PERJALANAN IMPLEPENTASI DESENTRALISASI D. docx

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Berdasarkan pandangan historis, politis, konstitusional, struktural maupun
teknis operasional, kebijakan desentralisasi yang melahirkan otonomi daerah
dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia merupakan pilihan tepat. Jauh
sebelum Republik ini lahir, pola pendelegasian wewenang (desentralisasi) sudah
dipraktekan. Pun juga pada jaman penjajahan Belanda dulu, kebijakan
desentralisasi
diberlakukan
melalui
undang-undang
densentralisasi
(desentralisatie wet) tahun 1903. Begitu pula pada jaman penjajahan Jepang,
kebijakan desentralisasi Belanda tetap diteruskan.
Dalam naskah penyusunan Undang-Undang Dasar terlihat pertimbanganpertimbangan yang diajukan para pendiri Republik bahwa mereka sepakat
melaksanakan kebijakan desentralisasi. Dari mulai Indonesia merdeka hingga
kini, diberlakukan kebijakan desentralisasi dalam semua undang-undang tentang
pemerintahan daerah yaitu UU No. 1 Tahun 1945, UU No. 22 Tahun 1948, UU

No. 1 Tahun 1957, UU No. 18 Tahun 1965, UU No. 5 Tahun 1974, UU No. 22
Tahun 1999 dan terakhir dengan UU No. 32 Tahun 2004,dll.
Desentralisas iadalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh
Pemerintah pusa tkepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dalam Negara KesatuanRepublik Indonesia. Tugaspembantuan
adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah
provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah
kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
Dalammenyelenggarakanotonomi, daerah mempunyai hak dan kewajiban.
Hak dan kewajiban tersebut diwujudkan dalam bentuk rencana kerja pemerintahan
daerah dan dijabarkan dalam bentuk pendapatan, belanja, dan pembiayaan daerah
yang dikelola dalam system pengelolaan keuangan daerah. Pengelolaan keuangan
daerah dimaksuddilakukan secara efisien, efektif, transparan, akuntabel, tertib,
adil, patut, dan taat pada peraturan perundang-undangan.

1.2.

Rumusan Masalah
Apa itu system desentralisasi dan bagaimana penerapan system desentralisasi
melalui UU otonomi daerah dari masa orde lama,orde baru dan era reformasi.


1.3.

Tujuan Masalah
Melihat sejauh mana perjalanan system desentralisasi / otonomi daerah di
Indonesia yang. Telah diterapkan, apakah sudah memenuhi ekspektasi atau
masih jalan ditempat dalam pelaksanaannya.
BAB II
1

PEMBAHASAN
2.1. Sistem Desentralisasi
Desentralisasi adalah penyerahan wewenang dari pusat kepada daerah
untuk mengatur rumah tangganya sendiri, namun tidak untuk semua hal,
kemananan, hukum dan kebijakan fiskal adalah beberapa hal yang masih terpusat,
namun ada pendelegasian kepada daerah.
Menurut UU Nomor 5 Tahun 1974, desentralisasi adalah penyerahan
urusan pemerintah dari pusat kepada daerah. Pelimpahan wewenang kepada
Pemerintahan Daerah, semata- mata untuk mencapai suatu pemerintahan yang
efisien. Pelimpahan wewenang tersebut menghasilkan otonomi. Otonomi itu

sendiri adalah kebebasan masyarakat yang tinggal di daerahnya itu sendiri untuk
mengatur dan mengurus kepentingannya sendiri.
Secara sederhana, pelimpahan wewenang pusat kepada daerah menjadi apa
yang disebut desentralisasi dan bentuk penerapannya adalah adanya otonomi
tersebut.Segala hal yang telah pusat berikan, yaitu wewenang dan tanggung jawab
yang diserahkan menjadi tanggung jawab daerah baik politik pelaksanaannya,
rencana, pembiayaan, dan pelaksanaan adalah wewenang dan tanggung jawab
daerah itu sendiri.
Intinya, desentralisasi adalah transfer tanggung jawab dalam hal
perencanaan, manajemen, dan pemunculan sumber daya dan alokasinya dari
pemerintah pusat kepada:
1. Unit-unit lapangan dari kementrian pemerintah pusat
2. unit-unit atau tingkat pemerintahan yang berada di bawahnya
3. otoritas atau korporasi publik semi-otonom
4. otoritas regional atau fungsional yang berarea luas, atau
5. organisasi sektor privat dan sukarela (Rondinelli, 1981)
Dari pemahaman ini, desentralisasi dengan demikian memfokuskan pada:
pertama, hubungan di antara tiga sektor utama pemerintahan, yaitu, sektor publik,
sektor privat.
Memahami Desentralisasi dan sektor sukarela; kedua, dalam sektor publik

sendiri, di mana desentralisasi memfokuskan pada struktur dan proses pembuatan
keputusan dan tentang sumber daya dan alokasi tanggung jawab di antara
tingkatan pemerintahan, yaitu pemerintah pusat, pemerintah daerah tingkat I
(provinsi), dan tingkat II (kabupaten).
Tingkatan pemerintahan di sini adalah konsep yang sangat penting dan
sering kali digunakan dalam mendefinisikan desentralisasi, seperti yang telah
sering kita pakai dalam pembahasan di atas. Karena itu, memahami de
sentralisasi tentu saja harus memahami tingkatan dari pemerintahan ini. Berkaitan

2

dengan pemerintahan publik, ada lima tingkatan berbeda yang normalnya dikenal,
yaitu:
1. Tingkatan internasional, yang tersusun dari organisasiorganisasi
internasional yang dibentuk dengan persetujuan di antara negaranegara.
2. Tingkatan nasional, yaitu pemerintah pusat dari sebuah negara utuh
atau pemerintahan federal dalam sistem federal.
3. tingkatan regional, yaitu negara-negara dalam sistem federal atau
provinsi dari sebuah negara yang utuh, yang tergantung pada tingkatan
devolusi yang mengatur hubungan mereka dengan tingkatan nasional

dengan berpatokan pada konstitusi atau undang-undang.
4. Tingkatan provinsi/gubernur, dan
5. Tingkatan kabupaten/kota.
2.2. Penerapan Sistem Desentralisasi Di Indonesia
2.2.1. Sistem Pemerintahan Daerah Paska Kemerdekaan ( Orde Lama )
Sistem pemerintahan daerah di Indonesia paska proklamasi ditandai
dengan diberlakukannya berbagai peraturan perudang-undangan tentang
pemerintahan daerah. Setiap undang-undang yang diberlakukan pada suatu kurun
waktu tertentu menandai terjadinya perubahan dalam sistem pemerintahan daerah,
yang mana hal ini sangat erat kaitannya dengan situasi politik nasional.
 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945
Diterbitkan 23 Nopember 1945 dan merupakan undang-undang
Pemerintahan Daerah yang pertama setelah kemerdekaan. Undang-undang
tersebut didasarkan pasal 18 UUD 1945. Sistem pemerintahan daerah berdasarkan
undang-undang tersebut adalah dibentuknya Komite Nasional Daerah pada setiap
tingkatan daerah otonom terkecuali di tingkat provinsi. Komite tersebut bertindak
selaku badan legislatif dan anggota-anggota diangkat oleh Pemerintah Pusat.
Untuk menjalankan roda pemerintahan daerah, Komite memilih lima orang dari
anggotanya untuk bertindak selaku badan eksekutif yang dipimpin Kepala Daerah.
Kepala Daerah menjalankan dua fungsi utama; Sebagai Kepala Daerah Otonom

dan sebagai Wakil Pemerintah Pusat di daerah tersebut.
Sistem ini mencerminkan kehendak Pemerintah untuk menerapkan
desentralisasi dan dekonsentrasi dalam sistem pemerintahan daerah, namun
penekanannya lebih pada prinsip dekonsentrasi.


Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948

UU No. 22 Tahun 1948 dikeluarkan 10 Juli 1948, dimaksudkan sebagai
pengganti UU Nomor 1 Tahun 1945 yang dianggap tidak sesuai dengan semangat
kebebasan. UU 22 Tahun 1948 hanya mengatur tentang daerah otonom dan sama
3

sekali tidak menyinggung daerah administratif. Undang-undang tersebut hanya
mengakui 3 tingkatan daerah otonom, yaitu provinsi, kabupaten atau kotamadya
dan desa atau kota kecil. Kekuasaan eksekutif dipegang oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) dan pemerintahan sehari-hari dijalankan oleh Dewan
Pemerintahan Daerah (DPD). Kepala Daerah bertindak selaku Ketua DPD. Kepala
Daerah diangkat oleh Pemerintah dari calon-calon yang diusulkan oleh DPRD.
Walau demikian, terdapat klausul dalam Pasal 46 UU No. 22 Tahun 1948 yang

memungkinkan Pemerintah untuk mengangkat orang-orang pilihan Pemerintah
Pusat, yang umumnya diambil dari Pamong Praja untuk menjadi Kepala Daerah.
Melalui klausul tersebut Pemerintah sering menempatkan calon yang dikehendaki
tanpa harus mendapatkan persetujuan DPRD.
 Undang-undang Nomor 1 tahun 1957
UU 1 Tahun 1957 ditandai dengan penekanan lebih jauh lagi ke arah
desentralisasi. UU No. 1 Tahun 1957 adalah produk sistem parlementer liberal
hasil Pemilihan Umum pertama tahun 1955, di mana partai-partai politik
menuntut adanya Pemerintah Daerah yang demokratik.


Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 6 Tahun 1959

Tanggal 16 Nopember 1959, sebagai tindak lanjut dari Dekrit Presiden,
Pemerintah mengeluarkan Penpres 6 tahun 1959 untuk mengatur Pemerintah
Daerah agar sejalan dengan UUD 1945. Dalam Penpres tersebut diatur bahwa
Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan DPRD. Kepala daerah
mengemban dua fungsi yaitu sebagai eksekutif daerah dan wakil Pusat di daerah.
Kepala Daerah juga bertindak selaku Ketua DPRD. Sebagai eksekutif daerah, dia
bertanggungjawab kepada DPRD, namun tidak bisa dipecat oleh DPRD.

Sedangkan sebagai wakil Pusat dia bertanggungjawab kepada Pemerintah Pusat.
2.2.2. Orde Baru


Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965

Kebijakan pada UU No. 18 Tahun 1965 merupakan arus balik dari
kecenderungan sentralisasi menuju desentralisasi. Hal ini nampak dari kebebasan
yang diberikan kepada Kepala daerah dan BPH untuk menjadi anggota partai
politik tertentu. Dengan demikian, kesetiaan atau loyalitas eksekutif daerah tidak
lagi hanya kepada Pemerintah Pusat. Pada masa ini terjadi tuntutan yang kuat
untuk memberikan otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah dan tuntutan
pendirian daerah otonomi tingkat III yang berbasis pada Kecamatan. Kondisi
tersebut akan memungkinkan Parpol untuk mendapatkan dukungan politis dari
grass-roots.


Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974

4


Era demokratisasi terpimpin telah berakhir dan diganti oleh era
pemerintahan Orde Baru. Dalam pengaturan pemerintahan daerah, UU 18 Tahun
1965 diganti dengan UU No. 5 Tahun 1974. Ada tiga prinsip dasar yang dianut
oleh UU No. 5 Tahun 1974, yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas
pembantuan. Prakteknya, prinsip dekonsentrasi lebih dominan. Struktur
pemerintahan daerah terdiri dari kepala Daerah Otonom dan sebagai Kepala
Wilayah (yaitu Wakil Pemerintah di Daerah). DPRD mempunyai kewenangan
melakukan pemilihan calon Kepala Daerah, namun keputusan akhir ada di tangan
Pusat. Bangunan Pemerintah Daerah yang demikian, kondusif untuk menciptakan
landasan yang kuat untuk pembangunan ekonomi. Sistem tersebut pada satu sisi
telah menciptakan stabilitas, kondusif untuk menjalankan program-program
nasional yang dilaksanakan di daerah.
Namun pada sisi lain, kondisi telah menciptakan ketergantungan yang
tinggi dalam melaksanakan otonominya, seperti ketergantungan dalam aspek
keuangan, kewenangan, kelembagaan, personil, perwakilan termasuk pelayanan
yang dihasilkan oleh Pemerintah Daerah.
2.2.3. Era Reformasi



Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999

UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dimaksudkan untuk
mengoreksi UU 5 Tahun 1974 yang dirasa sentralistik menjadi desentralistik dan
mendekatkan pelayanan masyarakat menjadi pelayanan local, serta meningkatkan
pendidikan politik masyarakat. Prinsif otonomi seluas-luasnya menjiwai hampir di
semua pasal. Bahkan manajemen kepegawaian dan keuangan yang di UU
pendahulunya diatur dengan ketat oleh Pusat didelegasikan secara penuh kepada
Daerah. Sebagian besar istilah yang dipakai di UU ini mengadopsi dari UU No. 5
Tahun 1974, namun istilah “subsidi”, “ganjaran” dan “sumbangan” dihapus sama
sekali, diganti dengan dana perimbangan. Menurut UU ini, Pemerintah Daerah
terdiri dari Kepala Daerah dan perangkat Daerah; DPRD berada di luar
Pemerintah Daerah berfungsi sebagai Badan legislatif Daerah yang mengawasi
jalannya pemerintahan. Otonomi daerah tetap dititik beratkan di Kabupaten/Kota,
namun Bupati/Walikota tidak lagi bertindak selaku Wakil Pemerintah di Daerah.
Fungsi ini dipegang hanya oleh Gubernur sebagai bagian dari Integrated
Prefectoral System, Secara eksplisit, UU ini juga menyebutkan tidak ada
hubungan hierarkhis antara Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dalam
penyelenggaraannya, ternyata otonomi daerah yang diselenggarakan berdasarkan
UU No. 22 Tahun 1999 menghadapi berbagai potensi permasalahan, antara lain

1. terjadinya konflik kewenangan seperti di Pelabuhan, Kehutanan, Investasi,
Otorita Batam, dan banyak lagi lainnya;

5

2. Lembaga Daerah membengkak, pengelompokan tugas tidak tepat, biaya
organisasi tinggi, biaya operasi dan infrastruktur terabaikan;
3. rekruitmen, pembinaan dan mutasi personil tidak berdasar kompetensi dan
profesionalisme, pendekatan kedaerahan didahulukan;
4. sarana dan prasarana organisasi terabaikan, teknologi informasi belum
terpakai optimal;
5. manajemen pembangunan dan pelayanan belum mengalami reformasi
(perubahan) mendasar;
6. dalam menggali sumber penerimaan daerah telah terjadi pula berbagai
ekses antara lain: peningkatan PAD yang menimbulkan biaya ekonomi
tinggi, ketergantungan daerah dari DAU yang mematikan kreatifitas
daerah dan penerimaan sah lainnya yang belum dioptimalkan;
7. standar pelayanan minimum yang belum terumuskan dengan baik; dan
8. DPRD dalam system perwakilan (baru) menjadi sangat powerfull, Kepala
Daerah (eksekutif) tersandera oleh Laporan Pertanggungjawaban.



Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah.

Dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah sesuai amanat UUD
1945 yang telah di amandemen, maka UU No. 22 Tahun 1999 telah diganti
dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Ini merupakan
penyempurnaan dalam rangka menyesuaikan dengan keadaan, ketatanegaraan dan
tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah.
Secara garis besar penyempurnaan terhadap UU No. 22 Tahun 1999
didasarkan untuk penyesuaian ketentuan di dalam UU No. 22 Tahun 1999 dengan
UUD 1945, Ketetapan dan Keputusan MPR serta penyerasian dan penyelarasan
dengan undang-undang bidang politik dan undang-undang lainnya. Di samping itu
juga melakukan penyempurnaan terhadap ketentuan di dalam UU No. 22 Tahun
1999 yang menimbulkan permasalahan, menyebabkan penafsiran ganda dan
belum lengkap.
Pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia memasuki
babak baru dengan terbitnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
yang telah diundangkan pada tanggal 15 Oktober 2004. Undang-undang tersebut
secara substansial mengubah beberapa paradigma penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah dalam UU No. 22 Tahun 1999. Salah satunya adalah desentralisasi dan
dekonsentrasi dipandang sebagai sesuatu yang bersifat kontinum bukan bersifat
dikotomis. Secara filosofi, keberadaan Pemerintahan Daerah disebabkan karena

6

adanya masyarakat pada daerah otonomi. Pemerintahan Daerah dibentuk untuk
memberikan pelayanan kepada masyarakat, sehingga keberadaan Pemerintahan
Daerah dalam rangka pemberian pelayanan merupakan inti dari penyelenggaraan
otonomi daerah. Orientasi pemberian pelayanan kepada masyarakat ini dapat
dilihat antara lain dalam hal pembentukan daerah yang dimaksudkan untuk
meningkatkan pelayanan publik, mempercepat kesejahteraan masyarakat, serta
sebagai sarana pendidikan politik di tingkat lokal. Untuk itu maka pembentukan
daerah mempertimbangkan berbagai faktor seperti kemampuan ekonomi, potensi
daerah, luas wilayah, kependudukan dan pertimbangan dari aspek politik, sosial
budaya, pertahanan dan keamanan serta pertimbangan dan syarat lain yang
memungkinkan daerah itu menyelenggarakan dan mewujudkan tujuan
dibentuknya otonomi daerah. Dalam pembentukan daerah, UU No. 32 Tahun 2004
juga mengatur persyaratan administrasi, teknis dan fisik kewilayahan. Hal ini
dimaksudkan agar pembentukan daerah dapat menjamin terselenggaranya
pelayanan secara optimal.
Akar masalah yang muncul adalah kesalahan dalam mempersepsikan
otonomi daerah. Otonomi seringkali diukur dengan kemampuan keuangan daerah.
Akibatnya konsep “urusan” lebih dikaitkan dengan “keuangan”, yaitu hak daerah
untuk menggali sumber keuangan dan bukan untuk memberikan pelayanan.
Akibatnya, terjadi perebutan urusan antar tingkatan pemerintahan dengan
justifikasinya masing-masing yang bermuara pada terlantarnya pelayanan
masyarakat.
Orientasi pelayanan masyarakat di dalam UU No. 32 Tahun 2004,
dicerminkan dalam pembagian urusan antar tingkat pemerintahan. Pembagian
urusan pemerintahan dalam konteks desentralisasi merupakan penyerahan urusan
pemerintahan dari Pemerintah kepada daerah otonom. Urusan pemerintahan yang
diserahkan kepada daerah hanyalah urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah
saja (eksekutif), tidak termasuk urusan yang menjadi kewenangan legislatif
(pembuatan UU) dan urusan yang menjadi kewenangan yudikatif (peradilan),
Pembagian urusan pemerintahan berangkat dari adanya diktum tidak mungkin
urusan diselenggarakan semuanya oleh Pemerintah atau semuanya diserahkan
kepada daerah.
Berkenaan dengan pembagian urusan pemerintahan terdapat pembagian
urusan yang spesifik. Pertama, urusan yang sepenuhnya menjadi urusan
Pemerintah Pusat, meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter
dan fiskal nasional, yustisi, dan agama. Kedua, urusan yang bersifat concurrent
atau urusan yang dapat dikelola bersama antara Pusat, provinsi, atau pun
kabupaten/Kota. Pembagian urusan ini diatur dalam pasal 11 ayat (1) UU No. 32
Tahun 2004, dengan menggunakan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan
efisiensi dalam rangka mewujudkan proporsionalitas pembagian urusan
pemerintahan, sehingga ada kejelasan siapa melakukan apa. Dalam urusan
7

bersama yang menjadi kewenangan daerah terbagi dua, yakni urusan wajib dan
urusan pilihan. Urusan wajib adalah urusan pemerintahan yang berkaitan dengan
pelayanan dasar seperti pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup
minimal, prasarana lingkungan dasar dan sebagainya. Sedangkan yang bersifat
pilihan adalah hal yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan
kesejahteraan.
Adanya pengaturan yang bersifat wajib, sangat terkait dengan kebutuhan
mendasar masyarakat, sehingga menjadi kewajiban bagi Pemerintah Daerah untuk
menyediakan pelayanan yang prima. Adanya pengaturan tersebut dimaksudkan
untuk menghindarkan daerah melakukan urusan yang kurang relevan dengan
kebutuhan warganya dan tidak terperangkap untuk melakukan urusan atas
pertimbangan pendapatan semata.
Selanjutnya agar penyediaan pelayanan kepada masyarakat mampu
memenuhi ukuran kelayakan minimal, pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat
oleh Pemerintah Daerah harus berpedoman kepada Standar Pelayanan Minimal
(SPM) yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Selain melaksanakan urusan yang bersifat wajib, dalam menyelenggarakan
otonomi, daerah juga mempunyai kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 22
UU No. 32 Tahun 2004, sebagai penegasan bahwa Pemerintahan Daerah
merupakan sub-sistem dari sistem pemerintahan Nasional dalam perspektif
pemberian pelayanan umum.
Sebagai implikasi dari penataan urusan perlu dilakukan penataan kelembagaan
yang pada prinsipnya merupakan pewadahan dari urusan yang diserahkan kepada
daerah yaitu lembaga Pemerintahan Daerah (Pemerintah Daerah dan DPRD), serta
ditetapkan organisasi dan tata kerja Perangkat Daerah melalui Peraturan Daerah.
Aspek penting lainnya adalah aspek demokratisasi yang diukur dari unsur
keterlibatan masyarakat dalam menentukan pejabat publik di daerah. Berdasarkan
konsep ini, pemerintahan dapat dikatakan demokratis apabila para pejabat yang
memimpin Pemerintahan Daerah itu dipilih secara langsung dan bebas oleh
masyarakat dengan cara yang terbuka dan jujur. Oleh sebab itu, maka berdasarkan
UU No. 32 Tahun 2004 ditegaskan bahwa Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah akan dipilih secara langsung oleh rakyat yang selambat-lambatnya akan
dilaksanakan pada bulan Juni Tahun 2005.
Melalui Pemilihan yang demokratis ini diharapkan akan memperkuat
posisi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang dipilih secara langsung oleh
rakyat dalam mewujudkan Hubungan Kemitraan antara Pemerintah Daerah dan
DPRD.

8

Hubungan antara Pemerintah Daerah dan DPRD merupakan hubungan
kerja yang kedudukannya setara dan bersifat kemitraan. Kedudukan yang setara
bermakna bahwa di antara lembaga pemerintahan daerah itu memiliki kedudukan
yang sama dan sejajar, artinya tidak saling membawahi. Hal ini tercermin dalam
membuat kebijakan daerah berupa Peraturan Daerah.
Hubungan kemitraan bermakna bahwa antara Pemerintah Daerah dan
DPRD adalah sama-sama mitra sekerja dalam membuat kebijakan daerah untuk
melaksanakan Otonomi Daerah sesuai fungsi masing-masing, sehingga antar
kedua lembaga itu membangun suatu hubungan kerja yang sifatnya saling
mendukung, bukan merupakan lawan ataupun pesaing dalam melaksanakan fungsi
masing-masing.
Keberadaan DPRD yang merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah
haruslah mampu menciptakan check and balances disamping melalui fungsi
anggaran yaitu dalam menyusun APBD juga melalui fungsi legislasi dan
pengawasan terhadap Pemerintah Daerah, untuk menciptakan penyelenggaraan
pemerintahan yang bersih dari praktek KKN.


Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan
Daerah.



Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah.



Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Pemerintahan
Daerah.

9

BAB III
PENUTUP
1.1. Kesimpulan
Wilayah Negara Indonesia yang sangat besar dengan rentang geografis
yang luas berupa kepulauan, kondisi sosial-budaya yang beragam, jumlah
penduduk yang besar, hal ini dapat terhadap proses pengalokasian pembangunan
itu dan mekanisme pelaksanaan pemerintahan Negara Indonesia.Oleh karena itu
diperlukanya suatu sistem pemerintahan yang dapat berjalan secara efisien dan
mandiri.
Penerapan otonomi daerah yang di berikan pusat masih terkesan setengahsetengah dan dalam penerapan otonomi daearah yang ada pun masih jauh dari
harapan yang kita inginkan,karena itu diperlukaan dukungan dari semua eleman
agar dalm penerapan otonimi dapat berjalan dengan lancar sebagai mana yang
diharapkan.
1.2. Saran
Dalam penyusunan makalah ini, penulis sangat sadar bahwa terdapat
banyak kekurangan, oleh karena itu diharapkan partisipasi dari segala pihak untuk
menyempurnakannya, sehingga menjadi bahan yang utuh dan dapat dijadikan
pedoman. Penulis juga berharap semoga dengan adanya makalah ini, pembaca
dapat bertambah pemahamannya terutama dalam hal penerapan otonomi daearah
di Indonesia pada saat ini merupakan suatu hal yang tidak boleh dipandang
sebelah mata.

10

DAFTAR PUSTAKA



UUD 1945



UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah



UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan
Provinsi Daerah Istimewa Aceh



UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua



UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh



UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia








Indonesia, ensiklopedia bebas.ht
Abdul Gaffar Karim (Ed), (2006), Kompleksitas
Persoalan Otonomi Daerah Di Indonesia,
Jurusan ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial
dan ilmu politik Universitas Gadjah Mada,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta.



Budiman, Arif. 2000. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Gramedia:
Jakarta.



Murodi dan Wati Nilamsari.2007. Buku Ajar Sosiologi Pembangunan.
Ciputat.



Scott John. 2011. Sosiologi; The Key Concepts. PT.Raja Grafindo
Persada:Jakarta



Suwarsono, Alvin Y. So. 1991. Perubahan Sosial dan Pembangunan di
Indonesia. LP3ES:Jakarta.
11

12