BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Amputasi - Mekanisme Koping Klien Pasca Amputasi Tungkai Bawah di Kota Medan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Amputasi

  2.1.1. Defenisi Amputasi berasal dari kata “amputare” yang berarti “pancung”. Amputasi adalah penghilangan satu atau lebih bagian tubuh dan bisa sebagai akibat dari malapetaka atau bencana alam, belum pernah terjadi sebelumnya, seperti kecelakaan, gempa dengan intensitas kuat, terorisme dan perang, atau dilakukan karena alasan medis dengan motif untuk meningkatkan kesehatan dan kualitas hidup pasien. Tindakan ini merupakan tindakan yang dilakukan dalam kondisi pilihan terakhir apabila masalah organ yang terjadi pada ekstremitas sudah tidak mungkin dapat diperbaiki dengan menggunakan teknik lain, atau apabila kondisi organ dapat membahayakan keselamatan tubuh klien secara utuh atau merusak organ tubuh yang lain, (Demet K, 2003, Glass, Vincent, 2004).

  Amputasi merupakan tindakan yang melibatkan beberapa sistem tubuh seperti sistem integumen, sistem persarafan, sistem muskuloskeletal dan sistem cardiovaskuler. Lebih lanjut amputasi dapat menimbulkan masalah psikologis bagi klien atau keluarga berupa penurunan citra diri dan penurunan produktifitas, (Wahid, 2013).

  Amputasi ekstremitas bawah adalah prosedur pembedahan yang dihasilkan dari sebuah kondisi medis yang serius seperti diabetes, trauma atau neoplasma, gangren, deformitas kongenital. Dari semua penyebab tadi, penyakit vaskuler perifer merupakan penyebab yang tertinggi amputasi ekstremitas bawah, (Senra, Arago, Leal, 2011).

  2.1.2. Penyebab/predisposisi amputasi Penyakit vaskular perifer adalah penyebab utama amputasi pada individu non diabetes dan memberikan kontribusi sekitar setengah dari semua amputasi pada individu dengan diabetes. Kontroversi mengenai penilaian yang tepat dan manajemen penyakit pembuluh darah perifer juga ada meskipun beberapa pusat keunggulan telah melaporkan penurunan tingkat amputasi setelah revaskularisasi bedah agresif (Wrobel, Mayfield, Rieber, 2001).

  Lebih dari 60 % dari amputasi tungkai bawah non traumatik di Amerika Serikat terjadi di antara orang-orang dengan diabetes melitus, dan meningkat enam hingga sepuluh kali lebih tinggi dibandingkan orang tanpa diabetes. Setelah amputasi tungkai bawah pertama, hingga 50 % pasien memerlukan amputasi lain dalam waktu 3-5 tahun, (Lipsky, Weigelt, Sun, 2011). Menurut Jumeno dan Adliss (2010) amputasi dapat juga disebabkan oleh berbagai hal seperti penyakit, faktor cacat bawaan lahir ataupun kecelakaan.

  Menurut Wahid tahun 2013, amputasi dapat dilakukan pada kondisi sebagai berikut :

  1. Fraktur multiple organ tubuh yang tidak mungkin dapat diperbaiki.

  2. Kehancuran jaringan kulit yang tidak mungkin diperbaiki.

  3. Gangguan vaskuler/sirkulasi pada ekstremitas yang berat.

  4. Infeksi yang berat atau beresiko tinggi menyebar ke anggota tubuh lainnya.

  5. Adanya tumor pada organ yang tidak mungkin diterapi secara konservatif.

6. Deformitas organ.

  2.1.3. Jenis amputasi Menurut Wahid (2013) ada beberapa jenis amputasi yaitu : a.

  Amputasi selektif/terencana ; amputasi jenis ini dilakukan pada penyakit yang terdiagnosis dan mendapat penanganan yang baik serta terpantau secara terus-menerus. Amputasi dilakukan sebagai salah satu tindakan alternatif terakhir.

  b.

  Amputasi akibat trauma ; merupakan amputasi yang terjadi sebagai akibat trauma dan tidak direncanakan. Kegiatan tim kesehatan adalah memperbaiki kondisi lokasi amputasi serta memperbaiki kondisi umum klien.

  c.

  Amputasi darurat ; kegiatan amputasi dilakukan secara darurat oleh tim kesehatan. Biasanya merupakan tindakan yang memerlukan kerja yang cepat seperti pada trauma dengan patah tulang multiple dan kerusakan/kehilangan kulit yang luas.

2.1.4. Faktor yang mempengaruhi amputasi

  Klien yang memerlukan amputasi biasanya orang muda dengan trauma ekstremitas berat atau lanjut usia dengan penyakit vaskuler perifer. Orang muda umumnya sehat, sembuh dengan cepat, dan berpartisipasi dalam program rehabilitasi segera. Karena amputasi sering merupakan akibat dari cedera, klien memerlukan lebih banyak dukungan psikologis untuk menerima perubahan mendadak citra diri dan menerima stress akibat hospitalisasi, rehabilitasi jangka panjang, dan penyesuaian gaya hidup. Klien ini memerlukan waktu untuk mengatasi perasaan mereka mengenai kehilangan permanen tadi. Reaksi mereka sudah diduga dan dapat berupa kesedihan terbuka dan bermusuhan (Liu, William, 2010, Smeltzer, 2010).

  Sebaliknya lanjut usia dengan penyakit vaskuler perifer sering mengidap masalah kesehatan lain, termasuk diabetes melitus dan arteriosklerosis. Amputasi terapeutik untuk kondisi yang sudah berlangsung lama dapat membebaskan klien dari nyeri, disabilitas, dan ketergantungan. Klien ini biasanya sudah siap mengatasi perasaannya dan siap menerima amputasi. Perencanaan untuk rehabilitasi psikologik dan fisiologik dimulai sebelum amputasi dilaksanakan.

  Namun, kelainan kardiovaskuler respirasi, atau neurologik mungkin dapat membatasi kemajuan rehabilitasi (Lukman, 2009).

2.1.5. Tingkatan amputasi

  Batas amputasi ditentukan oleh luas dan jenis penyakit. Batas amputasi pada cedera ditentukan oleh peredaran darah yang adekuat. Batas amputasi pada tumor maligna ditentukan oleh daerah bebas tumor dan bebas resiko kekambuhan lokal. Sedangkan pada penyakit pembuluh darah ditentukan oleh vaskularisasi sisa ekstremitas dan daya sembuh luka sisa tungkai (puntung) (Sjamsuhidajat, 2005)

  Ampusi dilakukan pada titik paling distal yang masih dapat mencapai penyembuhan dengan baik. Tempat amputasi ditentukan berdasarkan dua faktor: peredaran darah pada bagian itu dan kegunaan fungsional (misalnya sesuai kebutuhan prostesis) (Smeltzer, 2010).

  Lima tingkatan amputasi yang sering digunakan pada ekstremitas bawah adalah telapak dan pergelangan kaki, bawah lutut, disartikulasi dan atas lutut, disartikulasi lutut panggul, dan hemipelviktomi dan amputasi translumbar. Tipe amputasi ada dua yaitu, terbuka (provisional) yang memerlukan teknik aseptik ketat dan revisi lanjut, serta tertutup atau flap (Doengoes, 2000).

  Amputasi jari kaki dan sebagian kaki hanya menimbulkan perubahan minor dalam gaya jalan dan keseimbangan. Amputasi Syme (modifikasi amputasi disartikulasi pergelangan kaki) dilakukan paling sering pada trauma kaki ekstensif dan menghasilkan ekstremitas yang bebas nyeri dan kuat dan yang dapat menahan beban berat badan yang penuh. Amputasi bawah lutut lebih disukai dibandingkan amputasi atas lutut karena pentingnya sendi lutut dan kebutuhan energi untuk berjalan. Dengan mempertahankan lutut sangat berarti bagi seorang lanjut usia antara ia bisa berjalan dengan alat bantu dan hanya bisa duduk dikursi roda. Disartikulasi sendi lutut paling berhasil pada klien muda, aktif yang masih mampu mengembangkan kontrol yang tepat terhadap prostesis. Bila dilakukan amputasi atas lutut, pertahankan sebanyak mungkin panjangnya, otot dibentuk dan distabilkan, dan kontraktur pinggul dapat dicegah untuk potensial ambulasi maksimal. Bila dilakukan amputasi disartikulasi sendi pinggul, kebanyakan orang akan tergantung pada kursi roda untuk mobilitasnya. Amputasi ekstremitas atas dilakukan dengan mempertahankan panjang fungsional maksimal. Prostesis segera diukur agar fungsinya bisa maksimal (Smeltzer, 2008).

2.1.6. Penatalaksanaan sisa tungkai

  Tujuan bedah utama adalah mencapai penyembuhan luka amputasi, menghasilkan sisa tungkai (puntung) yang tidak nyeri tekan dengan kulit yang sehat untuk penggunaan prostesis. Lansia mungkin mengalami kelambatan penyembuhan luka karena nutrisi yang buruk dan masalah kesehatan lainnya. Penyembuhan dipercepat dengan penanganan lembut terhadap sisa tungkai, pengontrolan edema sisa tungkai, dengan balutan kompres lunak atau rigid dan menggunakan teknik aseptik dalam perawatan luka untuk menghindari infeksi (Lukman, 2009).

  Balutan rigid tertutup sering digunakan untuk mendapatkan kompresi yang merata, menyangga jaringan lunak dan mengontrol nyeri, dan mencegah kontraktur. Segera setelah pembedahan balutan gips rigid dipasang dan dilengkapi tempat memasang ekstensi prostesis sementara (pylon) dan kaki buatan. Kaus kaki steril dipasang pada sisi anggota. Bantalan dipasang pada daerah peka tekanan. Puntung kemudian dibalut dengan balutan gips elastis yang ketika mengeras akan mempertahankan tekanan yang merata. Tekanan balutan rigid ini digunakan sebagai cara membuat socket untuk pengukuran protesis pasca operatif segera. Panjang prostesis disesuaikan dengan individu klien. Gips diganti dalam sekitar sepuluh sampai empat belas hari. Bila ada peningkatan suhu tubuh, nyeri berat, atau gips yang mulai longgar harus segera diganti (Smeltzer, 2008).

  Balutan lunak dengan atau tanpa kompresi dapat digunakan bila diperlukan inspeksi berkala puntung sesuai kebutuhan. Bidai immobilisasi dapat dibalutkan dengan balutan. Hematoma (luka) puntung dikontrol dengan alat drainase luka untuk meminimalkan infeksi (Lukman, Ningsih, 2009).

  Amputasi bertahap bisa dilakukan bila ada gangren atau infeksi. Pertama- tama dilakukan amputasi guillotine untuk mengangkat semua jaringan nekrosis dan sepsis. Luka didebridemen dan dibiarkan mengering. Sepsis ditangani dengan antibiotika. Dalam beberapa hari, ketika infeksi telah terkontrol dan pasien telah stabil, dilakukan amputasi definitif dengan penutupan kulit, (Lukman, Ningsih, 2009).

  2.1.7. Komplikasi Komplikasi amputasi meliputi perdarahan, infeksi, dan kerusakan kulit.

  Karena ada pembuluh darah besar yang dipotong, dapat terjadi perdarahan masif. Infeksi merupakan infeksi pada semua pembedahan, dengan peredaran darah buruk atau kontaminasi luka setelah amputasi traumatika, risiko infeksi meningkat. Penyembuhan luka yang buruk dan iritasi akibat prostesis dapat menyebabkan kerusakan kulit (Smeltzer, 2008).

  Hemorage masif akibat lepasnya jahitan merupakan masalah yang paling

  membahayakan. Klien harus dipantau secara cermat mengenai setiap tanda dan gejala perdarahan. Tanda vital klien harus dipantau, dan drainase berpengisap harus diobservasi sesering mungkin. Perdarahan segera setelah pasca operasi dapat terjadi perlahan atau dalam bentuk hemorage masif akibat lepasnya jahitan.

  Torniket besar harus tersedia dengan mudah disisi pasien sehingga bila sewaktu-

  waktu terjadi perdarahan hebat, dapat segera dipasang pada sisa tungkai untuk mengontrol perdarahan. Ahli bedah harus diberi tahu dengan segera bila ada

  hemorage berlebihan (Smeltzer, 2010).

  2.1.8. Masalah yang terjadi pasca amputasi tungkai bawah Pengalaman amputasi akan melibatkan klien sebagai manusia seutuhnya, pikiran, tubuh, dan jiwa. Klien perlu memulihkan emosional maupun fisik.

  Selama masa rehabilitasi semua kebutuhan klien penting. Klien mungkin mengalami mati rasa atau perasaan kosong, depresi, takut, sedih, cemas, putus asa, kelelahan yang luar biasa, kebingungan, ketidak berdayaan dan dendam adalah perasaan yang terjadi pada klien yang mengalami amputasi. Klien memiliki serangkaian perubahan suasana hati dari tinggi ke rendah dan seperti berada pada sebuah roller coaster emosional (Society Vascular Nursing [SVN], 2008).

  Klien dengan amputasi tungkai bawah dapat mengganggu fisik, psikologis, dan fungsi sosial. Orang-orang dengan amputasi biasanya melaporkan kemarahan, kesedihan, tidak berdaya dan rasa bersalah serta kekhawatiran tentang keluarga, pekerjaan, hubungan sosial dan hubungan seksual (Davidson et al, 2002).

  Depresi dianggap sebagai gangguan medis, seperti gangguan fisik lainnya yang mempengaruhi pikiran manusia, perasaan, prilaku dan kesehatan bahkan fisik misalnya penurunan berat badan, kehilangan nafsu makan, kurang tidur dan kehilangan libido. Gejala depresi adalah hasil kontak yang terlalu lama dengan kondisi kehidupan yang penuh stres. Konsekuensi negatif dalam kehidupan seperti penyakit dan cacat tidak hanya membuat kehidupan yang penuh stres, tetapi juga mempengaruhi sumber daya adaptif. Amputasi tungkai bawah menyebabkan cacat fisik yang serius dan sangat intuitif bahwa penyesuaian dengan kondisi amputasi impulsif untuk tekanan psikologis. Depresi pada individu karena amputasi tungkai bawah mencapai 45 % dari antara seluruh penderita amputasi yang telah diteliti (Mozumdar, Roy, 2010).

  Gangguan stres pasca trauma adalah gangguan kejiwaan yang dapat muncul setelah seseorang terkena suatu peristiwa yang melibatkan cedera serius terancam atau sebenarnya untuk diri sendiri atau orang lain yang menyebabkan respon rasa takut, tidak berdaya, atau mengerikan. Memahami gejala sisa psikiatri dan emosional amputasi bisa sangat meningkatkan sifat dan tingkat intervensi psikologis sekitar amputasi dan sesudahnya. Selain itu, jika ada tingkat yang signifikan dari gangguan stres pasca trauma setelah direncanakan, amputasi bedah

  (

  Cavanagh, Shin, 2006) Thomson dan Haran et, al. Livingstone (2011) menemukan bahwa klien yang telah menjalani amputasi mengalami isolasi sosial tingkat tinggi dan kebutuhan keuangan yang tidak terpenuhi termasuk pekerjaan dan kegiatan sosial. Amputasi dianggap sebagai tiga penghinaan karena membawa kerugian fungsi, hilangnya sensasi, dan kehilangan atau perubahan citra tubuh. Perubahan dramatis ini memiliki efek pada kualitas hidup individu karena keterbatasan aktifitas fisik segera setelah amputasi serta memiliki implikasi jangka panjang dalam aspek bervariasi dari kehidupan. Hal ini juga mempengaruhi individu pada tingkat psiko sosial, dan memiliki implikasi ekonomi jangka panjang pada kehidupan dan kesempatan untuk bekerja. Hasil jangka panjang juga berpengaruh pada kontribusi individu kepada masyarakat (Morbidity and Mortality Weekly Report [MMWR], 2000).

  Ditemukan bahwa setelah amputasi orang lebih jarang berpartisipasi dalam kegiatan sosial terutama orang-orang yang berumur lebih tua ketika diamputasi.

  Aktivitas waktu luang berubah setelah amputasi. Dari 123 kasus amputasi 93 orang benar-benar memiliki kegiatan yang berubah dan hanya 30 orang yang masih tertarik dengan kegiatan yang sama sebelumnya. Tiga kegiatan yang paling sering dilakukan sebelum amputasi adalah bersepeda, main bola dan pekerjaan pertanian. Setelah amputasi mereka hanya membaca, menonton televisi atau mendengarkan musik. Dapat disimpulkan bahwa amputasi ekstremitas bawah sangat mengubah kehidupan sosial dan waktu luang mereka (Burger & Marincek, 1997).

  Dalam hidup sebelum operasi, orang akan menjaga penampilan, namun sebelum operasi pasien mengalami perasaan ambigu, karena saat ini dalam kehidupan dimana orang tersebut akan menganggap cara baru masuk ke dalam dunia akan membangkitkan berbagai perasaan yang tidak terbatas yang dinyatakan atau tidak. Meskipun pasien menegaskan kesepakatan mereka dengan operasi, meraka menunjukkan perasaan putus asa, rasa sakit, penderitaan, ketakutan, kesedihan dan menangis dan tetap tertunduk (Chini, Boemer, 2007).

  Phantom tungkai bukanlah efek sederhana dari fenomena pasca amputasi. Pasien tampaknya mengabaikan pemotongan dan menganggap bayangan mereka sebagai anggota tubuh yang sebenarnya. “Saya melihat bahwa saya tidak memiliki kaki. Ini gatal, kaki saya gatal. Saya meminta anak itu untuk membawa kaki saya yang diamputasi sehingga saya bisa menggaruknya dan dia berkata dia akan mencoba mencari disekitar dan tidak ada. Ini lucu bahwa anda merasa itu. Saat ini aku merasa kesemutan di kaki saya” (Chini & Boemer, 2007). Phantom limb sensations adalah perasaan klien yang merasakan bahwa kakinya masih ada disana, bahkan meskipun anda tahu bahwa itu tidak, sensasi ini terkuat setelah operasi, tetapi dapat terjadi bahkan bertahun-tahun kemudian (SVN, 2008)

  Klien biasanya mengalami nyeri tungkai fantom segera setelah pembedahan atau 2 sampai 3 bulan setelah amputasi. Lebih sering terjadi pada amputasi atas lutut. Klien menjelaskan nyeri atau perasaan tak biasa pada bagian yang telah diamputasi. Sensasi tersebut menimbulkan perasaan bahwa ekstremitasnya masih ada dan tergerus, kram atau terpuntir dengan posisi abnormal. Sensasi fantom lama kelamaan akan menghilang. Patogenesis fenomena anggota fantom tidak diketahui (Smeltzer, 2010).

  Ada pengakuan yang berkembang bahwa amputasi tidak selalu menyebabkan hasil negatif (Phelps et al, 2008). Pada kasus pasien yang terkena masalah pembuluh darah, menghilangkan rasa sakit mereka adalah prioritas utama. Mengecilkan nyeri yang tidak tertahankan, sedih dan membatasi diri. Pada saat ini setiap upaya yang dilakukan untuk meringankan atau menghilangkan rasa sakit dianggap positif, bahkan jika harus menghilangkan anggota tubuh. Amputasi mulai dilihat sebagai kejahatan yang diperlukan “tidak tidur selama enam bulan sulit, sakit ketika berbaring, ketika saya berdiri, sulit, itu menyedihkan, saya menderita begitu banyak, begitu banyak, begitu banyak, sekarang jika saya harus melakukannya lagi, saya akan melakukannya lagi, karena semua penderitaan berakhir” (Chini & Boemer, 2007).

2.2. Konsep Mekanisme Koping 2.2.1.

  Defenisi

   Mekanisme koping adalah segenap upaya yang mengarah kepada

  manajemen stres. Koping adalah cara yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dengan perubahan dan respon terhadap situasi yang mengancam (Stuart, 2009 dan Keliat, 1999). Menurut Lazarus dan Folkman (1984) koping sebagai upaya perubahan kognitif dan prilaku secara konstan untuk mengatasi secara khusus tuntutan internal dan eksternal yang dinilai melebihi kemampuan dan sumber daya yang dimiliki individu.

  Kata “coping” (mengatasi, menghadapi) memberikan kesan bahwa orang yang mengalami kesulitan menunjukkan prilaku yang tidak membantu mengatasi kesulitannya, namun beberapa orang mengatasi masalahnya dengan cara-cara yang lebih dari sekedar membantu mereka bertahan dalam kesulitan. Mereka berusaha dengan belajar dari pengalaman mereka dan menjadi lebih kuat karena pengalaman-pengalaman tersebut (Joseph & Linley, 2005).

2.2.2. Jenis-jenis mekanisme koping 1.

  Strategi fisik a.

  Mendinginkan kepala.

  b.

  Menenangkan diri dan mengurangi rangsang fisik melalui meditasi atau relaksasi. Pelatihan relaksasi progresif, belajar untuk secara bergantian menekan dan membuat otot-otot menjadi santai akan menurunkan tekanan darah dan hormon stres (Scheufele, 2000).

  c.

  Menenangkan diri sendiri dengan pemijatan, yang jika digabungkan dengan meditasi, merupakan salah satu dari pengobatan tertua di dunia (Field, 1998, Moyer, Rounds & Hannum, 2004).

  d.

  Berjalan-jalan, merupakan aktivitas fisik tingkat rendah, karena mereka yang memiliki fisik lebih bugar memiliki masalah kesehatan yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan mereka yang fisiknya tidak bugar.

  Semakin sering orang berolahraga, maka kecemasan, depresi dan sensitivitas mereka berkurang (Hendrix dkk, 1991) e.

  Mendengarkan musik yang menenangkan, menulis buku harian atau memanggang roti. Aktivitas tersebut memberikan tubuh kesempatan untuk pulih dari fase alarm sebagai respons terhadap stres.

2. Strategi yang berorientasi terhadap masalah.

  a.

  Emotion focused coping, berfokus pada emosi yang muncul akibat masalah yang dihadapi, baik marah, cemas, atau duka cita. Beberapa waktu setelah bencana atau tragedi, adalah hal yang wajar bagi orang yang mengalaminya untuk merasakan emosi-emosi tersebut atau bahkan sampai merasa kewalahan dalam mengelola emosi-emosi tersebut. Pada tahap ini, orang seringkali butuh untuk membicarakan kejadian tersebut secara terus menerus agar dapat menerima, memahami, dan memutuskan akan melakukan hal apa setelah kejadian tersebut selesai (Lepore, Ragan, & Jones, 2000).

  b.

  Problem focused coping. Langkah-langkah spesifik dalam memecahkan masalah tergantung dari sifat masalah itu sendiri, apakah keputusan tersebut mendesak namun hanya perlu dibuat sekali saja, apakah masalah itu kesulitan yang berkelanjutan seperti hidup dengan keterbatasan fisik atau pasikologis, atau kejadian yang diantisipasi seperti operasi. Setelah masalah teridentifikasi, mereka dapat mempelajari masalah tersebut sebanyak mungkin dari para ahli, teman, buku-buku dan dari sumber lain untuk masalah yang sama (Clarke & Evans, 1998). Pengetahuan memberikan perasaan memiliki kendali dalam diri seseorang. Misalnya, saat orang mengetahui apa yang akan terjadi saat mereka mengalami operasi, mereka seringkali pulih dengan lebih cepat dan merasakan sakit yang lebih ringan dibandingkan dengan orang yang tidak siap (Doering dkk, 2000) 3. Strategi kognitif

  Memikirkan masalah kembali, adalah cara menyelesaikan suatu masalah dengan mengubah cara berpikir mengenai masalah tersebut. Ada 3 cara berpikir yang efektif untuk melakukan cognitive coping : a.

  Menilai atau meninjau kembali situasinya. Walaupun klien tidak dapat menghilangkan masalah yang membuat stres, klien dapat memilih untuk memikirkan masalah itu secara berbeda, proses yang disebut sebagai

  reappraisal (menilai/meninjau kembali). Masalah dapat diubah menjadi

  tantangan dan kehilangan dapat diubah menjadi keuntungan yang tidak terduga. Reappraisal dapat mengubah kemarahan menjadi simpati , kecemasan menjadi determinasi dan perasaan kehilangan menjadi perasaan memiliki kesempatan (Folkman & Moskowitz, 2000).

  b.

  Belajar dari pengalaman. Korban dari kejadian traumatis dan penyakit yang mengancam nyawa melaporkan bahwa pengalaman membuat mereka kuat, lebih tegar dan bahkan mereka menjadi manusia yang lebih baik karena bertumbuh dan belajar dari kejadian tersebut (Mc Farlan & Alvaro, 2000). Sebagian orang bangkit dari musibah dengan ketrampilan baru yang mereka temukan atau mereka kembangkan, sebagian dipaksa untuk mempelajari sesuatu hal baru yang tidak pernah mereka ketahui sebelumnya, sebagian yang lain menemukan sumber keberanian dan kekuatan yang mereka sendiri tidak pernah tahu mereka miliki. Mereka yang mengambil pelajaran dari tragedi yang tidak dapat dihindari dalam hidup dan menemukan arti dari pengalaman tersebut adalah mereka yang berhasil sukses menghadapi masalah dan tidak hanya bertahan dalam masalah (Davis, Nolen-Hoeksema & Larson, 1998, Folkman & Moskowitz, 2000).

  c.

  Membuat perbandingan sosial. Dalam situasi sulit, orang yang sukses bertahan seringkali membandingkan kondisi mereka dengan orang lain yang mereka rasakan kurang beruntung dibandingkan mereka. Separah apapun kondisi mereka, bahkan jika mereka memiliki penyakit mematikan, mereka menemukan orang lain yang keadaannya jauh lebih parah (Taylor & Lobel, 1989 ; Wood, Michaela & Giordano, 2000).

4. Strategi sosial a.

  Mendapatkan dukungan sosial. Dukungan sosial dari keluarga, teman- teman dan orang lain sangat berperan dalam mempertahankan kesehatan dan kesejahteraan emosional. Orang yang memiliki teman-teman baik, kontak sosial yang luas, dan jejaring dengan anggota masyarakat lain memiliki kesehatan yang lebih baik dan berumur lebih panjang dibandingkan dengan mereka yang tidak memilikinya. Sentuhan atau pelukan dari pasangan yang mendukung menenangkan sirkuit alarm di otak dan meningkatkan kadar oxytocin yang dapat menghasilkan penurunan detak jantung dan tekanan darah (Wade & Tavris, 2007).

  b.

  Hubungan formal yang berasal dari orang-orang yang mengalami penyakit, masalah atau musibah yang sama. Orang dapat mengambil manfaat dari bergabung dalam kelompok dukungan sosial jika mereka memiliki penyakit yang parah atau penyakit yang penuh stigma, melumpuhkan atau membuat mereka cacat sedemikian rupa, atau menyebabkan perasaan malu (Davidson, pennebaker, & Dickerson, 2000).

  c.

  Sembuh dengan membantu orang lain. Cara terakhir untuk menghadapi stres, kehilangan dan tregedi adalah dengan memberikan dukungan bagi orang lain dan bukannya selalu menerima dukungan dari orang lain. Orang mendapatkan kekuatan dengan mengurangi fokus terhadap kesulitan mereka sendiri dan lebih banyak menolong orang lain yang juga berada dalam kesulitan (Segal, 1986).

2.2.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi mekanisme koping

  Kemampuan seseorang untuk beradaptasi atau melakukan koping terhadap stressor yang dihadapi tergantung pada kombinasi aspek stressor dan karakteristik individu. Aspek stressor meliputi, intensitas dan luasnya stressor, durasi, jumlah dan tipe stressor yang timbul bersamaan, dan jumlah stressor dalam waktu tertentu. Karakteristik individu untuk beradaptasi terhadap stres meliputi, latar belakang dan budaya, kebutuhan, keinginan, konsep diri, sumber internal, dukungan eksternal, pengetahuan, ketrampilan, sifat, kepribadian, kematangan dan kondisi kesehatan umum (Funnel et al, 2005).

  Menurut Lazarus dan Folkman (1984), faktor-faktor yang mempengaruhi dalam penggunaan koping adalah sebagai berikut : a.

  Kesehatan dan energi Seseorang yang mengalami sakit atau kelelahan mempunyai energi yang kurang dalam memperpanjang penggunaan kopingnya. Kesehatan fisik yang baik merupakan bukti dalam menghadapi masalah atau stres karena ketika menghadapi stres seseorang membutuhkan mobilisasi yang banyak. Oleh karena itu, pentingnya kesehatan dan energy untuk koping karena keduanya berperan dalam memfasilitasi penggunaan koping secara optimal.

  b.

  Keyakinan positif Melihat diri sendiri dengan positif bisa dikaitkan sebagai sebuah sumber koping yang sangat penting. Keyakinan sebagai dasar untuk berharap dan mendukung usaha koping yang digunakan. Namun demikian tidak semua keyakinan dapat digunakan sebagai koping. Beberapa keyakinan dapat menghambat usaha koping seperti, keyakinan akan hukuman Tuhan dapat mengarahkan individu untuk menerima situasi yang menekan sebagai sebuah hukuman dari Tuhan atau takdir Tuhan dan tidak melakukan hal apapun untuk mengatasi situasi tersebut.

  c.

  Keterampilan dalam menyelesaikan masalah Keterampilan dalam menyelesaikan masalah meliputi kemampuan mencari informasi, menganalisa situasi yang bertujuan mengidentifikasi masalah dan mengembangkan alternatif tindakan, memilih alternatif yang sesuai dengan hasil yang diharapkan, memilih dan mengimplementasikan rencana aksi yang sesuai.

  d.

  Keterampilan sosial Keterampilan sosial merupakan sumber koping yang penting. Keterampilan sosial diartikan sebagai kemampuan untuk berkomunikasi dan berperilaku dengan yang lain dengan cara yang sesuai dan efektif secara sosial. Hal ini memfasilitasi penyelesaian masalah dalam berhubungan dengan orang lain dan memberikan kontrol yang lebih kepada individu dalam interaksi sosial. Pentingnya keterampilan sosial sebagai sumber diberbagai area, mencakup program terapeutik yang membantu individu lebih baik dalam mengatasi masalah kehidupan sehari-hari dan program latihan organisasi untuk meningkatkan ketrampilan komunikasi interpersonal.

  e.

  Dukungan sosial Dukungan sosial diartikan dengan mempunyai teman atau keluarga yang dapat menerima perasaan individu jika mengalami masalah. Selain itu dukungan dari orang lain dapat berupa memberikan informasi atau dukungan lainnya seperti menunjukkan perhatian kepada individu tersebut.

  f.

  Sumber materi Sumber materi dapat berupa uang, barang dan pelayanan. Hasil penelitian Antonosvsky (1979) dalam Lazarus dan Folkman (1984) ditemukan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara ekonomi, stres dan adaptasi. Sumber keuangan yang lebih besar meningkatkan pilihan koping. Hal ini juga mempermudah dan memberikan akses yang mudah seperti pengobatan kesehatan, bantuan profesional dan sebagainya. Dapat disimpulkan bahwa sumber materi juga dapat memfasilitasi efektivitas koping.

  2.2.4. Literatur penelitian yang berhubungan dengan mekanisme koping Gallagher & PamelaView (1999) menemukan adanya hubungan antara nyeri tungkai dan variabel psikologis. Dengan demikian, interaksi antara menghindar dan mencari dukungan sosial dan nyeri tungkai memerlukan perhatian lebih lanjut dan investigasi. Selanjutnya, dalam skrining dan pengobatan nyeri tungkai, lokasi amputasi, usia pasien, menyebabkan amputasi harus terus dipertimbangkan karena mereka adalah prediktor penting dari rasa sakit.

  Intervensi juga harus menyelidiki peran pemecahan masalah dalam pengalaman nyeri lainnya. Penggunaan prostesis juga beberapa mengalami ketidakmampuan menyesuaikan diri secara emosional atau rasa sakit dan mungkin perlu sesuatu yang lebih dari anggota tubuh dan pelatihan yang pas dalam penggunaannya.

  Dalam penelitian ini juga ditemukan bahwa mekanisme koping yang berhubungan dengan penerimaan bervariasi tergantung pada penyebab amputasi.

  Penelitian sebelumnya pada konsekuensi psikologis amputasi telah difokuskan terutama pada hubungan antara variabel-variabel demografis, berbagai mekanisme koping. Sebuah tinjauan literatur yang dilakukan oleh Rybarczyk dan colleagues (2004), menunjukkan bahwa rasa sakit sisa anggota badan, pembatasan aktivitas, dan medis dan faktor yang berkaitan dengan kecacatan (selain nyeri

  

phantom ) memprediksi kurang varians dalam penyesuaian psikologis daripada

  citra tubuh, dirasakan stigma sosial, kerentanan yang dirasakan, dukungan sosial, dan optimisme. Faktor psikologis dan strategi penanggulangan yang telah ditemukan terkait dengan hasil yang buruk setelah amputasi termasuk kerentanan yang dirasakan, penghindaran, dan ketidakberdayaan.

  Penelitian Behel, Rybarczyk, elliot (2002) tentang prevalensi morbiditas psikiatri tertentu setelah amputasi sebagian besar berfokus pada gejala depresi, dan hasil studi ini melaporkan tingkat prevalensi bervariasi dari 7,4% 9-28%. Varians dalam tingkat prevalensi kemungkinan karena perbedaan metodologis dalam penilaian depresi klinis. Penelitian in mengandalkan langkah-langkah laporan diri, seperti Center for Epidemiological Studies Depression Scale (CES-

  

D) , laporan tingkat jauh lebih tinggi dari depresi klinis, dibandingkan mereka

yang menggunakan interviews.

2.3. Konsep Stres

  2.3.1. Definisi stres Stres adalah suatu kondisi yang dihasilkan akibat adanya perubahan dari lingkungan yang dipersepsikan menantang, mengancam atau merusak fungsi kesehatan individu seutuhnya (Varcarolis, Shoemaker, 2006). Menurut Niven stres adalah pernyataan yang seringkali digunakan sebagai label untuk gejala psikologis yang mendahului penyakit, reaksi ansietas, ketidaknyamanan dan keadaan lainnya. Sedangkan menurut Vedebeck (2008) stres adalah ketakutan yang dialami individu dengan cara yang berbeda-beda.

  Setiap individu disepanjang rentang kehidupannya akan selalu dihadapkan pada berbagai peristiwa dan kejadian yang nantinya akan mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan yang berpotensi menimbulkan stres. Hal senada juga diungkapkan Keliat (1999) bahwa stres adalah realita kehidupan setiap hari yang tidak mungkin dapat dihindari yang disebabkan karena adanya perubahan yang memerlukan penyesuaian. Demikian halnya pada klien pasca amputasi tungkai bawah sangat rentan terhadap terjadinya stres karena terjadinya perubahan yang membutuhkan penyesuaian baik secara fisik maupun psikologis.

  2.3.2. Etiologi stres Kondisi stres dapat disebabkan oleh berbagai penyebab atau sumber yang disebut stressor. Stressor adalah keadaan atau situasi, obyek atau individu yang dapat menimbulkan stres (Hidayat, 2009). Stresor merupakan situasi yang dianggap akan menimbulkan ketegangan dan mengancam kesejahteraan individu (Sarafino, 1998). Menurut Lazarus dan Folkman (1984) berbagai kejadian dan perubahan lingkungan di sekitar individu dapat bersifat positif, netral ataupun negatif yang akan menjadi stresor (Tomey & Alligood, 2006).

  Secara umum stressor dapat dibagi menjadi dua, yaitu stressor internal dan stressor eksternal. Stressor internal berasal dari dalam diri seseorang seperti demam, penyakit infeksi, trauma fisik dan kelelahan fisik. Sedangkan stressor eksternal berasal dari luar individu seperti perubahan suhu lingkungan, pekerjaan serta hubungan interpersonal (Selye, 1976 dalam Potter & Perry, 2005).

  2.3.3. Respon stres Stres dapat menghasilkan berbagai respon yang dapat berguna sebagai indikator dan alat ukur terjadinya stres pada individu. Respon stres dapat terlihat dalam berbagai aspek, yaitu respon fisiologis, adaptif, dan psikologis. Respon fisiologis berupa interpretasi otak dan respon neuroendokrin. Respon adaptif berupa tahapan General Adaptif Syndrome (GAS) dan Lokal Adaptation Syndrome

  

lokal (LAS) . Respon psikologis dapat berupa perilaku konstruktif maupun

destruktif (Smeltzer & Bare, 2008).

  Respon fisiologis terhadap stressor merupakan mekanisme protektif dan adaptif untuk memelihara keseimbangan homeostasis tubuh yang merupakan rangkaian peristiwa neural dan hormonal yang mengakibatkan konsekuensi jangka panjang dan jangka pendek bagi otak dan tubuh. Dalam respon stres, impuls

  

afferen akan ditangkap oleh organ pengindra dan internal ke pusat saraf otak lalu

  diteruskan sampai ke hipotalamus. Kemudian diintegrasikan dan dikoordinasikan dengan respon yang diperlukan untuk mengembalikan tubuh dalam keadaan homeostasis. Jika tubuh tidak mampu menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut, maka dapat mengakibatkan gangguan keseimbangan tubuh (Smeltzer & Bare, 2008).

  Jalur neural dan neuroendokrin dibawah kontrol hipotalamus akan diaktifkan. Kemudian akan terjadi sekresi sistem saraf simpatis kemudian diikuti oleh sekresi simpatis-adrenal-modular, dan akhirnya bila stres masih ada dalam sistem hipotalamus pituitari akan diaktifkan. Sistem saraf pusat mensekresikan norepinefrin dan epinefrin untuk meningkatkan respon simpatis-adrenal-modular pada kondisi stres. Respon ini menimbulkan efek atau reaksi yang berbeda pada setiap sistem tubuh yang dijabarkan dalam indikator stres secara fisiologis. Pada kondisi tersebut terdapat organ tubuh yang meningkat maupun menurun kinerjanya, reaksi ini disebut fight or flight. Norepinefrin mengakibatkan peningkatan fungsi organ vital dan keadaan tubuh secara umum, sedangkan sekresi endorfin mampu menaikkan ambang untuk menahan stimulasi nyeri yang mempengaruhi suasana hati. Manisfestasi sekresi norepinefrin dan endorfin diantaranya pengeluaran keringat, perubahan suasana hati, keluhan sakit kepala, sulit tidur, peningkatan jantung (Smeltzer & Bare, 2008).

  Stres menuntut seseorang untuk menggunakan energi fisiologis dan psikologis untuk merespon dan beradaptasi terhadap stressor. Respon stres adalah alamiah, adaptif dan protektif. Karakteristik dari respon stres adalah hasil dari respon neuroendokrin yang terintegrasi serta terdapat perbedaan individual dalam berespon terhadap stressor yang sama. Respon adaptif terdiri dari LAS dan GAS. Respon LAS terbagi atas respon refleks nyeri dan respon inflamasi (Potter & Perry, 2005). GAS merupakan respon fisiologis dari seluruh tubuh terhadap stres.

  Respon yang terlibat didalamnya adalah sistem saraf otonom dan sistem endokrin.

  

GAS memiliki 3 tahap, yaitu alarm, pertahanan dan kelelahan. Pada tahap alarm

  respon simpatis fight or flight diaktifkan yang bersifat defensif dan anti inflamasi yang akan menghilang dengan sendirinya. Bila stresor menetap maka akan beralih ketahap pertahanan. Pada tahap ini terjadi adaptasi terhadap stressor yang membahayakan. Jika pemajanan terhadap stressor diperpanjang dan gagal melakukan pertahanan maka terjadilah kelelahan. Tahap kelelahan terjadi peningkatan aktivitas endokrin yang menghasilkan efek pemberhentian pada sistem tubuh terutama sistem peredaran darah, pencernaan dan imun yang dapat menyebabkan kematian (Smeltzer & Bare, 2008).

  2.3.4. Indikator stres Indikator stres merupakan ukuran kualitatif dan kuantitatif yang dapat menggambarkan tingkat stres individu. Stres memberikan dampak langsung terhadap psikologis yang secara tidak langsung berdampak pula pada fisiologis. Terdapat beberapa indikator stres, yaitu fisiologis, emosional dan perilaku stres.

  

DASS adalah satu set tiga skala laporan diri yang dirancang untuk mengukur

  tingkat keparahan gejala inti depresi, kecemasan dan stres (Psikologi Yayasan Australia, 2002). Nilai utama dari DASS (Depression Anxiety and Stres Scale) dalam pengaturan klinis adalah untuk memperjelas lokus gangguan emosi, sebagai bagian dari tugas yang lebih luas dari penilaian klinis. Indikator stres fisiologis adalah objektif dan lebih mudah diidentifikasi, berupa kenaikan tekanan darah, tangan dan kaki dingin, postur tubuh yang tidak tegap, keletihan, sakit kepala, gangguan lambung, suara yag bernada tinggi, muntah, mual, diare, perubahan nafsu makan (Potter & Perry, 2005 ; Psychology Foundation of Australia, 2010).

  Indikator emosional dan perilaku stres sangat bersifat subjektif. Indikator stres psikologis dan prilaku berupa ansietas, depresi, kepenatan, kelelahan mental, perasaan tidak adekuat, kehilangan harga diri, minat dan motivasi, ledakan emosi dan menangis, kecendrungan membuat kesalahan, mudah lupa dan pikiran buntu, kehilangan perhatian terhadap hal-hal yang rinci, preokupasi, ketidakmampuan berkonsentrasi terhadap tugas, rentan terhadap kecelakaan, serta penurunan produktivitas dan kualitas kerja (Potter & Perry, 2005).

  Indikator perilaku dapat berupa konstruktif atau destruktif. Perilaku konstruktif membantu seseorang menerima tantangan untuk menyelesaikan konflik, sedangkan perilaku destruktif akan mempengaruhi orientasi realitas, kemampuan penyelesaian masalah, kepribadian, situasi yang sangat berat, dan kemampuan untuk berfungsi (Potter & Perry, 2005).

  2.3.5. Dampak stres Stres kronis narkoba dan operasi dapat melemahkan atau menekan sistem kekebalan tubuh (Sugerstrom & Miller, 2004). Peneliti menemukan bahwa saat seseorang terjangkit virus, penyakit, atau gangguan medis tertentu, emosi negatif pasti mempengaruhi proses penyakit dan pemulihannya. Perasaan cemas, tertekan atau depresi, dan merasa tidak berdaya, dapat memperlambat penyembuhan luka setelah operasi, sedangkan perasaan optimis dan penuh harap dapat mempercepat penyembuhan. Perasaan kesepian dan kecemasan dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh dan memungkinkan virus yang ‘tidur’ (dormant) dalam tubuh, seperti herpes, untuk berkembang dengan pesat (Kiecolt & Glaser at el, 1998).

  Kekebalan tubuh yang utama dari sel-sel kekebalan tubuh adalah sel darah putih. Ada dua jenis sel darah putih, limfosit dan fagosit. Ketika kita sedang stres, kemampuan sistem kekebalan tubuh untuk melawan antigen berkurang. Itulah sebabnya kita lebih rentan terhadap infeksi. Hormon stres kortikosteroid dapat menekan efektivitas sistem kekebalan tubuh, seperti menurunkan jumlah limfosit (McLeod, 2010)

  Watak pemarah merupakan faktor resiko yang secara signifikan melemahkan sistem kekebalan tubuh, meningkatkan tekanan darah, dan meningkatkan kemungkinan penyakit jantung (Suinn, 2010). Orang yang mengalami depresi setelah mengalami serangan jantung secara signifikan memiliki peluang meninggal lebih besar karena gangguan jantung pada tahun berikutnya, bahkan saat tingkat keparahan penyakit dan faktor-faktor resiko lain telah dikontrol (Frasure & Smith et al, 1999). Depresi klinis juga meningkatkan resiko serangan jantung dan penyakit kardiovaskuler sebesar dua kali lipat, sebagaimana ditemukan oleh peneliti longitudinal skala besar yang menemukan bahwa depresi kronis parah mendahului berkembangnya penyakit jantung selama bertahun-tahun (Frasure, Smith & Lesperance, 2005 ; Schulz et al, 2000).

  2.3.6. Tingkatan stres

  a. Stres normal Stres normal yang dihadapi secara teratur dan merupakan bagian alamiah dari kehidupan. Seperti dalam situasi kelelahan setelah mengerjakan tugas, takut tidak lulus ujian, merasakan detak jantung berdetak lebih keras setelah aktifitas. Stres normal alamiah dan menjadi penting, karena setiap orang pasti pernah mengalami stres, bahkan sejak dalam kandungan (Crowford & Henry, 2003) b. Stres ringan

  Stres ringan adalah stressor yang dihadapi secara teratur yang dapat berlangsung beberapa menit atau jam. Situasi seperti banyak tidur, kemacetan.

  Stressor ini dapat menimbulkan gejala bibir kering, kesulitan bernafas, kesulitan menelan, merasa goyah, merasa lemas, keringat berlebihan ketika temperatur tidak panas dan tidak setelah aktifitas, takut tanpa alasan yang jelas, tremor pada tangan (Psychology Foundation of Australia, 2010).

  c. Stres sedang Stres ini terjadi lebih lama antara beberapa jam sampai beberapa hari.

  Stressor ini dapat menimbulkan gejala, antara lain mudah marah, bereaksi berlebihan terhadap suatu situasi, sulit untuk beristirahat, merasa lelah karena cemas, tidak sabar ketika mengalami penundaan dan menghadapi gangguan terhadap hal yang sedang dilakukan, mudah tersinggung, gelisah dan tidak dapat memaklumi hal apapun yang menghalangi ketika sedang mengerjakan sesuatu hal (Psychology Foundation of Australia, 2010).

  d. Stres berat Stres berat adalah situasi kronis yang dapat terjadi dalam beberapa minggu sampai beberapa tahun, seperti perselisihan, kesulitan finansial yang berkepanjangan, dan penyakit fisik jangka panjang, yang menimbulkan gejala antara lain, tidak dapat merasakan perasaan positif, merasa tidak kuat lagi untuk melakukan suatu kegiatan, merasa tidak ada yang diharapkan dimasa depan, sedih dan tertekan, putus asa, kehilangan minat, merasa tidak berharga dan berpikir bahwa hidup tidak bermanfaat (Psychology Foundation of Australia, 2010).

  e. Stres sangat berat Stres sangat berat adalah situasi kronis yang dapat terjadi dalam beberapa bulan dan dalam waktu yang tidak dapat ditentukan. Seseorang yang mengalami stres sangat berat tidak memiliki motivasi untuk hidup dan cenderung pasrah. (Psychology Foundation of Australia, 2010).

  2.3.7. Mengukur tingkat stres Tingkat stres adalah hasil penilaian terhadap berat ringannya stres yang dialami seseorang (Crowford & Henry, 2003). Tingkat stres diukur dengan menggunakan Depression Anxiety Stress Scale 42 (DASS 42) oleh Lavibond & Lavibond (1995). DASS 42 diaplikasikan dengan format rating scales (skala penilaian). Tingkat stres pada instrumen ini berupa normal, ringan, sedang, berat dan sangat berat. DASS 42 dibentuk tidak hanya untuk mengukur secara konvensional mengenai status emosional, tetapi untuk proses yang lebih lanjut untuk pemahaman, pengertian, dan pengukuran yang berlaku di manapun dari status emosional, secara signifikan yang digambarkan sebagai stres (Psychology Foundation of Australia , 2010).

  Instrumen DASS 42 terdiri dari 42 pernyataan yang mengidentifikasi skala subjektif depresi, kecemasan dan stres. Oleh karena tujuan penelitian ini hanya untuk mengetahui tingkat stres klien pasca amputasi, maka instrumen ini dimodifikasi oleh peneliti sendiri dengan hanya mengukur tingkat stres klien pasca amputasi dengan 14 item pernyataan tentang stres.

  2.3.8. Model adaptasi stres Menurut Funnel et al (2005), terdapat 2 model teori respon terhadap stres yaitu :

1. Selye’s stress adaptation model

  Model ini menjelaskan bahwa respon tubuh ketika menghadapi stres mengalami 3 fase, yaitu :

  a.

   Alarm reaction

  Fase ini merupakan reaksi awal tubuh menghadapi stressor apapun. Ini merupakan sekumpulan reaksi antara hipotalamus, sistem saraf simpatis dan medulla adrenal. Ini disebut dengan “flight or flight response”. Ini membuat level kewaspadaan ditingkatkan dan menggerakkan tubuh untuk siap dalam menghadapi ancaman. Respon tubuh digambarkan dengan peningkatan siskulasi, peningkatan pelepasan glukosa menjadi energi.

  b.

   Stage of resistance

  Jika penyebab stres tidak dapat diatasi, tubuh akan mengalami fase ini atau fase general adaptation syndrome (GAS). Pada fase ini tubuh terus berjuang menghadapi stressor setelah fase alarm reaction telah selesai. Reaksi pada tahap ini melibatkan kelenjar pituitary anterior dan korteks adrenal. Reaksi ini lebih lambat untuk mulai dibandingkan fase pertama, tetapi efeknya lebih lama. Selama fase ini tubuh juga memulai proses untuk mengembalikan fungsinya mendekati homeostasis normal.

  Fase ini, GAS terus berlangsung dalam waktu yang lama tanpa periode relaksasi, sehingga penderita cenderung mengalami kelelahan, konsentrasi menurun, dan iritabilitas. Secara fisiologis kondisi ini menyebabkan pelepasan steroid dan kortisol yang berlebihan, yang dirangsang selama masa stres, sehingga akan mengakibatkan penekanan sistem immunitas tubuh. Penurunan sistem immunitas tubuh akan menyebabkan gangguan kesehatan, umumnya terjadi flu dan infeksi lainnya yang bisa mengarah pada gangguan seperti sakit kepala dan gastritis.

  c.

   Stage of exhaustion

  Pada fase ini tubuh kehabisan cadangan energi dan immunitas yang merupakan hasil dari ketidakmampuan untuk beradaptasi atau koping. Pada fase ini terjadi kehilangan potassium yang mempengaruhi semua fungsi sel tubuh. Fungsi sel akan hilang dan sel akan mati. Kelelahan pada korteks adrenal akan terjadi dan tidak mampu menghasilkan hormon yang mencegah penurunan glukosa darah, sehingga nutrisi sel tidak adekuat. Akibat yang terus menerus akan membebankan kerja jantung, pembuluh darah dan korteks adrenal. Hal ini dapat menyebabkan gagal jantung, gagal ginjal dan kematian.

  Selye dalam Funnel et al (2005), juga mengidentifikasi respon tubuh terhadap stres fisik pada area tubuh. Respon ini disebut dengan local adaptation

  syndrome (LAS) 2.

  Lazarus’s interactional theory Lazarus (1966) dalam Lazarus & Folkman (1984) menjelaskan bahwa cara individu menginterpretasikan stressor dan kemampuan untuk koping (appraisal) yang menentukan efek dari stres. Proses appraisal merupakan sekumpulan tindakan kognitif individu dalam membuat suatu evaluasi. Individu menilai situasi tergantung pada nilai seseorang, keyakinan dan perasaan, dan apa yang dilihat penting dan tidak penting bagi mereka. Terdapat 2 tipe appraisal :

  a.

   Primary appraisal

  Penilaian yang dilakukan untuk menilai apakah kejadian tersebut mengganggu kesejahteraan hidup seseorang, primary appraisal dibedakan atas 3 jenis yaitu : 1) irrelevant, 2) benign-positive, 3) stressfull. Irrelevant terjadi ketika pertemuan dengan lingkungan tidak ada membawa implikasi pada kesejahteraan seseorang (netral, tidak ada yang hilang atau yang diperoleh). Benign-positive

  

appraisal terjadi ketika hasil dari sebuah pertemuan adalah positif yang

  meningkatkan kesejahteraan dan kenyamanan. Karakteristik dari Benign-positive appraisal adalah kesenangan, gembira, cinta dan damai.

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Pengaruh Ukuran Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) Terhadap Proses Komposting Menggunakan Pupuk Organik Aktif (POA) di Dalam Komposter Menara

0 0 20

4. Apakah jenis garam yang digunakan untuk pengasinan ikan? 5. Apakah wadah yang digunakan dalam pengemasan ikan asin? 6. Dimanakah ikan asin biasanya dijemur? 7. Berapa lama waktunya penjemuran ikan asin dilakukan? - Analisis Kandungan Merkuri (Hg) dan K

0 1 39

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ruang Lingkup Lingkungan - Analisis Kandungan Merkuri (Hg) dan Kadmium (Cd) pada Beberapa Jenis Ikan Asin yang di Produksi di Kelurahan Bahari Kecamatan Medan Belawan tahun 2015

0 0 35

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Analisis Kandungan Merkuri (Hg) dan Kadmium (Cd) pada Beberapa Jenis Ikan Asin yang di Produksi di Kelurahan Bahari Kecamatan Medan Belawan tahun 2015

0 0 7

BAB 2 TINJAUAN TEORI 2.1.Transit Oriented Development (TOD) - Kajian Potensi Pengembangan Kawasan Transit Oriented Development (TOD) Di Stasiun K.A Medan

1 2 30

BAB II INFORMASI ELEKTRONIK MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK A. Pengertian Informasi Elektronik - Informasi yang Menyesatkan dalam Perdagangan Efek Tanpa Warkat Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008

0 0 11

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Informasi yang Menyesatkan dalam Perdagangan Efek Tanpa Warkat Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

0 0 19

Penilaian Kinerja RSUD Dr. Pirngadi Medan dengan Menggunakan Pendekatan Balanced Scorecard

0 0 37

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penelitian Terdahulu - Penilaian Kinerja RSUD Dr. Pirngadi Medan dengan Menggunakan Pendekatan Balanced Scorecard

0 0 38

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Penilaian Kinerja RSUD Dr. Pirngadi Medan dengan Menggunakan Pendekatan Balanced Scorecard

0 0 10