II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebakaran Hutan - Pemetaan Daerah Rawan Kebakaran Hutan Di Propinsi Sumatera Utara Berdasarkan Data Satelit TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kebakaran Hutan

  Kebakaran hutan secara umum merupakan kejadian alam dari proses reaksi secara cepat dari oksigen dengan karbohidrat (bahan bakar hutan) ditandai dengan panas serta biasanya menghabiskan bahan bakar hutan seperti serasah, tumbuhan bawah, semak-semak, dan pepohonan. Berdasarkan Brown dan Davis (1973), ciri penting dari kebakaran hutan adalah sifatnya yang tidak tertekan dan menyebar secara bebas (Heryalianto, 2006). US Forest Service (1956) dalam Heryalianto (2006) mendefinisikan kebakaran hutan sebagai suatu proses pembakaran yang menyebar secara bebas yang mengkonsumsi bahan bakar hutan seperti serasah, rumput, humus, ranting, kayu mati, tiang, gulma, semak, dedaunan, serta pohon- pohon besar untuk tingkat terbatas. Kebakaran adalah fenomena alam yang merupakan kebalikan dari proses fotosintesis. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kebakaran hutan (Heryalianto, 2006): a.

  Jenis Bahan Bakar Hawley dan Stickel (1948) dalam Heryalianto (2006), membagi bahan bakar hutan berdasarkan potensinya dalam menimbulkan kebakaran ke dalam 7 kelompok, yaitu : 1. Pohon hidup yang menyusun hutan tersebut.

  2. Semak belukar.

  3. Rumput tanaman penutup tanah.

  4. Serasah dan humus.

  5. Dahan mati dan lumut yang terdapat pada pohon hidup.

  6. Pohon mati yang masih berdiri.

  7. Sisa pembalakan.

  b. Iklim Mikro Dalam Hutan Musim kemarau yang panjang menyebabkan berkurangnya kelembaban vegetasi, sehingga pemasukan panas yang rendah pun dapat menyebabkan kebakaran yang hebat. Pemanasan menyebabkan evaporasi, mengeringnya material tanaman, meningkatnya suhu hingga 200 C serta terbentuknya gas gas yang mudah terbakar dan kebakaran akan meningkat secara cepat karena adanya panas yang dilepaskan dari kebakaran serasah.

  c. Topografi Istilah topografi mengandung pengertian sebagai seluruh permukaan bumi air (Clar dan Chatten, 1954). Ketinggian tempat, letak lereng, dan kondisi permukaan tanah berpengaruh pada penjalaran dan kekerasan pembakaran. Pada daerah yang tidak rata dimana frekuensi dan variasi dari topografi cukup besar, maka penyebaran kebakaran tidak teratur (Hawley dan Stickel, 1948). Pada lereng yang curam, api membakar dan menghabiskan dengan cepat tumbuhan yang dilaluinya, dan api akan menjalar lebih cepat kearah menaiki lereng. Sebaliknya api yang menjalar ke bawah lereng, akan padam jika melalui daerah lembab yang sering mempunyai kadar air yang tinggi (Clar dan Chatten, 1954).

  d. Waktu Terjadinya Kebakaran Hutan Menurut Saharjo (1999), pada pagi hari dengan suhu yang relatif rendah (18 - 22

  C), kelembaban relatif tinggi (95-100%), maka tingkat kadar air bahan bakar juga akan relatif tinggi (> 40%), sehingga api sukar untuk menjalar bila kebakaran berlangsung. Selain itu pola kebakaran yang terjadi relatif tidak berubah dari bentuk lingkaran ini karena kecepatan angin relatif stabil atau boleh dikatakan tidak terlalu berpengaruh. Sementara itu pada siang hari dengan suhu udara yang relatif tinggi sekitar 35

  C, kelembaban relatif 70 – 80 %, Kecepatan angin sekitar 60 meter/menit, dan tentu saja kadar air bahan bakar yang relatif rendah (< 30%), membuat proses pembakaran relatif cepat dengan berubah-ubah arah, intensitas kebakaran tinggi membuat bentuk kebakaran yang terjadi tidak beraturan. Bagi bahan bakar yang mengandung kadar air cukup tinggi (>30%), maka relatif memerlukan energi panas

2.2. Titik Panas (Hotspot)

  Menurut Anderson, et,al. (1999), pada awalnya hotspot diidentikkan dengan titik api, namun dalam kenyataannya tidak semua hotspot mengindikasikan adanya titik api. Istilah hotspot lebih tepat bila bersinonimkan dengan titik panas. Sebuah titik

  2

  panas merupakan satu pixel pada potret satelit adalah suatu areal 1.1 km , dimana tinggi temperatur permukaannya mengindikasikan adanya kebakaran. Panas permukaan tersebut diukur oleh satelit NOAA yang dilengkapi oleh sensor-sensor radiometer mutakhir berresolusi sangat tinggi (Fire Fight South East Asia, 2002).

  Hotspot adalah titik panas yang diindikasikan sebagai lokasi kebakaran hutan dan lahan. Parameter ini sudah digunakan secara meluas di berbagai negara untuk memantau kebakaran hutan dan lahan dari satelit. Cara diteksi terjadinya kebakaran hutan dan lahan adalah dengan pengamatan titik panas (hotspot). Titik panas (hotspot) dapat diditeksi dengan satelit National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) yang dilengkapi sensor Advenced Very Hight Resulation Radiometer (AVHRR). Dalam menditeksi kebakaran hutan, satelit NOAA tidak menditeksi kebakaran (suhu) secara langsung namun yang diditeksi adalah hotspot.

  Titik panas (hotspot) dapat dideteksi dengan satelit NOAA yang dilengkapi sensor AVHRR yang bekerja berdasarkan pancaran energi thermal dari objek yang diamati dari suatu areal yang bersuhu

  C. Satelit ini sering digunakan untuk ≥ 42 pendeteksian wilayah tersebut karena salah satu sensornya yang dapat membedakan tersebut mengunjungi tempat yang sama dua kali sehari siang dan malam, keuntungan lainnya adalah harga yang murah. Sebuah titik panas (hotspot) dapat mencerminkan sebuah areal yang mungkin terbakar sebagian atau seluruhnya karena itu tidak menunjukkan secara pasti seberapa besar areal yang terbakar. Jumlah titik panas (hotspot) dapat sangat bervariasi dari suatu pengukuran selanjutnya tergantung dari waktu pengukuran pada hari itu (aktivitas api berkurang pada malam hari dan paling tinggi pada sore hari), cuaca (sensor yang digunakan tidak dapat menembus awan dan asap) dan organisasi apa yang memberikan data tersebut (tidak terdapat standar ambang batas temperatur atau suhu untuk mengidentifikasikan titik panas) (Fire FightSouth East Asia, 2002).

  Titik panas (hotspot) hanya memberikan sedikit informasi apabila tidak didukung oleh analisa dan interpretasi lanjutan. Kelompok titik panas (hotspot) dan atau titik panas (hotspot) yang berjumlah besar dan berlangsung secara terus menerus adalah indikator yang baik untuk kebakaran (titik api). Data titik panas (hotspot) bermanfaat apabila dikombinasikan dengan informasi-informasi seperti mengenai penggunaan lahan, penutupan tanaman, habitat binatang atau peta-peta lainnya.

  Kesalahan bias atau geografi dari sebuah titik panas (hotspot) dapat sampai sejauh 3 km (Fire Fight South East Asia, 2002). Areal-areal Hotspot meliputi sebagai berikut (Heryalianto, 2006) : a.

  Areal dengan deforestasi yang baru terjadi atau tengah terjadi sekarang perubahan penutupan hutan (tinggi, sedang dan rendah) dan keadaan penutupan hutan yang berbeda (rapat, terpecah-pecah dan kerapatan rendah).

  b.

  Areal-areal yang memiliki resiko perubahan penutupan lahan yang tinggi.

2.3. Keetch and Byram Drought Index (KBDI)

  Indeks kekeringan adalah nilai yang mewakili pengaruh bersih (net) evapotranspirasi dan presipitasi dalam menghasilkan defisiensi kelembaban kumulatif pada serasah tebal atau lapisan tanah bagian atas. Indeks kekeringan merupakan jumlah yang berkaitan dengan daya nyala (flammability) bahan-bahan organik pada tanah (Deeming,1995). Sistem bahaya kebakaran ini dikembangkan oleh John E. Deeming tahun 1995 yang didasarkan pada indeks musim kemarau Keetch-Byram. Sistem ini dikembangkan di Amerika Serikat tahun 1968 sampai sekarang, tetapi KBDI telah diterapkan pula dengan beberapa modifikasi oleh orang- orang Australia dan negara lain yang sebagian besar beriklim tropis (Deeming, 1995). Untuk menghitung KBDI pada daerah tertentu harus dimulai pada posisi tertentu harus dimulai pada posisi nol, yaitu pada saat satu hari setelah masa hujan dengan curah hujan sebanyak 150 – 200 mm dalam seminggu. Dari kemungkinan KBDI menunjukkan kemungkinan terjadinya kebakaran yang diekspresikan melalui nilai indeks yang berkisar dari 0 – 2000 (Keetch dan Byram, 1988) dalam Heryalianto, 2006). Kisaran nilai KBDI 2000 tersebut kemudian dibagi menjadi tiga kategori dengan pembagian sebagai berikut :

  Berdasarkan Keetch-Byram Drought Index

  

Interval kelas Kategori Rawan

  0 – 999 Rendah 1000 – 1499 Sedang 1500 – 2000 Tinggi

2.4. Curah Hujan (Rainfall)

  Deposisi (precipitation) didefinisikan sebagai bentuk cairan dan air padat (es) yang jatuh ke permukaan bumi . Hujan adalah bentuk umum dari deposisi yang terjadi di Indonesia. Curah hujan adalah salah satu komponen iklim di Indonesia yang memiliki keragaman dalam skala ruang dan waktu. Jumlah curah hujan yang terjadi sebuah lokasi diasumsikan sama dengan jumlah curah hujan di sekitar stasiun curah hujan, tetapi luasan curah hujan sangat bergantung pada homogenitas area dan kondisi cuaca lainnya. Di Indonesia, variabilitas curah hujan sangat tinggi dalam skala ruang dan waktu. Berdasarkan skala ruang, variabilitas curah hujan secara garis besar dipengaruhi oleh faktor geografi (lokasi dari lautan dan benua), topografi, elevasi dan arah angin. Dalam skala waktu, variasi curah hujan dibagi ke dalam curah hujan harian, bulanan dan tahunan. Curah hujan merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan pertanian di suatu daerah. Data rata-rata curah hujan bulanan dapat memberikan gambaran tentang gejala dari suatu pola iklim daerah tertentu, seperti kekeringan atau kebasahan daerah. Data curah hujan bulanan hanya berguna sebagai alat untuk menentukan iklim suatu daerah. Informasi tentang curah hujan sangat berguna untuk memprediksi area yang berpotensi bencana. Wilayah Kota Medan merupakan wilayah yang sangat terpengaruh dengan perubahan musim. Kota Medan memiliki potensi bencana banjir yang tinggi pada musim hujan terutama ketika hujan terjadi secara berturut-turut dalam beberapa hari . Masalah-masalah tersebut memicu berkembangnya monitoring hujan, bukan hanya menggunakan sensor hujan konvensional tetapi juga menggunakan metode penginderaan jauh (remote

  sensing) . Berdasarkan Aldrian (2003), propinsi Sumatera

  Utara termasuk dalam wilayah hujan Australian monsoon yang memiliki 2 puncak musim hujan dan 2 puncak musim kemarau.

2.4.1. Penakar Hujan (Rain Gauge)

  Observasi dengan menggunakan Penakar Hujan konvensional (Rain gauge) mempunyai akurasi yang tinggi pada titik pengamatan, tetapi pengukuran konvensional ini memiliki kelemahan secara spasial. Sebagai contoh tidak ada penakar hujan yang dipasang di laut dan wilayah tidak berpenduduk . Untuk Kota Medan ada 4 (empat) stasiun pengamatan curah hujan di bawah tanggungjawab BMKG yaitu Stasiun Sampali, Tuntungan, Belawan dan Polonia. Namun, sebagian besar penakar hujan terpasang secara menyebar dan tidak proposional pada wilayah tersebut. Selain itu, sebagian besar penakar hujan di Medan merupakan penakar hujan observasi (OBS) (Gambar 2.1). Penakar hujan jenis ini memerlukan ketelitian dan ketekunan dalam pengamatan karena pengamatan harus dilakukan setiap hari. Oleh karena sistem penakar hujan yang masih konvensional dan manual, hal tersebut memberi peluang terhadap kesalahan pengukuran oleh karena faktor manusia (human factor).

Gambar 2.1. Penakar Hujan Observasi (OBS)

2.4.2. Satelit Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM)

  Satelit TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission) diluncurkan pada tanggal

  27 Nopember 1997 yang membawa 5 sensor utama yaitu PR (Precipitation Radar), TMI (TRMM Microwave Imager), VIRS (Visible Infrared Scanner), LIS(Lightning Imaging Sensor) dan CERES (Clouds and Earth’s Radiant Energy System) . Satelit TRMM dapat digunakan untuk studi karakteristik dan mekanisme curah hujan tropis (termasuk di dalamnya adalah untuk prediksi curah hujan). Satelit TRMM tersebut merupakan hasil kerjasama dua badan antariksa nasional, yaitu Amerika Serikat (NASA : National Aeronautics and Space Administration) dan Jepang (NASDA : National Space Development of Japan; sekarang berubah menjadi JAXA : Japan

  Aerospace Exploration Agency), berorbitpolar (non-sun-synchronous) dengan inklinasi sebesar 35 º terhadap ekuator, berada pada ketinggian orbit 350 km (pada saat-saat awal diluncurkan), dan diubah ketinggian orbitnya menjadi 403 km sejak

  24 Agustus 2001 sampai sekarang. Pengoperasian satelit TRMM pada ketinggian orbit 403 km ini dikenal dengan istilah TRMM boost.

  Karakteristik umum sensor-sensor satelit TRMM dapat diungkapkan sebagai berikut. Pertama, sensor VIRS (Visible Infrared Scanner) terdiri dari 5 kanal, masing- masing pada panjang gelombang 0,63; 1,6; 3,75, 10,8 dan 12 μm. Sensor

  VIRS ini terutama digunakan untuk pemantauan liputan awan, jenis awan dan temperatur puncak awan, dan sensor VIRS TRMM ini memiliki kemiripan dengan sensor AVHRR NOAA (Advance Very High Resolution Radiometer, National Oceanic and Atmospheric Administration). Resolusi spasial dari data yang dihasilkan oleh sensor VIRS ini adalah 2,2 km. Kedua, sensor TRMM Microwave Imager (TMI) merupakan suatu multichannel passive microwave radiometer yang dan pada 22,235 GHz polarisasi tunggal. Dari sensor TMI ini dapat diekstraksi data- data untuk integrated column precipitation content, air cair dalam awan (cloud liquid

  water ), es awan (cloud ice), intensitas hujan (rain intensity), tipe hujan (rain type)

  misalnya hujan stratiform ataukah hujan konvektif. Sensor TMI ini memiliki kemiripan dengan sensor SSM/I DMSP (Special Sensor Microwave / Imager, Defense Meteorological Satellite Program). Sensor ketiga adalah sensor

  Precipitation Radar (PR). Sensor PR ini merupakan sensor radar untuk pemantauan presipitasi yang pertama di antariksa. Sensor PR ini bekerja pada frekuensi 13,8 GHz untuk mengukur distribusi presipitasi secara 3 (tiga) dimensi, baik untuk presipitasi di atas daratan maupun di atas lautan; serta untuk menentukan kedalaman lapisan presipitasi. Perkembangan baru dari TRMM adalah Tropical Rainfall Measuring Mission Multi Satellite Precipitation Analysis (TMPA). TMPA adalah sebuah satelit multiplatform constellation satellite yang didesain untuk mengkombinasikan estimasi curah hujan dari beberapa sistem satelit dimana hasil estimasi satelit TRMM sama baiknya seperti estimasi dari penakar hujan terestial . Produk satelit TRMM memiliki resolusi spasial 0.25 x 0.25 dan resolusi temporal yaitu setiap 3-jam . TRMM system didesain untuk menggabungkan perkiraan hujan dari berbagai satelit sehingga menghasilkan estimasi curah hujan yang sama baiknya dengan penakar hujan . TRMM adalah satelit hujan di daerah terpencil dan tidak dihuni manusia . Selain itu, TRMM memiliki tingkat akurasi yang tinggi dalam memetakan kejadian hujan ekstrim misalnya pada saat terjadinya ENSO di lautan pasifik .

Dokumen yang terkait

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Analisis Kandungan Merkuri (Hg) dan Kadmium (Cd) pada Beberapa Jenis Ikan Asin yang di Produksi di Kelurahan Bahari Kecamatan Medan Belawan tahun 2015

0 0 7

BAB 2 TINJAUAN TEORI 2.1.Transit Oriented Development (TOD) - Kajian Potensi Pengembangan Kawasan Transit Oriented Development (TOD) Di Stasiun K.A Medan

1 2 30

BAB II INFORMASI ELEKTRONIK MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK A. Pengertian Informasi Elektronik - Informasi yang Menyesatkan dalam Perdagangan Efek Tanpa Warkat Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008

0 0 11

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Informasi yang Menyesatkan dalam Perdagangan Efek Tanpa Warkat Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

0 0 19

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penelitian Terdahulu - Penilaian Kinerja RSUD Dr. Pirngadi Medan dengan Menggunakan Pendekatan Balanced Scorecard

0 0 38

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Penilaian Kinerja RSUD Dr. Pirngadi Medan dengan Menggunakan Pendekatan Balanced Scorecard

0 0 10

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Amputasi - Mekanisme Koping Klien Pasca Amputasi Tungkai Bawah di Kota Medan

0 0 34

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Penilaian MPV dan Agregasi Trombosit pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2

0 0 32

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Onikomikosis - Uji Diagnostik Polymerase Chain Reaction –Restriction Fragment Length Polymorphism Dalam Menegakkan Diagnosis Onikomikosis.

0 0 18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Bakteri - Perbandingan Aktivitas Antibakteri Antara Ekstrak Etanol dari Serbuk dan Serbuk Nano Daun Sirih Merah (Piper crocatum Ruiz & Pav.) Terhadap Strain Bakteri Methicillin Resistant Staphylococcus aureus

1 1 16