Puspitarini, Haryanto, Pinasti, 2014 SNA17 Return, Risk, EM, IFRS

Return Dan Risiko Saham, Perataan Laba Pada Era Konvergensi International Financial Reporting Standards (IFRS)

IDA PUSPITARINI. W EKO HARIYANTO MARGANI PINASTI

Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto

Abstract

The purpose of this study is to provide empirical evidence about the difference between stock return and stock risk banks which apply International Financial Reporting Standards (IFRS) and banks which do not apply IFRS, also the difference between stock return and stock risk smoother and non-smoother banks before and after the IFRS convergence. Population used in this research was all banks listed in Indonesia Stock Exchange (IDX) during 2007-2012 periods. Sample was selected using purposive sampling. The research used independent- sample t- test as analysis tool with the aid of computer software for statistic SPSS version 20.00. This research proves that stock return between banks which apply IFRS and banks which do not apply IFRS is not different, yet stock risk of banks which have applied IFRS is less than banks which have not applied IFRS. Then, those banks are reclassified into four groups, namely, smoother banks which have applied IFRS, non-smoother banks which have applied IFRS, smoother banks which have not applied IFRS, and non-smoother banks which have not applied IFRS. After grouping, the difference between stock return and stock risk of those groups are re-tested. The result of the test shows that there is not any difference on stock return, but the stock risk of smoother banks which have applied IFRS is less than smoother banks which have not applied IFRS. Therefore, the report of profit with low variability and more quality makes investor more sure of the performance of these companies.

Key words: IFRS, smoother, stock return, and stock risk

Abstrak

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan bukti secara empiris tentang perbedaan return dan risiko saham antara perbankan yang telah menerapkan International Financial Reporting Standards (IFRS) dan perbankan yang belum menerapkan IFRS, serta perbedaan return dan risiko saham antara perbankan perata laba dan bukan perata laba sebelum dan sesudah konvergensi IFRS. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) selama periode 2007-2012. Pengambilan sampel menggunakan metode purposive sampling dan alat pengujian yang digunakan adalah t-tes sampel independen (independent-sample t-test) dengan software statistik SPSS versi 20.00. Penelitian ini membuktikan bahwa return saham antara perbankan yang telah menerapkan IFRS tidak berbeda dengan return saham perbankan yang belum menerapkan IFRS, namun risiko saham perbankan yang telah menerapkan IFRS lebih kecil dibandingkan dengan risiko saham perbankan yang belum menerapkan IFRS. Kedua kelompok perbankan tersebut diklasifikasikan kembali menjadi empat kelompok: perata laba yang telah menerapkan IFRS, bukan perata laba yang telah menerapkan IFRS, perata laba yang belum menerapkan IFRS, dan bukan perata laba yang belum menerapkan IFRS. Perbedaan return dan risiko saham dari kelompok-kelompok ini dilakukan pengujian kembali. Hasil pengujian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan return saham, namun risiko saham perbankan perata laba yang telah menerapkan IFRS lebih kecil dibandingkan dengan risiko saham perbankan perata laba yang belum menerapkan IFRS. Pelaporan laba dengan variabilitas rendah dan memiliki kualitas lebih telah membuat investor semakin yakin akan kualitas kinerja dari perusahaan ini.

Kata kunci: IFRS, perataan laba, return saham, risiko saham

1. Pendahuluan

Industri perbankan merupakan industri dengan pengawasan yang lebih ketat dibandingkan dengan industri lainnya, namun meskipun pengawasan sudah dilakukan secara demikian tidak menutup kemungkinan perilaku manajemen laba bisa terjadi pada industri ini. Salah satu bentuk dari manajemen laba adalah perataan laba (income smoothing ) (Scott, 2012).

Teori keagenan (agency theory) dapat menjabarkan konsep perilaku perataan laba. Jika terdapat pemisahan antara pemilik (principal) dan manajer (agent) yang menjalankan perusahaan, maka akan timbul permasalahan keagenan karena pihak-pihak tersebut selalu berusaha memaksimalkan utilitas-nya (Jensen dan Meckling, 1976). Implikasi dari teori ini dapat membuktikan bahwa industri perbankan juga tidak lepas dari praktik perataan laba.

Perhatian utama untuk menaksir kinerja atau pertanggungjawaban manajemen terhadap perusahaan yang dikelolanya pada umumnya terpusat pada laba akuntansi. Laba akuntansi juga membantu pemilik perusahaan (pemegang saham) ataupun pihak lain dalam melakukan penaksiran atas earning power perusahaan di masa mendatang. Laba akuntansi dikatakan relevan jika angka laba tersebut mampu mencerminkan perubahan return saham yang terdapat pada pasar sehingga hal itu menyatakan bahwa laba akuntansi tersebut mempunyai informasi yang berguna bagi para pemegang saham. Informasi tersebut menyebabkan para pemegang saham bereaksi dan menyebabkan perubahan return saham (Haryanto, 2012). Jika laba yang dihasilkan tidak stabil atau terus berfluktuasi, maka kinerja manajer akan dipertanyakan dan akan berakibat buruk bagi nama baik perusahaan. Oleh karena itu manajer perusahaan akan berusaha meratakan laba yang dilaporkannya untuk menjaga persepsi para pemegang saham karena perilaku ini dapat memberi pengaruh yang signifikan terhadap rata-rata kumulatif abnormal return yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan bukan perata laba (Michelson et al., 2000; Martinez dan Castro, 2011; Chen, 2012).

Pada tahun 2008, Indonesia ikut serta melakukan konvergensi IFRS (International Financial Reporting Standards ), sesuai dengan salah satu kesepakatan pemerintah Indonesia sebagai anggota G 20 forum. Konvergensi IFRS dilakukan dengan merevisi PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan) agar secara material sesuai dengan IFRS versi 1 Januari 2009 yang berlaku efektif tahun 2011/2012 (Eliza, 2012). Dengan Pada tahun 2008, Indonesia ikut serta melakukan konvergensi IFRS (International Financial Reporting Standards ), sesuai dengan salah satu kesepakatan pemerintah Indonesia sebagai anggota G 20 forum. Konvergensi IFRS dilakukan dengan merevisi PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan) agar secara material sesuai dengan IFRS versi 1 Januari 2009 yang berlaku efektif tahun 2011/2012 (Eliza, 2012). Dengan

Teori regulasi (theories of regulation) erat kaitannya dengan proses konvergensi IFRS. Dengan adanya keinginan untuk mencapai tujuan sosial dan pengalaman dalam kegagalan pasar, merupakan alasan yang dapat digunakan untuk mendukung perlunya regulasi dalam akuntansi keuangan (Scott, 2012). Tujuan sosial yang dimaksud mencakup kewajaran akan laporan keuangan, keseimbangan informasi yang disajikan, dan perlindungan terhadap para investor. Dengan adanya IFRS sebagai regulasi, tuntutan publik mengenai koreksi atas kegagalan pasar diharapkan dapat terpenuhi.

Peraturan Bank Indonesia No.14/15/PBI/2012 tentang penilaian kualitas aset bank umum menyebutkan bahwa sejalan dengan perkembangan terkini standar akuntansi keuangan, perbankan dituntut untuk menyajikan laporan keuangan yang akurat, komprehensif, dan mencerminkan kinerja bank secara utuh serta sesuai dengan standar akuntansi internasional. Dalam rangka menyelaraskan standar akuntansi keuangan khususnya untuk perbankan Indonesia, PSAK 50 dan 55 tentang instrumen keuangan merupakan penerapan IFRS IAS (International Accounting Standard) 32 dan 39 tentang Financial Instruments . PSAK 50 dan 55 ini memberikan dampak yang signifikan bagi industri ini, khususnya dalam hal valuasi pencadangan kredit bermasalah dimana saat ini objektifitas sangat ditekankan dalam penentuan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN).

Pada tahun 2013 terdapat 36 bank yang telah tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI). Meskipun tahapan ketiga untuk implementasi IFRS baru dimulai pada awal tahun 2012, dalam praktiknya sebagian besar perbankan yang telah terdaftar di BEI tersebut telah menerapkan IFRS lebih awal yaitu pada tahun 2010 sebanyak 29 bank, dan terdapat satu bank pada tahun 2011. Penerapan standar akuntansi ini diharapkan dapat menutup celah manajemen untuk melakukan perekayasaan laporan keuangannya karena konsep dari PSAK 50 dan 55 menuntut bank untuk menentukan cadangan berdasarkan data historis kerugian kredit yang sudah terjadi (incurred loss) dimana data yang dijadikan patokan harus berusia minimal 3 tahun. Sebelumnya, konsep penentuan cadangan menggunakan ekspektasi kerugian kredit (expectation loss) yang memungkinkan bank dapat menumpuk cadangan secara besar-besaran jika manajer Pada tahun 2013 terdapat 36 bank yang telah tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI). Meskipun tahapan ketiga untuk implementasi IFRS baru dimulai pada awal tahun 2012, dalam praktiknya sebagian besar perbankan yang telah terdaftar di BEI tersebut telah menerapkan IFRS lebih awal yaitu pada tahun 2010 sebanyak 29 bank, dan terdapat satu bank pada tahun 2011. Penerapan standar akuntansi ini diharapkan dapat menutup celah manajemen untuk melakukan perekayasaan laporan keuangannya karena konsep dari PSAK 50 dan 55 menuntut bank untuk menentukan cadangan berdasarkan data historis kerugian kredit yang sudah terjadi (incurred loss) dimana data yang dijadikan patokan harus berusia minimal 3 tahun. Sebelumnya, konsep penentuan cadangan menggunakan ekspektasi kerugian kredit (expectation loss) yang memungkinkan bank dapat menumpuk cadangan secara besar-besaran jika manajer

Penerapan IFRS sebagai standar global akan menghasilkan laporan keuangan yang memiliki tingkat kredibilitas tinggi. Barth et al. (2008) membuktikan bahwa negara yang telah mengadopsi IAS secara sukarela (voluntary) antara tahun 1994 dan 2003 memiliki tingkat manajemen laba yang lebih rendah, hasil yang sama juga dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan oleh Rudra dan Bhattacharjee (2011) pada sektor perbankan dan keuangan di India, dan Anggraita (2012) pada sektor perbankan di Indonesia. Demikian juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Rohaeni dan Aryati (2012) mengenai pengaruh konvergensi IFRS terhadap perataan laba pada perusahaan manufaktur di negara Indonesia, Singapura, dan Cina selama tahun 2006-2010 yang memberikan bukti bahwa konvergensi IFRS berpengaruh negatif terhadap perataan laba.

Namun hasil penelitian yang berbeda ditunjukkan oleh Goncharov dan Zimmerman (2006), Santy et al. (2013), Zhou et al. (2013), yang menyatakan bahwa adopsi IFRS ternyata tidak berpengaruh terhadap manajemen laba. Hal ini kemungkinan disebabkan karena IFRS belum tentu sepenuhnya sesuai apabila diimplementasikan di negara yang memiliki karakteristik yang berbeda dengan negara maju, sehingga implementasi dari penerapan standar ini belum dapat berjalan secara efektif sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Selain itu, manajemen laba merupakan perilaku yang rasional oleh seorang manajer untuk memperhatikan kepentingan dirinya sendiri, sehingga meskipun adopsi IFRS telah dilakukan, tidak menutup kemungkinan perilaku Namun hasil penelitian yang berbeda ditunjukkan oleh Goncharov dan Zimmerman (2006), Santy et al. (2013), Zhou et al. (2013), yang menyatakan bahwa adopsi IFRS ternyata tidak berpengaruh terhadap manajemen laba. Hal ini kemungkinan disebabkan karena IFRS belum tentu sepenuhnya sesuai apabila diimplementasikan di negara yang memiliki karakteristik yang berbeda dengan negara maju, sehingga implementasi dari penerapan standar ini belum dapat berjalan secara efektif sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Selain itu, manajemen laba merupakan perilaku yang rasional oleh seorang manajer untuk memperhatikan kepentingan dirinya sendiri, sehingga meskipun adopsi IFRS telah dilakukan, tidak menutup kemungkinan perilaku

Penelitian-penelitian lain mengenai dampak IFRS telah banyak dilakukan. Armstrong et al. (2008) melakukan penelitian mengenai reaksi pasar terhadap adopsi IFRS di Eropa. Penelitian ini telah memberikan bukti empiris bahwa IFRS telah membuat perusahaan-perusahaan lebih mudah untuk dibandingkan yang mana hal ini akan membuat alokasi modal menjadi efisien. Konsisten dengan penelitian ini, penelitian Daske et al. (2008, 2011) memberikan bukti bahwa adopsi IFRS baik secara wajib maupun sukarela telah menurunkan biaya modal. Loureiro dan Taboada (2012) yang telah melakukan pengujian pengaruh adopsi IFRS baik secara wajib maupun sukarela terhadap keinformatifan harga saham dengan sampel sebanyak 3.994 perusahaan di 30 negara, hasil penelitian ini membuktikan bahwa adopsi IFRS baik secara wajib maupun sukarela telah meningkatkan keinformatifan harga saham.

Perilaku perataan laba di Indonesia khususnya pada industri perbankan sebelum dan sesudah konvergensi IFRS merupakan hal penting untuk diteliti, karena penerapan PSAK 50 dan 55 pada industri perbankan belum dilakukan secara optimal mengingat PSAK ini merupakan standar akuntansi yang cukup kompleks, sehingga penerapannya pada industri ini membutuhkan biaya yang cukup besar karena membutuhkan investasi dalam hal teknologi informasi dan sumber daya manusia (Anggraita, 2012). Bertolak dari penjelasan dan penelitian-penelitian tersebut di atas, peneliti termotivasi untuk menguji perbedaan return dan risiko saham antara perbankan yang telah menerapkan IFRS dan perbankan yang belum menerapkan IFRS, serta perbedaan return dan risiko saham antara perbankan perata laba dan bukan perata laba sebelum dan sesudah konvergensi IFRS.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang dihadapi dapat dirumuskan sebagai berikut: apakah return saham perbankan yang telah menerapkan IFRS berbeda dengan return saham perbankan yang belum menerapkan IFRS?, apakah risiko saham perbankan yang telah menerapkan IFRS berbeda dengan risiko saham perbankan yang belum menerapkan IFRS?, apakah return saham perbankan perata laba yang telah menerapkan IFRS berbeda dengan return saham perbankan bukan perata laba yang telah menerapkan IFRS?, apakah return saham perbankan perata laba yang belum menerapkan IFRS berbeda dengan return saham perbankan bukan perata laba yang belum menerapkan IFRS?, apakah risiko saham perbankan perata laba yang telah Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang dihadapi dapat dirumuskan sebagai berikut: apakah return saham perbankan yang telah menerapkan IFRS berbeda dengan return saham perbankan yang belum menerapkan IFRS?, apakah risiko saham perbankan yang telah menerapkan IFRS berbeda dengan risiko saham perbankan yang belum menerapkan IFRS?, apakah return saham perbankan perata laba yang telah menerapkan IFRS berbeda dengan return saham perbankan bukan perata laba yang telah menerapkan IFRS?, apakah return saham perbankan perata laba yang belum menerapkan IFRS berbeda dengan return saham perbankan bukan perata laba yang belum menerapkan IFRS?, apakah risiko saham perbankan perata laba yang telah

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut: menguji secara empiris ada tidaknya perbedaan return saham antara perbankan yang telah menerapkan IFRS dan perbankan yang belum menerapkan IFRS, menguji secara empiris ada tidaknya perbedaan risiko saham antara perbankan yang telah menerapkan IFRS dan perbankan yang belum menerapkan IFRS, menguji secara empiris ada tidaknya perbedaan return saham antara perbankan perata laba yang telah menerapkan IFRS dan perbankan bukan perata laba yang telah menerapkan IFRS, menguji secara empiris ada tidaknya perbedaan return saham antara perbankan perata laba yang belum menerapkan IFRS dan perbankan bukan perata laba yang belum menerapkan IFRS, menguji secara empiris ada tidaknya perbedaan risiko saham antara perbankan perata laba yang telah menerapkan IFRS dan perbankan bukan perata laba yang telah menerapkan IFRS, menguji secara empiris ada tidaknya perbedaan risiko saham antara perbankan perata laba yang belum menerapkan IFRS dan perbankan bukan perata laba yang belum menerapkan IFRS, menguji secara empiris ada tidaknya perbedaan return saham antara perbankan perata laba yang telah menerapkan IFRS dan perbankan perata laba yang belum menerapkan IFRS, menguji secara empiris ada tidaknya perbedaan return saham antara perbankan bukan perata laba yang telah menerapkan IFRS dan perbankan bukan perata laba yang belum menerapkan IFRS, menguji secara empiris ada tidaknya perbedaan risiko saham antara perbankan perata laba yang telah menerapkan IFRS dan perbankan perata laba yang belum menerapkan IFRS, menguji secara empiris ada tidaknya perbedaan risiko saham antara perbankan Sesuai dengan rumusan masalah di atas, penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut: menguji secara empiris ada tidaknya perbedaan return saham antara perbankan yang telah menerapkan IFRS dan perbankan yang belum menerapkan IFRS, menguji secara empiris ada tidaknya perbedaan risiko saham antara perbankan yang telah menerapkan IFRS dan perbankan yang belum menerapkan IFRS, menguji secara empiris ada tidaknya perbedaan return saham antara perbankan perata laba yang telah menerapkan IFRS dan perbankan bukan perata laba yang telah menerapkan IFRS, menguji secara empiris ada tidaknya perbedaan return saham antara perbankan perata laba yang belum menerapkan IFRS dan perbankan bukan perata laba yang belum menerapkan IFRS, menguji secara empiris ada tidaknya perbedaan risiko saham antara perbankan perata laba yang telah menerapkan IFRS dan perbankan bukan perata laba yang telah menerapkan IFRS, menguji secara empiris ada tidaknya perbedaan risiko saham antara perbankan perata laba yang belum menerapkan IFRS dan perbankan bukan perata laba yang belum menerapkan IFRS, menguji secara empiris ada tidaknya perbedaan return saham antara perbankan perata laba yang telah menerapkan IFRS dan perbankan perata laba yang belum menerapkan IFRS, menguji secara empiris ada tidaknya perbedaan return saham antara perbankan bukan perata laba yang telah menerapkan IFRS dan perbankan bukan perata laba yang belum menerapkan IFRS, menguji secara empiris ada tidaknya perbedaan risiko saham antara perbankan perata laba yang telah menerapkan IFRS dan perbankan perata laba yang belum menerapkan IFRS, menguji secara empiris ada tidaknya perbedaan risiko saham antara perbankan

2. Kerangka Pemikiran Teoritis Dan Pengembangan Hipotesis

2.1. Return Dan Risiko Saham Perbankan Sebelum Dan Sesudah Konvergensi IFRS Hartono (2013), return merupakan hasil yang diperoleh dari investasi. Return

dapat berupa return realisasian yang telah terjadi (realized return) atau return ekspektasian (expected return) yang belum terjadi tetapi yang diharapkan akan terjadi di masa mendatang. Return realisasian dihitung menggunakan data historis. Return realisasian penting karena digunakan sebagai salah satu pengukur kinerja perusahaan. Dalam konsep investasi jika hanya mengkaji return saja tidaklah lengkap. Return dan risiko merupakan dua hal yang tidak terpisahkan. Risiko sering dihubungkan dengan penyimpangan atau deviasi dari outcome yang diterima dengan yang diekspektasi. Van Horne dan Wachowics, Jr (1992) mendefinisikan risiko sebagai variabilitas return terhadap return yang diharapkan. Risiko yang diukur dengan ukuran ini mengukur risiko dari seberapa besar nilai tiap-tiap item menyimpang dari rata-ratanya.

Adopsi standar akuntansi mengharuskan informasi menjadi berkualitas tinggi, transparan dan dapat diperbandingkan. Sulit untuk membandingkan informasi keuangan seluruh dunia tanpa seperangkat standar akuntansi dan pelaporan keuangan yang umum. Penggunaan seperangkat standar akuntansi berkualitas tinggi akan memberikan fasilitas investasi dan pengambilan keputusan ekonomis lainnya melewati lintas batas, meningkatkan efisiensi pasar, dan mengurangi biaya untuk peningkatan modal. IFRS semakin menjadi perangkat standar akuntansi yang diterima secara global yang memenuhi kebutuhan dunia, dengan semakin bertambahnya pasar modal global yang terintegrasi. PSAK 50 dan 55 merupakan penerapan IFRS pada laporan keuangan industri perbankan ditujukan agar industri ini menjadi lebih transparan dalam menyajikan laporan kinerjanya. Hal ini diharapkan agar industri perbankan semakin strategis dan menarik bagi investor karena mereka menjadi lebih mudah dalam memahami kinerja perbankan.

Penelitian terdahulu telah menemukan alasan bahwa perusahaan yang telah menerapkan IFRS akan mengalami kenaikan likuiditas pasar, menurunkan biaya modal, dan menaikkan penilaian ekuitas (Daske et al., 2008). Daske et al. (2011) menemukan bukti bahwa “serious” adopters IFRS akan memiliki dampak yang signifikan pada Penelitian terdahulu telah menemukan alasan bahwa perusahaan yang telah menerapkan IFRS akan mengalami kenaikan likuiditas pasar, menurunkan biaya modal, dan menaikkan penilaian ekuitas (Daske et al., 2008). Daske et al. (2011) menemukan bukti bahwa “serious” adopters IFRS akan memiliki dampak yang signifikan pada

Dari uraian di atas peneliti lebih menekankan pada teori dan hasil penelitian terdahulu. IFRS telah menghasilkan laporan keuangan yang lebih transparan karena pengungkapannya dilakukan lebih detail dan terperinci sehingga dapat membantu pengguna laporan keuangan untuk mendapatkan informasi yang lebih relevan. Kualitas laporan keuangan yang semakin baik ini akan direspon positif oleh para pengguna, khususnya para investor (Armstrong et al., 2008) karena mereka menjadi lebih mudah dalam memahami kinerja perusahaan dan diharapkan dapat memberi manfaat dalam mengestimasi tingkat return dan risiko investasi yang dilakukannya.

Kepercayaan nilai suatu saham oleh investor sangat dipengaruhi oleh kinerja perusahaan yang menerbitkan saham tersebut. Jika prospek suatu perusahaan publik dalam kondisi kuat dan baik, maka harga saham perusahaan tersebut diperkirakan akan merefleksikan kekuatannya (Puspitaningtyas, 2012). Kepercayaan investor ini sangat bermanfaat bagi perusahaan, karena semakin banyak investor yang percaya terhadap perusahaan, maka keinginan untuk berinvestasi pada perusahaan ini akan semakin kuat. Semakin banyak permintaan terhadap saham dari suatu perusahan maka dapat menaikkan harga saham tersebut, karena harga saham di bursa efek akan ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran (Anoraga dan Pakarti, 2001). Apabila harga saham yang tinggi dapat dipertahankan maka kepercayaan investor terhadap investor akan semakin tinggi (Zuliarni, 2012). Keadaan ini dapat menjanjikan tingkat pengembalian (return) yang lebih tinggi dan risiko saham lebih minimal karena realisasi outcome yang diterima tidak menyimpang dari outcome yang diharapkan.

Berdasarkan kerangka pemikiran teoritis yang tampak pada gambar 2.1, maka peneliti mengajukan hipotesis pertama dan kedua sebagai berikut:

H1: Return saham perbankan yang telah menerapkan IFRS lebih besar dibandingkan dengan return saham perbankan yang belum menerapkan IFRS.

H2: Risiko saham perbankan yang telah menerapkan IFRS lebih kecil dibandingkan dengan risiko saham perbankan yang belum menerapkan IFRS.

2.2. Perataan Laba, Return Dan Risiko Saham Perbankan Sebelum Dan Sesudah Konvergensi IFRS Konsep perataan laba mengasumsikan bahwa investor adalah orang yang menolak risiko (Fudenberg dan Tirole, 1995), sehingga investor lebih menyukai aliran laba yang stabil. Secara teoritis, perilaku investor demikian ini menyebabkan manajemen melakukan perataan laba. Perataan laba juga merupakan perilaku rasional yang dilakukan oleh manajer (agent), yaitu untuk lebih mementingkan kepentingan dirinya. Maka motivasi yang memengaruhi kebijakan manajer atas kebijakan yang diambilnya adalah untuk memaksimalkan kepentingannya, karena manajer percaya bahwa penilaian pasar mendasarkan pada angka akuntansi yang mereka hasilkan.

Michelson et al. (2000) memberikan bukti bahwa perusahaan yang melakukan perataan laba secara signifikan memiliki rata-rata kumulatif abnormal return yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang tidak melakukan perataan laba. Chen (2012) telah membuktikan bahwa perusahaan dengan kondisi perataan laba yang lebih, akan cenderung untuk memiliki return yang lebih pula. Martinez dan Castro (2011) membuktikan bahwa perusahaan perata laba memiliki tingkat risiko pasar lebih rendah dibanding perusahaan bukan perata laba, dan abnormal return perusahaan perata laba signifikan lebih tinggi daripada perusahaan bukan perata laba. Sementara itu penelitian yang dilakukan oleh Garizi et al. (2011) memberikan hasil bahwa tidak ditemukan adanya perbedaan rata-rata return antara perusahaan perata laba dan bukan perata laba.

Penerapan IFRS untuk laporan keuangan industri perbankan yaitu PSAK 50 dan

55 diharapkan akan menutup celah upaya para manajer untuk melakukan rekayasa laporan keuangan bank untuk tujuan tertentu sehingga bank harus melaporkan kondisi laporan posisi keuangan yang benar saat pelaporan. Rudra dan Bhattacharjee (2011) memberikan bukti bahwa setelah diperkenalkannya IFRS tingkat manajemen laba menjadi lebih rendah, hasil yang sama juga dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan Anggraita (2012). Barth et al. (2008) membuktikan bahwa perusahaan yang menggunakan standar akuntansi keuangan internasional menunjukkan tingkat perataan laba dan manajemen laba yang rendah, serta terdapat hubungan yang tinggi antara angka akuntansi dengan harga dan return saham. Demikian juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Rohaeni dan Aryati (2012), mengenai pengaruh konvergensi IFRS terhadap perataan laba.

Namun hasil penelitian yang berbeda ditunjukkan oleh Santy et al. (2013), Goncharov dan Zimmermann (2006), Zhou et al. (2013), yang menyatakan bahwa adopsi IFRS ternyata tidak berpengaruh terhadap manajemen laba, hal ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan karakteritik suatu negara yang belum tentu dapat diakomodasi oleh IFRS sehingga implementasi dari penerapan standar ini belum berjalan dengan baik.

Dari uraian di atas peneliti lebih menekankan pada teori dan hasil penelitian terdahulu. Investor yang menolak risiko lebih menyukai perusahaan dengan aliran laba yang stabil, karena mereka akan lebih mudah untuk memprediksi laba yang akan datang. Kondisi ini telah memotivasi manajer perusahaan untuk melakukan tindakan- tindakan yang membuat smooth aliran labanya (Fudenberg dan Tirole, 1995), selain itu perusahaan dengan aliran laba yang mempunyai variabilitas relatif rendah memiliki return saham yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang variabilitas labanya tinggi (Michelson et al., 2000; Chen, 2012).

IFRS merupakan standar yang berbasis prinsip, dalam prinsip ini diperlukan penggunaan professional judgment dari seorang ahli (Martani, 2014). Sesuai dengan teori agensi (Jensen dan Meckling, 1976) dimana manajer sebagai pihak pemegang informasi yang lebih banyak dibandingkan investor akan berpotensi untuk memaksimalkan utilitas-nya, sehingga penggunaan professional judgment ini akan dapat digunakan sebagai celah untuk membuat laporan keuangannya menjadi lebih baik (Armstrong, 2008) yang salah satunya melalui tindakan perataan laba. Salah satu tujuan yang ingin diperoleh manajer adalah untuk menjaga kelangsungan hidup perusahaannya agar dapat berjalan secara stabil, sehingga dapat menarik perhatian para investor untuk berinvestasi pada perusahaannya (Stolowy dan Breton, 2000). Aliran laba yang smooth ditangkap oleh manajer sebagai refleksi kondisi kinerja perusahaannya dalam keadaan kuat dan baik, sehingga hal ini dapat memicu kepercayaan para investor untuk berinvestasi pada perusahaannya. Semakin banyak permintaan terhadap saham perusahaannya, harga saham dari perusahaan itu akan terus meningkat.

Berdasarkan kerangka pemikiran teoritis yang tampak pada gambar 2.2, maka hipotesis ketiga sampai dengan keenam adalah sebagai berikut: H3: Return saham perbankan perata laba yang telah menerapkan IFRS lebih besar

dibandingkan dengan return saham perbankan bukan perata laba yang telah menerapkan IFRS.

H4: Return saham perbankan perata laba yang belum menerapkan IFRS lebih besar dibandingkan dengan return saham perbankan bukan perata laba yang belum menerapkan IFRS.

H5: Risiko saham perbankan perata laba yang telah menerapkan IFRS lebih kecil dibandingkan dengan risiko saham perbankan bukan perata laba yang telah menerapkan IFRS.

H6: Risiko saham perbankan perata laba yang belum menerapkan IFRS lebih kecil dibandingkan dengan risiko saham perbankan bukan perata laba yang belum menerapkan IFRS. Secara teori perekayasaan laporan keuangan tidak akan menjadi permasalahan

jika di dalamnya tidak ditumpangi dengan motif oportunistik dari seorang manajer (Beaver, 2000 dalam Bao dan Bao, 2004). Jika laba yang dihasilkan memang secara alami terjadi dan merefleksikan kinerja perusahaan, investor akan mempercayai bahwa laba ini merupakan laba yang berkualitas dan memiliki relevansi nilai informasi yang tinggi (Michelson et al., 2000). Informasi ini akan membuat para investor konsisten untuk tidak dengan mudah merevisi kepercayaannya. Keadaan ini akan bermanfaat dalam pergerakan harga dan risiko saham yang lebih stabil meskipun mereka telah menerapkan IFRS.

Berdasarkan kerangka pemikiran teoritis yang tampak pada gambar 2.2, maka hipotesis ketujuh sampai dengan kesepuluh adalah sebagai berikut: H7: Return saham perbankan perata laba yang telah menerapkan IFRS tidak berbeda dengan return saham perbankan perata laba yang belum menerapkan IFRS. H8: Return saham perbankan bukan perata laba yang telah menerapkan IFRS tidak berbeda dengan return saham perbankan bukan perata laba yang belum menerapkan IFRS. H9: Risiko saham perbankan perata laba yang telah menerapkan IFRS tidak berbeda dengan risiko saham perbankan perata laba yang belum menerapkan IFRS. H10: Risiko saham perbankan bukan perata laba yang telah menerapkan IFRS tidak berbeda dengan risiko saham perbankan bukan perata laba yang belum menerapkan IFRS.

3. Metode Penelitian

3.1. Objek Penelitian Return dan risiko saham perbankan yang telah menerapkan IFRS dan perbankan

yang belum menerapkan IFRS, return dan risiko saham perbankan perata laba dan bukan perata laba yang telah menerapkan IFRS dan belum menerapkan IFRS.

3.2. Metode Pengambilan Sampel Menggunakan metode purposive sampling guna memeroleh sampel perbankan

yang dapat merepresentasikan periode cut point sebelum dan sesudah konvergensi IFRS, berdasarkan kriteria sebagai berikut: perbankan tercatat di BEI pada tahun 2007- 2012, menerapkan IFRS (PSAK 50 dan 55) di tahun 2010, dan memiliki data lengkap untuk keperluan penelitian.

3.3. Jenis dan Sumber Data Data sekunder diperoleh dari directory Bursa Efek Indonesia (www.idx.co.id) dan

finance.yahoo.com, berupa data akuntansi dan data saham. Data akuntansi meliputi pendapatan dan laba bersih setelah pajak, data saham berupa return saham.

3.4. Operasional Variabel Untuk menguji H1- H10, terdapat variabel: status yang telah menerapkan IFRS dan

belum menerapkan IFRS, status perata laba dan bukan perata laba, return saham dan risiko saham. Operasionalisasi dari variabel-variabel tersebut sebagai berikut:

1. Variabel status telah menerapkan IFRS dan belum menerapkan IFRS: dilihat dari pengadopsian PSAK 50 (Penyajian Instrumen Keuangan) dan PSAK 55 (Pengakuan dan Pengukuran Instrumen Keuangan) yang terdapat pada Laporan Keuangan Auditan pada bagian Ikhtisar Kebijakan Akuntansi atau dapat juga dilihat pada Laporan Auditor Independen, seperti penelitian yang dilakukan oleh Anggraita (2012).

2. Variabel status perata laba dan bukan perata laba: diklasifikasikan menggunakan indeks Eckel (1981) sesuai dengan penelitian Michelson et al. (2000), Bao dan Bao (2004), Garizi et al. (2011), Martinez dan Castro (2011) sebagai berikut:

CV ∆I

Indeks Eckel = CV

∆S

Dimana: ∆I= perubahan laba dalam satu periode. ∆S= perubahan pendapatan dalam satu periode. CV = koefisien variasi dari variabel pada perusahaan, yaitu standar deviasi (σ) dibagi dengan nilai yang diharapkan (μ). Dalam hal ini nilai yang diharapkan menggunakan nilai rata-rata. Indeks < 1: Perataan laba dan Dimana: ∆I= perubahan laba dalam satu periode. ∆S= perubahan pendapatan dalam satu periode. CV = koefisien variasi dari variabel pada perusahaan, yaitu standar deviasi (σ) dibagi dengan nilai yang diharapkan (μ). Dalam hal ini nilai yang diharapkan menggunakan nilai rata-rata. Indeks < 1: Perataan laba dan

3. Variabel return saham: Metode yang digunakan adalah return total (total return/ TR). Hartono (2013), return total terdiri dari capital gain (loss) dan yield. Data harga saham yang digunakan untuk penelitian ini adalah harga aktivitas perdagangan bulanan bukan harga aktivitas perdagangan harian (seperti halnya penelitian Michelson et al., 2000), dengan pertimbangan: harga saham harian normalitasnya lebih menyimpang dibandingkan harga saham bulanan (Fama, 1976 dalam Brown dan Warner, 1985) dan perdagangan saham di Indonesia masih tergolong jarang (kurang aktif). Berdasarkan uraian di atas, return total (TR) dirumuskan:

Pt −Pt−1 + Dt

Dimana: Dt = dividen pada periode t. Pt = harga saham pada akhir periode. Pt-

1 = harga saham pada awal periode

4. Variabel risiko saham: Untuk menghitung risiko, metode yang banyak digunakan adalah deviasi standar (standard deviation) yang mengukur absolut penyimpangan nilai-nilai yang sudah terjadi dengan nilai ekspektasinya (Hartono, 2013). Deviasi standar dapat dirumuskan:

SD = �{ n } Dimana: SD = deviasi standar. xi = return saham tertentu pada masing-masing

(xi −x) 2

bulan. x = nilai rata-rata saham tertentu selama periode penelitian. n= jumlah dari observasi data historis untuk sampel besar dengan n (paling sedikit 30 observasi) dan untuk sampel kecil digunakan (n-1).

3.5. Teknik Analisis Data Data penelitian dianalisis menggunakan statistik deskriptif dan uji statistik untuk

pengujian hipotesis. Sebelum dilakukan pengujian hipotesis menggunakan t-tes sampel independen (independent-sample t-test) dengan software statistik SPSS, dilakukan uji kesamaan varian (homogenitas) dengan F test (Levene’s Test).

4. Hasil Penelitian Dan Pembahasan

Penelitian ini dilakukan di BEI, populasi berupa perusahaan perbankan yang terdaftar hingga tahun 2012. Dari sejumlah 32 bank sebagai populasi, diperoleh sampel sebanyak 18 bank untuk pengujian H1 dan H2, dan 14 bank untuk pengujian H3 sampai dengan H10. Hasil penelitian pada bagian ini, akan dipaparkan dalam 2 bagian, yaitu: hasil statistik deskriptif yang menyajikan profil data penelitian, dan statistik induktif (inferensi) yang menyajikan hasil pengujian hipotesis.

4.1. Profil Data Penelitian Profil data penelitian diperoleh dari hasil analisis data melalui pengolahan statistik

deskriptif. Data-data penelitian yang akan disajikan pada profil ini mengacu pada variabel-variabel penelitian yang ada, yaitu variabel return saham dan risiko saham. Pada H1 sampai dengan H10, terdapat variabel: setelah menerapkan IFRS, sebelum menerapkan IFRS, perata laba dan bukan perata laba setelah menerapkan IFRS, serta perata laba dan bukan perata laba sebelum IFRS. Variabel-variabel penelitian tersebut merupakan variabel kategorikal sehingga tidak diikutkan pada pengolahan statistik deskriptif.

a. Profil Variabel Return Saham Hasil pengolahan data statistik deskriptif yang menunjukkan data penelitian variabel return saham untuk H1 (masing-masing bank) disajikan pada tabel 4.1, yang kemudian secara keseluruhan nilai-nilai tersebut ditampilkan pada tabel 4.2. Hasil pengolahan data statistik deskriptif variabel return saham untuk pengujian H3, H4, H7, H8 (masing-masing bank) disajikan pada tabel 4.3, yang kemudian secara keseluruhan nilai-nilai tersebut dapat ditampilkan pada tabel 4.4.

b. Profil Variabel Risiko Saham Hasil pengolahan data statistik deskriptif yang menunjukkan data penelitian variabel risiko saham untuk H2 (masing-masing bank) disajikan pada tabel 4.5, yang kemudian secara keseluruhan nilai tersebut ditampilkan pada tabel 4.6. Hasil pengolahan data statistik deskriptif variabel risiko saham untuk pengujian H5, H6, H9, H10 (masing-masing bank) disajikan pada tabel 4.7, yang kemudian secara keseluruhan nilai-nilai tersebut dapat ditampilkan pada tabel 4.8.

Profil variabel return dan risiko saham tersebut secara ringkas disajikan pada tabel

4.2. Hasil Pengujian Hipotesis dan Pembasan Ringkasan hasil pengujian hipotesis disajikan pada tabel 4.10. Pembahasan masing-

masing hipotesis disampaikan sebagai berikut: Hipotesis pertama ditolak, sehingga return saham antara perbankan yang telah menerapkan IFRS tidak berbeda dengan return saham perbankan yang belum menerapkan IFRS. Terjadinya pergerakan harga saham tidak lepas dari hasil publikasi laporan keuangan, hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Barth et al . (2008) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang tinggi antara angka akuntansi dengan harga saham dan return saham. Jika return saham antara perbankan yang telah menerapkan IFRS tidak berbeda dengan return saham perbankan yang belum menerapkan IFRS, hal ini menunjukkan bahwa pada periode tersebut angka akuntansi yang tampak pada laporan keuangan yang merefleksikan fundamental/ kinerja perusahaan tidak mengalami perubahan, sehingga hasil analisis yang dilakukan oleh investor pun juga tidak mengalami perubahan, akibatnya permintaan saham pada periode ini tidak mengalami perbedaan. Keadaan ini membuat harga saham perusahaan tersebut tidak mengalami perubahan, sehingga return sahamnya pun tidak mengalami perbedaan.

Hipotesis kedua diterima, yaitu risiko saham perbankan yang telah menerapkan IFRS lebih kecil dibandingkan dengan risiko saham perbankan yang belum menerapkan IFRS. IFRS mensyaratkan pengungkapan informasi (disclosure) yang lebih detail dan terperinci. Kondisi yang transparan ini membuat para investor lebih mudah menganalisis kinerja perusahaan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Armstrong et al. (2008). Prestasi keuangan perusahaan yang tertuang pada laporan keuangan, dapat membantu para investor untuk memahami kekuatan, kelemahan dan perkembangan perusahaan tersebut. Seiring dengan meningkatnya kredibilitas laporan keuangan, perusahaan-perusahaan yang telah menerapkan IFRS lebih mudah untuk dibandingkan (Daske et al., 2008). Hal ini membuat para investor tidak mudah terpicu oleh isu yang dapat memengaruhi perubahan harga saham suatu perusahaan. Kondisi yang lebih kondusif ini akan dapat meredam fluktuasi harga sekuritas, sehingga hal ini dapat membuat kemungkinan risiko saham menjadi lebih kecil.

Hipotesis ketiga ditolak, sehingga return saham perbankan perata laba yang telah menerapkan IFRS tidak berbeda dengan return saham perbankan bukan perata laba yang telah menerapkan IFRS. Hal ini menunjukkan laporan keuangan yang dihasilkan oleh IFRS memiliki relevansi nilai informasi akuntansi yang lebih tinggi sebagaimana Hipotesis ketiga ditolak, sehingga return saham perbankan perata laba yang telah menerapkan IFRS tidak berbeda dengan return saham perbankan bukan perata laba yang telah menerapkan IFRS. Hal ini menunjukkan laporan keuangan yang dihasilkan oleh IFRS memiliki relevansi nilai informasi akuntansi yang lebih tinggi sebagaimana

Hipotesis keempat ditolak, sehingga return saham perbankan perata laba yang belum menerapkan IFRS tidak berbeda dengan return saham perbankan bukan perata laba yang belum menerapkan IFRS. Hal ini menunjukkan laporan keuangan yang dihasilkan oleh perusahaan yang belum menerapkan IFRS memiliki kapasitas pengungkapan informasi yang kurang baik sebagaimana yang disampaikan oleh Armstrong et al. (2008), sehingga belum dapat membantu para penggunanya untuk mendapatkan informasi yang relevan. Informasi yang dimanipulasi yang salah satunya melalui tindakan perataan laba akan membuat mislead para penggunanya dan akan mempersulit mereka dalam melakukan analisa laporan keuangan (Beidleman, 1973 dalam Garizi et al., 2011). Dalam keadaan ini investor dapat beranggapan bahwa laporan keuangan yang disajikan oleh perusahaan perata laba memiliki kualitas yang sama dengan perusahaan bukan perata laba. Secara otomatis anggapan ini akan memengaruhi keputusan mereka dalam berinvestasi. Hal ini mengakibatkan permintaan saham akan perusahaan tersebut tidak mengalami perbedaan dengan perusahaan bukan perata laba, sehingga harga saham kedua jenis perusahaan inipun tidak mengalami pergerakan yang berbeda.

Hipotesis kelima ditolak, sehingga risiko saham perbankan perata laba yang telah menerapkan IFRS tidak berbeda dengan risiko saham perbankan bukan perata laba yang telah menerapkan IFRS. Penyajian dan pengungkapan laporan keuangan berbasis IFRS yang berkredibilitas tinggi karena sarat akan transparansi sangat membantu para investor untuk lebih mudah membandingkan kualitas kinerja antara perusahaan satu dan Hipotesis kelima ditolak, sehingga risiko saham perbankan perata laba yang telah menerapkan IFRS tidak berbeda dengan risiko saham perbankan bukan perata laba yang telah menerapkan IFRS. Penyajian dan pengungkapan laporan keuangan berbasis IFRS yang berkredibilitas tinggi karena sarat akan transparansi sangat membantu para investor untuk lebih mudah membandingkan kualitas kinerja antara perusahaan satu dan

Hipotesis keenam ditolak, sehingga risiko saham perbankan perata laba yang belum menerapkan IFRS lebih besar dibandingkan dengan perbankan bukan perata laba yang belum menerapkan IFRS. Hal ini menunjukkan bahwa laba yang dilaporkan oleh perusahaan perata laba memiliki relevansi nilai informasi yang lebih rendah karena laba tersebut berkualitas yang rendah seperti yang disampaikan Michelson et al. (1995) dalam Bao dan Bao (2004). Terlebih perusahaan perata laba tersebut belum menerapkan IFRS, akan menimbulkan kemungkinan bahwa laba yang dilaporkan benar-benar memiliki kualitas yang rendah sehingga tidak dapat memberikan jaminan akan kualitas nilai perusahaan. Selain itu penyajian dan pengungkapan laporan keuangan yang belum dilakukan secara detail dan terperinci, akan menyebabkan kurangnya transparansi dari laporan keuangan sehingga para investor akan sulit untuk memahami kinerja perusahaan. Hal ini akan semakin membuat bias keputusan berinvestasi para investor, sehingga akan membuat investor lebih mudah untuk merevisi kepercayaannya, akibatnya keputusan untuk membeli atau menjual saham akan dengan mudah mereka lakukan. Kondisi ini akan membuat harga saham menjadi fluktuatif, sehingga risiko saham perusahan perata laba yang belum menerapkan IFRS akan berpotensi lebih besar dibandingkan dengan perusahaan bukan perata laba yang belum menerapkan IFRS.

Hipotesis ketujuh diterima, yaitu return saham perbankan perata laba yang telah menerapkan IFRS tidak berbeda dengan return saham perbankan perata laba yang belum menerapkan IFRS. Secara teori perekayasaan laporan keuangan tidak akan menjadi permasalahan jika di dalamnya tidak ditumpangi dengan motif oportunistik dari seorang manajer seperti halnya penelitian yang dilakukan oleh Beaver (2000) dalam Bao dan Bao (2004). Jika laba yang dihasilkan memang secara alami terjadi dan merefleksikan kinerja perusahaan, investor akan mempercayai bahwa laba ini Hipotesis ketujuh diterima, yaitu return saham perbankan perata laba yang telah menerapkan IFRS tidak berbeda dengan return saham perbankan perata laba yang belum menerapkan IFRS. Secara teori perekayasaan laporan keuangan tidak akan menjadi permasalahan jika di dalamnya tidak ditumpangi dengan motif oportunistik dari seorang manajer seperti halnya penelitian yang dilakukan oleh Beaver (2000) dalam Bao dan Bao (2004). Jika laba yang dihasilkan memang secara alami terjadi dan merefleksikan kinerja perusahaan, investor akan mempercayai bahwa laba ini

Hipotesis kedelapan diterima, yaitu return saham perbankan bukan perata laba yang telah menerapkan IFRS tidak berbeda dengan return saham perbankan bukan perata laba yang belum menerapkan IFRS. Sejalan dengan penelitian Bao dan Bao (2004), yaitu perusahaan dengan variabilitas laba yang rendah belum tentu dapat memberikan jaminan bahwa perusahaan tersebut memiliki nilai perusahaan yang lebih (Beaver, 2002), dan laba yang dilaporkan oleh perusahaan ini akan memiliki relevansi nilai yang rendah akibat dari rendahnya kualitas laba tersebut (Michelson et al., 1995), perusahaan bukan perata laba yang cenderung menghasilkan aliran laba dengan variabilitas yang lebih tinggi dimungkinkan lebih dapat mencerminkan kualitas kinerja perusahaan sehingga laba yang dilaporkan oleh perusahaan ini lebih memiliki relevansi nilai. Pelaporan laba oleh perusahaan bukan perata laba yang dilakukan secara apa adanya ini, menyebabkan investor memberikan apresiasi tersendiri terhadap perusahaan tersebut. Konsistensi kepercayaan investor terhadap perusahaan bukan perata laba membuat mereka menjadi tidak mudah terpicu untuk mengubah keputusan investasi mereka, akibatnya harga saham dari perusahaan ini tidak mengalami perubahan meskipun IFRS telah diterapkan.

Hipotesis kesembilan ditolak, sehingga risiko saham perbankan perata laba yang telah menerapkan IFRS lebih kecil dibandingkan dengan risiko saham perbankan perata laba yang belum menerapkan IFRS. Laporan keuangan yang lebih berkualitas yang dihasilkan perusahaan yang telah menerapkan IFRS (Armstrong et al., 2008) dapat dipastikan akan menghasilan informasi laba yang juga berkualitas lebih sehingga informasi tersebut akan memberikan relevansi nilai bagi para investor sebagaimana penelitian yang telah dilakukan Barth et al. (2008). Selain itu dengan adanya

transparansi pada laporan keuangan, akan membantu para investor untuk lebih mudah memahami bagaimana kinerja suatu perusahaan dan perusaahan tersebut akan semakin mudah untuk dibandingkan dengan perusahaan lainnya (Daske et al., 2008). Dengan adanya IFRS investor tidak akan mudah dibodohi (fooled) karena mereka akan melakukan analisis lebih lanjut untuk menentukan apakah perusahaan tersebut merupakan perusahaan yang tepat untuk keputusan investasinya. Pelaporan laba dengan variabilitas rendah dan memiliki kualitas lebih ini membuat investor semakin yakin akan kualitas kinerja perusahaan karena perataan natural (natural smoothing) kemungkinan bisa terjadi pada perusahaan yang menerapkan IFRS. Keadaan ini akan membuat investor semakin optimis terhadap perusahaan yang telah menerapkan standar ini, sehingga mereka tidak akan mudah untuk merevisi kepercayaannya pada perusahaan ini, akibatnya mereka akan lebih berhati-hati dalam memperlakukan saham yang dimilikinya. Dengan adanya kehati-hatian ini perubahan-perubahan dalam harga saham akan dapat dikendalikan sehingga harga saham tersebut tidak berfluktuasi, yang mana hal ini akan serta merta memperkecil kemungkinan risiko saham pada perusahaan ini.

Hipotesis kesepuluh diterima, yaitu risiko saham perbankan bukan perata laba yang telah menerapkan IFRS tidak berbeda dengan risiko saham perbankan bukan perata laba yang belum menerapkan IFRS. Beberapa penelitian menyatakan bahwa aliran laba dengan variabilitas tinggi merupakan karakter dari perusahaan bukan perata laba sebagai akibat dari pelaporan laba yang dilakukan tanpa adanya unsur rekayasa. Beaver (2002) dalam Bao dan Bao (2004) menyatakan bahwa perusahaan dengan variabilitas laba yang rendah belum tentu dapat memberikan jaminan bahwa perusahaan tersebut memiliki nilai perusahaan yang lebih. Di sini dapat dijelaskan bahwa laporan laba yang berkualitaslah yang dapat memengaruhi pertimbangan investor untuk berinvestasi. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Lang et al. (2003), Leuz et al. (2003), Lang et. al (2005) dalam Barth et al. (2008) yang menyatakan bahwa laba yang lebih berkualitas adalah laba yang memiliki relevansi nilai yang lebih. Dalam hal ini laporan laba yang memiliki variabilitas tinggi yang dimiliki oleh perusahaan bukan perata laba, oleh investor dianggap lebih berkualitas karena mencerminkan kualitas kinerja perusahaan yang sebenarnya. Interprestasi investor ini tidak menyebabkan perubahan keputusan berinvestasinya pada perusahaan ini meskipun perusahaan telah menerapkan IFRS, sehingga perubahan harga saham tidak terjadi, akibatnya risiko saham perusahaan ini tidak berbeda dengan kondisi pada saat belum diterapkannya IFRS.

5. Kesimpulan, Keterbatasan, Dan Saran

5.1. Kesimpulan Return saham antara perbankan yang telah menerapkan IFRS tidak berbeda dengan

return saham perbankan yang belum menerapkan IFRS, namun risiko saham perbankan yang telah menerapkan IFRS lebih kecil dibandingkan dengan risiko saham perbankan yang belum menerapkan IFRS. Setelah kedua kelompok perbankan tersebut diklasifikasikan kembali menjadi empat kelompok: perata laba yang telah menerapkan IFRS, bukan perata laba yang telah menerapkan IFRS, perata laba yang belum menerapkan IFRS, dan bukan perata laba yang belum menerapkan IFRS. Hasil pengujian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan return saham, namun risiko saham perbankan perata laba yang telah menerapkan IFRS lebih kecil dibandingkan dengan risiko saham perbankan perata laba yang belum menerapkan IFRS. Pelaporan laba dengan variabilitas rendah dan memiliki kualitas lebih telah membuat investor semakin yakin akan kualitas kinerja dari perusahaan ini.

5.2. Keterbatasan

1. Sampel penelitian ini menggunakan data dari perbankan yang tercatat di BEI pada tahun 2007-2012, dimana cut point periode penerapan IFRS terdapat pada tahun 2010. Seperti kita ketahui tahapan ketiga dari adopsi IFRS yang dilakukan DSAK yaitu tahap implementasi secara mandatory baru dilaksanakan pada 1 Januari 2012, sehingga dimungkinkan perbankan yang telah menerapkan IFRS lebih awal tersebut belum secara optimal dalam mengaplikasikan kriteria standar yang terdapat dalam IFRS. Disamping itu, karena sampel penelitian adalah industri perbankan, dimungkinkan investor memiliki kriteria tersendiri dalam keputusan berinvestasinya dalam industri ini.