Sebaran Cekungan Basin Di Indonesia

Sebaran Cekungan ( Basin ) Di Indonesia

I.

Pulau Sumatra
1. Sumatra Selatan
Geologi Cekungan Sumatera Selatan adalah suatu hasil kegiatan
tektonik yang berkaitan erat dengan penunjaman Lempeng IndiAustralia, yang bergerak ke arah utara hingga timurlaut terhadap
Lempeng Eurasia yang relatif diam. Zone penunjaman lempeng
meliputi daerah sebelah barat Pulau Sumatera dan selatan Pulau
Jawa. Beberapa lempeng kecil (micro-plate) yang berada di
antara zone interaksi tersebut turut bergerak dan menghasilkan
zone konvergensi dalam berbagai bentuk dan arah. Penunjaman
lempeng Indi-Australia tersebut dapat mempengaruhi keadaan
batuan, morfologi, tektonik dan struktur di Sumatera Selatan.
Tumbukan tektonik lempeng di Pulau Sumatera menghasilkan
jalur busur depan, magmatik, dan busur belakang.
Cekungan Sumatera Selatan terbentuk dari hasil penurunan
(depression) yang dikelilingi oleh tinggian-tinggian batuan
Pratersier. Pengangkatan Pegunungan Barisan terjadi di akhir
Kapur disertai terjadinya sesar-sesar bongkah (block faulting).

Selain Pegunungan
Barisan sebagai pegunungan bongkah (block mountain)
beberapa tinggian batuan tua yang masih tersingkap di
permukaan adalah di Pegunungan Tigapuluh, Pegunungan
Duabelas, Pulau Lingga dan Pulau Bangka yang merupakan sisasisa tinggian "Sunda Landmass", yang sekarang berupa Paparan
Sunda. Cekungan Sumatera Selatan telah mengalami tiga kali
proses orogenesis, yaitu yang pertama adalah pada Mesozoikum
Tengah, kedua pada Kapur Akhir sampai Tersier Awal dan yang
ketiga
pada
Plio-Plistosen.
Orogenesis
Plio-Plistosen
menghasilkan kondisi struktur geologi seperti terlihat pada saat
ini. Tektonik dan struktur geologi daerah Cekungan Sumatera
Selatan dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu, Zone
Sesar Semangko, zone perlipatan yang berarah baratlauttenggara dan zona sesar-sesar yang berhubungan erat dengan
perlipatan serta sesar-sesar Pratersier yang mengalami
peremajaa.
Secara fsiografs Cekungan Sumatra Selatan merupakan

cekungan Tersier berarah barat laut – tenggara, yang dibatasi
Sesar Semangko dan Bukit Barisan di sebelah barat daya,
Paparan Sunda di sebelah timur laut, Tinggian Lampung di
sebelah tenggara yang memisahkan cekungan tersebut dengan

Cekungan Sunda, serta Pegunungan Dua Belas dan Pegunungan
Tiga Puluh di sebelah barat laut yang memisahkan Cekungan
Sumatra Selatan dengan Cekungan Sumatera Tengah.Posisi
Cekungan Sumatera Selatan sebagai cekungan busur belakang
(Blake, 1989)

a. Tektonik Regional, Blake (1989) menyebutkan bahwa
daerah Cekungan Sumatera Selatan merupakan cekungan
busur belakang berumur Tersier yang terbentuk sebagai
akibat adanya interaksi antara Paparan Sunda (sebagai
bagian dari lempeng kontinen Asia) dan lempeng
Samudera India. Daerah cekungan ini meliputi daerah
seluas 330 x 510 km2, dimana sebelah barat daya dibatasi
oleh singkapan Pra-Tersier Bukit Barisan, di sebelah timur
oleh Paparan Sunda (Sunda Shield), sebelah barat dibatasi

oleh Pegunungan Tigapuluh dan ke arah tenggara dibatasi
oleh Tinggian Lampung.

b. Menurut Salim et al. (1995), Cekungan Sumatera Selatan
terbentuk selama Awal Tersier (Eosen – Oligosen) ketika
rangkaian (seri) graben berkembang sebagai reaksi sistem
penunjaman menyudut antara lempeng Samudra India di
bawah lempeng Benua Asia. Menurut De Coster, 1974
(dalam Salim, 1995), diperkirakan telah terjadi 3 episode
orogenesa yang membentuk kerangka struktur daerah
Cekungan Sumatera Selatan yaitu orogenesa Mesozoik
Tengah, tektonik Kapur Akhir – Tersier Awal dan Orogenesa
Plio – Plistosen.

c.

Episod
e

pertama, endapan – endapan Paleozoik dan Mesozoik

termetamorfosa, terlipat dan terpatahkan menjadi bongkah
struktur dan diintrusi oleh batolit granit serta telah
membentuk pola dasar struktur cekungan. Menurut
Pulunggono, 1992 (dalam Wisnu dan Nazirman ,1997), fase
ini membentuk sesar berarah barat laut – tenggara yang
berupa sesar – sesar geser.

d. Episode kedua pada Kapur Akhir berupa fase ekstensi
menghasilkan gerak – gerak tensional yang membentuk
graben dan horst dengan arah umum utara – selatan.
Dikombinasikan dengan hasil orogenesa Mesozoik dan hasil
pelapukan batuan – batuan Pra – Tersier, gerak gerak
tensional ini membentuk struktur tua yang mengontrol
pembentukan Formasi Pra – Talang Akar.
e. Episode ketiga berupa fase kompresi pada Plio – Plistosen
yang menyebabkan pola pengendapan berubah menjadi
regresi dan berperan dalam pembentukan struktur
perlipatan dan sesar sehingga membentuk konfgurasi
geologi sekarang. Pada periode tektonik ini juga terjadi
pengangkatan

Pegunungan
Bukit
Barisan
yang
menghasilkan
sesar
mendatar
Semangko
yang
berkembang sepanjang Pegunungan Bukit Barisan.
Pergerakan horisontal yang terjadi mulai Plistosen Awal
sampai sekarang mempengaruhi kondisi Cekungan
Sumatera Selatan dan Tengah sehingga sesar – sesar yang

baru terbentuk di daerah ini mempunyai perkembangan
hampir sejajar dengan sesar Semangko. Akibat pergerakan
horisontal ini, orogenesa yang terjadi pada Plio – Plistosen
menghasilkan lipatan yang berarah barat laut – tenggara
tetapi sesar yang terbentuk berarah timur laut – barat daya
dan barat laut – tenggara. Jenis sesar yang terdapat pada

cekungan ini adalah sesar naik, sesar mendatar dan sesar
normal.
f. Kenampakan struktur yang dominan adalah struktur yang
berarah barat laut – tenggara sebagai hasil orogenesa Plio
– Plistosen. Dengan demikian pola struktur yang terjadi
dapat dibedakan atas pola tua yang berarah utara –
selatan dan barat laut – tenggara serta pola muda yang
berarah barat laut – tenggara yang sejajar dengan Pulau
Sumatera .
STRATIGRAFI REGIONAL CEKUNGAN SUMATRA BAGIAN
SELATAN
Stratigraf daerah Cekungan Sumatera Selatan telah banyak
dibahas oleh para ahli geologi terdahulu, khususnya yang
bekerja

dilingkungan

perminyakan.

Pada


awalnya

pembahasan dititik beratkan pada sedimen Tersier, umumnya
tidak pernah diterbitkan dan hanya berlaku di lingkungan
sendiri.
Peneliti terdahulu telah menyusun urutan-urutan stratigraf
umum Cekungan

Sumatera

Selatan, antara

lain

: Van

Bemmelen (1932), Musper (1937), Marks (1956), Spruyt
(1956), Pulunggono (1969), De Coster 2(1974), Pertamina
(1981).

Berdasarkan

peneliti-peneliti

terdahulu,

maka

Stratigraf

Cekungan Sumatera Selatan dibagi menjadi tiga kelompok
yaitu kelompok batuan Pra-Tersier, kelompok batuan Tersier
serta kelompok batuan Kuarter.
1.

Batuan Pra-Tersier

Batuan Pra-Tersier Cekungan Sumatera Selatan merupakan
dasar cekungan sedimen Tersier. Batuan ini diketemukan
sebagai batuan beku, batuan metamorf dan batuan sedimen

(De Coster, 1974) Westerveld (1941), membagi batuan

berumur Paleozoikum (Permokarbon) berupa slate dan yang
berumur Mesozoikum (Yurakapur) berupa seri fasies vulkanik
dan seri fasies laut dalam. Batuan Pra-Tersier ini diperkirakan
telah mengalami perlipatan dan patahan yang intensif pada
zaman Kapur Tengah sampai zaman Kapur Akhir dan diintrusi
oleh batuan beku sejak orogenesa Mesozoikum Tengah (De
Coster, 1974).
2.

Batuan Tersier

Berdasarkan penelitian terdahulu urutan sedimentasi Tersier
di Cekungan Sumatera Selatan dibagi menjadi dua tahap
pengendapan, yaitu tahap genang laut dan tahap susut laut.
Sedimen-sedimen yang terbentuk pada tahap genang laut
disebut Kelompok Telisa (De Coster, 1974, Spruyt, 1956), dari
umur Eosen Awal hingga Miosen Tengah terdiri atas Formasi
Lahat (LAF), Formasi Talang Akar (TAF), Formasi Baturaja

(BRF), dan Formasi Gumai (GUF). Sedangkan yang terbentuk
pada tahap susut laut disebut Kelompok Palembang (Spruyt,
1956) dari umur Miosen Tengah – Pliosen terdiri atas Formasi
Air Benakat (ABF), Formasi Muara Enim (MEF), dan Formsi
Kasai (KAF).
a.

Formasi Lahat (LAF)
Menurut Spruyt (1956), Formasi ini terletak secara

tidak selaras diatas batuan dasar, yang terdiri atas lapisanlapisan tipis tuf andesitik yang secara berangsur berubah
keatas menjadi batu lempung tufan. Selain itu breksi andesit
berselingan dengan lava andesit, yang terdapat dibagian
bawah. Batulempung tufan, segarnya berwarna hijau dan
lapuknya berwarna ungu sampai merah keunguan. Menurut
De Coster (1973) formasi ini terdiri dari tuf, aglomerat,
batulempung, batupasir tufan, konglomeratan dan

breksi


yang berumur Eosen Akhir hingga Oligosen Awal. Formasi ini
diendapkan dalam air tawar daratan. Ketebalan dan litologi
sangat bervariasi dari satu tempat ke tempat yang lainnya

karena bentuk cekungan yang tidak teratur, selanjutnya pada
umur Eosen hingga Miosen Awal, tejadi kegiatan vulkanik
yang menghasilkan andesit (Westerveld, 1941 vide of side
katilli 1941), kegiatan ini mencapai puncaknya pada umur
Oligosen Akhir sedangkan batuannya disebut sebagai batuan
“Lava Andesit tua” yang juga mengintrusi batuan yang
diendapkan pada Zaman Tersier Awal.
b.

Formasi Talang Akar (TAF)

Nama Talang Akar berasal dari Talang Akar Stage (Martin,
1952) nama lain yang pernah digunakan adalah Houthorizont
(Musper, 1937) dan Lower Telisa Member (Marks, 1956).
Formasi

Talang

akar

dibeberapa

tempat

bersentuhan

langsung secara tidak selaras dengan batuan Pra Tersier.
Formasi ini dibeberapa tempat menindih selaras Formasi
Lahat (De Coster, 1974), hubungan itu disebut rumpang
stratigraf, ia juga menafsirkan hubungan stratigraf diantara
kedua formasi tersebut selaras terutama dibagian tengahnya,
ini diperoleh dari data pemboran sumur Limau yang terletak
disebelah Barat Daya Kota Prabumulih (Pertamina, 1981),
Formasi Talang Akar dibagi menjadi dua, yaitu : Anggota
“Gritsand” terdiri atas batupasir, yang mengandung kuarsa
dan ukuran butirnya pada bagian bawah kasar dan semakin
atas semakin halus. Pada bagian teratas batupasir ini berubah
menjadi batupasir konglomeratan atau breksian. Batupasir
berwarna putih sampai coklat keabuan dan mengandung
mika, terkadang terdapat selang-seling batulempung coklat
dengan

batubara,

pada

anggota

ini

terdapat

sisa-sisa

tumbuhan dan batubara, ketebalannya antara 40 – 830 meter.
Sedimen-sedimen ini merupakan endapan fuviatil sampai
delta (Spruyt, 1956), juga masih menurut Spruyt (1956)
anggota transisi pada bagian bawahnya terdiri atas selangseling batupasir kuarsa berukuran halus sampai sedang dan

batulempung serta lapisan batubara. Batupasir pada bagian
atas berselang-seling dengan batugamping tipis dan batupasir
gampingan, napal, batulempung gampingan dan serpih.
Anggota ini mengandung fosil-fosil Molusca, Crustacea, sisa
ikan

foram

besar

dan

foram

kecil,

diendapkan

pada

lingkungan paralis, litoral, delta, sampai tepi laut dangkal dan
berangsur menuju laut terbuka kearah cekungan. Formasi ini
berumur Oligosen Akhir hingga Miosen Awal. Ketebalan
formasi ini pada bagian selatan cekungan mencapai 460 –
610

meter,

sedangkan

pada

bagian

utara

cekungan

mempunyai ketebalan kurang lebih 300 meter (De Coster,
1974).
c.

Formasi Baturaja (BRF)

Menurut Spruyt (1956), formasi ini diendapkan secara selaras
diatas Formasi Talang Akar. Terdiri dari batugamping terumbu
dan batupasir gampingan. Di gunung Gumai tersingkap dari
bawah

keatas

batugamping
batugamping

berturut-turut

koral,
ini

batupasir

mengandung

napal

tufaan,

napalan
foram

lapisan

kelabu

besar

putih,

antara

lain

Spiroclypes spp, Eulipidina Formosa Schl, Molusca dan lain
sebagainya. Ketebalannya antara 19 - 150 meter dan berumur
Miosen
dangkal.

Awal.

Lingkungan

Penamaan

Pengendapannya

Formasi

Baturaja

adalah

laut

pertama

kali

dikemukakan oleh Van Bemmelen (1932) sebagai “Baturaja
Stage”, Baturaja Kalk Steen (Musper, 1973) “Crbituiden Kalk”
(v.d. Schilden, 1949; Martin, 1952), “Midle Telisa Member”
(Marks, 1956), Baturaja Kalk Sten Formatie (Spruyt, 1956) dan
Telisa Limestone (De Coster, 1974). Lokasi tipe Formasi
Baturaja adalah di pabrik semen Baturaja (Van Bemelen,
1932).

d.

Formasi Gumai (GUF)

Formasi

ini

diendapkan

setelah

Formasi

Baturaja

dan

merupakan hasil pengendapan sedimen-sedimen yang terjadi
pada waktu genang laut mencapai puncaknya. Hubungannya
dengan Formasi Baturaja pada tepi cekungan atau daerah
dalam cekungan yang dangkal adalah selaras, tetapi pada
beberapa tempat di pusat-pusat cekungan atau pada bagian
cekungan yang dalam terkadang menjari dengan Formasi
Baturaja (Pulonggono, 1986). Menurut Spruyt (1956) Formasi
ini terdiri atas napal tufaan berwarna kelabu cerah sampai
kelabu

gelap.

Kadang-kadang

terdapat

lapisan-lapisan

batupasir glaukonit yang keras, tuf, breksi tuf, lempung
serpih dan lapisan tipis batugamping. Endapan sediment pada
formasi ini banyak mengandung Globigerina spp, dan napal
yang mengeras. Westerfeld (1941) menyebutkan bahwa
lapisan-lapisan Telisa adalah seri monoton dari serpih dan
napal yan mengandung Globigerina sp dengan selingan tufa
juga lapisan pasir glaukonit. Umur dari formasi ini adalah Awal
Miosen Tengah (Tf2) (Van Bemmelen, 1949) sedangkan
menurut Pulonggono (1986) berumur Miosen Awal hingga
Miosen Tengah (N9 – N12).
e.

Formasi Air Benakat (ABF)

Menurut Spruyt (1956), formasi ini merupakan tahap awal dari
siklus pengendapan Kelompok Palembang, yaitu pada saat
permulaan dari endapan susut laut. Formasi ini berumur dari
Miosen Akhir hingga Pliosen. Litologinya terdiri atas batupasir
tufaan, sedikit atau banyak lempung tufaan yang berselangseling

dengan

batugamping

napalan

atau

batupasirnya

semakin keatas semakin berkurang kandungan glaukonitnya.
Pada formasi ini dijumpai Globigerina spp, tetapi banyak
mengadung Rotalia spp. Pada bagian atas banyak dijumpai
Molusca dan sisa tumbuhan. Di Limau, dalam penyelidikan
Spruyt (1956) ditemukan serpih lempungan yang berwarna

biru sampai coklat kelabu, serpih lempung pasiran dan
batupasir

tufaan.

Di

daerah

Jambi

ditemukan

berupa

batulempung kebiruan, napal, serpih pasiran dan batupasir
yang

mengandung

gampingan.

Mollusca,

Diendapkan

dalam

glaukonit

kadang-kadang

lingkungan

pengendapan

neritik bagian bawah dan berangsur kelaut dangkal bagian
atas (De Coster, 1974). Ketebalan formasi ini berkisar 250 –
1550 meter. Lokasi tipe formasi ini , menurut Musper (1937),
terletak diantara Air Benakat dan Air Benakat Kecil (kurang
lebih 40 km sebelah utara-baratlaut Muara Enim (Lembar
Lahat). Nama lainnya adalah “Onder Palembang Lagen”
(Musper, 1937), “Lower Palembang Member” (Marks, 1956),
“Air Benakat and en Klai Formatie” (Spruyt, 1956).
f.

Formasi Muara Enim (MEF)

Menurut Spruyt (1956) formasi in terlatak selaras diatas
Formasi Air Benakat. Formasi ini dapat dibagi menjadi dua
anggota “a” dan anggota “b”. Anggota “a” disebut juga
Anggota Coklat (Brown Member) terdiri atas batulempung dan
batupasir coklat sampai coklat kelabu, batupasir berukuran
halus sampai sedang. Didaerah Palembang terdapat juga
lapisan batubara. Anggota “b” disebut juga Anggota Hijau
Kebiruan (Blue Green Member) terdiri atas batulempung
pasiran dan batulempung tufaan yang berwarna biru hijau,
beberapa

lapisan

batubara

berwarna

merah-tua

gelap,

batupasir kasar halus berwarna putih sampai kelabu terang.
Pada

anggota

“a”

terkadang

dijumpai

kandungan

Foraminifera dan Mollusca selain batubara dan sisa tumbuhan,
sedangkan pada anggota “b” selain batubara dan sisa
tumbuhan tidak dijumpai fosil kecuali foram air payau
Haplophragmoides spp (Spruyt, 1956). Ketebalan formasi ini
sekitar 450 -750 meter. Anggota “a” diendapkan pada
lingkungan litoral yang berangsur berubah kelingkungan air

payau dan darat (Spruyt, 1956). Lokasi tipenya terletak di
Muara Enim, Kampong Minyak, Lembar Lahat (Tobler, 1906)
g.

Formasi Kasai (KAF)

Formasi ini mengakhiri siklus susut laut (De Coster dan
Adiwijaya, 1973). Pada bagian bawah terdiri atas batupasir
tufan

dengan

beberapa

selingan

batulempung

tufan,

kemudian terdapat konglomerat selang-seling lapisan-lapisan
batulempung tufan dan batupasir yang lepas, pada bagian
teratas terdapat lapisan tuf batuapung yang mengandung sisa
tumbuhan dan kayu terkersikkan berstruktur sediment silang
siur, lignit terdapat sebagai lensa-lensa dalam batupasir dan
batulempung tufan (Spruyt, 1956). Tobler (1906) menemukan
moluska air tawar Viviparus spp dan Union spp, umurnya
diduga Plio-Plistosen. Lingkungan pengendapan air payau
sampai darat. Satuan ini terlempar luas dibagian timur
Lembar dan tebalnya mencapai 35 meter.
3.

Satuan Endapan Alluvial

Penyebaran satuan ini meliputi daerah sungai dan tepian
sungai-sungai besar berupa meander-meander ditengah dan
ditepi sungai. Ketebalan endapan alluvial ini bervariasi, dan
satuan ini terdiri dari hasil rombakan beku, batuan sedimen,
batuan metamorf yang bersifat lepas berukuran pasir halus
hingga kerakal.

2. Sumatra Utara
Cekungan Sumatra Utara merupakan perpaduan antara cekungan tarik
pisah( pull-apart basin )d a n half graben basin yang terletak pada bagian
tenggara kerak benua 1urasia. kerangka tektonik cekungan cekungan di
Sumatra merupakan hasil interaksi lempeng benua 1urasia dan tepi utara tenggara
lempeng Samudra hindia australia. Solusi Cekungan Sumatra dipengaruhi gerak
pergeseran antara kedualempeng tersebut dengan sudut dan kecepatan
pergeseran -ang bervariasi dari satut e m p a t k e t e m p a t l a i n .

gambar 7. Pola struktur regional Cekungan Sumatra Utara (Sosromihard)
Cekungan sumatera Utara secara tektonik terdiri dari berbagai elemen yang
berupa tinggian,cekungan maupun peralihannya, dimana cekungan ini terjadi
setelah berlangsungnya gerakantektonik pada zaman Mesozoikum atau sebelum
mulai berlangsungnya pengendapan sedimentersier dalam cekungan sumatera
utara.Tektonik yang terjadi pada akhir Tersier menghasilkan bentuk cekungan
bulat memanjangdan berarah barat laut
tenggara. Proses sedimentasi yang terjadi selama Tersier secaraumum dimulai
dengan trangressi, kemudian disusul dengan regresi dan diikuti gerakantektonik
pada akhir Tersier. Pola struktur cekungan sumatera utara terlihat adanya
perlipatan-perlipatan dan pergeseran-pergeseran yang berarah lebih kurang lebih
barat laut
tenggaraSedimentasi dimulai dengan sub cekungan yang terisolasi berarah utara
pada bagianbertopografi rendah dan palung yang tersesarkan. Pengendapan
Tersier Bawah ditandaidengan adanya ketidak selarasan antara sedimen dengan
batuan dasar yang berumur Pra-tersier, merupakan hasil trangressi, membentuk
endapan berbutir kasar
halus, batulempunghitam, napal, batulempung gampingan dan serpih.Transgressi
mencapai puncaknya pada Miosen Bawah, kemudian berhenti dan lingkunganberubah menjadi
tenang ditandai dengan adanya endapan napal yang kaya akan fosilforaminifora planktonik
dari formasi Peutu. Dibagian timur cekungan diendapkan formasiBelumai yang
berkembang menjadi 2 facies yaitu klastik dan karbonat. Kondisi tenang

terusberlangsung sampai Miosen tengah dengan pengendapan serpih dari
formasi Baong.Setelah pengendapan laut mencapai maksimum, kemudian terjadi
proses regresi yangmengendapkan sedimen klastik (formasi Keutapang, Seurula
dan Julu Rayeuk) secara selarasdiendapkan diatas Formasi Baong, kemudian
secara tidak selaras diatasnya diendapkan TufaToba Alluvial.Proses tektonik
cekungan tersebut telah membStratigrafi regional Cekungan Sumatera
Utaradengan urutan dari tua ke muda adalah sebagai berikut :1. Basement PreTersier Terdiri dari dari batuan beku, batuan metamorf, karbonat dandijumpai
fosil Halobia yang berumur Trias terletak tidak selaras menyudut dibawah
batuansedimen diatasnya.2. Formasi Parapat (Awal Oligosen)Terdiri dari
batupasir kasar dan konglomeratan dibagian bawah seta diatasnya
dijumpaisisipan serpih. Secara regional dibagian bawah diendapkan dalam
lingkungan fluviatil danbagian atas dalam lingkungan laut dangkal.3. Formasi
Bampo (Akhir Oligosen)Terdiri dari serpih hitam tidak berlapis, berasosiasi
dengan lapisan tipis batugamping danbatulempung karbonat, dimana formasi
ini miskin fosil dan diendapkan dalam lingkunganreduksi.4. Formasi Belumai
(Awal Miosen)Dibagian timur cekungan ini berkembang formasi belumai yang
identik dengan formasiPeutu yang berkembang pada bagian barat dan tengah.
Formasi belumai terdiri dari batupasirGlaukonitan berselingan dengan serpih dan
batugamping. Didaerah Arun, bagian atas formasiini berkembang lapisan
batugamping kalkarenit dan kalsilutit dengan selingan serpih.Formasi ini
diendapkan dalam lingkungan laut dangkal sampai neritik.5. Formasi Baong (Miosen
Tengah
Akhir Miosen bagian bawah) Penyusun utama formasiini adalah batulempung
abu-abu kehitaman, napalan, lanauan, pasiran dan pada umumnyakaya akan fosil
Orbulina Sp dan Globigerina Sp, Kadang-kadang diselingi lapisan tipisbatupasir.
Formasi ini diendapkan dalam lingkungan laut dalam.Formasi ini didaerah Aru
dibagi menjadi 3 satuan :a. Bagian bawah didominasi oleh lanau dan
batulempung dengan sisipan batupasir dan
Batu gamping b. Bagian tengah (MBS) didominasi oleh batupasir glaukonitan
dan lempung dengan sisipan lanau serta lapisan tipis batu gamping. Pada anggota
inin dikenal beberapa lapisan batupasir yang telah terbukti mengandung
hidrokarbon, yaitu Sembilan sand dan besitang river sand(BRS).c. Bagian atas
didominasi oleh lanau dan lempung dengan sisipan batupasir dan lapisan

tipisbatugamping.6. Formasi Keutapang (Akhir Miosen)Terdiri dari selang-seling
antara batupasir berbutir halus
sedang, serpih, lempung dengansisipan batugamping dan batubara. Dibagian Barat
daerah Aru batupasirnya bertambahkearah atas, dibagian timur serpih lebih
dominan. Formasi ini merupakan lapisan utamapenghasil hidrokarbon dan
merupakan awal terjadinya siklus regresi, diendapkan dalamlingkungan delta
sampai laut dangkal.. Formasi Seurula (Awal Pliosen)Terdiri dari batupasir,
serpih dan lempung. Dibandingkan dengan formasi Keutapang,formasi seurula
berbutir lebih kasar, banyak ditemukan fragmen-fragmen moluska
yangmenunjukkan endapan laut dangkal atau neritik.8. Formasi Julu Rayeu
(Akhir Pliosen)Terdiri dari batupasir halus
kasar dan lempung, kadang-kadang mengandung mika danfragmen molusca yang
menunjukkan endapan laut dangkal
Neritik.9. Volkanik Toba (Kwarter)Terdiri dari Tufa hasil aktivitas volkanik toba,
menutupi secara tidak selaras diatas formasiseurula.10. Endapan AluvialTerdiri
dari kerakal, kerikil, pasir dan Batulempung.
3. Bengkulu
Cekungan Bengkulu adalah
salah satu cekungan forearc di
Indonesia. Cekungan forearc
artinya cekungan yang berposisi
di depan jalur volkanik (fore –
arc; arc = jalur volkanik).
Tetapi,
kita
menyebutnya
demikian berdasarkan posisi
geologinya saat ini. Apakah
posisi tersebut sudah dari dulu
begitu? Belum tentu, dan inilah
yang harus kita selidiki.
Publikasi-publikasi dari Howles
(1986), Mulhadiono dan Asikin
(1989), Hall et al. (1993) dan
Yulihanto et al. (1995)—
semuanya di proceedings IPA baik untuk dipelajari soal Bengkulu Basin.
Berdasarkan berbagai kajian geologi, disepakati bahwa Pegunungan Barisan
(dalam hal ini adalah volcanic arc-nya) mulai naik di sebelah barat Sumatra pada
Miosen Tengah. Pengaruhnya kepada Cekungan Bengkulu adalah bahwa sebelum

Misoen Tengah berarti tidak ada forearc basin Bengkulu sebab pada saat itu arcnya sendiri tidak ada.
Begitulah yang selama ini diyakini, yaitu bahwa pada sebelum Miosen Tengah,
atau Paleogen, Cekungan Bengkulu masih merupakan bagian paling barat
Cekungan Sumatera Selatan. Lalu pada periode setelah Miosen Tengah atau
Neogen, setelah Pegunungan Barisan naik, Cekungan Bengkulu dipisahkan dari
Cekungan Sumatera Selatan. Mulai saat itulah, Cekungan Bengkulu menjadi
cekungan forearc dan Cekungan Sumatera Selatan menjadi cekungan backarc
(belakang busur).

Sejarah penyatuan dan pemisahan Cekungan Bengkulu dari Cekungan Sumatera
Selatan dapat dipelajari dari stratigrafi Paleogen dan Neogen kedua cekungan itu.
Dapat diamati bahwa pada Paleogen, stratigrafi kedua cekungan hampir sama.
Keduanya mengembangkan sistem graben di beberapa tempat. Di Cekungan
Bengkulu ada Graben Pagarjati, Graben Kedurang-Manna, Graben Ipuh (pada saat
yang sama di Cekungan Sumatera Selatan saat itu ada graben-graben Jambi,
Palembang, Lematang, dan Kepahiang). Tetapi setelah Neogen, Cekungan
Bengkulu masuk kepada cekungan yang lebih dalam daripada Cekungan Sumatera
Selatan, dibuktikan oleh berkembangnya terumbu-terumbu karbonat yang
masifghlighter.
pada Miosen Atas yang hampir ekivalen secara umur dengan karbonat Parigi di
Jawa Barat (para operator yang pernah bekerja di Bengkulu menyebutnya sebagai
karbonat Parigi juga). Pada saat yang sama, di Cekungan Sumatera Selatan lebih
banyak diendapkan sedimen-sedimen regresif (Formasi Air Benakat/Lower
Palembang dan Muara Enim/Middle Palembang) karena cekungan sedang
mengalami pengangkatan dan inversi.
Secara tektonik, mengapa terjadi perbedaan stratigrafi pada Neogen di Cekungan
Bengkulu—yaitu Cekungan Bengkulu dalam fase penenggelaman sementara
Cekungan Sumatera Selatan sedang terangkat. Karena pada Neogen, Cekungan
Bengkulu menjadi diapit oleh dua sistem sesar besar yang memanjang di sebelah
barat Sumatera, yaitu Sesar Sumatera (Semangko) di daratan dan Sesar Mentawai
di wilayah offshore, sedikit di sebelah timur pulau-pulau busur luar Sumatera

(Simeulue-Enggano). Kedua sesar ini bersifat dextral. Sifat pergeseran (slip) yang
sama dari dua sesar mendatar yang berpasangan (couple strike-slip atau duplex)
akan bersifat trans-tension atau membuka wilayah yang diapitnya. Dengan cara
itulah semua cekungan forearc di sebelah barat Sumatera yang diapit dua sesar
besar ini menjadi terbuka oleh sesar mendatar (trans-tension pull-apart opening)
yang mengakibatkan cekungan-cekungan ini tenggelam sehingga punya ruang
untuk mengembangkan terumbu karbonat Neogen yang masif asalkan tidak terlalu
dalam.
Di cekungan-cekungan forearc utara Bengkulu (Mentawai, Sibolga, Meulaboh)
pun berkembang terumbu-terumbu Neogen yang masif akibat pembukaan dan
penenggelaman cekungan-cekungan ini. Dan, dalam dunia perminyakan terumbuterumbu inilah yang sejak akhir 1960-an telah menjadi target-target pemboran
eksplorasi. Sayangnya, sampai saat ini belum berhasil ditemukan cadangan yang
komersial, hanya ditemukan gas biogenik dan oil show (Dobson et al., 1998 dan
Yulihanto, 2000—proceedings IPA untuk keterangan Mentawai dan Sibolga
Basins).
Cekungan Bengkulu merupakan salah satu dari dua cekungan forearc di Indonesia
yang paling banyak dikerjakan operator perminyakan (satunya lagi Cekungan
Sibolga-Meulaboh). Meskipun belum berhasil menemukan minyak atau gas
komersial, tidak berarti cekungan-cekungan ini tidak mengandung migas
komersial. Sebab, target-target pemboran di wilayah ini (total sekitar 30 sumur)
tak ada satupun yang menembus target Paleogen dengan sistem graben-nya yag
telah terbukti produktif di Cekungan-Cekungan Sumatera Tengah dan Sumatera
Selatan.

II.

Pulau Jawa

1. Jawa Barat
A. ULASAN SINGKAT GEOLOGI REGIONAL
Cekungan Jawa Barat Utara telah dikenal sebagai hydrocarbon province utama di
wilayah Pertamina DOH JBB, Cirebon. Cekungan ini terletak di antara Paparan
Sunda di Utara, Jalur Perlipatan – Bogor di Selatan, daerah Pengangkatan Karimun
Jawa di Timur dan Paparan Pulau Seribu di Barat. Cekungan Jawa Barat Utara
dipengaruhi oleh sistem block faulting yang berarah Utara – Selatan. Patahan yang
berarah Utara - Selatan membagi cekungan menjadi graben atau beberapa subbasin, yaitu Jatibarang, Pasir Putih, Ciputat, Rangkas Bitung dan beberapa tinggian
basement, seperti Arjawinangun, Cilamaya, Pamanukan, Kandanghaur–Waled,
Rengasdengklok dan Tangerang. Berdasarkan stratigrafi dan pola strukturnya, serta

letaknya yang berada pada pola busur penunjaman dari waktu ke waktu, ternyata
cekungan Jawa Barat telah mengalami beberapa kali fase sedimentasi dan tektonik
sejak Eosen sampai dengan sekarang (Martodjojo, 2002).

B. TEKTONOSTRATIGRAFI DAN STRUKTUR GEOLOGI
Cekungan Jawa Barat Utara terdiri dari dua area, yaitu laut (offshore) di Utara dan
darat (onshore) di Selatan (Darman dan Sidi, 2000). Seluruh area didominasi oleh
patahan ekstensional (extensional faulting) dengan sangat minim struktur
kompresional. Cekungan didominasi oleh rift yang berhubungan dengan patahan
yang membentuk beberapa struktur deposenter (half graben), antara lain
deposenter utamanya yaitu Sub-Cekungan Arjuna dan Sub-Cekungan Jatibarang,
juga deposenter yang lain seperti : Sub-Cekungan Ciputat, Sub-Cekungan
Pasirputih. Deposenter-deposenter itu didominasi oleh sikuen Tersier dengan
ketebalan melebihi 5500 m.
Struktur yang penting pada cekungan tersebut yaitu terdiri dari bermacammacam area tinggian yang berhubungan dengan antiklin yang terpatahkan dan blok
tinggian (horst block), lipatan pada bagian yang turun pada patahan utama,
keystone folding dan mengena pada tinggian batuan dasar. Struktur kompresional
hanya terjadi pada awal pembentukan rift pertama yang berarah relative barat lauttenggara pada periode Paleogen. Sesar ini akan aktif kembali pada Oligosen.
Tektonik Jawa Barat dibagi menjadi tiga fase tektonik yang dimulai dari Pra
Tersier hingga Plio-Pliostosen.
Fase tektonik tersebut adalah sebagai berikut :
1.

Tektonik Pertama

Pada zaman Akhir Kapur awal Tersier, Jawa Barat Utara dapat dilkasifikasikan
sebagai ‘Fore Arc Basin’ dengan dijumpainya orientasi struktural mulai dari
Cileutuh, Sub Cekungan Bogor, Jatibarang, Cekungan Muriah dan Cekungan
Florence Barat yang mengindikasikan kontrol ‘Meratus Trend’. Periode Paleogen
(Eosen-Oligosen) di kenal sebagai Paleogen Extensional Rifting. Pada periode ini
terjadi sesar geser mendatar menganan utama krataon Sunda akibat dari peristiwa
tumbukan Lempeng Hindia dengan Lempeng Eurasia. Sesar-sesar ini mengawali

pembentukan cekungan-cekungan Tersier di Indonesia Bagian Barat dan
membentuk Cekungan Jawa Barat Utara sebagai pull apart basin.
Tektonik ektensi ini membentuk sesar-sesar bongkah (half gnraben system) da
merupakan fase pertama rifting (Rifting I : fill phase). Sedimen yang diendapkan
pada rifting I ini disebut sebagai sedimen synrift I. Cekungan awal rifting terbentuk
selama fragmentasi, rotasi dan pergerakan dari kraton Sunda. Dua trend sesar
normal yang diakibatkan oleh perkembangan rifting-I (early fill) berarah N 60o W
– N 40o W dan hampir N – S yang dikenal sebagai Pola sesar Sunda. Pada masa ini
terbentuk endapan lacustrin dan volkanik dari Formasi Jatibarang yang menutup
rendahan-rendahan yang ada. Proses sedimentasi ini terus berlangsung dengan
dijumpainya endapan transisi Formasi Talangakar. Sistem ini kemudian diakhiri
dengan diendapkannya lingkungan karbonat Formasi Baturaja.
2.

Tektonik kedua

Fase tektonik kedua terjadi pada permulaan Neogen (Oligo-Miosen) dan dikenal
sebagai Neogen Compressional Wrenching. Ditandai dengan pembentukan sesarsesar geser akibat gaya kompresif dari tumbukan Lempeng Hindia.Sebagian besar
pergeseran sesar merupakan reaktifasi dari sesar normal yang terbentuk pada
periode Paleogen.
Jalur penunjaman baru terbentuk di selatan Jawa. Jalur volkanik periode Miosen
Awal yang sekarang ini terletak di lepas pantai selatan Jawa. Deretan gunungapi ini
menghasilkan endapan gunungapi bawah laut yang sekarang dikenal sebagai “old
andesite” yang tersebar di sepanjang selatan Pulau Jawa. Pola tektonik ini disebut
Pola Tektonik Jawa yang merubah pola tektonik tua yang terjadi sebelumnya
menjadi berarah barat-timur dan menghasilkan suatu sistem sesar naik, dimulai dari
selatan (Ciletuh) bergerak ke utara. Pola sesar ini sesuai dengan sistem sesar naik
belakang busur atau yang dikenal “thrust foldbelt system”.
3.

Tektonik Terakhir

Fase tektonik akhir yang terjadi adalah pada Pliosen – Pleistosen, dimana terjadi
proses kompresi kembali dan membentuk perangkap-perangkap sruktur berupa
sesar-sesar naik di jalur selatan Cekungan Jawa Barat Utara. Sesar-sesar naik yang
terbentuk adalah sesar naik Pasirjadi dan sesar naik Subang, sedangkan di jalur

utara Cekungan Jawa Barat Utara terbentuk sesar turun berupa sesar turun
Pamanukan. Akibat adanya perangkap struktur tersebut terjadi kembali proses
migrasi hidrokarbon.

(Sayatan melintang fisiografi cekungan dan busur gunungapi Jawa Barat)
(sumber : Pertamina, 1996)
C. STRATIGRAFI REGIONAL
Stratigrafi umum Jawa Barat Utara berturut-turut dari tua ke muda adalah sebagai
berikut:
1.

Batuan Dasar

Batuan dasar adalah batuan beku andesitik dan basaltik yang berumur Kapur
Tengah sampai Kapur Atas dan batuan metamorf yang berumur Pra Tersier
(Sinclair, et.al, 1995). Lingkungan Pengendapannya merupakan suatu permukaan
dengan sisa vegetasi tropis yang lapuk (Koesoemadinata, 1980).
2. Formasi Jatibarang
Satuan ini merupakan endapan early synrift, terutama dijumpai di bagian tengah
dan timur dari Cekungan Jawa Barat Utara. Pada bagian barat cekungan ini
kenampakan Formasi Jatibarang tidak banyak (sangat tipis) dijumpai. Formasi ini
terdiri dari tufa, breksi, aglomerat, dan konglomerat alas. Formasi ini diendapkan
pada fasies fluvial. Umur formasi ini adalah dari Kala Eosen Akhir sampai

Oligosen Awal. Pada beberapa tempat di Formasi ini ditemukan minyak dan gas
pada rekahan-rekahan tuff (Budiyani, dkk, 1991).

3. Formasi Talang Akar
Pada fase syn rift berikutnya diendapkan Formasi Talang Akar secara tidak selaras
di atas Formasi Jatibarang. Pada awalnya berfasies fluvio-deltaic sampai faises
marine. Litologi formasi ini diawali oleh perselingan sedimen batupasir dengan
serpih nonmarine dan diakhiri oleh perselingan antara batugamping, serpih, dan
batupasir dalam fasies marine. Pada akhir sedimentasi, Formasi Talang Akar
ditandai dengan berakhirnya sedimentasi synrift. Formasi ini diperkirakan
berkembang cukup baik di daerah Sukamandi dan sekitarnya. Adapun
terendapkannya formasi ini terjadi dari Kala Oligosen sampai dengan Miosen
Awal.
4. Formasi Baturaja
Formasi ini terendapkan secara selaras di atas Formasi Talang Akar. Pengendapan
Formasi Baturaja yang terdiri dari batugamping, baik yang berupa paparan maupun
yang berkembang sebagai reef buildup manandai fase post rift yangs secara
regional menutupi seluruh sedimen klastik Formasi Talang Akar di Cekungan Jawa
Barat Utara. Perkembangan batugamping terumbu umumnya dijumpai pada daerah
tinggian. Namun, sekarang diketahui sebagai daerah dalaman. Formasi ini
terbentuk pada Kala Miosen Awal–Miosen Tengah (terutama dari asosiasi
foraminifera). Lingkungan pembentukan formasi ini adalah pada kondisi laut
dangkal, air cukup jernih, sinar matahari ada (terutama dari melimpahnya
foraminifera Spriroclypens Sp).
5. Formasi Cibulakan Atas
Formasi ini terdiri dari perselingan antara serpih dengan batupasir dan
batugamping. Batugamping pada satuan ini umumnya merupakan batugamping
kklastik serta batugamping terumbu yang berkembang secara setempat-setempat.
Batugamping ini dikenali sebagai Mid Main Carbonate (MMC). Formasi ini

diendapkan pada Kala Miosen Awal-Miosen Akhir. Formasi ini terbagi menjadi 3
Anggota, yaitu:
 Massive
Anggota ini terendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Baturaja. Litologi
anggota ini adalah perselingan batulempung dengan batupasir yang mempunyai
ukuran butir dari halus-sedang. Pada massive ini dijumpai kandungan hidrokarbon,
terutama pada bagian atas. Selain itu terdapat fosil foraminifera planktonik seperti
Globigerina trilobus, foraminifera bentonik seperti Amphistegina (Arpandi dan
Patmosukismo, 1975).
 Main
Anggota Main terendapkan secara selaras diatas Anggota Massive. Litologi
penyusunnya adalah batulempung berselingan dengan batupasir yang mempunyai
ukuran butir halus-sedang (bersifat glaukonitan). Pada awal pembentukannya
berkembang batugamping dan juga blangket-blangket pasir, dimana pada bagian
ini Anggota Main terbagi lagi yang disebut dengan Mid Main Carbonat (Budiyani
dkk,1991).
 Parigi
Anggota Pre Parigi terendapkan secara selaras diatas Anggota Main. Litologinya
adalah perselingan batugamping, dolomit, batupasir dan batulanau. Anggota ini
terbentuk pada Kala Miosen Tengah-Miosen Akhir dan diendapkan pada
lingkungan Neritik Tengah-Neritik Dalam (Arpandi & Patmosukismo, 1975),
dengan dijumpainya fauna-fauna laut dangkal dan juga kandungan batupasir
glaukonitan.
6. Formasi Parigi
Formasi ini terendapkan secara selaras di atas Formasi Cibulakan Atas.. Litologi
penyusunnya sebagian besar adalah batugamping klastik maupun batugamping
terumbu. Pengendapan batugamping ini melampar ke seluruh Cekungan Jawa
Barat Utara. Lingkungan pengendapan formasi ini adalah laut dangkal–neritik
tengah (Arpandi & Patmosukismo, 1975). Batas bawah Formasi Parigi ditandai
dengan perubahan berangsur dari batuan fasies campuran klastika karbonat
Formasi Cibulakan Atas menjadi batuan karbonat Formasi Parigi. Formasi ini
diendapkan pada Kala Miosen Akhir-Pliosen.

7. Formasi Cisubuh
Formasi ini terendapkan secara selaras di atas Formasi Parigi. Litologi
penyusunnya adalah batulempung berselingan dengan batupasir dan serpih
gampingan. Umur formasi ini adalah dari Kala Miosen Akhir sampai Pliosen –
Pleistosen. Formasi diendapkan pada lingkungan laut dangkal yang semakin ke
atas menjadi lingkungan litoral – paralik (Arpandi & Patmosukismo, 1975).

(Tabel Stratigrafi Cekungan Jawa Barat Utara)
(sumber : Pertamina, 1996)
D. SEDIMENTASI CEKUNGAN
Periode awal sedimentasi di Cekungan Jawa Barat Utara dimulai pada kala Eosen
Tengah – Oligosen Awal (fase transgresi) yang menghasilkan sedimentasi vulkanik
darat – laut dangkal dari Formasi Jatibarang. Pada saat itu aktifitas vulkanisme
meningkat. Hal ini berhubungan dengan interaksi antar lempeng di sebelah selatan
Pulau Jawa, akibatnya daerah-daerah yang masih labil sering mengalami aktivitas
tektonik. Material-material vulkanik dari arah timur mulai diendapkan.

Periode selanjutnya merupakan fase transgresi yang berlangsung pada kala
Oligosen Akhir – Miosen Awal yang menghasilkan sedimen trangresif transisi –
deltaik hingga laut dangkal yang setara dengan Formasi Talang Akar pada awal
permulaan periode. Daerah cekungan terdiri dari dua lingkungan yang berbeda
yaitu bagian barat paralic sedangkan bagian timur merupakan laut dangkal.
Selanjutnya aktifitas vulkanik semakin berkurang sehingga daerah-daerah menjadi
agak stabil, tetapi anak cekungan Ciputat masih aktif. Kemudian air laut
menggenangi daratan yang berlangsung pada kala Miosen Awal mulai dari bagian
barat laut terus ke arah tenggara menggenangi beberapatinggian kecuali tinggian
Tangerang. Dari tinggian-tinggian ini sedimen-sedimen klastik yang dihasilkan
setara dengan formasi Talang Akar.
Pada Akhir Miosen Awal daerah cekungan relative stabil, dan daerah Pamanukan
sebelah barat merupakan platform yang dangkal, dimana karbonat berkembang
baik sehingga membentuk setara dengan formasi Baturaja, sedangkan bagian timur
merupakan dasar yang lebih dalam. Pada kala Miosen Tengah yang merupakan
fase regresi, Cekungan Jawa Barat Utara diendapkan sediment-sedimen laut
dangkal dari formasi Cibulakan Atas. Sumber sedimen yang utama dari formasi
Cibulakan Atas diperkirakan berasal dari arah utara – barat laut. Pada akhir Miosen
Tengah kembali menjauhi kawasan yang stabil, batugamping berkembang dengan
baik. Perkembangan yang baik ini dikarenakan aktivitas tektonik yang sangat
lemah dan lingkungan berupa laut dangkal. Kala Miosen Akhir – Pliosen (fase
regresi) merupakan fase pembentukan Formasi Parigi dan Cisubuh. Kondisi daerah
cekungan mengalami sedikit perubahan dimana kondisi laut semakin berkurang
masuk kedalam lingkungan paralik.
Pada Kala Pleistosen – Aluvium ditandai untuk pengangkatan sumbu utama Jawa.
Pengangkatan ini juga diikuti oleh aktivitas vulkanisme yang meningkat dan juga
diikuti pembentukan struktur utama Pulau Jawa. Pengangkatan sumbu utama Jawa
tersebut berakhir secara tiba-tiba sehingga mempengaruhi kondisi laut. Butiranbutiran kasar diendapkan secara tidak selaras diatas Formasi Cisubuh.

2. Jawa Selatan

Cekungan pulau jawa bagian selatan terletak di daerah Jawa Tengah, yang
merupakan bagian dari Pulau Jawa, menunjukan bagian yang menjorok ke dalam atau
indentasi pada garis pantai sebelah utara dan selatannya apabila dibandingkan dengan
garis pantai di Jawa Timur dan Jawa Barat. Indentasi ini merupakan expresi dari
gejala tektonik di Pulau Jawa. Gejala tektonik Paleogene Pulau Jawa yang berbelok
ke arah Meratus (Kalimantan) menimbulkan zona sesar anjakan yang berkembang
menjadi Zona strike-slip fault (sinistral) pada bagian Muria hingga Kebumen dan
dalam mencapai keseimbangannya terbentuk Antithetic fault berupa zona sesar
anjakan yang berkembang menjadi strike-slip fault (dextral) pada Daerah Pamanukan
hingga Cilacap.
Dua sesar utama ini yang menyebabkan perubahan kondisi geologi dan morfologi di
Jawa Tengah. Dua sesar utama ini menyebabkan beberapa tinggian serta bagian yang
subsidence (basin). Beberapa tinggian serta subsidence yang disebabkan oleh dua
sesar ini adalah tinggian Pegunungan Serayu Utara dan Selatan, terexpose-nya batuan
pra-Tersier di kompleks mélange Luk Ulo, subsidence di bagian utara dan selatan
Jawa Tengah dan perubahan garis pantai di utara dan selatan Pulau Jawa.
Cekungan Banyumas / Banyumas Basin merupakan salah satu cekungan yang
terdapat di selatan Jawa Tengah, cekungan ini diduga terbentuk dari proses

subsidence akibat expresi dari salah satu sesar utama di Jawa Tengah (PemanukanCilacap Fault) yang berarah Tenggara-Barat Laut. Pemanukan-Cilacap fault yang
merupakan strike-slip fault (Dextral) menghasilkan expresi berupa Tinggian dan
Subsidence, tinggian berupa tinggian Bumiayu dan Subsidence berupa Banyumas
Basin. Banyumas Basin ini sendiri telah mengalami evolusi yang awalnya merupakan
Intra-arc basin dan saat ini menjadi Fore-arc basin. struktur yang dijumpai di endapan
sedimen Banyumas basin saat ini dominan berupa Lipatan dan sesar-sesar anjak /
Trust Fault. referensi dari peneliti terdahulu mengatakan bahwa struktur-struktur
lipatan dan trust-reverse fault ini terbentuk oleh tektonik dengan Pola Jawa.
Daerah Cipari merupakan daerah yang berada di selatan Pulau Jawa yang terdapat
didalam cekungan Banyumas/Banyumas Basin dan dilewati oleh salah satu sesar
utama di Jawa Tengah. Bila dipandang dari sisi geologi, daerah ini merupakan daerah
yang kompleks dengan struktur geologi yang cukup beragam, selain itu daerah ini
juga memiliki potensi cadangan minyak bumi yang ditandai dengan adanya rembesan
minyak atau seepage. Namun hingga saat ini explorasi di daerah ini tidak
mendapatkan hasil yang signifikan. Hal ini menjadi suatu tantangan bagi para pelaku
dalam kegiatan ekplorasi di daerah tersebut.
Daerah ini umumnya didominasi oleh endapan turbidit yang mengalami sesar
anjakan-lipatan atau fold-trust belt. Sesar anjakan-lipatan tersebut membentuk
tinggian dan cekungan yang menunjukan suatu batas ketidakselarasaan pada selang
waktu pembentukan sesar tersebut dan membentuk suatu sikuen stratigrafi yang
cukup jelas (Mulhadiyono, 1996).

Gambar cekungan Jawa selatan

3. Jawa Timur

GEOMORFOLOGI
Zona ini meliputi pantai utara Jawa yang membentang dari Tuban ke arah
timur melalui Lamongan, Gresik, dan hampir keseluruhan Pulau Madura.
Merupakan daerah dataran yang berundulasi dengan jajaran perbukitan yang
berarah barat-timur dan berselingan dengan dataran aluvial. Lebar rata-rata zona
ini adalah 50 km dengan puncak tertinggi 515 m (Gading) dan 491 (Tungangan).
Litologi karbonat mendominasi zona ini. Aksesibilitas cukup mudah dan karakter
tanah keras.

Jalur Rembang terdiri dari pegunungan lipatan berbentuk Antiklinorium
yang memanjang ke arah Barat – Timur, dari Kota Purwodadi melalui Blora,
Jatirogo, Tuban sampai Pulau Madura. Morfologi di daerah tersebut dapat dibagi
menjadi 3 satuan, yaitu Satuan Morfologi dataran rendah, perbukitan bergelombang
dan Satuan Morfologi perbukitan terjal, dengan punggung perbukitan tersebut
umumnya memanjang berarah Barat – Timur, sehingga pola aliran sungai umumnya
hampir sejajar (sub-parallel) dan sebagian berpola mencabang (dendritic). Sungai
utama yang melewati daerah penyelidikan yaitu S. Lusi, yang mengalir ke arah
Baratdaya, melalui Kota Blora dan bermuara di Bengawan Solo.

STRATIGRAFI
Menurut Sutarso dan Suyitno (1976), secara fisiografi daerah penelitian
termasuk dalam Zona Rembang yang merupakan bagian dari cekungan sedimentasi
Jawa Timur bagian Utara (East Java Geosyncline). Cekungan ini terbentuk pada

Oligosen Akhir yang berarah Timur – Barat hampir sejajar dengan Pulau Jawa (Van
Bemmelen, 1949).
Menurut Koesoemadinata (1978), cekungan Jawa Timur bagian Utara lebih
merupakan geosinklin dengan ketebalan sedimen Tersier mungkin melebihi 6000
meter. Suatu hal yang khas dari cekungan Jawa Timur bagian Utara berarah TimurBarat dan terlihat merupakan gejala tektonik Tersier Muda.

Tiga tahap orogenesa telah dikenal berpengaruh terhadap pengendapan seri
batuan Kenozoikum di Indonesia (Van Bemmelen, 1949). Yang pertama terjadi di
antara interval Kapur Akhir – Eosen Tengah, kedua pada Eosen Tengah (Intramiocene
Orogeny) dan ketiga terjadi pada Plio-Pleistosen. Orogenesa yang terjadi pada Miosen
Tengah ditandai oleh peristiwa yang penting di dalam distribusi sedimen dan
penyebaran flora dan fauna, terutama di daerah Indonesia bagian Barat dan juga
menyebabkan terjadinya fase regresi (susut laut) yang terjadi dalam waktu singkat di
Jawa dan daerah Laut Jawa. Fase orogenesa Miosen Tengah ditandai juga oleh hiatus
di daerah Cepu dan dicirikan oleh perubahan fasies yaitu dari fasies transgresi menjadi
fasies regresi di seluruh Zona Rembang. Selain hal tersebut diatas, fase orogenesa ini
ditandai oleh munculnya beberapa batuan dasar Pra – Tersier di daerah pulau Jawa
Utara (Van Bemmelen, 1949).
Perbedaan yang mencolok perihal sifat litologi dari endapan – endapan yang
berada pada Mandala Kendeng, Mandala Rembang, dan Paparan laut Jawa yaitu
sedimen. Mandala Kendeng pada umumnya terisi oleh endapan arus turbidit yang
selalu mengandung batuan piroklastik dengan selingan napal dan batuan karbonat serta
merupakan endapan laut dalam. Umumnya sedimen-sedimen tersebut terlipat kuat dan
tersesar sungkup ke arah Utara, sedangkan Mandala Rembang memperlihatkan batuan
dengan kadar pasir yang tinggi disamping meningkatnya kadar karbonat serta
menghilangnya endapan piroklastik. Sedimen-sedimen Mandala Rembang memberi
kesan berupa endapan laut dangkal yang tidak jauh dari pantai dengan kedalaman dasar
laut yang tidak seragam. Hal ini disebabkan oleh adanya sesar-sesar bongkah (Block
faulting) yang mengakibatkan perubahan-perubahan fasies serta membentuk daerah
tinggian atau rendahan. Daerah lepas pantai laut Jawa pada umumnya ditempati oleh
endapan paparan yang hampir seluruhnya terdiri dari endapan karbonat.

Mandala Rembang menurut sistem Tektonik dapat digolongkan ke dalam
cekungan belakang busur (retro arc back arc) (Dickinson, 1974) yang terisi oleh
sedimen-sedimen berumur Kenozoikum yang tebal dan menerus mulai dari Eosen
hingga Pleistosen. Endapan berumur Eosen dapat diketahui dari data sumur bor
(Pringgoprawiro, 1983).

Litostratigrafi Tersier di Cekungan Jawa Timur bagian Utara banyak diteliti
oleh para pakar geologi diantaranya adalah Trooster (1937), Van Bemmelen (1949),
Marks (1957), Koesoemadinata (1969), Kenyon (1977), dan Musliki (1989) serta
telah banyak mengalami perkembangan dalam susunan stratigrafinya. Kerancuan
tatanama satuan Litostratigrafi telah dibahas secara rinci oleh Pringgoprawiro (1983)
dimana susunan endapan sedimen di Cekungan Jawa Timur bagian Utara dimasukkan
kedalam stratigrafi Mandala Rembang dengan urutan dari tua ke muda yaitu Formasi
Ngimbang, Formasi Kujung, Formasi Prupuh, Formasi Tuban, Formasi Tawun,
Formasi Bulu, Formasi Ledok, Formasi Mundu, Formasi Lidah dan endapan yang
termuda disebut sebagai endapan Undak Solo. Anggota Ngrayong Formasi Tawun
dari Pringgoprawiro (1983) statusnya ditingkatkan menjadi Formasi Ngrayong oleh
Pringgoprawiro, 1983. Anggota Selorejo Formasi Mundu (Pringgoprawiro, 1983)
statusnya ditingkatkan menjadi Formasi Selorejo oleh Pringgoprawiro (1985) serta
Djuhaeni dan Martodjojo (1990). Sedangkan Formasi Lidah mempunyai tiga anggota
yaitu Anggota Tambakromo, Anggota Malo (sepadan dengan Anggota Dander dari
Pringgoprawiro, 1983) dan Anggota Turi (Djuhaeni, 1995).
Rincian stratigrafi Cekungan Jawa Timur bagian Utara dari Zona Rembang
yang disusun oleh Harsono Pringgoprawiro (1983) terbagi menjadi 15 (lima belas)
satuan yaitu Batuan Pra – Tersier, Formasi Ngimbang, Formasi Kujung, Formasi
Prupuh, Formasi Tuban, Formasi Tawun, Formasi Ngrayong, Formasi Bulu, Formasi
Wonocolo, Formasi Ledok, Formasi Mundu, Formasi Selorejo, Formasi Paciran,
Formasi Lidah dan Undak Solo. Pembahasan masing – masing satuan dari tua
ke muda adalah sebagai berikut :

1. Formasi Tawun

Formasi Tawun mempunyai kedudukan selaras di atas Formasi Tuban, dengan
batas Formasi Tawun yang dicirikan oleh batuan lunak (batulempung dan napal). Bagian
bawah dari Formasi Tawun, terdiri dari batulempung, batugamping pasiran, batupasir dan
lignit, sedangkan pada bagian atasnya (Anggota Ngrayong) terdiri dari batupasir yang
kaya akan moluska, lignit dan makin ke atas dijumpai pasir kuarsa yang mengandung
mika dan oksida besi. Penamaan Formasi Tawun diambil dari desa Tawun, yang dipakai
pertama kali oleh Brouwer (1957). Formasi Tawun memiliki penyebaran luas di Mandala
Rembang Barat, dari lokasi tipe hingga ke Timur sampai Tuban dan Rengel, sedangkan
ke Barat satuan batuan masih dapat ditemukan di Selatan Pati. Lingkungan pengendapan
Formasi Tawun adalah paparan dangkal yang terlindung, tidak terlalu jauh dari pantai
dengan kedalaman 0 – 50 meter di daerah tropis. Formasi Tawun merupakan reservoir
minyak utama pada Zona Rembang. Berdasarkan kandungan fosil yang ada, Formasi
Tawun diperkirakan berumur Miosen Awal bagian Atas sampai Miosen Tengah.

2. Formasi Ngrayong
Formasi Ngrayong mempunyai kedudukan selaras di atas Formasi Tawun. Formasi
Ngrayong disusun oleh batupasir kwarsa dengan perselingan batulempung, lanau, lignit, dan
batugamping bioklastik. Pada batupasir kwarsanya kadang-kadang mengandung cangkang
moluska laut. Lingkungan pengendapan Formasi Ngrayong di daerah dangkal dekat pantai
yang makin ke atas lingkungannya menjadi littoral, lagoon, hingga

Dokumen yang terkait

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL AGRIBISNIS PERBENIHAN KENTANG (Solanum tuberosum, L) Di KABUPATEN LUMAJANG PROVINSI JAWA TIMUR

27 309 21

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

ANALISIS PENGARUH MANAJEMEN LABA TERHADAP NILAI PERUSAHAAN (Studi Empiris Pada Perusahaan Property dan Real Estate Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia)

47 440 21

STUDI PENGGUNAAN SPIRONOLAKTON PADA PASIEN SIROSIS DENGAN ASITES (Penelitian Di Rumah Sakit Umum Dr. Saiful Anwar Malang)

13 140 24

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5