BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Perilaku - Perilaku Ibu Dalam Mengatasi Kesulitan Makan Pada Anak Usia Dibawah Lima Tahun di Kelurahan Huta Tonga-tonga Sibolga

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Perilaku

  Perilaku adalah bentuk responden atau reaksi terhadap stimulasi atau rangsangan dari luar organisme (orang), namun dalam memberikan respon sangat tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan. Hal ini berarti bahwa semestinya stimulusnya sama bagi beberapa orang, namun respon tiap-tiap orang berbeda (Notoatmodjo,2003).

  Perilaku manusia berasal dari dorongan yang ada dalam diri manusia, sedang dorongan merupakan usaha untuk memenuhi kebutuhan yang ada dalam diri manusia. Perilaku merupakan perwujudan dari adanya kebutuhan, perilaku dikatakan wajar apabila ada penyesuaian diri yang harus diselaraskan peran manusia sebagai mahkluk individu, sosial, dan kebutuhan (Purwanto,1999).

  Perilaku dibagi dalam 3 ranah, meskipun ranah tersebut tidak mempunyai batasan yang jelas dan tegas. Pembatasan ranah ini dilakukan untuk pembatasan pendidikan yaitu: ranah kognitif, ranah afektif dan ranah psikomotor.

2.1.1 Pengetahuan

  Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yaitu penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba.

  Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui pendidikan, pengalaman diri sendiri maupun pengalaman orang lain, media massa dan lingkungan (Notoadmodjo, 2003).

  Pengetahuan hanya dapat menjawab pernyataan apa saja, apabila pengetahuan itu mempunyai sasaran yang tertentu mempunyai metode atau pendekatan untuk mengkaji objek tersebut sehingga memperoleh hasil yang ada disusun secara sistematis dan diakui secara universal, maka terbentuklah disiplin ilmu (Notoadmodjo, 2003).

  1. Tahu (Know) Diartikan sebagai pengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.

  Pengetahuan ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya.

  2. Memahami (Comprehention)

  Diartikan sebagai suatu kemampuan atau menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan ada menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus ada menjelaskan dan menyebutkan.

  3. Aplikasi (Application)

  Diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi disini ada diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi lain.

  4. Analisa (Analysis)

  Suatu kemampuan untuk menggambarkan materi atau suatu objek dalam komponen, tetapi masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini ada dilihat untuk penggunaan kata kerja, seperti menggambarkan, membedakan dan sebagainya.

  5. Sintesis (Synthesis)

  Menunjukkan suatu kemampuan atau meletakkan atau menghubungkan bagian- bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru, dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi yang ada.

  6. Evaluasi (Evaluation)

  Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian ini berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria yang telah ada. Pengukuran pengetahuan ada dilakukan dengan wawancara atau angket yang ingin diukur dari subjek peneliti atau responden.

2.1.2 Sikap

  Sikap adalah pandangan atau perasaan yang disertai kecenderungan untuk bertindak, berekspresi sesuai dengan sikap objek. Sikap mempunyai segi motifasi dan segi-segi perasaan, sikap ada bersifat positif dan negatif, dalam sikap positif tindakan adalah mendekati, menyenangi, mengharapkan objek tertentu sedangkan sikap negatif cenderung untuk menjauhi, menghindari, membenci, tidak menyukai objek tertentu dalam kehidupan masyarakat (Purwanto, 1999).

  Sikap adalah merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup untuk seseorang terhadap suatu stimulus atau objek, manifestasi sikap tidak ada langsung dilihat, tetapi hanya bisa ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup, sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus dalam kehidupan sehari-hari.

  Selain bersifat positif, sikap memiliki tingkat kedalaman yang berbeda-beda (sangat benci, agak benci, dst.). Sikap itu tidaklah sama dengan perilaku dan perilaku tidaklah selalu mencerminkan sikap seseorang, sebab sering sekali terjadi bahwa seseorang memperlihatkan tindakan yang bertentangan dengan sikapnya, sikap seseorang dapat berubah dengan diperolehnya tambahan informasi tentang objek tersebut melalui persuasi serta tekanan dari kelompok sosialnya (Notoatmodjo,2003).

  Allport (1954) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3 komponen pokok yaitu:

  1. Kepercayaan (keyakinan), ide, konsep terhadap suatu objek.

  2. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek.

  3. Kecenderungan untuk bertindak.

  Sikap ini terdiri dari 4 tingkatan yaitu:

a. Menerima (Receiving)

  Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek).

  b. Merespon (Responding)

  Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap, karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah berarti orang menerima ide tersebut.

  c. Menghargai (Valuing) Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah.

  d. Bertanggung jawab (Responsible)

  Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dipilihnya dengan resiko merupakan sikap yang paling tinggi. Pengukuran sikap ada dilakukan secara langsung dengan mengatakan pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu objek (Notoadmojo,2003).

2.1.3 Tindakan

  Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (over behavior), untuk terbentuknya sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan antara lain adalah fasilitas, disamping fasilitas juga diperlukan faktor pendukung (support) dari pihak lain.

  Tingkat-tingkat praktek tindakan: 1.

  Persepsi, mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktek tingkat pertama.

2. Respon terpimpin, dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh adalah merupakan indikator praktek pada tingkat ini.

  3. Mekanisme, apabila seseorang telah melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan maka dia sudah mencapai tingkat ini.

  4. Adaptasi adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik, artinya sudah dimodifikasikannya tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut.

2.2 Kesulitan Makan

2.2.1 Pengertian Kesulitan Makan

  Makan merupakan kegiatan rutin sehari-hari yang jika dilihat sepintas tampaknya sangat sederhana, namun sebenarnya makan merupakan salah satu kegiatan biologis yang kompleks, melibatkan berbagai faktor fisik, psikologis dan lingkungan. Selain sebagai upaya pemenuhan kebutuhan terhadap nutrien, makan juga memiliki fungsi psikologis dan sosial/edukasi yang dapat memberikan kepuasan bagi anak itu sendiri maupun bagi pemberinya. Kesulitan makan merupakan ketidakmampuan anak untuk mengkomsumsi sejumlah makanan yang diperlukan, secara alamiah dan wajar, yaitu dengan menggunakan mulut secara sukarela.

  Masalah kesulitan makan sering dihadapi baik oleh para orangtua, dokter atau petugas kesehatan yang lain. Sekitar 25% sampai 40 % anak dilaporkan mengalami kesulitan makan. Penelitian terhadap anak prasekolah usia 4-6 tahun di jakarta didapatkan prevalensi kesulitan makan sebesar 33,6%, 44,5% diantaranya menderita malnutrisi ringan

  • – sedang serta 79% telah berlangsung lebih dari 3 bulan. Penelitian di Belgia menemukan 17% anak yang dirujuk dengan kesulitan
makan yang parah ditemukan mengalami esofagitis refluks tanpa disertai penyakit lain. Penyebab kesulitan makan secara garis besar dibedakan oleh faktor organik, nutrisi, dan psikologis (Soedibyo,2007).

  Jika anak menunjukkan gangguan yang berhubungan dengan makan atau pemberian makan akan segera mengundang kekhawatiran ibu.

  Keluhan yang biasa disampaikan berbagai macam, diantaranya : a.

  Penerimaan makanan yang tidak/kurang memuaskan.

  b.

  Makan tidak mau ditelan.

  c.

  Makan terlalu sedikit atau tidak nafsu makan.

  d.

  Penolakan atau melawan pada waktu makan.

  e.

  Kebiasaan makan makanan yang aneh/siap saji.

  f.

  Hanya mau makan jenis makanan tertentu saja.

  g.

  Cepat bosan terhadap makanan yang disajikan.

  h.

  Keterlambatan dalam tingkat keterampilan makan.

2.2.2 Penyebab Kesulitan Makan

  Kesulitan makan dapat terjadi pada semua kelompok usia anak, tetapi jenis kesulitan makan dan penyebabnya berlainan, juga mengenai derajat dan lamanya.

  Penyebab kesulitan makan mungkin karena disebabkan oleh satu penyakit atau kelainan tertentu, tetapi bisa juga beberapa macam penyakit atau faktor bersama- sama.

  Faktor yang merupakan penyebab kesulitan makan dapat dibedakan menjadi 3 kelompok yaitu:

A. Faktor nutrisi

  Berdasarkan kemampuan untuk mengkonsumsi makanan, memilih jenis makanan dan menentukan jumlah makanan, anak-anak dapat dikelompokkan :

  1. Konsumer pasif : pada bayi berusia 0-1 tahun Pada bayi umumnya kesulitan makan karena faktor mekanis berkaitan dengan keterampilan makan biasanya disebabkan oleh cacat atau kelainan bawaan pada mulut dan kelainan neuro motorik. Selain itu dapat juga oleh kekurangan pembinaan / pendidikan makan antara lain: a. Manajemen pemberian ASI yang kurang benar.

  b. Usia saat pemberian makanan tambahan yang kurang tepat, terlalu dini atau lambat.

  c. Jadwal pemberian makan yang terlalu ketat.

  d. Cara pemberian makan yang kurang tepat.

  2. Konsumer semi pasif/semi aktif : anak balita usia 1-5 tahun.

  Kesulitan makan pada anak balita berupa berkurangnya nafsu makan makin meningkat berkaitan dengan makin meningkatnya interaksi dengan lingkungan, mereka lebih mudah terkena penyakit terutama penyakit infeksi baik yang akut maupun yang menahun, infestasi cacing dan sebagainya.

  3. Konsumer aktif : anak sekolah dan remaja 6-18 tahun.

  Pada usia ini berkurangnya nafsu makan disamping karena sakit juga oleh karena faktor lain misalnya waktu / kesempatan untuk makan karena kesibukan belajar atau bermain dan faktor kejiwaan. Kesulitan makan karena faktor kejiwaan biasanya pada anak gadis usia sekitar

  10-12 tahun sesuai dengan awal masa remaja. Kesulitan makan mungkin mereka lakukan dengan segaja untuk mengurangi berat badan untuk mencapai penampilan tertentu yang diabaikan. Sebaliknya mungkin terjadi nafsu makan yang berlebihan yang mengakibatkan kelebihan berat yang berlanjut menjadi obesitas.

B. Faktor penyakit/kelainan organik.

  Berbagai unsur yang terlibat dalam makan yaitu alat pencernaan makanan dari rongga mulut, bibir, gigi geligi, langit-langit, lidah, tenggorokan, sistem saraf, sistem hormonal, dan enzim-enzim. Maka dari itu bila terdapat kelainan atau penyakit pada unsur organik tersebut pada umumnya akan disertai dengan gangguan atau kesulitan makan, untuk praktisnya dikelompokkan menjadi: a.

  Kelainan / penyakit gigi geligi dan unsur lain dalam rongga mulut.

  b.

  Kelainan / penyakit pada bagian lain saluran cerna.

  c.

  Penyakit infeksi pada umumnya.

  a) akut : infeksi saluran pernafasan.

  b) kronis : tubercolosis paru, malaria.

  d. Penyakit /kelainan non infeksi. Penyakit bawaan diluar rongga mulut dan saluran cerna:

a) Penyakit jantung bawaan, sindroma down.

  b) Penyakit neuromauskuler : cerebral palsy.

  c) Penyakit keganasan : tumor willems.

  d) Penyakit hematologi : anemia, leukemia.

  e) Penyakit metabolik/endokrin : diabetes mellitus.

  f) Penyakit kardiovaskuler.

C. Faktor gangguan/kelainan psikologis.

  a.

  Dasar teori motivasi dengan lingkaran motivasinya.

  Suatu kehendak/keinginan atau kemauan karena ada kebutuhan atau kekurangan yang menimbulkan ketidakseimbangan. Orang membutuhkan makanan selanjutnya muncul perasaan lapar karena di dalam tubuh ada kekurangan zat makanan. Atau sebaliknya seseorang yang didalam tubuhnya sudah cukup makanan yang baru atau belum lama dimakan, maka tubuh belum membutuhkan makanan dan tidak timbul keinginan makan.

  Hal ini sering tidak disadari oleh para ibu atau pengasuh anak, yang memberikan makanan tidak pada saat yang tepat, apalagi dengan tindakan pemaksaan, ditambah dengan kualitas makanan yang tidak enak, misalnya terlalu asin atau pedas dan dengan cara menyuapi yang terlalu keras, memaksa anak untuk membuka mulut dengan sendok. Hal ini semua menyebabkan kegiatan makan merupakan kegiatan yang tidak menyenangkan.

  b.

  Pemaksaan untuk memakan atau menelan jenis makanan tertentu yang kebetulan tidak disukai. Hal ini perlu pendekatan yang tepat dalam melatih anak mau memakan makanan yang mungkin tidak disukai. c.

  Anak dalam kondisi tertentu, misalnya anak dalam keadaan demam, mual atau muntah dan dalam keadaan ini anak dipaksa untuk makan.

  d.

  Suasana keluarga, khususnya sikap dan cara mendidik serta pola interaksi antara orang tua dan anak yang menciptakan suasana emosi yang tidak baik.

  Tidak tertutup kemungkinan sikap menolak makan sebagai sikap protes terhadap perlakuan orang tua, misalnya cara menyuapi yang terlalu keras, pemaksaan untuk belajar dan sebagainya.

  2.2.3 Dampak Kesulitan Makan

  Pada kesulitan makan yang sederhana misalnya karena sakit yang akut biasanya menunjukkan dampak yang berarti pada kesehatan dan tumbuh kembang anak. Pada kesulitan makan yang berat dan berlangsung lama akan berdampak pada kesehatan dan tumbuh kembang anak. Gejala yang timbul tergantung dari jenis dan jumlah zat gizi yang kurang. Bila anak hanya tidak menyukai makanan tertentu misalnya buah atau sayur akan terjadi defisiensi vitamin A. Bila hanya mau minum susu saja akan terjadi anemi defisiensi besi. Bila kekurangan kalori dan protein akan terjadi kekurangan energi protein (KEP).

  2.2.4 Upaya Mengatasi Kesulitan Makan Pada Anak

  Menurut Irianto (2007) anak-anak sering mengalami kesulitan atau tidak mau makan meskipun orang tua sudah menyiapkan makanan terbaik. Hal tersebut dapat diatasi dengan berbagai upaya, antara lain:

a. Porsi kecil

  Berikan makanan dalam porsi secukupnya (jangan banyak sekaligus), Karena anak akan bangga jika berhasil menghabiskan porsi makannya.

  b. Beri pujian

  Apabila anak mampu menghabiskan porsi makannya, berilah pujian sehingga menyenangkan hati anak.

  c. Biarkan anak mengambil porsinya sendiri Berikan kebebasan kepada anak untuk mengambil makanannya sendiri sebab

  anak akan merasa dihormati dan bertanggung jawab terhadap habisnya makanan tersebut.

  d. Beri makan saat lapar

  Apabila hendak menyajikan jenis makanan baru yang belum dikenal anak, sebaiknya diberikan pada saat anak lapar.

  e. Hindari rasa bersalah

  Apabila anak memecahkan peralatan makan, jangan dimarahi. Untuk itu, gunakan peralatan yang terbuat dari plastik.

  f. Sajikan hanya makanan yang terbaik

  Berikan makanan yang padat kalori seperti daging, ikan, selai kacang, keju, pisang, kacang-kacangan.

  g. Ciptakan suasana makan yang menyenangkan Biarkan anak makan sambil bermain-main atau apa saja yang disukainya.

  h. Kurangi Hal-hal yang dapat mengalihkan perhatian

  Telivisi sering mengganggu perhatian anak pada waktu makan meskipun anak tidak sungguh-sungguh menonton. Demikian juga halnya kehadiran kakak atau anak lain juga menyebabkan anak kurang perhatian pada makanannya.

i. Biarkan anak makan lambat

  Anak yang baru belajar makan biasanya sangat lambat menyelesaikan tugas makannya. Untuk itu, sebaiknya biarkan ia makan dengan caranya sendiri.

  Luangkan waktu menemaninya.

  j. Mengganti suasana

  Agar anak tidak bosan, berupayalah mengganti suasana makan, misalnya bagi anak yang biasa makan di meja makan dapat divariasi dengan makan di teras, minuman yang biasanya diminum langsung dari cangkir diganti dengan memakai sedotan, makan yang biasanya hanya menggunakan tangan dapat menggunakan sendok.

  k. Biarkan anak memilih makanannya sendiri

  Berikan alternatif makanan yang dapat dipilih anak, boleh saja mengajak anak untuk mengkonsumsi makanan seperti yang dimakan anggota keluarga lainnya, tetapi jangan sekali-kali memaksanya.

  l. Bersikap cerdik

  Agar kebutuhan anak akan zat-zat gizi dapat terpenuhi, orang tua harus cerdik dalam menyediakan menu makanan terutama untuk balita. Sayuran dan buah- buahan dalam bentuk aslinya terkadang tidak disukai anak. Untuk itu, anda bisa menyajikan dalam bentuk makanan campuran, misalnya dibuat jus atau masakan dengan sayuran yang dihaluskan.

  m. Turuti keinginan anak

  Pada umumnya anak menolak makanan campuran dalam satu piring, misalnya nasi, sayur dan lauk jadi satu. Turuti keinginan anak dengan menyajikan berbagai jenis makanan yang terpisah.

  n. Jangan memaksa rapi

  Anak lebih menyukai makan dengan caranya sendiri yang terkadang menjadi berantakan. Untuk itu, diperlukan toleransi orang tua untuk tidak memaksa anak makan dengan rapi sebab dengan cara tersebut anak akan lebih banyak menghabiskan makananya.

  o. Mau menerima jawaban tidak

  Apabila anak mengatakan “Sudah Kenyang” dan tidak mau makan lagi, jangan paksa untuk makan mesti hanya satu suap lagi.

  p. Bersabar

  Selera makan anak cepat berubah sehingga jenis makanan yang kemarin digemari, sekarang bisa saja dihindari. Untuk itu, dituntut kesabaran dari orang tua.

  q. Memberi hadiah

  Jika anak dijanjikan akan diberi hadiah jika dapat menghabiskan makanannya, ini dapat memberi motivasi kepada anak untuk menghabiskan makanannya.

2.2.5 Penanganan Kesulitan Makan pada Anak

  Beberapa langkah yang harus dilakukan pada penatalaksanaan kesulitan makan pada anak adalah:

  1. Pastikan apakah betul anak mengalami kesulitan makan, kemudian cari penyebab kesulitan makanan pada anak

2. Identifikasi adakah komplikasi yang terjadi 3.

  Pemberian pengobatan terhadap penyebab 4. Bila penyebab gangguan saluran cerna (seperti alergi, intoleransi atau celiac), hindari makanan tertentu yang menjadi penyebab gangguan.

  Gangguan fungsi pencernaan kronis pada anak merupakan salah satu penyebab paling penting dalam kesulitan makan.

  Menurut Judawanto (2007), gangguan fungsi saluran cerna kronis yang terjadi seperti alergi makanan, intoleransi makanan, dan sebagainya. Reaksi simpang makanan tersebut tampaknya sebagai penyebab utama gangguan- gangguan tersebut. Hal ini bisa dilihat dengan timbulnya permasalahan kesulitan makan ini terbanyak saat usia diatas 6 bulan ketika mulai dikenalkannya variasi makanan tambahan baru.

2.2.6 Pengaturan Makan Bayi dan Balita A.

  Tujuan Pengaturan Makan Bayi dan Balita Pengaturan makan untuk bayi dan balita berbeda dengan pengaturan pada orang dewasa karena pada masa ini bayi dan anak balita masih dalam tahap pertumbuhan dan perkembangan.

  Terdapat 2 tujuan pengaturan makan untuk bayi dan balita, yaitu: a. Memberikan zat gizi yang cukup bagi kebutuhan hidup, yaitu untuk pemeliharaan dan/atau pemulihan serta peningkatan kesehatan, pertumbuhan dan perkembangan fisik dan psikomotor, serta melakukan aktifitas fisik.

  b.

  Untuk mendidik kebiasaan makan yang baik, menyukai dan menentukan makanan yang dibutuhkan.

  Menurut Titi dalam Mayurnani (2010) menguraikan tujuan pengaturan makan atau tujuan upaya gizi pada bayi dan balita ada 3 yaitu:

  1. Tujuan fisiologis: Memberikan kalori dan zat-zat gizi yang dibutuhkan bayi dan balita untuk bergerak, tumbuh dan berkembang.

  2. Tujuan psikologis: Memberikan kepuasan kepada bayi dan balita menikmati makanan yang diberikan.

  3. Tujuan edukatif: Mendidik keterampilan mengkonsumsi makanan.

  • Membina kebiasaan waktu makan/jadwal makan (sarapan, makan siang dan
  • makan sore/malam).
  • selera dan kebiasaan keluarga.

  Membina selera terhadap makanan yang baik, khususnya yang merupakan

  B.

  Syarat untuk Makanan pada Bayi dan Balita Menurut Maryunani (2010), syarat-syarat untuk makanan bayi dan balita, yaitu: a.

  Memenuhi kecukupan energi dan semua zat gizi sesuai dengan umur.

  b.

  Susunan hidangan disesuaikan dengan pola menu seimbang, bahan makanan yang tersedia setempat, kebiasaan makan dan selera terhadap makanan.

  c.

  Bentuk dan porsi makanan disesuaikan dengan daya terima, toleransi dan keadaan faal bayi/balita.

  d.

  Memperhatikan kebersihan perorangan dan lingkungan.

2.3 Balita

2.3.1 Pengertian Balita

  Anak b alita merupakan singkatan dari anak “di bawah lima tahun”. Periode ini terdiri atas usia anak 1 sampai 3 tahun yang disebut dengan toddler dan prasekolah, yaitu antara 3 sampai 6 tahun. Toddler menunjukkan perkembangan motorik yang lebih lanjut dan anak menunjukkan kemampuan aktifitas lebih banyak bergerak, mengembangkan rasa ingin tahu, dan eksplorasi terhadap benda yang ada di sekelilingnya. Dengan demikian, bahaya atau resiko terjadi kecelakaan harus diwaspadai pada periode toddler. Orang tua perlu mendapatkan bimbingan antisipasi terhadap kemungkinan terjadinya bahaya atau ancaman kecelakaan tersebut. Kemampuan interaksi sosial lebih luas terutama pada anak prasekolah dan mempersiapkan diri untuk memasuki dunia sekolah dan perkembangan konsep diri telah dimulai pada periode ini. Pada usia prasekolah, perkembangan fisik lebih lambat dan relatif menetap. Sistem tubuh harusnya sudah matang dan sudah terlatih dengan toileting. Keterampilan motorik, seperti berjalan, berlari, melompat menjadi semakin lues, tetapi otot dan tulang belum sempurna (Supartini, 2004).

Dokumen yang terkait

Perilaku Ibu Dalam Mengatasi Kesulitan Makan Pada Anak Usia Dibawah Lima Tahun di Kelurahan Huta Tonga-tonga Sibolga

13 133 71

Analisis Determinan Perilaku Ibu Dalam Mengatasi Stressor Pada Anak Usia Pra Sekolah (3-6 Tahun) Terhadap Dampak Hospitalisasi

0 0 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku 2.1.1 Konsep Perilaku - Gambaran Perilaku Masyarakat Dalam Pola Pencarian Pengobatan di Desa Doloksaribu Lumban Nabolon, Kecamatan Uluan Kabupaten Toba Samosir Tahun 2015

0 0 26

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Anak Usia Sekolah - Perkembangan Psikososial Anak Usia Sekolah Pasca Erupsi Sinabung di Desa Batukarang Kecamatan Payung Kabupaten Karo

0 0 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Makan Remaja - Perilaku Makan Siap Saji (Fast Food) dan Kejadian Obesitas pada Remaja Putri di SMAN 1Barumun Kecamatan Barumun Kabupaten Padang Lawas Tahun 2014

0 1 21

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku - Perilaku Suami Dalam Merawat Ibu Masa Nifas di Klinik Niar Medan Amplas Tahun 2012

0 1 18

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku - Perilaku Pencarian Pengobatan Terhadap Nyeri Odontogenik Pada Masyarakat Di Kelurahan Gundaling Ii Kecamatan Berastagi

0 0 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Perilaku - Gambaran Perilaku Ibu Rumah Tangga Dalam Penggunaan Garam Beriodium di Desa Bangun I Kecamatan Parbuluan Kabupaten Dairi Tahun 2014.

0 0 19

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Perilaku Kesehatan 2.1.1. Batasan Perilaku - Gambaran Perilaku Pencarian Pelayanan Pengobatan Pada Masyarakat Dusun VI Desa Patumbak Kampung Kabupaten Deli Serdang Tahun 2013

0 0 27

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku 2.1.1 Pengertian Perilaku - Gambaran Perilaku Tentang Seks Bebas Pada Pelajar SMA Kemala Bhayangkari 1 Medan Tahun 2012

0 0 13