FORMULASI UNDANG-UNDANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN (Pencarian Bentuk dan Batasan Pengaturan)
234
FORMULASI UNDANG-UNDANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN
(Pencarian Bentuk dan Batasan Pengaturan)
Suharizal
Fakult as Hukum Universit as Andalas Padang E-mail :
Abst r act
Const i t ut ion cour t of j ust i ce ver di ct Number 11-14-21-126 and 136/ PUU-VII/ 2009 t hat r ead dat e 31
mar ch 2010 t hen, has j ur i di cal i mpl i cat ion ver y vast t owar ds educat i on syst em i n i ndonesi a. Those
i mpl i cat ion not onl y l i mi t t he act number 9 year 2009 concer ning educat i on cor por at e body, but it
i mpl i cat ed t o vast t owar ds hi gher educat ion management as a whol e. Thi s ar t i cle means t o st udy
t he deci sion and t r ace t he wi l l of const i t ut i on cour t of j ust i ce i n t he f or m of “ educat i on cor por at e
body” t hat const it ut ional .Keywor d; const i t ut ion, educat ion, j ust i ce ver di ct
Abst rak
Put usan Mahkamah Konst it usi Nomor 11-14-21-126 dan 136/ PUU-VII/ 2009 yang dibacakan t anggal 31 Maret 2010 lalu, memiliki implikasi yuridis yang sangat luas t erhadap sist em pendidikan di Indonesia. Implikasi ini bukan hanya membat asi Undang-Undang Nomor 9 t ahun 2009 t ent ang Badan Hukum Pendidikan, t et api berimplikasi besar t erhadap manaj emen pendidikan t i nggi secara keseluruhan. art ikel ini dimaksudkan unt uk mempelaj ari put usan dan j ej ak dari keinginan pengadilan konst it usi mengenai bent uk "Badan Hukum Pendidikan " yang konst it usional.
Kat a kunci; konst it usi, pendidikan, put usan pengadilan
Pendahuluan Yayasan Trisakt i, Yayasan Pendidikan dan
Rabu, 31 Maret 2010, Mahkamah Konst i- Pembina Universit as Pancasila, Yayasan Pen- t usi (MK) dalam perkara Permohonan Penguj ian didikan Mardi Yuana, YPTK Sat ya Wacana dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 t ent ang lainnya dengan kuasa pemohon Dr. Luhut MP Sist em Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Pangaribuan. Kelompok kedua, dari Yayasan Nomor 9 Tahun 2009 t ent ang Badan Hukum Sarj ana Wiyat a Tamansiswa, Sent ra Advokasi Pendidikan t erhadap UUD 1945, membat alkan Unt uk Hak Pendidikan Rakyat (SaHdaR) dan UU Nomor 9 Tahun 2009. Sidang MK digelar lainnya, dengan kuasa pemohon Tauf ik Basari, unt uk mengakomodasi uj i mat eriil yang diaj u- SH. Kel ompok ket i ga diaj ukan Aep Saepudin, kan oleh para pemohon yang t erdiri dari Krist iono dan kawan-kawan, dengan kuasa elemen mahasiswa, orang t ua siswa, dan badan pemohon Emir Zullarwan Pohan, SH. Kel ompok hukum yang bergerak di bidang pendidikan, keempat , Aminuddin Maruf dengan kuasa pe- sert a yayasan pendidikan swast a. mohon Saleh, SH. Kel ompok kel i ma, dengan
Ada lima kelompok yang mendaf t arkan pemohon Yura Prat ama Yudhist ira, Yayasan permohonan uj i mat eri t erhadap UU BHP ini. Sarj ana Wiyat a Tamansiswa dan lainnya, de- Kelompok pert ama t erdiri dari sej umlah yaya- ngan kuasa hukum Tauf ik Basari, SH. san yang bergabung dalam Asosiasi Badan Put usan MK Nomor 11-14-21-126 dan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swast a Indo- 136/ PUU-VII/ 2009 t ersebut , apabila diperhat i-
Formul asi Undang-Undang Badan Hukum Pendi dikan (Pencari an Bent uk dan Bat asan Pengat uran) 235
pasca t erbit nya Put usan MK Nomor 136/ PUU- VII/ 2009.
kekuasaan kehaki man sebagai mana diat ur dal am Pasal 24 UUD 1945, maka di buat l ah dan dit et apkannya beberapa undang-undang di bidang kehaki man yait u ant ar a l ain: UU No 4 t ahun 2004 t ent ang Kekuasaan Kehakiman, UU No 5 t ahun 2005 t ent ang Mahkamah Agung, UU No. 24
amandemen konst it usi t ent ang pembent ukan Mahkamah Konst it usi, pemerint ah bersama DPR 2 Impl ikasi dari pembent ukan norma bar u t ent ang
2 Dalam rangka melaksanakan amanat
Perubahan UUD 1945 dalam bidang ke- kuasaan kehakiman (Bab IX) amandemen ke- t iga, memberikan kewenangan yang sangat luas t erhadap kekuasaan kehakiman unt uk melaku- kan koreksi t erhadap segala perbuat an at as pe- langgaran hukum yang t erj adi dalam masya- rakat , melakukan penguj ian t erhadap perat uran perundang-undangan yang berada dibawah un- dang-undang, penguj ian undang-undang t er- hadap UUD dan memeriksa sengket a polit ik.
Pembahasan Kewenangan MK
Sebelum menj elaskan beberapa t af siran at as makna ” Badan Hukum Pendidikan” yang t erdapat dalam Pasal 53 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2003, perlu dij elaskan t ent ang kewe- nangan MK dan beberapa langkah yuridis Pasca- keluarnya Put usan MK t ersebut . Langkah yuridis ini adalah t indakan legislasi yang amat men- desak (emer gency l aw) unt uk menghindari t er- j adinya persoalan-persoalan hukum, khususnya semua regulasi yang dibent uk yang mengacu kepada UU Nomor 9 Tahun 2009.
Ket i ga, langkah apakah yang dapat dit embuh
yuridis, kej elasan maksud dan keselarasan dengan UU lain. Kedua, UU BHP mempunyai asumsi penyelenggara pendidikan di Indonesia mempunyai kemampuan sama. Tapi, realit as- nya kesamaan perguruan t inggi negeri (PTN) t ak berart i semua PTN mempunyai kesamaan yang sama. Ket i ga, pemberian ot onomi kepada PTN akan berakibat beragam. Karena lebih banyak PTN yang t idak mampu menghimpun dana karena t erbat asnya pasar usaha di t iap daerah. Hal ini akan menyebabkan t erganggunya penye- lenggaraan pendidikan. Keempat , UU BHP t idak menj amin t ercapainya t uj uan pendidikan nasio- nal dan menimbulkan kepast ian hukum. Kel i ma, prinsip nirlaba t ak hanya bisa dit erapkan dalam BHP t api j uga dalam bent uk badan hukum lain- nya. MK dalam put usan a quo menyat akan bah- wa perubahan UUD 1945 menempat kan pendidi- kan sebagai barang publik ( publ i c goods) dan bukan barang privat ( pr ivat e goods).
apakah alasan bagi Mahkamah Konst it usi unt uk membat alkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 t ent ang Badan Hukum Pendidikan melalui Put usan MK Nomor 136/ PUU-VII/ 2009, t anggal 31 Maret 2010; Kedua, Bagaimanakah sesungguhnya f ormulasi dari Badan Hukum Pendidikan yang konst it usional;
Per t ama,
14-21-126 dan 136/ PUU-VII/ 2009, t anggal 31 Maret 2010 proses legislasi pembent ukan per- at uran-perundangan yang mengat ur makna ” Badan Hukum Pendidikan” yang bersesuai hukum yang bisa dilakukan. Dari uraian di at as, paling t idak t erdapat t iga permasalah pent ing yang akan dibahas dalam t ulisan ini, yakni
20 Tahun 2003 t ent ang Sist em Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik In- donesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301) konst it usional sepanj ang f rasa “ badan hukum pendi di kan” dimak- nai sebagai sebut an f ungsi penyelenggara pendidikan dan bukan sebagai bent uk badan hukum t ert ent u;
Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor
Selain memut us bahwa UU Nomor 9 Tahun 2009 bert ent angan dengan UUD 1945, MK j uga memut us bahwa Pasal 6 ayat (2), Pasal 12 ayat (1) huruf c dan Penj elasan Pasal 53 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2003 t idak mempunyai kekuat an hukum mengikat . Namun sesungguh- nya MK t idak “ mencabut ” embrio Badan Hukum Pendidikan yang t erdapat dalam Pasal 53 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2003. Dalam amar put usannya MK menyat akan;
1 Pasca-keluarnya Put usan MK Nomor 11-
236 Jurnal Dinamika Hukum Vol . 10 No. 3 Sept ember 2010
membahas Rancangan Undang-Undang t ent ang Mahkamah Konst it usi. Pada Perubahan Keempat UUD 1945 dit et apkan Pasal III At uran Peralihan UUD 1945 yang menegaskan bat as wakt u paling akhir pembent ukan Mahkamah Konst it usi pada
17 Agust us 2003. Sebelum dibent uk, segala ke- wenangan Mahkamah Konst it usi dilakukan Mah- kamah Agung. Pada t anggal 13 Agust us 2003, sebelum MK t erbent uk dengan dit et apkannya UU No. 24 Tahun 2003, berdasarkan At uran Pera-lihan UUD 1945, kewenangan MK masih dilakukan oleh MA sebagai MK sement ara at au t ransisi. Terdapat 14 permohonan penguj ian undang-undang yang diaj ukan sebelum MK res- mi t erbent uk, akan t et api sampai dengan dia- lihkan kepada MK belum pernah diput us oleh MA yang kemudian dialihkan kepada MK, se- hingga sej ak awal MK berdiri t elah harus menyelesaikan 14 permohonan penguj ian UU. Adapun secara keseluruhan, pada 2003 MK menerima 24 permohonan yang semuanya per- kara penguj ian undang-undang. Pada t ahun t er- sebut , yang t ersisa wakt u 4 bulan, t elah diput us 4 perkara, 3 dinyat akan t idak dapat dit erima dan 1 dit arik kembali. Terdapat 16 UU yang di- mohonkan unt uk diuj i konst it usionalit asnya
Set elah dilakukan pembahasan, akhirnya RUU usulan DPR t ersebut dapat disepakat i ber- sama ant ara pemerint ah bersama DPR dan disahkan dalam sidang paripurna DPR pada t anggal 13 Agust us 2003. Pada hari it u j uga UU t ent ang MK diundangkan oleh Presiden menj adi UU Nomor 24 Tahun 2003 t ent ang Mahkamah Konst it usi.
Hakim Konst it usi pert ama diangkat dengan Ke- put usan Presiden Nomor 147/ M/ Tahun 2003 yang dilanj ut kan dengan pengucapan sumpah di Ist ana Negara pada 16 Agust us 2003 yang di- saksikan Presiden Megawat i Soekarnoput ri.
bagai Hakim Konst it usi, para Hakim Konst it usi langsung bekerj a menunaikan t ugas konst it usi- 3 Kemudi an di muat dal am Lembaran Negara Republ ik onalnya sebagaimana t ercant um dalam UUD 1945 dan Undang-Undang Mahkamah Konst i- t usi.
Pada saat it u, Indonesia merupakan nega- ra ke-78 yang membent uk Mahkamah Konst it u- si. Tanggal 13 Agust us 2003 sebagai t anggal dit et apkan dan disahkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 inilah yang disepakat i menj adi hari kelahiran Mahkamah Konst it usi. Set elah penet apan undang-undang t ersebut , dilanj ut kan dengan rekrut men Hakim Konst it usi oleh set iap lembaga pengusul, yait u DPR, Presiden, dan MA. Set elah melalui t ahapan se- leksi sesuai mekanisme yang berlaku pada masing-masing lembaga t ersebut , DPR, Presi- den, dan MA menet apkan t iga calon Hakim Konst it usi yang selanj ut nya diaj ukan kepada Presiden unt uk dit et apkan sebagai Hakim Konst it usi. DPR mengaj ukan nama-nama Prof . Dr. Jimly Asshiddiqie, S. H. , Let j en TNI (Purn)
H. Achmad Roest andi, S. H. , dan I Gede Dewa Palguna, S. H. , M. H. Presiden mengaj ukan nama Prof . H. Ahmad Syari-f uddin Nat abaya, S. H. , LL. M. , Prof . H. Abdul Mukht ie Fadj ar, S. H. , M. S. , dan Dr. Harj ono, S. H. , M. C. L. Adapun MA mengaj ukan nama Dr. H. Mohamad Laica Mar- zuki, S. H. , Maruarar Siahaan, S. H. , dan Soe- darsono, S. H. Masa j abat an Hakim Kons-t it usi adalah 5 (lima) t ahun dan dapat dipilih kembali hanya unt uk 1 (sat u) kali masa j abat an beri- kut nya.
Ket ua Mahkamah Konst it usi Moh. Mahf ud MD, menj elaskan bahwa Mahkamah Konst it usi (MK) dibent uk pada t ahun 2003 karena adanya kebut uhan unt uk menj awab beberapa persoal- an hukum di negeri ini yang sebelumnya mene- mui j alan bunt u. Persoalan-persoalan hukum di masa lalu it u t ercermin dalam kewenangan dan kewaj iban yang dimiliki MK, yait u menguj i konst it usionalit as undang-undang, mengadili sengket a kewenangan lembaga negara, menga- dili sengket a hasil pemilihan umum, memut us pembubaran part ai polit ik, dan memut us per- kara i mpeachment presiden. Sebagai lembaga negara produk ref ormasi, MK menj adi t umpuan
3 Pada t anggal 15 Agust us 2003, sembilan
4 Set elah mengucapkan sumpah j abat annya se-
Formul asi Undang-Undang Badan Hukum Pendi dikan (Pencari an Bent uk dan Bat asan Pengat uran) 237
5 Bila dit elusuri lebih j auh, pembent ukan
6 Kedua, pasca Perubahan Kedua dan Pe-
9 Apabila dibaca bagian “ mengingat ” dari
Mahkamah Konst it usi j uga didorong oleh bebe- rapa alasan mendasar dan prakt ek ket at ane- garaan yang pernah berlaku. Per t ama, sebagai konsekuensi dari perwuj udan negara hukum yang demokrat is dan negara demokrasi yang berdasarkan hukum. Kenyat aan menunj ukkan bahwa suat u keput usan yang dicapai dengan demokrat is t idak selalu sesuai dengan ke- t ent uan Undang-Undang Dasar yang berlaku se- bagai hukum t ert inggi. Oleh karena it u, di perlukan suat u lembaga yang berwenang me- nguj i konst it usionalit as undang-undang.
rubahan Ket iga, UUD 1945 t elah mengubah hu- bungan kekuasaan secara besar-besaran dengan menganut sist em pemisahan kekuasaan ( sepa-
r at ion of power s) berdasarkan prinsip checks and bal ances. Bert ambahnya j umlah lembaga
negara sert a bert ambahnya ket ent uan kelem- bagaan negara menyebabkan pot ensi sengket a ant ar-lembaga negara menj adi semakin banyak. Sement ara it u t elah t erj adi perubahan para- digma dari supremasi MPR kepada supremasi konst it usi, sehingga t idak ada lagi lembaga t ert inggi negara pemegang kekuasaan t ert inggi yang berwenang menyelesaikan sengket a ant ar lembaga negara. Oleh karena it u, diperlukan lembaga t ersendiri unt uk menyelesaikan sengket a t ersebut .
UU Nomor 24 Tahun 2003, paling t idak t erdapat 3 (t iga) alasan pembent ukan UU Nomor 24 Tahun 2003, yakni per t ama, bahwa Negara Ke- sat uan Republik Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bert uj uan unt uk mewuj udkan t at a ke- hidupan bangsa dan negara yang t ert ib, bersih, makmur, dan berkeadilan; kedua, bahwa Mah- kamah Konst it usi sebagai salah sat u pelaku ke- kuasaan kehakiman mempunyai peranan pen- t ing dalam usaha menegakkan konst it usi dan prinsip negara hukum sesuai dengan t ugas dan wewenangnya sebagaimana dit ent ukan dalam 8 Mahkamah Konst it usi RI, Enam Tahun. . . op-ci t , hl m. 5-6. 9 Hingga saat ini, MK t el ah menj al ankan dan menangani
publik t ersebut melalui proses peradilan yang bersih dan put usan yang menj unj ung t inggi prinsip keadilan.
pemberhent ian Presiden dan/ at au Wakil Presi- den t idak semat amat a didasarkan alasan polit is semat a dan oleh lembaga polit ik saj a.
8 Mahkamah Konst it usi merupakan salah
sat u pelaku kekuasaan kehakiman selain Mah- kamah Agung. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka unt uk menyeleng- garakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dengan demikian, MK merupakan sua- t u lembaga peradilan, sebagai cabang kekuasa- an yudikat if , yang mengadili perkaraperkara t ert ent u yang menj adi kewenangannya yang diberikan berdasarkan ket ent uan UUD 1945. Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang dit egaskan kembali dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan d UU 24/ 2003 t ent ang Mahkamah Konst it usi, kewenangan MK adalah menguj i undangundang t erhadap UUD 1945; memut us sengket a kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; memut us pembubaran part ai polit ik; dan memut us perselisihan t ent ang hasil pemilihan umum.
7 Ket i ga, kasus nyat a yang t erj adi di Indo-
den K. H. Abdurrahman Wahid dari kursi ke- presidenannya oleh MPR pada Sidang Ist imewa MPR Tahun 2001, yang mengilhami t ercet usnya pemikiran unt uk mencari j alan keluar meka- nisme hukum yang digunakan dalam proses 5 Mahf ud MD, 2009, Enam Tahun Mengawal Konst i t usi dan
t iga macam perkar a yang menj adi kewenangannya, yait u menguj i undang-undang t erhadap UUD 1945; memut us sengket a kewenangan l embaga negara yang kewenangan- nya diber ikan ol eh UUD 1945; dan memut us persel i si han t ent ang hasil pemil ihan umum. Mahkamah bel um pernah memut us pembubar an par t ai pol it ik dan member ikan keput usan at as pendapat DPR bahwa Pr esiden dan/ at au
i mpeachment ) Presi-
nesia, yait u pemakzulan (
Demokr asi ; Gambar an Si ngkat Pel aksanaan Tugas Mah- kamah Konst i t usi 2003-2009, Jakart a: Sekret ari at Jende- ral dan Kepanit er aan MK, hl m. vi i. 6 S. F. Mar bun, 2007, Nagara Hukum dan Kekuasaan, Jur nal
238 Jurnal Dinamika Hukum Vol . 10 No. 3 Sept ember 2010
warga negara ( t he pr ot ect or of t he cit i zen’ s
12 David Hel d, 1995, Democr acy and t he Gl obal Or der : Fr om t he Moder n St at e t o Cosmopol i t an Gover nance, St andf ord: St anf ord Universit y Press, hl m. 157. 13 Pasal 1 angka 2, 3, dan 4 UU Nomor 9 Tahun 2009; ” Badan Hukum Pendidikan Pemeri nt ah yang sel anj ut nya di sebut BHPP adal ah badan hukum pendi dikan yang di dir ikan ol eh Pemerint ah. Badan Hukum Pendidikan
yang dibent uk dengan mengacu kepada UU Nomor 9 Tahun 2009 harus dicabut
13
Perat uran perundangan, baik dalam ben- t uk Perat uran Pemerint ah (PP) at aupun dalam bent uk Perat uran Ment eri (PP) yang dibent uk dan mengacu kepada UU Nomor 9 Tahun 2009, at au dengan kat a lain, semua perat uran pelaksanaan dari UU Nomor 9 Tahun 2009 yang menempat kan UU Nomor 9 Tahun 2009 dalam konsiderasi ” mengingat ” harus direvisi (t er- bat as) at au bahkan dicabut . Baik BHPP, BHPD at aupun BHPM
12 Langkah yuridis Pasca-keluarnya Put usan MK
an ant ara demokrasi, negara dan kebut uhan konst it usionalnya di mana ket iganya menj adi sat u kesat uan sist emik dalam rangka memper- kuat hak dan kewaj iban dalam hukum publik yang demokrat is. Held berpendapat , “ st at e po- wer s and i nst i t ut i ons must be const i t ut e and ci r cumscr i bed by t he r equi r ement t o enact t hi s l aw, i f t he oper at ion of democr at i c l i f e i s t o be sui t abl y r est r i ct ed and f r amed” .
David Held memberikan konsepsi hubung-
const i t ut i onal r i ght s) dan pelindung HAM (t he pr ot ect or of human r i ght s).
t he democr acy), pelindung hak konst it usional
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indo- nesia Tahun 1945; dan ket iga, bahwa berdasar- kan ket ent uan Pasal 24C ayat (6) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu mengat ur t ent ang pengangkat an dan pemberhent ian hakim konst it usi, hukum acara, dan ket ent uan lainnya t ent ang Mahkamah Kons- t it usi;
( t he sol e i nt er pr et er of t he const i t ut i on). Konst it usi sebagai hukum t ert inggi mengat ur penyelenggaraan negara berdasarkan prinsip demokrasi dan salah sat u f ungsi konst it usi adalah melindungi hak asasi manusia yang dij amin dalam konst it usi, sehingga menj adi hak konst it usional warga negara. Karena it u, se- sungguhnya Mahkamah Konst it usi j uga berf ungsi sebagai pengawal demokrasi ( t he guar di an of
Mahkamah Konst it usi merupakan pengawal konst it usi ( t he guar di an of t he const i t ut i on). Hal t ersebut akan membawa sebuah konse- kuensi MK berf ungsi sebagai penaf sir konst it usi
Sumber : Mahkamah Konst i t usi 11 Nomor 24 Tahun 2003, maka dapat dikat akan
Perbandingan Jumlah dan Persent ase Put usan 2003-Juli 2009
Berdasarkan empat wewenang dan sat u kewaj iban yang dimiliki Mahkamah Konst it usi sebagaimana diat ur dalam UUD 1945 dan UU Tabel 1.
dan present asi put usan Mahkamah Konst it usi dari t ahun 2003 sampai 2009 dapat dilihat pada t abel di bawah ini.
23 Juli 2009, Mahkamah Konst it usi t elah me- ngabulkan sej umlah 92 perkara at au sekit ar 25, 77%, menolak sej umlah 132 perkara at au sekit ar 36, 97%, t idak dapat dit erima sej umlah 83 perkara at au sekit ar 23, 25%, sert a ket et apan penarikan kembali sej umlah 24 perkara at au sekit ar 6, 72% dan 4 put usan sela at au sekit ar 1, 12%. Sehingga t ot al yang diput us adalah 335 perkara dan t erdapat 22 perkara yang masih dalam proses persidangan.
Berdasarkan perkara ant ara 2003 sampai
10 Tent ang j umlah
Formul asi Undang-Undang Badan Hukum Pendi dikan (Pencari an Bent uk dan Bat asan Pengat uran) 239 at au diadakan revisi t erbat as.
14 Sebagai cont oh
misalnya Perat uran Pemerint ah Nomor 17 Ta- hun 2010 t ent ang Pengelolaan dan Penyeleng- garaan Pendidikan, dan Perat uran Pemerint ah Nomor 38 Tahun 2010 Tent ang Badan Hukum Pendidikan Pemerint ah Universit as Pert ahanan Indonesia.
PP Nomor 17 Tahun 2010 t ent ang Penge- lolaan dan Penyelengg-araan Pendidikan meng- at ur secara khusus menyangkut Perguruan Tinggi sebagai badan hukum. Walaupun PP Nomor 17 Tahun 2010 t idak meruj uk kepada UU Nomor 19 Tahun 2009, namun secara mat eri bert ent angan dengan t af siran badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud oleh hakim MK dalam dua put usan, yakni; put usan Nomor 021/ PUUIV/ 2006 pada 22 Februari 2007, dan Put usan MK Nomor 11-14-21-126 dan 136/ PUU-
VII/ 2009 t anggal 31 Maret 2010. sehingga PP Nomor 17 Tahun 2010 menj adi bagian yang ha- rus direvisi.
rus dicabut pembent ukkan PP ini merupakan pendelegasian dari UU Nomo 19 Tahun 2009. Dalam konsideran ” mengingat ” PP Nomor 38 Tahun 2010 mencant umkan UU nomor 39 Tahun 2009. Pasal 1 angka 1 PP t ersebut berbunyi; ” Badan Hukum Pendidikan Pemerint ah Univer- sit as Pert ahanan Indonesia yang selanj ut nya disebut BHPP UNHAN adalah badan hukum pendidikan yang didirikan oleh Pemerint ah yang menyelenggarakan pendidikan t inggi ilmu pert ahanan” .
BHMN (Badan Hukum Milik Negara) se- pert i Universit as Indonesia, Inst it ut Pert anian Bogor, Universit as Gaj ah Mada, Inst it ut Tek- 14 Pasal 7 (1) UU Nomor 9 Tahun 2009; BHPP di dir ikan ol eh
Pemerint ah dengan perat uran pemerint ah at as usul Men- t eri. Pasal 7 (2) UU Nomor 9 Tahun 2009; BHPPD didiri- kan ol eh pemeri nt ah daerah dengan perat uran gubernur at au perat uran bupat i/ w al ikot a. Pasal 7 (3) UU Nomor 9 Tahun 2009; BHPM di dir ikan ol eh masyarakat dengan akt a not ari s yang disahkan ol eh Ment er i. 15 Pasal 221 Perat ur an Pemeri nt ah Nomor 17 Tahun 2010 t ent ang Pengel ol aan dan Penyel enggar aan Pendidikan mengat ur ” Pada saat Per at ur an Pemer i nt ah i ni mul ai ber l aku: i . Per at ur an Pemer i nt ah Nomor 61 Tahun 1999
nologi Bandung yang dibent uk sebelum UU Nomor 20 Tahun 2003 dan UU Nomor 9 Tahun 2009, keberadaannya t et ap diakui sebagai Per- guruan Tinggi Negeri. Demikian pula BHMN yang dibent uk dengan konsideran UU UU Nomor 20 Tahun 2003 sepert i Universit as Pendidikan In- donesia, Universit as Sumat era Ut ara dan Uni- versit as Airlangga t et ap diakui keberadaannya. Namun kesemua BHMN t ersebut perlu merevisi Anggaran Dasar masing-masing sesuai dengan Put usan MK Nomor 11-14-21-126 dan 136/ PUU- VII/ 2009.
Tafsiran Yuridis ” Badan Hukum Pendidikan”
Pembent ukkan sebuah Badan Hukum Pen- didikan adalah sebuah keharusan dan amanat dari Pasal 53 (4) UU Nomor 20 Tahun 2003 yang menent ukan bahwa Ket ent uan t ent ang badan hukum pendidikan diat ur dengan Undang- undang t ersendiri. Pasal 53 (4) t idak menj adi bagian yang dibat alkan dalam Put usan MK Nomor 11-14-21-126 dan 136/ PUU-VII/ 2009.
15 Kemudian, PP Nomor 38 Tahun 2010 ha-
Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas t ent ang BHP menj adi r at io l egis lahirnya Put usan MK Nomor 11-14-21-126 dan 136/ PUU-VII/ 2009. UU Nomor 9 Tahun 2009 yang disusun at as dasar pemahaman ” Badan Hukum Pendidikan” versi penj elasan Pasal 53 ayat (1) yang memahami ” Badan Hukum Pendidikan” sebagai badan hu- kum publik at au badan hukum yang menyeleng- garakan pendidikan, dibat alkan. Pasal 53 Ayat (1) menyebut kan, ” Penyelenggara dan/ at au sa- t uan pendidikan f ormal yang didirikan pemerin- t ah at au masyarakat berbent uk badan hukum pendidikan. Menurut MK, ist ilah badan hukum pendidikan it u bukanlah nama dan bent uk badan hukum t ert ent u.
MK dalam put usan a quo menyat akan bahwa ” Badan Hukum Pendidikan” harus di- maknai sebagai f ungsi penyelenggaraan pen- didikan. Jauh sebelum Put usan MK Nomor 11- 14-21-126 dan 136/ PUU-VII/ 2009 dibaca, se- sungguhnya MK melalui put usan Nomor 021/ PUUIV/ 2006 pada 22 Februari 2007 sudah menaf siran 4 (empat ) aspek pent ing yang di-
240 Jurnal Dinamika Hukum Vol . 10 No. 3 Sept ember 2010
17 Di luar UU Nomor 20 Tahun 2003, peng-
hidupan bangsa (Alinea Keempat Pembukaan), kewaj iban negara dan pemerint ah dalam bidang pendidikan sebagaimana dit ent ukan
Pasal 31 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), sert a hak dan kewaj iban warga negara dalam bidang pendidikan sebagaimana dit ent u- kan oleh Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2), Pasal
28C ayat dan ayat (2), sert a Pasal 28 ayat (1) (sic. ) UUD 1945; Kedua, Aspek f i l osof i s yakni mengenai cit a-cit a unt uk membangun sist em pendidikan nasional yang berkualit as dan ber- makna bagi kehidupan bangsa, aspek sosiologis yakni realit as mengenai penyelenggaraan pen- didikan yang sudah ada t ermasuk yang diseleng- garakan oleh berbagai yayasan, perkumpulan, dan sebagainya, sert a aspek yuridis yakni t idak menimbulkan pert ent angan dengan perat uran perundang-undangan lainnya yang t erkait de- ngan badan hukum; Ket i ga, Aspek pengat ur an mengenai badan hukum pendidikan dalam undang-undang dimaksud haruslah merupakan implement asi t anggung j awab negara dan t idak dimaksudkan unt uk mengurangi at au meng- hindar dari kewaj iban konst it usional negara di bidang pendidikan, sehingga t idak memberat - kan masyarakat dan/ at au pesert a didik;
Keempat , Aspek aspir asi masyar akat harus
mendapat perhat ian di dalam pembent ukan un- dang-undang mengenai badan hukum pendidik- an, agar t idak menimbulkan kekacauan dan permasalahan baru dalam dunia pendidikan di Indonesia. ”
at uran badan hukum t erdapat dalam KUH Per- dat a (BW) Pasal 1653 dan 1654. Dalam dua pa- sal t ersebut , dij elaskan 4 (empat ) j enis badan hukum ( zadel i j ke l i chaamen) yait u, Per t ama, Badan hukum yang diadakan (didirikan) oleh kekuasaan umum; Kedua, Badan hukum yang diakui oleh kekuasaan umum; Ket i ga, Badan hukum yang diperkenankan, Keempat , Badan hukum yang didirikan unt uk maksud t uj uan t ert ent u.
Aspek f ungsi negar a unt uk mencerdaskan ke-
Pasal 53 (4) UU Nomor 20 Tahun 2003. Tent ang hal ini, MK berpendapat : Oleh karena it u, seharusnya pendirian BHPP at au BHPPD t idak cukup dilakukan hanya dengan Perat uran Pemerint ah, at au Perat uran Gubernur/ Bupat i/ Wali- kot a karena menyangkut pelepasan hart a pemerint ah at au pemerint ah daerah yang memerlukan perset uj uan DPR at au DPRD.
Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 t ent ang Perbendaharaan Ne- gara (UU 1/ 2004) menyat akan, “ Pemi n-
daht anganan bar ang mi l i k negar a/ daer ah di l akukan dengan car a di j ual , di per t ukar - kan, di hi bahkan, at au di ser t akan sebagai modal Pemer i nt ah set el ah mendapat per set uj uan DPR/ DPRD” . Jelas pembuat
UU BHP t idak mempert imbangkan ke- beradaan UU 1/ 2004, hal demikian t er- bukt i UU BHP t idak mencant umkan UU 1/ 2004 dalam konsiderans mengingat padahal pembent ukan BHP sebagaimana dimaksud oleh UU BHP mensyarat kan adanya hart a yang dipisahkan dari pendiri dalam hal BHPP dan BHPPD adalah Pemerint ah dan Pemerint ah Daerah sebagaimana disebut kan dalam Pasal 37 ayat (1) UU BHP kekayaan awal BHPP, BHPPD, dan BHPM berasal dari kekayaan pendiri yang dipisahkan.
16 Di samping keempat aspek di at as, posisi
pengelolaan kekayaan negara menj adi bagian t epent ing dari menerj emahkan “ Badan Hukum Pendidikan” sebagaimana diamanat kan dalam 16 Put usan Nomor 021/ PUUIV/ 2006 pada 22 Februari 2007.
Menurut de heer sende’ l eer unt uk mem- bedakan mana yang badan hukum public dan mana yang badan hukum privat dapat dilihat dari (1) cara pembent ukannya dan (2) perun- t ukkannya. Jika unt uk kepent ingan umum maka j elas merupakan badan hukum publik sedang- kan unt uk perseorangan maka j elas merupakan
hl m. 134-135. Dal am Put usan MK Nomor 11-14-21-126 dan 136/ PUU-VII/ 2009 t anggal 31 Maret 2010 hal aman 388, MK menyat akan; ” Menimbang bahw a berdasarkan urai an di at as Mahkamah berpendapat bahw a UU BHP yang menyeragamkan bent uk hukum badan hukum pen- di dikan yang di sel enggarakan ol eh masyar akat (BHPM) adal ah t idak sesuai dengan rambu-rambu yang t el ah
Formul asi Undang-Undang Badan Hukum Pendi dikan (Pencari an Bent uk dan Bat asan Pengat uran) 241
Terkait BHP yang diat ur dalam UU Sisdik- nas dan Put usan MK, maka BHP j elas merupa- kan badan hukum publik dimana peran Negara unt uk menj alankan proses organisasi BHP Uni- versit as sangat “ mut lak” . Peran warga Negara dalam membant u pelaksanaan BHP versi baru t ersebut t idaklah mut lak, apabila individu war- ga Negara berkehendak ikut sert a maka peran- nya t ersebut diperbolehkan.
Sesungguhnya, MK sudah memberikan so- lusi hukum at as bent uk ” badan hukum pen- didikan” sebagaimana disebut dalam Pasal 53 (1) UU Nomor 20 Tahun 2003. Hal ini dapat dibaca dalam Put usan MK Nomor 11-14-21-126 dan 136/ PUU-VII/ 2009:
UU Sisdiknas bukanlah nama dan bent uk badan hukum t ert ent u, melainkan sebut - an dari f ungsi penyelenggara pendidikan yang berart i bahwa suat u lembaga pen- didikan harus dikelola oleh suat u badan hukum. Adapun bent uk badan hukum it u dapat bermacam-macam sesuai dengan bent uk-bent uk yang dikenal dalam per- at uran perundang-undangan, misalnya; yayasan, perkumpulan, perserikat an, ba- dan wakaf , dan sebagainya. MK membenarkan bahwa Badan hukum pendidikan dapat dij alankan dengan prinsip nirlaba, disamping it u, MK dalam put usannya j uga mengakui bahwa t idak semua prinsip BHPP dan BHPPD yang sudah dit erapkan dalam UU Nomor 19 Tahun 2009 bert ent angan dengan UUD 1945. hal ini dapat dibaca dalam put usan MK;
Menimbang bahwa meskipun keberadaan BHPP dan BHPPD sebagaimana dimaksud oleh UU BHP bert ent angan dengan UUD 1945, namun t idak semua prinsip yang dit erapkan dalam BHPP dan BHPPD ber- t ent angan dengan UUD 1945. Adanya ke- t ent uan bahwa penyelenggaraan pen- didikan harus menerapkan prinsip nirlaba dalam pengelolaan pendidikan adalah benar dan t idak bert ent angan dengan UUD 1945. Meskipun demikian, prinsip nirlaba it u t idak hanya dapat dit erapkan di dalam BHP, t et api dapat dit erapkan pula dalam bent uk-bent uk badan hukum
Prinsip-prinsip dan bent uk-bent uk dari ” badan hukum pendidikan” sesuai yang dij elas- kan dan dit af sirkan MK dalam Put usan MK No- mor 11-14-21-126 dan 136/ PUU-VII/ 2009 se- sungguhnya menj adi bahan hukum ut ama guna merumuskan Rancangan Undang-undang (RUU) yang baru yang mengat ur masalah Badan Hu- kum Pendidikan sebagai amanat Pasal 51 (1) j unt o Pasal 51 (4) UU 20 Tahun 2003.
Penut up Simpulan
Selain merevisi beberapa Anggaran Dasar PTN/ PTS yang dibent uk berdasarkan UU Nomor
20 Tahun 2003 dan UU Nomor 9 Tahun 2009, pemerint ah pusat (Presiden c. q. Mendiknas) dan Pemerint ah Daerah (Gubernur, Walikot a dan Bupat i) harus segera mencabut seluruh perat uran perundang-undangan yang dibent uk yang mengacu kepada UU Nomor 9 Tahun 2009.
Amat pent ing segera disusun Undang- undang Tent ang Badan Hukum Pendidikan, sesuai dengan amanat Pasal 53 (1) j unt o Pasal 53 (4) UU Nomor 20 Tahun 2003, dengan me- ngacu kepada Put usan MK Nomor 11-14-21-126 dan 136/ PUU-VII/ 2009 t anggal 31 Maret 2010 dan Put usan Nomor 021/ PUUIV/ 2006 pada 22 Februari 2007. Dalam dua put usan t ersebut , MK t elah mendef enisi makna dan bat asan “ Badan Hukum Pendidikan” yang konst it usional.
Belaj ar dari prakt ek pembent ukkan UU di DPR, amat sulit pembahasan RUU Badan Hukum Pendidikan yang sesuai dengan rambu-rambu yang sudah diat ur dalam Put usan MK Nomor 11- 14-21-126 dan 136/ PUU-VII/ 2009 dan Put usan Nomor 021/ PUUIV/ 2006 akan selesai dalam wakt u 3 (t iga) bulan. Maka amat pent ing Pe- merint ahan (Presiden) mengeluarkan Perat uran Perundang-undangan Penggant i Pemerint ah (Perppu).
Secara konst it usional, Perppu merupakan salah sat u salah sat u bent uk perat uran per- undang-undangan. Eksist ensinya dapat dibaca dalam Pasal 1 angka 4 UU Nomor 10 Tahun 2004
242 Jurnal Dinamika Hukum Vol . 10 No. 3 Sept ember 2010
Tahun 2003 menj adi kebut uhan yang amat mendesak.
ket i ga, j ika t idak mendapat perset uj uan, maka perat uran pemerint ah it u harus dicabut .
Masalahnya yang t imbul dalam kait an rencana pembent ukan Perppu t ent ang UU Ba- dan Hukum Pendidikan, bukan pada eksist ensi, namun t erlet ak pada alasan yang dapat mem- benarkan kehadiran Perppu t ersebut sebagai
emer gency l aw. Alasan ini menj adi amat pen-
t ing karena Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945 meng- hendaki kondisi at au hal ihwal kegent ingan yang memaksa at as rencana penerbit an Perppu.
gent ingan yang memaksa, Presiden berhak menet apkan perat uran pemerint ah sebagai penggant i UU, kedua, perat uran pemerint ah it u harus mendapat perset uj uan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut , dan
VII/ 2009 t anggal 31 Maret 2010 dan Put usan Nomor 021/ PUUIV/ 2006 pada 22 Februari 2007.
Dua alasan di at as menj adi pij akan kons- t it usional bagi Pemerint ah (c. q. Presiden) un- t uk membent uk sebuah Perppu Badan Hukum Pendidikan yang secara subst ansi sesuai dengan Put usan MK Nomor 11-14-21-126 dan 136/ PUU-
Pasal 53 (1)
j unt o Pasal 53 (4) UU Nomor 20
DAFTAR PUSTAKA
sebuah UU. Prakt ek ket at anegaraan membukt i- kan bahwa pembent ukan sebuah UU memakan 6 (enam) bulan. Sedangkan kebut uhan regulasi set ingkat UU yang mengat ur masalah badan hukum pendidikan sebagaimana diamanat kan
Kedua, dari segi prosedural pembent ukan
Set idaknya t erdapat beberapa pert im- bangan pent ingnya kehadiran Perppu t ent ang UU Badan Hukum Pendidikan. Per t ama, Put usan MK Nomor 11-14-21-126 dan 136/ PUU-VII/ 2009 t anggal 31 Maret 2010 berimplikasi kepada banyaknya perat uran perundang-undangan yang harus dicabut dan direvisi. Pencabut an dan/ at au revisi perat uran-perundangan dimaksud, t idak saj a menyangkut t eknis regulasi semat a, t et api berimplikasi t erhadap eksist ensi badan dan organ lembaga pendidikan yang diat ur di dalamnya. Baik dari st at us Perguruan Tinggi (PTN/ PTS) maupun semua lembaga pendidikan f ormal dan inf ormal yang dibent uk oleh masya- rakat . Kemudian, berbagai perat uran perun- dang-undangan yang akan direvisi membut uh- kan payung hukum yang j elas set ingkat dengan UU. Dengan kat a lain, adalah langkah hukum yang keliru bila Put usan MK Nomor 11-14-21- 126 dan 136/ PUU-VII/ 2009 t anggal 31 Maret 2010 hanya dit indaklanj ut i dengan beberapa Perat urn Pemerint ah (PP). Bila t idak dibent uk sebuah UU Badan Hukum Pendidikan dalam wakt u yang secepat -cepat nya, t idak saj a persoalan hukum yang akan t imbul. Namun akan menimbulkan soci al cost yang amat t inggi.
dan Mahkamah Konst it usi . Jakart a: Sek-
j en dan Kepanit eraan Mahkamah Kons- t it usi RI; Held, David. 1995. Democr acy and t he Gl obal
Or der : Fr om t he Moder n St at e t o Cosmopol it an Gover nance. St andf ord:
St anf ord Universit y Press; Mahkamah Konst it usi. 2009. Enam Tahun
Mengawal Konst i t usi dan Demokr asi ; Gambar an Si ngkat Pel aksanaan Tugas Mahkamah Konst it usi 2003-2009, Jakar-
t a: Sekret ariat Jenderal dan Kepanit e- raan MK; Marbun, S. F. “ Nagara Hukum dan Kekuasaan” , Jur nal Hukum Ius Qui a Iust um, Vol 4 No.
9. 2007; Put usan Mahkamah Konst it usi Nomor 11; Put usan Mahkamah Konst it usi Nomor 126/ PUU-
VII/ 2009 t anggal 31 Maret 2010; Put usan Mahkamah Konst it usi Nomor 136/ PUU-
VII/ 2009 t anggal 31 Maret 2010; Put usan Mahkamah Konst it usi Nomor 14/ PUU-
VII/ 2009 t anggal 31 Maret 2010; Put usan Mahkamah Konst it usi Nomor 21/ PUU-
VII/ 2009 t anggal 31 Maret 2010; Thalib, Abdul Rasyid. 2006. Wewenang Mahka-
mah Konst i t usi dan Impl i kasinya dal am Si st em Ket at anegar aan Republ i k Indone- si a. Bandung: Cit ra Adit yia Bakt i;
Fadj ar, Abdul Mukht ie. 2006. Hukum Konst it usi