Tinjauan Historis Politik Sumber Daya Al
Tinjauan Historis dan Refleksi:
Politik Sumber Daya Alam dan Gerakan Lingkungan1
Oleh: Dewa Gumay2
“Ketika Hutan dan Sungai terakhir telah rusak, Ketika sumber‐sumber kehidupan terakhir telah musnah.
Dan, ketika itu manusia baru sadar bahwa hidup tidak bisa makan uang !.”
Pengantar
P
ada dasarnya, kelahiran gerakan‐gerakan sosial ataupun gerakan lingkungan selalu
ditandai dengan ketimpangan, mulai dari kondisi ketimpangan sosial, politik, dan
carut‐marutnya pengelolaan sumber daya alam. Tulisan ini mencoba mendedah titik
balik lahirnya Gerakan Lingkungan International dan menjalar ke Indonesia dalam
perspektif historis atau dalam lebih luas adalah Gerakan penentangan terhadap
ketimpangan pengelolaan sumber daya alam.
Lahirnya Gerakan Lingkungan atau sumber daya alam didasari oleh sebuah keyakinan
yang kuat bahwa terjadi sebuah konspirasi dan kapitalisasi oleh negara maju terhadap
akses sumber daya alam yang timpang, yang dirasakan oleh negara ketiga atau lebih
dikenal dengan hubungan Utara – Selatan, atau politik sumber daya alam yang dilakukan
oleh negara maju terhadap negara berkembang
Periodisasi berdasarkan tinjauan historis‐nya, politik sumber daya alam dapat dibedah
menjadi tiga periode penting: Pra Perang Dunia Pertama, yaitu periode penguasaan
sumber daya alam oleh kaum feodalisme/monarki, kolonialisme (penguasaan secara
langsung melalui penjajahan), dan perang dunia kedua, kemudian Pasca Perang Dunia
Kedua, yaitu periode tatanan ekonomi dunia baru ditandai dengan lahirnya Bank Dunia
dan IMF, impor dan pengalihan industri ke‐negara ketiga yang menyebabkan kerusakan
lingkungan. Periode ketiga adalah kerusakan lingkungan dan pengurasan sumber daya
alam, mengakibatkan pemiskinan struktural. Periode inilah yang dikemudian hari
menjadi titik balik lahirnya Gerakan Lingkungan di seluruh dunia, termasuk di
Indonesia.
Pemindahan secara besar‐besaran industri dinegara maju ke‐negara berkembang, pada
hakikatnya adalah memindahkan potensi dampak lingkungan yang akan terjadi
dinegaranya, selain memudahkan mendapat bahan baku dan tenaga kerja yang murah,
serta pasar yang melimpah.
1 Materi Politik Sumber Daya Alam dan Gerakan Lingkungan, pada beberapa kesempatan disampaikan
oleh Penulis dalam pelatihan ‘KALABAHU’ Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh dan lembaga
lainnya, didasarkan pada muatan ‘Pendidikan Hukum Kritis’.
2 Dewa Gumay adalah Pegiat Lingkungan, tinggal di Banda Aceh. Pernah terlibat pada Advokasi Sumber
Daya Alam di LBH Palembang dan Walhi Sumsel pada periode 2000 ‐ 2005, dan di Walhi Aceh pada
periode 2005 – 2007. Tulisan‐tulisan Dewa Gumay bisa diakses di weblog:
www.dewagumay.wordpress.com
Sehingga dalam perkembangannya, dinamika Gerakan Lingkungan terus mengalami
perubahan, terutama di Indonesia. Pada awalnya gerakan lingkungan masih bersifat
parsial, tidak menyentuh akar persoalan, dan masih didominasi oleh kelompok hobby
atau pecinta alam. Mulai periode 80‐an hingga 90‐an muncul kesadaran baru bahwa
persoalan lingkungan adalah bagian dari persoalan politik. Sehingga penyelesaian kasus
lingkungan harus dilakukan dengan jalan politik atau lebih dikenal dengan istilah ‘Politik
Hijau’ dimana semua instrumen pembangunan harus memperhatikan aspek lingkungan
atau ekologi.
Pra Perang Dunia Pertama
S
ejak awal perkembangan sistem ekonomi yang beorientasi modal, kawasan
lingkungan alam yang kemudian disebut Sumber Daya Alam (SDA) sudah menjadi
salah satu faktor penting disamping modal dan Sumber Daya Manusia (SDM). Sebagai
suatu ideologi yang bertujuan melakukan penumpukan modal (Capital Accumulation)
melalui proses penanaman modal (Capital Investment).
Dalam prakteknya tak lain adalah mendorong dan mengharuskan adanya ekspansi
keluar dalam bentuk penguasaan pasar, sumber pasokan bahan baku dan tenaga kerja
semurah mungkin. Pada zaman kolonialisme akumulasi modal yang tersentralisasi di
Eropa (Inggris) di distribusikan kebeberapa penjuru dunia, yang pada gilirannya ia
menghadirkan segenap kemiskinan di wilayah jajahannya.
Keyakinan akan akibat dari proses dialektika materialis‐lah, ideologi akumulasi modal
muncul. Pandangan ini kemudian dipertegas oleh Weber dengan deskripsinya
tentang “adanya sebuah gerakan individualisme sebagai penentangan atas eksploitasi
kejam yang dilakukan oleh feodalisme”.
Feodalisme di Yunani dan Romawi muncul dari kelas militer, sedangkan di Eropa
Tengah muncul dari kelas Tuan Tanah. Kondisi inilah yang melahirkan kelas‐kelas
penguasa atau pemegang hak milik atas aset produksi, kelas sosial ini kemudian hari
dilawan dengan gerakan individualisme yang merupakan cikal bakal sistem akumulasi
modal.
Di Perancis ditandai dengan jatuhnya penjara bastile dan kemarahan rakyat kelas petani
sehingga melahirkan Revolusi Perancis pada 1789 dan 17993. Revolusi Perancis
merupakan kritik terhadap feodalisme yang dilakukan oleh kelas petani, buruh, dan
semua kelas yang tersakiti oleh kekuasaan feodalisme atau monarki4.
3 Revolusi Perancis adalah masa dalam sejarah Perancis antara tahun 1789 dan 1799 di mana
para demokrat dan pendukung republikan menjatuhkan monarki absolut di Perancis dan memaksa Gereja
Katolik Roma menjalani restrukturisasi yang radikal. Meski Perancis kemudian akan berganti sistem
antara republik, kekaisaran, dan monarki selama 75 tahun setelah Republik Pertama Perancis jatuh
dalam kudeta yang dilakukan oleh Napoleon Bonaparte, revolusi ini dengan jelas mengakhiri ancien
régime (bahasa Indonesia: Rezim Lama; merujuk kepada kekuasaan dinasti seperti Valois dan Bourbon)
dan menjadi lebih penting daripada revolusi‐revolusi berikutnya yang terjadi di Perancis.
4 Banyak faktor yang menyebabkan revolusi ini, salah satu di antaranya adalah karena sikap orde yang
lama terlalu kaku dalam menghadapi dunia yang berubah. Penyebab lainnya adalah karena ambisi yang
berkembang dan dipengaruhi oleh ide Pencerahan dari kaum borjuis, kaum petani, para buruh, dan
individu dari semua kelas yang merasa disakiti. Sementara revolusi berlangsung dan kekuasaan beralih
Periode di atas ditandai dengan pemenuhan kebutuhan pokok dengan kehadiran
industri sandang di Inggris (abad ke‐16 sampai abad ke‐18). Walaupun industri sandang
tersebut masih menggunakan mesin pemintal yang sangat sederhana, namun
kepesatannya pada gilirannya mampu meningkatkan apa yang disebut sebagai ‘surplus
sosial’. Pada akhirnya surplus sosial itu telah berubah menjadi perluasan kapasitas
produksi, perluasan demi perluasan dengan justifikasi produktifitas yang dilakukan
selanjutnya menghadirkan fenomena dramatis dengan munculnya kolonisasi kedaerah‐
daerah lain yang tak memiliki keseimbangan produksi.
Menurut Dudley Dillard5, pase ini didukung dengan tiga faktor penting; Pertama,
dukungan agama dengan menanamkan sikap dan karakter kerja keras dan anjuran
untuk hidup hemat. Kedua, hadirnya mitos logam mulia terhadap distribusi pendapatan
atas upah, laba, dan sewa. Ketiga, keikutsertaan negara dalam membantu membentuk
modal untuk berusaha.
Pergeseran prilaku yang semula hanya sekedar perdagangan publik, kearah dan wilayah
jangkauan yang lebih luas lagi, yaitu industri. Transformasi dari dominasi modal
perdagangan ke dominasi modal industri merupakan ciri Revolusi Industri di Inggris
yang terjadi pada 1760 – 18306. Perubahan dalam cara menentukan pilihan teknologi
dan cara ber‐organisasi berhasil memindahkan industri dari pedesaan ke sentra‐sentra
perdagangan lama diperkotaan.
Kesuksesan secara ekonomis tersebut kemudian disusul dengan kesuksesan di bidang
politik (hubungan kapital dengan negara), kondisi ini akhirnya menentukan gaya
eksplorasi, eksploitasi dan perluasan daerah‐daerah kekuasaan sebagai tempat untuk
mendistribusikan hasil limpahan produksi.
Apalagi ditambah dengan kenyataan bahwa disana mereka juga melakukan eksploitasi
kekayaan setempat. Pada periode kolonisasi, banyak negara Utara melakukan invasi
kenegara‐negara Selatan atau negara dunia Ketiga (Asia, Afrika, dan Amerika Latin).
Invasi ini pada hakekatnya ialah mencari sumber daya alam baru atau bahan baku untuk
mengerakkan mesin‐mesin industri di negara Utara.
Dari sinilah kemudian fenomena imperialisme dapat dilacak, negara‐negara Utara yang
telah memulai proses industrialisasi yang dipacu oleh revolusi industri itu kemudian
berlomba‐lomba untuk mengirim ekspedisi mencari daerah atau wilayah baru. Konflik
untuk memperebutkan sumber‐sumber bahan mentah atau bahan baku dan juga konflik
dari monarki ke badan legislatif, kepentingan‐kepentingan yang berbenturan dari kelompok‐kelompok
yang semula bersekutu ini kemudian menjadi sumber konflik dan pertumpahan darah.
5 Dudley Dillard, Kapitalisme, dalam Dawam Raharjo.
6 Istilah Revolusi Industri diperkenalkan oleh Friederich Engels dan Louis‐Auguste Blanqui di
pertengahan abad ke‐19. Revolusi Industri adalah perubahan teknologi, sosioekonomi, dan budaya pada
akhir abad ke‐18 dan awal abad ke‐19 yang terjadi dengan penggantian ekonomi yang berdasarkan
pekerja menjadi yang didominasi oleh industri dan diproduksi mesin. Revolusi ini dimulai
di Inggris dengan perkenalan mesin uap (dengan menggunakan batubara sebagai bahan bakar) dan
ditenagai oleh mesin (terutama dalam produksi tekstil). Perkembangan peralatan mesin logam‐
keseluruhan pada dua dekade pertama dari abad ke‐19 membuat produk mesin produksi untuk
digunakan di industri lainnya.
untuk memperebutkan pasar untuk melemparkan hasil produksi dengan demikian
menjadi fenomena yang tidak terhindarkan. Inilah sebenarnya hakekat imperialisme
itu, penaklukan menjadi kebutuhan dan penjajahan menjadi konsekuensi logis.
Daerah jajahan/koloni akhirnya kehilangan kedaulatan dan martabatnya, sementara
perekonomian mereka dibentuk sedemikian rupa untuk melayani kepentingan tuan‐
tuan kolonial.
Ketimpangan ekonomi yang ditimbulkan akibat penjajahan itu pada akhirnya menjadi
pangkal dari krisis lingkungan hidup, yang ditandai dengan eksploitasi besar‐besaran
sumber daya alam di negara dunia ketiga.
Pasca Perang Dunia Kedua
olonisasi langsung ini pada perkembangannya disadari oleh negara kolonial terlalu
transparan, terlihat tidak adil dan diyakini tidak dapat berlangsung terus. Maka
pada tahun 1944, sebanyak 44 negara berkumpul di Bretton Woods (kota kecil di
negara bagian New Hampshire, AS), untuk membicarakan Tata Ekonomi Dunia Baru
pasca Perang Dunia Kedua.
Tujuan utama dari pertemuan ini ialah “menciptakan perdamaian, karena itu harus
dimulai dengan menciptakan kemakmuran ekonomi bagi semua negara di dunia ini”,
akhirnya lahirlah dua lembaga internasional yang dikenal dengan nama Bank Dunia
dan Dana Moneter Internasional (World Bank dan IMF, yang mulai beroperasi tahun
1947).
Lahirnya Bank Dunia dan IMF merupakan babak baru dalam sejarah umat manusia,
dimana pembangunan negara‐negara juga menjadi urusan negara‐negara lain di dunia
ini, tampaknya ini merupakan awal mula globalisasi yang semakin pesat didorong
dengan perkembangan teknologi komunikasi.
Pada proses globalisasi pembangunan yang ditandai dengan munculnya Bank Dunia dan
IMF, masalah dunia yang dulunya hanya kemiskinan dan perang bertambah satu yaitu
‘perusakan lingkungan’.
Masalah perusakan lingkungan ini tidak terjadi secara proses alamiah yang tidak
disengaja, namun lebih merupakan masalah kerusakan lingkungan yang dilakukan
secara aktif oleh manusia yang serakah mencari keuntungan pribadi. Tidak dapat
disangkal bahwa proses globalisasi pembangunan dengan titik sentral pengembangan
teknologi industri yang pesat dibarengi pula dengan polusi udara, polusi laut, kerusakan
hutan, dampak rumah kaca, dampak limbah nuklir, chlorine, dsb.
Perusakan lingkungan tersebut merupakan impak dari hubungan antara negara
penerima hutang (negara dunia ketiga) dengan negara pemberi hutang, hubungan yang
semula diharapkan menghasilkan kemakmuran bagi semua negara, bergeser menjadi
kemakmuran bagi negara pemberi hutang atau negara pertama di satu sisi dan
kemiskinan yang sangat menonjol di belahan dunia lainnya.
Negara dunia ketiga mengalami cekikan hutang, penurunan nilai tukar bagi barang‐
barang yang dihasilkan, ketergantungan yang sangat tinggi pada negara donor, yang
K
pada akhirnya memaksa negara dunia ketiga untuk mengeksploitasi sumber daya
alamnya semaksimal mungkin. Dalam peristilahan ekonomi hal itu berarti eksploitasi
produksi dan ekspor bahan‐bahan mentah maupun komoditas yang lebih cepat.
Pendapatan ekspor (plus pertukaran luar negeri yang lain yang terjadi dalam bentuk
pinjaman, bantuan dan investasi) dipakai untuk pembayaran impor barang‐barang
konsumen dari negara‐negara asing (terutama negara‐negara donor, dan menyangkut
barang‐barang mewah bagi kelompok elit lokal) serta berbagai masukan mesin‐mesin
berteknologi usang atau sampah maupun teknisi‐teknisi asing yang tidak terpakai di
negaranya.
Proses ekonomi ini bermuara pada krisis besar di bidang lingkungan hidup, eksploitasi
bahan‐bahan mentah dan tanaman perdagangan ini mengakibatkan penipisan dan
habisnya sumber daya alam yang merupakan faktor penting bagi produksi yang
berkelanjutan–telah dikuras sedemikian cepat dan membabi buta dalam periode pasca
perang.
Diseluruh dunia sekarang argumentasi lingkungan digunakan sebagai salah satu unsur
baru dan kuat dalam perebutan kekuasaan atas sumber daya lokal. Persekutuan‐
persekutuan politik yang aneh sengaja dikaburkan yang antara lain, ditemukan adanya
lembaga donor asing yang bekerjasama dengan para politisi etnis setempat dengan
agenda‐agenda lingkungan mereka.
Makin lemah pihak penerima bantuan, makin kuat para donotur internasional itu bisa
memaksakan persyaratan‐persyaratan lingkungan hidup (acoconditionalities) mereka.
Sebaliknya, makin kuat perekonomian negara penerima, dan justru ketika makin
mendesaknya persyaratan‐persyaratan lingkungan diterapkan pada negara tersebut
sesuai dengan tuntutan pelestarian lingkungan, maka makin lemah pula dampak
keprihatinan lingkungan global tersebut terlaksana di negeri tadi.
Uniknya krisis lingkungan hidup ini, dijawab dengan resep obat penenang (palliatives),
misalnya; pembabatan hutan besar‐besaran di injeksi dengan kewajiban penanaman
kembali pohon bagi pengusaha hutan, Impor teknologi sampah atau teknologi usang
asal dibarengi dengan kewajiban pembuatan AMDAL7 (sebagai syarat formal) sebagai
penenang masyarakat sekitar lokasi, penyelesaian konflik lingkungan lewat Win‐win
Solution. Dan uniknya lagi resep‐resep obat penenang tersebut sengaja diciptakan oleh
negara‐negara donatur, demi melanggengkan sistem ekonomi global yang diterapakan
di negara dunia ketiga.
Jadi jargon “pembangunan berkelanjutan” hakikatnya ialah berkelanjutannya sistem
ekonomi yang selalu berupaya mengakumulasikan modal. Atau dapat di analogikan
dengan “Pangeran rupawan (Bank Dunia & IMF) yang menyembunyikan pedang
dibelakang punggungnya, siap memberikan kecupan hangat pada gadis cantik jelita
yang baru bangun dari tidurnya (negara dunia ketiga)”.
7 AMDAL atau Analisis Dampak Lingkungan adalah instrumen yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia
untuk menilai kelayakan sebuah usaha berada dibawah ambang batas baku mutu pencemaran lingkungan.
AMDAL sama halnya dengan instrumen EIA (Environmental Impact Assessment) yang digunakan oleh
Pemerintah Amerika, perbedaannya terletak pada penetapan tingkat ambang batas baku mutu limbah,
dimana nilai yang digunakan oleh EIA jauh lebih ketat disbanding AMDAL.
Menurut Martin Khor Kok Peng8, (Imperialisme Ekonomi Baru. Putaran Uruguay dan
Kedaulatan Dunia Ketiga, 1993) kesalahan ini terjadi dikarenakan “Kekuatan‐kekuatan
telah berusaha dan berhasil ‘mengelola’ transisi dari dunia kolonial ke dunia pasca‐
kolonial, dengan cara‐cara yang sesungguhnya semakin mengetatkan kontrol mereka
terhadap pemanfaatan berbagai sumber daya yang ada di dunia ini, sementara mereka
juga menyebarkan model pembangunan, budaya, dan gaya hidup Barat ke negara‐
negara yang baru merdeka ini”.
Caranya ialah melalui tekanan hutang, perundingan‐perundingan dalam kerangka GATT
(General Agreement on Trade and Tariff ) dan Putaran Uruguay, pemaksaan model
pembangunan yang menguntungkan negara‐negara yang lebih kuat lewat apa yang
disebut Program Penyesuaian Struktural atau SAP (Structural Adjusment Program).
Krisis Ekologi di Negara Ketiga
ata ekonomi dunia baru pasca perang, ditandai dengan lahirnya Bank Dunia dan
IMF, cara‐cara imperialisme atau penjajahan langsung tidak dilakukan lagi seiring
dengan berakhirnya perang dunia kedua, tetapi model penguasaan atas sumber daya
alam tetap berlangsung.
Bahkan, pada perkembangannya peran Bank Dunia dan IMF jauh lebih luas dalam
mengontrol pasar dan ekonomi di negara ketiga melalui paket pinjaman (loan). Negara
maju berlomba melakukan investasi ke‐negara berkembang, pada hakikatnya ada empat
alasan yang sangat kuat perpindahan industri dari negara maju ke negara berkembang,
pertama, pasokan bahan baku atau sumber daya alam yang melimpah, kedua, tenaga
kerja yang murah, ketiga, pasar yang akan menjadi konsumen, keempat, transfer
teknologi usang dan transaksi teknologi.
Beberapa negara maju justru menggunakan kebijakan double standart terhadap
eksploitasi sumber daya alam, mereka menerapkan kebijakan yang sangat ketat dalam
memperoleh izin eksploitasi, seperti Australia (kasus perusahaan tambang di
Kalimantan), tetapi beberapa perusahaan Australia begitu mudah mendapatkan izin
eksploitasi di Indonesia.
Selain perpindahan industri, negara maju juga mendukung project‐project
pembangunan jalan, dam/waduk, dan project industri skala besar yang mengakibatkan
kerusakan hutan dan konflik pertanahan. Lambat laun tanpa disadari ‘tata ekonomi
dunia baru’ yang dicita‐citakan telah menjadikan negara ketiga sebagai tempat sampah,
limbah, dan gulai industri.
Di beberapa negara berkembang seperti brazil dan Indonesia, tutupan hutannya setiap
tahun berkurang drastis untuk memenuhi kebutuhan industri kertas, sementara limbah
dari pabriknya mengotori sungai – sungai yang menjadi sumber air masyarakat.
Penguasaan tanah oleh industri perkebunan besar dan industri tambang telah
T
8 Martin Khor Kok Peng dalam bukunya Imperialisme Ekonomi Baru, Putaran Uruguay dan Kedaulatan
Dunia Ketiga, 1993.
menyebabkan masyarakat kehilangan aset produksinya dan tanah‐tanah masyarakat di
Papua dan Kalimantan menjadi kolong‐kolong tailing dan air asam tambang.
Beberapa peristiwa penting kerusakan lingkungan antara lain: Kasus tambang Freeport
di Papua, kasus waduk kedung Ombo, konflik tambang Inco di Sulawesi, tambang emas
dan batubara KPC di kalimantan, kasus konflik perkebunan kelapa sawit sinar mas di
Sumatera, kasus pabrik pulp and paper di Riau dan Indorayon di Sumut, kasus Mobil Oil,
Exxon Mobil, HPH (Hak Penguasaan Hutan) di Aceh, dan ratusan kasus lingkungan yang
berimplikasi terhadap konflik land tenure, konflik horizontal, dan proyek pengamanan
oleh aparat militer. Semua konflik tersebut berjalin kelindan dengan persoalan politik
sumber daya alam yang dilakukan oleh negara – negara utara atau negara maju melalui
Bank Dunia dan IMF.
Krisis ekologi dinegara ketiga terus berlangsung dan secara perlahan telah melahirkan
perlawanan terhadap ketidak‐adilan tersebut, hal ini kemudian memunculkan
kelompok‐kelompok yang bergerak dalam barisan gerakan lingkungan yang tersebar di
seluruh dunia.
Gerakan Lingkungan
ebelum masuk pada pola dan bentuk‐bentuk Gerakan Lingkungan di dunia dan
Indonesia, ada banyak definisi tentang istilah Gerakan Lingkungan, setidaknya ada
tiga pengertian merujuk istilah Gerakan Lingkungan: Pertama, sebagai penggambaran
perkembangan tingkah laku kolektif (collective behavior). Kedua, sebagai jaringan
konflik‐konflik dan interaksi politis seputar isu‐isu lingkungan hidup dan isu‐isu lain
yang terkait. Ketiga, sebagai perwujudan dari perubahan opini publik dan nilai‐nilai
yang menyangkut lingkungan9.
Sekali‐lagi, lahirnya gerakan lingkungan diseluruh dunia merupakan refleksi gagalnya
instrumen pembangunan yang tidak menggunakan pendekatan ekologi, dan refleksi dari
carut‐marutnya pengelolaan sumber daya alam yang menyebabkan kerusakan
lingkungan dan ketimpangan sosial. Sehingga untuk menyelesaikan persoalan‐persoalan
tersebut diperlukan sebuah pendekatan ‘politik jalan ketiga10’ atau politik hijau yaitu
semua kebijakan pembangunan yang dibuat oleh Pemerintah harus mempertimbangkan
keberlangsungan ekologi. Pendekatan ini kemudian hari menjadi cikal bakal lahirnya
green party di beberapa negara maju.
Hari Bumi
22 April 1970 atau 41 tahun lalu, ditandai dengan lahirnya sebuah gerakan kepedulian
terhadap lingkungan hidup atas prakarsa seorang senator Amerika Serikat, Gaylord
Nelson sekaligus sebagai staf pengajar lingkungan hidup. Saat itu ia berhasil
mengumpulkan 20 juta orang turun ke jalan mengkampanyekan kepedulian terhadap
lingkungan hidup. Gagasan tentang Hari Bumi ini dicetuskan Nelson saat berpidato di
seattle pada 1969, dimana gagasannya mendapat dukungan luar biasa, yang sebagian
S
9 Berdasarkan literature Sosiologi.
10 Pendekatan Politik jalan ketiga diperkenalkan oleh Antony Giddens dan Dryzek, atau lebih dikenal
dengan istilah pendekatan politik hijau yaitu kemajuan demokrasi dan pembangunan harus memasukkan
pertimbangan ekologi sebagai pendekatan untuk menyelesaikan krisis lingkungan yang melanda dunia.
besar berasal dari kelompok demonstan anti‐perang generasi 60‐an. Gagasan Nelson
merefleksikan kehancuran sungai‐sungai dan lingkungan di Amerika akibat kemajuan
industri yang tidak mengakomodir kepentingan ekologi dan sekaligus sebagai seruan
untuk membangun kesadaran dan sekaligus apresiasi terhadap Bumi sebagai tempat
tinggal seluruh umat manusia, sejak saat itu setiap 22 April di peringati sebagai Hari
Bumi yang dilakukan oleh masyarakat International.11
Gerakan ‘CHIPKO’ Vandana Shiva
Pemihakan Vandana Shiva pada alam, pada petani dan kelompok tertinggal, khususnya
perempuan, tak sulit dilacak latar belakangnya. Perempuan yang dilahirkan pada
tanggal 5 November tahun 1952 di Dehradun, kota tua di Pegunungan Himalaya, India,
itu membangun penghargaannya pada alam melalui pengalaman kesehariannya
bersama ayahnya, seorang penjaga kelestarian hutan dan ibunya yang petani.
Cita‐citanya menjadi ilmuwan juga dibangun sejak kecil. Keinginannya untuk
mengetahui bagaimana alam bekerja membuatnya mencintai fisika. Einstein adalah
inspirasinya. Vandana Shiva juga memiliki gelar kedua di bidang filsafat mendapatkan
gelar PhD‐nya di bidang fisika kuantum dari University of Western Ontario pada tahun
1979.
Vandana Shiva dan seluruh sepak terjangnya telah mematahkan pandangan tentang
ilmuwan dan menara gadingnya. Sejak tahun 1970‐an, ia sudah memimpin aksi damai
menolak penebangan pohon di hutan dengan memeluk pohon tersebut tatkala sebuah
buldozer akan menumbangkannya. Peristiwa ini dikenal sebagai gerakan ‘Chipko
Movement”12.
Sejak itu, ibu satu anak ini banyak terlibat dalam aksi‐aksi mempertahankan
kepemilikan petani dan kaum marjinal lainnya. Pandangan‐pandangannya membuat
banyak orang tidak menyukainya. Namun, jalan sunyi yang dulu ia tapaki sendiri, kini
sudah semakin ramai dihuni.
Vandana Shiva menjadi inspirasi dunia bagi upaya pelestarian alam dan lingkungan,
serta pembangkit perempuan untuk berani ikut serta dalam upaya tersebut dan
mendapatkan hak‐haknya yang adil sebagai warga negara. Dia disebut sebagai feminis
lingkungan atau eko‐feminis.
11 PBB sendiri merayakan hari bumi pada 20 Maret, sebuah tradisi yang dicanangkan aktivis
perdamaian John McConnell pada tahun 1969, adalah hari dimana matahari tepat diatas khatulistiwa yang
sering disebut Ekuinoks Maret.
12 Aksi memeluk pohon khejri ini, di kemudian hari menjadi inspirasi bagi lahirnya gerakan‐gerakan
lingkungan di dunia. Di India gerakan chipko menjadi inspirasi lahirnya gerakan ekofeminisme Vandana
Shiva. Vandana Shiva pernah menuliskan “Peluklah pohon‐pohon kita” pada salah satu halaman bukunya
yang terkenal, Staying Alive: Women, Ecology and Survival in India. Dia mengutip kalimat itu dari sebuah
puisi yang digubah pada 1972 oleh Raturi. Puisi itu mengungkapkan betapa heroik dan puitisnya aktivitas
memeluk erat pohon yang dilakukan sejumlah perempuan India untuk menyelamatkan hutan dari agresi
keserakahan manusia. Puisi tersebut merupakan sumber dokumentasi awal dari apa yang kini disebut
(gerakan) Chipko.
Pemikir yang menggabungkan pandangannya tentang lingkungan hidup, pertanian,
spiritualitas, dan hak‐hak perempuan ke dalam filosofi yang sangat kuat ini
memaparkan dengan sangat jernih hubungan antara hilangnya mata pencaharian dan
perampasan sumber daya alam melalui cara‐cara yang licik dan menggunakan saluran‐
saluran demokrasi.
Bagi Vandana Shiva, benih adalah inti kehidupan. Untuk sumbangannya bagi gerakan
penyadaran dan perlindungan lingkungan, ia menerima 15 penghargaan nasional dan
internasional, termasuk The Earth Day International Award pada tahun 1993 dan The
International Award of Ecology pada tahun 1997.
Kelompok Greenpeace
Greenpeace sebagai organisasi yang berdiri sejak 1971 bertujuan memperjuangkan
kelestarian lingkungan dan perdamaian dunia. Di mana ada kerusakan lingkungan, di
situlah Greenpeace hadir menjadi saksi mata bagi dunia. Sampai saat ini Greenpeace
mempunyai perwakilan disetiap regional dunia13.
Greenpeace berhasil mengubah kebijakan pemerintahan dunia dari yang tidak berpihak
pada pelestarian lingkungan dan perdamaian menjadi kebijakan yang pro‐lingkungan
dan perdamaian. Tonggak keberhasilan Greenpeace pertama adalah menghentikan
percobaan nuklir Amerika Serikat di Amchitka Island, Alaska. Aksi Greenpeace mampu
mengubah kebijakan AS. Pemerintah AS menghentikan percobaan senjata nuklir
dikawasan itu dan memetakan kawasan itu sebagai kawasan lindung untuk burung‐
burung.
Bagaimana Greenpeace mampu bertahan selama kurang lebih 37 tahun? Jawabannya
karena Greenpeace memegang teguh dan menjaga nilai‐nilai dan prinsip‐prinsip
organisasi sejak awal berdiri dengan konsisten sehingga menjadi organisasi yang kuat
selama lebih dari 30 tahun.
Apa saja nilai‐nilai dan prinsip‐prinsip yang membuat Greenpeace menjadi organisasi
global yang diakui oleh lawan maupun kawan? Greenpeace tidak meminta atau
menerima dana dari pemerintah, perusahaan atau partai politik. Greenpeace
mendapatkan dana dari sumbangan individual sebagai pendukung (supporter) dan dana
hibah dari yayasan‐yayasan yang sudah teruji komitmennya. Greenpeace mendapatkan
dana paling besar dari individu yang bersimpati pada Greenpeace dan memiliki
kepedulian yang sama dengan Greenpeace. Nilai ini membantu Greenpeace lebih
independen ketika harus berhadapan dengan pemerintah dan perusahaan.
Masih terkait dengan sumber dana, Greenpeace tidak mencari atau menerima
sumbangan yang akan mengkompromikan kemandirian, tujuan, atau integritasnya.
Sikap ini penting untuk menunjukkan independensi Greenpeace dari pemberi dana.
13 Greenpeace South East Asia resmi berdiri tanggal 1 Maret 2000. GPSEA yang berkantor pusat di
Bangkok adalah pemegang lisensi Greenpeace di kawasan Asia Tenggara. GPSEA membuka kantor
operasional di dua negara Asia Tenggara lainnya, selain Thailand, yaitu Indonesia dan Filipina. GPSEA
memegang dan menganut prinsip‐prinsip yang sama dalam beroperasi di Indonesia, Thailand dan
Filipina. Berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia, Greenpeace Indonesia sudah terdaftar resmi di
Departemen Kehakiman dan HAM sebagai perkumpulan Greenpeace.
Greenpeace memegang teguh prinsip‐prinsip: tanpa kekerasan (non‐violence). Aksi
Greenpeace menghadang kapal tanker berisi minyak sawit di Riau sering disalahartikan
sebagai aksi yang mempertunjukkan kekerasan (violence). Greenpeace menyebut setiap
aksinya, seperti mengikatkan tubuh pada rel kereta (protes transportasi limbah nuklir)
atau pada pohon, menghadang kapal laut penangkap ikan paus dan aksi serupa,
sebagai non‐violence direct action atau aksi langsung tanpa kekerasan.
Direct action adalah aksi protes di mana aktivis atau pemrotes melawan melalui aksi
yang dirancang bukan hanya untuk mengubah kebijakan pemerintah atau mengubah
opini publik melalui media, tetapi juga mengubah kondisi lingkungan di sekeliling
mereka secara langsung.
Greenpeace sudah memulai bearing witness dan direct action sejak awal, ketika tahun
1971 para pendiri Greenpace menggunakan kapal ikan tua belayar “Phyllis Cormack”
dari Vancouver, Kanada, menuju Pulau Amchitka, pulau kecil di Tepi Barat Alaska.
Meskipun hanya kapal kecil tua, Phyllis Cormack dicegah oleh tentara Amerika Serikat
sebelum tiba di Pulau itu.
Greenpeace
berusaha
mempertahankan
independensinya
dari
politik
(political independence). Greenpeace tidak dipengaruhi oleh paham politik mana pun
dan dari negara atau partai apa pun. Prinsip ini berkaitan dengan prinsip
“no permanent allies orenemies.”
Greenpeace tidak memiliki sekutu atau musuh permanen (no permanent allies or
enemies). Greenpeace sebagai organisasi terbuka tidak lepas dari pengaruh
lingkungannya. Situasi politik, ekonomi, sosial, terkait dengan isu lingkungan tertentu
mendorong Greenpeace mengambil strategi bersekutu dengan pemerintah atau
organisasi non‐pemerintah lainnya untuk mencapai tujuan.
Persekutuan ini tidak permanen. Untuk satu isu lingkungan tertentu mungkin saja
Greenpeace bersekutu dengan pemerintah, tetapi untuk isu yang berbeda Greenpeace
memposisikan pemerintah sebagai musuh. Misalnya untuk isu perdagangan limbah B3,
Greenpeace memposisikan negara berkembang (termasuk Indonesia) sebagai sekutu
dan pemerintah negara maju sebagai “musuh.” Tetapi untuk isu kehutanan, Greenpeace
memposisikan Pemerintah Indonesia (Departemen Kehutanan) sebagai “musuh.”
Greenpeace, sebagai organisasi non‐pemerintah, memegang teguh prinsip transparan
dan akuntabilitas. Dua prinsip ini menjadi penting karena Greenpeace harus
mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangannya kepada para supporterindividu
dan foundation yang memberikan dana. Setiap tahun keuangan Greenpeace diaudit dan
laporan audit terbuka untuk diperiksa oleh parasupporter.
Gerakan Revolusi SDA di Amerika Latin
Amerika Latin yang terdiri dari Negara‐negara di Selatan Benua Amerika, sejak dahulu
hingga kini selalu memunculkan berbagai macam fenomena yang menyentak dunia.
Negara‐negara tersebut yang mayoritas merupakan jajahan Spanyol dan Portugis, selalu
menyimpan gairah dan cerita‐cerita sejarah yang menarik untuk dicermati, terutama
dalam persoalan revolusi penguasaan sumber daya alam dari tangan kapitalis negara
maju.
Di Kuba, tokoh revolusioner, pejuang pembebasan rakyat Kuba yang fenomenal. Fidel
Castro. Sejarah perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, tentang insiden
Teluk Babi, yang mempersoalkan tentang penempatan senjata rudal nuklir milik Soviet
di Kuba, tahun 1962, sehingga sempat membuat panas Presiden Amerika Serikat John
Fitzgerald Kennedy.
Selain Castro, tokoh berjuang menggulingkan Batista, tahun 1958, yakni: Che Guevara.
Bahkan hingga kini foto Che Guevara tetap dijadikan ‘ikon revolusioner kaum muda’
dengan cirri khasnya mengenakan baret yang ditempeli pin ‘ bintang merah’.
Argentinapun memiliki pahlawan pembela rakyat miskin yang melegenda, bahkan ada
lagu khusus yang meratapi kepergiannya, yaitu: ‘Don’t cry for me Argentina’. Evita
Peron, istri Presiden Juan Peron, yang memerintah dari tahun 1946 hingga 1973. Berkat
ideology yang diusungnya, yaitu: Peronisme, ‘first lady’ Argentina ini mengangkat taraf
kehidupan masyarakat miskin di Argentina dengan cara melayani langsung dan
memberikan perhatian atas pemenuhan kebutuhan‐kebutuhan pokok hidupnya agar
sesuai dengan taraf hidup layak yang manusiawi.
Pada abad ke 21 kini, Benua Amerika Latin juga memunculkan tokoh‐tokoh ‘neo‐
sosialism’ yang muncul secara serentak dengan pelopornya, Presiden Venezuela: Hugo
Chavez. Selanjutnya berturut‐turut menyusul, yaitu: Presiden Bolivia: Evo Morales,
Presiden Argentina: Christina Fernandez, Presiden Brazil: Lula Da Silva, dan Presiden
Ekuador: Rafael Correra.
Ciri dari gerakan kiri di benua Amerika Latin merupakan kaitan langsung dari refleksi
penguasaan sumber daya alam oleh rezim kapitalisme, terhadap sumur minyak dan
bahan tambang mineral, yang memunculkan ketimpangan struktural di Amerika Latin.
Gerakan Revolusi SDA di Amerika Latin memiliki corak dan pandangan yang hampir
sama dengan Gerakan Lingkungan sesungguhnya, perbedaannya hanya terletak pada
pelaku/aktor utama, pada kasus Amerika Latin diperankan oleh negara secara langsung,
sedangkan dibelahan dunia yang lain diperankan oleh oposisi dan kelompok green
party, hal ini membenarkan teori Anthony Giddens tentang opsi ‘politik jalan ketiga’
dimana negara terlibat langsung dalam penentuan kebijakan.
Green Party
Seperti namanya, Green Party adalah partai politik penganut ideology hijau. Ideology ini
hadir untuk mengkonter pembangunan ekonomi yang dibawa oleh modernisasi yang
praktek di lapangan sangat anthroposentris. Sifat pembangunan dan modernisasi sangat
bergantung pada tiga hal yakni ilmu pengetahuan, teknologi dan sumber daya manusia.
Dengan pendekatan modernisasi membuat ide‐ide pembangunan seakan bebas untuk
melakukan eksploitasi sumber daya alam secara besar‐besarnya.
Ideologi hijau muncul sejak tahun 1970 di Jerman dan tahun 1972 di kota Hobart
Australia. Saat itu sekumpulan anggota masyarakat mendeklarasikan partai bernama
“United Tasmanian Group”. Lahirnya green party di Australia tersebut dengan cepat
tersosialisasi meluas sehingga tak lama kemudian lahirlah green party di Kanada dan
New Zealand hingga menjadi perbincangan serius di parlemen Inggris dengan lahirnya
ecology party14.
Munculnya green party di tahun 1970‐an oleh banyak kalangan dilihat sebagai aksi‐
refleksi terhadap kejenuhan masyarakat dunia akibat perang urat syaraf yang dilakukan
oleh negara dunia pertama. Perilaku ekonomi yang secara capital didominasi oleh dunia
pertama dengan mengeksploitasi sumber daya alam yang ada di kawasan dunia ketiga
(Negara berkembang) telah melahirkan kesadaran baru dalam memandang hubungan
manusia dan alam. Kemudian lahirnya konsep etika lingkungan hidup yang sebagian
besar mengkritik etika antroposentrisme dan biosentrisme. Etika lingkungan hidup
yang populis adalah ekosentrisme (deep ecology) dan ekofeminism15.
Di negara maju, lingkungan hidup telah dianggap sebagai suatu kebutuhan mutlak atau
bahkan sebagai spirit kehidupan. Misalnya saja pada tahun 1975 di California, Amerika
Serikat, muncul gerakan yang menamakan dirinya The Universal Pantheis Society, yang
meyakini, alam dan seisinya memiliki jiwa yang saling terkait antara yang satu dengan
yang lainnya, sehingga tidak boleh saling merusak.
Bahkan jauh sebelumnya, pada dasawarsa 1970‐an, gerakan pro lingkungan telah mulai
marak di lingkungan akademisi internasional, yaitu dengan terbitnya tulisan The
Historical Roots of Our Ecological Crisis oleh Lynn White (1967) dan The Tragedy of
The Commons oleh Garet Hardins (1968). Partai politik seperti yang populer di Jerman,
Norwegia, Austria, Australia, Selandia Baru, dan Swedia ini menawarkan konsep
harmoni kehidupan dengan menyeimbangkan antara kualitas sumber daya alam dan
sumber daya manusia.
Meski menjadikan lingkungan hidup sebagai perjuangan utama, green party tidak hanya
berbicara masalah alam dan lingkungan seperti banjir, longsor, pencemaran air, dan
udara, melain‐kan juga berbicara soal peradaban yang di dalamnya termasuk
kebudayaan, adat istiadat, politik, ekonomi, teknik, teknologi sistem infrastruktur dan
lain‐lain. Mereka berpikir, lingkungan hidup dan manusia saling memengaruhi.
Di Jerman, misalnya, green party berhasil memunculkan kebijakan penerapan pajak
lingkungan (ecotax system) terhadap konsumsi energi dalam rangka menekan
penggunaan energi secara berlebihan. Bermodalkan isu‐isu lingkungan hidup serta
dukungan banyak konsep dan pemikiran para penggiat dan pakar lingkungan hidup
yang selama ini tidak mendapatkan tempat dalam proses pembuatan kebijakan
lingkungan.
Gerakan Lingkungan di Indonesia
Di Indonesia istilah gerakan lingkungan hidup di pakai dalam konsorsium : “15 tahun
Gerakan Lingkungan Hidup: Menuju Pembangunan Berwawasan Lingkungan”. Yang di
selenggarakan oleh kantor Meneg Kependudukan Dan Lingkungan Hidup di Jakarta, 5
Juni 1972.
Denton E Morrison mengusulkan bahwa yang di sebutkan gerakan lingkungan hidup
sesungguhnya terdiri dari 3 komponen yaitu komponen pertama, the organized or
14 www.hpli.or
15 Keraf, 2010
voluntary enviromental movement (gerakan lingkungan yang terorganisir atau gerakan
yang sukarela) termasuk dalam kategori ini adalah organisasi lingkungan seperti
Enviromental Devense Fund, Green Peace atau di Indonesia WALHI dan Jaringan
Pelestarian Hutan “SKEPHI”.
Komponen kedua, The public enviromental movement (gerakan lingkungan publik )
adalah khalayak ramai yang dengan sikap sehari‐hari dalam tindakan dan kata‐kata
mereka menyatakan kesukaan mereka terhadap ekosistem tertentu, pola hidup tertentu
serta flora dan fauna tertentu.
Komponen ketiga, The Institusional Enviromental Movement (gerakan lingkungan
terlembaga) ini sangat menentukan dalam negara negara berkembang dimana peranan
negara sangat dominan dan peranan aparat‐aparat birokrasi resmi mempunyai
kewenangan hukum (yuridiksi) terhadap kebijakan umum tentang lingkungan hidup
atau yang berkaitan dengan lingkungan hidup sebagai contoh di Amerika ada Badan
Perlindungan Lingkungan ( EPA ‐ Enviromental Protection Agency), Taman Nasional
(National Park Service) padanannya di Indonesia adalah Kantor Meneg KLH, DEPHUT.16
WALHI sebagai tonggak sejarah gerakan lingkungan di Indonesia
Berdiri pada 15 Oktober 198017, beranggotakan 400‐an organisasi diseluruh Indonesia.
Tujuan WALHI adalah mengembalikan kedaulatan rakyat atas sumberdaya alam, pada
awalnya, WALHI tidak kompromi terhadap berbagai perusak lingkungan, tetapi hal
tersebut bukan akar persoalan, karena semua itu ditentukan oleh berbagai peraturan
yang dibuat oleh pemerintah. Dalam perkembangannya Walhi melakukan reposisi dan
memutuskan masuk dalam advokasi, yaitu melakukan perubahan kebijakan lingkungan
hidup.
Pada awal terbentuknya, style organisasi ini hanyalah kumpulan individu yang
mempunyai kepedulian terhadap lingkungan, dan aktivitas‐nya terbatas pada persoalan
direct action, seperti pembersihan sungai, dan aksi‐aksi langsung lainnya. Metamorfosis
WALHI sebagai organisasi gerakan lingkungan mulai terasa di tahun 1988, dimana
munculnya kesadaran baru tentang akar persoalan lingkungan adalah persoalan
kesalahan kebijakan yang dilakukan Pemerintah pada waktu itu.
Sejalan dengan hal tersebut, sikap kritis WALHI terus terasah melihat berbagai
kebijakan dan eksploitasi sumberdaya alam yang merugikan masyarakat. Kampanye
terhadap dampak pertambangan di PT. Freeport Indonesia mengawali langkah WALHI
dalam hard campign, di mana sikap tegas dan tidak kompromi terhadap perusak
lingkungan menjadi ciri khas WALHI selanjutnya.
Pada tahun 1988, Badan Eksekutif WALHI mulai mengkampanyekan tentang Reformasi
Lingkungan Hidup fokus pada hal‐hal makro yang meliputi kebijakan lingkungan dan
kelembagaan lingkungan. Kebijakan tersebut dilandasi oleh pernyataan bahwa
16 George Junus Aditjondro,2003. Pola‐pola Gerakan Lingkungan. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
17 Pada awal berdirinya WALHI, juga melibatkan beberapa tokoh nasional seperti; Emil Salim dan Erna
Witoelar, George Junus Aditjondro, dan beberapa tokoh nasional lainnya, dalam perkembangannya
WALHI menjadi Organisasi Gerakan Lingkungan beberapa tokoh dan aktivis HAM nasional juga masih
terlibat membangun WALHI.
kebijakan lingkungan harus memenuhi rasa keadilan, melindungi lingkungan, dan bisa
dinikmati oleh masyarakat.
Bulan Desember 1989, Walhi memutuskan untuk menggugat enam pejabat negara
karena mengijinkan pembangunan pabrik pulp dan rayon, PT Inti Indorayon
Politik Sumber Daya Alam dan Gerakan Lingkungan1
Oleh: Dewa Gumay2
“Ketika Hutan dan Sungai terakhir telah rusak, Ketika sumber‐sumber kehidupan terakhir telah musnah.
Dan, ketika itu manusia baru sadar bahwa hidup tidak bisa makan uang !.”
Pengantar
P
ada dasarnya, kelahiran gerakan‐gerakan sosial ataupun gerakan lingkungan selalu
ditandai dengan ketimpangan, mulai dari kondisi ketimpangan sosial, politik, dan
carut‐marutnya pengelolaan sumber daya alam. Tulisan ini mencoba mendedah titik
balik lahirnya Gerakan Lingkungan International dan menjalar ke Indonesia dalam
perspektif historis atau dalam lebih luas adalah Gerakan penentangan terhadap
ketimpangan pengelolaan sumber daya alam.
Lahirnya Gerakan Lingkungan atau sumber daya alam didasari oleh sebuah keyakinan
yang kuat bahwa terjadi sebuah konspirasi dan kapitalisasi oleh negara maju terhadap
akses sumber daya alam yang timpang, yang dirasakan oleh negara ketiga atau lebih
dikenal dengan hubungan Utara – Selatan, atau politik sumber daya alam yang dilakukan
oleh negara maju terhadap negara berkembang
Periodisasi berdasarkan tinjauan historis‐nya, politik sumber daya alam dapat dibedah
menjadi tiga periode penting: Pra Perang Dunia Pertama, yaitu periode penguasaan
sumber daya alam oleh kaum feodalisme/monarki, kolonialisme (penguasaan secara
langsung melalui penjajahan), dan perang dunia kedua, kemudian Pasca Perang Dunia
Kedua, yaitu periode tatanan ekonomi dunia baru ditandai dengan lahirnya Bank Dunia
dan IMF, impor dan pengalihan industri ke‐negara ketiga yang menyebabkan kerusakan
lingkungan. Periode ketiga adalah kerusakan lingkungan dan pengurasan sumber daya
alam, mengakibatkan pemiskinan struktural. Periode inilah yang dikemudian hari
menjadi titik balik lahirnya Gerakan Lingkungan di seluruh dunia, termasuk di
Indonesia.
Pemindahan secara besar‐besaran industri dinegara maju ke‐negara berkembang, pada
hakikatnya adalah memindahkan potensi dampak lingkungan yang akan terjadi
dinegaranya, selain memudahkan mendapat bahan baku dan tenaga kerja yang murah,
serta pasar yang melimpah.
1 Materi Politik Sumber Daya Alam dan Gerakan Lingkungan, pada beberapa kesempatan disampaikan
oleh Penulis dalam pelatihan ‘KALABAHU’ Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh dan lembaga
lainnya, didasarkan pada muatan ‘Pendidikan Hukum Kritis’.
2 Dewa Gumay adalah Pegiat Lingkungan, tinggal di Banda Aceh. Pernah terlibat pada Advokasi Sumber
Daya Alam di LBH Palembang dan Walhi Sumsel pada periode 2000 ‐ 2005, dan di Walhi Aceh pada
periode 2005 – 2007. Tulisan‐tulisan Dewa Gumay bisa diakses di weblog:
www.dewagumay.wordpress.com
Sehingga dalam perkembangannya, dinamika Gerakan Lingkungan terus mengalami
perubahan, terutama di Indonesia. Pada awalnya gerakan lingkungan masih bersifat
parsial, tidak menyentuh akar persoalan, dan masih didominasi oleh kelompok hobby
atau pecinta alam. Mulai periode 80‐an hingga 90‐an muncul kesadaran baru bahwa
persoalan lingkungan adalah bagian dari persoalan politik. Sehingga penyelesaian kasus
lingkungan harus dilakukan dengan jalan politik atau lebih dikenal dengan istilah ‘Politik
Hijau’ dimana semua instrumen pembangunan harus memperhatikan aspek lingkungan
atau ekologi.
Pra Perang Dunia Pertama
S
ejak awal perkembangan sistem ekonomi yang beorientasi modal, kawasan
lingkungan alam yang kemudian disebut Sumber Daya Alam (SDA) sudah menjadi
salah satu faktor penting disamping modal dan Sumber Daya Manusia (SDM). Sebagai
suatu ideologi yang bertujuan melakukan penumpukan modal (Capital Accumulation)
melalui proses penanaman modal (Capital Investment).
Dalam prakteknya tak lain adalah mendorong dan mengharuskan adanya ekspansi
keluar dalam bentuk penguasaan pasar, sumber pasokan bahan baku dan tenaga kerja
semurah mungkin. Pada zaman kolonialisme akumulasi modal yang tersentralisasi di
Eropa (Inggris) di distribusikan kebeberapa penjuru dunia, yang pada gilirannya ia
menghadirkan segenap kemiskinan di wilayah jajahannya.
Keyakinan akan akibat dari proses dialektika materialis‐lah, ideologi akumulasi modal
muncul. Pandangan ini kemudian dipertegas oleh Weber dengan deskripsinya
tentang “adanya sebuah gerakan individualisme sebagai penentangan atas eksploitasi
kejam yang dilakukan oleh feodalisme”.
Feodalisme di Yunani dan Romawi muncul dari kelas militer, sedangkan di Eropa
Tengah muncul dari kelas Tuan Tanah. Kondisi inilah yang melahirkan kelas‐kelas
penguasa atau pemegang hak milik atas aset produksi, kelas sosial ini kemudian hari
dilawan dengan gerakan individualisme yang merupakan cikal bakal sistem akumulasi
modal.
Di Perancis ditandai dengan jatuhnya penjara bastile dan kemarahan rakyat kelas petani
sehingga melahirkan Revolusi Perancis pada 1789 dan 17993. Revolusi Perancis
merupakan kritik terhadap feodalisme yang dilakukan oleh kelas petani, buruh, dan
semua kelas yang tersakiti oleh kekuasaan feodalisme atau monarki4.
3 Revolusi Perancis adalah masa dalam sejarah Perancis antara tahun 1789 dan 1799 di mana
para demokrat dan pendukung republikan menjatuhkan monarki absolut di Perancis dan memaksa Gereja
Katolik Roma menjalani restrukturisasi yang radikal. Meski Perancis kemudian akan berganti sistem
antara republik, kekaisaran, dan monarki selama 75 tahun setelah Republik Pertama Perancis jatuh
dalam kudeta yang dilakukan oleh Napoleon Bonaparte, revolusi ini dengan jelas mengakhiri ancien
régime (bahasa Indonesia: Rezim Lama; merujuk kepada kekuasaan dinasti seperti Valois dan Bourbon)
dan menjadi lebih penting daripada revolusi‐revolusi berikutnya yang terjadi di Perancis.
4 Banyak faktor yang menyebabkan revolusi ini, salah satu di antaranya adalah karena sikap orde yang
lama terlalu kaku dalam menghadapi dunia yang berubah. Penyebab lainnya adalah karena ambisi yang
berkembang dan dipengaruhi oleh ide Pencerahan dari kaum borjuis, kaum petani, para buruh, dan
individu dari semua kelas yang merasa disakiti. Sementara revolusi berlangsung dan kekuasaan beralih
Periode di atas ditandai dengan pemenuhan kebutuhan pokok dengan kehadiran
industri sandang di Inggris (abad ke‐16 sampai abad ke‐18). Walaupun industri sandang
tersebut masih menggunakan mesin pemintal yang sangat sederhana, namun
kepesatannya pada gilirannya mampu meningkatkan apa yang disebut sebagai ‘surplus
sosial’. Pada akhirnya surplus sosial itu telah berubah menjadi perluasan kapasitas
produksi, perluasan demi perluasan dengan justifikasi produktifitas yang dilakukan
selanjutnya menghadirkan fenomena dramatis dengan munculnya kolonisasi kedaerah‐
daerah lain yang tak memiliki keseimbangan produksi.
Menurut Dudley Dillard5, pase ini didukung dengan tiga faktor penting; Pertama,
dukungan agama dengan menanamkan sikap dan karakter kerja keras dan anjuran
untuk hidup hemat. Kedua, hadirnya mitos logam mulia terhadap distribusi pendapatan
atas upah, laba, dan sewa. Ketiga, keikutsertaan negara dalam membantu membentuk
modal untuk berusaha.
Pergeseran prilaku yang semula hanya sekedar perdagangan publik, kearah dan wilayah
jangkauan yang lebih luas lagi, yaitu industri. Transformasi dari dominasi modal
perdagangan ke dominasi modal industri merupakan ciri Revolusi Industri di Inggris
yang terjadi pada 1760 – 18306. Perubahan dalam cara menentukan pilihan teknologi
dan cara ber‐organisasi berhasil memindahkan industri dari pedesaan ke sentra‐sentra
perdagangan lama diperkotaan.
Kesuksesan secara ekonomis tersebut kemudian disusul dengan kesuksesan di bidang
politik (hubungan kapital dengan negara), kondisi ini akhirnya menentukan gaya
eksplorasi, eksploitasi dan perluasan daerah‐daerah kekuasaan sebagai tempat untuk
mendistribusikan hasil limpahan produksi.
Apalagi ditambah dengan kenyataan bahwa disana mereka juga melakukan eksploitasi
kekayaan setempat. Pada periode kolonisasi, banyak negara Utara melakukan invasi
kenegara‐negara Selatan atau negara dunia Ketiga (Asia, Afrika, dan Amerika Latin).
Invasi ini pada hakekatnya ialah mencari sumber daya alam baru atau bahan baku untuk
mengerakkan mesin‐mesin industri di negara Utara.
Dari sinilah kemudian fenomena imperialisme dapat dilacak, negara‐negara Utara yang
telah memulai proses industrialisasi yang dipacu oleh revolusi industri itu kemudian
berlomba‐lomba untuk mengirim ekspedisi mencari daerah atau wilayah baru. Konflik
untuk memperebutkan sumber‐sumber bahan mentah atau bahan baku dan juga konflik
dari monarki ke badan legislatif, kepentingan‐kepentingan yang berbenturan dari kelompok‐kelompok
yang semula bersekutu ini kemudian menjadi sumber konflik dan pertumpahan darah.
5 Dudley Dillard, Kapitalisme, dalam Dawam Raharjo.
6 Istilah Revolusi Industri diperkenalkan oleh Friederich Engels dan Louis‐Auguste Blanqui di
pertengahan abad ke‐19. Revolusi Industri adalah perubahan teknologi, sosioekonomi, dan budaya pada
akhir abad ke‐18 dan awal abad ke‐19 yang terjadi dengan penggantian ekonomi yang berdasarkan
pekerja menjadi yang didominasi oleh industri dan diproduksi mesin. Revolusi ini dimulai
di Inggris dengan perkenalan mesin uap (dengan menggunakan batubara sebagai bahan bakar) dan
ditenagai oleh mesin (terutama dalam produksi tekstil). Perkembangan peralatan mesin logam‐
keseluruhan pada dua dekade pertama dari abad ke‐19 membuat produk mesin produksi untuk
digunakan di industri lainnya.
untuk memperebutkan pasar untuk melemparkan hasil produksi dengan demikian
menjadi fenomena yang tidak terhindarkan. Inilah sebenarnya hakekat imperialisme
itu, penaklukan menjadi kebutuhan dan penjajahan menjadi konsekuensi logis.
Daerah jajahan/koloni akhirnya kehilangan kedaulatan dan martabatnya, sementara
perekonomian mereka dibentuk sedemikian rupa untuk melayani kepentingan tuan‐
tuan kolonial.
Ketimpangan ekonomi yang ditimbulkan akibat penjajahan itu pada akhirnya menjadi
pangkal dari krisis lingkungan hidup, yang ditandai dengan eksploitasi besar‐besaran
sumber daya alam di negara dunia ketiga.
Pasca Perang Dunia Kedua
olonisasi langsung ini pada perkembangannya disadari oleh negara kolonial terlalu
transparan, terlihat tidak adil dan diyakini tidak dapat berlangsung terus. Maka
pada tahun 1944, sebanyak 44 negara berkumpul di Bretton Woods (kota kecil di
negara bagian New Hampshire, AS), untuk membicarakan Tata Ekonomi Dunia Baru
pasca Perang Dunia Kedua.
Tujuan utama dari pertemuan ini ialah “menciptakan perdamaian, karena itu harus
dimulai dengan menciptakan kemakmuran ekonomi bagi semua negara di dunia ini”,
akhirnya lahirlah dua lembaga internasional yang dikenal dengan nama Bank Dunia
dan Dana Moneter Internasional (World Bank dan IMF, yang mulai beroperasi tahun
1947).
Lahirnya Bank Dunia dan IMF merupakan babak baru dalam sejarah umat manusia,
dimana pembangunan negara‐negara juga menjadi urusan negara‐negara lain di dunia
ini, tampaknya ini merupakan awal mula globalisasi yang semakin pesat didorong
dengan perkembangan teknologi komunikasi.
Pada proses globalisasi pembangunan yang ditandai dengan munculnya Bank Dunia dan
IMF, masalah dunia yang dulunya hanya kemiskinan dan perang bertambah satu yaitu
‘perusakan lingkungan’.
Masalah perusakan lingkungan ini tidak terjadi secara proses alamiah yang tidak
disengaja, namun lebih merupakan masalah kerusakan lingkungan yang dilakukan
secara aktif oleh manusia yang serakah mencari keuntungan pribadi. Tidak dapat
disangkal bahwa proses globalisasi pembangunan dengan titik sentral pengembangan
teknologi industri yang pesat dibarengi pula dengan polusi udara, polusi laut, kerusakan
hutan, dampak rumah kaca, dampak limbah nuklir, chlorine, dsb.
Perusakan lingkungan tersebut merupakan impak dari hubungan antara negara
penerima hutang (negara dunia ketiga) dengan negara pemberi hutang, hubungan yang
semula diharapkan menghasilkan kemakmuran bagi semua negara, bergeser menjadi
kemakmuran bagi negara pemberi hutang atau negara pertama di satu sisi dan
kemiskinan yang sangat menonjol di belahan dunia lainnya.
Negara dunia ketiga mengalami cekikan hutang, penurunan nilai tukar bagi barang‐
barang yang dihasilkan, ketergantungan yang sangat tinggi pada negara donor, yang
K
pada akhirnya memaksa negara dunia ketiga untuk mengeksploitasi sumber daya
alamnya semaksimal mungkin. Dalam peristilahan ekonomi hal itu berarti eksploitasi
produksi dan ekspor bahan‐bahan mentah maupun komoditas yang lebih cepat.
Pendapatan ekspor (plus pertukaran luar negeri yang lain yang terjadi dalam bentuk
pinjaman, bantuan dan investasi) dipakai untuk pembayaran impor barang‐barang
konsumen dari negara‐negara asing (terutama negara‐negara donor, dan menyangkut
barang‐barang mewah bagi kelompok elit lokal) serta berbagai masukan mesin‐mesin
berteknologi usang atau sampah maupun teknisi‐teknisi asing yang tidak terpakai di
negaranya.
Proses ekonomi ini bermuara pada krisis besar di bidang lingkungan hidup, eksploitasi
bahan‐bahan mentah dan tanaman perdagangan ini mengakibatkan penipisan dan
habisnya sumber daya alam yang merupakan faktor penting bagi produksi yang
berkelanjutan–telah dikuras sedemikian cepat dan membabi buta dalam periode pasca
perang.
Diseluruh dunia sekarang argumentasi lingkungan digunakan sebagai salah satu unsur
baru dan kuat dalam perebutan kekuasaan atas sumber daya lokal. Persekutuan‐
persekutuan politik yang aneh sengaja dikaburkan yang antara lain, ditemukan adanya
lembaga donor asing yang bekerjasama dengan para politisi etnis setempat dengan
agenda‐agenda lingkungan mereka.
Makin lemah pihak penerima bantuan, makin kuat para donotur internasional itu bisa
memaksakan persyaratan‐persyaratan lingkungan hidup (acoconditionalities) mereka.
Sebaliknya, makin kuat perekonomian negara penerima, dan justru ketika makin
mendesaknya persyaratan‐persyaratan lingkungan diterapkan pada negara tersebut
sesuai dengan tuntutan pelestarian lingkungan, maka makin lemah pula dampak
keprihatinan lingkungan global tersebut terlaksana di negeri tadi.
Uniknya krisis lingkungan hidup ini, dijawab dengan resep obat penenang (palliatives),
misalnya; pembabatan hutan besar‐besaran di injeksi dengan kewajiban penanaman
kembali pohon bagi pengusaha hutan, Impor teknologi sampah atau teknologi usang
asal dibarengi dengan kewajiban pembuatan AMDAL7 (sebagai syarat formal) sebagai
penenang masyarakat sekitar lokasi, penyelesaian konflik lingkungan lewat Win‐win
Solution. Dan uniknya lagi resep‐resep obat penenang tersebut sengaja diciptakan oleh
negara‐negara donatur, demi melanggengkan sistem ekonomi global yang diterapakan
di negara dunia ketiga.
Jadi jargon “pembangunan berkelanjutan” hakikatnya ialah berkelanjutannya sistem
ekonomi yang selalu berupaya mengakumulasikan modal. Atau dapat di analogikan
dengan “Pangeran rupawan (Bank Dunia & IMF) yang menyembunyikan pedang
dibelakang punggungnya, siap memberikan kecupan hangat pada gadis cantik jelita
yang baru bangun dari tidurnya (negara dunia ketiga)”.
7 AMDAL atau Analisis Dampak Lingkungan adalah instrumen yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia
untuk menilai kelayakan sebuah usaha berada dibawah ambang batas baku mutu pencemaran lingkungan.
AMDAL sama halnya dengan instrumen EIA (Environmental Impact Assessment) yang digunakan oleh
Pemerintah Amerika, perbedaannya terletak pada penetapan tingkat ambang batas baku mutu limbah,
dimana nilai yang digunakan oleh EIA jauh lebih ketat disbanding AMDAL.
Menurut Martin Khor Kok Peng8, (Imperialisme Ekonomi Baru. Putaran Uruguay dan
Kedaulatan Dunia Ketiga, 1993) kesalahan ini terjadi dikarenakan “Kekuatan‐kekuatan
telah berusaha dan berhasil ‘mengelola’ transisi dari dunia kolonial ke dunia pasca‐
kolonial, dengan cara‐cara yang sesungguhnya semakin mengetatkan kontrol mereka
terhadap pemanfaatan berbagai sumber daya yang ada di dunia ini, sementara mereka
juga menyebarkan model pembangunan, budaya, dan gaya hidup Barat ke negara‐
negara yang baru merdeka ini”.
Caranya ialah melalui tekanan hutang, perundingan‐perundingan dalam kerangka GATT
(General Agreement on Trade and Tariff ) dan Putaran Uruguay, pemaksaan model
pembangunan yang menguntungkan negara‐negara yang lebih kuat lewat apa yang
disebut Program Penyesuaian Struktural atau SAP (Structural Adjusment Program).
Krisis Ekologi di Negara Ketiga
ata ekonomi dunia baru pasca perang, ditandai dengan lahirnya Bank Dunia dan
IMF, cara‐cara imperialisme atau penjajahan langsung tidak dilakukan lagi seiring
dengan berakhirnya perang dunia kedua, tetapi model penguasaan atas sumber daya
alam tetap berlangsung.
Bahkan, pada perkembangannya peran Bank Dunia dan IMF jauh lebih luas dalam
mengontrol pasar dan ekonomi di negara ketiga melalui paket pinjaman (loan). Negara
maju berlomba melakukan investasi ke‐negara berkembang, pada hakikatnya ada empat
alasan yang sangat kuat perpindahan industri dari negara maju ke negara berkembang,
pertama, pasokan bahan baku atau sumber daya alam yang melimpah, kedua, tenaga
kerja yang murah, ketiga, pasar yang akan menjadi konsumen, keempat, transfer
teknologi usang dan transaksi teknologi.
Beberapa negara maju justru menggunakan kebijakan double standart terhadap
eksploitasi sumber daya alam, mereka menerapkan kebijakan yang sangat ketat dalam
memperoleh izin eksploitasi, seperti Australia (kasus perusahaan tambang di
Kalimantan), tetapi beberapa perusahaan Australia begitu mudah mendapatkan izin
eksploitasi di Indonesia.
Selain perpindahan industri, negara maju juga mendukung project‐project
pembangunan jalan, dam/waduk, dan project industri skala besar yang mengakibatkan
kerusakan hutan dan konflik pertanahan. Lambat laun tanpa disadari ‘tata ekonomi
dunia baru’ yang dicita‐citakan telah menjadikan negara ketiga sebagai tempat sampah,
limbah, dan gulai industri.
Di beberapa negara berkembang seperti brazil dan Indonesia, tutupan hutannya setiap
tahun berkurang drastis untuk memenuhi kebutuhan industri kertas, sementara limbah
dari pabriknya mengotori sungai – sungai yang menjadi sumber air masyarakat.
Penguasaan tanah oleh industri perkebunan besar dan industri tambang telah
T
8 Martin Khor Kok Peng dalam bukunya Imperialisme Ekonomi Baru, Putaran Uruguay dan Kedaulatan
Dunia Ketiga, 1993.
menyebabkan masyarakat kehilangan aset produksinya dan tanah‐tanah masyarakat di
Papua dan Kalimantan menjadi kolong‐kolong tailing dan air asam tambang.
Beberapa peristiwa penting kerusakan lingkungan antara lain: Kasus tambang Freeport
di Papua, kasus waduk kedung Ombo, konflik tambang Inco di Sulawesi, tambang emas
dan batubara KPC di kalimantan, kasus konflik perkebunan kelapa sawit sinar mas di
Sumatera, kasus pabrik pulp and paper di Riau dan Indorayon di Sumut, kasus Mobil Oil,
Exxon Mobil, HPH (Hak Penguasaan Hutan) di Aceh, dan ratusan kasus lingkungan yang
berimplikasi terhadap konflik land tenure, konflik horizontal, dan proyek pengamanan
oleh aparat militer. Semua konflik tersebut berjalin kelindan dengan persoalan politik
sumber daya alam yang dilakukan oleh negara – negara utara atau negara maju melalui
Bank Dunia dan IMF.
Krisis ekologi dinegara ketiga terus berlangsung dan secara perlahan telah melahirkan
perlawanan terhadap ketidak‐adilan tersebut, hal ini kemudian memunculkan
kelompok‐kelompok yang bergerak dalam barisan gerakan lingkungan yang tersebar di
seluruh dunia.
Gerakan Lingkungan
ebelum masuk pada pola dan bentuk‐bentuk Gerakan Lingkungan di dunia dan
Indonesia, ada banyak definisi tentang istilah Gerakan Lingkungan, setidaknya ada
tiga pengertian merujuk istilah Gerakan Lingkungan: Pertama, sebagai penggambaran
perkembangan tingkah laku kolektif (collective behavior). Kedua, sebagai jaringan
konflik‐konflik dan interaksi politis seputar isu‐isu lingkungan hidup dan isu‐isu lain
yang terkait. Ketiga, sebagai perwujudan dari perubahan opini publik dan nilai‐nilai
yang menyangkut lingkungan9.
Sekali‐lagi, lahirnya gerakan lingkungan diseluruh dunia merupakan refleksi gagalnya
instrumen pembangunan yang tidak menggunakan pendekatan ekologi, dan refleksi dari
carut‐marutnya pengelolaan sumber daya alam yang menyebabkan kerusakan
lingkungan dan ketimpangan sosial. Sehingga untuk menyelesaikan persoalan‐persoalan
tersebut diperlukan sebuah pendekatan ‘politik jalan ketiga10’ atau politik hijau yaitu
semua kebijakan pembangunan yang dibuat oleh Pemerintah harus mempertimbangkan
keberlangsungan ekologi. Pendekatan ini kemudian hari menjadi cikal bakal lahirnya
green party di beberapa negara maju.
Hari Bumi
22 April 1970 atau 41 tahun lalu, ditandai dengan lahirnya sebuah gerakan kepedulian
terhadap lingkungan hidup atas prakarsa seorang senator Amerika Serikat, Gaylord
Nelson sekaligus sebagai staf pengajar lingkungan hidup. Saat itu ia berhasil
mengumpulkan 20 juta orang turun ke jalan mengkampanyekan kepedulian terhadap
lingkungan hidup. Gagasan tentang Hari Bumi ini dicetuskan Nelson saat berpidato di
seattle pada 1969, dimana gagasannya mendapat dukungan luar biasa, yang sebagian
S
9 Berdasarkan literature Sosiologi.
10 Pendekatan Politik jalan ketiga diperkenalkan oleh Antony Giddens dan Dryzek, atau lebih dikenal
dengan istilah pendekatan politik hijau yaitu kemajuan demokrasi dan pembangunan harus memasukkan
pertimbangan ekologi sebagai pendekatan untuk menyelesaikan krisis lingkungan yang melanda dunia.
besar berasal dari kelompok demonstan anti‐perang generasi 60‐an. Gagasan Nelson
merefleksikan kehancuran sungai‐sungai dan lingkungan di Amerika akibat kemajuan
industri yang tidak mengakomodir kepentingan ekologi dan sekaligus sebagai seruan
untuk membangun kesadaran dan sekaligus apresiasi terhadap Bumi sebagai tempat
tinggal seluruh umat manusia, sejak saat itu setiap 22 April di peringati sebagai Hari
Bumi yang dilakukan oleh masyarakat International.11
Gerakan ‘CHIPKO’ Vandana Shiva
Pemihakan Vandana Shiva pada alam, pada petani dan kelompok tertinggal, khususnya
perempuan, tak sulit dilacak latar belakangnya. Perempuan yang dilahirkan pada
tanggal 5 November tahun 1952 di Dehradun, kota tua di Pegunungan Himalaya, India,
itu membangun penghargaannya pada alam melalui pengalaman kesehariannya
bersama ayahnya, seorang penjaga kelestarian hutan dan ibunya yang petani.
Cita‐citanya menjadi ilmuwan juga dibangun sejak kecil. Keinginannya untuk
mengetahui bagaimana alam bekerja membuatnya mencintai fisika. Einstein adalah
inspirasinya. Vandana Shiva juga memiliki gelar kedua di bidang filsafat mendapatkan
gelar PhD‐nya di bidang fisika kuantum dari University of Western Ontario pada tahun
1979.
Vandana Shiva dan seluruh sepak terjangnya telah mematahkan pandangan tentang
ilmuwan dan menara gadingnya. Sejak tahun 1970‐an, ia sudah memimpin aksi damai
menolak penebangan pohon di hutan dengan memeluk pohon tersebut tatkala sebuah
buldozer akan menumbangkannya. Peristiwa ini dikenal sebagai gerakan ‘Chipko
Movement”12.
Sejak itu, ibu satu anak ini banyak terlibat dalam aksi‐aksi mempertahankan
kepemilikan petani dan kaum marjinal lainnya. Pandangan‐pandangannya membuat
banyak orang tidak menyukainya. Namun, jalan sunyi yang dulu ia tapaki sendiri, kini
sudah semakin ramai dihuni.
Vandana Shiva menjadi inspirasi dunia bagi upaya pelestarian alam dan lingkungan,
serta pembangkit perempuan untuk berani ikut serta dalam upaya tersebut dan
mendapatkan hak‐haknya yang adil sebagai warga negara. Dia disebut sebagai feminis
lingkungan atau eko‐feminis.
11 PBB sendiri merayakan hari bumi pada 20 Maret, sebuah tradisi yang dicanangkan aktivis
perdamaian John McConnell pada tahun 1969, adalah hari dimana matahari tepat diatas khatulistiwa yang
sering disebut Ekuinoks Maret.
12 Aksi memeluk pohon khejri ini, di kemudian hari menjadi inspirasi bagi lahirnya gerakan‐gerakan
lingkungan di dunia. Di India gerakan chipko menjadi inspirasi lahirnya gerakan ekofeminisme Vandana
Shiva. Vandana Shiva pernah menuliskan “Peluklah pohon‐pohon kita” pada salah satu halaman bukunya
yang terkenal, Staying Alive: Women, Ecology and Survival in India. Dia mengutip kalimat itu dari sebuah
puisi yang digubah pada 1972 oleh Raturi. Puisi itu mengungkapkan betapa heroik dan puitisnya aktivitas
memeluk erat pohon yang dilakukan sejumlah perempuan India untuk menyelamatkan hutan dari agresi
keserakahan manusia. Puisi tersebut merupakan sumber dokumentasi awal dari apa yang kini disebut
(gerakan) Chipko.
Pemikir yang menggabungkan pandangannya tentang lingkungan hidup, pertanian,
spiritualitas, dan hak‐hak perempuan ke dalam filosofi yang sangat kuat ini
memaparkan dengan sangat jernih hubungan antara hilangnya mata pencaharian dan
perampasan sumber daya alam melalui cara‐cara yang licik dan menggunakan saluran‐
saluran demokrasi.
Bagi Vandana Shiva, benih adalah inti kehidupan. Untuk sumbangannya bagi gerakan
penyadaran dan perlindungan lingkungan, ia menerima 15 penghargaan nasional dan
internasional, termasuk The Earth Day International Award pada tahun 1993 dan The
International Award of Ecology pada tahun 1997.
Kelompok Greenpeace
Greenpeace sebagai organisasi yang berdiri sejak 1971 bertujuan memperjuangkan
kelestarian lingkungan dan perdamaian dunia. Di mana ada kerusakan lingkungan, di
situlah Greenpeace hadir menjadi saksi mata bagi dunia. Sampai saat ini Greenpeace
mempunyai perwakilan disetiap regional dunia13.
Greenpeace berhasil mengubah kebijakan pemerintahan dunia dari yang tidak berpihak
pada pelestarian lingkungan dan perdamaian menjadi kebijakan yang pro‐lingkungan
dan perdamaian. Tonggak keberhasilan Greenpeace pertama adalah menghentikan
percobaan nuklir Amerika Serikat di Amchitka Island, Alaska. Aksi Greenpeace mampu
mengubah kebijakan AS. Pemerintah AS menghentikan percobaan senjata nuklir
dikawasan itu dan memetakan kawasan itu sebagai kawasan lindung untuk burung‐
burung.
Bagaimana Greenpeace mampu bertahan selama kurang lebih 37 tahun? Jawabannya
karena Greenpeace memegang teguh dan menjaga nilai‐nilai dan prinsip‐prinsip
organisasi sejak awal berdiri dengan konsisten sehingga menjadi organisasi yang kuat
selama lebih dari 30 tahun.
Apa saja nilai‐nilai dan prinsip‐prinsip yang membuat Greenpeace menjadi organisasi
global yang diakui oleh lawan maupun kawan? Greenpeace tidak meminta atau
menerima dana dari pemerintah, perusahaan atau partai politik. Greenpeace
mendapatkan dana dari sumbangan individual sebagai pendukung (supporter) dan dana
hibah dari yayasan‐yayasan yang sudah teruji komitmennya. Greenpeace mendapatkan
dana paling besar dari individu yang bersimpati pada Greenpeace dan memiliki
kepedulian yang sama dengan Greenpeace. Nilai ini membantu Greenpeace lebih
independen ketika harus berhadapan dengan pemerintah dan perusahaan.
Masih terkait dengan sumber dana, Greenpeace tidak mencari atau menerima
sumbangan yang akan mengkompromikan kemandirian, tujuan, atau integritasnya.
Sikap ini penting untuk menunjukkan independensi Greenpeace dari pemberi dana.
13 Greenpeace South East Asia resmi berdiri tanggal 1 Maret 2000. GPSEA yang berkantor pusat di
Bangkok adalah pemegang lisensi Greenpeace di kawasan Asia Tenggara. GPSEA membuka kantor
operasional di dua negara Asia Tenggara lainnya, selain Thailand, yaitu Indonesia dan Filipina. GPSEA
memegang dan menganut prinsip‐prinsip yang sama dalam beroperasi di Indonesia, Thailand dan
Filipina. Berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia, Greenpeace Indonesia sudah terdaftar resmi di
Departemen Kehakiman dan HAM sebagai perkumpulan Greenpeace.
Greenpeace memegang teguh prinsip‐prinsip: tanpa kekerasan (non‐violence). Aksi
Greenpeace menghadang kapal tanker berisi minyak sawit di Riau sering disalahartikan
sebagai aksi yang mempertunjukkan kekerasan (violence). Greenpeace menyebut setiap
aksinya, seperti mengikatkan tubuh pada rel kereta (protes transportasi limbah nuklir)
atau pada pohon, menghadang kapal laut penangkap ikan paus dan aksi serupa,
sebagai non‐violence direct action atau aksi langsung tanpa kekerasan.
Direct action adalah aksi protes di mana aktivis atau pemrotes melawan melalui aksi
yang dirancang bukan hanya untuk mengubah kebijakan pemerintah atau mengubah
opini publik melalui media, tetapi juga mengubah kondisi lingkungan di sekeliling
mereka secara langsung.
Greenpeace sudah memulai bearing witness dan direct action sejak awal, ketika tahun
1971 para pendiri Greenpace menggunakan kapal ikan tua belayar “Phyllis Cormack”
dari Vancouver, Kanada, menuju Pulau Amchitka, pulau kecil di Tepi Barat Alaska.
Meskipun hanya kapal kecil tua, Phyllis Cormack dicegah oleh tentara Amerika Serikat
sebelum tiba di Pulau itu.
Greenpeace
berusaha
mempertahankan
independensinya
dari
politik
(political independence). Greenpeace tidak dipengaruhi oleh paham politik mana pun
dan dari negara atau partai apa pun. Prinsip ini berkaitan dengan prinsip
“no permanent allies orenemies.”
Greenpeace tidak memiliki sekutu atau musuh permanen (no permanent allies or
enemies). Greenpeace sebagai organisasi terbuka tidak lepas dari pengaruh
lingkungannya. Situasi politik, ekonomi, sosial, terkait dengan isu lingkungan tertentu
mendorong Greenpeace mengambil strategi bersekutu dengan pemerintah atau
organisasi non‐pemerintah lainnya untuk mencapai tujuan.
Persekutuan ini tidak permanen. Untuk satu isu lingkungan tertentu mungkin saja
Greenpeace bersekutu dengan pemerintah, tetapi untuk isu yang berbeda Greenpeace
memposisikan pemerintah sebagai musuh. Misalnya untuk isu perdagangan limbah B3,
Greenpeace memposisikan negara berkembang (termasuk Indonesia) sebagai sekutu
dan pemerintah negara maju sebagai “musuh.” Tetapi untuk isu kehutanan, Greenpeace
memposisikan Pemerintah Indonesia (Departemen Kehutanan) sebagai “musuh.”
Greenpeace, sebagai organisasi non‐pemerintah, memegang teguh prinsip transparan
dan akuntabilitas. Dua prinsip ini menjadi penting karena Greenpeace harus
mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangannya kepada para supporterindividu
dan foundation yang memberikan dana. Setiap tahun keuangan Greenpeace diaudit dan
laporan audit terbuka untuk diperiksa oleh parasupporter.
Gerakan Revolusi SDA di Amerika Latin
Amerika Latin yang terdiri dari Negara‐negara di Selatan Benua Amerika, sejak dahulu
hingga kini selalu memunculkan berbagai macam fenomena yang menyentak dunia.
Negara‐negara tersebut yang mayoritas merupakan jajahan Spanyol dan Portugis, selalu
menyimpan gairah dan cerita‐cerita sejarah yang menarik untuk dicermati, terutama
dalam persoalan revolusi penguasaan sumber daya alam dari tangan kapitalis negara
maju.
Di Kuba, tokoh revolusioner, pejuang pembebasan rakyat Kuba yang fenomenal. Fidel
Castro. Sejarah perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, tentang insiden
Teluk Babi, yang mempersoalkan tentang penempatan senjata rudal nuklir milik Soviet
di Kuba, tahun 1962, sehingga sempat membuat panas Presiden Amerika Serikat John
Fitzgerald Kennedy.
Selain Castro, tokoh berjuang menggulingkan Batista, tahun 1958, yakni: Che Guevara.
Bahkan hingga kini foto Che Guevara tetap dijadikan ‘ikon revolusioner kaum muda’
dengan cirri khasnya mengenakan baret yang ditempeli pin ‘ bintang merah’.
Argentinapun memiliki pahlawan pembela rakyat miskin yang melegenda, bahkan ada
lagu khusus yang meratapi kepergiannya, yaitu: ‘Don’t cry for me Argentina’. Evita
Peron, istri Presiden Juan Peron, yang memerintah dari tahun 1946 hingga 1973. Berkat
ideology yang diusungnya, yaitu: Peronisme, ‘first lady’ Argentina ini mengangkat taraf
kehidupan masyarakat miskin di Argentina dengan cara melayani langsung dan
memberikan perhatian atas pemenuhan kebutuhan‐kebutuhan pokok hidupnya agar
sesuai dengan taraf hidup layak yang manusiawi.
Pada abad ke 21 kini, Benua Amerika Latin juga memunculkan tokoh‐tokoh ‘neo‐
sosialism’ yang muncul secara serentak dengan pelopornya, Presiden Venezuela: Hugo
Chavez. Selanjutnya berturut‐turut menyusul, yaitu: Presiden Bolivia: Evo Morales,
Presiden Argentina: Christina Fernandez, Presiden Brazil: Lula Da Silva, dan Presiden
Ekuador: Rafael Correra.
Ciri dari gerakan kiri di benua Amerika Latin merupakan kaitan langsung dari refleksi
penguasaan sumber daya alam oleh rezim kapitalisme, terhadap sumur minyak dan
bahan tambang mineral, yang memunculkan ketimpangan struktural di Amerika Latin.
Gerakan Revolusi SDA di Amerika Latin memiliki corak dan pandangan yang hampir
sama dengan Gerakan Lingkungan sesungguhnya, perbedaannya hanya terletak pada
pelaku/aktor utama, pada kasus Amerika Latin diperankan oleh negara secara langsung,
sedangkan dibelahan dunia yang lain diperankan oleh oposisi dan kelompok green
party, hal ini membenarkan teori Anthony Giddens tentang opsi ‘politik jalan ketiga’
dimana negara terlibat langsung dalam penentuan kebijakan.
Green Party
Seperti namanya, Green Party adalah partai politik penganut ideology hijau. Ideology ini
hadir untuk mengkonter pembangunan ekonomi yang dibawa oleh modernisasi yang
praktek di lapangan sangat anthroposentris. Sifat pembangunan dan modernisasi sangat
bergantung pada tiga hal yakni ilmu pengetahuan, teknologi dan sumber daya manusia.
Dengan pendekatan modernisasi membuat ide‐ide pembangunan seakan bebas untuk
melakukan eksploitasi sumber daya alam secara besar‐besarnya.
Ideologi hijau muncul sejak tahun 1970 di Jerman dan tahun 1972 di kota Hobart
Australia. Saat itu sekumpulan anggota masyarakat mendeklarasikan partai bernama
“United Tasmanian Group”. Lahirnya green party di Australia tersebut dengan cepat
tersosialisasi meluas sehingga tak lama kemudian lahirlah green party di Kanada dan
New Zealand hingga menjadi perbincangan serius di parlemen Inggris dengan lahirnya
ecology party14.
Munculnya green party di tahun 1970‐an oleh banyak kalangan dilihat sebagai aksi‐
refleksi terhadap kejenuhan masyarakat dunia akibat perang urat syaraf yang dilakukan
oleh negara dunia pertama. Perilaku ekonomi yang secara capital didominasi oleh dunia
pertama dengan mengeksploitasi sumber daya alam yang ada di kawasan dunia ketiga
(Negara berkembang) telah melahirkan kesadaran baru dalam memandang hubungan
manusia dan alam. Kemudian lahirnya konsep etika lingkungan hidup yang sebagian
besar mengkritik etika antroposentrisme dan biosentrisme. Etika lingkungan hidup
yang populis adalah ekosentrisme (deep ecology) dan ekofeminism15.
Di negara maju, lingkungan hidup telah dianggap sebagai suatu kebutuhan mutlak atau
bahkan sebagai spirit kehidupan. Misalnya saja pada tahun 1975 di California, Amerika
Serikat, muncul gerakan yang menamakan dirinya The Universal Pantheis Society, yang
meyakini, alam dan seisinya memiliki jiwa yang saling terkait antara yang satu dengan
yang lainnya, sehingga tidak boleh saling merusak.
Bahkan jauh sebelumnya, pada dasawarsa 1970‐an, gerakan pro lingkungan telah mulai
marak di lingkungan akademisi internasional, yaitu dengan terbitnya tulisan The
Historical Roots of Our Ecological Crisis oleh Lynn White (1967) dan The Tragedy of
The Commons oleh Garet Hardins (1968). Partai politik seperti yang populer di Jerman,
Norwegia, Austria, Australia, Selandia Baru, dan Swedia ini menawarkan konsep
harmoni kehidupan dengan menyeimbangkan antara kualitas sumber daya alam dan
sumber daya manusia.
Meski menjadikan lingkungan hidup sebagai perjuangan utama, green party tidak hanya
berbicara masalah alam dan lingkungan seperti banjir, longsor, pencemaran air, dan
udara, melain‐kan juga berbicara soal peradaban yang di dalamnya termasuk
kebudayaan, adat istiadat, politik, ekonomi, teknik, teknologi sistem infrastruktur dan
lain‐lain. Mereka berpikir, lingkungan hidup dan manusia saling memengaruhi.
Di Jerman, misalnya, green party berhasil memunculkan kebijakan penerapan pajak
lingkungan (ecotax system) terhadap konsumsi energi dalam rangka menekan
penggunaan energi secara berlebihan. Bermodalkan isu‐isu lingkungan hidup serta
dukungan banyak konsep dan pemikiran para penggiat dan pakar lingkungan hidup
yang selama ini tidak mendapatkan tempat dalam proses pembuatan kebijakan
lingkungan.
Gerakan Lingkungan di Indonesia
Di Indonesia istilah gerakan lingkungan hidup di pakai dalam konsorsium : “15 tahun
Gerakan Lingkungan Hidup: Menuju Pembangunan Berwawasan Lingkungan”. Yang di
selenggarakan oleh kantor Meneg Kependudukan Dan Lingkungan Hidup di Jakarta, 5
Juni 1972.
Denton E Morrison mengusulkan bahwa yang di sebutkan gerakan lingkungan hidup
sesungguhnya terdiri dari 3 komponen yaitu komponen pertama, the organized or
14 www.hpli.or
15 Keraf, 2010
voluntary enviromental movement (gerakan lingkungan yang terorganisir atau gerakan
yang sukarela) termasuk dalam kategori ini adalah organisasi lingkungan seperti
Enviromental Devense Fund, Green Peace atau di Indonesia WALHI dan Jaringan
Pelestarian Hutan “SKEPHI”.
Komponen kedua, The public enviromental movement (gerakan lingkungan publik )
adalah khalayak ramai yang dengan sikap sehari‐hari dalam tindakan dan kata‐kata
mereka menyatakan kesukaan mereka terhadap ekosistem tertentu, pola hidup tertentu
serta flora dan fauna tertentu.
Komponen ketiga, The Institusional Enviromental Movement (gerakan lingkungan
terlembaga) ini sangat menentukan dalam negara negara berkembang dimana peranan
negara sangat dominan dan peranan aparat‐aparat birokrasi resmi mempunyai
kewenangan hukum (yuridiksi) terhadap kebijakan umum tentang lingkungan hidup
atau yang berkaitan dengan lingkungan hidup sebagai contoh di Amerika ada Badan
Perlindungan Lingkungan ( EPA ‐ Enviromental Protection Agency), Taman Nasional
(National Park Service) padanannya di Indonesia adalah Kantor Meneg KLH, DEPHUT.16
WALHI sebagai tonggak sejarah gerakan lingkungan di Indonesia
Berdiri pada 15 Oktober 198017, beranggotakan 400‐an organisasi diseluruh Indonesia.
Tujuan WALHI adalah mengembalikan kedaulatan rakyat atas sumberdaya alam, pada
awalnya, WALHI tidak kompromi terhadap berbagai perusak lingkungan, tetapi hal
tersebut bukan akar persoalan, karena semua itu ditentukan oleh berbagai peraturan
yang dibuat oleh pemerintah. Dalam perkembangannya Walhi melakukan reposisi dan
memutuskan masuk dalam advokasi, yaitu melakukan perubahan kebijakan lingkungan
hidup.
Pada awal terbentuknya, style organisasi ini hanyalah kumpulan individu yang
mempunyai kepedulian terhadap lingkungan, dan aktivitas‐nya terbatas pada persoalan
direct action, seperti pembersihan sungai, dan aksi‐aksi langsung lainnya. Metamorfosis
WALHI sebagai organisasi gerakan lingkungan mulai terasa di tahun 1988, dimana
munculnya kesadaran baru tentang akar persoalan lingkungan adalah persoalan
kesalahan kebijakan yang dilakukan Pemerintah pada waktu itu.
Sejalan dengan hal tersebut, sikap kritis WALHI terus terasah melihat berbagai
kebijakan dan eksploitasi sumberdaya alam yang merugikan masyarakat. Kampanye
terhadap dampak pertambangan di PT. Freeport Indonesia mengawali langkah WALHI
dalam hard campign, di mana sikap tegas dan tidak kompromi terhadap perusak
lingkungan menjadi ciri khas WALHI selanjutnya.
Pada tahun 1988, Badan Eksekutif WALHI mulai mengkampanyekan tentang Reformasi
Lingkungan Hidup fokus pada hal‐hal makro yang meliputi kebijakan lingkungan dan
kelembagaan lingkungan. Kebijakan tersebut dilandasi oleh pernyataan bahwa
16 George Junus Aditjondro,2003. Pola‐pola Gerakan Lingkungan. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
17 Pada awal berdirinya WALHI, juga melibatkan beberapa tokoh nasional seperti; Emil Salim dan Erna
Witoelar, George Junus Aditjondro, dan beberapa tokoh nasional lainnya, dalam perkembangannya
WALHI menjadi Organisasi Gerakan Lingkungan beberapa tokoh dan aktivis HAM nasional juga masih
terlibat membangun WALHI.
kebijakan lingkungan harus memenuhi rasa keadilan, melindungi lingkungan, dan bisa
dinikmati oleh masyarakat.
Bulan Desember 1989, Walhi memutuskan untuk menggugat enam pejabat negara
karena mengijinkan pembangunan pabrik pulp dan rayon, PT Inti Indorayon