorillonit memiliki konfigurasi 2:1 yang terdiri dari dua silicon oksida tetrahedral dan satu alumunium oksida tetrahedral. Pada tetrahedral, empat atom oksigen berikatan dengan atom silikon di ujung struktur. Sedangkan pada octahedral atom alumunium berikatan dengan enam atom oksigen pada ujung struktur (Soedjoko T.S.,1987).


(25)

Gambar 2.3 Struktur Bentonit (http//:www.tekmira.esdm.go.id/data/bentonit)

2.4.3 Komposisi Bentonit

Tabel 2.3 Komposisi Bentonit

(http//:www.tekmira.esdm.go.id/data/bentonit diakses tanggal 23 November 2011)

2.4.4 Aktivasi Bentonit

Sebelum digunakan dalam berbagai aplikasi, bentonit harus diaktifkan dan diolah terlebih dahulu. Ada 2 (dua) cara yang dapat dilakukan untuk aktivasi bentonit, yaitu :

1. Secara Pemanasan

Pada tahap ini bentonit dipanaskan pada temperature 300 - 350 oC untuk memperluas permukaan butiran bentonit.

Komposisi Na-bentonit (%) Ca – Bentonit (%) Si2O3 61,3 – 6,14 62,12

Al2O3 19,8 17,33

Fe2O3 3,9 5,30

CaO 0,6 3,68

MgO 1,3 3,30

Na2O 2,2 0,50

K2O 0,4 0,55


(26)

2. Secara Pengasaman (kontak asam)

Tujuan dari aktivasi kontak asam adalah untuk menukar kation Ca yang ada di dalam Ca-bentonit menjadi ion H+ dan melepaskan ion Al, Fe, Mg dan pengotor lainnya dari kisi – kisi struktur sehingga secara fisik bentonit tersebut menjadi lebih aktif. Untuk keperluan tersebut, asam sulfat dan asam klorida adalah zat kimia yang digunakan (Zulkarnaen,S.W.,D.H. Marmur. 1990).

2.4.5 Aplikasi Bentonit

A. Bentonit sebagai Bahan Penyerap (Adsorben) atau Bahan Pemucat Pada Industri Minyak Kelapa Sawit.

Proses Penyerapan zat warna merupakan proses yang sering ditemukan seperti penyerapan zat warna pada minyak hewani, minyak nabati, minyak bumi dan lain – lain. Dalam keadaan awal, bentonit mempunyai kemampuan tinggi untuk menjernihkan warna. Kemampuan penyerapan warna ini dapat ditingkatkan melalui proses pengolahan dan pengasaman.

Berdasarkan kandungan Alumino silikat hidrat yang terdapat dalam bentonit, maka bentonit dapat dibagi atas 2 (dua) golongan ,yaitu :

1. Activated Clay

Merupakan lempung yang mempunyai daya pemucatan yang rendah. 2. Fuller’s Earth

Biasanya digunakan sebagi bahan pembersih bahan wool dari lemak.

Fuller’s earth adalah sejenis lempung yang secara alami mempunyai sifat daya serap terhadap zat warna pada minyak, lemak dan pelumas. Karakteristik dari lempung jenis ini adalah mempunyai kandungan air yang tinggi, plastisitas yang rendah, dan struktur yang berlapis – lapis.


(27)

B. Bentonit sebagi Katalis

Penggunaan lempung sebagai katalis telah lama diperkenalkan, yaitu pada proses perengkahan minyak bumi dengan menggunakan mineral montmorillonit yang telah diasamkan. Namun penggunaan lempung sebagi katalis memilki kelemahan, yaitu tidah tahan terhadap suhu tinggi.

C. Bentonit sebagai Penukar Ion

Pemanfaatan bentonit sebgai bahan penukar ion didasarkan pada sifat permukaan bentonit yang bermuatan negative sehingga kation – kation dapat terikat secara elektrostatik pada permukaan bentonit. Sifat ini juga merupakan hal penting dalam pengubahan Ca-bentonit menjadi Na-bentonit. Bentonit di Indonesia memilki daya penukar kation dengan nilai kapasitas tukar kation yang berbeda untuk tiap – tiap daerah yaitu berkisar antara 50 – 100 meq/100 g. Hal ini disebabkan karena perbedaan komposisi kandungan kimianya.

D. Bentonit sebagai Lumpur Bor

Penggunaan utama mineral lempung adalah pada industri lumpr bor, yaitu sebgai lumpur pemilar dalam pengeboran minyak bumi, gas bumi serta uap panas bumi.

E. Bentonit untuk Pembuatan Tambahan Makanan Ternak

Untuk dapat digunakan dalam pembuatan tambahan makanan ternak, bentonit harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :

• Kandungan bentonit yang digunakan dalam pembuatan tambahan makanan ternak < 30 %

• Ukuran butiran bentonit adalah 200 mesh • Memilki daya serap > 60 %


(28)

F. Bentonit untuk Bahan Kosmetik

Untuk dapat digunakan dalam industri kosmetik, bentonit harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :

• Mengandung mineral magnesium silikat (Ca-Bentonit) • Mempunyai pH netral

• Kandungan air dalam bentonit adalah < 5 %

• Tidak mengalami perubahan panas selama dan setelah pemanasan • Ukuran butiran bentonit adalah 325 mesh (Soedjoko T.S.,1987).

2.5 Adsorpsi

Adsorpsi adalah suatu proses pemisahan dimana komponen dari suatu fase fluida berpindah ke permukaan zat padat yang menyerap (adsorben). Secara umum proses adsorpsi ada dua macam, yaitu :

1. Adsorpsi Fisik

- Panas adsorpsi kurang dari 40 KJ/mol - Adsorpsi berlansung pada suhu rendah - Kesetimbangan adsorpsi reversible dan cepat

- Tidak ada energi aktivasi yang terlibat dalam proses ini - Terjadi adsorpsi multi lapis

2. Adsorpsi Kimia

- Panas adsorpsi lebih besar dari +/- 80 KJ/mol - Adsorpsi berlansung pada suhu tinggi

- Ksetimbangan adsorpsi irreversible

- Ada energi aktivasi yang terlibat dalam proses ini - Terjadi adsorpsi monolapisan

2.6 Besi

Besi adalah untuk kehidupan manusia sehari-hari. Dalam Fe da


(29)

- Besi murni merupakan logam berwarna abu – abu

-

-

-

-

-

-

-

-

Jarang terdapat besi komersil yang murni. Biasanya besi mengandung sejumlah kecil karbida, silisida,fosfida, dan sulfida dari besi serta sedikit grafit.Besi memiliki 2 muatan yaitu Fe2+ dan Fe3+. Ion besi (II) dapat mudah dioksidasikan menjadi ion besi (III), maka merupakan zat pereduksi yang kuat. Dalam suasana netral atau basa bahkan oksigen dari atmosfer akan mengoksidasikan ion besi (II). Maka larutan besi (II) harus sedikit asam bila ingin disimpan untuk waktu yang agak lama (Vogel, 1990).

2.6.1 Toksisitas Besi

Besi merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat didalam tubuh manusia yaitu sebanyak 3- 5 gr di dalam tubuh manusia dewasa. Mineral mikro terdapt dalam jumlah sangat kecil di dalam tubuh, namun mempunyai peranan esensial untuk kehidupan, kesehatan dan reproduksi. Besi mempunyai beberapa fungsi esensial di dalam tubuh : sebagai alat angkut oksigen dari paru – paru ke jaringan tubuh, sebagai alat angkut elektron di dalam sel dan sebagai bagian terpadu berbagai reaksi enzim di dalam jaringan tubuh (Almatsier, S.2003).


(30)

2.7 Spektrofotometri Serapan Atom

Spektrofotometer serapan atom adalah metoda pengukuran kuantitatif suatu unsur yang terdapat dalam suatu cuplikan berdasarkan penerapan cahaya pada panjang gelombang tertentu oleh atom – atom bentuk gas dalam keadaan dasar. Telah lama ahli kimia menggunakan pancaran radiasi oleh atom yang dieksitasikan dalam suatu nyala sebagai alat analisi. Fraksi atom – atom yang tereksitasi berubah secara eksponensial dengan temperature. Teknik ini digunakan untuk penetapan sejumlah unsur, kebanyakan logam dan sampel yang sangat beraneka ragam (Walsh, 1955).

2.7.1 Prinsip dan Dasar Teori

Spektrofotometer serapan atom didasarkan pada bahwa atom – atom pada suatu unsur dapat mengabsorpsi energi sinar pada panjang gelombang tertentu. Banyak energi sinar yang di absorpsi berbanding lurus dengan jumlah atom – atom unsur yang mengadsorpsi. Atom terdiri atas inti atom yang mengandung proton bermuatan positif dan neutron berupa partikel netral, di mana inti atom dikelilingi oleh elektron – elektron bermuatan negatif pada tingkat energi yang berbeda – beda. Jika energi diabsorpsi oleh atom, maka elektron yang berada di kulit terluar (electron valensi) akan tereksitasi dan bergerak dari keadaan dasar atau tingkat energi yang terendah ke keadaan tereksitasi dengan tingkat energi yang terendah. Jumlah energi yang dibutuhkan untuk memindahkan elektron ke tingkat energi tertentu dikenal sebagai potensial eksitasi untuk tingkat energi tersebut (Clark,D.V, 1979).

2.7.2 Instrumentasi

Komponen penting yang membentuk spektrofotometer serapan atom diperlihatkan pada gambar di bawah ini.


(31)

Gambar 2.4 Instrumentasi SSA

(Day, R.A. Jr. dan Underwood A.L, 1988)

1. Sumber sinar

Sumber sinar yang lazim dipakai adalah lampu katoda berongga. Lampu ini terdiri atas tabung kaca tertutup yang mengandung suatu katoda dan anoda. Katoda berbentuk silinder berongga yang terbuat dari logam atau dilapisi dengan logam tertentu. Tabung logam ini diisi dengan gas mulia (neon atau argon) dengan tekanan rendah. Neon biasanya lebih disukai karena memberikan intensitas pancaran lampu yang lebih rendah (Khopkhar,S.M 1990 dan Mulja, M.,1992).

2. Tempat sampel

Dalam analisis dengan spektrofotometer serapan atom, sampel yang akan dianalisis harus diuraikan menjadi atom – atom netral yang masih dalam keadaan asas. Ada berbagai macam alat yang dapt digunakan untuk mengubah suatu sampel menjadi uap atom – atom yaitu dengan nyala dan tanpa nyala.

a. Nyala (Flame)

Nyala digunakan untuk mengubah sampel yang berupa padatan atau cairan menjadi bentuk uap atomnya dan juga berfungsi untuk atomisasi.


(32)

b. Tanpa nyala (Flameless)

Teknik atomisasi dengan nyala dinilai kurangg peka karena atom gagal mencapai nyala, tetesan sampel yang masuk ke dalam nyala terlalu besar dan proses atomisasi kurang sempurna. Oleh karena itu muncullah suatu teknik atomisasi yang baru yakni atomisasi tanpa nyala. Pengatoman dapat dilakukan dalam tungku dari grafit.Sampel diletakkan dalam tabung grafit, kemudian tabung tersebut dipanaskan dengan sistem elektris dengan cara melewatkan arus listrik grafit. Akibat pemanasan ini, maka zat yang akan dianalisa berubah menjadi atom – atom netral (Rohman, A, 2007).

3. Monokromator

Monokromator memisahkan, mengisolasi dan mengontrol intensitas dari radiasi energi yang mencapai detektor. Idealnya monokromator harus mampu memisahkan garis resonansi. Karena ada beberapa unsur yang mudah dan ada beberapa unsur yang sulit (Haswell,S.J, 1991).

4. Detektor

Detektor dapat diatur sedemikian rupa pada nilai frekuensi tertentu, sehingga tidak memberikan respon terhadap nilai emisi yang berasal dari eksitasi termal (Khopkar,S.M, 2003).

5. Read out

Readout merupakan suatu alat petunjuk atau dapat juga diartikan sebagai sistem pencatat hasil. Sistem read out untuk instrument Spektrofotometer Serapan Atom dilengkapi dengan suatu mikroprosesor (komputer) sehingga memungkinkan pembacaan lansung konsentrasi analit di dalam sampel yang dianalisa (Haswel,S.J,1991).


(33)

2.7.3 Gangguan Pada SSA dan Cara Mengatasinya

Gangguan nyata pada SSA adalah seringkali didapatkan suatu harga yang tidak sesuai dengan konsentrasi sampel yang ditentukan. Penyebab dari gangguan ini adalah faktor matriks sampel, faktor kimia adanya gangguan molekuler yang bersifat radiasi.

Sampel dalam bentuk molekul karena disosiasi yang tidak sempurna akan cenderung mengabsorpsi radiasi dari sumber radiasi. Demikian juga terjadinya ionisasi atom akan menjadi sumber kesalahan pada SSA oleh karena spectrum radiasi oleh ion jauh berbeda dengan spectrum absorpsi atom netral yang memang akan ditentukan. Ada beberapa usaha untuk mengurangi gangguan kimia pada SSA yaitu dengan jalan :

1. Menaikkan temperatur nyala agar mempermudah penguraian untuk itu dipakai gas pembakar campuran C2H2 + N2O yang memberikan nyala dengan

temperatur yang tinggi.

2. Menambahkan elemen pengikat gugus atom penyangga, sehingga terikat kuat akan tetapi atom yang ditentukan bebas sebagai atom netral. Misalnya penentuan logam yang terikat sebagai garam, dengan penambahan logam yang lainnya akan terjadi ikatan lebih kuat dengan anion pengganggu.

3. Pengeluaran unsur pengganggu dari matriks sampel dengan cara eksitasi (Mulja, M.,1995).


(34)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Alat dan Bahan

3.1.1 Alat – alat

- Timbangan Elektrik Chyo Electronic Balance

- Blender Philip

- Beaker Gelas Pyrex 2 L

- Beaker Glass Pyrex 100 ml

- Gelas Ukur Pyrex 100 ml

- Erlenmeyer Pyrex 250 ml

- Pipet Tetes - Kertas Saring - Oven

- Desikator - Sampel cup

- Pipet Volum Pyrex 5 ml

- Pipet Volum Pyrex 10 ml

- Pipet Volum Pyrex 20 ml

- Pipet Volum Pyrex 50 ml

- Magnetik Bar - Spatula

- Corong Pyrex

- Labu ukur Pyrex 1000 ml

- Labu ukur Pyrex 100 ml

- Labu ukur Pyrex 50 ml


(35)

3.1.2 Bahan – bahan

- Kepiting

- NaOH p.a (E.Merck)

- HCl p.a (E.Merck)

- H2SO4 pekat p.a (E.Merck)

- CH3COOH glacial p.a (E.Merck)

- Asam pospat 85 % p.a (E.Merck)

- Aquades - Bentonit

- Larutan standar Fe 1000 mg/l p.a (E.Merck)

3.2 Prosedur Penelitian

3.2.1 Pembuatan Larutan Pereaksi

a. Larutan NaOH 0,5 %

Ditimbang 100 g NaOH lalu dimasukkan ke tempat pencucian kitin kemudian tambahkan aquadest sebanyak 20 L.

b. Larutan NaOH 5 %

Ditimbang 1 Kg NaOH lalu dimasukkan ke tempat pencucian kitin kemudian tambahkan aquadest sebanyak 20 L.

c. Larutan HCl 5 %

Sebanyak 2,7 L HCl dimasukkan ke tempat pencucian kitin kemudian tambahkan aquadest sebanyak 20 L.

d. Larutan NaOH 50 %

Ditimbang 1 Kg NaOH dimasukkan ke tempat pencucian kitin kemudian tambahkan aquadest sebanyak 2 L.


(36)

e. Larutan Asam Asetat 1 %

Sebanyak 10 ml asam asetat glacial dimasukkan ke dalam labu takar 1000 mL. Kemudian tambahkan aquadest sampai garis tanda, kemudian homogenkan.

f. Pembuatan H2SO4 1,2 M

Dipipet 65 ml H2SO4(p) dimasukkan ke dalam labu takar 1000 mL secara

perlahan. Ditambahkan aquadest secara perlahan – lahan sampai garis tanda. Ditunggu sampai larutan benar – benar dingin. Setelah dingin kemudian homogenkan.

g. Larutan Kitosan 1 %

Ditimbang 1 g kitosan dan dilarutkan dalam 100 mL larutan asam asetat 1 %.

3.2.2 Pembuatan Kitin

Kepiting dikupas dan diambil cangkangnya. Lalu dicuci dengan air hingga bersih. Direndam dalam larutan NaOH 0,5 % selama 24 jam lalu dicuci dengan air hingga pH 6,8. Kemudian dilakukan proses dideproteinisasi dengan merendam cangkang kepiting dalam larutan NaOH 5 % selama 24 jam setelah itu dicuci dengan air hingga pH 6,8. Selanjutnya dilakukan proses demineralisasi dengan merendam cangkang kepiting dalam larutan HCl 5 % selama 24 jam setelah itu dicuci dengan air hingga pH 6,8. Kemudian dilakukan uji kelarutan dengan asam pospat 85 %. Dan setelah itu dikeringkan pada suhu kamar selama 6 hari.

3.2.3 Pembuatan Kitosan

Kitin kering direndam dengan NaOH 50 % selama 7 hari dan diaduk setiap hari. Diuji kelarutannya dengan asam asetat 1%. Dicuci dengan air hingga bersih. Keringkan pada suhu kamar. Setelah kering, kitosan dihaluskan.

3.2.4 Aktivasi Bentonit

Sampel bentonit ditimbang sebanyak 500 g. Dimasukkan ke dalam beaker glass 2 L. Ditambahkan 1000 mL H2SO4 1,2 M. Diaduk dengan magnetik bar selama 24 jam dan


(37)

disaring. Dicuci endapan dengan aquades hingga pH 7, kemudian disaring. Dikeringkan endapan di dalam oven pada suhu 100 – 110 oC. Dihaluskan dan disimpan hasilnya di dalam desikator.

3.2.5 Pembuatan Larutan Standar Besi (Fe) 100 mg/L

Dipipet 5 mL larutan induk Besi 1000 mg/L. Dimasukkan ke dalam labu takar 50 mL. Lalu diencerkan dengan aquadest sampai garis tanda dan dihomogenkan.

3.2.6 Pembuatan Larutan Standar Besi (Fe) 10 mg/L

Dipipet 10 mL larutan standar Besi 100 mg/L. Dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL. Lalu diencerkan dengan aquadest sampai garis tanda dan dihomogenkan.

3.2.7 Pembuatan Larutan Seri Standar Besi (Fe) 2,0; 4,0; 6,0; 8,0 dan 10,0 mg/L

Dipipet 10,0; 20,0; 30,0; 40,0; dan 50,0 mL larutan standar Besi 10 mg/L. Dimasukkan ke dalam labu takar 50 mL. Lalu diencerkan dengan aquadest sampai garis tanda dan dihomogenkan.

3.2.8 Bentonit dilapisi Kitosan

Ditimbang 500 g bentonit yang telah diaktivasi H2SO4 1,2 M. Kemudian dibasahi

dengan larutan kitosan 1 %. Lalu keringkan dalam oven. Kemudian dihaluskan.

3.2.9 Penambahan Bentonit Yang Telah Diaktivasi H2SO4 1,2 M

Pipet 30 mL larutan seri standar Besi 2,0 mg/L ,dimasukkan ke dalam gelas beaker glass 100 mL.Ditambahkan 3 g bentonit yang telah diaktivasi H2SO4 1,2 M. Di aduk

dengan menggunakan magnetik bar selama 15 menit.Disaring dan filtratnya dianalisa dengan Spektrofotometri Serapan Atom. Diulangi perlakuan yang sama untuk larutan seri standar Besi (Fe) 4,0; 6,0; 8,0; dan 10,0 mg/L.


(38)

3.2.10 Penambahan Kitosan

Pipet 30 ml larutan standar Besi 2,0 mg/L, dimasukkan ke dalam gelas beaker glass 100 mL.Ditambahkan 3 g kitosan. Di aduk dengan menggunakan magnetik bar selama 15 menit. Disaring dan filtratnya dianalisa dengan Spektrofotometri Serapan Atom. Diulangi perlakuan yang sama untuk larutan seri standar Besi (Fe) 4,0; 6,0; 8,0; dan 10,0 mg/L.

3.2.11 Penambahan Bentonit Dilapisi Kitosan

Pipet 30 mL larutan standar Besi 2,0 mg/L, dimasukkan ke dalam gelas beaker glass 100 mL. Ditambahkan 3 g bentonit yang telah diaktivasi H2SO4 1,2 M dan sudah

dilapisi kitosan. Di aduk dengan menggunakan magnetik bar selama 15 menit. Disaring dan filtratnya dianalisa dengan Spektrofotometri Serapan Atom. Diulangi perlakuan yang sama untuk larutan seri standar Besi (Fe) 4,0; 6,0; 8,0; dan 10,0 mg/L.


(39)

3.3 Bagan Penelitian

3.3.1 Pembuatan Kitin

Dikupas dan diambil cangkangnya. Dicuci dengan air hingga bersih.

Direndam dalam larutan NaOH 0,5 % selama 24 jam. Dicuci dengan air hingga pH 6,8

Dideproteinisasi dengan larutan NaOH 5 % selama

24 jam.

Dicuci dengan air hingga pH 6,8.

Didemineralisasi dengan larutan HCl 5 % selama

24 jam

Dicuci dengan air hingga pH 6,8

Dilakukan uji kelarutan dengan asam pospat 85 % Dikeringkan pada suhu kamar selama 5 hari.

Kepiting

Cangkang Kepiting

Kitin Kering


(40)

3.3.2 Pembuatan Kitosan

Direndam dalam NaOH 50 % selama 7 hari dan diaduk setiap hari

Diuji kelarutannya dengan asam asetat 1%. Dicuci dengan air hingga pH 6,7 dan disaring

Dikeringkan pada suhu kamar Dihaluskan dan diayak

Kitin Kering

Kitosan Basah

Kitosan Kering


(41)

3.3.3 Aktivasi Bentonit

Ditimbang sebanyak 500 g

Dimasukkan ke dalam Beaker glass 2 L Ditambahkan 1000 ml H2SO4 1,2 M.

Diaduk dengan stirer selama 24 jam

Disaring

Dicuci dengan aquades hingga pH 7 Disaring

Dikeringkan dalam oven pada suhu 100 – 110 oC. Dihaluskan

Disimpan dalam desikator Bentonit

Alam

Endapan Filtrat

Endapan Filtrat


(42)

3.3.4 Bentonit Dilapisi Kitosan

Diambil 500 g bentonit yang telah diaktivasi H2SO4 1,2 M

Dibasahi dengan larutan kitosan 1 %. Dikeringkan dalam oven.

Dihaluskan. Bentonit

Bentonit yang Dilapisi Kitosan


(43)

3.3.5 Penambahan Bentonit Yang Telah Diaktivasi H2SO4 1,2 M

Dipipet 30 ml larutan standar Besi 2,0 mg/L, Dimasukkan ke dalam beaker glass 100 mL.

Ditambahkan 3 g bentonit yang telah diaktivasi H2SO4 1,2 M

Di aduk dengan menggunakan magnetik bar selama 15 menit.

Disaring

Dianalisa dengan Spektrofotometri Serapan Atom.

Diulangi perlakuan yang sama untuk larutan seri standar Besi (Fe) 4,0; 6,0; 8,0 dan 10,0 mg/L

Larutan Seri Standar Besi (Fe) 2,0 mg/L

Filtrat Residu


(44)

3.3.6 Penambahan Kitosan

Dipipet 30 ml larutan seri standar Besi 2,0 mg/L Dimasukkan ke dalam beaker glass 100 mL. Ditambahkan 3 g kitosan

Di aduk dengan menggunakan magnetik bar selama 15 menit.

Disaring

Dianalisa dengan Spektrofotometri Serapan Atom.

Diulangi perlakuan yang sama untuk larutan seri standar Besi (Fe) 4,0; 6,0; 8,0 dan 10,0 mg/L

Larutan Seri Standar Besi (Fe) 2,0 mg/L

Filtrat Residu


(45)

3.3.7 Penambahan Bentonit Dilapisi Kitosan

Dipipet 30 ml larutan seri standar Besi 2,0 mg/L, Dimasukkan ke dalam beaker glass 100 mL.

Ditambahkan 3 g bentonit yang telah diaktivasi H2SO4 1,2

M dan sudah dilapisi kitosan.

Di aduk dengan menggunakan magnetik bar selama 15 menit.

Disaring

Dianalisa dengan Spektrofotometri Serapan Atom.

Diulangi perlakuan yang sama untuk larutan seri standar Besi (Fe) 4,0; 6,0; 8,0 dan 10,0 mg/L

Larutan Seri Standar Besi (Fe) 2,0 mg/L

Filtrat Residu


(46)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

Dari penelitian dapat diperoleh data – data sebagai berikut :

Tabel 4.1 Konsentrasi dan absorbansi larutan standar besi (Fe)

Konsentrasi (mg/L)

Absorbansi

0,0000 0

0.5000 0.0046

1,0000 0.0096

1.5000 0.0151

2,0000 0.0203


(47)

Gambar 4.1 Kurva Kalibrasi Larutan Standart Besi (Fe)

Kondisi alat Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) pada pengukuran konsentrasi Logam Besi (Fe) dapat dilihat pada tabel 4.1

Tabel 4.2 Kondisi alat Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) Merek Shimadzu AA-6300 pada pengukuran konsentrasi Logam Besi (Fe)

No Parameter Logam Besi (Fe)

1 2 3

4 5 6

Panjang gelombang (nm) Tipe nyala

Kecepatan aliran gas pembakar ((L/min)

Kecepatan aliran udara (L/min) Lebar celah (nm)

Ketinggian tungku (nm)

248,3 Udara-Asetilen

2,2

15,0 9 0


(48)

4.1.1 Pengolahan Data Logam Besi (Fe)

4.1.1.1 Penurunan Persamaan Garis Regresi dengan Metoda Least Square

Hasil pengukuran absorbansi larutan seri standar logam besi (Fe) pada tabel 4.2 diplotkan terhadap konsentrasi sehingga diperoleh kurva kalibrasi berupa garis linier. Persamaan garis linier untuk kurva kalibrasi ini dapat diturunkan dengan metoda least square dengan data tabel 4.3

Tabel 4.3 Penurunan persamaan garis regresi logam besi (Fe) berdasarkan pengukuran absorbansi larutan seri standar logam besi (Fe)

6 7,5000 X =

6 0,0751 Y =

= 1,2400 = 0,0125

Persamaan garis regresi untuk kurva kalibrasi dapat diturunkan dari persamaan garis :

Y = ax + b

Dimana :

a = slope

b = intersept

Selanjutnya harga slope dapat ditentukan dengan menggunakan metoda least square No Xi Yi (Xi-X) (Yi-Y) (Xi-X)2 (Yi-Y)2

(Xi-X)(Yi-Y) 1 0,0000 0,0000 - 1,24 - 0,0125 1,5376 1,5625.10-4 0,0155

2 0.5000 0.0046 - 0,74 - 0,0079 0,5476 6,241.10-5 5,846.10-3

3 1,0000 0.0096 - 0,24 - 0,0029 0,0576 8,41.10-6 6,96.10-4

4 1.5000 0.0151 0,26 0,0026 0,0676 6,76.10-6 6,76.10-4 5 2,0000 0.0203 0,76 0,0078 0,5776 6,084.10-5 5,928.10-3 6 2.5000 0.0255 1,26 0,0130 1,5876 1,69.10-4 1,638.10-2


(49)

sebagai berikut : 2 X) -(Xi ) Y -X)(Yi -(Xi ∑ Σ = a

b = y – ax

Dengan mensubsitusikan harga – harga yang tercantum pada tabel 4.3 pada persamaan ini maka diperoleh :

4,3756 10 . 5026 ,

4 −2

=

a

a = 1,0290.10-2

b = y - ax

b =(0,0125 ) - (1,0290.10-2 )(1,2400)

b = 0,0002

Maka persamaan garis yang diperoleh adalah

Y = 1,0290.10-2 x + 0,0002

4.1.1.2 Koefisien Korelasi

Koefisien korelasi dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :

{

( (Xi X) )( (Yi Y) )

}

Y) X)(Yi (Xi

2 2 ∑ −

− ∑ − − ∑ = r

Koefisien korelasi untuk logam besi (Fe) adalah

{

(4,3756) (4,6367.10 )

}

) 10 . 5026 , 4 ( 4 2 − − = x r

{

(2,0288.10 )

}

) 10 . 5026 , 4 ( 3 2 − − = r ) 10 . 5042 , 4 ( ) 10 . 5026 , 4 ( 2 2 − − = r


(50)

4.1.1.3 Persentasi (%) Penurunan Konsentrasi Logam Besi (Fe)

Persentase (%) penurunan konsentrasi logam Besi (Fe) dapat ditentukan dengan menggunakan rumus :

% 100 (Feawal) sisa) (Fe -awal) (Fe x

Maka persentasi (%) penurunan konsentrasi logam Besi (Fe) dalam larutan standar setelah penambahan bentonit alam teraktivasi adalah

% 100 (2,0000) (0,0613) -(2,0000)

x = 96,9350 %

Dengan cara yang sama dapat dihitung persentasi (%) penuruna logam Besi (Fe) dalam larutan standar setelah penambahan kitosan dan bentonit dilapisi kitosan.

Tabel 4.4 Data Persentase (%) Penurunan Konsentrasi Logam Besi Dalam Larutan Standar Setelah Penambahan Bentonit Alam Teraktivasi H2SO4 1,2 M

Berat Bentonit

Alam Teraktivasi

H2SO4

(g)

Konsentrasi Awal (mg/L)

Konsentrasi Akhir (mg/L) Rata-Rata (mg/L) Persentase (%) Penurunan Konsentrasi

I II III

3 2,0000 0,0612 0,0613 0,0615 0,0613 96,9350 3 4,0000 0,2024 0,2020 0,2021 0,2021 94,9475 3 6,0000 0,4372 0,4375 0,4375 0,4374 92,2710 3 8,0000 0,7879 0,7880 0,7880 0,7879 90,1512 3 10,0000 1,2370 1,2368 1,2369 1,2369 87,6310


(51)

Tabel 4.5 Data Persentase (%) Penurunan Konsentrasi Logam Besi (Fe) Dalam Larutan Standar Setelah Penambahan Kitosan

Berat Kitosan (g) Konsentrasi Awal (mg/L)

Konsentrasi Akhir (mg/L) Rata-Rata (mg/L) Persentase (%) Penurunan Konsentrasi

I II III

3 2,0000 0,1256 0,1255 0,1251 0,1254 93,7300 3 4,0000 0,3397 0,3393 0,3397 0,3395 91,5125 3 6,0000 0,6372 0,6375 0,6375 0,6374 89,3766 3 8,0000 0,9890 0,9890 0,9890 0,9890 87,6375 3 10,0000 1,5436 1,5438 1,5439 1,5437 84,5630

Tabel 4.6 Data Persentase (%) Penurunan Konsentrasi Logam Besi (Fe) Dalam Larutan Standar Setelah Penambahan Bentonit Dilapisi Kitosan

Berat Bentonit Dilapisi Kitosan (g) Konsentrasi Awal (mg/L)

Konsentrasi Akhir (mg/l) Rata-Rata (mg/L) Persentase (%) Penurunan Konsentrasi

I II III

3 2,0000 0,0027 0,0025 0,0027 0,0026 99,8700 3 4,0000 0,0306 0,0309 0,0308 0,0307 99,2325 3 6,0000 0,0988 0,0987 0,0989 0,0988 98,3533 3 8,0000 0,3715 0,3716 0,3716 0,3715 95,3562 3 10,0000 0,6837 0,6833 0,6830 0,6833 93,1670


(52)

4.2 Pembahasan

Dari hasil penelitian diperoleh bahwa penyerapan logam besi (Fe) setelah penambahan bentonit alam teraktivasi, kitosan dan bentonit dilapisi kitosan berbeda. Dimana penyerapan logam besi (Fe) setelah penambahan bentonit dilapisi kitosan memiliki penyerapan yang lebih besar dari pada penambahan bentonit alam teraktivasi dan kitosan. Ini disebabkan karena bentonit dan kitosan memilki sifat – sifat yang berbeda satu dengan yang lain sehingga daya penyerapannya berbeda juga. Begitu juga dengan bentonit dilapisi kitosan yang memiliki sifat perpaduan antara kitosan dengan bentonit alam teraktivasi.

Dimana bentonit alam teraktivasi H2SO4 1,2 M masih memiliki atom – atom Al

yang dalam struktur tetrahedral dengan empat atom oksigen yang tersisa. Perubahan dari gugus oktahedral menjadi tetrahedral membuat kisi kristal bermuatan negatif pada permukaan kristal, sehingga dapat dinetralisir oleh ion hidrogen. Bagian ini yang disebut sisi aktif dari bentonit dimana bagian ini dapat mengadsorpsi kation dari senyawa – senyawa organik atau dari ion – ion senyawa logam.

Penyerapan kation logam oleh kitosan memanfaatkan keberadaan pasangan elektron bebas pada gugus – OH dan NH2. Oleh karena itu, sebaiknya proses

penyerapan dilakukan dalam lingkungan yang tidak asam agar gugus –NH2 tidak

terprotonasi. Pasangan elektron pada gugus –OH dan – NH2 akan berperan sebagai

ligan (basa lewis, donor pasangan elektron) yang dapat berinteraksi dengan kation logam melalui mekanisme pembentukan ikatan kovalen koordinasi.

Bentonit dilapisi kitosan bertujuan untuk merubah karakter permukaan bentonit dari hidrofilik menjadi hidrofobik, sehingga dapat meningkatkan kinerja bentonit dilapisi kitosan dalam mengadsoprsi senyawa – senyawa organik yang bersifat hidrofob.

Grafik persentase (%) penurunan konsentrasi logam besi (Fe) dalam larutan standar setelah penambahan bentonit alam teraktivasi dapat dilihat pada gambar 4.2


(53)

Gambar 4.2 Persentase (%) Penurunan Konsentrasi Logam Besi (Fe) Dalam Larutan Standar Setelah Penambahan Bentonit Alam Teraktivasi

Grafik persentase (%) penurunan konsentrasi logam besi (Fe) dalam larutan standar setelah penambahan kitosan dapat dilihat pada gambar 4.3

Gambar 4.3 Persentase (%) Penurunan Konsentrasi Logam Besi (Fe) Dalam Larutan Standar Setelah Penambahan Kitosan


(54)

Grafik persentase (%) penurunan konsentrasi logam besi (Fe) dalam larutan standar setelah penambahan bentonit dilapisi kitosan dapat dilihat pada gambar 4.4

Gambar 4.4 Persentase (%) Penurunan Konsentrasi Logam Besi (Fe) Dalam Larutan Standar Setelah Penambahan Bentonit Dilapisi Kitosan

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi adsorpsi suatu logam. Salah satunya adalah adsorben itu sendiri. Dimana setiap adsorben memiliki komposisi yang berbeda dalam mengadsorpsi suatu logam. Pada gambar dibawah ini dapat dilihat persentase (%) penurunan konsentrasi logam besi (Fe) dari masing – masing adsorben yaitu bentonit alam teraktivasi, kitosan dan bentonit dilapisi kitosan.


(55)

Gambar 4.5 Persentase (%) Penurunan Konsentrasi Logam Besi Dalam Larutan Standar Setelah Penambahan Bentonit alam teraktivasi, Kitosan dan Bentonit setelah dilapisi kitosan


(56)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari data yang diperoleh pada penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa bentonit dilapisi kitosan memiliki daya atau kemampuan yang lebih besar dalam mengadsorpsi logam besi (Fe) larutan standar yaitu sebesar (99,8700%) dibandingkan dengan bentonit alam teraktivasi (96,9350%) dan kitosan (93,7300%).

5.2 Saran

Dari hasil penelitian ini hanya memberikan informasi persentase (%) penurunan konsentrasi logam Besi (Fe) dengan menggunakan bentonit alam teraktivasi, kitosan dan bentonit dilapisi kitosan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan variasi waktu pengadukan, variasi bentonit alam teraktivasi, kitosan dan bentonit dilapisi kitosan dan logam berat lainnya seperti : Hg, As, Pb, Bi, Cu, dan Cd.


(57)

DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, S. 2003. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : UI Press.

Brady, G. 1986. Material Hand Book, Twelf edition, Mc Graw Hill Book Company, New York.

Brine, C.J. 1984. Introduction Chitin, Accomplishments and Perspectives. Chitin, Chitosan and Related Enzyme. Orlando : Academic Press Inc. pp xvii – xxiii. Clark,D.V. 1979. Approach to Atomic Absorption Spectroscopy. Sidney-Autralia :

Anal. Chem Consultants Pty. Ltd.

Day, R.A.Jr., Underwood, A.L. 1988. Analisa Kimia Kuantitatif. Edisi Keempat. Jakarta : Erlangga.

Dean, R.B. 1981. Water Reuse : Problem and Solution. London : Academic Press Inc. Dunn, ET.EW. Grandmaison dan MFA. Goosen. 1997. Aplication and Properties Of

Chitosan. Technomic Pub, Basel.

Haswel, S. 1991. Atomic Absorption Spectrometri : Theory, Design and Application. Elviser. New York.

http//:www.tekmira.esdm.go.id/data/bentonit Diakses tanggal 23 Januari 2012

Hutahean, I.S. 2001. Penggunaan Kitosan Sebagai Penyerap Logam Zinkum (Zn2+) Dan Logam Kromium (Cr3+) Dengan Metoda Spektrofotometri Serapan Atom. Skipsi. Medan : Jurusan Kimia FMIPA USU.

Jae Kwan Hwang and Hae Hun Shin. 2001. Rheological Properties of Chitosan Solutions. Korea-Australia Rheology Jurnal.

Kumar, M.N.V.R. 2000. A Review of Chitin and Chitosan Application. India: Departemen Of Chemistery, University of Rooker.

Khopkhar, S.M. 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta : UI Press.

Lowry, T.M. 1958. Intermediate Chemistry. London : Macmillan dan CO LTD. Mulja, M. 1995. Analisa Instrumen. Airlangga Universitity Press. Surabaya Muzzarelly, R.A.A. 1977. Chitin. New York. Oxford: Perngamon Press.

Nurlamba, N.S., Zackiyah, W. Siswaningsih. 2010. Kajian kinetika interaksi kitosan-bentonit dan adsorpsi diazinon terhadap kitosan-kitosan-bentonit. Jurnal Sains dan Teknologi Kimia, ISSN 2087-7412. Hal 159-169.


(58)

Permanasari, A., W. Siswaningsih, I.Wulandari. 2010. Uji kinerja adsorben kitosan-bentonit terhadap logam berat dan diazinon secara simultan. Jurnal Sains dan Teknologi Kimia, ISSN 2087-7412. Hal 121-134.

Rismana, E. 2004. Serat Kitosan Mengikat Lemak

Rohman, A. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta : Rineka Cipta Robert, G.A.F. 1992. Chitin Chemistry. London: The Macmillan Press.

Soedjoko, T.S. 1987. Penelitian Pemanfaatan Bentonit di Indonesia. Buletin PPTM Vol 9, No 2, Jakarta. Hal 15 – 24.

Vinvogadro. A.P. 1971. Elementary Chemical Composition of Marine Organism. Moscow: A.V.USSR.

Vogel. 1990. Analisa Anorganik Kualitatif Makro dan Semimikro. Jakarta : PT Kalman Media Pustaka.

Walsh, A. 1955. Application of Absorbation Spectra to Chemical Analysis. Spectrochemica. Acta. Vol 7.

Zulkarnaen, S. Wardoyo, D.H. Marmur. 1990. Pengkajian Pengolahan dan pemanfaatan Bentonit dari Kecamatan pule, Jawa Timur sebagai penyerap dan Bahan Lumpr Bor. Buletin PPTM. Hal 9-18.


(1)

Gambar 4.2 Persentase (%) Penurunan Konsentrasi Logam Besi (Fe) Dalam Larutan Standar Setelah Penambahan Bentonit Alam Teraktivasi

Grafik persentase (%) penurunan konsentrasi logam besi (Fe) dalam larutan standar setelah penambahan kitosan dapat dilihat pada gambar 4.3

Gambar 4.3 Persentase (%) Penurunan Konsentrasi Logam Besi (Fe) Dalam Larutan Standar Setelah Penambahan Kitosan


(2)

Grafik persentase (%) penurunan konsentrasi logam besi (Fe) dalam larutan standar setelah penambahan bentonit dilapisi kitosan dapat dilihat pada gambar 4.4

Gambar 4.4 Persentase (%) Penurunan Konsentrasi Logam Besi (Fe) Dalam Larutan Standar Setelah Penambahan Bentonit Dilapisi Kitosan

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi adsorpsi suatu logam. Salah satunya adalah adsorben itu sendiri. Dimana setiap adsorben memiliki komposisi yang berbeda dalam mengadsorpsi suatu logam. Pada gambar dibawah ini dapat dilihat persentase (%) penurunan konsentrasi logam besi (Fe) dari masing – masing adsorben yaitu bentonit alam teraktivasi, kitosan dan bentonit dilapisi kitosan.


(3)

Gambar 4.5 Persentase (%) Penurunan Konsentrasi Logam Besi Dalam Larutan Standar Setelah Penambahan Bentonit alam teraktivasi, Kitosan dan Bentonit setelah dilapisi kitosan


(4)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari data yang diperoleh pada penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa bentonit dilapisi kitosan memiliki daya atau kemampuan yang lebih besar dalam mengadsorpsi logam besi (Fe) larutan standar yaitu sebesar (99,8700%) dibandingkan dengan bentonit alam teraktivasi (96,9350%) dan kitosan (93,7300%).

5.2 Saran

Dari hasil penelitian ini hanya memberikan informasi persentase (%) penurunan konsentrasi logam Besi (Fe) dengan menggunakan bentonit alam teraktivasi, kitosan dan bentonit dilapisi kitosan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan variasi waktu pengadukan, variasi bentonit alam teraktivasi, kitosan dan bentonit dilapisi kitosan dan logam berat lainnya seperti : Hg, As, Pb, Bi, Cu, dan Cd.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, S. 2003. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : UI Press.

Brady, G. 1986. Material Hand Book, Twelf edition, Mc Graw Hill Book Company, New York.

Brine, C.J. 1984. Introduction Chitin, Accomplishments and Perspectives. Chitin, Chitosan and Related Enzyme. Orlando : Academic Press Inc. pp xvii – xxiii. Clark,D.V. 1979. Approach to Atomic Absorption Spectroscopy. Sidney-Autralia :

Anal. Chem Consultants Pty. Ltd.

Day, R.A.Jr., Underwood, A.L. 1988. Analisa Kimia Kuantitatif. Edisi Keempat. Jakarta : Erlangga.

Dean, R.B. 1981. Water Reuse : Problem and Solution. London : Academic Press Inc. Dunn, ET.EW. Grandmaison dan MFA. Goosen. 1997. Aplication and Properties Of

Chitosan. Technomic Pub, Basel.

Haswel, S. 1991. Atomic Absorption Spectrometri : Theory, Design and Application. Elviser. New York.

http//:www.tekmira.esdm.go.id/data/bentonit Diakses tanggal 23 Januari 2012

Hutahean, I.S. 2001. Penggunaan Kitosan Sebagai Penyerap Logam Zinkum (Zn2+) Dan Logam Kromium (Cr3+) Dengan Metoda Spektrofotometri Serapan Atom. Skipsi. Medan : Jurusan Kimia FMIPA USU.

Jae Kwan Hwang and Hae Hun Shin. 2001. Rheological Properties of Chitosan Solutions. Korea-Australia Rheology Jurnal.

Kumar, M.N.V.R. 2000. A Review of Chitin and Chitosan Application. India: Departemen Of Chemistery, University of Rooker.

Khopkhar, S.M. 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta : UI Press.

Lowry, T.M. 1958. Intermediate Chemistry. London : Macmillan dan CO LTD. Mulja, M. 1995. Analisa Instrumen. Airlangga Universitity Press. Surabaya Muzzarelly, R.A.A. 1977. Chitin. New York. Oxford: Perngamon Press.

Nurlamba, N.S., Zackiyah, W. Siswaningsih. 2010. Kajian kinetika interaksi kitosan-bentonit dan adsorpsi diazinon terhadap kitosan-kitosan-bentonit. Jurnal Sains dan Teknologi Kimia, ISSN 2087-7412. Hal 159-169.


(6)

Permanasari, A., W. Siswaningsih, I.Wulandari. 2010. Uji kinerja adsorben kitosan-bentonit terhadap logam berat dan diazinon secara simultan. Jurnal Sains dan Teknologi Kimia, ISSN 2087-7412. Hal 121-134.

Rismana, E. 2004. Serat Kitosan Mengikat Lemak

Rohman, A. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta : Rineka Cipta Robert, G.A.F. 1992. Chitin Chemistry. London: The Macmillan Press.

Soedjoko, T.S. 1987. Penelitian Pemanfaatan Bentonit di Indonesia. Buletin PPTM Vol 9, No 2, Jakarta. Hal 15 – 24.

Vinvogadro. A.P. 1971. Elementary Chemical Composition of Marine Organism. Moscow: A.V.USSR.

Vogel. 1990. Analisa Anorganik Kualitatif Makro dan Semimikro. Jakarta : PT Kalman Media Pustaka.

Walsh, A. 1955. Application of Absorbation Spectra to Chemical Analysis. Spectrochemica. Acta. Vol 7.

Zulkarnaen, S. Wardoyo, D.H. Marmur. 1990. Pengkajian Pengolahan dan pemanfaatan Bentonit dari Kecamatan pule, Jawa Timur sebagai penyerap dan Bahan Lumpr Bor. Buletin PPTM. Hal 9-18.


Dokumen yang terkait

Penyediaan Dan Karakterisasi Kitosan Glutaraldehide Sebagai Adsorben Untuk Menentukan Kadar Ion Logam CU Dengan SSA (Spektrofotometri Serapan Atom)

2 62 59

Pengaruh Biosorpsi Rumput Laut (Sargassum) Setelah Dilapisi Kitosan Sebagai Adsorben Untuk Menyerap Ion Logam Kadmium (Cd2+)

2 53 57

Analisis Kadar Kemurnian Gliserin Dengan Metode Natrium Meta Periodat Dan Kadar Unsur Besi ( Fe ) Dan Zinkum ( Zn ) Dengan Metode Spektrofotometri Serapan Atom (AAS)

28 154 58

Analisis Kadar Logam Besi (Fe) Dari Minyak Nilam (Patchouly Oil) Yang Diperoleh Dari Penyulingan Dengan Menggunakan Wadah Kaca, Stainless Steel Dan Drum Bekas Secara Spektrofotometri Serapan Atom

0 38 4

Penentuan Kadar Logam Besi (Fe) Dalam Tepung Gandum Dengan Cara Destruksi Basah Dan Kering Dengan Spektrofotometri Serapan Atom Sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-3751-2006

10 108 45

Pembuatan Kitosan CuO Sebagai Adsorben Untuk Menurunkan Kadar Logam Besi (Fe), Zink (Zn) Dan Kromium (Cr) Dengan Menggunakan Spektrofotometri Serapan Atom

0 0 3

Pembuatan Kitosan CuO Sebagai Adsorben Untuk Menurunkan Kadar Logam Besi (Fe), Zink (Zn) Dan Kromium (Cr) Dengan Menggunakan Spektrofotometri Serapan Atom

0 0 2

Pembuatan Kitosan CuO Sebagai Adsorben Untuk Menurunkan Kadar Logam Besi (Fe), Zink (Zn) Dan Kromium (Cr) Dengan Menggunakan Spektrofotometri Serapan Atom

0 1 14

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kitin dan Kitosan 2.1.1 Kitin - Penggunaan Bentonit Setelah Dilapisi Kitosan Sebagai Adsorben Untuk Menyerap Ion Logam Besi (Fe) Dengan Metoda Spektrofotometri Serapan Atom

0 0 17

PENGGUNAAN BENTONIT SETELAH DILAPISI KITOSAN SEBAGAI ADSORBEN UNTUK MENYERAP ION LOGAM BESI (Fe) DENGAN METODA SPEKTROFOTOMETRI SERAPAN ATOM SKRIPSI WINNY WULANDARI 100822002

0 1 11