MakroEkonomi Analisis Berita 2 Muhamad N

Tekanan Rupiah Mereda dan Revaluasi Aset

Oleh : A TONY PRASETIANTONO Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM Kompas, 26 Oktober 2015 Setelah tertekan hingga Rp 14.700 per dollar AS, rupiah mengalami apresiasi secara cepat

hingga Rp 13.400 per dollar AS. Namun, akhirnya rupiah mulai stabil di level Rp 13.600 per dollar AS pada akhir pekan lalu. Apa yang terjadi?

Yang terjadi, Amerika Serikat mulai menuai dampak negatif yang disebabkan penguatan dollar AS. Buktinya, daya serap tenaga kerja oleh sektor-sektor di luar pertanian menurun drastis menjadi hanya 140.000 orang. Sebelumnya, daya serap itu hingga 200.000-300.000 orang setiap bulan.

Investor global rupanya mulai menyadari, dollar AS tidak mungkin terus-menerus menguat. Suatu saat, pada titik tertentu, penguatan dollar AS akan berhenti sehingga terjadi koreksi. Namun, kita sulit mengukur kapan peristiwa itu akan terjadi.

Ternyata tidak perlu menunggu terlalu lama “gelembung” dollar AS mulai menemukan titik jenuh. Ketika dollar AS menjadi terlalu mahal (overvalued), harga produk-produk AS menjadi

mahal, daya saing pun turun. Hal ini tecermin dari proyeksi pertumbuhan ekonomi AS yang mulai menurun dari semula 3 persen menjadi 2,5 persen. Penguatan dollar AS mulai menuai dampak negatif. Inilah peristiwa yang biasa dalam perekonomian: tidak ada yang abadi, tidak ada fenomena yang selalu membawa dampak positif.

Itulah sebabnya, bank sentral AS, The Fed, belum juga berani menaikkan suku bunga acuan. Di satu pihak, kenaikan suku bunga diperlukan agar likuiditas tidak berlebihan. Sebelumnya, The Fed sudah memompa likuiditas selama quantitative easing (2009-2013) sehingga perlu disedot kembali melalui kenaikan suku bunga. Likuiditas global yang besar memberi peluang tindak spekulasi. Namun, jika suku bunga dinaikkan, kurs dollar AS bakal meningkat sehingga perekonomian AS rugi.

The Fed terjepit di tengah dilema ini: menaikkan suku bunga salah, tetapi jika tidak menaikkan juga salah. Sementara itu, tren positif data tenaga kerja tidak berlanjut. Kurs dollar AS akhirnya terkoreksi melemah. Rupiah pun menguat. Terlebih lagi pemerintah sudah meluncurkan berbagai paket deregulasi.

Kendati secara umum deregulasi berdimensi jangka menengah dan panjang, semangat reformasi mulai “dibeli” pasar. Pasar mendeteksi perbaikan iklim investasi dan berusaha di Indonesia. Berbisnis di Indonesia menjadi lebih mudah, birokrasi lebih ramah, sehingga gairah investasi akan meningkat. Inilah bekal penguatan rupiah dari sisi internal (domestik).

Di tengah momentum positif ini, pemerintah kembali mengeluarkan paket deregulasi V, meliputi insentif pajak bagi revaluasi aset, penghindaran pajak berganda bagi kontrak investasi kolektif real estate, serta relaksasi aturan perbankan syariah. Revaluasi aset adalah isu yang sudah lama menjadi wacana, tetapi terbentur ketentuan pajak yang relatif tinggi.

Revaluasi aset adalah langkah korporasi untuk menilai kembali aset-aset perusahaan. Tujuannya, memperoleh angka (nilai) yang lebih realistis, obyektif, dan terkini terhadap aset milik perusahaan. Dengan nilai terbaru, sebuah perusahaan akan memiliki nilai aset lebih besar. Konsekuensinya, perusahaan bisa meminjam kredit lebih banyak dari bank untuk membiayai aksi korporasi. Pada gilirannya, hal itu dapat menaikkan penyerapan kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Di sisi lain, nilai aset yang meningkat membawa konsekuensi tambahan kekayaan, yang menimbulkan penarikan Pajak Penghasilan sebesar 10 persen. Inilah faktor yang selama ini menghambat perusahaan karena beban pajak terlalu besar.

Melalui deregulasi kali ini, insentif pajak diberikan, yakni pajak hanya 3 persen jika revaluasi diajukan sebelum akhir tahun ini, 4 persen jika dilakukan pada semester I-2016, dan 6 persen jika diajukan pada semester II-2016.

Menurut saya, skema ini masih kurang realistis dan agresif. Saya tidak yakin bakal ada perusahaan yang siap merevaluasi aset pada akhir tahun ini. Sekarang sudah akhir Oktober 2015, mungkinkah korporasi punya waktu melakukan revaluasi atau setidaknya mengajukannya dalam 1,5 bulan ini? Korporasi biasanya sudah mulai menghentikan kegiatan pada pertengahan Desember.

Dua bulan terakhir pada 2015 anggap saja masa sosialisasi. Biarlah korporasi memahami dulu aturan ini, baru mulai melakukannya pada Januari 2016. Oleh karena itu, insentif yang menarik hendaknya diberikan hingga semester I-2016, kemudian 4 persen pada semester II- 2016. Ke depan, insentif masih perlu diberikan. Pajak tidak usah ditetapkan 10 persen, tetapi perlu lebih rendah, misalnya 7 persen. Jika korporasi antusias, bukan saja pertumbuhan ekonomi akan meningkat, melainkan perolehan pajak juga akan kian membesar.

Kebijakan insentif revaluasi aset ini, sekali lagi, menunjukkan pemerintah ingin segera membenahi segala sesuatu secara cepat. Di satu pihak, saya bisa mengerti, pemerintah harus melakukan banyak hal secara cepat. Sebab, tekanan publik juga menghendaki semua perbaikan dilakukan dengan segera. Akan tetapi, di sisi lain, kita harus sadar, tidak ada solusi yang instan. Semuanya perlu waktu, semuanya berproses, sehingga harus agak sabar.

Pemerintahan Presiden Joko Widodo harus belajar dari pengalaman sebelumnya. Kementerian Perdagangan pernah menargetkan peningkatan ekspor 300 persen yang kemudian dikritik banyak pengamat.

Ada juga target kenaikan penerimaan pajak 30 persen dalam setahun, yang sudah pasti tak tercapai di tengah pelambatan pertumbuhan ekonomi. Kasus serupa kini terulang lagi dalam deregulasi revaluasi aset meskipun tidak sebegitu parah.

Sumber:

http://kolompakar.blogspot.co.id/2015/12/tekanan-rupiah-mereda-dan-revaluasi-aset.html

Ringkasan:

1. Rupiah mengalami apresiasi secara cepat hingga Rp 13.400 per dollar AS. Namun, akhirnya rupiah mulai stabil di level Rp 13.600 per dollar AS pada akhir pekan lalu.

2. Amerika Serikat mulai menuai dampak negatif yang disebabkan penguatan dollar AS.Dollar AS tidak mungkin terus-menerus menguat. Suatu saat, pada titik tertentu, penguatan dollar AS akan berhenti sehingga terjadi koreksi. Namun, kita sulit mengukur kapan peristiwa itu akan terjadi.

3. Ketika dollar AS menjadi terlalu mahal (overvalued), harga produk-produk AS menjadi mahal, daya saing pun turun jika dibandingkan dengan harga produk-produk negara lain.

4. Bank sentral AS, The Fed, belum juga berani menaikkan suku bunga acuan. Di satu pihak, kenaikan suku bunga diperlukan agar likuiditas tidak berlebihan. Likuiditas global yang besar memberi peluang tindak spekulasi. Namun, jika suku bunga dinaikkan, kurs dollar AS bakal meningkat sehingga perekonomian AS rugi.

5. Kurs dollar AS akhirnya terkoreksi melemah. Rupiah pun menguat. Terlebih lagi pemerintah sudah meluncurkan berbagai paket deregulasi.Pasar mendeteksi perbaikan iklim investasi dan berusaha di Indonesia. Berbisnis di Indonesia menjadi lebih mudah, birokrasi lebih ramah, sehingga gairah investasi akan meningkat.

6. Pemerintah kembali mengeluarkan paket deregulasi V, meliputi insentif pajak bagi revaluasi aset, penghindaran pajak berganda bagi kontrak investasi kolektif real estate, serta relaksasi aturan perbankan syariah.

7. Revaluasi aset adalah langkah korporasi untuk menilai kembali aset-aset perusahaan. Tujuannya, memperoleh angka (nilai) yang lebih realistis, obyektif, dan terkini terhadap aset milik perusahaan.

8. Nilai aset yang meningkat membawa konsekuensi tambahan kekayaan, yang menimbulkan penarikan Pajak Penghasilan sebesar 10 persen. insentif pajak 3 persen jika revaluasi diajukan sebelum akhir tahun ini, 4 persen jika dilakukan pada semester I-2016, dan 6 persen jika diajukan pada semester II-2016. Jangka waktu yang diberikan pemerintah dianggap terlalu cepat oleh pengamat.

9. Pemerintah ingin segera membenahi segala sesuatu secara cepat. Akan tetapi tidak ada solusi yang instan. Oleh karena itu Pemerintahan Presiden Joko Widodo harus belajar dari pengalaman sebelumnya.

Komentar:

1. Dollar AS mengalami penurunan nilai sehingga nilai rupiah menguat. Dollar mengalami penurunan untuk mengimbangi nilai barang ekspor yang akan dijual oleh AS semakin mahal dibanding produk dari Negara lain sehingga penurunan ini diharapkan agar ekspor AS tetap mampu bersaing. Bagi Indonesia, momentum penurunan nilai Dollar dapat membantu meringankan biaya produksi perusahaan dalam negeri karena banyak sumber daya yang masih diperoleh melalui impor dari luar negeri yang notabene menggunakan mata uang Dollar AS.

2. The Fed lebih baik menunda untuk menaikkan suku bunga acuan agar perekonomian dalam AS tidak merugi dan juga agar perekonomian Indonesia lebih stabil.

3. Berinvestasi dan melakukan kegiatan usaha di Indonesia semakin menguntungkan, karena selain biaya produksi yang berkurang, pemerintah juga melakukan upaya perbaikan birokrasi melalui deregulasi V sehingga semakin memudahkan pelaku usaha yang nantinya akan meningkatkan PDB Indonesia.

4. Revaluasi Aset merupakan salah satu poin dari deregulasi V, revaluasi asset dilakukan untuk mengetahui nilai terkini dari seluruh asset yang dimiliki perusahaan karena nilai asset sebelumnya belum terkoreksi oleh inflasi ataupun hal-hal terkait lainnya. Namun, revaluasi asset ini akan meningkatkan pajak yang akan dibebankan karena nilai asset yang tampak meningkat, sehingga perusahaan enggan merevaluasi asset dan tetap melakukan penghitungan asset dengan metode cost. Pemerintah menyiasati hal ini dengan Insentif pajak , namun tanggal batas pelaporan yang dilakukan pemerintah dianggap terlalu cepat, sehingga lebih baik waktunya diperpanjang seperti pendapat penulis.

5. Sulit untuk melakukan Revaluasi asset secara instan, pemerintah seharusnya lebih memperhatikan kemampuan perusahaan untuk melakukan hal tersebut, apalagi pada akhir tahun ini bertepatan dengan MEA sehingga perusahaan harus melakukan penyesuaian juga terhadap hal tersebut.

Alasan Memilih Artikel ini:

Ekonomi Indonesia sempat mengalami tekanan pada saat dollar AS kuat,sehingga momentum penurunan ini menjadi hal yang menarik untuk dibahas. Revaluasi asset juga merupakan bahasan yang cukup menarik karena hal ini berkaitan dengan harga pasaran yang memang selalu berubah sehingga selalu ditemukan antara nilai cost dan fair value asset tersebut.

Screenshoot:

Topik : Perbaikan Perekonomian Indonesia

Nama : Muhamad Nizar Kelas

: 3-Q /26

Perekonomian Mulai Menggeliat

Oleh : A TONY PRASETIANTONO Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM Kompas, 16 November 2015

Tidak sulit memaknai data pertumbuhan ekonomi triwulan III-2015 yang mencapai 4,73 persen, meningkat dibandingkan 4,67 persen pada triwulan II-2015. Tanpa bermaksud menghibur diri, saya melihat indikasi perekonomian Indonesia menyentuh level terendah. Jika semua berjalan baik dan tak ada kejutan yang berarti, kita akan menyaksikan tren pertumbuhan ekonomi yang meningkat pada triwulan terakhir 2015. Tren ini berpeluang berlanjut pada 2016.

Perbaikan ekonomi pada triwulan III- 2015 disebabkan dua hal. Pertama, belanja pemerintah mulai meningkat. Pada dua triwulan pertama, belanja pemerintah terganggu faktor nomenklatur organisasi pemerintah. Presiden Joko Widodo pernah menyatakan terkejut dan baru sadar perubahan struktur kabinet ternyata berimplikasi pada pelambatan belanja pemerintah. Perlu waktu menyesuaikan administrasi dan birokrasi sebelum dana APBN dapat dicairkan.

Kedua, penguatan dollar AS (atau sebaliknya pelemahan rupiah) cepat atau lambat akan menyentuh titik jenuh. Dollar AS yang sudah terlalu kuat akan menggerus daya saingnya. Akibatnya, daya serap tenaga kerja AS kini mulai melemah. Tenaga kerja di sektor nonpertanian yang semula bisa terserap 200.000 orang hingga di atas 300.000 orang per bulan kini mulai tergelincir ke 100.000-an orang saja.

Hal ini menjadi alasan bank sentral Amerika Serikat, The Fed, tak kunjung menaikkan suku bunga dari level sekarang 0,25 persen. Sudah berapa bulan Gubernur The Fed Janet L Yellen seperti menelan ludah, dengan menunda rencana menaikkan suku bunga. Jika suku bunga dinaikkan, dollar AS akan kian menguat. Ini tentu tidak dikehendaki karena berisiko pada pelemahan kemampuan penyerapan tenaga kerja.

Rupiah yang sempat mencapai titik terendah Rp 14.700 per dollar AS kini stabil di level Rp 13.500-13.600 per dollar AS. Memang belum mencapai level optimal, tetapi setidaknya tak lagi melemah secara liar, tak terkendali, dan tidak melampaui batas psikologis Rp 15.000 per dollar AS.

Kombinasi belanja pemerintah dan stabilitas rupiah pada level yang ”masuk akal” memicu peningkatan kepercayaan pelaku ekonomi untuk kembali berbelanja. Pengeluaran sisi konsumsi individual yang biasanya berkontribusi 60 persen terhadap pembentukan produk domestik bruto mulai bergerak naik.

Harus diakui, kebijakan deregulasi hingga enam paket juga ikut menyumbang perbaikan persepsi pelaku ekonomi terhadap masa depan perekonomian Indonesia. Dari sekian banyak paket deregulasi itu, mungkin yang paling cepat direspons positif adalah revaluasi aset. Bank besar dan sejumlah perusahaan besar lain cukup antusias mengikuti program ini.

Dengan revaluasi, aset bank akan meningkat. Implikasinya, modal inti bank meningkat, yang membuat kemampuan bank mendorong kredit kian besar. Di sisi lain, pemerintah mendapat penerimaan pajak dari revaluasi aset. Jika revaluasi dilakukan pada 2015, pemerintah mengenakan pajak hanya 3 persen.

Momentum pertumbuhan ekonomi yang mulai menggeliat harus dijaga. Dari sektor riil, pemerintah harus mengawal deregulasi hingga benar-benar dapat terimplementasi secara efektif. Jangan sa mpai semangat deregulasi alias ”ramah terhadap investasi” hanya berhenti pada pencanangan oleh Presiden atau sebatas diumumkan menteri. Deregulasi bukan cuma di tataran normatif atau wacana, melainkan juga menukik pada wilayah operasional. Oleh karena itu, birokrat di level eselon di bawah menteri (I, II, III) harus memiliki pemahaman yang sama tentang tujuan yang hendak dicapai.

Relaksasi regulasi dan kemudahan menjalankan usaha merupakan hal yang dipahami, diresapi, dan dijalankan birokrat. Jangan sampai mereka malah merasa terusik karena wilayah kekuasaannya menjadi berkurang akibat dipangkas deregulasi. Deregulasi bisa menjadi semacam konflik kepentingan bagi birokrat. Namun, kepentingan besar harus dikedepankan. Negeri ini butuh percepatan industrialisasi untuk menaikkan daya saing sehingga birokrasi yang membelenggu harus dienyahkan.

Masalah kedua adalah suku bunga. Saat ini, suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) masih 7,5 persen. Untuk mendorong geliat perekonomian, perlu penurunan suku bunga. Namun, BI tetap harus berhitung tentang sensitivitas rupiah terhadap penurunan suku bunga. Jika BI Rate diturunkan dari 7,5 persen ke 7,25 persen, apakah itu tak mengusik stabilitas rupiah?

Jika rupiah melemah, cadangan devisa pasti berkurang. BI tidak mungkin membiarkan rupiah melemah tanpa intervensi. BI sudah berjanji senantiasa berada di pasar untuk mengawal rupiah. Situasi dilematis ini akan mewarnai Rapat Dewan Gubernur BI, Selasa (17/11). Ini bukan hal yang mudah, sebagaimana The Fed setahun ini dalam dilema menentukan kenaikan suku bunga.

Berangkat dari pemahaman saat ini, stabilitas rupiah masih menjadi prioritas utama, saya merekomendasikan BI Rate tetap ditahan dulu agar cadangan devisa tidak merosot. Setelah 2015 berakhir dan kita benar-benar memiliki inflasi rendah, misalnya 3,5 persen, BI Rate bisa diturunkan mulai Januari 2016. Dengan cara itu, kita mulai bisa menggantung asa pertumbuhan ekonomi, setidaknya 5 persen tahun depan.

Sumber:

http://kolompakar.blogspot.co.id/2015/12/perekonomian-mulai-menggeliat.html?q=ekonomi

Ringkasan:

1. data pertumbuhan ekonomi triwulan III-2015 mencapai 4,73 persen, meningkat dibandingkan 4,67 persen pada triwulan II-2015 dan juga meningkat pada triwulan terakhir 2015. Tren ini berpeluang berlanjut pada 2016.

2. Perbaikan ekonomi pada triwulan III- 2015 disebabkan dua hal. Pertama, belanja pemerintah mulai meningkat. Kedua, penguatan dollar AS (atau sebaliknya pelemahan rupiah) cepat atau lambat akan menyentuh titik jenuh.

3. Bank sentral Amerika Serikat, The Fed, tak kunjung menaikkan suku bunga dari level sekarang 0,25 persen. Jika suku bunga dinaikkan, dollar AS akan kian menguat dan hal ini berisiko pada pelemahan kemampuan penyerapan tenaga kerja.

4. Kombinasi belanja pemerintah dan stabilitas rupiah pada level yang ”masuk akal” memicu peningkatan kepercayaan pelaku ekonomi untuk kembali berbelanja. kebijakan deregulasi hingga enam paket juga ikut menyumbang perbaikan persepsi pelaku ekonomi terhadap masa depan perekonomian Indonesia, terutama revaluasi aset.

5. Momentum pertumbuhan ekonomi yang mulai menggeliat harus dijaga. pemerintah harus mengawal deregulasi hingga benar-benar dapat terimplementasi secara efektif pada tataran normatif dan juga menukik pada wilayah operasional.

6. Relaksasi regulasi dan kemudahan menjalankan usaha merupakan hal yang dipahami, diresapi, dan dijalankan birokrat, kepentingan besar harus dikedepankan. Negeri ini butuh percepatan industrialisasi untuk menaikkan daya saing sehingga birokrasi yang membelenggu harus dienyahkan.

7. Saat ini, suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) masih 7,5 persen. Jika suku bunga diturunkan maka rupiah melemah, cadangan devisa pasti berkurang. BI tidak mungkin membiarkan rupiah melemah tanpa intervensi. BI sudah berjanji senantiasa berada di pasar untuk mengawal rupiah. Karena hal tersebut, stabilitas rupiah masih menjadi prioritas utama, BI Rate tetap ditahan dulu agar cadangan devisa tidak merosot

Komentar:

1. Menurut data yang tersedia, tren pertumbuhan ekonomi bertumbuh dari triwulan II ke triwulan III dan diperkirakan pertumbuhan berlanjut hingga 2016, tentu pertumbuhan ini berdampak baik pada perekonomian Indonesia.

2. Berdasarkan persamaan Y=C+I+G+NX maka pendapatan nasional akan meningkat jika belanja pemerintah meningkat. Setelah transisi pemerintahan yang terjadi di triwulan II belanja pemerintah kembali meningkat membantu meningkatkan pendapatan nasional.

3. Jika The Fed menaikkan suku bunga, maka uang di masyarakan akan masuk ke AS sehingga dollar semakin menguat, masyarakan mengganggap menabung menjadi lebih menguntungkan dibanding investasi yang menyebabkan berkurangnya perkembangan usaha termasuk berkurangnya penyerapan tenaga kerja. Kurs dollar yang tinggi juga menyebabkan produk dari AS semakin mahal jika dibanding produk dari negara lain termasuk produk dari Indonesia yang diekspor.

4. Rupiah yang semakin stabil serta didukung regulasi pemerintah meningkatkan kepercayaan investor. Investor semakin dimudahkan untuk memulai investasi yaitu karena semakin mudahnya perizinan dari pemerintah serta rupiah yang menguat akan mengurangi biaya produksi yang nantinya akan ditanggung investor saat melakukan kegiatan operasionalnya di Indonesia. Momentum ini membuat tenaga kerja semakin terserap.

5. Deregulagi yang dilakukan pemerintah harus dilaksanakan sesegera mungkin, agar kepercayaan investor terhadap perekonomian semakin cepat, jangan sampai deregulasi yang berbelit-belit hanya akan menjadi wacana saja, deregulasi mencakun segala bidang perekonomian.

6. Jika suku bunga Bank Indonesia diturunkan maka akan menyebabkan jumlah uang yang beredar bertambah karena berpindahnya tabungan menjadi investasi yang dapat mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia, namun hal ini juga dikhawatirkan karena akan menyebabkan rupiah dan cadangan devisa berkurang. BI harus berjuang menanggulangi hal tersebut agar stabilitas rupiah tetap terjaga.

Alasan Memilih Artikel ini:

Ekonomi Indonesia kembali membaik setelah peralihan pemerintah serta kejenuhan tingginya nilai dollar AS. Hal ini bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan perekonomian jika didukung kebijakan yang bagus. Segingga momentum ini menjadi menarik untuk dibahas.

Screenshoot:

Topik : Resiko dan Peluang Utang Luar Negeri Indonesia

Nama : Muhamad Nizar Kelas

: 3-Q /26

Jokowi dan Utang Swasta

Oleh : HERDI SAHRASAD Peneliti Senior PSIK Universitas Paramadina dan Pengajar Paramadina Graduate School Kompas, 24 Juli 2015 Dari era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sampai Presiden Joko Widodo utang luar

negeri swasta cenderung meningkat dan mengkhawatirkan. Bahkan dewasa ini utang swasta telah melebihi jumlah utang luar negeri pemerintah. Bank Indonesia menyebutkan dalam kurun sekitar 10 tahun, jumlah utang luar negeri sektor swasta meningkat tiga kali lipat.

Jika utang luar negeri (ULN) swasta itu digunakan untuk hal- hal bersifat produktif dan dalam jangkauan kemampuan membayar, maka ULN swasta menjadi hal wajar dilakukan. Namun, kerap kali ULN swasta itu berjangka pendek, tidak untuk meningkatkan ekspor dan malah untuk sektor non-tradeable yang cenderung kontraproduktif.

Utang swasta dari sebelumnya 50,6 miliar dollar AS pada akhir 2005 menjadi 80 miliar dollar AS pada akhir 2007, dan menjadi 156,2 miliar dollar AS pada akhir Agustus 2014. Posisi ULN swasta pada Desember 2014 mencapai 163,47 dollar AS. Angka itu telah mencapai 53,8 persen dari total ULN Indonesia.

Fase “lampu merah” Tahun 2015 ini, angka ULN swasta pada kuartal I-2015 mencapai 165,3 miliar dollar AS.

Praktis, rasio pembayaran ULN swasta terhadap pendapatan ekspor atau yang dikenal dengan istilah debt service ratio (DSR) juga meningkat dari sekitar 15 persen pada 2005- 2007 menjadi sekitar 54 persen pada 2015. Kondisi ini mengakibatkan kerentanan pada kondisi makroekonomi, karena tingginya DSR itu sudah memasuki fase “lampu merah’’.

Dengan melihat kenaikan ULN swasta tersebut, masuk akal kalau hal itu sangat mengkhawatirkan. Pertama, ULN swasta rentan terhadap sejumlah risiko, terutama risiko nilai tukar (currency risk), risiko likuiditas (liquidity risk), dan risiko beban utang yang berlebihan (over leverage risk).

Kedua, ULN swasta mengidap risiko nilai tukar cukup tinggi karena sebagian besar korporasi yang mengambil ULN digunakan untuk membiayai kegiatan usaha berorientasi Kedua, ULN swasta mengidap risiko nilai tukar cukup tinggi karena sebagian besar korporasi yang mengambil ULN digunakan untuk membiayai kegiatan usaha berorientasi

Ketiga, kenyataan itu kemudian diperparah lagi oleh banyaknya korporasi yang belum menggunakan instrumen lindung nilai (hedging). Sementara untuk risiko likuiditas, risiko ini juga cukup tinggi. Pasalnya, banyak korporasi swasta yang mengambil ULN berjangka pendek untuk kebutuhan sektor non-tradeable.

Risiko likuiditas makin tinggi karena jumlah dan pangsa ULN swasta berjangka pendek terus meningkat. Sementara itu, indikasi peningkatan risiko beban utang yang berlebihan terlihat dari semakin meningkatnya rasio utang terhadap pendapatan.

Beban swasta itu kian membengkak karena diakibatkan tenornya jangka pendek. Hal ini berbeda dengan pemerintah yang beban utangnya kecil lantaran tenornya jangka panjang. Meskipun Bank Indonesia (BI) menilai secara persentase rasio utang luar negeri swasta terhadap PDB masih di level aman, tetapi bobotnya sudah menciptakan currency mismatch, disebabkan pihak swasta yang berutang dalam bentuk valas, tetapi menginvestasikannya untuk kegiatan bisnis yang menghasilkan rupiah.

Artinya, dari utang valas itu mereka tidak kembali menghasilkan valas, yang bisa membahayakan perekonomian nasional. Bahkan, sejak beberapa tahun terakhir ini peningkatan ULN swasta bisa dikatakan sudah berpotensi membahayakan perekonomian Indonesia.

Harus dicatat bahwa utang- utang swasta ini banyak terjadi currency mismatch karena realitas yang terjadi saat ini terhadap penggunaan ULN swasta lebih banyak diinvestasikan pada sektor properti dan jasa di dalam negeri. Investasi di properti ini membahayakan karena kredit jangka pendek dari luar negeri itu diinvestasikan dalam jangka panjang. Alhasil, kondisi tersebut juga berisiko menimbulkan maturity mismatch (jangka waktu) karena ULN berjangka waktu pendek digunakan untuk investasi dalam jangka panjang. Amerika Serikat pernah mengalami krisis keuangan serupa akibat kebijakan subprime mortgage karena kredit properti yang menimbulkan masalah mismatch itu.

Harus diwaspadai Selain itu, tingginya impor yang melampaui ekspor dan meningkatnya beban repatriasi

(keuntungan perusahaan swasta asing yang beroperasi di Indonesia lalu dibawa ke negara asalnya), juga berpotensi menyebabkan defisit neraca transaksi berjalan dan defisit fiskal, atau dikenal dengan defisit ganda, yang menjadi ancaman terbesar perekonomian Indonesia.

Celakanya pula, sebagaimana pemerintah yang memperbanyak utang, sektor swasta pun cenderung mengambil solusi yang sama untuk menutup pengeluaran dengan cara semakin memperbanyak utang luar negerinya. Akibatnya, ULN swasta kian menekan rupiah dan melemahkan ekonomi nasional.

Sampai saat ini belum ada aturan yang dikeluarkan pemerintah maupun bank sentral untuk melarang swasta menarik utang dari luar negeri. Padahal, beban utang ini juga akan Sampai saat ini belum ada aturan yang dikeluarkan pemerintah maupun bank sentral untuk melarang swasta menarik utang dari luar negeri. Padahal, beban utang ini juga akan

Oleh sebab itu, tingginya ULN swasta ini harus diwaspadai lantaran bisa menjadi pembunuh berdarah dingin, silent killer, terhadap pertumbuhan ekonomi. Utang swasta jelas menekan nilai rupiah, dan akibatnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS terus melemah, apalagi cadangan devisa kita pada 2015 ini cenderung menurun. Sementara itu, anjloknya nilai rupiah dan naiknya harga minyak dunia terbukti memperberat dan melipatgandakan ULN swasta.

Prospek ULN swasta berpotensi meningkat menyusul depresiasi nilai tukar rupiah yang diperkirakan berlanjut hingga tahun depan. Dalam kaitan ini, kekhawatiran terhadap kian membesarnya jumlah utang swasta merupakan cermin pengalaman krisis ekonomi pada 1997-1998. Apalagi, manajemen utang swasta belum sebaik pemerintah sehingga harus diawasi BI dan Kementerian Keuangan dengan ketat agar tidak terjadi masalah yang lebih besar dari peristiwa krisis 1997-1998 yang memicu anarki sosial-ekonomi dan gejolak politik.

Dari pengalaman beberapa dekade terakhir, hikmahnya jelas bagi pemerintahan Jokowi dan masyarakat: bahwa, selama pemerintah sendiri masih mengandalkan utang, maka adanya ULN swasta membuat tekanan terhadap anggaran negara menjadi lebih besar. Dewasa ini sudah terbukti bahwa beban utang swasta (dan negara) telah membuat bangsa ini masuk dalam jebakan utang (debt trap) dengan segenap konsekuensi ekonomi- politiknya.

Hal yang paling membahayakan dari ketergantungan pada utang ini adalah makin tenggelamnya bangsa kita dalam cengkeraman bangsa lain. Di sini relevansi peringatan Andre Gunder Frank (teoretikus aliran Dependencia), bahwa utang menyebabkan ketergantungan dan keterbelakangan, selain ketidakadilan dan kontraksi pertumbuhan.

Sumber:

http://kolompakar.blogspot.co.id/2015/11/jokowi-dan-utang- swasta.html?q=ekonomi&view=flipcard

Ringkasan:

1. Utang luar negeri swasta cenderung meningkat melebihi jumlah utang luar negeri pemerintah. Bank Indonesia menyebutkan dalam kurun sekitar 10 tahun, jumlah utang luar negeri sektor swasta meningkat tiga kali lipat.

2. ULN swasta itu berjangka pendek, tidak untuk meningkatkan ekspor dan untuk sektor non-tradeable yang cenderung kontraproduktif.

3. debt service ratio (DSR) meningkat dari sekitar 15 persen pada 2005-2007 menjadi sekitar 54 persen pada 2015.

4. ULN swasta rentan terhadap sejumlah risiko, terutama risiko nilai tukar (currency risk), risiko likuiditas (liquidity risk), dan risiko beban utang yang berlebihan (over leverage risk).

5. ULN digunakan untuk membiayai kegiatan usaha berorientasi domestik yang menghasilkan pendapatan dalam rupiah, sedangkan pembayaran ULN dilakukan dalam valuta asing (valas).

6. Pihak swasta yang berutang dalam bentuk valas, tetapi menginvestasikannya untuk kegiatan bisnis yang menghasilkan rupiah.

7. Beban swasta itu membengkak karena diakibatkan tenornya jangka pendek. Hal ini berbeda dengan pemerintah yang beban utangnya kecil lantaran tenornya jangka panjang.

8. Pihak swasta berutang dalam bentuk valas, tetapi menginvestasikannya untuk kegiatan bisnis yang menghasilkan rupiah. Artinya, dari utang valas itu mereka tidak kembali menghasilkan valas, yang bisa membahayakan perekonomian nasional.

9. ULN swasta banyak diinvestasikan pada sektor properti dan jasa di dalam negeri. Investasi di properti ini membahayakan karena kredit jangka pendek dari luar negeri itu diinvestasikan dalam jangka panjang.

10. Sampai saat ini belum ada aturan yang dikeluarkan pemerintah maupun bank sentral untuk melarang swasta menarik utang dari luar negeri. Padahal, beban utang ini juga akan meningkatkan kerentanan nilai tukar rupiah dan melemahkan fundamental ekonomi Indonesia.

11. Utang swasta menekan nilai rupiah, dan akibatnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS terus melemah, apalagi cadangan devisa kita pada 2015 ini cenderung menurun. Sementara itu, anjloknya nilai rupiah dan naiknya harga minyak dunia terbukti memperberat dan melipatgandakan ULN swasta.

Komentar:

1. Utang luar negeri yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta ke luar negeri yang menggunakan valas akan menyebabkan mata uang rupiah yang ditawarkan di pasar uang semakin meningkat. Peningkatan mata uang rupiah yang ditawarkan dapat menyebabkan nilai rupiah terdepresiasi terhadap nilai mata uang dollar.

2. Seharusnya jika mengambil Utang tersebut maka dana utang tersebut digunakan untuk hal yang produktif yang dengan cepat mendapatkan profit sehingga dapat menghindari utang tersebut semakin berbunga, hal ini disebabkan karena jenis utang yang diambil oleh perusahaan swasta adalah utang berjangka pendek.

3. Dana utang yang diperoleh cenderung digunakan untuk produksi untuk target penjualan dalam negeri, seharusnya hasil produksi lebih ditargetkan untuk ekspor, hal ini karena penjualan dalam negeri hanya akan mendapatkan mata uang rupiah, sedangkan jika diekspor maka akan mendapatkan dollar, yang nantinya dollar itu dapat digunakan untuk melunasi utang tersebut lebih cepat.jika swasta melakukan ekspor barang yang berkualitas maka dapat lebih bersaing dengan barang luar negeri yang lain karena barang dari Indonesia akan tampak lebih murah akibat dari terdepresiasinya nilai rupiah.

4. Utang yang dilakukan oleh pemerintah cenderung memiliki waktu jatuh tempo jangka panjang, sehingga pemerintah dapat menggunakan untuk investasi jangka panjang, berbeda dengan swasta yang menggunakan jangka pendek, sehingga lebih beresiko terkena denda jatuh tempo karena telatnya pembayaran.

5. Banyak utang swasta yang digunakan untuk investasi properti yang merupakan investasi jangka panjang, seharusnya utang tersebut digunakan pada sektor investasi lain yang merupakan jangka pendek, sehinghga lebih mudah mendapatkan dana untuk pelunasan utang tersebut.

6. Karena banyaknya pihak swasta yang memiliki utang luar negeri, mata uang rupiah semakin terdepresiasi, hal ini tentu merugikan karena menyebabkan beban utang yang harus mereka lunasi semakin besar karena selisih kurs mata uang rupiah terhadap dollar, jika semakin berlarut maka hal ini dapat membebankan perekonomian Indonesia.

7. Seharusnya pemerintah membuat kebijakan pembatasan utang luar negeri oleh swasta dengan dengan kriteria tertentu agar dapat mengurangi utang yang akan dilakukan oleh swasta sehingga mereka akan lebih mengefisienkan utang tersebut dengan sumber daya yang tersedia, apalagi depresiasi rupiah dan naiknya harga bahan bakan turut menambah beban pihak swasta tersebut.

Alasan memilih artikel ini:

Utang luar negeri merupakan pengambilan sebuah keputusan yang memiliki resiko namun menjadi peluang yang menguntungkan jika dana tersebut digunakan secara tepat, yaitu hasil yang digunakan untuk ekspor. Hal tersebut menyebabkan artikel ini menarik untuk dibahas.

Screenshoot:

Topik : Daya Saing Hasil Produk

Nama : Muhamad Nizar Kelas

: 3-Q /26

Merosotnya Daya Saing

Oleh : RHENALD KASALI Ketua Program MM Universitas Indonesia Seputar Indonesia, Kamis 13 September 2012

Setiap kali mengalami penurunan daya saing, bangsa-bangsa besar selalu ribut. Demikianlah ketika peringkat daya saing global Indonesia turun dari posisi ke-46 ke urutan ke-50. Beda benar dengan negara-negara yang selalu berada di peringkat paling bawah: Haiti, Siera Leone, dan Burundi.

Seperti tak bertenaga dan tanpa daya, dari tahun ke tahun diam di sana. Keributan- keributan kecil tentu bukan hanya menjadi milik Indonesia. Di televisi saya melihat sejumlah diskusi yang menyebutkan walaupun peringkat Indonesia turun, investasi di bidang-bidang usaha tertentu (khususnya perkebunan) naik terus. Diskusi-diskusi baru berkisar seputar nilai investasi, belum pada produktivitas.

Demikian pula belum ada yang mempersoalkan mengapa Malaysia lebih menarik bagi Tony Fernandes untuk menjadi home-based Air Asia ketimbang Indonesia yang jelas-jelas market-nya jauh lebih besar. Demikian pula mengapa Lion Air lebih tertarik menggandeng Malindo untuk menjadi hubnya ke bisnis penerbangan internasional. Kalau ini dimasukkan pasti akan lebih menarik.

Dari Thailand Thanong Khanthong menulis pendapatnya di harian The Nation. Ia mempersoalkan mengapa peringkat Thailand (peringkat ke-38) bisa dinilai di bawah negeri yang tengah kesulitan dilanda ketidakpercayaan, Spanyol (peringkat ke-36). Spanyol baru saja meminta bailout fund sebesar 100 miliar euro. Kondisi ekonomi Spanyol sedang amat berat, sama seperti kondisi ekonomi Thailand saat dilanda krisis ekonomi di tahun 1997.

Demikian pula bagaimana menjelaskan Rusia yang menguasai bisnis energi senilai USD 2 triliun hanya menduduki posisi ke-67 dan India hanya di posisi ke-59. Bagaimana kita bisa menerima daya saing Israel (peringkat ke-26) lebih tinggi dari China (29) yang menguasai cadangan devisa terbesar di dunia? Namun satu hal yang perlu dipahami oleh pemimpin Indonesia, ekonomi dan bisnis sudah tidak dapat lagi dipisahkan dan untuk membangun ekonomi atau kesejahteraan diperlukan pendekatan lebih dari sekadar kebijakan ekonomi makro.

Kultur Ekonomi vs Kultur Bisnis

Meski bisnis merupakan bagian dari kegiatan ekonomi, secara keilmuan semakin hari keduanya bergerak menurut landasan berpikir yang berbeda. Bangsa-bangsa yang unggul Meski bisnis merupakan bagian dari kegiatan ekonomi, secara keilmuan semakin hari keduanya bergerak menurut landasan berpikir yang berbeda. Bangsa-bangsa yang unggul

Dalam hal inilah Indonesia perlu meninjau kembali konsep pembangunan ekonomi yang dibebankan kepada Bappenas. Bappenas tidak bisa bekerja tanpa prinsip-prinsip strategic management karena perekonomian Indonesia telah berubah menjadi sebuah sistem yang kompleks. Indonesia telah berubah menjadi sebuah kekuatan besar dengan aktor yang amat beragam dengan pola pikir, cara bekerja atau kepentingan yang berbeda-beda dalam spektrum yang sangat luas.

Tanpa strategic planning yang baik, apa yang telah dituangkan belum tentu dijalankan dan apa yang dijalankan belum tentu memenuhi apa yang diinginkan. Kalau bukan Bappenas, siapa yang memegang peran strategic planning di negeri ini? Kalau kita mengintip cara yang ditempuh bangsa-bangsa yang unggul, yang selalu menduduki peringkat atas, yang meski dilanda krisis tetap optimistis menatap hari esok dan cepat kembali, kita bisa menyaksikan peran strategic planning yang begitu intensif.

Negara bukan hanya sibuk mengurusi dirinya sendiri, melainkan bekerja sama dengan dunia bisnis agar mampu menghasilkan kegiatan ekonomi yang lebih bernilai tinggi, lebih mampu menciptakan kesejahteraan melalui lapangan pekerjaan. Swiss dan Singapura misalnya menduduki peringkat kesatu dan kedua, tetapi secara faktual bukanlah negara yang kaya dengan sumber daya alam.

Namun mereka bisa keluar dari perangkap keterbatasan-keterbatasan, keluar dengan rangkaian strategi yang produktif. Tentu saja bukan tanpa masalah, tetapi negara yang dikelola dengan strategic planning yang baik berhasil mengambil alih keresahan yang dirasakan warganya (ketidakpastian) ke dalam program-program yang adaptif dan mampu menjadi pemenang. Pembangunan ekonomi memiliki cara pandang tersendiri yang berpengaruh luas dalam pilihan-pilihan yang diberikan.

Bila paradigma ekonomi melihat kekayaan dari segi sektor dan komoditas, strategic planning melihatnya dari kacamata segmen dan brand. Tengok saja judul-judul berita koran-koran di berbagai negara. Bila suatu negara perekonomiannya masih sederhana dan konsep pembangunannya masih economic based, judul-judul berita ekonomi selalu tentang sektor (seperti pertanian, pertambangan, keuangan) dan komoditas (beras, karet, kopi, emas, dan seterusnya).

Adapun di negara-negara yang perekonomiannya memiliki keunggulan daya saing, judul- judul berita sudah bukan lagi sektor dan komoditas, melainkan segmen dan brand. Pokoknya segala nama perusahaan dan merek sudah tak bisa dihindari oleh media. Di Korea Selatan selalu ada berita dengan judul Samsung, Hyundai atau Daewo. Di China ada judul Cnoock atau Cinopec. Demikian pulalah kalau Anda ke Malaysia, Singapura atau negara-negara di Eropa Barat dan Amerika Serikat.

Bahkan di negara-negara itu jarang sekali Anda temui judul-judul berita ekonomi yang mengedepankan sektor dan komoditas. Semuanya berbicara nama, yaitu nama economic powerhouse. Komoditas adalah hasil sumber daya alam yang nilai tambahnya belum diolah Bahkan di negara-negara itu jarang sekali Anda temui judul-judul berita ekonomi yang mengedepankan sektor dan komoditas. Semuanya berbicara nama, yaitu nama economic powerhouse. Komoditas adalah hasil sumber daya alam yang nilai tambahnya belum diolah

Sebaliknya, masyarakat yang lebih sophisticated tidak lagi membeli kopi atau kakao. Mereka membeli Starbucks, Kapal Api atau Torabika. Silver Queen, Van Houten, Lindt, atau Godiva. Begitu suatu bangsa membangun merek, inovasi mulai bekerja, paten mulai bermunculan dan infrastruktur diperbaiki. Surat kabar pun tak malu-malu menjadikan nama itu sebagai judul berita. Itulah yang diukur dalam indeks-indeks daya saing yang menyangkut banyak hal.

Merek dan economic powerhouse memerlukan iklim usaha yang sehat sehingga kompetitif dan mampu menjalankan peran pendukung pemerintah sebagai job security. Ekonomi berbasiskan merek berdampak luas, mulai dari reputasi, standardisasi, kualitas SDM sampai infrastruktur dan birokrasi. Itulah sebabnya perencanaan ekonomi tidak bisa hanya dibangun di atas landasan berpikir yang datar.

Perencanaan ekonomi perlu dibuat dengan manajemen modern yang sophisticated, dengan berupaya bersungguh-sungguh agar sumber daya alam Indonesia mampu menghasilkan merek-merek yang unggul dengan reputasi yang tinggi. Saat ini masih banyak terjadi pengusaha-pengusaha nasional yang memindahkan kantor operasionalnya ke luar negeri dan mengoperasikan global brand-nya dari negara tetangga.

Basis produksinya yang bersifat commodity-based ditempatkan di Sumatera atau Kalimantan, tetapi packaging, marketing dan risetnya ada di negara lain. Merek-merek global ini tersebar luas di berbagai pasar dari Afrika hingga Amerika Latin dan di sana sama sekali tidak tertulis kalimat “Made In Indonesia”. Jadi saya pikir Indonesia perlu cara berpikir baru dengan mengedepankan logika-logika bisnis untuk memajukan kesejahteraannya.

Indonesia perlu membangun puluhan powerhouse ekonomi yang mandiri, yang mampu menarik 52 juta sektor informalnya ke dalam sistem pertarungan global yang lebih bermartabat. Untuk itu, logika modern manajemen dan strategic planning harus ada dalam pengorganisasian negara.

Sumber:

http://kolompakar.blogspot.co.id/2012/10/merosotnya-daya-saing.html

Ringkasan:

1. Setiap kali mengalami penurunan daya saing, bangsa-bangsa besar selalu ribut. Berbeda dengan negara-negara yang selalu berada di peringkat paling bawah.

2. ekonomi dan bisnis sudah tidak dapat lagi dipisahkan dan untuk membangun ekonomi atau kesejahteraan diperlukan pendekatan lebih dari sekadar kebijakan ekonomi makro.

3. Meski bisnis merupakan bagian dari kegiatan ekonomi, secara keilmuan semakin hari keduanya bergerak menurut landasan berpikir yang berbeda. Bangsa-bangsa yang unggul adalah bangsa yang mampu mengintegrasikan keduanya secara simultan.

4. Dalam hal inilah Indonesia perlu meninjau kembali konsep pembangunan ekonomi yang dibebankan kepada Bappenas.

5. Tanpa strategic planning yang baik, apa yang telah dituangkan belum tentu dijalankan dan apa yang dijalankan belum tentu memenuhi apa yang diinginkan.

6. Negara bukan hanya sibuk mengurusi dirinya sendiri, melainkan bekerja sama dengan dunia bisnis agar mampu menghasilkan kegiatan ekonomi yang lebih bernilai tinggi, lebih mampu menciptakan kesejahteraan melalui lapangan pekerjaan

7. Bila paradigma ekonomi melihat kekayaan dari segi sektor dan komoditas, strategic planning melihatnya dari kacamata segmen dan brand

8. Adapun di negara-negara yang perekonomiannya memiliki keunggulan daya saing, judul-judul berita sudah bukan lagi sektor dan komoditas, melainkan segmen dan brand. Semuanya berbicara economic powerhouse. Komoditas adalah hasil sumber daya alam yang nilai tambahnya belum diolah menjadi kegiatan ekonomi produktif. Bila panen raya terjadi, pasokan berlebih, harga akan turun dan kesejahteraan seluruh mata rantainya terganggu.

9. Merek dan economic powerhouse memerlukan iklim usaha yang sehat sehingga kompetitif dan mampu menjalankan peran pendukung pemerintah sebagai job security

10. Perencanaan ekonomi perlu dibuat dengan manajemen modern yang sophisticated, dengan berupaya bersungguh-sungguh agar sumber daya alam Indonesia mampu menghasilkan merek-merek yang unggul dengan reputasi yang tinggi

11. Indonesia perlu membangun puluhan powerhouse ekonomi yang mandiri, yang mampu menarik 52 juta sektor informalnya ke dalam sistem pertarungan global yang lebih bermartabat

Komentar:

1. Komponen GDP adalah konsumsi, investasi, belanja pemerintah dan ekspor neto. Bagi negara dengan perekonomian terbuka nilai dari ekspor neto merupakan hal penting yang peningkatan dan penurunannya dapat mempengaruhi GDP negara tersebut. Sehingga penurunan daya saing akan mengurangi ekspor yang mengakibatkan penurunan GDP.

2. Bisnis adalah suatu organisasi yang menghasilkan dan menjual produk atau jasa yang dibutuhkan konsunen dengan tingkat keuntungan tertentu. Sedangkan ekonomi adalah tentang usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini menyebabkan ekonomi dan bisnis memiliki perbedaan landasan berfikir namun berhubungan erat dalam tujuannya meningkatkan kualitas pemenuhan kebutuhan manusia.

3. Pemerintah harus dapat mewujudkan pertumbuhan ekonomi berkualitas yaitu pertumbuhan ekonomi yang mampu menyediakan lapangan kerja yang luas bagi masyarakat. Jangan sampai pertumbuhan ekonomi tidak berdampak terhadap tersedianya lapangan kerja. Dukungan terhadap dunia bisnis akan membantu bisnis itu berkembang sehingga bisa menyerap pengangguran.

4. Perencanaan Strategis ( Strategic Planning ) adalah sebuah alat manajemen yang digunakan untuk mengelola kondisi saat ini untuk melakukan proyeksi kondisi pada masa depan, sehingga rencana strategis adalah sebuah petunjuk yang dapat digunakan organisasi dari kondisi saat ini untuk mereka bekerja menuju 5 sampai 10 tahun ke depan. Pemerintah sebagai sebuah organisasi negara harus mampu melakukan perencanaan strategis yang bersifat ekspansif bagi segala sektor negeri dan swasta, membuat dukungan yang baik bagi terjalannya bisnis di Indonesia sehingga hal ini dapat menguntungkan dan mensejahterakan berbagai pihak.

5. Brand dapat menjadi suatu nilai tambah bagi produk baik itu produk yang berupa barang maupun jasa. Jika pemerintah mampu memberikan dukungan, maka produsen dapat mengolah berbagai sumber daya di dalam negeri, mengolah bahan mentah menjadi produk baru dengan kualitas baik serta penggunaan merek yang menambah nilai jual sehingga meningkatkan keuntungan dibandingkan dengan menjualnya sebagai bahan mentah.

6. Sebelum bisnis dapat menciptakan merek yang bernilai bagus, pemerintah harus memperbaiki dan meningkatkan pasokan sumber daya komoditas yang baik dan stabil. Komoditas yang baik ini akan menjadi bahan baku yang menentukan produk yang akan dihasilkan perusahaan menjadi lebih baik dibandingkan dari produksi oleh pihak lain.

7. Pemerintah Indonesia dapat juga menarik investor asing untuk melakukan produksi di Indonesia untuk menghasilkan produk yang bermutu dan kompetitif, sehingga produk yang diproduksi di Indonesia dapat lebih bersaing di Internasional.

Alasan Memilih Artikel Ini:

Indonesia kerap kali menjadi eksportir bahan mentah dengan harga yang masih murah, sedangkan apabila kita dapat mengolahnya secara mandiri maka dapat meningkan keuntungan bagi masyarakat, upaya pengolahan produk tersebut kemudian dikemas oleh sebuah merek yang membuat produk itu menjadi unik dan berbeda. Sehingga materi ini menjadi menarik untuk dibahas.

Screenshoot:

Topik : Kebijakan Stabilisasi Moneter Bank Indonesia

Nama : Muhamad Nizar Kelas

: 3-Q /26

Blunder Bank Indonesia

Oleh : M IKHSAN MODJO Direktur Indef Kompas, Senin 13 Oktober 2008

Sejarah menunjukkan, dalam satu krisis yang parah selalu ada elemen kebijakan yang salah dan berakibat fatal.

Dalam krisis ekonomi-sosial-politik tahun 1997/1998, misalnya, kebijakan fatal yang menenggelamkan bangsa ini adalah kebijakan pemerintah, atas saran dan paksaan IMF, untuk menutup 16 bank.

Kebijakan penutupan itu terbukti jelas secara akademis dan empiris sebagai pemicu keterpurukan perekonomian nasional, yang kemudian baru bisa bangkit — meski masih tertatih- tatih —sepuluh tahun kemudian. Tanpa blunder ini, krisis saat itu hanya akan sekadar riak resesi biasa yang bersifat temporer dan harus bisa dilalui tenang dan tanpa huru-hara.

Kini, di tengah ancaman krisis di depan mata, beberapa kebijakan reaktif yang bisa menjadi bumerang bagi perekonomian pun sudah dilakukan. Dalam kebijakan moneter, misalnya, Bank Indonesia (BI) mengambil kebijakan pengetatan moneter berupa kenaikan suku bunga, yang justru berlawanan dengan kebijakan dan kecenderungan di negara-negara lain yang melakukan kebijakan ekspansif.

Kebijakan ini pun bisa jadi dilakukan atas dasar saran IMF. Dalam penerbitannya belum lama ini, sang Impossible Mission Force menyarankan Indonesia untuk menaikkan suku bunga, tanpa tanggung- tanggung, hingga 10.5 persen (Indonesia Selected Issue 2008, hal 11), dengan alasan kenaikan harga pangan dan energi.

Saat ini alasan itu sungguh tidak relevan. Sebab ke depan ada prospek penurunan harga pangan dan minyak akibat resesi global yang akan mengurangi tekanan terhadap inflasi domestik. Sebaliknya, peningkatan suku bunga justru akan memangkas investasi serta menggerus keunggulan komparatif perdagangan di tengah prospek persaingan perdagangan yang mengetat.

Terbukti, alih-alih menenangkan pasar, kebijakan pengetatan justru terbukti menyebabkan kian merebaknya sentimen negatif dan keambrukan indeks. Indeks harga saham gabungan di Bursa Efek Indonesia pada hari Rabu (8/10/2008), satu hari setelah diumumkan kebijakan ini, ditutup pada level 1.451, berarti telah tergerus lebih dari 40 persen. Perdagangan sejumlah saham juga terpaksa dihentikan karena mencatat penurunan melebihi 30 persen dan bursa terpaksa ditutup.

Kebijakan moneter Hal lain yang tak kalah ironis adalah situasi di pasar uang. Di tengah pelemahan kurs dollar AS

atas mata uang hampir semua negara, kurs rupiah terus melemah terhadap dollar AS, bahkan sempat ke titik tertinggi Rp 9.800 per dollar AS.

Selain tidak tepat untuk berbagai alasan taktis saat ini, secara strategis kebijakan suku bunga tinggi juga selalu merupakan momok perekonomian. Di satu sisi, kebijakan moneter yang ketat akan menahan kenaikan harga dan menekan inflasi. Di sisi lain, kebijakan ini akan menekan investasi dan aktivitas perekonomian secara umum sehingga menekan permintaan tenaga kerja, pendapatan riil masyarakat, dan meningkatkan jumlah penganggur.

Jadi, kebijakan ketat moneter adalah pedang bermata dua bagi pekerja dan rumah tangga konsumen. Kebijakan ini akan mengamankan pendapatan riil karena memungkinkan adanya substitusi pengeluaran dengan tabungan yang memberi bunga. Namun, suku bunga tinggi juga menurunkan pendapatan pekerja dan rumah tangga di masa depan sebagai akibat penurunan aktivitas perekonomian.

Hanya mereka yang sudah pensiun dan mendapat perolehan dari bunga yang bersifat tetap, seperti pensiun dan lembaga keuangan, kebijakan moneter akan bersifat menguntungkan. Sebab mereka ada di luar pasar kerja sehingga kebijakan ini tidak akan memengaruhi pendapatan dan gaji di saat sama melindungi pendapatan mereka dari kenaikan harga.

Bagi kebanyakan pekerja dan rumah tangga di negara maju, kebijakan ini mungkin tidak akan terlalu bermasalah. Sebab mereka sudah memiliki standar hidup tinggi dan kepemilikan aset keuangan yang memungkinkan terkompensasinya penurunan pendapatan. Selain itu, adanya sistem welfare dan social security yang kuat dan komprehensif di negara-negara itu juga akan melindungi pekerja dan rumah tangga di masa depan.

Bencana Sementara bagi negara berkembang, seperti Indonesia dengan tingkat pengangguran dan

kemiskinan tinggi, kebijakan moneter ketat adalah bencana yang tidak disadari bagi kebanyakan pekerja dan rumah tangga. Suku bunga tinggi akan menyebabkan turunnya aktivitas investasi, kemampuan perekonomian menyerap tenaga kerja, dan mengikis pendapatan di masa depan. Kebijakan ini juga akan memperparah ketimpangan pendapatan di

Karena itu, pengetatan kebijakan moneter harus dikoreksi. Saat ini kondisi mengharuskan adanya kebijakan terukur dan kredibel dari Bank Indonesia dan pemerintah. Bukan kebijakan pesanan yang membuat kepanikan dan konterproduktif bagi perekonomian.

Sumber:

http://kolompakar.blogspot.co.id/2011/01/blunder-bank-indonesia_25.html

Ringkasan:

1. Sejarah menunjukkan, dalam satu krisis yang parah selalu ada elemen kebijakan yang salah dan berakibat fatal.

2. Jika kebijakan tanpa blunder, krisis saat itu hanya akan sekadar riak resesi biasa yang bersifat temporer dan harus bisa dilalui tenang dan tanpa huru-hara.

Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

AN ANALYSIS ON GRAMMATICAL ERROR IN WRITING MADE BY THE TENTH GRADE OF MULTIMEDIA CLASS IN SMK MUHAMMADIYAH 2 MALANG

26 336 20

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65

Analisis Pertumbuhan Antar Sektor di Wilayah Kabupaten Magetan dan Sekitarnya Tahun 1996-2005

3 59 17

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63

A DESCRIPTIVE STUDY ON THE TENTH YEAR STUDENTS’ RECOUNT TEXT WRITING ABILITY AT MAN 2 SITUBONDO IN THE 2012/2013 ACADEMIC YEAR

5 197 17

Integrated Food Therapy Minuman Fungsional Nutrafosin Pada Penyandang Diabetes Mellitus (Dm) Tipe 2 Dan Dislipidemia

5 149 3