BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lansia - Kualitas Hidup Lansia Pemakai Gigitiruan Penuh yang Dibuat Mahasiswa Kepaniteraan Klinik Prostodonsia RSGMP FKG USU Tahun 2013

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lansia

  Dengan adanya keberhasilan pembangunan, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa perbaikan dalam berbagai aspek kehidupan, akibatnya kualitas hidup manusia semakin baik. Adanya kesejahteraan sosial masyarakat semakin meningkat, menurunnya mortalitas bayi dan anak, metode persalinan yang baik, turunnya angka kematian, kemajuan diagnostik dan terapi, perbaikan gizi dan sanitasi serta meningkatnya pengawasan penyakit infeksi maka jumlah lanjut usia semakin

  24 bertambah dari tahun ke tahun.

2.1.1 Pengertian Lansia

  Menurut Undang-Undang No 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia,

  3,25

  lansia adalah orang yang telah mencapai usia 60 tahun keatas. Bertambahnya usia maka secara perlahan beberapa fungsi biologis juga akan mengalami kemunduran. Hal ini disebabkan karena adanya proses penuaan yang disebut dengan aging process.

  

Aging merupakan suatu proses menghilangnya secara perlahan kemampuan jaringan

  untuk memperbaiki/ mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan

  25,26 memperbaiki kerusakan yang diderita.

  Beberapa penelitan terhadap lansia mengungkapkan bahwa rangsangan dapat membantu mencegah kemunduran fisik dan mental. Lansia secara fisik dan mental tetap aktif dimasa tua tidak terlalu menunjukkan kemunduran fisik dan mental dibanding dengan lansia yang menjadi tidak aktif yang disebabkan kemampuan fisik

  26 dan mental mereka sedikit sekali memperoleh rangsangan.

2.1.2 Klasifikasi Lansia

  Menurut Undang-Undang No. 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia

  3

  dalam Mariam, dkk (2008) lansia dibagi menjadi lima klasifikasi yaitu: a.

  Pralansia (prasenilis), seseorang yang berusia antara 45-59 tahun.

  b.

  Lansia, seseorang yang berusia 60 tahun keatas, c. Lansia resiko tinggi, seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih/ seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan.

  d.

  Lansia potensial, seseorang yang masih mampu melakukan pekerjaan dan mampu melakukan kegiatan untuk menghasilkan barang atau jasa.

  e.

  Lansia tidak potensial, seseorang yang tidak berdaya mencari nafkah , sehingga hidupnya bergantung pada orang lain.

  World Health Organization mengklasifikasikan lansia menjadi empat

  kelompok yaitu: middle age (45 – 49 tahun), elderly (60-74 tahun), old (75-79 tahun),

  

very old ( diatas 90 tahun). Sementara di Indonesia batas dari umur lansia adalah 60

  24 tahun keatas.

2.2 Perubahan Jaringan Rongga Mulut Pada Pasien Lansia

  Perubahan pada struktur orofasial akibat pertambahan usia mempunyai peranan yang penting dalam perawatan pasien lansia. Beberapa perubahan ini membuat prosedur klinis tertentu menjadi lebih sulit dan akan mempengaruhi prognosisnya, terutama berlaku pada perawatan prostodonsia. Beberapa perubahan

  27,28

  jaringan rongga mulut yang diakibatkan oleh penuaan diantaranya:

  a. Perubahan tulang rahang dan tulang alveolar Pada lansia terutama wanita makin banyak proporsi tulang kortikal yang dipenuhi oleh pusat resorpsi, terutama dekat permukaan endosteum. Faktor tambahan pada kerusakan tulang karena usia, hal ini disebabkan ketidakseimbangan antara resorpsi dan penggantian tulang pada sistem Haversian. Penuaan juga mempengaruhi struktur internal tulang yaitu terjadi penurunan ketebalan kortikal yang lebih besar pada wanita daripada pria. Selain itu tulang biasanya lebih rapuh dengan meningkatnya jumlah fraktur mikro dari trabekula yang tipis yang sembuh dengan lambat karena remodeling yang melemah. Juga ada peningkatan porositas tulang yang

  28 terutama diakibatkan oleh meningkatnya ruangan vascular.

  Tulang alveolar juga mengalami perubahan berupa hilangnya mineral tulang secara umum oleh karena usia melalui resorpsi matriks tulang. Proses ini dapat dipercepat oleh tanggalnya gigi, penyakit periodontal, protesa yang tidak adekuat, dan karena menderita penyakit sistemik. Penurunan yang hebat dari tinggi alveolar seringkali merupakan akibat pemakaian gigitiruan lengkap dalam jangka waktu yang panjang. Di duga bahwa resorpsi alveolar merupakan akibat yang tidak bisa dihindari dari pemakaian gigitiruan. Pemakaian gigitiruan mempunyai potensi untuk

  28 membebani dan merusak tulang alveolar di bawahnya.

  Resorbsi yang berlebihan dari tulang alveolar mandibula menyebabkan foramen mentale mendekati puncak linggir alveolar. Puncak tulang alveolar yang mengalami resorbsi berbentuk konkaf atau datar dengan akhir seperti ujung pisau. Resorbsi berlebihan pada puncak tulang alveolar mengakibatkan bentuk linggir yang

  29 datar akibat hilangnya lapisan kortikalis tulang.

  Secara umum bentuk tulang alveolar ada tiga macam, yaitu bentuk “U” bila permukaan labial atau bukal sejajar dengan permukaan lingual atau palatal, bentuk “V” bila puncak tulang sempit dan tajam seperti pisau dan bentuk “bulbous” bila

  30,31 melebar pada puncak dan berleher sehingga dapat menimbulkan gerong.

  Gambar 1. Bentuk tulang alveolar “U” (kiri), bentuk tulang alveolar “V” (tengah) dan bentuk

  30,31 tulang alveolar “bulbous” (kanan).

  Resorbsi linggir alveolar sudah banyak dikemukakan dalam teori-teori dan hasil penelitian. Penelitian Kalk dan Baat (dalam Felton, 2011) juga menyatakan ada

  18 hubungan langsung antara lamanya kehilangan gigi dengan resorbsi tulang.

  Menurut Atwood (dalam Linda, 2009) kecepatan resorbsi tulang alveolar bervariasi antar individu. Resorbsi paling besar terjadi pada enam bulan pertama sesudah pencabutan gigi anterior atas dan bawah. Pada rahang atas, sesudah 3 tahun, resorbsi

  29 sangat kecil dibandingkan rahang bawah.

  b. Perubahan pada sendi temporomandibula (TMJ) Penelitian tentang otot-otot penutupan mulut menunjukan perpanjangan fase kontraksi sejalan dengan usia, menunjukan perubahan umum dari otot atau hilangnya serabut otot untuk pergerakan mandibula berkaitan dengan pertambahan usia. Hal ini dapat menyebabkan munculnya gangguan TMJ yang biasanya ditandai dengan adanya suara kliking saat membuka rahang, rasa nyeri pada saat membuka mulut, adanya rasa tidak nyaman ketika mengunyah, kepala terasa sakit dan adanya

  32

  pergeseran deviasi pembukaan mulut. Disamping itu adanya reduksi lebih lanjut pada ketebalan otot rahang yang lebih banyak ditemukan pada orang yang tidak bergigi dibandingkan dengan yang masih bergigi, juga membuktikan bahwa tingkat tekanan kunyah berkurang pada pasien yang gigi geligi aslinya sudah diganti dengan

  28 gigitiruan.

  c. Perubahan kelenjar saliva dan aliran saliva Kelenjar saliva berfungsi memproduksi saliva untuk mempertahankan kesehatan mulut. Pertambahan usia menyebabkan perubahan dan kemunduran fungsi

  29,31

  kelenjar saliva. Fungsi kelenjar saliva yang mengalami penurunan tersebut merupakan suatu keadaaan normal pada proses penuaan manusia. Lansia mengeluarkan jumlah saliva yang lebih sedikit pada keadaan istirahat, saat berbicara, maupun saat makan. Keluhan berupa xerostomia atau mulut kering sering ditemukan pada orang tua daripada orang muda yang disebabkan oleh perubahan karena usia pada kelenjar itu sendiri. Berdasarkan penelitian terjadinya degenerasi epitel saliva, atrofi, hilangnya asini dan fibrosis terjadi dengan frekuensi dan keparahan yang meningkat dengan meningkatnya usia. Secara umum dapat dikatakan bahwa saliva nonstimulasi (istirahat) secara keseluruhan berkurang volumenya pada usia tua.

  Xerostomia juga dapat disebabkan oleh pemakaian obat-obatan oleh pasien, biasanya

  27,28 untuk mengatasi keluhan pencernaan, depresi, atau insomnia.

  Pengurangan aliran saliva ini juga akan mengganggu retensi jika dibuatkan gigitiruan, karena mengurangi ikatan adhesi saliva diantara dasar gigitiruan dan jaringan lunak dan menyebabkan iritasi mukosa. Keadaan ini menyebabkan kemampuan pemakaian gigitiruan berkurang sehingga kemampuan mengunyah berkurang, kecekatan gigitiruan berkurang, kepekaan pasien terhadap gesekan-

  29,31 gesekan dari gigitiruan bertambah.

  d. Perubahan mukosa mulut Pertambahan usia menyebabkan sel epitel pada mukosa mulut mengalami penipisan, berkurangnya keratinisasi, berkurangnya kapiler dan suplai darah,

  28,29

  penebalan serabut kolagen pada lamina propia. Berkurangnya ketebalan mukosa bervariasi, hal ini juga akan menyebabkan berkurangnya kemampuan mukosa dalam menerima tekanan. Secara umum mukosa memiliki kompresibilitas normal sebesar 2

  31

  mm. Akibat dari klinis mukosa mulut tersebut terlihat kondisi yang lebih pucat, tipis

  30

  kering, dengan proses penyembuhan yang melambat. Hal ini menyebabkan mukosa mulut lebih mudah mengalami iritasi mekanis, kemis dan bakteri. Atropi umum dapat

  28 dikaitkan dengan menurunnya output estrogen karena menopause.

  Mukosa yang sehat memiliki warna merah muda, namun adanya warna kemerahan yang mencolok pada mukosa menandakan terjadinya suatu inflamasi. Hal ini bisa saja disebabkan oleh merokok, adanya infeksi atau penyakit sistemik dan bisa juga disebabkan oleh karena rasa sakit dari pemakaian gigitiruan pada lansia. Radang mukosa dapat dikaitkan dengan kekurangan vit. B12, riboflavin dan zat besi pada diet pasien lanjut usia. Kekurangan vit. C dapat menyebabkan lambatnya penyembuhan

  29 luka, kerapuhan kapiler dan perdarahan serta pembengkakan pada gingiva.

  Perubahan mukosa akibat proses penuaan pada penggunaan gigitiruan digambarkan sebagai batas patologis tetapi tanpa peradangan klinis yang nyata,

  32 penurunan ketebalan mukosa biasa terjadi pada mukosa pendukung gigitiruan.

  Wanita pemakai gigitiruan mempunyai mukosa yang lebih tipis daripada pria pemakai gigitiruan dan menunjukkan predisposisi yang lebih besar terhadap

  27,28 kerusakan mukosa.

  e. Perubahan lidah pengecapan Adanya atrofi lidah pada lansia menyebabkan lidah menjadi halus karena kehilangan papila, mengkilat atau merah dan meradang. Bermacam-macam gejala dapat terjadi pada mukosa lidah dengan keluhan-keluhan nyeri, panas atau sensasi rasa yang berkurang. Sensasi ini biasanya pada orang usia lanjut dan pada wanita pasca menopause. Besarnya lidah mungkin tidak kaitannya dengan usia, tetapi hilangnya gigi dapat menyebabkan lidah melebar karena perkembangan yang berlebihan dari bagian otot intrinsik lidah. Munculnya kebiasaan mendorong lidah yang berkaitan dengan ketegangan saraf dan dengan upaya pengendalian gigitiruan

  27,28 juga menyebabkan nyeri pada lidah.

  2.3 Kehilangan Gigi Keseluruhan

  Kehilangan seluruh gigi (edentulus) merupakan masalah yang paling umum dialami oleh lansia. Edentulus berdampak pada struktur orofasial, seperti jaringan tulang, sistim persyarafan, reseptor dan otot-otot. Edentulus juga memberi dampak negatif pada mastikasi, estetik dan oral health related quality of life (OHRQoL). Jumlah kehilangan gigi yang banyak akan menyebabkan penurunan kemampuan pengunyahan dan pemilihan jenis makanan tertentu. Keadaan edentulus mempengaruhi penurunan berat badan karena masalah pengunyahan, lebih lanjut

  18,27 menyebabkan gangguan psikologis dan sosial karena gangguan estetik dan bicara.

  2.4 Gigitiruan Penuh

  Gigitiruan Penuh (GTP) merupakan gigitiruan yang menggantikan kehilangan seluruh gigi pada rahang atas dan rahan bawah (edentulus) serta jaringan pendukung

  31

  atau mukosa serta memperbaiki sistem stomatogonasi. Pada keadaan lansia yang edentulous, GTP menjadi suatu kebutuhan untuk mengatasi masalah yang

  8 berhubungan dengan fungsi mastikasi, estetik, sosial dan psikologis.

  2.4.1 Indikasi Pemakaian Gigitiruan Penuh 33,34

  Beberapa indikasi pemakaian GTP di antaranya: a. Pasien dengan kehilangan seluruh gigi b.

  Pasien yang masih memiliki beberapa gigi yang harus dicabut karena kerusakan gigi yang tidak mungkin diperbaiki dan apabila dibuatkan gigitiruan sebagian lepasan, gigi yang masih ada akan mengganggu keberhasilannya.

  c.

  Keadaan umum dan kondisi rongga mulut pasien sehat.

  d.

  Ada persetujuan mengenai waktu, biaya dan prognosis yang akan diperoleh.

  2.4.2 Fungsi Gigitiruan Penuh 27,33,34

  Beberapa fungsi dari GTP adalah : a. Memperbaiki fungsi pengunyahan

  Gigitiruan penuh harus memiliki keseimbangan oklusi yang tepat untuk memperoleh stabilitas GTP yang optimum pada saat menerima beban pengunyahan.

  b.

  Memperbaiki fungsi estetis Anasir pada GTP dapat memperbaiki vertikal dimensi, memberi dukungan pada bibir dan pipi, serta mengembalikan kontur wajah yang hilang.

  c.

  Memperbaiki fungsi bicara Gigitiruan penuh dapat mengembalikan pengucapan huruf-huruf yang dihasilkan melalui bantuan gigi, bibir dan lidah seperti: bilabial (b, p, m) didukung oleh bibir atas dan bawah, labiodental (f, v) didukung oleh gigi insisivus atas dan bibir bawah, linguoalveolar (t, d, s, z, v, j, l) didukung oleh lidah dan bagian anterior palatum dan linguodental (th, ch,sh) didukung oleh lidah diantara gigi anterior atas dan bawah.

2.4.3 Masalah Dalam Membuat Gigitiruan Penuh dan Dihubungkan Dengan Kualitas Hidup

  Ada beberapa masalah dalam membuat gigitiruan penuh yang terkait dengan kualitas hidup, diantaranya:

  11,34 a.

  Masalah dalam menstabilkan gigitiruan di dalam rongga mulut, keadaan rongga mulut yang edentulous harus mampu menerima beban yang diberikan oleh gigitiruan.

  b.

  Masalah dalam memberikan dukungan bagi gigitiruan, satu-satunya jaringan yang tersedia untuk mendukung GTP adalah mukosa alveolar, bersama dengan sisa tulang alveolar, dan tulang basal yang mendasarinya. Untuk rahang atas, dukungan tambahan bisa diperoleh dari palatum.

  c.

  Masalah dalam stabilisasi hubungan rahang, dalam mulut edentulus ditemukan hubungan rahang maksila dan mandibula tidak tepat atau vertikal dimensi yang sudah berkurang, hubungan yang tidak cocok dapat menyebabkan masalah yang terkait dengan sendi temporomandibular dan otot pengunyahan, atau merata menekankan gigitiruan tersebut yang menyebabkan rasa sakit dan ketidakstabilan.

  d.

  Masalah artikulasi, hal ini dapat menyebabkan ketidakseimbangan pada sendi temporomandibular dan rasa sakit akibat besarnya kekuatan yang yang diterapkan oleh gigitiruan.

  e.

  Masalah pasien, kesulitan lain mungkin timbul yang tidak terkait langsung dengan masalah anatomi tetapi dengan kepribadian pasien, kontrol neuro-otot, atau kemampuan untuk beradaptasi dengan situasi baru.

  Pemakaian GTP umumnya digunakan untuk memperbaiki kualitas hidup. Penelitian Zainab dkk (2008) mengatakan pemakaian GTP dapat mengurangi gangguan pada dimensi keterbatasan fungsi, rasa sakit fisik dan ketidakmampuan fisik.

46 Penelitian Hussain (2010) mengenai kualitas hidup menyimpulkan bahwa

  pemakaian GTP sangat penting untuk memperoleh kualitas hidup yang baik pada dimensi rasa sakit fisik dan ketidakmampuan fisik serta secara langsung memiliki dampak positif pada aktivitas sosial, mental dan psikologis.

  22

2.5 Kualitas Hidup

  Istilah "kualitas hidup" digunakan secara luas dalam berbagai konteks yang berhubungan dengan dampak penyakit dan kesehatan serta pengalaman pribadi. Kualitas hidup lansia secara optimum dapat dicapai tidak hanya dengan memperhatikan kesehatan umum, tetapi juga mempertimbangkan kesehatan mulut. Menurut kebijakan dari program WHO kesehatan mulut merupakan bagian integral dari kesehatan umum dan termasuk kedalam salah satu faktor penentu kualitas hidup. Demikian pula dokter gigi telah menggunakan istilah "kualitas hidup terkait kesehatan" untuk menggambarkan dampak kesehatan mulut pada pengalaman pribadi

  35 pasien.

  2.5.1 Pengertian Kualitas Hidup

  Menurut Campbell (1976) kualitas hidup merupakan perasaan subjektif seseorang mengenai kesejahteraan dirinya, berdasarkan pengalaman hidupnya saat ini

  36

  secara keseluruhan. Felce dan Perry (1995) juga menyebutkan tiga komponen dalam pengukuran kualitas hidup yakni komponen objektif, komponen subjektif, dan komponen kepentingan. Komponen objektif berkaitan dengan data atau observasi objektif pada berbagai aspek kehidupan, komponen subjektif merupakan kepuasan individu terhadap berbagai aspek kehidupannya dan komponen kepentingan merupakan bobot kepentingan dari berbagai aspek kehidupan terhadap masing- masing individu. Dari komponen subjektif dan komponen kepentingan kualitas hidup saling berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain. Sedangkan perubahan komponen objektif yang berupa perubahan kondisi objektif dari berbagai aspek kehidupan dapat mempengaruhi perubahan pada komponen subjektf maupun

  

37,38

komponen kepentingan dari kualitas hidup.

  Beberapa peneliti menyimpulkan bahwa kualitas hidup adalah kepuasan subjektif individu mengenai kondisi kehidupannya saat ini pada beberapa aspek

  38 kehidupan yang penting baginya.

  2.5.2 Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Hidup

  Berbagai penelitian mengenai kualitas hidup menemukan beberapa faktor- faktor yang mempengaruhi kualitas hidup. Faktor-faktor yang didapatkan oleh para peneliti ini tidak selalu sama antara satu dengan yang lain. Berikut merupakan

  39

  beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas hidup, diantaranya: a.

  Jenis kelamin (gender) Singh dkk (2012) melaporkan laki-laki yang memakai GTP memiliki kualitas kepuasan lebih baik dari perempuan dalam hal pengunyahan, penampilan, pidato dan

  40

  kesehatan sehingga merasa kualitas hidupnya juga lebih meningkat. Chavers dkk (2002) dalam Adam (2006) juga melaporkan bahwa perempuan yang memakai GTP memiliki kualitas hidup yang rendah, hal ini dapat dilihat dari skor OHIP yang tinggi

  6 pada keterbatasan fungsi jika dibandingkan dengan laki-laki.

  b.

  Usia Adam (2006) melaporkan bahwa pasien GTP dibawah 60 tahun memiliki kualitas hidup yang lebih baik dibandingkan dengan pasien yang berumur diatas 60

  6

  tahun yang memiliki gangguan pada fungsional dan psikologis. Penelitian Hussain juga mengatakan ada hubungan signifikan antara usia dengan kualitas hidup dalam domain ketidaknyamanan psikososial, ketidaknyamanan fisik dan keterbatasan

  22

  fungsi. Hasil penelitian Amjad dkk (2009) juga didapat lansia dengan usia 60 tahun memiliki gangguan kualitas hidup, karena adanya rasa sakit dan gangguan ketika

  41 makan atau bicara ketika memakai GTP.

  c.

  Pendidikan Chavers dkk (2002) juga mengatakan orang yang tidak lulus sekolah tinggi kualitas hidupnya lebih rendah karena sering merasa sakit saat memakai gigitiruan

  6

  dibandingkan dengan yang lulus sekolah tinggi. Singh dalam penelitiannya mengatakan bahwa pasien dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi memiliki kualitas hidup dan tingkat kepuasan yang lebih baik terhadap gigitiruannya dibandingkan pasien dengan tingkat pendidikan rendah karena pasien dengan tingkat pendidikan tinggi lebih mengerti instruksi perawatan dan batas pemakaian GTP

  40 sehari-hari.

  d.

  Pekerjaan

  Penelitian yang dilakukan Adam (2006) juga didapati kualitas hidup pensiunan meningkat dari semua domain OHRQoL kecuali pada keterbatasan sosial dan handicap. Sedangkan kualitas hidup rendah terjadi pada pengangguran terutama

  6 pada domain keterbatasan fungsional dan rasa sakit fisik.

  e.

  Status perkawinan Singh dkk (2012) melaporkan pemakai GTP pada kelompok yang menikah memiliki kualitas hidup yang lebih baik dan merasa puas terhadap gigitiruan mereka, sedangkan kelompok janda/ duda memiliki kualitas hidup yang rendah, hal ini disebabkan karena psikologis yang murung sehingga mereka juga merasa tidak puas

  40

  terhadap perawatan gigitiruan yang dilakukan. Penelitian Emami dkk (2009) didapatkan pasien yang menikah memiliki kualitas hidup yang lebih baik

  42 dibandingkann janda/ duda.

  f.

  Penghasilan Adam (2006) melaporkan pada pemakai GTP yang memiliki penghasilan tinggi memiliki kualitas hidup yang lebih baik, sedangkan kualitas hidup terendah didapati keterbatasan sosial dan handicap pada pemakai GTP yang tidak mempunyai

  6

  penghasilan sama sekali. Singh juga mengatakan bahwa pasien dengan penghasilan tinggi memiliki tingkat kepuasan yang lebih baik dibandingkan pasien yang memiliki penghasilan rendah terkait dengan motivasi perawatan, hal ini juga akan

  40 mempengaruhi kualitas hidup pasien tersebut.

  g.

  Hubungan dengan orang lain Beberapa peneliti mengatakan bahwa pada saat kebutuhan akan hubungan dekat dengan orang lain terpenuhi, baik melalui hubungan pertemanan yang saling mendukung maupun melalui pernikahan, manusia akan memiliki kualitas hidup yang

  39 lebih baik secara fisik maupun emosional.

2.5.3 Pengukuran Kualitas Hidup

  Banyak cara yang dapat digunakan untuk mengukur kualitas hidup yang

  6,43

  terkait dengan kesehatan, beberapa diantaranya adalah: a.

  Sosial Impact of Dental Disease (SIDD) Instrumen SIDD dikenalkan oleh Cushing, dkk pada tahun 1986. Instrumen ini berfokus pada lima kategori dampak sosial dari penyakit mulut. Kategori ini meliputi fungsi makan, fungsi interaksi sosial, kenyamanan, kesejahteraan dan estetika. Setiap kategori terdiri dari 2-6 item dan sebuah nilai positif dari satu item

  6,43 maka akan dicetak sebagai positif bagi seluruh kategori.

  b.

  Geriatric Oral Health Assessment Index (GOHAI) Instrumen ini pertama kali dikenalkan oleh Atchison dan Dolan pada tahun

  1990. Instrumen ini terdiri dari 12 item untuk mengevaluasi status fungsi, rasa sakit, ketidaknyamanan, rasa khawatir, ketidakmampuan mengunyah dan menelan serta fungsi sosial. GOHAI memiliki validitas dan reabilitas dan sangat berkorelasi dengan status kesehatan gigi dan jumlah gigi. Korelasi juga sangat lemah terhadap mobilitas

  6,43 gigi, karies akar, karies koronal dan sejumlah kondisi patologis lainnya.

  c.

  Dental Impact Profile (DIP) Instrument ini dikenalkan oleh Strauss dan Hunt pada tahun 1993. DIP terdiri dari 25 item dengan 4 subskala untuk menilai efek dari gigi atau rongga mulut saat makan, kesehatan dan kesejahteraan serta hubungan sosial. Instrument ini sangat sederhana dan mudah digunakan untuk mengetahui bagaimana gigi alami dan gigi tiruan memiliki korelasi positif atau negatif terhadap sosial, psikologis dan fungsi

  6,43 biologis dari kualitas hidup.

  d.

  Oral Impact on Daily Performance (OIDP) Instrumen ini dikenalkan oleh Adulyanon dan Sheiham pada tahun 1997. Instrument ini terdiri dari 8 item yang meliputi fisik, psikologi dan sosial (makan dan menikmati makanan, berbicara dan mengucapkan kata-kata, tertawa, senyum, peranan sosial, dan sosialisasi dengan orang lain. Penilaian skor OIDP dilakukan dengan menjumlahkan total skor yang didapatkan. Instrument OIDP sangat mudah

  6,43 diterapkan pada suatu populasi yang besar dalam waktu yang singkat.

  e.

  Oral Health Impact Profile (OHIP) Instrumen Oral Health Impact Profile (OHIP) merupakan socio dental

  

indicators yang menggunakan indeks yang telah diberi bobot untuk mengukur

  dampak sosial dari kelainan rongga gigi dan mulut. Indeks ini memuat 7 skala penting, yaitu : keterbatasan fungsi, nyeri fisik, ketidaknyamanan psikososial, ketidakmampuan fisik, ketidakmampuan psikis, ketidakmampuan sosial dan handicap

  6,21

  (ketidakmampuan bekerja). Tujuan dari OHIP adalah untuk memberikan ukuran dampak gangguan kesehatan mulut terhadap kehidupan sosial dan menggambarkan kaitan gangguan kesehatan mulut terhadap kehidupan sosial secara teoritis. Masalah kesehatan mulut yang dapat menyebabkan rasa sakit akan berdampak pada kesejahteraan individu, sehingga secara signifikan mengurangi kualitas hidup dan

  21 meningkatkan beban masyarakat.

  Gambar 2. Bagan mekanisme suatu gangguan mulut yang dapat menyebabkan Keterbatasan (Impairment), Ketidakmampuan (Disability)

  21 dan Handicap. (Lokers, 1988).

  OHIP yang dikembangkan oleh Slade GD dan Spencer AJ pada tahun 1994, terdiri dari 49 butir pertanyaan yang berhubungan dengan tujuh dimensi, dimana tujuh dimensi tersebut merupakan dampak akibat kelainan gigi dan mulut yang nantinya akan mempengaruhi kualitas hidup. Tahun 1997, Slade GD menyederhanakan OHIP yang terdiri dari 49 butir pertanyaan (OHIP-49) menjadi OHIP dengan 14 butir pertanyaan (OHIP-14). OHIP-14 terdiri 14-item kuesioner yang dirancang untuk mengukur fungsional keterbatasan, ketidaknyamanan dan cacat dikaitkan dengan kondisi mulut, hal ini berasal dari versi asli dari 49-item didasarkan pada model teoritis yang dikembangkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan disesuaikan untuk kesehatan mulut dengan Locker Dalam model ini konsekuensi penyakit mulut secara hirarki terhubung dari tingkat biologis (penurunan) ke level perilaku (batasan fungsional, ketidaknyamanan dan cacat) dan terakhir ke tingkat sosial (cacat). Penelitian ini dilakukan di Australia Selatan dan

  6,21 menggunakan 1217 sampel.

  OHIP-14 ini juga berhubungan dengan tujuh dimensi (keterbatasan fungsi, rasa sakit fisik, ketidaknyamanan psikis, ketidakmampuan fisik, ketidakmampuan psikis, ketidakmampuan sosial, dan handicap) dimana setiap dimensi terdiri dari dua pertanyaan, dan munggunakan lima skala likert yaitu : 0 = tidak pernah, 1 = sangat jarang, 2 = kadang-kadang, 3 = sering dan 4 = sangat sering. Total skor yang tinggi

  7,21

  menunjukkan kualitas hidup yang rendah begitu pula sebaliknya. Tiap dimensi juga terdiri dari dua pertanyaan. Versi yang dipersingkat memiliki tingkat kepercayaan (reliabilitas) dan validitas yang sama dengan versi aslinya dan merupakan alat yang tepat untuk analisis statistika yang berhubungan dengan efek kesehatan mulut terhadap kualitas hidup seseorang. Keuntungan dari OHIP ini adalah pertanyaan yang menyeluruh; ketujuh dimensi yang berbeda dapat mencakup dan menunjukkan dengan tepat keseluruhan lingkup yang

  7 mempengaruhi kualitas hidup seseorang.

  Instrumen ini mendeteksi dampak fungsional dan sosial atau emosional

  7,21

  pada kualitas hidup pasien dengan atau tanpa GTP. Kualitas kesehatan oral yang berhubungan dengan indikator hidup semakin digunakan untuk mengukur dampak dari kondisi lisan pada kualitas hidup untuk melengkapi data klinis dalam studi cross- sectional dan longitudinal. Ariani dkk dalam Kusdhany (2011) juga menganjurkan

  35 OHIP-14 digunakan pada populasi lansia di Indonesia.

2.6 Landasan Teori

  Lansia Pralansia lansia Lansia resiko tinggi ( > 70 tahun/ 60-70 Lansia potensial Lansia tidak potensial

  ( 45-59 tahun) ( >60 tahun) tahun dengan masalah kesehatan)

  Psikologis MastikasiBicara ↙ ↙ Perubahan jaringan mulut

  Kehilangan gigi Estetik ↙ keseluruhan sosial

  ↙ Indikasi GTP

  Tulang alveolar Lidah Mukosa Saliva TMJ

  Fungsi Masalah Kualitas hidup yang mungkin timbul Pengukuran

  Faktor yang mempengaruhi D IP OIDP SIDD GOHAI OHIP

  Usia Jenis Pekerjaan Penghasilan Hubungan Pendidikan Status kelamin dengan perkawinan orang lain Apakah ada hubungan kualitas hidup lansia pemakai GTP di Klinik Prostodonsia RSGMP FKG USU tahun 2013 dengan kondisi klinis rongga mulut dan faktor sosiodemografi?

  Universitas Sumatera Utara

  22

2.7 Kerangka Konsep

  Kondisi klinis rongga mulut Lansia Pemakai GTP Sosiodemografi

  Jenis kelamin Tingkat pendidikan Status perkawinan Tulang alveolar

  Saliva Mukosa

  Kualitas hidup

  23 Universitas Sumatera Utara

  Universitas Sumatera Utara

2.8 Hipotesis Penelitian

  1. Ada hubungan antara kualitas hidup dengan lansia pemakai GTP di Klinik Prostodonsia RSGMP FKG USU tahun 2013 dengan faktor sosiodemografi.

  2. Ada hubungan antara kualitas hidup dengan lansia pemakai GTP di Klinik Prostodonsia RSGMP FKG USU tahun 2013 dengan kondisi klinis rongga mulut.

Dokumen yang terkait

BAB II URAIAN TEORITIS 2.1. Kepuasan kerja 2.1.1. Pengertian Kepuasan Kerja - Studi Tentang Hubungan Timbal-balik Antara Kepuasan kerja Dan Kepuasan Hidup Karyawan Pada Kantor Direksi PT. Perkebunan Nusantara III (Persero) Medan

0 0 29

Studi Tentang Hubungan Timbal-balik Antara Kepuasan kerja Dan Kepuasan Hidup Karyawan Pada Kantor Direksi PT. Perkebunan Nusantara III (Persero) Medan

0 0 16

Morfologi Eksternal dan Internal Akar Gigi Premolar Satu Maksila Permanen Kiri dan Kanan Usia 13-24 Tahun

0 0 14

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembentukan Akar Gigi - Morfologi Eksternal dan Internal Akar Gigi Premolar Satu Maksila Permanen Kiri dan Kanan Usia 13-24 Tahun

0 0 16

Morfologi Eksternal dan Internal Akar Gigi Premolar Satu Maksila Permanen Kiri dan Kanan Usia 13-24 Tahun

0 0 12

Lampiran 1 Lembar Observasi Kondisi Fisik Koleksi Buku Langka di Perpustakaan USU

0 0 23

BAB II TINJAUAN LITERATUR 2.1 Pengertian Pelestarian Bahan Pustaka - Pelestarian Koleksi Buku Langka Dalam Upaya Menyelamatkan Bentuk Fisik Buku dan Nilai Informasinya di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara (Studi Kasus Koleksi Bidang Hukum)

0 0 23

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Perubahan Sistem Haematologi dalam Kehamilan - Karakteristik Bayi Lahir Spontan pada Ibu dengan Riwayat Anemia dalam Kehamilan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2011-2012

0 0 16

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gizi 2.1.1. Definisi Gizi - Hubungan Tingkat Pendidikan Ibu terhadap Status Gizi Anak Balita di RSUP.H.Adam Malik, Medan Tahun 2013

0 0 8

HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN IBU TERHADAP STATUS GIZI ANAK BALITA YANG DIRAWAT DI RSUP H.ADAM MALIK PADA TAHUN 2013

0 0 12