BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang - Penerapan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Penelantaran Anak Dari Perspektif Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Ta

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang

  senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak- hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari

   tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.

  Orang tua, keluarga, dan masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara hak asasi tersebut sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum. Demikian pula dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak, negara dan pemerintah bertanggung jawab menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal dan terarah.

  Pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus-menerus demi terlindunginya hak-hak anak. Rangkaian kegiatan tersebut harus

  Penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial. Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai Pancasila, serta berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa dan negara.

  Pembicaraan tentang anak dan perlindungannya tidak akan pernah berhenti sepanjang sejarah kehidupan, karena anak adalah generasi yang dipersiapkan sebagai subjek pelaksana pembangunan yang berkelanjutan dan pemegang kendali masa depan suatu negara, tidak terkecuali Indonesia. Perlindungan anak Indonesia berarti melindungi potensi sumber daya insani dan membangun manusia Indonesia seutuhnya, menuju masyarakat yang adil dan makmur, materil spiritual

   berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

  Oleh karena itu agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak

  

  mulia. Dalam Pasal 2 ayat (3) dan (4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, ditentukan bahwa: “Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan baik semasa kandungan maupun sesudah dilahirkan. Anak berhak atas perlindungan lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar.” Kedua ayat tersebut memberikan dasar pemikiran bahwa perlindungan 2 Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia, (Jakarta: PT.

  RajaGrafindo Persada, 2014), hlm. 1. 3 Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm. 8.

  anak bermaksud untuk mengupayakan perlakuan yang benar dan adil, untuk mencapai kesejahteraan anak.

  Pandangan Islam memandang anak sebagai amanah dari Tuhan Yang Maha Esa yang diberikan kepada orangtuanya. Sebagai amanah, anak sudah seharusnya mempunyai hak untuk mendapatkan pemeliharaan, perawatan, bimbingan dan

   pendidikan.

  Implementasi pandangan ini tentu saja bahwa sebagai amanah anak harus dijaga dan dirawat sebaik mungkin. Dimensi transendental direfleksikan dalam bentuk kasih sayang, sebagaimana Tuhan mengasihi umatnya melalui kesempatan kehidupan di dunia. Manifestasi kasih sayang tersebut berupa tanggung jawab untuk memenuhi hak-hak anak dan perlindungan khusus. Pada sisi lain, anak-anak diberikan kewajiban untuk menjaga norma-norma yang telah dibangun generasi terdahulu.

  Perlu diketahui bahwa sebenarnya citra dan pengertian tentang manusia dan kemanusiaan merupakan faktor yang dominan dalam menghadapi dan menyelesaikan permasalahan perlindungan terhadap anak yang merupakan permasalahan kehidupan manusia juga. Objek dan subjek pelayanan dan kegiatan perlindungan anak sama-sama mempunyai hak-hak dan kewajiban; motivasi seseorang untuk ikut serta secara tekun dan gigih dalam setiap kegiatan perlindungan anak; pandangan bahwa setiap anak itu wajar dan berhak mendapat perlindungan mental, fisik, dan sosial dari orang tua anggota masyarakat dan

  

  negara. Pandangan-pandangan tersebut jelas berdasarkan pengertian dari citra 4 Ibnu Amshori, Perlindungan Anak Menurut Perspektif Islam, (Jakarta: Komisi Perlindungan Anak Indonesia, 2007), hlm. 2. 5 Shanti Delliyana, Wanita dan Anak di Mata Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 1988), hlm. 15.

  yang tepat mengenai manusia, tidak terkecuali manusia yang disebut dengan “anak”. Masalah perlindungan anak adalah suatu masalah manusia yang

   merupakan kenyataan sosial.

  Perlindungan terhadap anak pada suatu masyarakat bangsa merupakan tolak ukur peradaban bangsa tersebut, karenanya wajib diusahakan sesuai dengan kemampuan nusa dan bangsa. Kegiatan perlindungan anak merupakan suatu

  

  tindakan hukum yang berakibat hukum. Oleh karena itu, perlu adanya jaminan hukum bagi kegiatan perlindungan anak. Kepastian hukum perlu diusahakan demi kegiatan kelangsungan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan kegiatan

   perlindungan anak.

  Akhir-akhir ini banyak muncul pemberitaan yang membicarakan tentang orang tua yang tega menelantarkan anaknya. Namun dibandingkan dengan anak yang menjadi korban tindak kekerasan, anak korban penelantaran sering kali kurang memperoleh perhatian publik secara serius karena penderitaan yang dialami korban dianggap tidak membahayakan sebagaimana layaknya anak-anak yang teraniaya secara fisik.

  Banyak anak yang ditelantarkan oleh orang tua disebabkan oleh berbagai alasan, terutama kemiskinan dan kurangnya tanggung jawab orang tua terhadap pola pengasuhan dan perawatan anak, dan beban ekonomi yang cenderung lemah 6 Arief Gosita, Masalah Perlindungan Anak, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1985), hlm.

  15. 7 Bismar Siregar, Abdul Hakim Garuda Nusantara, Suwanti Sisworahardjo, Arif Gosita, Hukum dan Hak-Hak Anak , (Jakarta: C.V. Rajawali, 1986), hlm. 23.

  Arief Gosita, Masalah Korban Kejahatan, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1993), hlm. 222.

  

  mengakibatkan anak selalu menjadi korban. Kemiskinan selalu dijadikan argumentasi menjawab kasus penelantaran anak. Alasan ini diterima masyarakat seperti hal wajar. Ada yang sengaja dibuang keluarganya dan terlunta-lunta sebagai gelandangan dan pengamen. Ibu rumah tangga juga bisa bertindak kejam dengan meninggalkan anak di rumah kontrakan dan membiarkan mereka

   kelaparan.

  Pengaruh dan dampak yang paling terlihat jika anak mengalami penelantaran adalah kurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua terhadap anak. Anak yang kurang mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya menyebabkan berkembangnya perasaan tidak aman, gagal mengembangkan perilaku akrab, dan selanjutnya akan mengalami masalah penyesuaian diri pada masa yang akan datang.

  Penelantaran anak tidak hanya merugikan si anak saja, tetapi orang tua juga harus menanggung resiko atas perbuatannya yaitu hukuman yang sesuai dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Kasus penelantaran anak sangatlah sering terjadi di Indonesia, namun penanganannya sangatlah kurang diperhatikan.

  Anak patut diberi perlindungan secara khusus oleh negara dengan Undang- Undang, karena anak termasuk dalam kelompok rentan. Perlindungan khusus tersebut berupa pembaharuan hukum dengan cara menetapkan peraturan 9 Tira, Lagi, Kasus Penelantaran Anak Kembali Terjadi, 2010,

  

diakses tanggal 16

Februari 2015, pukul 09.20 WIB. 10 Rotsania Dhamayanti, Makalah Penelantaran Anak, 2012,

diakses tanggal 16 Februari 2015,

pukul 09.25 WIB.

  perundang-undangan yang dimaksudkan untuk melindungi anak dari penelantaran, termasuk memberikan pelayanan terhadap anak yang menjadi korban penelantaran. Pembaharuan di bidang legislasi berupa pembentukan peraturan perundang-undangan diperlukan, mengingat selama ini peraturan yang ada belum memadai dan tidak sesuai dengan perkembangan hukum masyarakat, serta belum memberikan efek jera kepada pelaku karena sanksinya terlalu ringan.

  Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk membahas tentang perlindungan terhadap penelantaran anak ini dalam bentuk tulisan yang berjudul “Penerapan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Penelantaran Anak dari

  Perspektif Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak

(Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 1726 K/Pid.Sus/2009 dan Putusan Pengadilan Negeri Rantau Prapat Nomor 498/Pid.B/2014/PN.Rap)” yang akan dibahas lebih lanjut dalam penulisan skripsi ini.

B. Rumusan Masalah

  Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut: 1.

  Bagaimana perlindungan terhadap anak yang mengalami penelantaran dari perspektif hukum nasional Indonesia?

  2. Bagaimana penerapan hukum pidana terhadap pelaku penelantaran anak berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

  Sebagaimana umumnya dalam hal penulisan skripsi ataupun karya tulis ilmiah lainnya yang menjadi salah satu yang harus diperhatikan adalah tujuan penulisan. Adapun hal yang menjadi tujuan pada skripsi ini adalah: 1.

  Untuk mengetahui dan menjelaskan mengenai perlindungan terhadap anak yang mengalami penelantaran dari perspektif hukum nasional Indonesia.

  2. Untuk mengetahui dan menjelaskan mengenai penerapan hukum pidana terhadap pelaku penelantaran anak berdasarkan Undang-Undang Nomor

  23 Tahun 2002 jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

  Sedangkan yang menjadi manfaat penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

  1. Manfaat Secara Teoritis

  Pembahasan terhadap masalah-masalah dalam skripsi ini tentu akan menambah pemahaman dan pandangan baru kepada semua pihak, baik masyarakat pada umumnya maupun para pihak yang berkecimpung dengan dunia hukum pada khususnya. Skripsi ini juga diharapkan dapat memberi masukan bagi penyempurnaan perangkat peraturan perundang-undangan dan kebijakan terhadap perlindungan anak dari penelantaran.

  2. Manfaat Secara Praktis

  Penelitian skripsi ini diharapkan dapat menjadi pedoman dan bahan rujukan bagi rekan mahasiswa, masyarakat, praktisi hukum, dan juga aparat penegak hukum tentang perlindungan anak dari penelantaran.

  D. Keaslian Penulisan

  Penulisan skripsi ini berjudul “PENERAPAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU PENELANTARAN ANAK DARI PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 JO UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 1726 K/Pid.Sus/2009 dan Putusan Pengadilan Negeri Rantau Prapat Nomor 498/Pid.B/2014/PN.Rap)” belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

  Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah murni hasil pemikiran dan pemahaman dari penulis yang dikaitkan dengan teori-teori hukum yang berlaku maupun dengan fenomena penelantaran anak yang ada melalui referensi buku-buku, media elektronik, dan bantuan berbagai pihak. Dalam rangka melengkapi tugas akhir dan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dan apabila ternyata di kemudian hari terdapat judul dan permasalahan yang sama, maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap skripsi ini.

  E. Tinjauan Kepustakaan 1. Tindak Pidana dan Unsur-unsur Tindak Pidana

  Kepustakaan hukum pidana ada mengenal istilah “tindak pidana”, merupakan istilah yang dipakai sebagai terjemahan dari bahasa Belanda

  

strafbaarfeit . Sebenarnya, banyak istilah yang digunakan untuk menunjuk

  

  pengertian strafbaarfeit, antara lain : a.

  Peristiwa pidana, dipakai dalam UUDS 1950 Pasal 14 ayat (1); b.

  Perbuatan pidana, dipakai misalnya oleh UU No. 1 Tahun 1951 Tentang Tindakan Sementara, dan Cara Pengadilan-Pengadilan Sipil; c. Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, dipakai oleh UU Darurat No. 2

  Tahun 1951 Tentang Perubahan Ordonantie Tijdelijke byzondere

  bapalingen ; d.

  Hal yang diancam dengan hukum dan peraturan-peraturan yang dapat dikenakan hukuman, dipakai oleh UU Darurat No. 16 Tahun 1951 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan; e. Tindak pidana, dipakai oleh UU Darurat No. 7 Tahun 1953 Tentang

  Pemilihan Umum, UU Darurat No. 7 Tahun 1955 Tentang Tindak Pidana Ekonomi dan Penetapan Presiden No. 7 Tahun 1964 Tentang Kewajiban Kerja Bakti dalam Rangka Pemasyarakatan bagi Terpidana Karena Tindak Pidana yang Berupa Kejahatan.

  Moeljatno menerjemahkan istilah tindak pidana (strafbaarfeit) dengan perbuatan pidana. Istilah tindak pidana ini pun tidak disetujui oleh Moeljatno, antara lain karena “tindak” sebagai kata tidak begitu dikenal, maka perundang- undangan yang memakai kata “tindak pidana” baik dalam pasal-pasalnya sendiri

   maupun dalam penjelasannya hampir selalu memakai pula kata “perbuatan”.

  Menurut pendapat beliau istilah “perbuatan pidana” menunjuk kepada makna 11 Ahmad Fuad Usfa dan Tongat, Pengantar Hukum Pidana, (Malang: UMM Press, 2004), hlm. 31. 12 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hlm. 55.

  adanya suatu kelakuan manusia yang menimbulkan akibat tertentu yang dilarang hukum di mana pelakunya dapat dikenakan sanksi pidana. Dapat diartikan demikian karena kata “perbuatan” tidak mungkin berupa kelakuan alam, karena yang dapat berbuat dan hasilnya disebut perbuatan itu adalah hanya manusia.

  Istilah tindak pidana sebagai terjemahan strafbaarfeit adalah diperkenalkan oleh Departemen Kehakiman. Istilah ini banyak dipergunakan dalam undang- undang tindak pidana khusus, misalnya: Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Tindak Pidana Narkotika, dan Undang-Undang mengenai

   Pornografi yang mengatur secara khusus tindak pidana Pornografi.

  Rumusan tindak pidana dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah “criminal act”. Meskipun seseorang telah melakukan suatu perbuatan yang dilarang, belum berarti bahwa ia harus dipidana. Ia harus mempertanggungjawabkan perbuatan yang telah ia lakukan untuk menentukan

   kesalahannya, yang dikenal dengan istilah “criminal responsibility”.

  Seseorang dapat dipidana selain telah melakukan tindak pidana masih diperlukan kesalahan. Hal tersebut akan dirasakan bertentangan dengan rasa keadilan, jika orang yang tidak bersalah dijatuhi pidana. Kesalahan dan tindak pidana mempunyai hubungan yang erat, di mana kesalahan tidak dapat dimengerti tanpa adanya perbuatan yang bersifat melawan hukum.

  Rancangan KUHP mengartikan tindak pidana sebagai perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan

   dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.

  Rancangan KUHP juga mengemukakan bahwa untuk dinyatakan sebagai tindak 13 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2014), hlm. 49. 15 Suharto RM, Hukum Pidana Materil, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hlm. 29.

Pasal 11 ayat (1) Rancangan KUHP Tahun 2012.

  pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan

  

  dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Tindak pidana selalu dipandang

   bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar.

  Setelah melihat berbagai definisi di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana, di mana pengertian perbuatan di sini selain perbuatan yang bersifat aktif (melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh hukum) juga perbuatan yang bersifat pasif (tidak berbuat sesuatu yang

   sebenarnya diharuskan oleh hukum).

  Mengenai masalah unsur tindak pidana, menurut Lamintang secara umum dibedakan atas unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur subjektif adalah unsur- unsur yang melekat pada diri si pelaku atau berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk di dalamnya adalah segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-

   tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.

  Unsur-unsur subjektif dari tindak pidana meliputi: 1)

  Sifat melawan hukum

2) Kualitas dari si pelaku.

  Misalnya keadaan sebagai pegawai negeri di dalam kejahatan jabatan 16 menurut Pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus atau komisaris 17 Pasal 11 ayat (2) Rancangan KUHP Tahun 2012.

Pasal 11 ayat (3) Rancangan KUHP Tahun 2012.

19 Teguh Prasetyo, op.cit., hlm. 50.

  Lamintang dalam Ahmad Fuad Usfa dan Tongat, op.cit., hlm. 33. dari suatu perseroan terbatas di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP.

  3) Kausalitas

  Hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat.

  Sedangkan unsur-unsur objektif dari tindak pidana meliputi:

1) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa).

  2) Maksud pada suatu percobaan, seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP.

  3) Macam-macam maksud atau oogmerk, seperti terdapat dalam kejahatan- kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, dan sebagainya.

  4) Merencanakan terlebih dahulu, seperti tercantum dalam Pasal 340 KUHP, yaitu pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu.

  

  5) Perasaan takut, seperti terdapat di dalam Pasal 308 KUHP. Secara doktrinal, di antara pakar hukum tidak terjadi kesatuan pendapat mengenai tindak pidana dalam hukum pidana. Sebagian ahli hukum ada yang menganut pandangan monistis dan sebagian yang lain menganut pandangan

  dualistis . Berikut ini adalah paparan para sarjana yang menganut pandangan-

  pandangan tersebut: 1)

  Pandangan Monistis a.

  Menurut Simons, unsur-unsur tindak pidana adalah:

  a) Perbuatan manusia, dalam hal ini berbuat atau tidak berbuat atau 20 membiarkan.

  Teguh Prasetyo, op.cit. hlm. 51. b) Diancam dengan pidana.

  c) Melawan hukum.

  d) Dilakukan dengan kesalahan.

  e) Oleh orang yang mampu bertanggung jawab.

  b.

  Menurut Baumman, perbuatan pidana adalah perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan.

  c.

  Menurut Wirjono Prodjodikoro, tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana.

  2) Pandangan Dualistis

  Moeljatno, dalam pidato dies natalis UGM tahun 1955, memberi arti pada “perbuatan pidana” sebagai “perbuatan yang diancam dengan pidana, barang siapa melanggar larangan tersebut”. Menurut Moeljatno, untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur:

  1) Perbuatan (manusia),

  2) Yang memenuhi rumusan dalam Undang-undang (merupakan syarat formil), dan

  3) Bersifat melawan hukum (merupakan syarat materil).

  2. Pertanggungjawaban Pidana

  Konsep “pertanggungjawaban” dalam hukum pidana merupakan konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Ajaran kesalahan dalam bahasa Latin dikenal dengan sebutan mens rea. Doktrin mens rea dilandaskan pada suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat. Doktrin tersebut dalam bahasa Inggris dirumuskan dengan an act does not

  make a person guilty, unless the mind is legally blameworthy . Berdasarkan asas

  tersebut, ada dua syarat yang harus dipenuhi untuk dapat memidana seseorang, yaitu ada perbuatan lahiriah yang terlarang/perbuatan pidana (actus reus), dan ada

   sikap batin jahat/tercela (mens rea).

  Pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subjektif yang ada memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu. Dasar adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat perbuatan pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan perbuatan pidana tersebut. Kapan seseorang dikatakan mempunyai kesalahan menyangkut masalah

  

  pertanggungjawaban pidana. Oleh karena itu, pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya.

  Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang itu adalah tindak pidana yang dilakukannya. Terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas ‘kesepakatan menolak’ suatu perbuatan

   tertentu.

  Kesalahan dan pertanggungjawaban pidana pidana masih menyisakan berbagai persoalan dalam hukum pidana. Hal ini bukan hanya dalam lapangan 21 Hanafi, “Reformasi Sistem Pertanggungjawaban Pidana”, Jurnal Hukum IUS QUIA

  IUSTUM, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Vol. 6 No. 11 Tahun 1999, hlm. 27. 22 Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta: Aksara Baru, 1983), hlm. 75 Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan , (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 68. teoritis, tetapi lebih jauh lagi dalam praktik hukum. Kenyataan dalam praktik peradilan di Indonesia menunjukkan belum adanya kesamaan pola dalam menentukan kesalahan dan pertanggungjawaban pembuat tindak pidana. Misalnya, dalam Putusan Mahkamah Agung tanggal 18 September 1991 No. 1352/K.Pid/1991, kesalahan terdakwa dipandang terbukti dengan sendirinya ketika seluruh unsur tindak pidana telah dapat dibuktikan. Sementara itu, dalam Putusan Mahkamah Agung tanggal 18 Mei 1992 No. 14K/Pid/1992, Majelis Hakim Agung setelah mempertimbangkan bahwa tindak pidana yang didakwakan terbukti, juga mempertimbangkan kesengajaan terdakwa dalam menentukan pertanggungjawaban pidananya. Sekalipun dalam rumusan tindak pidana yang didakwakan tidak terdapat unsur ‘dengan sengaja’, tetapi hal ini dipertimbangkan majelis hakim. Hal ini dapat dipandang kesalahan terdakwa dipertimbangkan

   setelah dan di luar dari tindak pidana yang didakwakan.

  Baik negara-negara civil law maupun common law, umumnya pertanggungjawaban pidana dirumuskan secara negatif. Hal ini berarti, dalam hukum pidana Indonesia, sebagaimana civil law system lainnya, undang-undang justru merumuskan keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan pembuat tidak

  

  dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, yang diatur adalah keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan pembuat tidak dipidana (strafuitsluitingsgronden), yang untuk sebagian adalah alasan penghapus kesalahan. Sedangkan dalam praktik peradilan di negara-negara common law, diterima berbagai alasan umum 25 Ibid, hlm. 1.

  

Andi Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, (Jakarta: Sinar Grafika, 1983), hlm. 260. pembelaan (general defence) ataupun alasan umum peniadaan pertanggungjawaban (general excusing of liability).

  Perumusan pertanggungjawaban pidana secara negatif dapat terlihat dari ketentuan Pasal 44, 48, 49, 50, dan 51 KUHP. Kesemuanya merumuskan hal-hal yang dapat mengecualikan pembuat dari pengenaan pidana. Pengecualian pengenaan pidana di sini dapat dibaca sebagai pengecualian adanya pertanggungjawaban pidana. Dalam hal tertentu dapat berarti pengecualian adanya kesalahan.

  Merumuskan pertanggungjawaban pidana secara negatif, terutama berhubungan dengan fungsi represif hukum pidana. Dalam hal ini, dipertanggungjawabkannya seseorang dalam hukum pidana berarti dipidana. Dengan demikian, konsep pertanggungjawaban pidana merupakan syarat-syarat yang diperlukan untuk mengenakan pidana terhadap seorang pembuat tindak pidana. Sementara itu, berpangkal tolak pada gagasan monodualistik (daad en

  dader strafrecht ), proses wajar (due process) penentuan pertanggungjawaban

  pidana, bukan hanya dilakukan dengan memerhatikan kepentingan masyarakat, tetapi juga kepentingan pembuatnya itu sendiri. Proses tersebut bergantung pada dapat dipenuhinya syarat dan keadaan dapat dicelanya pembuat tindak pidana, sehingga sah jika dijatuhi pidana.

  Pertanggungjawaban pidana karenanya harus dapat dihubungkan dengan fungsi preventif hukum pidana. Pada konsep tersebut harus terbuka kemungkinan untuk sedini mungkin pembuat menyadari sepenuhnya tentang konsekuensi hukum perbuatannya. Dengan demikian, konsekuensi atas tindak pidana merupakan risiko yang sejak awal dipahami oleh pembuat.

  Mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana bukan hanya berarti sah menjatuhkan pidana terhadap orang itu, tetapi juga sepenuhnya dapat diyakini bahwa memang pada tempatnya meminta pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukannya.

3. Anak dan Perlindungan Terhadap Anak

  Sejarah mencatat dan membuktikan bahwa anak adalah pewaris dan pembentuk masa depan bangsa. Oleh karena itu, pemajuan, pemenuhan dan penjaminan perlindungan hak anak, serta memegang teguh prinsip-prinsip non- diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, melindungi kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, serta menghormati pandangan/pendapat anak dalam setiap hal yang menyangkut dirinya, merupakan prasyarat mutlak dalam upaya perlindungan anak yang efektif guna pembentukan watak serta karakter bangsa.

  Menurut pengetahuan umum, yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang lahir dari hubungan pria dan wanita. Sedangkan yang diartikan dengan anak- anak adalah seseorang yang masih di bawah usia tertentu dan belum dewasa serta belum kawin. Pengertian yang dimaksud merupakan pengertian yang sering kali dijadikan pedoman dalam mengkaji berbagai persoalan tentang anak.

  Dipandang dari sudut ilmu pengetahuan, yang dijadikan kriteria untuk menentukan pengertian anak pada umumnya didasarkan kepada batas usia tertentu. Namun demikian, karena setiap bidang ilmu dan lingkungan masyarakat 26 Komisi Nasional Perlindungan Anak, Sejarah Komisi Nasional Perlindungan Anak,

  

2011, diakses tanggal 19 Februari 2015, pukul 10.03 WIB. mempunyai ketentuan tersendiri sesuai dengan kepentingannya masing-masing, maka sampai saat ini belum ada suatu kesepakatan dalam menentukan batas usia seseorang dikategorikan sebagai seorang anak.

  Masyarakat Indonesia yang berpegang teguh kepada hukum adat, walaupun diakui adanya perbedaan antara masa anak-anak dan dewasa, namun perbedaan tersebut bukan hanya didasarkan kepada batas usia semata-mata melainkan didasarkan pula kepada kenyataan-kenyataan sosial dalam pergaulan hidup masyarakat.

  Begitu juga dalam pandangan hukum Islam, untuk membedakan antara anak dan dewasa tidak didasarkan pada batas usia. Bahkan tidak dikenal adanya pembedaan antara anak dan dewasa sebagaimana diakui dalam pengertian hukum adat. Dalam ketentuan hukum Islam hanya mengenal perbedaan antara anak-anak (belum balig dan balig).

  Ditinjau dari aspek psikologis, pertumbuhan manusia mengalami fase-fase perkembangan kejiwaan yang masing-masing ditandai dengan ciri-ciri tertentu.

  Untuk menentukan kriteria seseorang anak, di samping ditentukan atas dasar batas usia, juga dapat dilihat dari pertumbuhan dan perkembangan jiwa yang dialaminya. Dalam fase-fase perkembangan yang dialami seorang anak, Zakiah

27 Daradjat menguraikan bahwa: 1.

  Masa kanak-kanak, terbagi dalam:

  a. Masa bayi, yaitu masa seseorang anak dilahirkan sampai umur dua tahun.

  b. Masa kanak-kanak pertama, yaitu antara usia 2-5 tahun. 27 c. Masa kanak-kanak terakhir, yaitu antara 5-12 tahun.

  

Zakiah Daradjat, Remaja Harapan dan Tantangan, (Jakarta: Ruhama, 1994), hlm. 11. d. Masa remaja, antara usia 13-20 tahun.

  e. Masa dewasa muda, antara usia 21-25 tahun. Adanya fase-fase perkembangan yang dialami dalam kehidupan seorang anak, memberikan gambaran bahwa dalam pandangan psikologi untuk menentukan batasan terhadap seorang anak nampak adanya berbagai macam kriteria, baik didasarkan pada segi usia maupun dari perkembangan pertumbuhan jiwa. Dapat disimpulkan bahwa yang dapat dikategorikan sebagai seorang anak adalah sejak masa bayi hingga masa kanak-kanak terakhir, yaitu sejak dilahirkan sampai usia 12 tahun. Namun karena dikenal adanya masa remaja, maka setelah masa kanak-kanak berakhir seorang anak belum dapat dikategorikan sebagai orang yang sudah dewasa, melainkan baru menginjak remaja (pubertas).

  Atas dasar hal tersebut, seseorang dikualifikasikan sebagai seorang anak apabila ia berada pada masa bayi hingga masa remaja awal, antara usia 16-17 tahun.

  Secara yuridis kedudukan seorang anak menimbulkan akibat hukum. Dalam lapangan hukum pidana, akibat hukum terdapat kedudukan seorang anak menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana.

  Dalam konvensi tentang Hak-Hak Anak, secara tegas dinyatakan bahwa: “For the purposes of the convention, a child means every human being below the

  

age of 18 years unless, under the law applicable to the the child, majority is

   attained earlier ”. 28 The United Nations Children’s Fund, Convention on the Right of the Child, Resolusi PBB Nomor 44/25, 20 November 1989. Pengertian anak menurut konvensi ini adalah setiap orang

yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak

ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal.

  Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, merumuskan pengertian anak sebagai berikut: “Anak adalah seorang yang yang belum mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.”

  Penjelasannya diuraikan lebih lanjut bahwa batas umur 21 tahun ditetapkan karena berdasarkan pertimbangan kepentingan usaha kesejahteraan sosial, tahap kematangan sosial, kematangan pribadi, dan kematangan mental seorang anak dicapai pada umur tersebut.

  Selanjutnya dijelaskan pula bahwa batas umur 21 tahun tidak mengurangi ketentuan batas dalam peraturan perundang-undangan lainnya, dan tidak pula mengurangi kemungkinan anak melakukan perbuatan sejauh ia mempunyai kemampuan untuk itu berdasarkan hukum yang berlaku.

  Dari kajian aspek hukum pidana, persoalan untuk menentukan kriteria seorang anak walaupun secara tegas didasarkan pada batas usia, namun apabila diteliti beberapa ketentuan dalam KUHP yang mengatur masalah batas usia anak, juga terdapat keanekaragaman: a.

  Seseorang yang dikategorikan berada di bawah umur atau belum dewasa

   apabila ia belum mencapai umur 16 tahun (Pasal 45 KUHP).

  b.

  Batas kedewasaan apabila sudah mencapai umur 17 tahun (Pasal 283 KUHP).

  c.

  Batas umur dewasa bagi seorang wanita adalah 15 tahun (Pasal 287 KUHP).

  Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, Pasal 45, 46, dan 47 dinyatakan dicabut dan tidak berlaku. Dari ketiga ketentuan tersebut, apabila diterapkan terhadap persoalan pertanggungjawaban pidana maka yang dikategorikan sebagai anak (di bawah umur) adalah apabila belum mencapai usia 16 tahun. Hal inilah yang membedakan keadaan seseorang termasuk dalam kategori sebagai seorang anak atau seseorang yang telah dewasa.

  Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, anak adalah yang telah berumur 12 (dua belas) tahun,

  

  tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun. Batas usia tersebut sejalan dengan penentuan seorang anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Dalam undang-undang tersebut, anak didik pemasyarakatan, baik anak pidana, anak negara maupun anak sipil adalah anak binaan yang belum mencapai usia 18 tahun. Begitu juga menurut Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam

   kandungan.

  Konsep KUHP menentukan usia 18 tahun sebagai batas pertanggungjawaban bagi seorang anak. Secara tegas Pasal 113 Konsep KUHP tahun 2012 menyatakan:

  (1) Anak yang belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak 30 pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan.

  Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

  (2) Pidana dan tindakan bagi anak hanya berlaku bagi orang yang berumur antara 12 (dua belas) tahun dan 18 (delapan belas) tahun yang melakukan

   tindak pidana.

  Dikategorikan seorang anak di bawah umur apabila seorang anak berada di antara usia 12 tahun sampai 21 tahun. Namun dari beberapa peraturan perundang- undangan yang dibentuk pada periode selanjutnya secara umum membatasi kategori seorang anak pada usia di bawah 18 tahun.

  Menurut Pasal 1 Nomor 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, disebutkan bahwa: “Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

  Istilah “perlindungan anak” (child protection) digunakan dengan secara berbeda oleh organisasi yang berbeda di dalam situasi yang berbeda pula. Istilah tersebut mengandung arti perlindungan dari kekerasan, abuse, dan eksploitasi. Dalam bentuknya yang paling sederhana, perlindungan anak mengupayakan agar setiap hak sang anak tidak dirugikan. Perlindungan anak bersifat melengkapi hak- hak lainnya dan menjamin bahwa anak-anak akan menerima apa yang mereka butuhkan agar supaya mereka bertahan hidup, berkembang dan tumbuh.

32 Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Kitab Undang-undang Hukum

  

Pidana. Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi

Manusia, tahun 2012.

  Perlindungan anak mencakup masalah penting dan mendesak, beragam dan

   bervariasi tingkat tradisi dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.

  Komitmen negara dalam perspektif kenegaraan adalah untuk melindungi warga negaranya termasuk di dalamnya terhadap anak, dapat ditemukan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Hal tersebut tercermin dalam kalimat: “... Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu ...”.

  Komitmen yuridis negara untuk melindungi warga negaranya sebagaimana disebutkan dalam alinea ke-IV UUD 1945 tersebut, selanjutnya dijabarkan Bab

  XA tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Khusus untuk perlindungan anak, Pasal

  28B ayat (2) UUD 1945 menyatakan: “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dan kekerasan dari diskriminasi.

  Perlindungan terhadap anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak- hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan

33 UNICEF, Perlindungan Anak: Sebuah Buku Panduan bagi Anggota Dewan Perwakilan

  

Rakyat, 2004, diakses tanggal 19 Februari 2015, pukul 10.10 WIB. dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya Indonesia yang berkualitas,

   berakhlak mulia, dan sejahtera.

  Berdasarkan Konvensi Hak Anak yang kemudian diadopsi dalam Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, ada empat “Prinsip Umum Perlindungan Anak” yang harus menjadi dasar bagi setiap negara dalam

  

  menyelenggarakan perlindungan anak, antara lain: a.

  Prinsip Nondiskriminasi Semua hak yang diakui dan terkandung dalam Konvensi Hak Anak harus diberlakukan kepada setiap anak tanpa pembedaan apapun. Prinsip ini sangat jelas, memerintahkan kepada Negara-Negara Pihak untuk tidak sekali-kali melakukan praktik diskriminasi terhadap anak dengan alasan apapun. Dengan demikian, siapa pun di negeri ini tidak boleh memperlakukan anak dengan memandang ia berasal dari aliran atau etnis apa pun.

  b.

  Prinsip Kepentingan Terbaik bagi Anak (Best Interest of the Child) Prinsip ini mengingatkan kepada semua penyelenggara perlindungan anak bahwa pertimbangan-pertimbangan dalam pengambilan keputusan menyangkut masa depan anak, bukan dengan ukuran orang dewasa, apalagi berpusat kepada kepentingan orang dewasa. Apa yang menurut orang dewasa baik, belum tentu baik pula menurut ukuran kepentingan anak. Boleh jadi maksud orang dewasa memberikan bantuan dan menolong, tetapi yang sesungguhnya terjadi adalah penghancuran masa depan anak. 34 Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. 35 Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010), hlm. 53

  c.

  Prinsip Hak Hidup, Kelangsungan Hidup, dan Perkembangan (the Right to

  Life, Survival and Development )

  Pesan dari prinsip ini sangat jelas bahwa negara harus memastikan setiap anak akan terjamin kelangsungan hidupnya karena hak hidup adalah sesuatu yang melekat dalam dirinya, bukan pemberian dari negara atau orang per orang. Untuk menjamin hak hidup tersebut berarti negara harus menyediakan lingkungan yang kondusif, sarana dan prasarana hidup yang memadai, serta akses setiap anak untuk memperoleh kebutuhan-kebutuhan dasar.

  Dengan kata lain, negara tidak boleh membiarkan siapa pun, atau institusi mana pun, dan kelompok masyarakat mana pun mengganggu hak hidup seorang anak.

  Hal demikian juga berlaku untuk pemenuhan hak tumbuh dan berkembang. Tumbuh menyangkut aspek-aspek fisik, dan berkembang menyangkut aspek- aspek psikis. Implementasi prinsip ini berarti negara melalui instrumen regulasi nasional maupun institusi nasional yang dimiliki harus mendorong tumbuh kembang anak secara optimal. Jangankan melakukan eksploitasi, kekerasan, dan diskriminasi, pengabaian pun sangat dilarang karena akan mengganggu tumbuh kembang anak.

  d.

  Prinsip Penghargaan Terhadap Pendapat Anak (Respect for the Views of the

  Child )

  Poin terpenting dari prinsip ini, anak adalah subjek yang memiliki otonomi kepribadian. Oleh sebab itu, dia tidak bisa hanya dipandang dalam posisi lemah, menerima, dan pasif, tetapi sesungguhnya dia pribadi otonom yang memiliki pengalaman, keinginan, imajinasi, obsesi, dan aspirasi yang belum tentu sama dengan orang dewasa.

F. Metode Penelitian

  Adapun metode penelitian hukum yang digunakan dalam mengerjakan skripsi ini meliputi:

  1. Jenis Penelitian

   Jenis penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif

  yaitu metode penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bagian pustaka atau data sekunder. Penelitian hukum normatif disebut juga sebagai penelitian kepustakaan atau studi dokumen. Penelitian hukum normatif disebut juga sebagai penelitian hukum doktriner karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau badan hukum yang lain. Penelitian hukum ini disebut juga sebagai penelitian kepustakaan atau studi dokumen disebabkan karena penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan.

  2. Jenis Data dan Sumber Data

  Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder. Data sekunder diperoleh dari:

  1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, berupa peraturan perundang-undangan antara lain: Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, Undang- 36 Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 51.

  Manusia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

  2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti misalnya, rancangan undang- undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan

   seterusnya.

  3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Contohnya

   adalah kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif dan seterusnya.

3. Analisis Data

  Data yang diperoleh dari penelusuran kepustakaan anak dianalisis dengan menggunakan metode deduktif dan induktif yang berpedoman kepada teori-teori hukum pidana khususnya tentang penelantaran anak. Analisis secara deduktif artinya semaksimal mungkin penulis berupaya memaparkan data-data sebenarnya.

  Analisis secara induktif artinya berdasarkan yurisprudensi dan peraturan-peraturan yang berlaku di Indonesia tentang Perlindungan Anak yang dijadikan pedoman untuk mengambil kesimpulan yang bersifat khusus berdasarkan data yang diperoleh dari penelitian. 38 Ibid, hlm. 52 Ibid

G. Sistematika Penulisan

  Sistematika adalah gambaran singkat secara menyeluruh dari suatu karya ilmiah, dalam hal ini adalah penulisan skripsi. Adapun sistematika ini bertujuan untuk membantu para pembaca dengan mudah membaca skripsi ini. Penulisan skripsi ini terbagi atas 3 (tiga) bagian, yaitu:

Bab I Pendahuluan Bab ini merupakan bab yang menguraikan latar belakang penulisan

  skripsi ini, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan, menguraikan tentang tinjauan kepustakaan yang membahas mengenai tindak pidana dan unsur-unsur tindak pidana, pertanggungjawaban pidana dan anak dan perlindungan terhadap anak.

  

Bab II Perlindungan Terhadap Anak yang Mengalami Penelantaran

dari Perspektif Hukum Nasional Indonesia

  Bab ini memberikan pemaparan tentang pengaturan hukum yang menyangkut penelantaran anak, yakni: Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak.

  

Bab III Penerapan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Penelantaran

Anak Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak Secara umum bab ini terdiri atas 3 sub-bab yaitu: sub-bab pertama

  membahas tentang anak korban penelantaran anak, yang terdiri atas 2 pembahasan yaitu bentuk-bentuk penelantaran anak dan faktor- faktor penyebab penelantaran anak. Sub-bab kedua tentang aspek hukum pidana terhadap penelantaran anak dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak Tentang Perlindungan Anak dan sub-bab ketiga membahas tentang penerapan hukum pidana terhadap pelaku penelantaran anak berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak Tentang Perlindungan Anak yang terbagi atas 2 bagian yaitu contoh kasus dan analisis kasus penelantaran anak.

  Bab IV Kesimpulan dan Saran Bab ini merupakan bab terakhir dari pembahasan penulis yang

  berisikan kesimpulan dari seluruh pembahasan serta saran dari penulis.

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Konsep dan Ruang Lingkup Perencanaan Transportasi Menurut LPM ITB (1997) , permasalahan transportasi bertambah parah baik di negara - Bangkitan Pergerakan Keluarga pada Perumnas J-City di Kecamatan Medan Johor

1 0 19

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang Kota Medan merupakan ibu kota dari Provinsi Sumatera Utara yang secara adminstratif - Bangkitan Pergerakan Keluarga pada Perumnas J-City di Kecamatan Medan Johor

0 0 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan - Formulasi Tablet Hisap Nanopartikel Daun Sirih Merah (Piper Crocatum Ruiz & Pav.) Secara Granulasi Basah

0 0 14

Respon Pertumbuhan Tembakau (Nicotiana tabacum L.) Terhadap Pemberian Debu Vulkanik Gunung Sinabung Dan Dosis Pupuk Kompos

0 0 32

Respon Pertumbuhan Tembakau (Nicotiana tabacum L.) Terhadap Pemberian Debu Vulkanik Gunung Sinabung Dan Dosis Pupuk Kompos

0 0 9

Respon Pertumbuhan Tembakau (Nicotiana tabacum L.) Terhadap Pemberian Debu Vulkanik Gunung Sinabung Dan Dosis Pupuk Kompos

0 0 13

Sikap Petani Terhadap Kemitraan Kelompok Tani Bunga Sampang Dengan Perusahaan Dagang Rama Putra

0 1 14

BAB II TINJUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN - Sikap Petani Terhadap Kemitraan Kelompok Tani Bunga Sampang Dengan Perusahaan Dagang Rama Putra

0 0 14

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Posisi Foramen Mentalis Pada Mahasiswa Suku Batak Ditinjau Dari Radiografi Panoramik Di Fkg Usu

0 0 11

b) Pasal 305 KUHP - Penerapan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Penelantaran Anak Dari Perspektif Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak

1 1 19