BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Chapter II (41.92Kb)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

  2.1 Penyakit kusta (Morbus Hansen, Lepra)

  Penyakit kusta (Morbus Hansen, Lepra) adalah suatu infeksi kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae, primer menyerang saraf tepi, sekunder menyerang kulit dan

  1,2 organ-organ lainnya serta sering menyebabkan kecacatan serta masalah psikososial.

  2.2 Epidemiologi

  Sampai saat ini epidemiologi penyakit kusta belum sepenuhnya diketahui secara pasti. Penyakit kusta tersebar diseluruh dunia terutama didaerah tropis dan subtropis. Dapat menyerang semua umur, frekwensi tertinggi pada kelompok umur antara 30-50 tahun dan

  1,2 lebih sering mengenai laki-laki daripada wanita.

  Di Indonesia penderita kusta terdapat hampir pada seluruh provinsi dengan pola penyebaran yang tidak merata. Meskipun pada pertengahan tahun 2000 Indonesia secara nasional sudah mencapai eliminasi kusta namun pada tahun tahun 2002 sampai dengan tahun 2006 terjadi peningkatan penderita kusta baru. Pada tahun 2006 jumlah penderita kusta baru di Indonesia sebanyak 17.921 orang. Provinsi terbanyak melaporkan penderita kusta baru adalah Maluku, Papua, Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan dengan prevalensi

  2,5 >20 per 100.000 penduduk.

  Menurut WHO (2002), diantara 122 negara yang endemik pada tahun 1985 dijumpai 107 negara telah mencapai target eliminasi kusta dibawah 1 per 10.000 penduduk pada tahun 2000. Pada tahun 2006 WHO mencatat masih ada 15 negara yang melaporkan 1000 atau lebih penderita baru selama tahun 2006. Lima belas negara ini mempunyai kontribusi

  94% dari seluruh penderita baru didunia. Indonesia menempati urutan prevalensi ketiga

  2,3,11 setelah India, dan Brazil.

  2.3 Etiologi

  Kuman penyebab penyakit kusta adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh

  1-3

  G. H Armauer Hansen, seorang sarjana dari Norwegia pada tahun 1873. Secara morfologi kuman ini berbentuk pleomorf lurus dengan kedua ujung bulat dengan ukuran panjang 1-8 mikron dan lebar 0,2 - 0,5 mikron, bersifat tahan asam, berbentuk batang dan gram positif, biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin seperti kulit, mukosa hidung, saraf tepi (terutama sel Schwann) dan

  1 tidak dapat dikultur dalam media buatan.

  2.4 Diagnosis

  Untuk menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda utama atau

  cardinal sign , yaitu: a). Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa.

  Kelainan kulit/lesi yang dapat berbentuk bercak keputihan (hypopigmentasi) atau kemerahan (erithematous) yang mati rasa (anaesthesia).

  b). Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf.

  Gangguan fungsi saraf tepi ini biasanya akibat dari peradangan kronis pada saraf tepi (neuritis perifer). Adapun gangguan-gangguan fungsi saraf tepi berupa: - Gangguan fungsi sensoris : mati rasa.

  • Gangguan fungsi motoris : kelemahan otot (parese) atau kelumpuhan
  • Gangguan fungsi otonom : kulit kering.

  1,2,3,11 c). Ditemukannya M.leprae pada pemeriksaan bakteriologis.

2.5 Klasifikasi

  Setelah seseorang didiagnosis menderita kusta, maka untuk tahap selanjutnya harus ditetapkan tipe atau klasifikasinya. Penyakit kusta dapat diklasifikasikan berdasarkan manifestasi klinis (jumlah lesi, jumlah saraf yang terganggu), hasil pemeriksaan

  2,10,12 bakteriologis, pemeriksaan histopatologi dan pemeriksaan imunologi.

  Tujuan pembagian klasifikasi berguna untuk: a.

  Menentukan rejimen pengobatan, prognosis dari penderita dan komplikasi yang mungkin terjadi.

  b.

  Perencanaan operasional, seperti menemukan pasien-pasien yang menular dan memiliki nilai epidemiologi yang tinggi sebagai target utama pengobatan.

  c.

  Identifikasi pasien yang kemungkinan besar akan menderita cacat. Terdapat banyak jenis klasifikasi penyakit kusta diantaranya adalah klasifikasi Madrid,

  1,2,3,11,13 klasifikasi Ridley-Jopling, klasifikasi India dan klasifikasi menurut WHO.

2.5.1 Klasifikasi Internasional: klasifikasi Madrid (1953)

  Pada klasifikasi ini penyakit kusta dibagi atas Indeterminate (I), Tuberculoid (T),

  

Borderline -Dimorphous (B), Lepromatous (L). Klasifikasi ini merupakan klasifikasi paling

  sederhana berdasarkan manifestasi klinis, pemeriksaan bakteriologis, dan pemeriksaan histopatologi, sesuai rekomendasi dari International Leprosy Association di Madrid tahun

  1,2,3,14 1953.

  2.5.2 Klasifikasi Ridley-Jopling (1966)

  Pada klasifikasi ini penyakit kusta adalah suatu spektrum klinis mulai dari daya kekebalan tubuh yang rendah pada suatu sisi sampai mereka yang memiliki kekebalan yang tinggi terhadap M. leprae di sisi yang lainnya. Kekebalan seluler (cell mediated imunity = CMI) seseorang yang akan menentukan apakah dia akan menderita kusta apabila individu tersebut mendapat infeksi M.leprae dan tipe kusta yang akan dideritanya pada spektrum penyakit kusta. Sistem klasifikasi ini banyak digunakan pada penelitian penyakit kusta, karena bisa menjelaskan hubungan antara interaksi kuman dengan respon imunologi

  15,16 seseorang, terutama respon imun seluler spesifik.

  Kelima tipe kusta menurut Ridley-Jopling adalah tipe Lepromatous (LL), tipe

  

Borderline Lepromatous (BL), tipe Mid-Borderline (BB), tipe Borderline Tuberculoid (BT),

1,2,3,17 dan tipe Tuberculoid (T).

  2.5.3 Klasfikasi menurut WHO

  Pada tahun 1982, WHO mengembangkan klasifikasi untuk memudahkan pengobatan dilapangan. Dalam klasifikasi ini seluruh penderita kusta hanya dibagi menjadi 2 tipe yaitu tipe pausibasiler (PB) dan tipe multibasiler (MB). Sampai saat ini Departemen Kesehatan Indonesia menerapkan klasifikasi menurut WHO sebagai pedoman pengobatan penderita kusta. Dasar dari klasifikasi ini berdasarkan manifestasi klinis dan hasil pemeriksaan bakteriologis.

  

Tabel 1. Pedoman utama dalam menetukan klasifikasi/tipe penyakit kusta menurut WHO

  2 (1982).

  Tanda utama Pausibasiler (PB) Multibasiler (MB) Bercak kusta. Jumlah 1 sampai dengan 5 Jumlah lebih dari 5

  

Penebalan saraf tepi yang disertai Biasanya 1 saraf yang Jumlah saraf yang

dengan gangguan fungsi (gangguan

  terlibat terlibat lebih dari 1 fungsi bisa berupa kurang/mati rasa atau kelemahan otot yang dipersarafi oleh saraf yang bersangkutan.

  

Pemeriksaan bakteriologis. Tidak dijumpai basil Dijumpai basil tahan

  tahan asam (BTA negatif) asam (BTA positif)

  

Tabel 2. Tanda lain yang dapat dipertimbangkan dalam penentuan klasifikasi menurut

2 WHO (1982) pada penderita kusta.

  

Kelainan kulit dan hasil Pausibasiler (PB) Multibasiler (MB)

pemeriksaan

1. Bercak (makula) mati rasa

  a. Kecil dan besar Kecil-kecil Ukuran

  b. Unilateral atau Bilateral simetris Distribusi bilateral asimetris c. Kering dan kasar Halus, berkilat

  Konsistensi

  d. Tegas Kurang tegas Batas e.

  Biasanya tidak jelas, jika Kehilangan rasa pada bercak Selalu ada dan tegas ada, terjadi pada yang sudah lanjut

  f. Selalu ada dan jelas Biasanya tidak jelas, jika Kehilangan kemampuan berkeringat, rambut rontok ada, terjadi pada yang sudah pada bercak lanjut 2.

   Infiltrat

  a. Tidak ada Ada, kadang-kadang tidak Kulit ada

  b. Tidak pernah ada Ada, kadang-kadang tidak membran mukosa ada

  c. Central healing Ciri-ciri

  Punched out lession

  Ginekomasti

  • Hidung pelana
  • Suara sengau
  • d. Tidak ada Kadang-kadang ada

  Nodulus

  e. Terjadi dini Biasanya asimetris Deformitas

2.6 Struktur antigenik Mycobacterium leprae

  merupakan kuman yang bersifat obligat intra-seluler dan dapat bertahan

  M.leprae

  terhadap aksi fagositosis oleh karena mempunyai dinding sel yang sangat kuat dan resisten terhadap aksi lisosim. Antigenitas M. leprae didominasi oleh antigen yang mengandung karbohidrat, yang stabil terhadap fisika-kimia. Struktur dari kuman ini mempunyai banyak kesamaan dengan beberapa mikobakterium lainnya sehingga dapat terjadi reaksi silang

  1,12 diantara antigen kuman-kuman mikobakterium.

  Berdasarkan struktur antigennya, M. leprae memiliki genus-spesific antigen (group

  

i ), namun tidak mempunyai antigen yang biasa dimiliki kelompok mikobakterium yang

  cepat tumbuh (group ii). Oleh karena basil kusta memiliki antigen yang khas untuk spesiesnya maka kuman ini dimasukkan ke dalam group iv menurut pembagian dari Grange. Dengan menggunakan mikroskop elektron, ultra struktur kuman M.leprae menunjukkan bahwa kapsul kuman ini terdiri atas selubung transparan dan dibawahnya terdapat pita-pita dan lembaran tipis. Secara biokimiawi ternyata lapisan-lapisan transparan

  1,12 tersebut terdiri dari bahan glikolipid yang dikenal sebagai Phenolic glicolipid (PGL).

  PGL merupakan antigen spesifik untuk M. leprae dan tidak ditemukan pada mikroba lainnya. Dikenal PGL-1, PGL-2, PGL-3, namun hanya PGL-1 saja yang dianggap penting untuk pemeriksaan serologi. Determinan antigenik PGL-1 terletak pada specific terminal

  

trisaccharide , dimana 3,6-di-o-methyl glucose terminal dianggap bagian yang imuno- dominan. Trisaccharide ini telah berhasil disintesis dan dapat berikatan dengan sample

  6,13 carrier protein yang digunakan pada seroepidemiologik pada beberapa penelitian.

  Antigen PGL-1 ini dapat menstimulasi timbulnya respon humoral berupa pembentukan antibodi, khususnya IgM dan IgG. Antigen ini dapat ditemukan pada semua jaringan yang terinfeksi M. leprae, dan bertahan lama setelah organisme tersebut mati. Antibodi anti PGL-1 dapat ditemukan di dalam serum dan urin penderita kusta tipe lepromatosa, dimana antibodi anti PGL-1 ini titernya meningkat pada penderita multibasiler sehingga dapat dimanfaatkan dalam pemeriksaan serologi kusta sebagai tes diagnostik untuk tipe lepromatosa dini. Akan tetapi sayangnya pada kusta tipe pausibasiler antibodi

  7,13,14 ini sangat sedikit sehingga sulit terdeteksi pada uji serologi.

  PGL-1 bukan suatu antigen yang menimbulkan kekebalan, karena antibodi yang ditimbulkan tidak efektif untuk membunuh basil kusta, karena untuk membunuh M. leprae didalam makrofag yang diperlukan adalah kerjasama antar sel dalam sistem imunitas seluler. Disamping itu ternyata antigen PGL-1 malah dilaporkan dapat merangsang

  7,13,14 timbulnya aktivitas supresor.

  Dua jenis antigen lain dari golongan karbohidrat juga telah ditemukan yaitu

  

lipoarabinomannan (LAM) dan peptidoglikan. Akan tetapi kedua antigen ini tidak spesifik

16,17 terhadap M. leprae.

  M. leprae juga memiliki antigen golongan protein yang berasal dari dinding sel

  kuman yang terletak di lapisan yang lebih dalam hingga bagian inti sel. Komponen protein yang bersifat antigenik ini dibedakan berdasarkan berat molekulnya, maka dikenal protein 12 kD, 18kD, 28 kD, 36 kD, 65 kD, dan lain-lain. Antigen protein ini memiliki berbagai epitop, dimana sebagian diantara epitop ini dianggap spesifik untuk basil kusta. Selain itu antigen ini dapat merangsang limfosit untuk menjadi aktif dan selanjutnya memicu sistem

  Namun dari jenis antigen protein ini juga dapat merangsang limfosit sitotoksik menyerang sel-sel lain sehingga menyebabkan timbulnya kerusakan jaringan. Antigen protein ini juga diduga sebagai pemicu terjadinya reaksi reversal (reaksi kusta tipe 1) akibat matinya kuman

  

M. leprae sehingga terbentuk fragmen-fragmen yang berperan sebagai antigen sehingga

7,15,16 memicu reaksi peradangan akut.

2.7 Imunologi

  Dari segi imunogenetik, sistem imunitas merupakan faktor yang diturunkan, sehingga sedikitnya pola kekebalan terhadap M. leprae akan mirip dengan orang tuanya.

  Hal ini dipelajari melalui penelitian Human Leuococyte Antigen (HLA), dimana ternyata HLA ikut berperan dalam menentukan bentuk respon imun terhadap M. leprae. HLA adalah suatu antigen yang berada di permukaan sel, yang dihasilkan Major Histocompability

  

Complex (MHC). Dikenal MHC kelas I yang menghasilkan HLA-A, HLA-B, HLA-C, dan

  MHC kelas II yang menghasilkan HLA-D yang banyak dihubungkan dengan imunitas terhadap bakteri termasuk basil kusta. Antigen HLA ini berperan dalm pengenalan dan

  7,13,14 penyajian antigen kepada limfosit T (Th) yang akan memulai respon imun.

  Para ahli berpendapat bahwa hingga saat ini tidak ada bukti yang cukup kuat bahwa adanya faktor genetik / HLA yang membuat seseorang mudah terinfeksi kuman M. leprae dibandingkan dengan orang lain. Akan tetapi perbedaannya adalah dalam bentuk respon imun yang terjadi apabila basil kusta masuk ke dalam tubuh seseorang, dimana HLA akan mengarah kepada respon imun yang sesuai. HLA-DR akan mengarah ke sistem imunitas

  7,12,14 selular, sedangkan HLA-DQ akan mengarah ke sistem imunitas humoral.

2.8 Pemeriksaan serologi

  Penyakit kusta dapat didiagnosis melalui tanda-tanda utama pada kusta, namun pada stadium awal banyak tanda-tanda utama tidak memberikan hasil yang memuaskan maka dari itu perlu adanya pemeriksaan laboratorium untuk mengkonfirmasi diagnosis penyakit kusta.

6 Beberapa pemeriksaan serologi telah dikembangkan untuk mendiagnosis kusta,

  dengan pembentukan antibodi berdasarkan pengukuran serologi menggunakan M.leprae, dalam upaya untuk menentukan kegunaannya dalam diagnosis penyakit kusta dan kemungkinannya dalam menentukan infeksi subklinis dengan menekankan deteksi pada kasus multibasiler di masa mendatang.

  Dikenal ada beberapa tesserologi kusta, antara lain :

  4,6 a.

  Tes FLA-ABS (Flourescent leprosy antibodi-absorption test) Menggunakan antigen kuman mycobacterium leprae secara utuh yang telah dilabel dengan zat floresensi. Hasil tes ini memberikan sensitivitas yang tinggi namun spesifitasnya agak kurang karena adanya reaksi silang dengan dengan antigen dari mycobacterium lainnya.

  b.

  Radio Imunoassay (RIA) Menggunakan antigen mycobacterium leprae yang dibiakkan dalam tubuh armadillo yang diberi label radioaktif.

  c.

  Tes MLPA (Mycobacterium leprae particle aglutination) Tes ini berdasarkan reaksi aglutinasi antara antigen sintetik PGL-1 dengan antibodi dalam serum. Merupakan tes yang praktis untuk dilakukan dilapangan, terutama untuk keperluan kasus seropositif.

  d.

  Tes ELISA (Enzyme linked immuno-sorbent assay) Prinsip tes ELISA adalah mengukur banyaknya ikatan antigen antibodi yang terbentuk terjadi reaksi warna yang dapat diukur dengan spektofotometer dengan panjang gelombang tertentu, pemeriksaan ini menggunakan mikroplat untuk tempat terjadinya reaksi. Untuk menentukan nilai ambang batas (cut off) dari hasil uji ELISA ini biasanya ditentukan setelah mengetahui nilai setara individu yang sakit kusta dan yang tidak sakit kusta, namun untuk daerah endemis kusta banyak orang yang sehat juga menunjukkan titer antibodi anti PGL-1 yang cukup tinggi, sehingga penentuan nilai ambang bervariasi

  18

  dari satu tempat dengan tempat lainnya. Di daerah jawa timur nilai ambang batas untuk antibodi anti PGL-1 untuk IgM telah diketahui sekitar 605u/ml. Tes serologi dapat digunakan untuk mendeteksi adanya infeksi subklinis pada narakontak kusta, mempelajari fenomena imunologis pada kusta yang manifes, memantau hasil pengobatan, serta mendeteksi adanya kekambuhan pada penderita yang selesai pengobatannya. Terdapat 3 metode utama ELISA, antara lain: Direct ELISA, Indirect

  19,20 ELISA dan Sandwich ELISA.

  Dalam penelitian ini akan menggunakan metode indirect ELSIA, yaitu antigen yang secara langsung melekat pada fase solid akan bereaksi dengan antibodi primer. Kemudian dilakukan penambahan antibodi skunder yang dilabel dengan enzim,

  21,22,23 sehingga akan terjadi reaksi warna yang dapat diukur dengan spectrophotometer.

  Keuntungan menggunakan uji ELISA, antara lain adalah: (1) simpel, menggunakan miroplat berkapasitas besar, cepat dan mudah; (2) sensitif, menggunakan amplifikasi enzim katalis, sehingga cukup sensitif untuk diagnosis; (3) diukur berdasarkan

  24,25,26 perubahan warna.