BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Anak Usia Sekolah - Perkembangan Psikososial Anak Usia Sekolah Pasca Erupsi Sinabung di Desa Batukarang Kecamatan Payung Kabupaten Karo

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Anak Usia Sekolah

  Masa kanak-kanak lanjut (usia 6-12 tahun) adalah periode ketika anak- anak dianggap mulai dapat bertanggung jawab atas perilakunya sendiri, dalam hubungannya dengan orang tua mereka, teman sebaya, dan orang lainnya. Usia 6- 12 tahun juga sering disebut usia sekolah. Artinya, sekolah menjadi pengalaman inti anak-anak usia ini, yang menjadi titik pusat perkembangan fisik, kognitif, dan psikososial (Lusi Nuryanti, 2008).

  Usia sekolah merupakan masa anak memperoleh dasar-dasar pengetahuan untuk keberhasilan penyesuaian diri pada kehidupan dewasa dan memperoleh keterampilan tertentu (Wong, 2009).

  2.1.1 Ciri-ciri Anak Usia Sekolah Hurlock (2002) mengatakan orang tua, pendidik, dan ahli psikologis memberikan berbagai label kepada periode ini dan label-label itu mencerminkan ciri-ciri penting dari periode anak usia sekolah, yaitu sebagai berikut : a. Label yang digunakan oleh orang tua

  Bagi banyak orang tua akhir masa kanak-kanak merupakan usia

  yang menyulitkan, suatu masa dimana anak tidak mau lagi menuruti perintah

  dan dimana ia lebih banyak dipengaruhi oleh teman-teman sebaya daripada oleh orang tua dan anggota kelompok lain.

  Karena kebayakan anak, terutama laki-laki, kurang memperhatikan dan tidak bertanggung jawab terhadap pakaian dan benda-benda miliknya sendiri, maka orang tua memandang periode ini sebagai usia tidak rapih, suatu masa dimana anak cenderung tidak memperdulikan dan ceroboh dalam penampilan, dan kamarnya sangat berantakan.

  Dalam keluarga yang terdiri dari anak laki-laki dan perempuan, sudah sering bila terjadi pertengkaran antara anak laki-laki dan perempuan.

  Pola perilaku ini banyak terjadi dalam keluarga sehingga periode ini disebut oleh orang tua sebagai usia bertengkar, suatu masa dimana banyak terjadi pertengkaran antar keluarga dan suasana rumah yang tidak menyenangkan bagi semua anggota keluarga.

  b. Label yang digunakan oleh Para Pendidik Para pendidik memandang periode ini sebagai periode kritis dalam dorongan berprestasi, suatu masa dimana anak membentuk kebiasaan untuk mencapai sukses, tidak sukses, atau sangat sukses.

  Pada usia tersebut anak diharapkan memperoleh dasar-dasar pengetahuan yang dianggap penting untuk keberhasilan penyesuaian diri pada kehidupan dewasa, dan mempelajari berbagai keterampilan penting tertentu, baik keterampilan kurikuler maupun ekstra kulikuler.

  c. Label yang digunakan Ahli Psikologi Bagi ahli psikologi, akhir masa kanak-kanak adalah usia

  berkelompok, suatu masa dimana perhatian utama anak tertuju pada keinginan diterima oleh teman-teman sebaya sebagai anggota kelompok, terutama kelompok yang bergengsi dalam pandangan teman-temannya. Oleh karena itu, anak ingin menyesuaikan dengan standar yang disetujui kelompok dalam penampilan, berbicara, dan perilaku. Keadaan ini disebut oleh ahli psikologi sebagai usia penyesuaian diri.

  Anak-anak yang lebih besar bila tidak dihalangi oleh rintangan- rintangan lingkungan, oleh kritik, atau cemoohan orang-orang dewasa atau orang lain, akan mengarahkan tenaga kedalam kegiatan-kegiatan kreatif. Oleh karena itu, ahli psikologi menamakan masa akhir kanak-kanak dengan

  usia kreatif, suatu masa dalam rentang kehidupan dimana akan ditentukan

  apakah anak-anak akan menjadi konformis atau pencifta karya yang baru dan orisinal.

  Akhir masa kanak-kanak seringkali disebut usia bermain oleh ahli psikologi, bukan karena terdapat lebih banyak waktu untuk bermain melainkan karena terdapat tumpang tindih antara ciri-ciri kegiatan bermain anak-anak yang lebih muda dengan ciri-ciri bermain anak-anak remaja. Jadi alasan periode ini disebut sebagai usia bermain adalah karena luasnya minat dan kegiatan bermain dan bukan karena banyaknya waktu untuk bermain.

  2.1.2 Perkembangan Anak Usia Sekolah Perkembangan anak usia sekolah dibagi menjadi perkembangan fisik, kognitif, dan psikososial (Potter & Perry, 2009). a. Perkembangan Fisik Kecepatan pertumbuhan pada usia sekolah awal bersifat perlahan dan konsisten sebelum terjadinya lonjakan pertumbuhan pada usia remaja.

  Anak usia sekolah tampak lebih langsing dibandingkan anak usia pra- sekolah karena perubahan distribusi dan ketebalan lemak.

  Peningkatan tinggi badan berkisar 2 inci (5 cm) per tahun, dan berat badan meningkat sekitar 4 sampai 7 pon (1,8 sampai 3,2 kg) per tahun.

  Banyak anak yang mengalami peningkataan berat badan dua kali lipat, dan sebagian besar anak perempuan mendahului anak laki-laki dalam pertambahan tinggi dan berat badan pada akhir usia sekolah. Pengukuran tinggi dan berat badan tiap tahunnya akan mendeteksi perubahan pertumbuhan yang merupakan gejala timbulnya berbagai penyakit anak.

  Anak usia sekolah menjadi lebih terkoordinasi karena dapat mengatur otot besar dan kekuatannya yang meningkat. Sebagian besar melakukan keterampilan mototrik kasar seperti berlari, melompat, menjaga keseimbangan, melempar, dan menangkap saat bermain.

  Perubahan fisik lainnya juga terjadi pada masa usia sekolah. Pertumbuhan gigi tampak jelas pada masa ini. Gigi permanen pertama atau gigi sekunder muncul pada usia 6 tahun. Pada usia 12 tahun, anak telah kehilangan seluruh gigi primer dan sebagai gigi permanen telah erupsi.

  Seiring pertumbuhan tulang, tampilan dan postur tubuh juga berubah. Postur anak yang sebelumnya sedikit lordosis dengan penonjolan abdomen berubah menjadi lebih tegak. Sangat penting untuk mengevaluasi anak, terutama wanita setelah usia 12 tahun, terhadap adanya scoliosis.

  Bentuk mata berubah terjadi karena pertumbuhan tulang. Hal ini akan meningkatkan ketajaman penglihatan menjadi 6/6. Skrining penglihatan dan pendengaran menjadi lebih mudah karena anak telah memahami dan dapat bekerja sama dengan arahan pemeriksaan.

  b. Perkembangan Kognitif Perubahan kognitif memberikan kemampuan untuk berpikir secara logis tentang waktu dan lokasi dan untuk memahami hubungan antara benda dan pikiran. Anak telah dapat membayangkan suatu peristiwa tanpa harus mengalaminya terlebih dahulu. Pikiran anak tidak lagi didominasi oleh persepsi sehingga kemampuan mereka untuk memahami dunia sangat meningkat. Pada usia 7 tahun anak mampu menggunakan simbol untuk melakukan tindakan (aktivitas mental) dalam pikiran dan bukan secara nyata. Mereka mulai menggunakan proses pikir logis dengan materi yang konkret (objek, manusia, dan peristiwa yang dapat disentuh dan dilihat).

  Anak usia sekolah menggunakan kognisinya untuk memecahkan masalah. Beberapa orang memiliki kemampuan yang lebih baik dibandingkan lainnya karena bakat intelektual, pendidikan dan pengalaman, namun semua anak dapat meningkatkan keterampilan ini. Mereka yang mampu memecahkan masalah dengan baik serta memiliki karakteristik berikut : pandangan positif bahwa masalah dapat diselesaikan dengan usaha, memusatkan perhatiaan pada ketepatan, kemampuan membagi masalah menjadi bagian-bagian pelajaran, dan kemampuan menghindari tebakan saat mencari fakta.

  c. Perkembangan Psikososial Erikson (dalam Potter & Perry, 2009) mengatakan tugas perkembangan pada anak usia sekolah adalah industry versus inferioritas

  (industry vs inferioritas). Pada masa ini, anak mencoba memperoleh kompetensi dan keterampilan yang dibutuhkan untuk berfungsi kelak pada usia dewasa. Mereka yang direspon secara positif akan merasakan adanya harga diri. Mereka yang memperoleh kegagalan sering merasa rendah diri atau tidak berharga sehingga dapat mengakibatkan penarikan diri dari sekolah maupun kelompok temannya.

  Hubungan dengan orang tua. Anak mulai mengetahui bahwa

  orang tua bukan individu yang sempurna, anak sering berkhayal dan berharap bahwa orang tua temannya merupakan orang tuanya.Terkadang mereka menganggap dirinya sebagai anak angkat.Mereka bergantung kepada orang tua untuk memperoleh kasih sayang, rasa aman, pedoman, dan pengasuhan.

  Hubungan dengan saudara kandung. Terkadang terdapat

  konflik antar-saudara di rumah namun saling membela jika berada di lingkungan luar. Adik sering mengidolakan sang kakak, yang akan menimbulkan kompetisi. Dapat timbul perasaan cemburu pada kakak atas perhatian yang diperoleh sang adik. Kakak dapat bersikap otoriter dan terkadang melakukan kekerasan.

  Hubungan dengan kelompok. Pada tahun pertama sekolah (usia

  6-7 tahun), anak bermain bersama tanpa perbedaan jenis kelamin. Pada usia 8 tahun terbentuk kelompok yang tersusun dari sesama jenis kelamin.

  ‘Geng’ ini memberikan kebebasan bagi anak dari aturan orang tua dan menetapkan bahasa rahasia mereka. Periode ini sering disebut sebagai ‘perkumpulan rahasia’ anak. Anak usia sekolah biasanya memiliki teman dekat sesame jenis. Hubungan ini umumnya bersifat sementara, namun intensitasnya cukup besar dan mencakup diskusi berbagai topik.

  Konsep Diri. Perasaan anak atas penguasaan tugas merupakan

  unsur penting dalam membentuk kepercayaan diri. Anak harus memperoleh umpan balik yang positif dari guru dan orang tua mengenai usahanya.

  Sangat penting bagi anak untuk membangun keterampilan pada setidaknya satu bidang seperti membaca, berenang. Konsep diri yang positif membuat anak merasa senang, berharga, dan mampu memberikan kontribusi dengan baik. Perasaan sepertiu itu menyebabkan penghargaan diri, kepercayaan diri, dan perasaan bahagia secara umum. Perasaan negatif menyebabkan keraguan terhadap diri sendiri.

  Ketakutan. Ketakutan terhadap keamanan tubuh (misanya Guntur,

  anjing, kegelapan, bising, suara-suara) berkurang. Ketakutan akan kekuatan supranatural seperti hantu dan penyihir bertahan dan akan hilang perlahan.

  Ketakutan baru terhadap sekolah dan keluarga terbentuk. Mereka mengkhawatirkan cemoohan guru dan teman serta penolakan oleh orang tua.

  Mereka juga mengkhawatirkan kematian dan topik berita seperti peran dan kerusakan lingkungan.

  Pola Koping. Untuk mengatasi stress, anak usia sekolah

  menggunakan mekanisme seperti penolakan dan agresi. Beberapa kategori pada anak yang dirawat di rumah sakit adalah inaktivitas (berdiam diri, tidak melakukan aktivitas, dan apatis), orientasi atau precoping (melihat dan mendengar, berjalan dan menjelajah, serta bertanya), bekerja sama (mematuhi perawatan), penolakan (berusaha lari dari situasi atau menyerang perawat secara fisik maupun verbal), dan mengatur (mengambil tanggung jawab terhadap perawatan diri dan menyarankan hal yang dapat dilakukan).

  Moral. Anak mempelajari peraturan dari orang tua, namun sampai

  usia 10 tahun mereka masih memiliki keterbatasan dalam hal ini. Mereka masih mementingkan dirinya sendiri dan dapat menggunakan kecurangan untuk menang. Setelah usia 10 tahun, keadilan didasarkan pada balas dendam dan hukuman untuk memperbaiki situasi (misalnya jika anak menghancurkan suatu benda, mereka harus membayar untuk perbaikannya).

  Kegiatan Tambahan. Anak usia sekolah terlibat dalam permainan

  bersama seperti lompat tali, sepak bola, dan kasti. Permainan menjadi kompetitif dan anak sulit menerima kekalahan. Godaan, hinaan, tantangan, dan sensitivitas yang meningkat merupakan karakteristik pada usia ini.

  Nutrisi. Anak memiliki makanan yang disukai dan dibenci. Dapat

  terjadi kekurangan gizi pada kelompok usia ini. Anak memiliki selera makan yang besar setelah kegiatan sekolah dan membutuhkan cemilan berkualitas seperti buah dan roti isi.

2.2 Konsep Bencana

  World Health Organization (WHO) mengatakan bencana adalah (1)

  Sebuah gangguan serius dari berfungsinya suatu komunitas atau masyarakat yang menyebabkan kerugian manusia, material, kerugian ekonomi atau lingkungan yang melampaui kemampuan komunitas atau masyarakat yang terkena tersebut untuk mengatasinya dengan menggunakan sumber dayanya sendiri (2) Situasi atau peristiwa yang melampaui kapasitas lokal sehingga memerlukan bantuan eksternal pada tingkat nasional maupun internasional (WHO, 2014).

  Departemen Kesehatan Republik Indonesia mengatakan bencana adalah kejadian/peristiwa pada suatu daerah yang mengakibatkan kerusakan ekologi, kerugian kehidupan manusia serta memburuknya kesehatan dan pelayanan kesehatan yang bermakna sehingga memerlukan bantuan luar biasa dari pihak luar (Depkes RI).

  2.2.1 Jenis-jenis Bencana Jenis-jenis bencana menurut Undang-undang No.24 tahun 2007 dapat dibedakan menjadi tiga yaitu bencana sosial, bencana non alam, dan bencana alam. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat, dan teror.

  Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non alam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.

  Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkain peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa :

  1. Gempa bumi adalah peristiwa bergetarnya bumi akibat pelepasan energi di dalam bumi secara tiba-tiba yang ditandai dengan patahnya lapisan batuan pada kerak bumi.

  2. Tsunami adalah gelombang laut yang terjadi karena gangguan impulsif pada laut.

  3. Banjir adalah peristiwa yang terjadi ketika aliran air yang berlebihan merendam daratan .

  4. Angin Topan adalah angina kencang atau bisa juga disebut badai besar yang sangat kuat dengan pusaran angin dengan kecepatan 120 km/jam atau lebih.

  5. Kekeringan adalah hubungan antara ketersediaan air yang jauh dibawah kebutuhan air, baik untuk kebutuhan hidup, pertanian, kegiatan ekonomi dan lingkungan.

  6. Gunung meletus atau erupsi gunung, terjadi akibat endapan magma di dalam perut bumi yang didorong keluar oleh gas yang bertekanan tinggi. Letusan yang membawa abu dan batu menyembur dengan keras sejauh radius 18 km atau lebih, sedang lavanya bisa membanjiri daerah sejauh radius 90 km. Letusan gunung berapi bisa menimbulkan korban jiwa dan harta benda yang besar sampai ribuan kilometer jauhnya dan bahkan bisa mempengaruhi putaran iklim di bumi ini.

  2.2.2 Dampak BencanaAlam Bencana alam dapat mengakibatkan dampak yang merusak pada bidang ekonomi, sosial, dan lingkungan. Kerusakan infrastruktur dapat mengganggu aktivitas sosial, dampak dalam bidang sosial mencakup kemaatian, luka-luka, sakit, hilangnya tempat tinggal dan kekacauan komunitas, sementara kerusakan lingkungan dapat mencakup hancurnya hutan yang melindungi daratan (Mundakir, 2009).

  Salah satu bencana alam yang paling menimbulkan dampak paling besar, misalnya gempa bumi, selama 5 abad terakhir, telah menyebabkan lebih dari 5 juta orang tewas, 20 kali lebih banyak daripada korban gunung meletus. Dalam hitungan detik dan menit, jumlah besar luka-luka yang sebagian besar tidak menyebabkan kematian, membutuhkan pertolongan medis segera dari fasilitas kesehatan yang seringkali tidak siap, rusak, runtuh karena gempa. Bencana seperti tanah longsor pun dapat memakan korban yang signifikan pada komunitas manusia karena mencakup suatu wilayah tanpa ada peringatan terlebih dahulu dan dapat dipicu oleh bencana alam lain terutama gempa bumi, letusan gunung berapi, hujan lebat dan topan (Mundakir, 2009).

  2.2.3 Dampak Bencana pada aspek Psikososial Bencana yang terjadi secara mendadak dan cepat umumnya mengakibatkan perasaan syok dan ketidakberdayaan pada korban. Dampak bencana yang ditimbulkan dapat terjadi pada aspek psikologi dan aspek sosial (Mundakir, 2009).

  Dampak bencana pada aspek Psikologi

  a) Dampak bencana pada aspek fisik Secara umum, semua bencana akan mempengaruhi sistem tubuh manusia. Pada aspek fisik, dampak yang ditimbulkan dapat berupa badan terasa tegang, cepat lelah, susah tidur, mudah terkejut, palpitasi, mual, perubahan nafsu makan, dan kebutuhan seksual menurun.

  b) Dampak bencana pada aspek Psikis Secara khusus dampak bencana pada aspek psikis ini adalah terhadap emosi kognitif korban. Pada aspek emosi terjadi gejala-gejala sebagai berikut: syok, rasa takut, sedih, mudah menangis atau sebaliknya mudah marah, dendam, rasa bersalah, malu, rasa tidak percaya, gelisah, kehilangan emosi seperti perasaan cinta, keintiman, kegembiraan atau perhatian pada kehidupan sehari-hari.

  Pada aspek kognitif, korban bencana ini juga mengalami perubahan seperti: pikiran kacau, salah persepsi, menurunnya kemampuan untuk mengambil keputusan, daya konsentrasi dan daya ingat berkurang, mengingat hal-hal yang tidak menyenangkan, dan terkadang menyalahkan diri sendiri, terus menerus memikirkan sesuatu.Reaksi dalam perilaku ini merupakan reaksi stress yang paling jelas karena dapat diamati oleh orang lain. Ketika mengalami stress seorang akan menampilkan perilaku sebagai bentuk reaksi pertahanan diri terhadap situasi yang dirasakan mengganggu.

  Suatu perilaku sebagai reaksi stres perlu diperhatikan atau ditangani lebih lanjut jika tampil pada seseorang secara berlebihan atau sebaliknya sangat minim.Ciri-cirinya seperti menarik diri, sulit tidur, putus asa, ketergantungan, penarikan sosial, sikap permusuhan, kemarahan, merusak diri sendiri, dan perilaku imfulsif (Hartini, 2009). Dampak bencana pada aspek Sosial

  a) Dampak bencana pada aspek keluarga Fungsi sosial keluarga dalam hal ini terkait dengan hubungan kekeluargaan yang terjadi yaitu ikatan kekeluargaan yang merenggang.Kerenggangan hubungan keluarga ini umumnya disebabkan karena tempat tinggalnya terpisah dan terjadinya disharmoni keluarga.Dengan tempat tinggal yang terpisah, hubungan emosional mereka juga mengalami perubahan. Kondisi ini akan berdampak pada peran-peran sosial yang seharusnya dapat dilakukan oleh keluarga. b) Dampak bencana pada aspek masyarakat Selain keluarga mengalami perubahan, hubungan sosial kemasyarakatan juga mengalami perubahan.Perubahan yang diakibatkan oleh bencana bisa saja menyebabkan hubungan solidaritas yang melemah.

  c) Dampak bencana pada aspek lingkungan Akibat terjadinya bencana alam, tentu menimbulkan kerugian bagi kehidupan masyarakat seperti rusaknya rumah, rusaknya fasilitas umum, hilangnya harta benda bahkan sampai menimbulkan korban jiwa.Rusaknya rumah masyarakat akibat bencana alam, menyebabkan masyarakat pindah ketempat pengungsian dengan persediaan fasilitas hidup yang terbatas atau mengungsi ke tempat saudara yang jaraknya cukup jauh dari tempat kejadian.

  Selain itu, bencana alam juga menyebabkan rusaknya fasilitas atau sarana pendidikan yang ada seperti gedung sekolah, peralatan belajar dan terganggunya proses belajar mengajar. Kondisi tersebut sangat berpengaruh terhadap terbatasnya pemberian layanan pembelajaran dari sekolah kepada peserta didik.

  Sebagai akibat kerusakan lingkungan, selain rusaknya infrasturktur, fasilitas lain yang menyangkut kebutuhan dasar manusia juga terganggu, ketersediaan air bersih, distribusi bahan makanan dan pencemaran lingkungan. Semua dampak lingkungan ini, cepat atau lambat akan mengancam status kesehatan korban bencana (Ginting, 2014).