BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perjanjian Terapeutik 2.1.1. Pengertian Perjanjian Terapeutik - Analisis Penerapan Informed Consent Di Bagian SMF Bedah dan SMF Kandungan RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perjanjian Terapeutik

2.1.1. Pengertian Perjanjian Terapeutik

  Transaksi terapeutik adalah perjanjian antara dokter dengan pasien, berupa hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Objek dari perjanjian ini adalah berupa upaya atau terapi untuk penyembuhan pasien, dimana dalam transaksi terapeutik terdapat para pihak yang mengikatkan diri dalam suatu perikatan atau perjanjian, yaitu dokter sebagai pihak yang melaksanakan atau memberikan pelayanan medis dan pasien sebagai pihak yang menerima pelayanan medis.

  Jadi perjanjian atau transaksi terapeutik adalah suatu transaksi untuk menentukan atau upaya mencari terapi yang paling tepat bagi pasien yang dilakukan oleh dokter. Menurut hukum, objek perjanjian dalam transaksi terapeutik bukan kesembuhan pasien, melainkan mencari upaya yang tepat untuk kesembuhan pasien (Nasution, 2005).

  Hubungan terapeutik merupakan perikatan berdasar daya upaya maksimum dimana dokter tidak menjanjikan kesembuhan tetapi berjanji berdaya upaya maksimal untuk menyembuhkan, oleh karena itu tindakan yang dilakukan belum tentu berhasil. Hubungan tersebut dinamakan inspanningsverbintenis yang tidak dilihat hasilnya tetapi lebih ditekankan pada upaya yang dilakukan hasilnya tidak seperti yang

  19 diharapkan dan hal ini berbeda dengan hubungan resultaatsverbintenis yang dinilai dari hasil yang dicapai dan tidak mempermasalahkan upaya yang dilakukan. Ciri-ciri khusus hubungan terapeutik yaitu: 1)

  Subjeknya terdiri dari dokter sebagai pemberi pelayanan medik profesional yang pelayanannya didasarkan pada prinsip pemberian pertolongan dan pasien sebagai penerima pelayanan medik yang membutuhkan pertolongan. 2)

  Objeknya berupa upaya medik profesional yang bercirikan memberikan pertolongan.

3) Tujuannya adalah pemeliharaan dan peningkatan kesehatan (Nasution, 2005).

2.1.2. Sifat Perjanjian Terapeutik

  Sifat atau ciri khas dari transaksi terapeutik sebagaimana disebutkan dalam Mukadimah Kode Etik Kedokteran Indonesia adalah : 1. Transaksi terapeutik khusus mengatur hubungan antara dokter dengan pasien.

  2. Hubungan dalam transaksi terapeutik ini hendaknya dilakukan dalam suasana saling percaya (konfidensial) yang berarti pasien harus percaya kepada dokter yang melakukan terapi, demikian juga sebaliknya dokter juga harus mempercayai pasien. Oleh karena itu dalam rangka saling menjaga kepercayaan ini, dokter juga harus berupaya maksimal untuk kesembuhan pasien yang telah mempercayakan kesehatan kepadanya, dan pasien pun harus memberikan keterangan yang jelas tentang penyakitnya kepada dokter yang berupaya melakukan terapi atas dirinya serta mematuhi perintah dokter yang perlu untuk mencapai kesembuhan yang diharapkannya.

  3. Harapan ini juga dinyatakan sebagai ‘senantiasa diliputi oleh segala emosi, harapan dan kekhawatiran makhluk insani’. Mengingat kondisi pasien yang sedang sakit, terutama pasien penyakit kronis atau pasien penyakit berat, maka kondisi pasien yang emosional, kekhawatiran terhadap kemungkinan sembuh atau tidak penyakitnya disertai dengan harapan ingin hidup lebih lama lagi, menimbulkan hubungan yang bersifat khusus yang membedakan transaksi terapeutik ini berbeda dengan transaksi lain pada umumnya.

  Transaksi terapeutik merupakan hubungan hukum antara dokter dan pasien, maka dalam transaksi terapeutik pun berlaku beberapa azas hukum menurut Komalawati (1999) yang dikutip oleh Wardhani tahun 2009 yang disimpulkan sebagai berikut : a. Azas Legalitas

  Azas ini tersirat dalam Pasal 23 dan Pasal 29 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan atau melakukan kegiatan kesehatan sesuai dengan keahlian dan atau kewenangan tenaga kesehatan yang bersangkutan. Hal ini berarti bahwa pelayanan medik hanya dapat terselenggara apabila tenaga kesehatan yang bersangkutan telah memenuhi persyaratan dan perizinan yang diatur dalam peraturan perundang -Undangan, antara lain telah memiliki Surat Tanda Registrasi dan Surat Izin Praktik. b. Azas Keseimbangan Menurut azas ini, penyelenggaraan pelayanan kesehatan harus diselenggarakan secara seimbang antara kepentingan individu dan masyarakat, antara fisik dan mental, antara materiil dan spiritual. Oleh karena itu diperlukan adanya keseimbangan antara tujuan dan sarana, antara sarana dan hasil serta antara manfaat dan resiko yang ditimbulkan dari upaya medis yang dilakukan.

  c. Azas Tepat Waktu Azas ini cukup penting karena keterlambatan dokter dalam menangani pasien dapat menimbulkan kerugian bagi pasien dan bahkan bisa mengancam nyawa pasien itu sendiri.

  d. Azas Itikad Baik Azas ini berpegang teguh pada prinsip etis berbuat baik yang perlu diterapkan dalam pelaksanaan kewajiban dokter terhadap pasien. Hal ini merupakan bentuk penghormatan terhadap pasien dan pelaksanaan praktik kedokteran yang selalu berpegang teguh kepada standar profesi.

  e. Azas Kejujuran Azas ini merupakan dasar dari terlaksananya penyampaian informasi yang benar, baikoleh pasien maupun dokter dalam berkomunikasi. Kejujuran dalam menyampaikan informasi akan sangat membantu dalam kesembuhan pasien. Kebenaran informasi ini terkait erat dengan hak setiap manusia untuk mengetahui kebenaran. f. Azas Kehati-hatian Sebagai seorang profesional di bidang medik, tindakan dokter harus didasarkan atas ketelitian dalam menjalankan fungsi dan tanggungjawabnya, karena kecerobohan dalam bertindak dapat berakibat terancamnya jiwa pasien.

  g. Azas keterbukaan Pelayanan medik yang berdayaguna dan berhasil guna hanya dapat tercapai apabila ada keterbukaan dan kerjasama yang baik antara dokter dan pasien dengan berlandaskan sikap saling percaya. Sikap ini dapat tumbuh jika terjalin komunikasi secara terbuka antara dokter dan pasien dimana pasien memperoleh penjelasan atau informasi dari dokter dalam komunikasi yang transparan ini (Achmadi, 2012).

2.2. Hubungan Dokter dan Pasien

  Hubungan antara dokter dan pasiennya secara yuridis dapat dimasukkan ke dalam golongan kontrak. Suatu kontrak adalah pertemuan pikiran (meeting of minds) dari dua orang mengenai suatu hal (solis) pihak pertama mengikatkan diri untuk memberikan pelayanan, sedangkan pihak ke dua menerima pemberian pelayanan tersebut. Pasien datang meminta kepada dokter untuk diberikan pelayanan pengobatan, sedangkan dokter menerima untuk memberikannya. Dengan demikian, maka sifat hubungannya mempunyai dua ciri :

  1. Adanya satu persetujuan (consentual, agreement), atas dasar saling menyetujui dari pihak dokter dan pasien tentang pemberian pelayanan pengobatan.

  2. Adanya suatu kepercayaan (fiduciary), karena hubungan kontrak tersebut berdasarkan saling percaya mempercayai satu sama lain.

  Karena bersifat hubungan kontrak antara pasien dan dokter, maka harus dipenuhi persyaratan :

  1. Harus adanya persetujuan (consent) dari pihak-pihak yang berkontrak.

  2. Harus ada suatu objek yang merupakan substansi dari kontrak.

  3. Harus ada suatu sebab (cause) atau pertimbangan (consideration) (Guwandi, 2007).

  Hubungan dokter-pasien dapat dilihat dari berbagai pendekatan yang berbeda, namun terkait satu dengan yang lain

  1. Hubungan kebutuhan ; pasien butuh pertolongan medis, dokter butuh pasien sebagai subyek profesinya.

  2. Hubungan kepercayaan ; pasien menyerahkan diri kepada dokter karena percaya pada integritas dan kemampuannya. Pasien percaya dokter akan merahasiakan segala sesuatu tentang dirinya. Dokter percaya pasien akan jujur dan beritikad baik terhadap dirinya.

  3. Hubungan keprofesian ; interaksi dan kerjasama antar seorang professional medis dengan penerima jasa professional itu. Hubungan ekonomi ; antara produsen jasa dengan pembeli jasa atau pengguna jasa itu, yang membawa konsekuensi keuangan.

  4. Hubungan hukum ; antara subyek hukum dengan subyek hukum lain (Jacobalis, 2005).

2.3. Dokter

  Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran selanjutnya disebut UU No. 29 Tahun 2004, Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah Rebublik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang- undangan. Pasal 1 angka 11 menyatakan bahwa profesi kedokteran atau kedokteran gigi adalah suatu pekerjaan kedokteran atau kedokteran gigi yang dilaksanakan berdasarkan suatu keilmuan, kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan yang berjenjang, dan kode etik yang bersifat melayani masyarakat.

  Secara operasional, definisi “Dokter” adalah seorang tenaga kesehatan (dokter) yang menjadi tempat kontak pertama pasien dengan dokternya untuk menyelesaikan semua masalah kesehatan yang dihadapi tanpa memandang jenis penyakit, organologi, golongan usia, dan jenis kelamin, sedini dan sedapat mungkin, secara menyeluruh, paripurna, bersinambung, dan dalam koordinasi serta kolaborasi dengan profesional kesehatan lainnya, dengan menggunakan prinsip pelayanan yang efektif dan efisien serta menjunjung tinggi tanggung jawab profesional, hukum, etika dan moral. Layanan yang diselenggarakannya adalah sebatas kompetensi dasar kedokteran yang diperolehnya selama pendidikan kedokteran (Liana, 2010).

  Menurut Kerbala (1993) dalam Liana ( 2010 ), dokter dapat dibedakan atas: 1) Dokter umum

  Pengertian dokter umum dapat dirumuskan sebagai seorang yang menjalani pendidikan di suatu fakultas kedokteran serta mendapat ijazah menurut peraturan yang berlaku. 2) Dokter spesialis

  Dokter spesialis adalah seorang yang telah memenuhi seluruh tuntutan di suatu fakultas kedokteran kemudian ia melanjutkan pendidikan spesialis tertentu dan telah memperoleh ijazah atau sertifikat untuk bidang spesialisnya itu.

2.4. Pasien

  Menurut UU No. 29 Tahun 2004 Pasal 1 ayat 10, Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi.

  Pasien adalah orang sakit (yang dirawat dokter atau perawat), seseorang yang mengalami penderitaan (sakit). Pasien dalam praktek sehari - hari sering dikelompokkan menjadi : 1) Pasien jalan/luar

  Pasien jalan/luarpasien yang hanya memperoleh pelayanan kesehatan yang biasa juga disebut dengan pasien rawat jalan.

  2) Pasien opname Pasien opname adalah pasien yang memperoleh pelayanan kesehatan dengan cara menginap dan dirawat di rumah sakit atau disebut juga pasien rawat inap

  (Iskandar, 1998).

2.5. Hak dan Kewajiban

2.5.1. Dokter

  Menurut Pasal 50 UU NO. 29 Tahun 2004 tentang praktek kedokteran, hak dokter dalam melaksanakan praktik kedokteran, yaitu: 1)

  Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai standar profesi dan standar prosedur operasional.

  2) Memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasional.

  3) Memperoleh informasi lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya. 4) Menerima imbalan jasa.

  Menurut Wiradharma (1996), sebagaimana lazimnya suatu perikatan, perjanjian medis pun memberikan hak-hak tertentu bagi dokter, yaitu :

  1. Hak untuk bekerja sesuai dengan standar profesi medis.

  2. Hak menolak melakukan tindakan medis yang tidak dapat dipertanggung jawabkannya secara profesional.

  3. Hak menolak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan hati nuraninya.

  4. Hak untuk memilih pasien.

  5. Hak untuk mengakhiri hubungan dengan dengan pasien apabila kerja sama sudah tidak dimungkinkan lagi.

  6. Hak atas ‘privacy’ 7.

  Hak atas itikad baik dari pasien dalam memberikan informasi yang berkaitan dengan penyakitnya.

  8. Hak atas suatu ‘fair play’ 9.

  Hak untuk membela diri.

  10. Hak untuk menerima honorium.

  11. Hak menolak memberikan kesaksian mengenai pasiennya di pengadilan.

  Sedangkan hal yang menjadi kewajiban dokter menurut Pasal 51 UU No. 29 Tahun 2004 yaitu: 1)

  Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan pasien.

  2) Merujuk pasien kedokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan.

  3) Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.

  4) Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya.

  5) Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi.

  Menurut Leenen (1991) dalam Wiradharma Tahun 1996, kewajiban dokter dapat dikategorikan dalam tiga kelompok yaitu:

  1. Kewajiban yang timbul dari sifat perawatan medis di mana dokter harus bertindak sesuai dengan standar profesi medis atau menjalankan praktek kedokterannya secara lege artis.

2. Kewajiban untuk menghormati hak-hak pasien yang bersumber dari hak-hak asasi dalam bidang kesehatan.

  3. Kewajiban yang berhubungan dengan fungsi sosial pemeliharaan kesehatan. Di sini dokter misalnya harus mempertimbangkan penulisan resep obat-obat yang harganya terjangkau dengan khasiat yang kira-kira sama dan tidak menulis resep obat yang tidak benar-benar diperlukan. Keputusan untuk merawat pasien di rumah sakit dilakukan dengan antara lain melihat keadaan sosial ekonomi pasien dan kebutuhan pasien-pasien lain yang lebih memerlukan perawatan.

2.5.2. Pasien

  Hak pasien menurut UU No. 29 Tahun 2004 Pasal 52 antara lain : 1) Mendapat penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis 2) Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain 3) Mendapatkan pelayanan sesuai kebutuhan medis 4) Menolak tindakan rekam medis 5) Mendapatkan isi rekam medis (Jacobalis, 2005).

  Secara yuridis, hak yang terdapat pada pasien dalam doktrin informed consent yaitu: 1)

  Hak untuk memperoleh informasi mengenai penyakitnya dan tindakan apa yang hendak dilakukan dokter terhadap dirinya.

  2) Hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan yang diajukannya. 3) Hak untuk memilih tindakan alternatif jika ada. 4) Hak untuk menolak usul tindakan yang hendak dilakukan terhadap dirinya.

  Fred Ameln (1991) dalam Wiradharma Tahun 1996, mengatakan kewajiban profesi dokter termasuk pula untuk selalu memperhatikan dan menghormati hak pasien, antara lain :

  1. Hak untuk memperoleh informasi Pasien berhak mengetahui segala sesuatu yang berkaitan dengan keadaan penyakit, yakni tentang diagnosis, tindak medik yang akan dilakukan. Risiko dari dilakukan atau tidak dilakukannya tindak medik tersebut, termasuk identitas dokter yang merawat, aturan-aturan yang berlaku di Rumah Sakit tempat ia dirawat.

  2. Hak untuk memberikan persetujuan Persetujuan tindak medik (informed consent) penting untuk :

  • Memenuhi unsur "persetujuan" pasien sebagai wujud adanya hubungan pasien dan dokter.
  • Meniadakan unsur pidana penganiayaan berdasarkan Pasal 351 KUHP.

  3. Hak atas rahasia kedokteran Rahasia medik adalah :

  • Segala sesuatu yang disampaikan oleh pasien ( secara sadar atau tidak sadar ) kepada dokter.
  • Segala sesuatu yang diketahui oleh dokter sewaktu mengobati dan merawat pasien.

  Etika kedokteran menyatakan bahwa rahasia ini harus dihormati dokter walaupun pasien telah mati.

  4. Hak untuk memilih dokter Oleh karena terjadinya hubungan dokter pasien terutama berlandaskan kepercayaan, maka umumnya pasien selalu memilih untuk berobat kepada dokter tertentu. Akan tetapi hak memilih dokter ini bersifat relatif, terutama misalnya pada karyawan dari suatu perusahaan yang telah mempunyai dokter perusahaan atau dokter langganan perusahaan.

  5. Hak untuk memilih sarana kesehatan Seperti halnya hak memilih dokter, pasien pun mempunyai hak memilih rumah sakit dalam batas-batas tertentu, biasanya rumah sakit yang dipilih pasien adalah rumah sakit yang mengutamakan pelayanan-perawatan yang baik, di samping kelengkapan peralatan medisnya. Meskipun demikian pasien biasanya lebih memilih dokter yang akan merawatnya dibandingkan rumah sakit dengan segala kelengkapan/pelayanannya. Oleh karena itu dokter yang “laris” diharapkan oleh pihak rumah sakit untuk berpraktek di sana.

  6. Hak untuk menolak pengobatan/perawatan.

  Karena harus menghormati hak pasien, dokter tidak boleh memaksa orangyang menolak untuk diobati ; kecuali bila hal tersebut akan mengganggu kepentingan umum atau membahayakan orang lain, misalnya pada pasien gangguan mental yang mengamuk.

  7. Hak untuk menolak tindakan medis tertentu Apabila pasien menolak suatu tindakan medis yang diperlukan dalam rangka diangnosis/terapi, meskipun dokter telah memberikan penjelasan selengkapnya sebelumnya, dokter itu tidak boleh melakukannnya. Ada baiknya pasien diminta membuat pernyataan penolakan tindakan medis tersebut.

  8. Hak untuk menghentikan pengobatan/perawatan Alasan penghentian pengobatan/perawatan biasa oleh karena kesulitan ekonomi atau karena menganggap hal tersebut tidak ada gunanya lagi untuk proses penyembuhan. Untuk itu pasien diminta membuat pernyataan penghentian perawatan atas dasar keinginan sendiri.

  9. Hak atas ‘second opinion’ Pasien mempunyi hak untuk mendapatkan penjelasan dari dokter lain mengenai penyakitnya dan hal ini idealnya dilakukan dengan sepengetahuan dokter pertama yang merawatnya.

  10. Hak ‘inzage’ rekam medis Ketentuan hukum menyatakan bahwa berkas rekam medis merupakan milik rumah sakit (untuk administrasi yang baik) sedangkan data informasi/isinya adalah milik pasien (karena berasal dari pasien). Oleh karena itu pasien berhak untuk mengetahui atau memeriksa rekam medis tersebut, atau membuat fotocopynya (atas biaya pemohon). Akan tetapi ada bagian-bagian tertentu bukan milik pasien, yaitu :

  a. Personal note, yaitu catatan pribadi dokter misalnya mengenai perkiraan tentang hal-hal yang berhubungan dengan pasien atau rencana-rencana tertentu dalam menegakkan diagnosis/memutuskan terapi

  b. Catatan tentang orang ke tiga, misalnya anamnesis langsung tentang penyakit- penyakit yang kemungkinan terdapat pada sanak keluarga pasien

  11. Hak beribadat menurut agama dan kepercayaan.

  Setiap pasien berhak untuk beribadat sejauh hal itu memungkinkan menurut keadaan penyakitnya dan tidak mengganggu pasien atau pengunjung rumah sakit.

  Kewajiban pasien menurut UU No. 29 tahun 2004 Pasal 53 yaitu antara lain : 1) Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya 2) Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi 3) Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan 4) Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima (Jacobalis, 2005).

2.6. Informasi

  Bagian yang terpenting dalam pembicaraan mengenai informed consent tentulah mengenai informasi atau penjelasan yang perlu disampaikan kepada pasien atau keluarga. Masalahnya adalah informasi mengenai apa (what) yang perlu disampaikan, kapan disampaikan (when), siapa yang harus menyampaikan (who), dan informasi mana (which) yang perlu disampaikan (Hanafiah dan Amir, 2012).

  Informasi atau penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien harus diberikan/ dijelaskan dengan menggunakan bahasa yang dapat dimengerti oleh pasien sehingga pasien mendapat gambaran jelas untuk mengambil keputusan. Komunikasi yang efektif akan meningkatkan kepatuhan dan kepuasan pasien, mengurangi tuntutan malapraktik dan meningkatkan kepuasan pemberi informasi. Pada pelaksanaan informed consent, diharapkan pasien mendapatkan informasi baik, sehingga pasien puas dan tanpa beban atau keraguan memberikan persetujuan (Sutanto, dkk, 2009).

  Menurut Wiradharma dalam Wiria (2007), tiga komponen dalam persetujuan tindakan medik yaitu : 1) Informasi, yang sebenarnya mencakup keterangan mengenai tindakan yang akan dilakukan, berbagai risiko yang mungkin terjadi, manfaat yang diharapkan, tindakan alternatif untuk kepentingan pasien. 2) Pemahaman, merupakan fungsi dari kemampuan. Dokter harus memastikan bahwa informasi yang diberikan telah dipahami sepenuhnya, 3) Kerelaan, menuntut adanya kebebasan fisik maupun psikis. Semakin rentannya pasien, semakin pasien berhak untuk memperoleh perlindungan lebih banyak terhadap tekanan atau bujukan yang mungkin tidak tepat untuk dilakukannya tindakan medik tertentu.

  Berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran khususnya Pasal 45 dan Permenkes No. 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, maka dokter harus mendapat persetujuan dari pasien atau keluarga terdekat sebelum melakukan tindakan medis terhadap diri seorang pasien. Persetujuan itu diberikan setelah dokter memberikan informasi (penjelasan) secara lengkap kepada pasien atau keluarga terdekat mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap diri pasien.

  Penjelasan (informasi) tentang tindakan kedokteran tersebut diatas sekurang- kurangnya meliputi:

  1. Diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran

  2. Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan

  3. Alternatif tindakan lain dan risikonya

  4. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi 5. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan (Hanafiah dan Amir, 2012).

2.7. Informed Consent

2.7.1 Latar Belakang Perlunya Informed Consent

  Dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan, diharapkan terlaksana hubungan yang lancar antara pasien dan tenaga kesehatan. Akan tetapi dapat terjadi masalah apabila terbentur pada dilema di antara dua prinsip, yaitu prinsip memberikan kebaikan kepada pasien yang bertolak dari sudut pandang nilai etika dan ilmu kesehatan berdasarkan pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman tenaga kesehatan, dan prinsip menghormati hak menentukan diri sendiri dari sudut pandang pasien.

  Terdapat benturan yang dilematis antara tanggungjawab moral profesi dan hak azasi manusia yang universal dalam hubungan dengan kesehatan. Dengan demikian informed consent dibuat dengan tujuan untuk (1) memberikan perlindungan kepada pasien atas segala tindakan medis dan (2) memberikan perlindungan tenaga kesehatan terhadap terjadinya akibat yang tidak terduga yang dianggap merugikan pihak lain.

  Perlindungan terhadap pasien berarti perlindungan dari segala tindakan medis yang ditujukan pada badaniah dan rohaniah yang dilakukan tanpa sepengetahuan pasien dari perlakuan prosedur medis yang sebenarnya tidak perlu atau tanpa ada dasar kepentingan medis yang pada titik klimaksnya merupakan penyalahgunaan dari standar profesi yang merugikan/membahayakan pasien.

  Jika tenaga kesehatan sudah melakukan tindakan medis atas dasar standar profesi medis tetapi menghadapi akibat yang tidak terduga serta dianggap merugikan pihak lain, maka tindakan medis yang bermasalah itu memperoleh jaminan perlindungan berdasarkan risk of treatment dan error of judgestment untuk kepentingan kesehatan. Peristiwa risk of treatment adalah kejadian yang tidak dapat dihindarkan walaupun sudah berusaha dicegah sedapat mungkin dan bertindak dengan sangat berhati-hati atas resiko tersebut.

  Menurut Beauchamp dan Walters (Komalawati, 1999) bahwa informed consent dilandasi oleh prinsip etik dan moral serta otonomi pasien. Prinsip ini mengandung 2 hal yang penting, yaitu : 1) setiap orang mempunyai hak untuk memutuskan secara bebas hal yang dipilihnya berdasarkan pemahaman yang memadai, 2) keputusan itu harus dibuat dalam keadaan yang memungkinkannya membuat pilihan tanpa adanya campur tangan atau paksaan dari pihak lain. Karena individu itu otonom,diperlukan informasi untuk mengadakan pertimbangan agar dapat bertindak sesuai dengan pertimbangannya tersebut.Prinsip itulah yang oleh para ahli etik disebut doktrin informed consent (Hendrik, 2013).

  Menurut Applebaum (Komalawati, 1999), untuk menjadi doktrin hukum,

  informed consent harus memenuhi syarat sebagai berikut:

  1. Adanya kewajiban dari tenaga kesehatan untuk menjelaskan informasi kepada pasien.

  2. Adanya kewajiban dari tenaga kesehatan untuk mendapatkan izin atau persetujuan dari pasien,sebelum dilaksanakan perawatan/pengobatan.

  Dari pernyataan di atas, timbul persepsi di kalangan para tenaga kesehatan bahwa tampaknya kewajiban itu hanya membebani para tenaga kesehatan, sedangkan risiko yang dihadapi dalam pelayanan medis tertentu tergolong tinggi. Dalam hal ini informed consent diartikan sebagai perwujudan prinsip mengutamakan kepentingan pasien, tetapi kepentingan tenaga kesehatan itu sendiri seolah-olah terabaikan.

  Selain itu ada juga yang menafsirkan bahwa informed consent secara tertulis dari pasien dapat dijadikan alat bukti dalam menentukan ada tidaknya kesalahan dalam tindakan medis yang dilakukan oleh tenaga kesehatan. Didasarkan pada asas tidak merugikan, penetapan syarat informed consent justru bertujuan agar tenaga kesehatan dapat menghindarkan resiko sekecil apapun demi kepentingan pasiennya (Hendrik, 2013).

  Hak untuk menolak atau menerima informed consent berada di tangan pasien menjadi hak dasar self determination bagi setiap orang, sedangkan kewajiban tenaga kesehatan/dokter atau tugas profesi memberi informasi atas tindakan medis kepada pasien merupakan hak dasar pasien mendapat informasi. Atas dasar pengukuran hak wajib hukum tersebut,pengadaan formulir informed consent pada prinsipnya harus disetujui dan ditandatangani oleh pasien sendiri bukan keluarga.

  Penandatanganan informed consent secara tertulis yang dilakukan oleh pasien maupun keluarganya sebenarnya dimaksudkan sebagai penegasan atau pengukuhan dari persetujuan yang sudah diberikan setelah tenaga kesehatan memberikan penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukannya (Hendrik, 2013).

2.7.2. Pengertian Informed Consent

  Pada hakikatnya persetujuan atas dasar informasi atau dikenal dengan istilah

  informed consent merupakan alat untuk memungkinkan penentuan nasib sendiri yang

  berfungsi di dalam pelayanan kesehatan. Penentuan nasib sendiri adalah nilai dan sasaran dalam informed consent, dan intisari permasalahan informed consent adalah alat. Secara konkret persyaratan informed consent ditujukan untuk setiap tindakan baik yang bersifat diagnosis maupun terapeutik, dan pada dasarnya senantiasa diperlukan persetujuan pasien yang bersangkutan (Hendrik, 2013).

  Agar pemberian pertolongan dapat berfungsi di dalam pelayanan medis,para pemberi pertolongan perlu memberikan informasi atau keterangan kepada pasien tentang keadaan dan situasi kesehatannya. Hubungan antara informasi dan persetujuan dinyatakan dalam istilah informed consent.

  Kata consent berasal dari bahasa latin, consentio, yang artinya persetujuan izin, menyetujui, atau pengertian yang lebih luas adalah memberi izin atau wewenang kepada seseorang untuk melakukan suatu informed consent, dengan demikian berarti suatu pernyataan setuju atau izin oleh pasien secara sadar, bebas dan rasional setelah memperoleh informasi yang dipahaminya dari tenaga kesehatan/dokter tentang penyakitnya (Hendrik, 2013).

  Pengertian lain yaitu informed consent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien (orangtua/wali/suami/istri/orang yang berhak yang mewakilinya) kepada tenaga kesehatan/dokter untuk dilakukan suatu tindakan medis yang bertujuan untuk kesembuhan penyakit yang dideritanya. Dalam hal ini tenaga kesehatan/dokter telah memberikan informasi yang cukup yang diperlukan pasien mengenai tindakan yang harus dilakukan.

  Informed consent berarti pernyataan kesediaan atau pernyataan penolakan

  setelah mendapat informasi secukupnya. Dengan demikian, yang diberi informasi sudah cukup mengerti akan segala akibat dari tindakan yang akan dilakukan terhadapnya sebelum ia mengambil keputusan.

  Penjelasan yang diberikan kepada pasien sekurang-kurangnya mencakup diagnosis dan tata cara tindakan, tujuan tindakan, alternatif tindakan lain dan risikonya, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan pembiayaan (Hendrik, 2013).

  Menurut Hanafiah dan Amir (2012), yang dimaksud dengan informed consent adalah semua keadaan yang berhubungan dengan penyakit pasien dan tindakan medikapa yang akan dilakukan dokter serta hal-hal lain yang perlu dijelaskan dokter atas pertanyaan pasien atau keluarga.

  Perkembangan seputar informed consent ini di Indonesia tidak lepas dari perkembangan masalah serupa di Negara lain. Arus informasi telah membawa Indonesia perlu membenahi masalah informed consent ini. Declaration of Lisbon (1981) dan Patients Bill of Right (American Hospital Association, 1972) pada intinya menyatakan bahwa “pasien mempunyai hak menerima dan menolak pengobatan, dan hak untuk menerima informasi dari dokternya sebelum memberikan persetujuan atas tindakan medik”. Hal ini berkaitan dengan hak menentukan nasib sendiri (The Right

  

to Self Determination ) sebagai dasar hak azasi manusia, dan hak atas informasi yang

  dimiliki pasien tentang penyakitnya dan tindakan medik apa yang hendak dilakukan terhadap dirinya.

  Dari kacamata demikian, informed consent sebetulnya dapat dilihat sebagai penghormatan kalangan kesehatan terhadap hak otonomi perseorangan. Lebih jauh hal ini dapat menghindarkan atau mencegah terjadinya penipuan atau paksaan, atau dari pandangan lain dapat pula dikatakan bahwa informed consent merupakan pembatasan otorisasi dokter terhadap kepentingan pasien.

  Di negeri Belanda, untuk maksud yang sama, mereka menggunakan istilah “gerichtetoestemming” yang artinya izin atau persetujuan yang terarah. Jerman menyebutnya “ Aufklarungspflicht” yang berati kewajiban dokter untuk memberi penerangan (Hanafiah dan Amir, 2012).

  Dalam Permenkes No. 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan persetujuan tindakan medik atau informed consent adalah persetujuan yang diberikan pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien. Dalam pengertian demikian, persetujuan tindakan medis bisa dilihat dari dua sudut, yaitu membicarakan

  informed consent dari pengertian umum dan ke dua membicarakan informed consent dari pengertian khusus.

  Dalam pengertian umum, informed consent adalah persetujuan yang diperoleh dokter sebelum melakukan pemeriksaan, pengobatan dan tindakan medik apapun yang akan dilakukan. Namun dalam pelayanan kesehatan, sering pengertian ke dua lebih dikenal, yaitu informed consent yang dikaitkan dengan persetujuan atau izin tertulis dari pasien/keluarga pada tindakan operatif atau tindakan invasif lain yang beresiko. Oleh karena itu, dahulu informed consent ini lebih dikenal sebagai Surat Izin Operasi (SIO), surat persetujuan pasien, surat perjanjian, dan lain-lain istilah yang dirasa sesuai oleh rumah sakit atau dokter yang merancang surat tersebut (Hanafiah dan Amir, 2012).

  Ada 2 bentuk Informed consent, yaitu :

  1. Tersirat atau dianggap telah diberikan (Implied Consent)

  • Dalam keadaan normal
  • Dalam keadaan darurat

  2. Dinyatakan (Expressed Consent)

  • Lisan - Tulisan

  Implied Consent adalah persetujuan yang diberikan pasien secara tersirat, tanpa

  pernyataan tegas. Isyarat persetujuan ini ditangkap dokter dari sikap dan tindakan pasien. Umumnya tindakan dokter di sini adalah tindakan yang biasa dilakukan atau sudah diketahui umum.

  Implied consent bentuk lain adalah bila pasien dalam keadaan darurat atau

  emergency, sedang dokter memerlukan tindakan segera, sementara pasien dalam keadaan tidak bisa memberikan persetujuan dan keluarganya pun tidak di tempat, dokter dapat melakukan tindakan medik terbaik menurut dokter. Jenis persetujuan ini disebut Presumed Consent. Artinya, bila pasien dalam keadaan sadar, dianggap akan menyetujui tindakan yang akan dilakukan dokter.

  Expressed consent adalah persetujuan yang dinyatakan secara lisan atau tulisan, bila yang akan dilakukan lebih dari prosedur pemeriksaan dan tindakan yang biasa.

  Dalam keadaan demikian, sebaiknya kepada pasien disampaikan terlebih dahulu tindakan apa yang akan dilakukan supaya tidak sampai terjadi salah pengetian, misalnya, pemeriksaan dalam rectal atau pemeriksaan dalam vaginal, mencabut kuku, dan tindakan lain yang melebihi prosedur pemeriksaan dan tindakan umum. Pada saat ini, belum diperlukan pernyataan tertulis. Pesetujuan secara lisan sudah mencukupi.

  Namun bila tindakan yang akan dilakukan mengandung resiko seperti tindakan pembedahan atau prosedur pemeriksaan dan pengobatan invasif, sebaiknya didapatkan informed consent secara tertulis. Seperti yang dikemukakan sebelumnya, oleh kalangan kesehatan atau rumah sakit, surat pernyataan pasien atau keluarga inilah yang disebut informed consent (Hanafiah dan Amir, 2012).

  Menurut Surat Keputusan Direktorat Jendral Pelayanan Medis No. HK.00.06.3.5. 1866 tahun 1999 tentang Pedoman Persetujuan Tindakan Medis dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan dan prosedur tentang informed consent, setiap rumah sakit harus memperhatikan ketentuan: 1) Pengaturan persetujuan tindakan medis harus dalam bentuk kebijakan dan prosedur (Standard Operating Procedure/SOP) 2) Memperoleh informasi dan penjelasan merupakan hak pasien dan sebaliknya memberikan informasi dan penjelasan merupakan kewajiban dokter.

  3) Informed consent diberikan untuk tindakan medis yang secara spesifik. 4) Informed consent diberikan tanpa paksaan. 5) Informed consent diberikan oleh seseorang kepada pasien yang sehat mental dan yang memang berhak memberikannya dari segi hukum.

  6) Informed consent diberikan setelah cukup (adekuat) informasi dan penjelasan yang diperlukan.

  Pada hakikatnya, informed consent merupakan hukum perikatan, ketentuan perdata akan berlaku dan hal ini sangat berhubungan dengan tanggungjawab professional terkait perjanjian perawatan dan terapeutik. Aspek perdata informed consent bila dikaitkan dengan hukum perikatan yang berada di dalam KUH Perdata/Burgelijke Wedboek Pasal 1320 memuat empat syarat sahnya perjanjian, yaitu :

  1. Adanya kesepakatan antar pihak, bebas dari paksaan, kekeliruan, dan penipuan.

  2. Para pihak cakap membuat perikatan.

  3. Adanya hal tertentu yang dijadikan perjanjian.

  4. Adanya sebab yang halal, yang dibenarkan, dan tidak dilarang oleh peraturan perundang-undangan serta merupakan sebab yang masuk akal untuk dipenuhi (Ta’adi, 2013).

2.7.3. Persetujuan

  Inti dari persetujuan adalah persetujuan haruslah didapat sesudah pasien mendapat informasi yang adekuat. Hal yang harus diperhatikan adalah bahwa yang berhak memberikan persetujuan adalah pasien yang sudah dewasa (di atas 21 tahun atau sudah menikah) dan dalam keadaan sehat mental.

  Dalam banyak informed consent yang ada selama ini, penandatanganan persetujuan ini lebih sering dilakukan oleh keluarga pasien. Hal ini mungkin berkaitan dengan kesangsian terhadap kesiapan mental pasien sehingga beban demikian di ambil alih oleh kelurga pasien atau atas alasan lain.

  Menurut Pasal 4 ayat 1 UU. 290 Tahun 2008 tentang persetujuan tindakan kedokteran, untuk pasien di bawah usia 21 tahun, dan pasien gangguan jiwa, yang menandatangani adalah orangtua/wali/keluarga terdekat, atau induk semang. Untuk pasien dalam keadaan tidak sadar, atau pingsan serta tidak didampingi oleh keluarga terdekat dan secara medik berada dalam keadaan gawat darurat yang memerlukan tindakan medik segera, tidak diperlukan persetujuan dari siapapun.

  Sama dengan yang diatur dalam permenkes tentang informed consent ini, The

  Medical Defence Union dalam bukunya Medico Legal Issues in Clinical Practice, menyatakan bahwa ada 5 syarat yang harus dipenuhi untuk sah-nya informed consent yaitu :

  1. Diberikan secara bebas 2.

  Diberikan oleh orang-orang yang sanggup membuat perjanjian 3. Telah dijelaskan bentuk tindakan yang akan dilakukan, sehingga pasien dapat memahami tindakan itu perlu dilakukan

  4. Mengenai sesuatu hal yang khas 5.

  Tindakan itu juga dilakukan pada situasi yang sama (Hanafiah dan Amir, 2012)

2.7.4. Penolakan

  Seperti dikemukakan pada bagian awal, tidak selamanya pasien atau keluarga setuju dengan tindakan medik yang akan dilakukan dokter. Dalam situasi demukian, kalangan dokter maupun kalangan kesehatan lainnya, harus memahami bahwa pasien atau keluarga mempunyai hak untuk menolak usul tindakan yang akan dilakukan. Ini disebut sebagai Informed Refusal.

  Tidak ada hak dokter yang dapat memaksa pasien mengikuti anjurannya, walaupun dokter menganggap penolakan bisa berakibat gawat atau kematian pada pasien. Bila dokter gagal dalam meyakinkan pasien pada alternatife tindakan yang diperlukan, untuk keamanan dikemudian hari, sebaiknya dokter atau rumah sakit meminta pasien atau keluarga menandatangani surat penolakan terhadap anjuran tindakan medik yang diperlukan.

  Dalam kaitan transaksi terapeutik dokter dan pasien, pernyataan penolakan pasien atau keluarga ini dianggap sebagai pemutusan transaksi terapeutik. Dengan demikian, apa yang terjadi di belakang hari, tidak menjadi tanggungjawab dokter atau rumah sakit lagi (Hanafiah dan Amir, 2012).

2.7.5. Rekam Medis

  Dalam Permenkes No. 269/Menkes/Per/III/2008, Rekam Medis, yang selanjutnya disebut RM, adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaaan, pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien (Hendrik, 2013).

  Secara sederhana dapat dikatakan bahwa RM adalah kumpulan keterangan tentang identitas, hasil anamnesis, pemeriksaan, dan catatan segala kegitan para pelayan kesehatan atas pasien dari waktu ke waktu. Catatan ini berupa tulisan, ataupun gambar, dan belakangan ini dapat pula berupa rekaman elektronik, seperti komputer, mikrofilm, dan rekaman suara.

  Kewajiban dokter untuk membuat RM dalam pelayanan kesehatan, dipertegas dalam Undang-Undang Praktek Kedokteran seperti terdapat pada pasal 46 : (1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran wajib membuat RM. (2) RM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus segera dilengkapi setelah pasien selesai menerima pelayanan kesehatan. Setiap catatan RM harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda tangan petugas yang memberikan pelayanan atau tindakan. Selanjutnya dalam pasal 79, diingatkan tentang sanksi hukum yang cukup berat bila dokter terbukti sengaja tidak membuat RM (Hanafiah dan Amir, 2012).

  Di rumah sakit, terdapat dua jenis RM, yakni RM untuk pasien rawat jalan dan RM untuk pasien yang dirawat inap, yang memuat informasi antara lain :

  1. Identitas dan formulir perizinan (lembar hak kuasa) 2.

  Riwayat penyakit (anamnesis) 3. Laporan pemeriksaan fisik, termasuk pemeriksaan laboratorium, foto rontgen, scanning, MRI, dan lain-lain.

  4. Diagnosis dan/ atau diagnosis banding 5.

  Instruksi diagnostik dan terapeutik dengan tanda tangan pejabat kesehatan yang berwenang

  6. Persetujuan tindakan medik 7.

  Catatan konsultasi 8. Catatan perawat dan tenaga kesehatan lainnya 9. Catatan observasi klinik dan hasil pengobatan 10.

  Resume akhir dan evaluasi pengobatan Bila ditelusuri lebih jauh, RM mempunyai aspek hukum kedisipilinan dan etik petugas kesehatan, kerahasiaan, keuangan, mutu serta manajemen rumah sakit dan audit medik. Secara umum kegunaan RM adalah : 1.

  Sebagai alat komunikasi antara dokter dan tenaga kesehatan lainnya, yang ikut ambil bagian dalam memberi pelayanan, pengobatan dan perawatan pasien

  2. Sebagai dasar untuk perencanaan pengobatan/ perawatan yang harus diberikan kepada pasien

  3. Sebagai bukti tertulis atas segala pelayanan, perkembangan penyakit, dan pengobatan selama pasien berkunjung/dirawat di rumah sakit.

  4. Sebagai dasar analisis, studi, evaluasi terhadap mutu pelayanan yang diberikan kepada pasien

  5. Melindungi kepentingan hukum bagi pasien, rumah sakit, maupun dokter dan tenaga kesehatan lainnya

  6. Menyediakan data-data khusus yang sangat berguna untuk keperluan penelitian dan pendidikan

7. Sebagai dasar di dalam perhitungan biaya pembayaran pelayanan medik pasien 8.

  Menjadi sumber ingatan yang harus didokumentasikan, serta sebagai bahan pertanggungjawaban dan laporan (Hanafiah dan Amir, 2012).

  Rekam medis mempunyai posisi sentral dalam pelayanan medis, baik untuk kepentingan tugas profesi maupun kepentingan pasien serta kemungkinan sebagai dokumen medis jika terjadi konflik hukum di pengadilan profesi dan/atau di pengadilan negeri. Dengan demikian, di peradilan, rekam medis dapat menjadi

  

defence (alat pembelaan) dan keterangan alibi yang tertulis terhadap adanya tugas

  profesi yang dijalankan dengan baik, tidak ada kelalaian tugas, serta sesuai dengan standar profesi yang sudah mendapat persetujuan pasien dan keluarga. Berkas rekam medis juga dapat digunakan oleh pasien atau keluarga atas hukum sebagai dasar untuk melakukan gugatan hukum atau penuntutan perkara di pengadilan dengan tata cara hukum yang berlaku (Hendrik, 2013).

  Dalam kepustakaan dikatakan bahwa rekam medis memiliki 6 manfaat, yang untuk mudahnya disingkat sebagai ALFRED, yaitu:

  Administrative value : Rekam medis merupakan rekaman data administratif - pelayanan kesehatan.

  Legal value : Rekam medis dapat.dijadikan bahan pembuktian di pengadilan - Financial value - : Rekam medis dapat dijadikan dasar untuk perincian biaya

  pelayanan kesehatan yang harus dibayar oleh pasien

  Research value : Data Rekam Medis dapat dijadikan bahan untuk penelitian - dalam lapangan kedokteran, keperawatan dan kesehatan.

  Education value : Data-data dalam Rekam Medis dapat bahan pengajaran dan - pendidikan mahasiswa kedokteran, keperawatan serta tenaga kesehatan lainnya.

  • Documentation value : Rekam medis merupakan sarana untuk penyimpanan berbagai dokumen yang berkaitan dengan kesehatan pasien (Sarake, 2011).

2.8. Kerangka Berfikir PASIEN DOKTER

  INFORMASI

  INFORMED OPINION ( DECISION ) CONSENT REFUSAL ( SETUJU ) ( MENOLAK ) MENANDATANGANI MENANDATANGANI FORMAT CONSENT PERNYATAAN MENOLAK