BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Kajian Persepsi Pemangku Kepentingan Dalam Perda Nomor 2 Tahun 2012 Terhadap Upaya Pelestarian Bangunan Bersejarah Di Kesawan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Persepsi Dalam Kajian Lingkungan Binaan

  Persepsi merupakan studi perilaku yang menjadi konsep kerangka berpikir dalam pendekatan menganalisis hubungan yang terjadi antara manusia dengan tempat beraktivitasnya. Khususnya sejak kepedulian tentang perencanaan dan perancangan berbasis sosial (humanisme) memberi ruang bagi pendekatan perilaku untuk membantu memecahkan permasalahan tentang isu kenyamanan ruang, kesesakan, rasa terisolasi, hilangnya privasi seseorang, citra budaya suatu bangunan atau kawasan. Sebagian besar dari lingkungan binaan dibentuk oleh persepsi manusia, meskipun lingkungan binaan terdefenisi oleh bentuk fisik, namun juga ada kehidupan di dalamnya. Lingkungan binaan ada di masa kini dan keberadaannya dapat mengingatkan manusia pada masa lalu, dan membuat orang berpikir akan masa depan.

  Karena sifatnya yang kompleks inilah menjadi penting bagi perencana untuk mengerti bagaimana manusia meemberi respon terhadap persepsi tersebut, baik secara personal maupun sebagai kelompok pengguna. Keberadaan studi perilaku menjadi sangat berarti kehadirannya setelah peristiwa diledakkannya sebuah bangunan kompleks perumahan di Amerika Serikat yang beberapa waktu sebelumnya memperoleh penghargaan (award) yang sangat prestisius dari institusi arsitek di negara tersebut (Haryadi, 1996). Bangunan yang secara arsitektur dianggap oleh institusi tersebut patut mendapat penghargaan ternyata di dalamnya menimbulkan berbagai permasalahan kepada penghuninya. Vandalisme dan tindakan kriminal menyebabkan hilangnya rasa aman para penghuni bangunan tersebut. Bermula dari begitu banyak persoalan yang muncul berkaitan dengan menurunnya kualitas lingkungan urban di kota-kota Amerika, pendekatan berbasis manusia sangat diperlukan untuk pengembangan perencanaan arsitektur dan kota. Bidang penelitian dan kajian perilaku membuahkan gagasan yang berkontribusi bagi aspek fisik lingkungan binaan. Munculnya buku Human Aspect of Urban Form, Toward a Man-

  Environment Approach to Urban Form and Design pada tahun 1977 yang ditulis oleh

  Amos Rapoport semakin mempertegas peranan perilaku dalam kajian lingkungan binaan.

  Menurut Amos Rapoport (1977) dalam tulisan Haryadi (1996) kajian perilaku dalam lingkungan binaan berkaitan dengan tiga pertanyaan mendasar yaitu:

  1. Bagaimana manusia membentuk lingkungannya–bagaimana karakteristik individu dan masyarakat berperan dalam membentuk lingkungan binaan yang spesifik? 2. Bagaimana dan seberapa besar suatu lingkungan binaan memberikan dampak pada manusia–seberapa jauh perilaku manusia dipengaruhi oleh lingkungan (sistem seting)? 3. Mekanisme-mekanisme seperti apakah yang memungkinkan berlangsungnya interaksi timbal balik antara manusia dan lingkungannya?

  Secara konseptual, pendekatan perilaku menekankan bahwa manusia merupakan makhluk berpikir, yang mempunyai persepsi dan keputusan dalam interaksinya dengan lingkungan. Konsep ini dengan demikian meyakini bahwa interaksi antara manusia dan lingkungan tidak dapat diinterpretasikan secara sederhana dan mekanistik, melainkan kompleks dan cenderung dilihat sebagai sesuatu yang ‘probabilistik’. Di dalam interaksi yang kompleks ini, pendekatan perilaku memperkenalkan apa yang disebut sebagai cognitive process yaitu proses mental dimana orang mendapatkan, mengorganisasikan, dan menggunakan pengetahuannya untuk memberi arti dan makna terhadap ruang yang digunakannya. Sebagaimana dapat dilihat dari istilah-istilah yang digunakan antara lain:

  

environmental perception, cognition, environmental pressures, stress, dan lain-lain,

  pendekatan perilaku berkembang dari disiplin psikologi lingkungan, terutama dipelopori oleh Roger Barker (1969) dengan apa yang disebut sebagai ecological

  

psychology . Prinsip dasar yang diperkenalkan Barker adalah mengenai pentingnya

proses-proses psikologis dalam memediasi hubungan antara manusia dan lingkungan.

  Dengan mengembangkan studi ini, Barker berhasil menarik perhatian banyak ahli psikologi untuk memperhatikan aspek-aspek sosial akan perilaku sekelompok orang dalam seting tertentu (Haryadi, 1996).

  Kajian psikologi menekankan bahwa ruang atau lingkungan itu bersifat sangat personal dan mempunyai arti yang spesifik bagi setiap individu. Kemudian, setiap individu dan masyarakat juga cenderung mempunyai kapasitas yang berbeda dalam memberikan jawaban terhadap pengaruh lingkungan atau seting di sekitarnya. Sebagian dapat memberikan respon secara mudah, sebagian sulit atau bahkan sebagian sama sekali tidak mampu memberikan respon dan beradaptasi dengan lingkungannya. Masalah-masalah ini secara akademik diterangkan berdasar kajian- kajian empirik, sehingga sampai saat ini telah dapat dikembangkan beberapa konsep penting dalam kajian lingkungan binaan dan perilaku. Dalam penelitian ini konsep penting tersebut adalah persepsi lingkungan dan lingkungan yang terpersepsikan.

  Persepsi lingkungan atau environmental perception adalah interpretasi tentang suatu seting oleh individu, didasarkan latar belakang budaya, nalar, dan pengalaman individu tersebut. Setiap individu, dengan demikian akan mempunyai persepsi lingkungan yang berbeda, karena latar belakang budaya, nalar serta pengalamannya berbeda. Akan tetapi, dimungkinkan pula beberapa kelompok individu mempunyai kecenderungan persepsi lingkungan yang sama atau mirip, karena kemiripan latar belakang budaya, nalar serta pengalamannya. Di dalam kajian arsitektur lingkungan dan perilaku justru menekankan pada ragam dan kesamaan environmental perception beberapa individu atau beberapa kelompok individu (Haryadi, 1996). Dalam konteks perancangan lingkungan, dikatakan oleh Rapoport (Haryadi, 1996) bahwa peran persepsi lingkungan sangat penting, oleh karena keputusan-keputusan atau pilihan- pilihan perancangan akan ditentukan oleh persepsi lingkungan perancang. Dengan kata lain, apabila perancang tidak mencoba memahami persepsi lingkungan masyarakat yang ia rancang lingkungannya, dimungkinkan tidak akan terjadi suatu kualitas perancangan lingkungan yang baik. Di dalam konteks studi antropologi lingkungan, isu mengenai persepsi lingkungan ini akan menyangkut apa yang disebut sebagai aspek emic dan etic (Haryadi, 1996). Emic menggambarkan bagaimana suatu lingkungan dipersepsikan oleh kelompok di dalam sistem tersebut (bagaimana suatu kelompok mempersepsikan lingkungannya). Sementara etic adalah bagaimana pengamat atau outsider (misalnya perancang) mempersepsikan lingkungan yang sama.

  Masalah emic dan etic ini menjadi penting, karena kita akan berhadapan dengan suatu pandangan subyektif yang berbeda tentang suatu lingkungan yang sama.

  Untuk lingkungan binaan berupa warisan kota yang bersejarah, pembangunan komersial yang sering mengancam keberadaan bangunan cagar budaya, persepsi masyarakat berubah dari yang sebelumnya menganggap banguanan itu tidak berharga menjadi berharga (perubahan guna). Keinginan pemangku kepentingan untuk memelihara bangunan cagar budaya tidak selalu diterjemahkan dengan benar. Pemangku kepentingan baik sukarela maupun tidak menyerahkan tanggung jawab pengembangan, pemeliharaan, dan manajemen kepada dinas pemerintah, yang memiliki kekuasaan untuk membentuk kota. Ketika pemangku kepentingan tidak lagi menjadi orang yang terlibat sekalipun bangunan cagar budaya mereka sangat berarti, gagasan dan partisipasi mereka akan terbatas dan tidak muncul (Porter, 2005).

  Pentingnya studi persepsi untuk dipertimbangkan sebagai kerangka penelitian dapat dijabarkan dalam beberapa hal sebagai berikut (Barat, 2007):

  1. Persepsi adalah level konseptual yang paling mendasar dalam pengetahuan sebuah organisasi / komunitas.

  2. Informasi dan sistem gagasan yang dikomunikasikan antar pengguna berada dalam pola persepsi.

  3. Pencapaian sebuah kesepakatan atau keputusan ditentukan oleh kesamaan atau perbedaan persepsi.

  4. Merubah sebuah masalah dan menemukan jalan keluar dari suatu kemungkinan adalah melakukan transformasi pada tingkat persepsi.

  Persepsi yang digunakan dalam studi lingkungan binaan pada umumnya berguna untuk memberikan pengembangan strategi yang baru terhadap sebuah kebijakan atau kegiatan yang kurang efektif. Setelah menganalisis persepsi tersebut, maka dapat dicari model solusi yang tepat untuk mengisi kekurangan pencapaian metoda sebelumnya. Dan juga dapat menghimpun penyebaran pengaruh dan kesadaran dari masyarakat pada tingkat sosial yang lebih luas (Pantano, 2011).

  Banyak pemangku kepentingan bangunan yang ingin melindungi fungsi dan penampilan bangunan tetapi melakukan pemeliharaan yang sifatnya jangka pendek, karena kurangnya pemahaman dan intervensi pihak yang ahli. Persepsi yang timbul pada umumnya menjadi pemeliharaan berbasis ekonomi yang minim, dan pemikiran kalau bangunan tidak rusak, mengapa perlu diperbaiki (Forster, 2009).

  

Monumentenwacht Nederland (2000) mempublikasikan banyak pemangku

  kepentingan bangunan cagar budaya yang tidak tahu kapan dan bagaimana melakukan perbaikan. Persepsi yang terbentuk adalah semakin sedikit intervensi kepada bangunan (tanpa pemeliharaan) akan membuat bangunan semakin asli/otentik. Menurut Maintain Our Heritage (2004) terjadi kurangnya kesepakatan antara pemangku kepentingan dengan pihak yang berusaha bertanggung jawab menerapkan konservasi. Pemangku kepentingan memandang perbaikan dan pemeliharaan sebagai konsep pekerjaan sewaktu-waktu. Itulah sebabnya masyarakat perlu panduan dan bimbingan prinsip konservasi bangunan yang melibatkan aspirasi praktis dari badan pusaka kota. Ada pemangku kepentingan yang mencoba mengimplementasikan pemeliharaan, tetapi bimbingan yang diberikan salah, hal ini menimbulkan persepsi bahwa organisasi keahlian memiliki pengaruh dan kepentingan yang negatif.

  Sehingga pemangku kepentingan memandang tidak perlu melakukan konsultasi dengan organisasi tersebut (Forster, 2009).

  Keberhasilan sebuah kebijakan pelestarian cagar budaya khususnya tidak lagi berorientasi kepada sosok figur, bangunan besar yang ternama, atau gaya bangunan yang elegan. Gerakan mendukung kebijakan hukum dan pelestarian cagar budaya telah menekankan pentingnya melibatkan komunitas, khususnya pemangku kepentingan bangunan dalam hal ini. Persepsi mereka digali dan disalurkan dalam rencana pengembangan yang disetujui bersama agar dapat mencapai sebuah keseimbangan yang ideal di antara preservasi masa lalu, kebutuhan masa kini, dan warisan masa depan (Hauer, 2007). Pemahaman dan interpretasi pemangku kepentingan tidak lagi mengganggap pelestarian cagar budaya sebagai kunjungan museum, program pemerintah, program wisata, program akademik dan lainnya, tetapi juga program komunitas dari himpunan para pemangku kepentingan bangunannya. Informasi persepsi itu penting untuk menjadi target dalam menilai keberhasilan program dan regulasi yang ada (Pokotylo & Guppy, 1999). Pendekatan peraturan yang berbasis persepsi dalam melihat dampak pengaruh keterlibatan masyarakat

  (Araujo & Bramwell, 1999) dapat dilakukan dengan cara membagikan informasi regulasi kepada pemangku kepentingan dan menanyakan pemahaman dan sudut pandang yang mereka punya. Hasilnya digunakan untuk menganalisis persepsi masyarakat terhadap regulasi tersebut baik atau tidak, suportif, netral atau oposisi.

  Pelestarian warisan kawasan lama bernilai sejarah diupayakan harus merambah area hukum, peraturan perundangan, dan kewenangan badan pemerintah (Budihardjo, 1993). Krisis yang dihadapi kota-kota di Indonesia saat ini terjadi bukan karena adanya masalah ekonomi, melainkan merupakan akumulasi kesalahan dari serangkaian kebijakan, strategi, maupun program pengembangan perkotaan selama 25 tahun lebih (Santoso, 2006). Kebijakan yang berdampak buruk pada perkembangan kota-kota di Indonesia adalah kebijakan yang melepas perkembangan kota begitu saja pada mekanisme pasar. Akibatnya kota-kota di Indonesia tidak memiliki visi masa depan yang jelas, terutama dalam menghadapi globalisasi. Kebijakan yang tidak proaktif akan mengakibatkan inisiatif pengembangan kota hampir sepenuhnya berada di tangan para pemangku kepentingan modal dan investor, dengan agenda mereka masing-masing (Santoso, 2006). Apa yang akan terjadi dengan kota tersebut, di mana akan dibangun gedung perkantoran atau kawasan industri baru, atau di mana akan dibuka fasilitas macam apa, tidak pernah bisa ditentukan bersama-sama, melainkan ditentukan hanya oleh sejumlah kecil pejabat dan pengusaha berpengaruh. Sifat eksklusif dalam pengambilan keputusan akan mengakibatkan pembangunan kota berjalan ke arah yang hanya menguntungkan sebagian kecil masyarakat. Kepentingan masyarakat sebagai sebuah komunitas warga semakin lama semakin terdesak ke belakang. Tanpa pengaturan yang mengharuskan partisipasi masyarakat dalam pengembangan kota, partisipasi tersebut akan tetap menjadi gagasan semata. Tanpa partisipasi masyarakat, kota-kota akan menjadi kota pemerintah atau kota para pemodal, dan belum bisa menjadi kota dengan warga yang merasa ikut memilikinya (Santoso, 2006).

  Perencanaan tata ruang perkotaan selama ini tidak mampu berfungsi sebuah instrumen legal yang bisa memberi batasan dan arahan pengembangan kota, karena pemerintah sendiri tidak pernah konsisten melaksanakannya. Bila Pemerintah Daerah dengan bantuan instansi terkait di pusat menyusun rencana tata ruang guna mengantisipasi perkembangan kota, sebagian besar usulan rencana tata ruang tersebut merupakan pemutihan dari proses pengembangan yang sudah terjadi. Di kota-kota yang berkembang cepat, proses pemutihan ini menjadi rutin, karena berbagai ketentuan yang telah ditetapkan dalam rencana tata ruang dilanggar, baik oleh masyarakat awam maupun oleh para pelaku bisnis. Walaupun demikian, banyak ketentuan seringkali tidak bisa dilaksanakan. Hal ini terjadi karena penyusunan rencana dibuat tanpa pengetahuan lapangan yang memadai, sebagian akibat biaya perencanaan yang terbatas, tapi lebih sering akibat ketidakmampuan para perencana serta arahan yang salah dari pemberi tugas (Santoso, 2006). Pemangku kepentingan tidak akan mau melibatkan diri karena mereka mengerti bahwa mereka dianggap tidak penting dan tidak mendapatkan keuntungan yang positif bagi mereka sendiri (Adeniran & Akinlabi, 2011). Dampak dari kebijakan pembangunan kota yang sangat liberal tersebut adalah pengembangan kota yang hampir tidak terencana. Indikasinya dapat terlihat pada terjadinya pemusatan kegiatan perkotaan dengan nilai tambah yang tinggi di lokasi-lokasi strategis, tanpa memperhitungkan daya dukung dan infrastruktur yang ada serta dampak negatifnya bagi fungsi-fungsi lain di sekelilingnya. Kebijakan pengembangan kota yang demikian pada akhirnya akan melahirkan kota dengan bagian-bagian yang tidak saling terintegrasi sehingga tidak bisa berfungsi secara efisien. Kota hanya bisa menjadi tempat hidup yang berkualitas melalui proses pengaturan kehidupan berkota secara kolektif, yang mampu mengakomodasi kepentingan semua lapisan masyarakat. Bila perlu, hal ini harus dicapai dengan mengendalikan mekanisme pasar (Santoso, 2006). Hampir semua kota dunia yang berkualitas mempraktikkan berbagai instrumen pengendalian perkembangan kota, seperti pembatasan pembangunan di restricted urban area, atau melalui moratorium (pelarangan perubahan fungsi).

  Pada kebanyakan perencanaan kota dan lingkungan, masyarakat acapkali dilihat sekadar sebagai konsumen yang pasif. Memang mereka diberi tempat untuk aktivitas kehidupan, kerja, rekreasi, belanja dan bermukim, akan tetapi kurang diberi peluang untuk ikut dalam proses penentuan kebijakan dan perencanaannya. Sebagai makhluk yang berakal dan berbudaya, manusia membutuhkan rasa penguasaan dan pengawasan (a sense of mastery and control) terhadap habitat atau lingkungannya. rasa tersebut merupakan faktor mendasar dalam menumbuhkan rasa memiliki untuk kemudian mempertahankan atau melestarikan (Budihardjo, 1997). Bila rasa ini tidak diakomodasi dari awal dengan memahami persepsi pemangku kepentingan bangunan, maka hal ini dapat dirasakan pemangku kepentingan sebagai ancaman dan mereka tidak akan berpartisipasi dalam menjalankan kebijakan tersebut. Pentingnya melakukan dialog, koperasi, dan kolaborasi dalam kajian menggali persepsi pemangku kepentingan dalam hakekatnya untuk mengurangi konflik yang dapat muncul karena hanya pemangku kepentingan yang memegang keputusan terhadap bangunan yang mereka miliki dan lingkungan sekitar tempat mereka bermukim (Mohammadi, Khalifah, Hosseini; 2010). Willems dan Rausch (1969) mengemukakan bahwa binatang pun menunjukkan pentingnya rasa penguasaan tersebut dalam bentuk pemilihan habitat dan modifikasi/manipulasi lingkungan fisiknya. Kekurangberhasilan kebanyakan kebun binatang terletak pada terabaikannya fakta tersebut. Kalau binatang saja membutuhkan peluang untuk bisa memilih dan membentuk habitatnya, apalagi manusia penghuni kota. Bila penduduk kota tidak dilibatkan dalam proses perencanaan dan pembangunan kotanya, tidak diberi kesempatan untuk bertindak secara aktif memberikan 'cap' pribadi atau kelompok pada lingkungannya, tidak memperoleh peluang untuk membantu, menambah, mengubah, dan menyempurnakan lingkungannya, akan kita dapatkan masyarakat kota yang apatis, acuh tak acuh, dan mungkin agresif. Pemangku kepentingan bangunan tidak pernah mempersoalkan tentang ada tidaknya sebuah klausul regulasi, tetapi lebih menekankan kepada seberapa besar pengaruh dan keterlibatan aspirasi persepsi mereka ada di dalamnya. (Shrubsole, Green, Scherer; 1997). Kemungkinan besar hal ini terjadi karena banyak pimpinan daerah dihinggapi “obsesi membangun”, bahwa kemajuan daerah identik dengan pesatnya pembangunan baru dan bahwa modernisasi di segala bidang adalah dambaan yang harus dikejar dengan segenap cara

  (Budihardjo, 2004). Negara-negara Barat sudah sejak lama mendengung-dengungkan slogan perancangan dari bawah (bottom-up planning) sebagai ganti perancangan yang dipaksakan dari atas (top-down planning). Yang dimaksud adalah bahwa nilai-nilai dan kriteria yang dijadikan dasar perancangan bukanlah nilai-nilai dan kriteria dari si perancang atau policy maker melainkan dari masyarakat setempat untuk siapa perancangan itu dibuat (Budihardjo, 2004). Suatu development plan hanya akan bisa berhasil kalau masyarakat setempat diberi kesempatan cukup untuk berbicara mengeluarkan segenap pendapat dan perasaan mereka. Jika penduduk merasa ikut berfungsi sebagai penentu pola wilayah mereka sendiri, besar kemungkinan mereka akan sepenuh hati mendukung implementasi dari kebijaksanaan yang telah digariskan bersama (Budihardjo, 2004). Peranan kebijakan turut membentuk persepsi masyarakat untuk dapat memberi umpan balik. Kebijakan yang mewadahi dan memberi kesempatan kepada masyarakatnya untuk bertukar pikiran (persepsi) akan mendukung terlaksananya tujuan kebijakan dan peraturan yang ditetapkan organisasi masyarakat atau pemerintah. Masyarakat cenderung memilih untuk dapat mendukung sasaran peraturan bila persepsi mereka dimaknai dan diwadahi, dan sebaliknya masyarakat akan bersikap antipati terhadap peraturan dan menyikapi sendiri apa yang hendak mereka kerjakan karena bagi mereka persepsi adalah hal yang harus disampaikan (Ghouma, 2008).

  Stoker (1995) (Arnaboldi & Spiller, 2011) memaparkan pentingnya keterlibatan dan memahami persepsi para pemangku kepentingan yang terkait dalam kebijakan, karena kolaborasi yang baik akan mempercepat pencapaian tujuan dan penghematan sumber daya, dan apabila sebaliknya akan mengancam keberhasilan dari tujuan yang ingin dicapai. Arnaboldi dan Spiller (2011) merangkum elemen yang mendukung keberhasilan kebijakan berbasis partisipasi masyarakat dalam suatu konsep kolaborasi. Konsep kolaborasi menurut Arnaboldi dan Spiller diuraikan dengan mengamati isu-isu potensial yang perlu diperhatikan dalam penelitian persepsi (Tabel 2.1).

Tabel 2.1 Isu-isu potensial persepsi dalam konsep kebijakan

  Area Issues Identification and involvement Involvement in the collaboration of key stakeholders Representation: legitimacy and power

Capacity to participate

Maintaining the collaboration Power distribution among the convened stakeholders Need for consensus-based decision making

  Information sharing and dissemination Heterogeneity in governance structures and value systems Evolution of the roles of actors

Long term implementation of the Long term outcomes and structuring of the collaboration

collaborative outcomes process

Unrealistic expectations

  Sumber: Arnaboldi & Spiller, 2011 Kesadaran dan komitmen pemerintah dalam menyusun kebijakan dan mendorong partisipasi publik adalah hal yang krusial. Program peremajaan kota

  (urban renewal) yang berhasil adalah pendekatan yang terintegrasi di antara sektor pemerintah, komunitas, dan swasta. Pemerintah kota dalam hal ini dapat menjadi inisiator dan stimulator kolaborasi. Hari Srinivas (Tarekat, 2001) memaparkan kesimpulan yang diperoleh dari situasi di negara-negara Asia tentang peran pemerintah kota dalam konservasi warisan budaya: (i) membangun partisipasi yang lebih luas tentang kesadaran akan makna konservasi kepada masyarakat kota, (ii) melakukan dokumentasi yang tepat terhadap setiap tempat yang terkait, dan (iii) membentuk institusi dan kebijakan yang kuat untuk tugas konservasi. Penelitian Maria dan David (Ramos, 2000) menemukan bahwa hampir sebagian besar (96%) dari responden merasa perlu sekali keberadaan dan ditetapkannya regulasi cagar budaya. Tetapi sayangnya keperluan ini didominasi (98%) oleh orang yang sudah memiliki persepsi yang baik dan benar terhadap cagar budaya itu. Sedangkan di kawasan cagar budaya belum tentu semua pemangku kepentingan adalah orang yang memiliki latar belakang arkeologi atau sejarah. Hal ini menjadi menarik diamati karena hampir sebagian besar adalah kalangan pedagang ekonomi. Dapat dikatakan bahwa latar belakang kalangan pembuat kebijakan yang umumnya adalah akademis dan terdidik dibandingkan objek kebijakan yang adalah pemangku kepentingan dengan latar belakang pelaku ekonomi, dapat membuat kesimpulan yang berbeda tentang klausul regulasi yang sama (Llinares, 2011).

2.2 Pemangku Kepentingan

  Definisi pemangku kepentingan (stakeholder) menurut Bryson dan Crosby (1992) (Fontaine, 2005) adalah individu, kelompok, atau organisasi yang dipengaruhi oleh pergerakan atau konsekuensi dari sebuah isu. Pengertian lain diberikan oleh Gray (1989) (Aas et al, 2005) yaitu setiap pribadi yang dipengaruhi oleh kegiatan pribadi lainnya sehingga memiliki wewenang untuk terlibat. Masyarakat lokal sering didefinisikan sebagai pemangku kepentingan dalam wisata pusaka seperti yang diungkapkan Cochrane dan Tapper (2000) (Mohammadi, Khalifah, Hosseini; 2010).

  Davidson dan Maitland (1997) menyatakan konsep manajemen wisata pusaka menekankan pentingnya aspek permintaan dan penawaran, khususnya dari wisatawan (visitor) dan masyarakat lokal (host population); Swarbrooke (1995) menggunakan klasifikasi pemangku kepentingan bangunan bersejarah yang terdiri dari tiga sektor: pemerintah, pemilik bangunan, dan masyarakat; sedangkan Timothy dan Boyd (2003) mendefinisikan pemangku kepentingan bangunan bersejarah didominasi pemerintah selaku penanggung jawab situs warisan sejarah (Rahman, 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Aas, Ladkin, dan Fletcher (2005) tentang kolaborasi pemangku kepentingan dalam manajemen bangunan bersejarah, menemukan bahwa keterlibatan masyarakat lokal adalah komponen yang paling berpengaruh dan signifikan untuk dikaji sehingga dapat memaksimalkan rencana strategi pengembangan wisata pusaka.

  Dalam teori pariwisata (Middleton, 2009) yang menjadi pemangku kepentingan dalam suatu produk pariwisata (semisal wisata budaya, wisata sejarah) melibatkan 2 macam pemangku kepentingan, yakni pelancong dan masyarakat lokal (wheel of influences). (Gambar 2.1). Pelancong dalam hal ini diklasifikasikan ke dalam dua golongan, yaitu pelancong yang berasal dari negara itu sendiri (domestik) dan pelancong yang datang dari negara luar (mancanegara). Masyarakat lokal dalam hal ini diklasifikasikan ke dalam dua golongan, yaitu masyarakat pelaku dan penjual produk pariwisata dan masyarakat kota non pelaku. Melalui pendekatan bangunan bersejarah sebagai komoditas pariwisata sejarah, maka penelitian ini menggunakan kedua macam pemangku kepentingan yang sesuai dengan teori Middleton (2009).

Gambar 2.1 Lingkaran pemangku kepentingan

  Sumber: Middleton, 1998

2.3 Peraturan Daerah

  Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 menyatakan,’ Negara Kesatuan Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. Artinya, Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut UUD 1945 adalah desentralisasi, bukan sentralisasi sehingga pemerintahan daerah diadakan dalam kaitan desentralisasi. Dalam kerangka desentralisasi menurut pasal 18 ayat (5) UUD 1945 Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintah yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintahan Pusat. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa bentuk negara Indonesia adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang dijalankan berdasarkan desentralisasi, dengan otonomi yang seluas-luasnya. Selanjutnya, Pasal 18 ayat(6) UUD 1945 menetapkan,’ Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.’Artinya, Peraturan Daerah (perda) merupakan sarana legislasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Perda disini adalah aturan daerah dalam arti materiil (perda in materieele zin) yang bersifat mengikat (legally binding) warga dan penduduk daerah otonom. Perda merupakan produk legislasi pemerintahan daerah, yakni Kepala daerah dan DPRD. Pasal 140 ayat (1) UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa Rancangan Perda dapat berasal dari DPRD, Gubernur, atau Bupati/Walikota. Selanjutnya, Rancangan Perda harus mendapat persetujuan bersama DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota untuk dapat dibahas lebih lanjut. Tanpa persetujuan bersama, rancangan perda tidak akan dibahas lebih lanjut.Kemudian pasal 144 ayat (1), (2) dan (3) UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa Rancangan Perda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada Gubernur atau Bupati/Walikota untuk ditetapkan sebagai Perda.

  Penyampaian Rancangan Perda dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 hari, terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. Rancangan Perda ditetapkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota paling lama 30 hari sejak rancangan tersebut disetujui bersama (Indrati, 2007). Lalu pasal 144 ayat (4) dan (5) UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menetapkan dalam hal rancangan perda tidak ditetapkan Gubernur atau Bupati/Walikota dalam waktu paling lama 30 hari maka Rancangan Perda tersebut sah menjadi Perda dan wajib diundangkan dengan memuatnya dalam Lembaran Daerah. Dalam hal keabsahan Rancangan perda dimaksud, rumusan kalimat pengesahannya berbunyi ’ Perda dinyatakan sah’, dengan mencantumkan tanggal sahnya. Terakhir Pasal 145 ayat (1) UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan ketentuan mengenai penyampaian perda kepada pemerintah pusat paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan. Mengingat perda adalah produk politis, maka kebijakan daerah yang bersifat politis dapat berpengaruh terhadap substansi perda. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan kebijakan politis tersebut tidak menimbulkan gejolak dalam masyarakat.

  Dalam Undang-undang No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, mengenai materi muatan Perda telah diatur dengan jelas dalam

  Pasal 12 yang berbunyi sebagai berikut,’Materi muatan Peraturan daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.’ Di era otonomi daerah ini, DPRD dan pemerintah Daerah mempunyai kewenangan yang luas dalam penyelenggaraan

  Pemerintahan Daerah. Pun demikian, betapapun luasnya cakupan otonomi daerah, perda tidak boleh mengatur permasalahan yang menyimpang dari prinsip NKRI, yang dapat merusak bingkai NKRI. Sebaliknya Pemerintah pusat juga tidak boleh membatasi, apalagi menegasi kewenangan otonomi daerah. Selanjutnya Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (3) UU Nomor 32 tentang Pemerintahan Daerah juga membatasi materi muatan sebuah perda yaitu bahwa Perda tidak boleh memuat urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat, seperti: politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional dan agama.

  Saat ini, salah satu persoalan yang perlu mendapatkan perhatian adalah banyak sekali Perda yang bermasalah.

  Pada umumnya, masyarakat tidak fasih dengan undang-undang dan peraturan daerah mengingat jumlah yang banyak dan sering sekali peraturan daerah tidak melibatkan kepentingan masyarakat lokal. Sebagai sebuah produk yang mengatur prosedur legal sebuah perda harus memuat 4 hal utama agar dapat dipahami masyarakat, yaitu informasi umum, pemangku kepentingan, tindakan yang diatur, dan sanksi. Sifat undang-undang adalah mengikat seluruh elemen yang tercakup dalam produk hukum meskipun tidak seluruh elemen mengetahui dan membaca undang- undang tersebut, dan pada hakekatnya hukum berlaku. Terkait peraturan yang tidak efektif, pemerintah dapat meninjau ulang perda merunut hierarki peraturan perundang-undangan sesuai UU Nomor 10 Tahun 2004 (Asmirawati, 2010).

2.4 Penelitian Sebelumnya

  Sehubungan diadakannya penelitian ini, maka dilakukan tinjauan pustaka terhadap penelitian yang telah pernah dilakukan baik menyangkut kawasan penelitian, kajian persepsi, dan pengaruh regulasi (Tabel 2.2). Tujuan dari tinjauan penelitian yang sudah pernah dilakukan adalah untuk menghindari obyek penelitian serupa dan mempertajam penelitian ini sehingga penelusuran menjadi lebih aktual.

Tabel 2.2 Penelitian Sebelumnya

  1 Peneliti Hasti Tarekat Judul Penelitian Kajian Mengenai Efektivitas Peraturan Daerah No. 6 Tahun 1988 Tentang Perlindungan Bangunan Bersejarah Dalam Upaya

Pelestarian Bangunan Bersejarah Di Kota Medan

  Tahun Penelitian Tesis 2002 Topik Penelitian

  1. Tingkat kelestarian bangunan bersejarah yang dilindungi Perda

Nomor 6 Tahun 1988 di Kota Medan

2. Aktivitas sosialisasi Perda Nomor 6 Tahun 1988 di Kota Medan 3.

  Tingkat efektivitas pelaksanaan Perda Nomor 6 Tahun 1988 di dalam upaya melindungi bangunan bersejarah di Kota Medan Hasil Penelitian 1.

  Bangunan cagar budaya di Kota Medan yang terdapat dalam Perda No. 6 Tahun 1988; baik aspek fisik maupun aspek nonfisik masuk dalam Kategori Tidak Lestari. Faktor dominan yang menyebabkan ketidaklestarian ini adalah tekanan aktivitas ekonomi dan rendahnya komitmen lembaga 2. Sosialisasi Perda No. 6 Tahun 1988 dalam bentuk penyuluhan baik kepada pemangku kepentingan dan pengelola bangunan

cagar budaya dalam Kategori Rendah

3. Persepsi pemangku kepentingan/pengelola bangunan cagar budaya; Kejelasan Tujuan masuk dalam Kategori Cukup Jelas, dan Kesesuaian Tujuan masuk dalam Kategori Cukup Sesuai 4. Tingkat motivasi pemangku kepentingan/pengelola untuk melestarikan bangunan cagar budaya masuk dalam Kategori

  Cukup Tinggi. Tingginya motivasi ini disebabkan karena adanya kebanggaan, nilai sejarah, dan warisan yang harus dipertahankan

  5. Tingkat motivasi pemangku kepentingan/pengelola untuk merubah bangunan cagar budaya masuk dalam Kategori Cukup Tinggi. Alasan yang paling banyak atas jawaban responden adalah untuk penyesuaian peruntukan bangunan, kerusakan bangunan dan alasan pengamanan 6. Pelaksanaan Perda No. 6 Tahun 1988 dalam upaya menciptakan kelestarian bangunan cagar budaya di Kota Medan belum efektif

  2 Peneliti Henry Iskandar Ong

Judul Penelitian Kajian Genius Loci Dengan Pendekatan Fenomenologi Arsitektur,

Studi Kasus: Kawasan Kesawan Tahun Penelitian Tesis 2004

  Topik Penelitian 1.

  Fenomena pembentuk genius loci di kawasan Kesawan 2. Perubahan genius loci di kawasan Kesawan Hasil Penelitian

1. Genius loci Kesawan terletak pada: a.

  Lokasinya pada poros yang menghubungkan bagian utara dengan selatan kota b.

  Arkade merupakan struktur spasial yang memperkuat orientasi linear dan identifikasi Kesawan

Tabel 2.2 (lanjutan) c.

  Bangunan memiliki karakter multi etnis yang berartikulasi membentuk sebuah kesatuan d.

  Karakteristik bangunan yang bersahabat dengan iklim terasa kuat dalam mencermati lingkungan natur dan buatan manusia 2. Terjadi perubahan yang berarti terhadap system of places, konstitusi formal, artikulasi formal, dan fasade

  3 Peneliti Louise Thornley, Andrew Wa Judul Penelitian Increasing Public Engagement with Historic Heritage: A Social Marketing Approach

  Tahun Penelitian Buku 2009 Topik Penelitian Persepsi tentang warisan cagar budaya dalam kaitannya dengan regulasi lokal

Hasil Penelitian Regulasi lokal yang menampung aspirasi dan persepsi masyarakat

setempat sangat efektif dalam pelaksanaan dan pencapaian sasaran. Regulasi yang melibatkan persepsi masyarakat memberikan keluaran karakter pemaknaan masyarakat akan warisan cagar budaya dalam 4 sikap: 1.

  Memiliki arti kultural yang penting (meaningful and subjective) 2. Memori kolektif yang berharga (links the past, present, and future) 3. Holistik 4. Memiliki banyak fungsi dan keragaman (is perceived in terms of usefulness)

  4 Peneliti Kartika Eka Sari, Antariksa, Eddi Basuki Kurniawan Judul Penelitian Pelestarian Kawasan Pecinan Kembang Jepun Kota Surabaya Berdasarkan Persepsi Masyarakat Tahun Penelitian Jurnal 2011

  Topik Penelitian 1.

  Identifikasi karakter fisik, sosial, ekonomi dan budaya kawasan Kembang Jepun

2. Potensi masalah terkait pelestarian kawasan Kembang Jepun 3.

  Strategi pelestarian kawasan Kembang Jepun Hasil Penelitian

  1. Berdasarkan persepsi masyarakat terdapat 3 bobot: prioritas tinggi (makna kultural), prioritas sedang (estetika), dan prioritas rendah (umur bangunan) 2. Strategi pelestarian digolongkan menjadi 4 pendekatan: preservasi, konservasi, revitalisasi, dan rehabilitasi

  Sumber: Kompilasi literatur

Dokumen yang terkait

1.T. (54 tahun) - Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 dengan Komplikasi Hipertensi dan Diabetes Retinopati di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik

0 2 88

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pankreas - Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 dengan Komplikasi Hipertensi dan Diabetes Retinopati di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik

0 0 22

Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 dengan Komplikasi Hipertensi dan Diabetes Retinopati di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik

0 0 8

Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 dengan Komplikasi Hipertensi dan Diabetes Retinopati di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik

0 0 15

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Porphyromonas Gingivalis - Efektivitas Ekstrak Jahe merah (Zingiber officinale var. Rubrum) terhadap Bakteri Porphyromonas gingivalis secara In Vitro

1 5 8

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karies Gigi dan Prevalensinya - Hubungan Pengalaman Karies dan PUFA dengan Indeks Massa Tubuh pada Anak Usia 12-14 Tahun di Kecamatan Medan Helvetia dan Medan Tembung

0 0 15

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Hubungan Pengalaman Karies dan PUFA dengan Indeks Massa Tubuh pada Anak Usia 12-14 Tahun di Kecamatan Medan Helvetia dan Medan Tembung

0 0 6

I. Identitas Responden - Analisis Kunjungan Wisatawan di Kawasan Kecamatan Pantai Cermin Kabupaten Serdang Bedagai

0 0 19

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Permintaan - Analisis Kunjungan Wisatawan di Kawasan Kecamatan Pantai Cermin Kabupaten Serdang Bedagai

0 0 34

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Analisis Kunjungan Wisatawan di Kawasan Kecamatan Pantai Cermin Kabupaten Serdang Bedagai

0 0 7