FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEMUNGKINAN PERUSAHAAN MEMILIH METODE NILAI WAJAR UNTUK PROPERTI INVESTASI ARIA FARAHMITA SYLVIA VERONICA SIREGAR Pasca Sarjana Ilmu Akuntansi, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Abstract - Farahmita & Siregar, SNA 2014

  

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEMUNGKINAN

PERUSAHAAN MEMILIH METODE NILAI WAJAR UNTUK PROPERTI

  

INVESTASI

ARIA FARAHMITA

SYLVIA VERONICA SIREGAR

Pasca Sarjana Ilmu Akuntansi, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Abstract

  The purpose of this research is to examine factors that motivate companies in selecting method to record their investment properties, after the implementation of PSAK No. 13 (2007). Research conducted on companies listed in Indonesia Stock Exchange period 2008-2011. The hypotheses were tested using binomial logistic regression. The research resultis consistent with the motivation to protect creditors through the choice of more conservative accounting methods. The results indicate that it is less likelythat company with high leverage will choose fair value method. Additionally, this research proves that the motivation to reduce information asymmetry is associated with the choice of fair value method, whereas opportunistic motivation is not associated with the choice of fair value method. Additional findings show that companies in the property industry will be less likely to choose the fair value method. This is consistent with political cost hypothesis, i.e. the company in the property industry avoid potential increase in tax burden due to increase in fair value.

  

Key words: accounting choice, fair value method, cost method, investment

property.

1. Pendahuluan

  Riset ini dimotivasi oleh terbitnya PSAK No. 13 tentang Properti Investasi yang disahkan oleh Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) sebagai badan penyusun standar akuntansi di Indonesia, pada 29 Mei 2007. PSAK ini berlaku efektif sejak tanggal 1 Januari 2008. PSAK No. 13 merupakan salah satu PSAK yang menjadi tonggak dimulainya program konvergensi IFRS di Indonesia. Selain dapat menggunakan biaya historis (cost), PSAK No. 13 (2007) memberikan alternatif pengukuran menggunakan metode nilai wajar (fair value). Sebelumnya, perlakuan akuntansi untuk properti investasi diatur dalam PSAK No. 13 (1994) tentang Akuntansi untuk Investasi, yang hanya membolehkan metode pengukuran menggunakan biaya historis tanpa didepresiasi. Adopsi IFRS kedalam PSAK No. 13 (2007) merupakan peluang riset yang unik karena perubahan yang bersifat signifikan dengan munculnya lebih dari satualternatif pengukuran serta meningkatnya ketentuan mengenai pengungkapan dibanding dengan standar akuntansi sebelumnya berlaku di Indonesia. PSAK No. 13 (2007) merupakan PSAK pertama yang memperkenalkan metode nilai wajar untuk pengakuan aset non-keuangan jangka panjang. Perusahaan dapat memilih metode biaya atau nilai wajar untuk melaporkan properti investasinya di laporan keuangan. Selisih nilai wajar dengan nilai tercatat terakhir diakui pada laporan laba rugi periode berjalan. Perusahaan yang memilih metode biaya, harus mengungkapkan nilai wajar aset pada catatan atas laporan keuangan.

  Riset tentang pilihan metode akuntansi selalu menjadi topik yang menarik untuk diteliti. Alasan sesungguhnya mengapa suatu perusahaan memilih metode akuntansi tertentu tidak pernah diketahui secara pasti. Pilihan metode akuntansi dilakukan berdasarkan pertimbangan manajemen dan tidak pernah diketahui secara pasti oleh pengguna laporan keuangan (Ishak et al.,2012). Riset mengenai pilihan metode akuntansi hanya dapat menduga faktor-faktor apa yang dapat mempengaruhi satu perusahaan memutuskan lebih memilih kebijakan akuntansi tertentu dibandingkan yang lainnya.

  Dalam kaitannya dengan alternatif pilihan metode antara metode biaya dengan metode nilai wajar dalam mencatat properti investasi, menarik untuk diketahui alasan mengapa perusahaan mau memilih metode nilai wajar, sementara perusahaan lainnya tetap mengadopsi metode biaya.

  Riset terdahulu (Cairns et al., 2011) menunjukkan bahwa ketika perusahaan dihadapkan pada pilihan metode akuntansi yang bersifat sukarela, maka pilihan metode akuntansi cenderung bersifat sticky atau sulit berubah. Artinya, walaupun terdapat alternatif metode akuntansi yang lain yang dibolehkan oleh standar akuntansi yang baru (dalam hal ini metode nilai wajar), perusahaan akan cenderung memilih metode akuntansi yang sesuai dengan standar yang baru namun sama dengan sebelum revisi (dalam hal ini metode biaya). Namun faktanya, terdapat beberapa perusahaan publik di Indonesia yang memilih metode nilai wajar dalam melaporkan properti investasi, setelah PSAK No. 13 (2007) berlaku efektif. Oleh karena itu menarik untuk diteliti mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan metode nilai wajar untuk properti investasi.

  Riset mengenai pilihan metode akuntansi setelah adopsi IFRS di Indonesia masih sedikit. Kebanyakan riset berfokus pada negara-negara di Eropa, yang terlebih dahulu menerapkan IFRS. Riset mengenai pilihan metode nilai wajar untuk asset non-keuangan juga masih sedikit. Pilihan metode nilai wajar untuk aset non-keuangan menarik untuk diteliti karena kondisi yang berbeda dengan aset keuangan yaitu nilai wajar aset mungkin tidak tersedia di pasar aktif. Selain itu, sebagai feedback atas konvergensi

  IFRS di Indonesia, riset semacam ini diperlukan. Riset ini diharapkan dapat menambah literatur mengenai konvergensi IFRS dan literatur tentang pilihan metode akuntansi.

  Riset sebelumnya telah mengidentifikasi beberapa faktor yang mempengaruhi pilihan metode nilai wajar untuk properti investasi. Menurut Muller et al. (2008) perusahaan yang memilih metode nilai wajar adalah perusahaan dengan kepemilikan yang lebih tersebar, perusahaan yang menunjukkan komitmen yang tinggi terhadap transparansi pelaporan keuangan, dan perusahaan yang melaporkan selisih nilai wajar yang besar dengan tujuan untuk memaksimalkan laba yang dilaporkan. Kemudian dari Quagli dan Avallone (2010) mengungkapkan alasan perusahaan memilih metode nilai wajar adalah untuk tujuan efisiensi dengan cara mengurangi biaya politis dan melindungi kreditur dengan penerapan metode akuntansi yang konservatif. Riset ini berusaha menggabungkan faktor-faktor yang telah ditemukan pada riset sebelumnya yang terbukti mempengaruhi kemungkinan pilihan metode nilai wajar. Untuk menambah bukti empiris tentang pilihan metode akuntansi setelah adopsi IFRS, riset ini bertujuan untuk meneliti faktor-faktor yang memotivasi perusahaan untuk

  No. 13 (2007). Faktor-faktor yang akan diteliti dalam riset ini merupakan faktor-faktor yang telah terdokumentasi dalam literatur mengenai pilihan metode akuntansi (Fields, et al., 2001) dan berdasarkan riset terdahulu dari Quagli dan Avallone (2010), Ishak et al. (2012) dan Muller et al. (2008). Faktor tersebut adalah (1) perlindungan terhadap kreditur; (2) biaya politis; (3) asimetri informasi dan (4) motivasi oportunis dari manajer. Riset ini diharapkan memberikan kontribusi sebagai berikut:

  • mendokumentasikan variasi pilihan metode akuntansi antara metode biaya dengan metode nilai wajar. Variasi tersebut mungkin mempengaruhi keterbandingan laporan keuangan antar perusahaan yang dapat menjadi isu riset pada penelitian berikutnya.

  Pertama, menambah literatur mengenai implementasi IFRS di Indonesia dengan

  • mendokumentasikan faktor penentu keputusan perusahaan untuk memilih antara metode biaya atau metode nilai wajar. Sepanjang telaah literatur yang dilakukan, riset ini adalah yangpertama di Indonesia yang secara eksplisit menganalisis pilihan akuntansi dalam konteks aset non-keuangan sejak konvergensi IFRS di 2012.

  Kedua, riset ini berkontribusi pada literatur tentang pilihan metode akuntansi dengan

  • dalam memahami karakteristik dan kondisi yang mempengaruhi perusahaan dalam memilih metode akuntansi, khususnya yang melibatkan keputusan untuk menggunakan metode nilai wajar. Dengan merujuk hasil riset Cairns et al. (2010) bahwa keterbandingan laporan keuangan antar perusahaan akan meningkat ketika sebagian besar perusahaan memutuskan untuk mengadopsi metode akuntansi yang sama, maka penting bagi Dewan Standar dan praktisi untuk memahami karakteristik perusahaan yang memilih metode nilai wajar. Hal ini diperlukan sebagai feedback terhadap revisi standar akuntansi untuk properti investasi yang saat ini memberi alternatif pilihan menjadi dua pilihan kebijakan akuntansi dari sebelumnya yang hanya satu pilihan.

  Ketiga, temuan riset ini diharapkan dapat membantu dewan standar dan para praktisi

2. Telaah Literatur

  PSAK No. 13 Properti Investasi

1 PSAK No. 13 (2007) tentang Properti Investasi mengatur perlakuan akuntansi untuk

  properti investasi dan pengungkapannya. Yang dimaksud properti investasi adalah properti (tanah atau bangunan atau bagian dari suatu bangunan atau kedua-duanya) yang dikuasai untuk menghasilkan rental atau untuk kenaikan nilai atau untuk kedua-duanya, bukan untuk digunakan atau untuk diperjual-belikan dalam kegiatan operasi normal. Yang menjadi fokus dalam riset ini adalah kebijakan pengukuran setelah pengakuan awal. Setelah pengakuan awal, PSAK No. 13 (2007) memberi pilihan metode untuk mengukur properti investasi, yaitu: (1) model nilai wajar, atau (2) model biaya. Model nilai wajar mengharuskan properti investasi diukur menggunakan nilai wajar dan perubahan nilai wajarnya diakui pada Laporan Laba Rugi sebagai laba rugi tahun berjalan dan tidak didepresiasi. Jika entitas memilih model biaya, maka perlakuannya mengikuti PSAK No. 16 (2007) tentang Aset Tetap, yaitu properti investasi diukur pada biaya perolehan yang didepresiasi dan dikurangi dengan akumulasi rugi penurunan nilai. Perusahaan yang mengukur properti investasi menggunakan model biaya, walaupun tidak mengakui perubahan nilai wajar pada laba rugi, juga harus mengungkapkan nilai wajar properti investasi pada catatan atas laporan keuangan, kecuali nilai wajar tidak dapat ditentukan dengan andal. Sedangkan entitas yang memilih metode nilai wajar harus mengungkapkan dasar dan asumsi dalam menentukan nilai wajar dan apakah penentuan nilai wajar menggunakan jasa penilai independen.Dalam menggunakan metode nilai wajar, perubahan nilai wajar yang disyaratkan dalam PSAK No. 13 (2007) tercermin dalam laba rugi, dan bukan pada pendapatan komprehensif lain seperti PSAK No. 16 (2007). Konsekuensinya, karena mempengaruhi laba rugi perusahaan, maka manajer harusnya sadar bahwa pilihan kebijakan akuntansi untuk properti investasi akan menyebabkan dampak yang berbeda terhadap laba rugi dalam hal pengakuan selisih nilai wajar.

1 Saat ini sudah terbit PSAK No. 13 (2011) yang mulai berlaku efektif sejak 1 Januari 2012, yang secara substansi

  

tidak berbeda jauh dengan PSAK No. 13 (2007) dan periode pengamatan pada riset ini tidak mencakup periode

PSAK No. 13 (2011) berlaku. Letak perbedaannya hanya mencakup pengakuan awal properti investasi dalam proses

  Pilihan Kebijakan Akuntansi

  Watt dan Zimmerman (1978) membangun suatu teori yaitu “Positive Accounting

  

Theory ” yang mencoba memberikan penjelasan dan prediksi terhadap suatu peristiwa

  tertentu. Positive accounting theory, dapat menjawab pertanyaan mengapa beberapa perusahaan mau memilih salah satu metode akuntansi dibandingkan yang lainnya dengan konsekuensi biaya yang ditimbulkan dan mengapa perusahaan yang lain tidak demikian. Watts dan Zimmerman (1990) mendokumentasikan beberapa karakteristik perusahaan yang mungkin mempengaruhi keputusan manajemen, seperti kompensasi bonus, ukuran perusahaan, dan tingkat utang. Manajemen akan memilih kebijakan akuntansi yang meningkatkan laba yang dapat berpengaruh positif terhadap kompensasinya (bonus hypothesis) dan menghindar dari pelanggaran persyaratan utang (debt covenant hypothesis). Sementara untuk menghindar dari visibilitas politis yang ditentukan oleh ukuran perusahaan (political cost hypothesis), maka diprediksi bahwa kecil kemungkinan manajemen akan memilih metode akuntansi yang meningkatkan laba dan meningkatkan ukuran perusahaan.

  Fields et al. (2001) mengklasifikasikan faktor penentu pilihan metode akuntansi menjadi tiga kelompok, yaitu (1) contracting, yaitu kebijakan akuntansi dipilih untuk mempengaruhi satu atau lebih dari perjanjian kontrak, misalnya kontrak dengan manajemen, pemilik perusahaan, dan pemberi pinjaman, (2) asimetri informasi, maksudnya kebijakan akuntansi ditentukan oleh asimetri informasi yang berusaha mempengaruhi penilaian/harga aset, dan yang ketiga adalah (3) eksternalitis, yang maksudnya bahwa kebijakan akuntansi tertentu dipilih untuk mempengaruhi pihak eksternal selain pemilik atau calon pemilik perusahaan.

  Penelitian Terdahulu

  Belum banyak riset yang menguji faktor-faktor yangmenentukan pilihan metode akuntansi nilai wajar untuk aset properti investasi. Quagli dan Avallone (2010) melakukan riset untuk menentukan faktor yang mempengaruhi metode akuntansi nilai wajar properti investasi untuk perusahaan dalam industriproperti investasi di beberapa negara di Eropa. Risetnya menemukan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh negatif terhadap pilihan metode nilai wajar yang artinya sesuai dengan political cost hypothesis, yaitu perusahaan tidak memilih metode nilai wajar dan menerapkan model biaya untuk

  

Market to Book Value dengan pilihan metode nilai wajar, artinya perusahaan yang

  memilih metode nilai wajar adalah perusahaan dengan tingkat asimetri informasi yang tinggi. Dengan memilih metode nilai wajar, perusahaan bertujuan menunjukkan true

  

value dari perusahaan untuk mengurangi asimetri informasi. Selanjutnya, ditemukan

  bahwa perusahaan yang memilih metode biaya adalah perusahaan yang melakukan perataan laba (income smoothing) yang mana hal ini merupakan bukti salah satu bentuk tindakan manajemen yang oportunis. Riset berikutnya datang dari Ishak et al. (2012) yang menguji faktor yang mempengaruhi pilihan metode akuntansi untuk perusahaan properti di Malaysia. Hasilnya konsisten dengan political cost hypothesis bahwa ukuran perusahaan berpengaruh negatif terhadap pilihan metode nilai wajar, artinya semakin besar ukuran perusahaan semakin kecil kemungkinan memilih metode nilai wajar. Selain itu, perusahaan yang memilih metode nilai wajar adalah perusahaan yang sebelum standar akuntansi yang baru berlaku, telah menerapkan metode revaluasi dengan penyesuaian nilai wajar di ekuitas serta perusahaan yang salah satu segmen bisnisnya adalah properti investasi. Selain itu dari Muller et al. (2008) yang melakukan riset di beberapa negara di Eropa setelah adopsi IFRS di tahun 2005. Hasil risetnya menunjukkan bahwa perusahaan semakin tinggi kemungkinannya memilih metode nilai wajar ketika kepemilikan lebih tersebar, ketika standar akuntansi sebelum adopsi IFRS telah mengijinkan atau mensyaratkan penggunaan metode nilai wajar, dan ketika perusahaan menunjukkan komitmen yang lebih tinggi terhadap transparansi pelaporan keuangan yang dibuktikan dengan adopsi metode nilai wajar secara sukarela sebelum IFRS diwajibkan dan penggunaan jasa penilai independen dalam menentukan nilai wajar. Hasil riset Muller et al. (2008) juga menemukan motivasi yang bersifat oportunis dalam pemilihan metode nilai wajar untuk properti investasi, yaitu perusahaan yang memilih metode nilai wajar adalah yang melaporkan keuntungan selisih nilai wajar yang lebih tinggi dibandingkan dengan selisih nilai wajar “as if” yang diungkapkan di catatan atas laporan keuangan untuk perusahaan yang memilih metode biaya.

3. Pengembangan Hipotesis

  Analisis dalam riset ini berdasarkan asumsi yang mengacu kepada Schipper (2007) bahwa pengakuan di laporan keuangan (recognition) lebih value relevant dibandingkan pengungkapan (disclosure). Dalam hal ini, selisih nilai wajar asset properti investasi yang diakui pada laporan laba rugi (metode nilai wajar) tidak ekuivalen dengan selisih nilai wajar yang diungkapkan pada catatan atas laporan keuangan (metode biaya). Demikian juga menurut Francis et al. (2004), bahwa pengakuan menggunakan metode nilai wajar dan metode biaya mempengaruhi angka akuntansi secara berbeda. Nilai wajar lebih value relevant dan memberikan angka laba yang lebih dapat diprediksi dan lebih tepat waktu karena lebih berorientasi ke arus kas masa depan. Sedangkan metode biaya lebih mendukung konservatisme, kualitas akrual dan laba yang lebih rata (smooth), karena hanya mengakui perubahan nilai hanya jika sudah terealisasi. Dengan demikian, informasi arus kas masa depan yang diperoleh dari nilai wajar akan lebih diapresiasi oleh pasar (analis dan investor) karena dapat menurunkan informasi asimetri. Sedangkan di lain sisi, metode biaya lebih mendukung perataan laba dan kontrak yang efisien dimana konservatisme lebih diutamakan. Atau dengan kata lain, masing-masing metode secara teoritis memiliki kelebihan dan kekurangan dan pilihan aktual akan tergantung kondisi perusahaan. Dampak yang berbeda dari kedua metode ini mengimplikasikan bahwa pilihan metode akuntansi memiliki latar belakang yang berbeda sesuai kondisi perusahaan.

  Tujuan riset ini menguji secara empiris motivasi dipilihnya metode akuntansi nilai wajar untuk properti investasi sehubungan dengan revisi PSAK No. 13 (2007) yang menambahkan alternatif pilihan metode nilai wajar disamping metode biaya yang telah diatur sebelumnya.

  Pilihan kebijakan akuntansi yang lebih konservatif akan menurunkan biaya keagenan melalui perlindungan yang lebih tinggi terhadap kreditur. Menurut Beatty dan Weber (2008), investor menginginkan level konservatisme tertentu dalam kontrak utang. Pilihan metode biaya akan sejalan dengan kebijakan akuntansi yang lebih konservatif, sehingga untuk tujuan perlindungan yang lebih tinggi kepada kreditur, maka besar kemungkinan manajer akan memilih metode biaya dan kecil kemungkinan memilih metode nilai wajar. Riset ini mengambil posisi berlawanandaridebt covenant hypothesis, kontrak utang. Debt covenant hypothesis (Watt dan Zimmerman, 1990) kurang tepat dalam konteks ini karena biasanya keuntungan dari selisih revaluasi nilai wajar tidak diperhitungkan dalam evaluasi kontrak utang (Christensen dan Nikolaev, 2008). Dengan demikian hipotesis yang dapat diajukan adalah:

  

H1: Tingkat utang berpengaruh negatif terhadap kemungkinan pilihan metode nilai

wajar untuk properti investasi

  Berdasarkan political cost hypothesis (Watts dan Zimmerman, 1990), diprediksi bahwa manajerakan kecil kemungkinan untuk memilih metode akuntansi yang menaikkan laba. Tingginya laba yang dilaporkan akan berdampak pada meningkatnya ukuran perusahaan (aset). Semakin tingginya ukuran perusahaan maka semakin tinggi biaya politis karena semakin meningkatnya visibilitas perusahaan. Biaya politis yang dimaksud disini adalah meningkatnya sorotan yang berdampak misalnya pada meningkatnya regulasi dari pemerintah/regulator atau meningkatnya aturan pajak dari otoritas pajak. Dengan demikian, sesuai dengan Quagli dan Avallone (2010) dan Ishak et al. (2012), maka hipotesis berikutnya yang diajukan adalah:

  

H2: Ukuran perusahaan berpengaruh negatif terhadap kemungkinan pilihan metode

nilai wajar untuk properti investasi.

  Dalam situasi adanya informasi asimetri, manajer dapat memilih metode akuntansi yang dapat membantu menginformasikan kepada pasar tentang “true value” perusahaan. Sehingga, dengan asumsi bahwa pengungkapan tidak ekivalen dengan pengakuan (Schipper, 2007) yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dapat diekspektasi bahwa tingginya asimetri informasi akan berpengaruh positif terhadap kemungkinan manajemen memilih metode nilai wajar (Quagli dan Avallone, 2010). Beberapa studi terdahulu menggunakan market to book ratio (MTB) sebagai proksi untuk informasi asimetri, yang berangkat dari intuisi bahwa nilai pasar menangkap nilai kini dari peluang growth perusahaan, sedangkan nilai buku mencerminkan nilai aset yang ada. Dengan demikian metode nilai wajar untuk properti investasi akan mengurangi informasi asimetri karena meningkatkan nilai buku aset, sehingga hipotesis berikutnya adalah:

  

H3: Informasi asimetri akan berpengaruh positif terhadap kemungkinan pilihan

  Selanjutnya, baik Quagli dan Avallone (2010) dan Muller et al. (2008) menangkap adanya motivasi opportunis dibalik pilihan metode nilai wajar untuk properti investasi. Motivasi oportunis ditunjukkan dengan pemilihan metode akuntansi yang dapat meningkatkan kinerja, melalui peningkatan laba. Muller et al. (2008) mengidentifikasi bahwa semakin tinggi keuntungan selisih nilai wajar yang dihasilkan dari properti investasi maka akan semakin tinggi kemungkinan manajemen memilih metode nilai wajar, agar keuntungan tersebut dapat meningkatkan laba yang dilaporkan. Dengan demikian, dapat dihipotesakan bahwa:

  

H4: Keuntungan revaluasi nilai wajar yang dapat dilaporkan dari penerapan metode

nilai wajar akan berpengaruh positif terhadap kemungkinan pilihan metode nilai wajar untuk properti investasi.

4. Metode Riset Kerangka Pemikiran

  Hubungan antar variabel dalam hipotesis ditunjukkan oleh bagan kerangka pemikiran pada Gambar 1.

  Tingkat Utang Ukuran Perusahaan Informasi Asimetri Kemungkinan

  Pilihan Metode Keuntungan Selisih Nilai Wajar Nilai Wajar

  Gambar 1. Kerangka Pemikiran

  Kontrol: perusahaan masuk dalam industri properti

  Berdasarkan Gambar 1, variabel dependennya adalah kemungkinan/probabilita dipilihnya metode nilai wajar untuk mengukur asetproperti investasi. Variabel independennya adalah tingkat utang dan ukuran perusahaan yang diprediksi berpengaruh negatif terhadap kemungkinan pilihan metode nilai wajar, dan informasi terhadap kemungkinan pilihan metode nilai wajar. Untuk mengontrol karakteristik yang berbeda antara perusahaan yang termasuk ke dalam industriproperti dan real estat dengan perusahaan yang termasuk dalam industri lainnya maka digunakan variabel indikator perusahaan yang masuk ke dalam industri properti dan real estat sebagai variabel kontrol. Perusahaan yang termasuk dalam industri propertydan real estat, akan dihadapkan pada pasar properti yang lebih likuid, sehingga nilai wajar yang andal dapat ditentukan dengan mudah. Selain itu, karena bisnis utama perusahaan adalah dalam bidang properti, maka keuntungan selisih nilai wajar yang diakui akan berpengaruh signifikan pada penilaian kinerja perusahaan. Dengan demikian, diduga bahwa perusahaan yang berada dalam industri properti dan real estat akan semakin besar kemungkinan memilih metode nilai wajar untuk mengukur properti investasinya.

  Sampel dan Desain Riset

  Populasi pada riset ini adalah semua perusahaan yang memiliki dan melaporkan asetproperti investasi pada periode setelah berlakunya PSAK No. 13 (2007) yaitu sejak 2008 sampai 2011. Periode yang diamati adalah periode pertama perusahaan menerapkan metode akuntansi properti investasi antara tahun 2008 sampai 2011, yaitu perusahaan yang memiliki properti investasi pada tahun 2008 ditambah dengan perusahaan yang baru memiliki properti investasi setelah 2008 sampai 2011. Perbedaan antar tahun pengamatan antara 2008 – 2011 dianggap tidak signifikan karena mencakup periode waktu yang pendek. Agar tidak mengurangi jumlah sampel yang sedikit, riset ini tidak hanya mengobservasi perusahaan yang berada dalam industri properti dan real estat, namun semua perusahaan yang memiliki properti investasi yang termasuk ke dalam industri selain properti dan real estat. Model penelitian akan memasukkan variabel dummy jenis industri untuk mengontrol perbedaan kondisi antara perusahaan dalam industri properti denganindustri lain yang turut mempengaruhi kemungkinan pilihan metode nilai wajar.

  Kriteria pengambilan sampel adalah sebagai berikut: (1) terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada periode 2008 – 2011; (2) memiliki properti investasi antara 2008 – 2011; (3) mengungkapkan metode akuntansi untuk mengukur properti investasi; (4) bagi perusahaan yang memilih metode biaya, mengungkapkan nilai wajar aset pada catatan atas laporan keuangan; (5) memiliki data-data lengkap untuk pengujian

  Hipotesis akan diuji menggunakan model regresi binomial logit sebagai berikut: ………….model (1)

  : adalah probabilita perusahaan memilih metode nilai wajar, bernilai = 1 jika perusahaan memilih metode nilai wajar, dan bernilai 0 jika memilih menggunakan metode biaya; : tingkat utang perusahaan yang diukur menggunakan rasio total debt dibagi dengan total aset di akhir tahun; adalah ukuran perusahaan yang diproksi dengan logaritma natural dari saldo akhir total aset perusahaan; : informasi asimetri, yang diproksi dengan market to book ratio (MTB) awal tahun; : keuntungan selisih revaluasi nilai wajar periode berjalan, diproksi dengan selisih nilai wajar yang dilaporkan pada laba rugi (jika metode nilai wajar diterapkan) atau dengan selisih nilai wajar yang diungkapkan di catatan atas laporan keuangan dengan nilai tercatat asetproperti investasi di neraca (jika metode biaya diterapkan). Nilai ini kemudiandideflasi dengan saldo akhir Total Aset; sedangkan : variabel indikator untuk perusahaan yang termasuk ke dalam industriproperti dan real estat, bernilai = 1 jika perusahaan termasuk dalam industri properti dan real estat, dan bernilai = 0 jika lainnya.

5. Analisis Hasil Sampel dan Statistik Deskriptif

  Hasil pemilihan sampel dapat dilihat pada Tabel 1 pada lampiran.Dapat dilihat pada Tabel1 bahwa dari 108 perusahaan yang melaporkan properti investasi di Laporan Keuangan, 85% memilih metode biaya. Dari total 100 perusahaan yang memilih model biaya, terdapat 50% yang tidak mengungkapkan nilai wajar aset pada catatan atas laporan keuangan, walaupun hal ini bersifat wajib. Terdapat dua kemungkinan penyebab hal ini, yaitu (1) nilai wajar aset tidak dapat ditentukan dengan andal, yangmenurut PSAK No. 13 (2007) kondisi ini harus diungkapkan, atau (2) perusahaan tidak memandang adanya manfaat dari pengungkapan informasi nilai wajar melebihi biaya memperoleh informasinya. Untuk mengungkapkan nilai wajar aset, maka perusahaan harus mengukur nilai wajar aset dengan andal. Perusahaan dapat menggunakan jasa penilai independen untuk menghitung nilai wajar asetdan hal ini tambahan biaya, yang dalam hal ini jika perusahaan memandang potensi kenaikan nilai wajar tidak terlalu signifikan untuk diungkapkan, maka perusahaan enggan untuk menghitung dan mengungkapkan nilai wajar aset tersebut pada catatan atas laporan keuangan.

  Tabel 2 pada lampiran menyajikan statistik deskriptif dari sampel.Jumlah sampel yang memilih metode nilai wajar adalah 22% seperti ditunjukkan pada rata-rata variabel P_FV. Ukuran perusahaan sampel berada pada kisaran total aset Rp64 Milyar sampai dengan Rp17 Trilyun. Pada tabel juga terlihat bahwa terdapat perusahaan yang melaporkan rugi selisih nilai wajaryang ditunjukkan pada nilai minimum FV_GAIN sebesar -0,127. Perusahaan yang termasuk ke dalam industriproperti sebanyak 37% atau 20 perusahaan dari 54 sampel.

  Uji Beda Rata-rata dan Korelasi

  Tabel 3 pada lampiran menunjukkan perbedaan rata-rata perusahaan sampel yang masuk ke dalam industriproperti dan real estat dengan sampel yang masuk dalam industri lainnya. Dilihat pada Tabel3, ukuran perusahaan (LNTA), market to book value (MTB), selisih nilai wajar (FVGAIN) dan proporsi properti investasi dibanding total asset (Prop_TA) untuk sampel perusahaan properti signifikan lebih tinggi dibandingkan sampel perusahaan dalam industri lainnya. Namun jika dilihat pilihan metode nilai wajar (P_FV) lebih banyak dipilih oleh perusahaan non-properti, atau dengan kata lain, rata-rata perusahaan industriproperti lebih banyak memilih metode biaya dalam mengukur properti investasi. Hal ini menunjukkan arah yang tidak sesuai dengan prediksi. Jika perusahaan memilih metode nilai wajar, maka dengan rata-rata selisih nilai wajar kelompok perusahaan properti yang lebih tinggi dibanding perusahaan non- properti seharusnya dapat meningkatkan kinerja melalui peningkatan laba periode berjalan. Namun kenyataannya rata-rata perusahaan properti lebih memilih menggunakan metode biaya. Perbedaan rata-rata setiap variabel yang signifikan ini menunjukkan perlunya mengontrol sampel perusahaan masuk ke dalam industry properti atau industri lainnya ke dalam model pengujian hipotesis. Tabel 4 pada lampiran menunjukkan korelasi antar variabel menggunakan

  

pearson’scorrelation test . Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa korelasi variabel yang konsisten dengan hipotesis. Tingkat utang (LEV) dan ukuran perusahaan (LNTA) berkorelasi negatif signifikan dengan pilihan metode nilai wajar (P_FV). Korelasi selisih nilai wajar (FV_GAIN) dengan P_FV tidak searah dengan hipotesis. Korelasi antar variabel independen menunjukkan korelasi positif signifikan antara tingkat utang (LEV) dengan ukuran perusahaan (LNTA) dan informasi asimetri (MTB). Artinya perusahaan dengan tingkat utang yang tinggi adalah perusahaan berukuran besar dan memiliki informasi asimetri yang tinggi juga.

  Pengujian Hipotesis

  Hasil pengujian hipotesis menggunakan model logit denganmodel (1) disajikan pada Tabel 5 (Lampiran).

  Berdasarkan uji hipotesis, variabel LEV berpengaruh negatif signifikan (level 5%) terhadap kemungkinan pilihan metode nilai wajar. Artinya perusahaan dengan tingkat utang yang semakin tinggi akan semakin kecil kemungkinan memilih metode nilai wajar. Dengan demikian hipotesis H1 didukung yaitu semakin tinggi tingkat utang maka perusahaan akan menerapkan kebijakan akuntansi yang lebih konservatif, dalam hal ini metode biaya. Hal ini konsisten dengan hipotesis kontrak efisien dengan kreditur, bahwa perusahaan menerapkan kebijakan akuntansi yang konservatif sebagai perlindungan terhadapkreditur (Watts, 2003; Beatty & Weber, 2008).

  Variabel LNTA tidak berpengaruh terhadap kemungkinan pilihan metode nilai wajar.Artinya pertimbangan biaya politis yang ditentukan melalui ukuran perusahaan tidak menjadi pertimbangan perusahaan dalam memilih metode pengukuran nilai wajar untuk properti investasi. Hasil ini tidak sesuai dengan Ishak et al. (2012) dan Quagli dan Avallone (2010), dan dengan demikian Hipotesis H2 tidak didukung oleh data. Variabel MTB berpengaruh signifikan positif (pada level 10%) terhadap pilihan metode nilai wajar untuk mengukur properti investasi. Artinya, perusahaan dengan informasi asimetri yang semakin tinggi akan semakin tinggi kemungkinan memilih metode nilai wajar untuk menunjukkan true value perusahaan. Hasil ini sesuai dengan riset Quagli dan Avallone (2010). Dengan demikian Hipotesis H3 didukung oleh data.

  Variabel FV_GAIN tidak berpengaruh terhadap kemungkinan pilihan metode nilai wajar untuk mengukur properti investasi. Artinya, semakin besar selisih nilai wajar yang dapat dilaporkan pada laba rugi tidak berpengaruh terhadap kemungkinan perusahaan memilih metode pengukuran nilai wajar. Semakin besar keuntungan selisih nilai wajar yang dapat dilaporkan pada laba rugi periode berjalan tidak membuat perusahaan memilih metode nilai wajar untuk mencatat properti investasinya. Dengan demikiandugaan motif oportunis dalam memilih metode nilai wajar tidak terlihat. Hasil ini tidak sesuai dengan riset dari Muller et al. (2008) dan dengan demikian Hipotesis H4 tidak didukung oleh data. Artinya faktor pendorong perusahaan memilih metode nilai wajar untuk properti investasi bukan karena alasan untuk mendapatkan laba tinggi dari selisih nilai wajar yang diakui. Hal ini kemungkinan karena efek peningkatan nilai wajar karena revaluasi aset dapat merupakan obyek pajak.

  Variabel kontrol D_Prop berpengaruh negatif signifikan (level 5%) terhadap kemungkinan pilihan metode nilai wajar. Hasil pengujian tidak sesuai dengan prediksi bahwa perusahaan dalam industri property akan semakin mungkin memilih metode nilai wajar. Hasil uji membuktikan bahwa perusahaan dalam industriproperti semakin kecil kemungkinan memilih metode nilai wajar, padahal berdasarkan uji beda rata-rata menunjukkan bahwa perusahaan properti melaporkan selisih nilai wajar yang lebih tinggi dibandingkan perusahaan non-properti. Dengan kata lain, perusahaan dalam industriproperti secara rata-rata melaporkan selisih nilai wajar yang tinggi dari properti investasi, namun kelompok perusahaan ini lebih memilih menggunakan metode biaya dalam mengukur properti investasinya.

  Temuan ini mungkin dapat dijelaskan melalui political cost hypothesis (Watts dan Zimmerman, 1990). Perusahaan dalam industry property enggan memilih metode nilai wajar dan mengakui selisih nilai wajar pada laba rugi periode berjalan untuk menghindar dari regulasi pemerintah yang berpotensi merugikan perusahaan. Seperti kita ketahui bahwa terdapat peraturan pajak yang mengenakan pajak final 10% terhadap selisih revaluasi nilai wajar aset (PMK No. 79/2008 tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan untuk Tujuan Perpajakan). Walaupun PMK tersebut mengatur aktiva tetap, namun peraturan pajak tidak membedakan antara aktiva tetap dengan properti investasi, sehingga properti investasi masuk kedalam kelompok aset yang dimaksud hanya untuk tujuan perpajakan, namun dalam pelaksanaannya bersifat grey area. Bukan tidak mungkin dalam perkembangannya nanti akan muncul peraturan yang mengenakan pajak atas selisih revaluasi nilai aset bagi perusahaan yang khusus bergerak di bidang properti. Oleh karena itu, perusahaan properti mungkin lebih memilih metode biaya untuk menghindari risiko terkena regulasi perpajakan yang menyebabkan kenaikan pembayaran pajak. Temuan ini sekaligus mengimplikasikan bahwa hipotesis political

  

cost pada konteks riset ini lebih terkait jenis industri, yaitu apakah perusahaan termasuk

ke dalam industri properti atau industri lain, bukan ditentukan dari ukuran perusahaan.

  Uji Sensitivitas

  Uji sensitivitas pertama dilakukan dengan mengganti variabel FV_Gain dengan variabel indikator DFV dengan memisahkan nilai selisih nilai wajar yang diatas median sebagai kelompok selisih nilai wajar yang tinggi (DFV = 1) dan DFV = 0 yang berada di bawah median sebagai kelompok selisih nilai wajar yang rendah. Hasilnya konsisten dengan pengujian utama, yaituLEV dan D_PROP signifikan sesuai arah prediksi dan variabel DFV tidak berpengaruh terhadap P_FV (Tabel tidak ditampilkan).

  Uji sensitivitas kedua, dilakukan dengan cara memasukkan semua perusahaan yang memilih metode biaya namun tidak mengungkapkan nilai wajar pada catatan atas laporan keuangan, sehingga jumlah observasi adalah 100 sampel (lihat tabel 1). Sesuai dengan uraian pada statistik deskriptif bahwa diduga perusahaan yang tidak mengungkapkan nilai wajar pada catatan adalah perusahaan yang mempertimbangkan tingginya biaya perolehan informasi untuk mengukur nilai wajar aset dibanding besarnya manfaat atau keuntungan yang diungkapkan. Dengan tetap memegang asumsi bahwa pengakuan lebih value relevant daripada pengungkapan, maka perusahaan yang memilih metode biaya dan memperkirakan nilai wajar properti investasinyatidak berbeda signifikan dengan nilai tercatatnya pada akhir periode berjalan, enggan untuk mengungkapkan nilai wajar di catatan atas laporan keuangan. Artinya perusahaan ini mengestimasikan selisih nilai wajaryang terlalu rendah untuk diungkapkan.Walaupun persyaratan pengungkapan nilai wajar ini bersifat wajib, namun perilaku ini menunjukkan perilaku manajer yang rasional.

  Untuk menguji apakah hasil pengujian utama konsisten, maka sejumlah 46 perusahaan dimasukkan dengan menganggap bahwa nilai FV_Gain bernilai nol (FV_GAIN = 0). Dengan demikian diperoleh 100 sampel. Hasil konsisten dengan pengujian utama.Variabel LEV, MTB dan D_PROP signifikan sesuai arah prediksi dan variabel LNTA dan FV_GAIN tetap tidak berpengaruh signifikan (Tabel tidak ditampilkan).

  Kesimpulan, Implikasi, Keterbatasan serta Saran untuk Riset Selanjutnya

  Riset ini berfokus pada area riset tentang pilihan metode akuntansi. Riset ini bertujuan untuk meneliti faktor-faktor yang memotivasi perusahaan dalam memilih metode nilai wajar untuk mencatat properti investasi setelah berlakunya PSAK No. 13 (2007). Faktor yang diteliti yaitu(1) perlindungan terhadap kreditur sesuai hipotesis kontrak efisien dengan kreditur; (2) biaya politis sesuai dengan political cost hypothesis; (3) mengurangi asimetri informasi; dan (4) motivasi oportunis manajer untuk meningkatkan laba yang dilaporkan melalui pemilihan metode akuntansi. Hipotesis perlindungan kreditur diproksi dengan tingkat utang, hipotesis biaya politis diproksi dengan ukuran perusahaan, asimetri informasi diproksi dengan rasio market to book, dan hipotesis tindakan oportunis diproksi dengan rasio keuntungan selisih nilai wajar yang dapat diakui dibanding total aset perusahaan. Hasil pengujian menunjukkan hasil yang sesuai dengan hipotesis kontrak efisien dengan kreditur dan motivasi untuk mengurangi informasi asimetri. Artinya perusahaan yang memiliki tingkat utang yang semakin tinggi, kecil kemungkinan memilih metode nilai wajar atau besar kemungkinan akan lebih memilih metode yang konservatif dengan memilih metode biaya dalam mencatat properti investasi. Ini dilakukan sebagai bentuk perlindungan terhadap kreditur karena kreditor lebih menyukai kebijakan yang konservatif karena mengurangi risiko distribusi nilai perusahaan melalui dividen. Metode biaya dipandang sebagai kebijakan akuntansi yang konservatif karena tidak menyebabkan laba berfluktuasi dan tidak mengalami risiko kurang andalnya nilai yang disajikan di laporan keuangan, seperti halnya metode nilai wajar. Selanjutnya perusahaan dengan informasi asimetri yang tinggi akan lebih tinggi kemungkinannya dalam memilih metode nilai wajar untuk menunjukkan true valueperusahaan. Motivasi oportunis manajer untuk meningkatkan laba yang dilaporkan melalui pemilihan metode nilai wajar tidak terlihat dari hasil riset ini.

  Temuan tambahan dari riset ini menunjukkan bahwa perusahaan dalam industri properti memiliki rata-rata keuntungan nilai wajar yang lebih tinggi yang dapat dilaporkan pada laba rugi dibandingkan dengan kelompok perusahaannon-properti. Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa perusahaan dalam industri properti secara rata-rata lebih rendah kemungkinannya dalam memilih metode nilai wajar untuk menghindari sorotan dan kemungkinan munculnya regulasi pajak yang meningkatkan beban pajak perusahaan. Temuan ini konsisten dengan hipotesis political cost. Uji sensitivitas dilakukan untuk mengetahui apakah kesimpulan dari hasil pengujian utama dapat diterima. Hasil uji sensitivitas menunjukkan hasil yang konsisten dengan hasil pengujian utama. Implikasi dari hasil riset ini adalah bahwa karakteristik dan motivasi manajemen perusahaan akan mempengaruhi keputusan pemilihan metode akuntansi, dengan demikian regulator penyusun standar dapat melihat hal ini sebagai masukan dalam menentukan alternatif metode akuntansi yang dapat digunakan oleh perusahaan. Sedangkan bagi pengguna laporan keuangan, dapat melihat hal ini sebagai input yang berguna dalam menilai perusahaan melalui informasi dalam laporan keuangan.

  Riset ini memiliki keterbatasan karena hanya mengevaluasi sebagian faktor yang diduga memotivasi perusahaan dalam memilih metode pencatatan properti investasi. Masih terdapat faktor lain yang dapat diuji pada riset selanjutnya seperti kepemilikan saham perusahaan atau apakah properti investasi merupakan lini bisnis utama perusahaan. Dalam hal proksi yang mewakili motivasi oportunis juga terbatas pada besaran keuntungan nilai wajar yang dapat diakui. Riset selanjutnya dapat menggunakan proksi lain untuk mengevaluasi keberadaan motivasi oportunis dalam memilih metode pencatatan properti investasi, misalnya aktivitas perataan laba. Riset ini juga terbatas pada perusahaan di Indonesia dengan jumlah sampel yang terbatas. Riset selanjutnya dapat dilakukan lintas negara guna menambah observasi yang lebih banyak.

  

Daftar Referensi

  Beatty, A., J. Weber, J.J. Yu. 2008. “Conservatism and Debt,” Journal of Accounting and Economics , 45, 154 – 174. Cairns. D., Massoudi. D. Taplin., R. Tarca. A. 2011. “IFRS fair value measurement and

  Accounting Policy Choice in the United Kingdom and Australia.” The British Accounting Review . 43. 1 – 21. Christensen, H. B., Nikolaev, V. 2008. Who uses fair-value accounting for non- financial assets following IFRS adoption?, SSRN working paper. Dewan Standar Akuntansi Keuangan. 2007. PSAK No. 13 tentang Properti Investasi. Fields, T.H., Lys, Thomas Z., Vincent, Linda. 2001. “Empirical Research on Accounting Choice,” Journal of Accounting and Economics, 31, 255 – 307. Francis, J., Laford, R., Olsson, P. M. and Schipper, K. 2004.”Costs of equity and earnings attributes,” The Accounting Review, 79, pp. 967–1010. International Accounting Standard Board. 2003. IAS 40 Investment Property. Ishak, Hani Soraya, Tahir, Henny Hazliza M., Ibrahim, M. Kamil, Wahab, Waer A.E.

  2012. “Determinants of Accounting for Investment Property (FRS 140) in

  rd

  Property Sector: Evidence from Malaysia,” research paper presented at 3

  International Conference on Business and Economic Research , March 2012, Bandung, Indonesia.

  Lemke. K., Page. M. J. 1992. “Economic determinants of Accounting Policy Choice.” Journal of Accounting and Economics . 15. 87 – 114. North Holland. Muller. K.A., Riedl. Edward J., Sellhorn. T. 2008. “Causes and Consequences of

  Choosing Historical Cost versus Fair Value.” working paper. Harvard Business School. Quagli. A., Avallone. F. 2010. “Fair Value or Cost Model? Drivers of Choice for IAS 40 in the Real Estate Industri.” European Accounting Review. Vol 19. No. 3.

  461 – 493. Schipper, K. 2007. “Required disclosures in financial reports,” The Accounting Review, 82(2), pp. 301–326.

  Watts, R. L. and Zimmerman, J. L. 1978. Towards a positive theory of the determination of accountingstandards, Accounting Review, 53(1), pp. 112–133. Watts, Ross, Zimmerman, Jerold, L. 1986. “Positive Accounting Theory,” Prentice Hall, New Jersey. United States of America, 1986. Watts, R. L., and Zimmerman, J. L. 1990. “Positive Accounting Theory: A Ten Year Perspective.”American Accounting Association , 131-156. Watts, R. L. 2003.“Conservatism in accounting Part I: explanations and implications,”AccountingHorizons, 17(3), pp. 207–221.