BAB I PENDAHULUAN - Kajian Persepsi Pemangku Kepentingan Dalam Perda Nomor 2 Tahun 2012 Terhadap Upaya Pelestarian Bangunan Bersejarah Di Kesawan

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

  Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Bangunan dan/atau Lingkungan Cagar Budaya, bahwa bangunan cagar budaya adalah bangunan buatan manusia, berupa kesatuan atau kelompok atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Seluruh bangunan cagar budaya dilindungi hukum dalam pengelolaan mencakup segala proses perlindungan, pelestarian, pemeliharaan dan pemanfaatan bangunan dan/atau lingkungan cagar budaya, agar makna budaya yang dikandungnya terpelihara dengan baik. Setiap kota terbentuk dari perkembangan wilayah atau kawasan yang meliputi kawasan historis yang di dalamnya terdapat bangunan cagar budaya. Kota-kota di Indonesia khususnya pada umumnya terbentuk dari kolonialisme Belanda, seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan. Kolonialisme Belanda memberikan citra bangunan yang hingga kini telah mencapai usia yang lebih dari 50 (lima puluh) tahun dan layak mendapat perlindungan dari nilai yang dikandungnya

  Di Kota Medan, salah satu kawasan cagar budaya yang dilindungi dalam Perda Nomor 2 Tahun 2012 ini adalah kawasan kota lama di Kesawan. Berawal dari kampung, Belanda memperoleh konsesi dari Kesultanan Deli untuk membuka lahan perkebunan di sekitar kampung Kesawan, hingga Belanda memindahkan pusat administrasi dekat dengan daerah Kesawan. Sejak saat itu aktivitas dan perkembangan fisik, sosial, dan ekonomi bertumbuh dengan cepat. Sekarang, Kesawan mengalami permasalahan yang serius ditandai dengan identitas kawasan bersejarah yang terkikis. Banyak warisan dan bangunan pusaka yang memiliki nilai signifikan sudah berganti menjadi bentuk dan tampilan bangunan yang baru yang tidak tanggap terhadap nilai kesejarahannya. Perubahan yang tidak mengacu kepada Perda Nomor 2 Tahun 2012 ini belum mendapat perhatian serius dari pemangku kepentingan di dalamnya mengingat posisi yang strategis di inti Kota Medan.

  Akibatnya, banyak terjadi erosi identitas lingkungan dan kota, karena elemen-elemen khas yang menciptakan wajah kota yang berpribadi, yang seharusnya dilindungi dan dikembangkan, sedikit demi sedikit keropos, tergusur, dan hancur terlanda tekanan pembangunan yang luar biasa kuatnya (Budihardjo, 2004). Perlindungan dan pengembangan tersebut memberi kesan persepsi bahwa pemangku kepentingan bangunan cagar budaya tidak ingin melestarikan kesejarahannya.

  Banyak sekali bangunan yang fasadenya berubah. Sebagian tidak memenuhi kaidah preservasi yang benar dalam merenovasi bangunan. Sebagian dihancurkan dan diganti dengan tipologi bangunan yang berbeda dengan gedung di sekelilingnya. Masalah internal kawasan Kesawan cukup pelik mengingat banyak bangunan dimiliki oleh perseorangan. Sampai saat ini, masih banyak pemangku kepentingan bangunan yang berpersepsi kegiatan pelestarian semata-mata dari sisi pengawetan bangunan kuno secara terpisah, individual, lepas-lepas, dalam wujud semacam benda-musium.

  (Budihardjo, 1993). Sedangkan pasal-pasal dalam Perda telah mengikat peran pemangku kepentingan untuk memahami tindakan pelestarian. Masalah eksternal dapat diamati pula melalui peta investasi pembangunan yang terjadi dalam kurun waktu satu dekade belakangan. Dalam analisis pengamatan di lapangan, dilihat dari radius 500 meter dari titik pusat kawasan Kesawan, terdapat banyak bangunan komersil baru yang mengepung Kesawan seperti Merdeka Walk, Aston Hotel, dan lain sebagainya. Dalam radius 1000 meter, ditemukan lebih banyak lagi pembangunan superblok, retail, hotel, office tower dan apartemen. Dalam radius 1500 meter hingga 2500 meter ditandai dengan rencana pengembangan CBD Polonia.

  Pemerintah Kota Medan telah menyadari perlunya melestarikan jumlah bangunan cagar budaya. Pernah diterbitkannya Perda Nomor 6 Tahun 1988 tentang Pelestarian Bangunan dan Lingkungan yang Bernilai Sejarah Arsitektur Kepurbakalaan serta Penghijauan dalam Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Medan, justru menuai hasil yang tidak tepat sasaran. Hal ini disimpulkan dengan meninjau perkembangan bangunan cagar budaya hingga saat sebelum diperbaharuinya Perda tersebut, banyak pemangku kepentingan bangunan yang merasa tidak perlu bertanggung jawab dengan status cagar budaya terhadap bangunan dan lingkungannya. Persepsi ini tentu tidak terjadi secara merata, namun perbedaan keinginan dan tindakan yang terwujud menyiratkan masih belum ada persamaan persepsi terhadap Perda yang berlaku. Walaupun secara yuridis, kawasan Kesawan memiliki kekuatan hukum sejak tahun 1988, namun hingga tahun 2010 ditemukan banyak penyimpangan dari kebijakan tersebut. Hasti Tarekat (2002) dalam penelitiannya menemukan bahwa sosialisasi Perda No. 6 Tahun 1988 dalam bentuk penyuluhan baik kepada pemangku kepentingan dan pengelola bangunan cagar budaya termasuk dalam kategori rendah, dan pelaksanaan Perda ini dalam upaya menciptakan kelestarian bangunan cagar budaya di kota Medan belum efektif.

  Akibatnya, regulasi menjadi barang baru yang membuat pemangku kepentingan tidak ingin memikirkan dan mempertimbangkan substansi peraturannya. Sedangkan status sebagai orang yang memiliki bangunan tersebut adalah pelaku utama yang menjadi objek peraturan agar dapat dimengerti keinginan dan pemahaman akan suatu peraturan. Persepsi masyarakat lokal (first person perception) dalam hal ini adalah prediksi yang paling kuat untuk mengetahui apakah peraturan tersebut dapat berlaku dan terlaksana, dibandingkan persepsi pengunjung (third person perception) di luar pemangku kepentingan, karena pengunjung tidak mengalami kerugian material pada diri mereka apakah itu tindakan legal maupun ilegal. Untuk dapat mengetahui apakah pemangku kepentingan bangunan cagar budaya ini mendukung kebijakan pemerintah hanya dapat dilihat dari apakah produk hukum itu sendiri mendukung kegiatan dan persepsi pemangku kepentingan bangunan (Yang, 2005).

  Henry Iskandar Ong (2004) memaparkan industri real estate saat ini mendorong pemangku kepentingan bangunan cagar budaya untuk selalu menukarkan rumah bermukim dengan sesuatu yang lebih impresif dan berada di lingkungan yang prestisius. Persepsinya bangunan cagar budaya hanya seperti sepatu tua yang perlu diganti dengan yang lebih baru. Faktor pendorongnya karena menurut persepsi pemangku kepentingan, lahan tersebut lebih produktif dalam memberikan pendapatan ekonomi yang lebih besar jika dibandingkan hanya berupa kondisi eksisting yang pasif. Kecenderungan sisi komersial telah menuntun persepsi masyarakat tentang makna tanah sebagai komoditas komersil daripada sumber yang memiliki makna. Henry mengamati kawasan Kesawan juga mengalami perubahan drastis padahal identitasnya kuat. Bangunan lama berarsitektur unik dibongkar dan digantikan dengan ruko atau bangunan burung walet tanpa merujuk kepada karakter lingkungan yang sudah lebih dulu terbentuk. Perkembangan sejak tahun 1994-2004 menurutnya memperlihatkan bahwa pembangunan ruko dan bangunan baru sering tidak mengacu kepada tempat (place) yang sudah terbentuk, yang amat diperlukan manusia secara emosional dan kultural. Henry merekomendasikan pentingnya persepsi yang benar terhadap ’partisipasi yang kreatif’ mengingat bangunan cagar budaya di Kesawan juga adalah tempat manusia bermukim dan merupakan suatu lingkungan bersama. Kehidupan komunal yang partisipatif dapat memanifestasikan makna sejarah akan bangunan dan lingkungan tersebut. Peran Perda dalam hal ini adalah memberikan tuntunan bagi pemangku kepentingan untuk dapat berpikir dan bertindak dalam konteks perkembangan yang sangat cepat dewasa ini. Henry meneliti dalam konteks roh tempat itu sendiri (spirit of place) dengan pendekatan genius loci fisik, belum ditemukan bagaimana pola persepsi pemangku kepentingan bangunan di kawasan Kesawan sehingga dapat menjadi landasan menciptakan terwujudnya sasaran Perda Nomor 2 Tahun 2012 dengan pemangku kepentingan yang lain dalam memaknai

ruang tersebut. Kevin Lynch dalam bukunya What Time is This Place? (MIT Press 1972) mengatakan bahwa identitas kota adalah persepsi yang terbentuk dari ritme biologis tempat dan ruang tertentu yang mencerminkan waktu (sense of time), yang ditumbuhkan dari dalam secara mengakar oleh aktivitas sosial-ekonomi-budaya masyarakat kota itu sendiri (Budihardjo, 2004).

  Kurangnya koordinasi antara sejumlah lembaga administrasi yang bertanggung jawab untuk bangunan cagar budaya di Kesawan sering mengalami tumpang tindih antara Dinas Tata Kota dan Tata Bangunan dengan kepentingan pemangku kepentingan bangunan cagar budaya. Masih kurangnya persamaan persepsi tentang pengertian bangunan cagar budaya sehingga perlu dilakukan upaya pengembangan kerja sama dan kejelasan pembagian wewenang dan kerja sesuai yang telah dirumuskan dalam Perda. Hal lainnya yang menjadi masalah kelembagaan yakni belum tersedianya data pokok atau pusat informasi yang dapat mengidentifikasi, memberikan panduan, dan mengawasi pelestarian bangunan cagar budaya padahal sudah terdapat arahan dalam petunjuk teknis kelembagaan dalam Perda. Adanya kebijakan yang dirasakan pemangku kepentingan cagar budaya yang ambivalen. Di satu sisi pemerintah mengakui kepentingan pelestarian cagar budaya namun di sisi lainnya membiarkan perubahan dengan memberikan izin pada pembangunan terjadi tanpa adanya tindakan hukum. Dapat disepakati pula bahwa usaha revitalisasi kawasan Kesawan hingga saat sekarang gagal karena tidak melibatkan pemangku kepentingan bangunan. Nurlisa Ginting (2012) juga menerangkan bagaimana kegagalan proyek Kesawan Square sebagai pusat penjajaan makanan terbesar di kota Medan karena kurangnya keterlibatan pemangku kepentingan bangunan. Kedai-kedai kecil lain menutup fungsi komersial bangunan di belakangnya. Bila pemangku kepentingan bangunan tidak dilibatkan dalam perencanaan preservasi kawasan maka citra kawasan akan hilang. Tragedi semacam ini banyak terjadi di kota-kota besar, akibat kurang pekanya para penentu kebijaksanaan tentang aspek konservasi dalam pembangunan kota. Yang banyak dikejar adalah peningkatan pembangunan fisik semata, yang memang harus diakui lebih potensial untuk memamerkan hasil pembangunan yang dicapainya. Hal-hal yang menyangkut citra, psikologi ruang, persepsi warga kota, dan lain-lain harus cukup puas diperlakukan sebagai anak tiri, bahkan mungkin anak haram (Budihardjo, 2004). Namun dengan adanya Perda Nomor 2 Tahun 2012 (dan Perda sebelumnya), yang memberikan gambaran pentingnya dan tindakan pelestarian cagar budaya, patut dicermati apa yang menjadi hambatan dan kegagalan pelaksanaan Perda tersebut dari sisi persepsi pemangku kepentingan. Karena bila memang persepsi pemangku kepentingan menganggap Perda Nomor 2 Tahun 2012 tersebut tidak melibatkan aspirasi mereka, maka perlu ditinjau kembali kebijakan tersebut. Namun ada kemungkinan Perda ini sudah lengkap dan jelas, tetapi pemangku kepentingan bangunan tidak mengetahui isi dari Perda tersebut, atau salah kaprah dalam memaknasi aturan yang ditetapkan. Laporan dari Arthur Skeffington dalam bukunya People and Planning (MoHLG, London, July 1969) tentang persyaratan dalam penyusunan rencana kota: (i) penduduk harus diberitahu tentang adanya persiapan pembuatan rencana kota. (ii) penduduk harus dirangsang dan diminta untuk berperan serta dalam proses perencanaan, antara lain

dengan memberikan komentar dan pendapatnya. (iii) produk rencana kota harus dipublikasikan, terutama bagi penduduk kota yang bersangkutan (yang banyak kemungkinan akan menjadi sasaran program dan kebijakan yang digariskan). Bahkan secara legal pun dituntut dan diharuskan adanya publisitas tentang perencanaan kota, adanya pemeriksaan oleh publik, dan adanya diskusi/konsultasi dengan masyarakat. Itu semua tercantum dalam Planning Law. Tanpa bukti adanya aspirasi penduduk (persepsi pemangku kepentingan), rencana kota belum dapat disahkan. Jadi, peran serta penduduk secara aktif bukan lagi sekedar unsur pelengkap dalam proses perencanaan kota tetapi sudah menjadi suatu unsur fundamental (Budihardjo, 2004).

  Mengamati perkembangan bangunan dan lingkungan cagar budaya di Kawasan Kesawan dalam hubungannya dengan pelaksanaan Perda Nomor 2 Tahun 2012, ada kemungkinan tidak ditemukan konsensus bersama antar pemangku kepentingan bangunan. Beberapa bangunan diganti dan diubah, namun tetangga pemangku kepentingan tidak menghiraukan apapun. Persepsi yang membutuhkan aspirasi dan pemikiran bersama antara pemangku kepentingan di lingkungan itu sendiri sangat diperlukan agar tumbuh rasa kepemangku kepentinganan bersama, mampu melaksanakan, dan saling menjaga sesuai tujuan Perda. Kekuatan persepsi bersama ini adalah jaringan yang paling terpercaya dalam mewujudkan kesepakatan (Kangwa, 2004). Pemangku kepentingan di luar lingkungan seperti pemerintah kota, organisasi lembaga swadaya masyarakat, universitas akademik, yang umumnya prokonservasi dengan investor modal, developer, dan kaum kapitalisme yang kontrakonservasi, dinilai sebagai kubu sekunder yang dapat mempengaruhi keputusan pemangku kepentingan. Namun pun demikian, keputusan tersebut pada akhirnya dikeluarkan oleh pemangku kepentingan. Wisatawan dan turis sebagai kaum netral, adalah pihak yang akan menilai performance dari keputusan tersebut (Arnaboldi & Spiller, 2011). Pada kenyataannya, masyarakat memahami potensi bangunan bersejarah sebagai aset ekonomi yang bisa memberikan dampak sosial yang positif.

  Namun tindakan yang tidak memiliki kejelasan dalam perangkat masyarakat akan menyebabkan akibat yang negatif bagi aspek ekonomi dan sosial tersebut (Mohammadi, Khalifah, Hosseini; 2010). Sehingga, persepsi pemangku kepentingan adalah komponen yang utama dalam keberhasilan pencapaian tujuan dan sasaran Perda Nomor 2 Tahun 2012. Melihat fenomena yang terjadi di kawasan Kesawan hingga tahun 2013, sangat penting untuk memahami pemangku kepentingan yang utama dan menjadi kunci untuk menemukan solusi yang tepat bagi pengembangan Kesawan yang baik di masa depan. Penting sekali untuk mengetahui bagaimana persepsi mereka terhadap pasal-pasal Perda tersebut. Apakah persepsi pemangku kepentingan tidak dilibatkan dalam Perda atau pemangku kepentingan memiliki persepsi yang berbeda atau salah kaprah dalam memahami aturan Perda tersebut. Pentingnya memahami latar belakang fenomena dan urgensi pencapaian Perda terhadap upaya pelestarian bangunan bersejarah di Kesawan pada khususnya dan kota Medan pada umumnya, maka penelitian "Kajian Persepsi Pemangku Kepentingan dalam Perda Nomor 2 Tahun 2012 terhadap Upaya Pelestarian Bangunan Bersejarah di Kesawan" dilakukan guna menemukan gambaran yang aktual dan empiris dari setiap pemangku kepentingan upaya pelestarian ini.

  1.2 Perumusan Masalah

  Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Bagaimana persepsi pemangku kepentingan dalam Perda Nomor 2 Tahun 2012 terhadap upaya pelestarian bangunan bersejarah di Kesawan?

  1.3 Ruang Lingkup dan Batasan Kajian

  Penelitian ini ditujukan untuk mengkaji persepsi para pemangku kepentingan bangunan. Dengan pendekatan persepsi kepentingan dan kepuasan pemangku kepentingan, penelitian ini tidak berada dalam ranah pembahasan pola perilaku manusia dan ruang (personal space, teritori, crowd, dan lain sebagainya). Penelitian ini tidak melibatkan kajian langgam ornamen dan dekorasi fisik fasade, analisis wajah kota, dan garis langit. Kajian persepsi dinilai berdasarkan pada substansi Perda No. 2 Tahun 2012 tentang upaya pelestarian dan bukan merupakan uji publik terhadap pasal per pasal dari perda.

  1.4 Tujuan Penelitian

  Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: Menemukan persepsi pemangku kepentingan dalam Perda Nomor 2 Tahun 2012 terhadap upaya pelestarian bangunan bersejarah di Kesawan.

  1.5 Manfaat Penelitian

  Manfaat yang dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

  1. Mengembangkan konsep pengembangan wisata sejarah yang memberi dampak ekonomi yang positif bagi pendapatan asli daerah dan masyarakat.

  2. Menumbuhkan kesadaran pemangku kepentingan bangunan cagar budaya untuk berpartisipasi dalam program pelestarian kawasan cagar budaya, dan mendorong pemerintah untuk memberikan insentif kepada pemangku kepentingan bangunan cagar budaya (keringanan PBB, subsidi, dsb).

  3. Memberikan rekomendasi bagi perencana dan perancang kota untuk memberikan pendekatan edukatif dan pentingnya nilai/makna sejarah kepada para pemangku kepentingan/pengelola bangunan terkait pentingnya preservasi cagar budaya Jalan Ahmad Yani kawasan Kesawan.

  4. Memberikan usulan untuk pemerintah kota dalam penyusunan regulasi peraturan daerah yang baru dengan lebih tegas dan melibatkan partisipasi pemangku kepentingan/pengelola bangunan.

  5. Memberikan masukan bagi penyusunan RTBL Kelurahan Kesawan.

  6. Menjadi acuan untuk penelitian yang lebih lanjut mengenai preservasi kawasan Kesawan pada khususnya dan kawasan bersejarah di Kota Medan pada umumnya.

1.6 Kerangka Berpikir

  Mengamati perwujudan Perda Nomor 6 Tahun 1988 yang bertujuan untuk menjaga kelestarian bangunan dan lingkungan cagar budaya, khususnya di Kawasan Kesawan sebagai lingkungan yang di dalamnya terdapat bangunan cagar budaya, ditemukan bahwa implementasi kebijakan ini tidak efektif. Pelaksanaan yang tidak tepat sasaran dan yang mengancam keberadaan Kawasan Kesawan menuntut diperbaharuinya Perda Nomor 6 Tahun 1988 menjadi Perda Nomor 2 Tahun 2012. Meskipun demikian masih ditemukan permasalahan yang timbul dari dua hal, pertama, permasalahan internal kawasan, ditemukan perubahan bangunan cagar budaya yang tidak sesuai Perda Nomor 2 Tahun 2012 terus berlangsung hingga sekarang. kedua, permasalahan eksternal yang menjadi faktor pendorong perubahan diperkirakan akibat potensi ekonomi dan investasi mengingat lokasi berada di posisi wilayah yang strategis. Pertanyaan yang timbul adalah apakah persepsi pemangku kepentingan tidak diikutsertakan dalam merumuskan Perda Nomor 2 Tahun 2012, atau pemangku kepentingan memiliki persepsi sendiri tentang aturan yang dikandung Perda tersebut. Sehingga masalah penelitian ini adalah bagaimana sesungguhnya persepsi pemangku kepentingan bangunan terhadap Perda Nomor 2 Tahun 2012.

  Melalui studi literatur dan kebijakan yang ada, kajian persepsi pemangku kepentingan bangunan terhadap Perda ini dilakukan dengan tujuan menemukan persepsi aktual.

  Banyaknya pemangku kepentingan bangunan di Kawasan Kesawan mendorong dilakukan analisis sehingga dapat ditemukan persepsi yang aktual dalam keseluruhan rata-rata. hasil analisis menjadi kesimpulan dan rekomendasi yang dapat digunakan untuk menjawab permasalahan dan memberikan masukan untuk tindakan yang lebih lanjut baik kepada pemangku kepentingan bangunan maupun pemerintah kota. Secara ringkas kerangka berpikir dapat dirumuskan dalam bagan sebagai berikut (Gambar 1.1).

Gambar 1.1 Skema kerangka berpikir

  Sumber: Interpretasi peneliti

  Kajian Literatur Kebijakan Kawasan Kesawan Bangunan Cagar Budaya Perda Nomor 6

  Tahun 1988 Perkembangan K K

  Implementasi Kebijakan Tidak Efektif Perda Nomor

2 T h 2012 Permasalahan Internal

  Perubahan bangunan cagar budaya Permasalahan Eksternal

  Potensi ekonomi dan investasi, Pertanyaan Penelitian

  Bagaimana persepsi pemangku kepentingan terhadap upaya pelestarian

  

Tujuan Penelitian

  Mengkaji persepsi pemangku kepentingan dalam Perda 2/2012 h d l i

  

Analisis

  Persepsi pemangku kepentingan dalam Perda 2/ 2012 terhadap l i

  

Persepsi Pemangku Kepentingan dalam Perda 2/2012 terhadap

  upaya pelestarian

  Kesimpulan dan Rekomendasi

1.7 Sistematika Penelitian

  Sebagai sebuah penelitian, struktur tesis ini dijabarkan dalam bagian-bagian yang runtut dalam bab-bab yang menjadi isi tesis, yakni sebagai berikut:

  Bab I Pendahuluan, memuat dasar dan alasan serta argumentasi pentingnya dilakukan penelitian yang dijabarkan dengan jelas. Bab II Tinjauan Pustaka, memuat tentang kajian kepustakaan yang menimbulkan gagasan atau mendasari kegiatan yang dilaksakanan. Bab III Metoda Penelitian, memuat tentang teknik dan cara urutan pelaksanaan penelitian. Bab IV Kawasan Penelitian, memuat tentang gambaran khusus dan detail tentang kawasan yang diteliti. Bab V Hasil dan Pembahasan, memuat tentang analisis data tentang persepsi pemangku kepentingan bangunan cagar budaya terhadap upaya pelestarian dalam regulasi.

  Bab VI Penutup, memuat tentang kesimpulan hasil penelitian dan rekomendasi yang diberikan.

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pankreas - Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 dengan Komplikasi Hipertensi dan Diabetes Retinopati di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik

0 0 22

Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 dengan Komplikasi Hipertensi dan Diabetes Retinopati di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik

0 0 8

Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 dengan Komplikasi Hipertensi dan Diabetes Retinopati di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik

0 0 15

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Porphyromonas Gingivalis - Efektivitas Ekstrak Jahe merah (Zingiber officinale var. Rubrum) terhadap Bakteri Porphyromonas gingivalis secara In Vitro

1 5 8

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karies Gigi dan Prevalensinya - Hubungan Pengalaman Karies dan PUFA dengan Indeks Massa Tubuh pada Anak Usia 12-14 Tahun di Kecamatan Medan Helvetia dan Medan Tembung

0 0 15

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Hubungan Pengalaman Karies dan PUFA dengan Indeks Massa Tubuh pada Anak Usia 12-14 Tahun di Kecamatan Medan Helvetia dan Medan Tembung

0 0 6

I. Identitas Responden - Analisis Kunjungan Wisatawan di Kawasan Kecamatan Pantai Cermin Kabupaten Serdang Bedagai

0 0 19

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Permintaan - Analisis Kunjungan Wisatawan di Kawasan Kecamatan Pantai Cermin Kabupaten Serdang Bedagai

0 0 34

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Analisis Kunjungan Wisatawan di Kawasan Kecamatan Pantai Cermin Kabupaten Serdang Bedagai

0 0 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Kajian Persepsi Pemangku Kepentingan Dalam Perda Nomor 2 Tahun 2012 Terhadap Upaya Pelestarian Bangunan Bersejarah Di Kesawan

0 0 22